Anda di halaman 1dari 10

PERENCANAAN KOTA MASA PASCA REVOLUSI INDUSTRI

Revolusi industri adalah perubahan penggunaan tenaga manusia dan hewan menjadi tenaga mesin, sehingga pekerjaan produksi didominasi oleh mesin. Secara tidak langsung revolusi industri mengubah cara kerja manusia dari menggunakan tangan menjadi mesin. Perubahan yang cepat sangat berdampak cepat khususnya di bidang ekonomi. Misalnya dari kegiatan ekonomi agraris ke ekonomi industri yang menggunakan mesin dalam mengolah bahan mentah menjadi bahan siap pakai. Revolusi industri dimulai di Inggris dengan perkenalan mesin uap oleh bapak revolusi yakni James Watt pada tahun 1969. Hal inilah yang menjadi titik balik dari peradaban dunia di bidang ekonomi sekaligus menjadi jembatan untuk ke arah yang lebih modern. Pasca revolusi industri, sangat berpengaruh pada peradaban, teknologi, serta pendekatan perencanaan kota yang dilakukan tanpa terkecuali menimbulkan masalah yang kompleks. Pada masa pasca revolusi industri, dampak yang paling menonjol yakni pada peradaban dan teknologi. Dimana pada masa ini, peradabannya eko teknologi (penerapan kemajuan teknologi yang berwawasan lingkungan) sebagaimana kita tahu bahwa pada saat revolusi industri sangat mengedepankan teknologi dan mesin tanpa memandang penting akan dampak lingkungan. Selain dibidang teknologi dan ilmu pengetahuan, pendekatan perencanaan juga sangat berpengaruh pada masa ini. Dimana, dalam bidang perencanaan berkembang yakni pemahaman mengefisiensikan ekonomi, perencanaan pembangunan yang menyeluruh dan sistem perwilayahan serta pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Berbagai masalah yang kompleks juga mencul pada masa ini, yakni urbanisasi yang tinggi, pergerakan cepat, terjadi sistem kapitalistik dan sosialistik dan eksploitasi suberdaya secara besar-besaran. Beberapa contoh kota baru pada masa pasca revolusi industri yakni kota baru generasi pertama dan kota baru generasi kedua. Kota baru generasi pertama yakni Garden City oleh Ebenezer Howard, sedangkan kota generasi kedua yakni Contemporary City oleh Le Corbusier, dan Bradacre City oleh Frank Lloyd Wright. Sedangkan konsep perencanaan kota pasca revolusi industri yakni Konsep Kota Kompak (Compact City).

1.

Garden City Kota taman merupakan jalan keluar untuk memecahkan masalah perencanaan

kota, yang dikemukan oleh Ebenezer Howard dalam bukunya yang berjudul Garden Cities of Tomorrow pada tahun 1902. Howard ingin mengurangi kepadatan penduduk di kota-kota industri, dengan membangun kota taman di luar daerah yang sudah terlalu berkembang, sehingga orang bisa kembali ke alam. Jadi, dalam hal ini kota taman merupakan jalan keluar atau solusi yang diberikan untuk menekan dampak yang terjadi akibat revolusi industri, misalnya dampak berupa polusi udara yang dihasilkan oleh asap-asap pabrik. Dengan perencanaan kota yang sistematis, kota taman dibangun agar kota-kota besar seperti London, jangan menjadi sesak akibat revolusi industri yang terjadi. Konsep Garden City berwawasan lingkungan.

2.

Compact City (Kota Kompak)

a.

Pengertian Kota Kompak Kota kompak diartikan sebagai sebuah strategi kebijakan kota yang sejalan

