Anda di halaman 1dari 15

Nama: Asri Alim Nasruddin

Nim: D0321301
Kelas: Pwk B
Mata Kuliah: Infrastruktur dan Transportasi

Resume Jurnal Perencanaan dan Pemodelan Transportasi

• Perencanaan dan pemodelan transportasi


Permasalahan transportasi dan teknik perencanaannya mengalami revolusi yang pesat sejak
tahun 1980-an. Pada saat ini kita masih merasakan banyak permasalahan transportasi yang
sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1960-an dan 1970-an, misalnya kemacetan, polusi suara dan
udara, kecelakaan, dan tundaan. Permasalahan transportasi yang sudah ada sejak dulu bisa saja
masih dijumpai pada masa sekarang, tetapi dengan tingkat kualitas yang jauh lebih parah dan
kuantitas yang jauh lebih besar; mungkin saja mempunyai bentuk lain yang jauh lebih kompleks
karena semakin banyaknya pihak yang terkait sehingga lebih sukar diatasi.

Pada akhir tahun 1980-an, negara maju memasuki tahapan yang jauh lebih maju dibandingkan
dengan 20 tahun yang lalu di sektor perencanaan dan pemodelan transportasi. Hal ini disebabkan
antara lain oleh pesatnya perkembangan pengetahuan mengenai elektronika dan peralatan
komputer yang memungkinkan berkembangnya beberapa konsep baru mengenai sistem prasarana
transportasi, sistem pergerakan, dan peramalan kebutuhan akan transportasi yang tidak pernah
terpikirkan pada masa lalu.

Tersedianya peralatan komputer yang murah dan berkecepatan tinggi telah mengakibatkan
hilangnya anggapan bahwa teknik komputasi selalu membatasi perkembangan teknik perencanaan
dan pemodelan transportasi. Selain itu, dapat dikatakan di sini bahwa proses perencanaan
merupakan bagian dari proses pengambilan keputusan atau kebijakan. Dengan kata lain, para
pengambil keputusan atau kebijakan akan menggunakan hasil dari perencanaan sebagai alat bantu
dalam mengambil keputusan.

Banyak negara sedang berkembang menghadapi permasalahan transportasi dan beberapa di


antaranya sudah berada dalam tahap sangat kritis. Permasalahan yang terjadi bukan saja
disebabkan oleh terbatasnya sistem prasarana transportasi yang ada, tetapi sudah ditambah lagi
dengan permasalahan lainnya. Pendapatan rendah, urbanisasi yang sangat cepat, terbatasnya
sumber daya, khususnya dana, kualitas dan kuantitas data yang berkaitan dengan transportasi,
kualitas sumber daya manusia, tingkat disiplin yang rendah, dan lemahnya sistem perencanaan dan
kontrol membuat permasalahan transportasi menjadi semakin parah.

Di Indonesia, permasalahan transportasi sudah sedemikian parahnya, khususnya di beberapa


kota besar seperti DKI-Jakarta, Surabaya, Medan, dan Bandung. Kota yang berpenduduk lebih
dari 1−2 juta jiwa dapat dipastikan mempunyai permasalahan transportasi. Pada akhir tahun 2000,
diperkirakan hampir semua ibukota propinsi dan beberapa ibukota kabupaten akan berpenduduk
di atas 1−2 juta jiwa sehingga permasalahan transportasi tidak bisa dihindarkan. Hal ini merupakan
lampu merah bagi para pembina daerah perkotaan di Indonesia karena mereka akan dihadapkan
pada permasalahan baru yang memerlukan pemecahan yang baru pula, yaitu permasalahan
transportasi perkotaan.

Kota kecil juga mempunyai permasalahan transportasi yang perlu pemecahan secara dini pula,
namun pada umumnya masih dalam skala kecil dan pemecahannya tidak memerlukan biaya besar
dan waktu lama. Dengan demikian, peranan perencanaan dan pemodelan transportasi dalam
merencanakan pembangunan sistem prasarana transportasi, pengembangan wilayah, dan lain-
lainnya menjadi semakin terlihat nyata.

Pada beberapa negara sedang berkembang, khususnya Indonesia, sektor pertanian konvensional
secara perlahan terlihat semakin kurang menarik dan tidak lagi diminati, terutama oleh generasi
muda. Di sisi lain, perkotaan menawarkan begitu banyak kesempatan, baik di sektor formal
maupun informal. Tambahan lagi, pertumbuhan wilayah di daerah pedalaman lebih lambat
dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal ini menyebabkan tersedia lebih banyak lapangan
kerja serta upah dan gaji yang jauh lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan di daerah
pedalaman.