dengan usaha perwujudan pembangunan berkelanjutan untuk mencapai sebuah sinergi antara kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi pada sebuah ukuran ideal sebuah kota, pengkonsetrasian semua kegiatan kota, intensifikasi transportasi publik, perwujudan kesejahteraan sosial-ekonomi warga kota menuju peningkatan taraf dan kualitas hidup kota. Terdapat enam atribut yang tidak bisa dipisahkan dan semestinya saling mendukung keberadaan kota kompak. Misalnya sebuah kota yang padat dan mempunyai besaran (skala) ideal untuk mencapai semua penjuru kotanya, tetapi memiliki ketimpangan sosial-ekonomi penduduk yang jelas dan masih sangat tergantung pada kendaraan pribadi, belumlah cukup untuk digolongkan sebagai kota kompak. Sebaliknya, kota dengan sistem transportasi yang maju, dengan ekonomi warga yang tinggi pula, skala kotanya pun ideal, namun pusat kota itu sendiri akan menjadi senyap di malam hari dan hari libur sebab warga kota lebih memilih tinggal di wilayah luarnya, belum bisa digolongkan ke dalam kategori kota kompak pula. Usaha kenaikan kepadatan penduduk dan lingkungan tentunya terkait dengan optimalisasi lahan dan infrastruktur dalam kota. Dengan demikian, usaha ini pun akan mempunyai efek positif untuk melindungi lahan-lahan subur di luar kota. Kenaikan penduduk ini perlu disertai dengan usaha penyatuan berbagai macam kegiatan dalam area yang sama (mixed use development), sehingga penduduk yang tinggal di mana pun di dalam kota akan mampu terlayani secara baik oleh sebuah sistem unit ini. Sistem transportasi umum yang intensif akan membantu dalam menyelesaikan masalah kerusakan lingkungan dalam kota akibat transportasi manusia ini, selain mendorong berbagai kegiatan kota lebih aktif. Atribut selanjutnya yaitu pertimbangan besaran dan akses kota mutlak diperlukan. Atribut ini juga sebagai pengendali jarak maupun waktu tempuh kegiatan kota sekaligus usaha untuk memudahkan pengkoordinasiannya (smart urban management). Target kota kompak itu sendiri yaitu kesejahteraan sosial-ekonomi setiap penduduk kota yang makin meningkat (better quality of life). Aspek sosial pada atribut ini pun adalah interaksi sosial yang harmonis pada semua lapisan

masyarakat di tengah kota. Yang terakhir yakni proses menuju sebuah keadaan yang lebih baik. Atribut ini didasari oleh kenyataan bahwa sebuah kota kompak adalah

sebuah target kondisi yang harus dilalui tahunan karena menyangkut perubahan mendasar pada sebuah kota melalui proses panjang penerapan serangkaian kebijakan kota. Kota kompak, menurut Roychansyah (2006), didesain dengan tata guna lahan yang heterogen dan menyatu. Idealnya, setiap bagian kota menyediakan aneka fasilitas seperti sarana pendidikan, kesehatan, serta pusat ekonomi yang mudah diakses oleh penduduknya. Dengan demikian, penggunaan lahan menjadi lebih efektif, penggunaan energi fosil untuk mobilitas warga berkurang, dan kerekatan sosial dapat terbangun. Langkah lain menuju kota berkelanjutan juga dapat dimulai dengan dengan melibatkan masyarakat. Setiap kelompok masyarakat di tingkat terkecil, mulai diperkenalkan dengan konsep reduce, reuse, dan recycle sampah. Di beberapa kota seperti Yogyakarta dan Surabaya, usaha pemisahan sampah sudah dilakukan masyarakat secara swadaya. Sanksinya, sampah tidak akan diambil oleh petugas kebersihan jika warga melanggar kesepakatan. Selain itu, pembangunan kota berkelanjutan dicirikan dengan penghematan energi. Di tengah krisis energi dan kenaikan harga minyak dunia yang mencapai 120 dolar AS per barrel, saat ini adalah waktu yang tepat bagi Pemkot untuk mengevaluasi sistem transportasi kota. Bagi kota-kota metropolitan, sarana transportasi massal seperti bus atau kereta merupakan jawaban untuk mengurai kemacetan lalu lintas. Kota modern yang humanis juga memberikan ruang yang nyaman bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda. b. Konsep Kota Kompak Saat ini dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan, Kota Kompak (compact city) tampaknya telah menjadi isu paling penting. Perhatian besar saat ini telah memfokuskan pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan, bahwa bentuk dan kepadatan kota-kota dapat berimplikasi pada masa depan. Keberlanjutan pembangunan secara langsung berintegrasi dengan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Diagram berikut menunjukkan bagaimana integrasi dari nilai lingkungan, nilai ekonomi, dan nilai social menghasilkan kehidupan yang sejahtera bagi manusia. Dalam aplikasi pembangunan berkelanjutan, 3 elemen tersebut harus berjalan simultan. Ketimpangan pembangunan akan terjadi apabila perkembangan aspek yang satu lebih tinggi dari aspek yang lain. Perhatian besar saat ini telah berfokus pada hubungan antara bentuk kota dan keberlanjutan (sustainability). Dalam berbagai diskusi tentang pola-pola ruang dan bentuk kota yang berkelanjutan, satu isu yang diperkenalkan oleh Dantzig da Saaty adalah kota yang kompak (compact city). Argumen-argumen yang kuat sedang

dimunculkan bahwa Kota Kompak adalah bentuk kota yang dianggap paling berkelanjutan. Inilah yang diungkapkan oleh Mike Jenks, Elizabeth Burton dan Katie Williams (1996) dalam buku yang berjudul Compact City: A Sustainable Urban Form? Ciri kota kompak menurut Dantzig da Saaty (1978) paling tidak dapat dilihat dari 3 aspek yaitu bentuk ruang, karakteristik ruang, dan fungsinya.
Bentuk Ruang 1. Permukiman Kepadatan Tinggi 2. Kurang tergantung pada mobil 3. Batas jelas dari lingkungan Karakteristik Ruang 1. Guna lahan campuran 2. Keragaman kehidupan 3. Identitas jelas Fungsi 1. Keadilan sosial 2. Kemandirian dalam kehidupan 3. Kemerdekaan pemerintah

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang dekat antara bentuk kota kompak dan keberlanjutan (sustainability), diantaranya : Pengurangan ketergantungan pada kendaraan bermotor. Penyediaan infrastruktur dan servis publik yang efisian. Komunitas yang aktif melalui hunia berkepadatan tinggi. Revitalisasi pusat kota. Kota Kompak ini memang digagas tidak sekadar untuk menghemat konsumsi energi, tetapi juga diyakini lebih menjamin keberlangsungan generasi yang akan datang. Jenks menyebutkan bahwa ada suatu hubungan yang sangat kuat antara bentuk kota dengan pembangunan berkelanjutan, tetapi sebenarnya tidaklah sesederhana itu atau bahkan langsung berbanding lurus. Ini seolah-olah telah dikesankan bahwa kota yang berkelanjutan adalah Harus terdapat suatu ketepatan dalam bentuk dan skala untuk berjalan kaki, bersepeda, efisien transportasi masal, dan dengan kekompakan dan ketersediaan interaksi sosial (Elkin et.al., 1991, p.12). Namun demikian, dalam Kota Kompak ini terdapat gagasan yang kuat pada perencanaan urban containment, yakni menyediakan suatu konsentrasi dari fungsifungsi campuran secara sosial berkelanjutan (socially sustainable mixed uses), mengkonsentrasikan pembangunan-pembangunan dan mereduksi kebutuhan

perjalanan, hingga mereduksi emisi kendaraan-kendaraan. Oleh karena itu promosi penggunaan transportasi publik/masal, kenyamanan berlalu-lintas, berjalan kaki dan

bersepeda adalah sering dijadikan sebagai solusi (Elkin, et.al., 1991; Newman, 1994). Lebih lanjut, melalui perencanaan efisiensi penggunaan lahan, yang dikombinasikan dengan skema daya listrik dan pemanasan, dan bangunan hemat energi juga akan dapat mereduksi emisi-emisi polutan yang beracun. (Nijkamp and Perrels, 1994; Owens, 1992). Kepadatan tinggi dapat membantu membuat persediaan amenities (fasilitas-fasilitas) dan yang secara ekonomis viable, serta mempertinggi keberlanjutan sosial (Haughton and Hunter, 1994). Di sisi lain, meskipun dalam konsep operasionalnya sangat beragam, dewasa ini di dunia strategi kota kompak (compact city strategy) dipandang sebagai alternatif utama ide pengimplementasian pembangunan berkelanjutan dalam sebuah kota (Jenks, dkk., 1996, De Roo dan Miller, 2000, dan Kaidou, 2002). Sebagai akibatnya, ide ini diadopsi oleh banyak kota di dunia, utamanya di negara-negara maju. Kecenderungan pengadopsian ide ini, di samping membawa efek positif pada wacana pembangunan berkelanjutan, tetapi banyak pula yang diterapkan apa adanya tanpa mempertimbangkan permasalahan kota yang ada dan kekhasan sebuah kota. Ide kota kompak ini pada awalnya adalah sebuah respon dari pembangunan kota acak (urban sprawl development). Dan sangat mungkin ini adalah siklus berulang perkembangan kota dan tarik menarik kepentingan pada fungsi kota sejak 2 abad terakhir ini, silih berganti antara memusat dan menyebar (centrist dan de-centrist), seperti telah disinyalir oleh Breheny (1992). Pilihan kompak atau tidak kompak dalam menjawab masalah keberlanjutan dalam sebuah organisme kota sebenarnya sangat