Semua hal ini merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi para petani di daerah pedalaman
untuk berurbanisasi ke daerah perkotaan. Di mana ada gula, pasti akan banyak semut yang datang
menghampiri. Hal ini mendukung pernyataan yang mengatakan bahwa proses urbanisasi yang
sangat cepat telah terjadi beberapa tahun belakangan ini pada beberapa kota besar di Indonesia,
khususnya DKI-Jakarta.
Namun, sebesar apa pun kota tersebut dengan segala kelengkapannya, pasti mempunyai
keterbatasan berupa batas daya dukung lahan. Jika batas tersebut sudah terlampaui, akan terjadi
dampak yang sangat merugikan. Dalam konteks kota di Indonesia, fenomena kota bermasalah
sudah mulai terlihat, yang diperkirakan akan terus berkembang menjadi persoalan yang semakin
rumit seiring dengan semakin tingginya laju urbanisasi. Hal ini sulit dihindari karena daerah
perkotaan sudah terlanjur dianggap sebagai penyedia berbagai macam lapangan pekerjaan.

Tingginya urbanisasi secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai akibat dari tidak meratanya
pertumbuhan wilayah di Indonesia; antara daerah pedalaman dengan daerah perkotaan. Semakin
besar perbedaan tingkat pertumbuhan wilayah tersebut, semakin tinggi pula tingkat urbanisasi
yang pada gilirannya akan menimbulkan beberapa permasalahan perkotaan, khususnya di sektor
transportasi. Tambahan lagi, proses urbanisasi dan industrialisasi selalu terjadi secara hampir
bersamaan, terutama di negara yang beralih dari negara pertanian ke negara industri. Indonesia,
pada saat ini, tergolong negara yang sedang bergerak menuju negara semi industri.

Beberapa data kota besar di dunia menyatakan bahwa semakin tinggi intensitas industri di
daerah tersebut, semakin tinggi pula tingkat urbanisasinya. Hal ini mungkin karena, berdasarkan
Teori Lokasi, lokasi industri yang sangat efektif dan efisien berada di dekat pasar, yaitu daerah
perkotaan. Industri tersebut memberikan lapangan pekerjaan yang cukup tinggi dan dengan sistem
penggajian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan daerah pedalaman. Hal ini yang
menyebabkan tingkat urbanisasi yang cukup tinggi.

• Pendekatan perencanaan transportasi

Tujuan dasar para perencana transportasi adalah memperkirakan jumlah serta lokasi kebutuhan
akan transportasi (misalnya menentukan total pergerakan, baik untuk angkutan umum maupun
angkutan pribadi) pada masa mendatang atau pada tahun rencana yang akan digunakan untuk
berbagai kebijakan investasi perencanaan transportasi. Agar lebih terarah dan jelas, penjelasan
berikut akan diarahkan pada perencanaan transportasi di daerah perkotaan.

Terdapat beberapa skala atau periode waktu dalam perencanaan sistem transportasi perkotaan,
yaitu: skala panjang, menengah, dan pendek. Jangka waktu perencanaan bisa sangat lama
(misalnya 25 tahun) yang biasanya digunakan untuk perencanaan strategi pembangunan kota
berjangka panjang. Strategi ini akan sangat dipengaruhi oleh perencanaan tata guna lahan dan
perkiraan arus lalulintas dalam perencanaan ini biasanya dikategorikan berdasarkan moda dan rute.
Kajian tersebut biasa dilakukan untuk merencanakan kota baru.

Kajian lainnya adalah kajian transportasi berskala pendek, dengan tahun rencana maksimum 5
tahun. Kajian ini biasanya berupa kajian manajemen transportasi yang lebih menekankan dampak
kebijakan manajemen lalulintas terhadap perubahan rute suatu moda transportasi. Kajian tersebut
pada dasarnya bersifat sangat teknis karena dampak tata guna lahan tidak begitu signifikan pada
waktu yang sangat singkat.

Di antara kedua kajian tersebut terdapat kajian transportasi berskala menengah dengan umur
perencanaan sekitar 10−20 tahun di masa mendatang. Kajian semacam ini telah dimulai sejak
tahun 1950-an di Amerika Serikat, dilakukan minimal sekali pada hampir semua kota besar di
Amerika Serikat dan di beberapa negara dunia ketiga. Di Indonesia, yaitu di DKI-Jakarta,
Surabaya, Bandung, dan Medan telah pula dilakukan kajian semacam itu pada waktu 10 tahun
belakangan ini.

Teori, model, dan metode yang digunakan dalam kajian transportasi berskala menengah
merupakan topik utama buku ini. Buku ini menjelaskan hubungan dalam bentuk kuantitatif (model
matematis) yang dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya kebutuhan akan transportasi
sebagai akibat adanya kegiatan yang dilakukan pada tata guna lahan. Hubungan dan model yang
dikembangkan digunakan untuk lebih memahami hubungan yang terjadi dalam suatu kota, yaitu
antara tata guna lahan (kegiatan), transportasi (jaringan), dan lalulintas (pergerakan). Model
tersebut harus dengan mudah dapat dimodifikasi dan diperbaiki secara terus menerus. Hal ini
sering dilakukan oleh pemerintah untuk meramalkan arus lalulintas yang nantinya menjadi dasar
perencanaan investasi untuk suatu fasilitas transportasi yang baru.

• Konsep pemodelan

Pada bab 2 telah dijelaskan kaitan antara sistem tata guna lahan (kegiatan), sistem prasarana
transportasi (jaringan), dan sistem arus lalulintas (pergerakan) dengan panjang lebar (kualitatif).
Selain itu, pendekatan kuantitatif juga dibutuhkan untuk mendapatkan penjelasan atau gambaran
yang lebih jelas serta terukur mengenai kaitan tersebut. Dalam pendekatan secara ‘sistem’, cara
tersebut dikenal dengan pemodelan sistem. Model adalah alat bantu atau media yang dapat
digunakan untuk mencerminkan dan menyederhanakan suatu realita (dunia sebenarnya) secara
terukur; beberapa di antaranya adalah:

• model fisik (model arsitek, model teknik, wayang golek, dan lain-lain);
• model peta dan diagram;
• model statistik dan matematik (fungsi atau persamaan) yang dapat menerangkan secara
terukur beberapa aspek fisik, sosial ekonomi, atau model transportasi.

Semua model merupakan penyederhanaan realita untuk mendapatkan tujuan tertentu, yaitu
penjelasan dan pengertian yang lebih mendalam serta untuk kepentingan peramalan. Ilmu
arsitektur mengenal model maket (bentuk fisik rencana pengembangan wilayah, kota, kawasan,
dan lain-lainnya sebagai cerminan realita dalam skala yang lebih kecil).

Kegunaan model maket tersebut adalah untuk dapat memperlihatkan dan menjelaskan
perkembangan wilayah tersebut jika konsep pengembangan dilakukan. Dengan demikian, kita
dapat mengetahui apa saja yang perlu dilengkapi oleh para perencana atau pengembang dengan
hanya melihat dan mempelajari model maket tersebut. Beberapa simulasi skenario dapat dilakukan
pada model sehingga dapat dipilih rencana pengembangan yang optimum yang sesuai dengan
tujuan awal pembangunan. Dengan kata lain, realita yang ada disederhanakan dan dicerminkan
dengan menggunakan model maket.

Ilmu teknik sipil juga mengenal model maket ini, misalnya rencana pembangunan suatu
bendungan besar yang dipelajari dulu karakteristiknya di laboratorium dengan membuat
bendungan yang sama dengan skala yang jauh lebih kecil. Dengan model tersebut bisa didapatkan
gambaran yang lebih jelas dan rinci serta terukur mengenai perilaku bendungan jika dibangun
dengan skala sebenarnya. Beberapa uji atau simulasi berbagai kondisi kritis dapat dilakukan
sehingga dapat dihasilkan rencana yang paling efisien, aman, atau memenuhi kriteria lain yang
disyaratkan. Hal ini dibutuhkan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan jika bendungan
langsung dibangun. Tambahan lain, di negara Belanda yang terkenal dengan bendungan besar dan
kecil, kita bahkan dapat menemukan model maket bendungan dengan skala 1:1.

Di bidang pariwisata, penggunaan model miniatur (bagian dari model fisik) sangat populer dan
sangat sering kita dijumpai di beberapa tempat penjualan miniatur objek pariwisata (misalnya
miniatur candi Borobudur). Miniatur tersebut sebenarnya merupakan model (replika) candi
borobudur dalam skala lebih kecil dan berbentuk 3-dimensi. Dengan demikian, seseorang di kota
Banda Aceh tidak perlu mengeluarkan biaya besar untuk jauh-jauh pergi ke Yogyakarta untuk
melihat candi tersebut (realita), tetapi dapat membayangkannya dengan hanya mengamati model
miniatur tersebut.