bergantung pada kecenderungan, perilaku, kapasitas, fleksibiltas, dan tentunya kebijakan dalam sebuah kota. Yang lebih penting adalah optimalisasi tingkat kekompakan kota (city compactness level) dalam menjawab tantangan ini. c. Dampak Penerapan Kota Kompak Terdapat keuntungan dan kerugian dalam penerapan kota kompak. Keuntungan penerapan kota kompak antara lain : Penghematan energi. Pengurangan emisi. Peningkatan taraf hidup akibat kepadatan tinggi dan daerah peruntukan campuran Seperti telah disinggung, meskipun ide dasar kota kompak ini telah menjadi sebuah model terpopuler untuk mewujudkan sebuah kota berkelanjutan dewasa ini dan berbagai upaya penerapan modelnya tengah banyak diujicobakan, di sini perlu pula disebutkan kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Selain keuntungan yang telah

disinggung,

penerapan

sebuah

kota

kompak

secara

alami

juga

mampu

mengakibatkan beberapa kerugian, seperti : Kejenuhan kota Polusi Menurunnya keramahan penduduk Pencegahan bencana Bertambah mahalnya lahan di dalam kota. Kekhawatiran kualitas hidup yang berkurang dengan adanya upaya menaikkan kepadatan penduduk dalam kota Kemungkinan tergusurnya penduduk yang mempunyai akses lemah, termasuk orang berusia lanjut dan para miskin Pemilihan bentuk kota kompak memiliki dampak tertentu. Keuntungan dan kerugian dari bentuk kota kompak tergantung dari bagaimana merealisasikannya. Beberapa kebijakan yang biasa digunakan untuk mencapai sebuah kota kompak,yaitu: Meningkatkan biaya transportasi pribadi Mengembangkan hunian berkepadatan tinggi dan pembauran sosial. Menggabungkan fungsi-fungsi komersial.

d. Penerapan Kota Kompak di Negara Maju Pada negara-negara maju, ide dasar kota kompak telah berhasil diusung ke dalam tingkat aplikasi pada sebuah atau beberapa kebijakan kota. Hal ini karena sifat responsif mereka terhadap isu-isu model pembangunan berkelanjutan (terutama gagasan wawasan lingkungan dalam kota kompak) dan rintangan mereka pada aspek kesejahteraan masyarakat kota relatif kecil. Selain itu memang beberapa perencana meyakini secara tradisional kota-kota periode terdahulu, terutama di daratan Eropa, adalah bertipe kompak. Amerika Serikat, Eropa dengan Inggris dan Belanda sebagai pelopornya, Australia dan Jepang adalah negara-negara yang saat ini secara intensif mengaplikasikan kebijakan kota kompak dalam perencanaan ruang kotanya. Di tataran negara berkembang sejak satu dasa warsa terakhir, diskusi kota kompak pun telah berlangsung dan dicoba diaplikasikan ke dalam perencanaan kotanya. Dhaka, Delhi, Bangkok, Teheran, Kairo, Cape Town, Hongkong, Taiwan, dan banyak kota di Amerika Latin adalah banyak kota yang dilaporkan telah mengadopsi ide kota kompak melalui gerakan kembali ke pusat kota. (Jenks dan Burges, 2000, De Roo dan Miller,

2000, dan Koide, 2001). Tidak dipungkiri bahwa gagasan Kota Kompak didominasi oleh model dasar dari pembangunan yang padat dari banyak kota-kota bersejarah di Eropa. Maka tidak mengherankan jika para penganjur paling kuat bagi Kota Kompak adalah Komunitas Eropa (Commission of the European Communities, 1990). Penerapan Urban Redevelopment di Jepang Di Jepang, program sejenis dengan label Urban Redevelopment mulai menjadi patokan pembangunan berwawasan lingkungan, terutama dijalankan melalui

pembangunan kembali ke pusat kota. Secara prinsip tujuannya sama, yakni mengoptimalkan pembangunan yang dikonsentrasikan di dalam kota. Bedanya di model

Inggris karena bersifat nasional penerapannya hampir seragam pada semua tataran lokal. Di Jepang, program ini bersifat kuasi-nasional dengan interpretasi

penerapannya yang sangat beragam di berbagai kota di Jepang. Meskipun begitu, ide yang sejalan dengan perujudan kota kompak masih menjadi ide inti dari program ini. Ragam penerapan konsep kota kompak pada beberapa kota di Jepang (modifikasi dan kompilasi dari Koide, 2001 dan Kaidou, 2002). Tipe penerapan konsep kota kompak di Jepang sangatlah bervariasi. Kota Aomori di utara Pulau Honshu yang sangat bersalju pada musim dingin, menampakkan kemajuan cepat pada pengkonsentrasian kegiatan di sekitar stasiun di pusat kota kurang dari 5 tahun belakang ini (Harian Nikkei, April 2006). Kota Fukui di daerah Hokuriku di sebelah barat lebih menitikkan perwujudan kota kompak melalui kebijakan TOD (Transit Oriented Development) yakni pembangunan hanya

diperkenankan pada jalur-jalur transportasi umum. Kota Kobe selepas gempa pada tahun 1995 juga telah menyesuaikan tata ruangnya kembali terkonsentrasi di pusat kota dan kompak serta diawali dengan konsep serupa mulai dari wilayah lokalnya. Sedangkan Kota Sendai menjalankan pembangunan kembali ke pusat kota melalui kebijakan TOD dan kebijakan pengoptimalan transportasi umum semacam park and ride bagi penduduk yang datang dari wilayah peri-perinya. Di kota-kota ukuran menengah dan besar lainnya, pembangunan apartemen dan kondominium pun terlihat diprioritaskan di daerah-daerah CBD (central business district) dan beberapa kawasan (lama) yang dioptimalkan kembali melalui program revitalisasi (urban revitalization) atau pembangunan kembali (urban redevelopment). Di tingkat lokal wilayah melalui sistem perencanaan berbasis komunitas (machi zukuri), terminologi pengkonsentrasian kegiatan semacam kota kompak ini pun telah pula menjadi pengetahuan umum sehari-hari. Ini pula yang menyebabkan kesadaran

untuk hidup lebih baik dan dukungan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Jepang pada program ini pun terlihat positif. Penerapan Kota Kompak di Negara Berkembang Berdasar analisis Jenks dan Burgess (2000), ide kota kompak masih jauh penerapannya pada negara-negara berkembang, dikarenakan mereka masih menghadapi masalah lebih serius pada pemenuhan kebutuhan dasar hidup dan lapangan pekerjaan mereka dibanding prioritas perujudan pembangunan

berkelanjutan. Hampir semua masalah yang terjadi di banyak negara berkembang ini berpangkal pada masalah ekonomi mereka yang lebih rendah dari pada negara maju pada umumnya. Seperti di Kalkuta, India atau Dhaka, Bangladesh, dari segi kepadatan penduduk dan penggunaan transportasi tak bermotor sehari-hari sebenarnya telah memenuhi syarat pembangunan berkelanjutan. Tapi sayang, hal ini bukan merupakan hasil penerapan sebuah kebijakan, tapi lebih diakibatkan masalah ekonomi seperti rendahnya pendapatan per kapita mereka. Pada kenyataannya mega-cities di Negara berkembang sudah sangat kompak dalam arti sudah sangat padat. Tetapi kenyataan ini tidak berarti bahwa kota-kota tersebut sustainaible. Hunian berkepadatan tinggi di negara berkembang sebenarnya merupakan fenomena keluarga besar miskin yang hidup bersama minimnya transportasi publik yang menghambat penduduk untuk berpindah ke pinggiran kota. Sulit untuk menerapkan konsep kota kompak secara utuh ke dalam perencanaan kota di Negara berkembang karena banyaknya permasalahan yang ada. Pada umumnya permasalahan di kota-kota Negara berkembang adalah sebagai berikut : Kurangnya infrastruktur social yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang melebihi pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya hunian liar (squatter). Spekulasi tanah. Sulitnya urban redevelopment melalui demolisi permukiman kumuh. Lemahnya sistem transportasi publik. Meskipun demikian, beberapa inovasi pemerintah lokal seperti yang terjadi di Bangkok dan Hongkong, serta banyak negara di Amerika Latin untuk membangun kotanya sejalan dengan isu terhangat ini menjadi catatan tersendiri bahwa kebijakan ini pun bisa secara positif memacu timbulnya peningkatan performa ekonomi di wilayah-wilayah itu.

PERENCANAAN KOTA PASCA REVOLUSI INDUSTRI

OLEH : WESTI SUSI AYSA D521 10 280

PENGEMBANGAN WILAYAH KOTA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

Anda mungkin juga menyukai