Model peta dan diagram menggunakan media garis (lurus dan lengkung), warna, notasi, dan
lain-lainnya untuk menggambarkan realita. Misalnya, dalam model kontur ketinggian, dengan
hanya menggunakan garis lengkung, kita dapat membayangkan realita dengan hanya melihat
model kontur ketinggian itu. Informasi lain yang tidak diperlukan tidak ditampilkan (misalnya tata
guna lahan, lokasi jembatan, jalan, jenis tanah, kondisi geologi). Beberapa perencanaan tahap
berikutnya dapat dilakukan tanpa perlu melihat lapangan atau lokasi sebenarnya, cukup dengan
hanya melihat model kontur itu.

Peta topografi dapat memperlihatkan informasi kemiringan tanah, ketinggian, lokasi sungai dan
jembatan, gunung, batas administrasi pemerintahan, dan lain-lain. Peta tata guna lahan dapat
memperlihatkan jenis peruntukan lahan suatu wilayah, misalnya daerah industri, permukiman,
hutan lindung, perkantoran, dan fasilitas sosial. Akan tetapi, informasi tentang hal lain yang tidak
dibutuhkan tidak diperlihatkan dalam model topografi tersebut. Jadi, model itu merupakan
penyederhanaan dan cerminan realita.

Selain itu, dengan hanya menggunakan media informasi garis dan angka dalam suatu peta
kontur, seseorang (ahli geodesi) dapat langsung membayangkan perkiraan situasi dan kondisi
lapangan sebenarnya (realita) tanpa harus pergi ke lapangan; cukup dengan hanya melihat peta
kontur tersebut. Foto, sketsa atau peta dapat dikategorikan sebagai model 2-dimensi (sudah barang
tentu berskala lebih kecil) karena dapat merepresentasikan realita dengan cara yang lebih
sederhana.

Beberapa model dapat mencerminkan realita secara tepat. Secara umum dapat dikatakan bahwa
semakin mirip suatu model dengan realitanya, semakin sulit membuat model tersebut (wayang
golek lebih mirip dengan manusia dibandingkan dengan wayang kulit, sehingga lebih sulit
melaksanakan pertunjukan wayang golek). Model canggih belum tentu merupakan model yang
baik − kadang-kadang model sederhana dapat menghasilkan keluaran yang jauh lebih baik dan
sesuai untuk tujuan tertentu dengan situasi dan kondisi tertentu pula.
• Model bangkitan pergerakan

Seperti telah diterangkan pada bab sebelumnya, tahapan bangkitan pergerakan bertujuan
mendapatkan jumlah pergerakan yang dibangkitkan oleh setiap zona asal (Oi) dan jumlah
pergerakan yang tertarik ke setiap zona tujuan (Dd) yang ada di dalam daerah kajian. Selain itu,
permasalahan juga dapat dilihat dari sisi lain sebagai permasalahan dalam pemilihan frekuensi
pergerakan, seperti berapa besar pergerakan dengan tujuan berbelanja yang dilakukan oleh
seseorang selama satu minggu? Hal ini biasanya ditangani oleh model pemilihan diskret seperti
yang akan dijelaskan pada bab 6.

Dalam bab itu permasalahan dinyatakan dengan cara lain, misalnya berapa besar peluang
seseorang melakukan 0, 1, 2+ (dua atau lebih) pergerakan dengan tujuan tertentu selama satu
minggu. Dalam bab ini kita mempertimbangkan pendekatan pertama (misalnya meramalkan total
pergerakan Oi dan Dd dari data atribut sosio-ekonomi rumah tangga), yang paling sering
digunakan dalam berbagai kajian sampai dengan akhir tahun 1980-an. Pembaca yang berminat
pada pendekatan model pemilihan diskret dapat membaca Ben Akiva and Lerman (1985) serta bab
6 buku ini.

Kita akan mulai dengan mendefinisikan beberapa konsep dasar yang digunakan dan kemudian
mempelajari beberapa faktor yang mempengaruhi bangkitan dan tarikan pergerakan. Kemudian,
akan diulas beberapa pendekatan utama dalam tahap pemodelan ini, dimulai dari teknik yang
paling sederhana (metode faktor pertumbuhan). Sebelum menggunakan pendekatan yang lebih
kompleks, akan diperkenalkan sedikit cara melakukan pemodelan analisis regresi-linear.

Kemudian, akan dipertimbangkan model bangkitan dan tarikan pergerakan berbasis zona dan
berbasis rumah tangga. Kita akan mempertimbangkan untuk pertama kalinya permasalahan
pengelompokan yang mempunyai solusi trivial yang disebabkan oleh bentuk linear model tersebut.
Kemudian, akan diteruskan dengan metode analisis kategori silang − kita akan mempelajari tidak
hanya spesifikasi analisis kategori-orang, tetapi juga pendekatannya. Bab ini diakhiri dengan
penjelasan tentang prosedur peramalan peubah yang digunakan untuk memodel bangkitan
pergerakan pada masa mendatang.
• Model sebaran pergerakan

Pemodelan bangkitan pergerakan telah diterangkan pada bab 4 secara rinci. Di situ diperkirakan
besarnya pergerakan yang dihasilkan dari zona asal dan yang tertarik ke zona tujuan. Besarnya
bangkitan dan tarikan pergerakan merupakan informasi yang sangat berharga yang dapat
digunakan untuk memperkirakan besarnya pergerakan antarzona. Akan tetapi, informasi tersebut
tidaklah cukup. Diperlukan informasi lain berupa pemodelan pola pergerakan antarzona yang
sudah pasti sangat dipengaruhi oleh tingkat aksesibilitas sistem jaringan antarzona dan tingkat
bangkitan dan tarikan setiap zona.

Berbagai macam metode yang pernah dikembangkan akan dijelaskan, dimulai dari metode
sangat sederhana yang hanya cocok untuk jangka pendek sampai dengan metode yang dapat
menampung pengaruh perubahan aksesibilitas terhadap sebaran pergerakan yang mungkin terjadi
pada perencanaan jangka panjang.

Bab ini dimulai dengan penjelasan proses terjadinya pergerakan (subbab 5.1) dan pentingnya
informasi mengenai matriks pergerakan dan beberapa kegunaannya (subbab 5.2). Selanjutnya,
disampaikan penjelasan umum mengenai pengelompokan metode yang telah dikembangkan dan
subbab yang menerangkan definisi dan notasi yang digunakan dalam penjelasan atau pun
penurunan rumus (subbab 5.3).

Subbab berikutnya (subbab 5.4) menjelaskan metode Konvensional yang terdiri dari metode
Langsung dan metode Tidak Langsung. Penjelasan singkat mengenai metode Langsung diberikan
berikut keuntungan dan kerugiannya, diteruskan dengan penjelasan mengenai metode Tidak
Langsung. Penjelasan tentang metode Tidak Konvensional diterangkan secara terpisah pada bab
9.

Metode Tidak Langsung ini dijelaskan dalam dua bagian; bagian pertama (subbab 5.5)
menjelaskan metode Analogi, yaitu metode yang hanya mempertimbangkan faktor pertumbuhan
tanpa memperhitungkan adanya perubahan aksesibilitas sistem jaringan transportasi. Metode ini
hanya cocok untuk perencanaan jangka pendek atau perencanaan tanpa adanya perubahan
aksesibilitas yang nyata dalam sistem jaringannya. Beberapa keuntungan dan kerugian metode
Analogi juga diterangkan dalam subbab ini.
Bagian kedua (subbab 5.6) menjelaskan metode Sintetis yang mempertimbangkan adanya
perubahan aksesibilitas, selain juga faktor pertumbuhan. Berbagai macam model diberikan yaitu
model gravity (GR) (subbab 5.7), model interveningopportunity (IO) (subbab 5.8), dan model
gravity-opportunity (GO) (subbab 5.9) berikut penurunan setiap model secara teori, contoh
penggunaannya, proses kalibrasi model, serta kelebihan dan kekurangannya. Bab ini diakhiri
dengan penjelasan tentang ketelitian matriks yang dihasilkan oleh metode Konvensional (subbab
5.10).

• Model pemilihan moda

Pemodelan sebaran pergerakan diterangkan pada bab 5 secara rinci. Di situ diperkirakan
besarnya pergerakan dari setiap zona asal ke setiap zona tujuan. Besarnya pergerakan tersebut
ditentukan oleh besarnya bangkitan setiap zona asal dan tarikan setiap zona tujuan serta tingkat
aksesibilitas sistem jaringan antarzona yang biasanya dinyatakan dengan jarak, waktu, atau biaya
(biaya gabungan). Akan tetapi, besarnya pergerakan yang menggunakan moda transportasi tertentu
belum dapat teridentifikasi pada tahapan sebaran pergerakan. Untuk itu, dalam tahapan pemilihan
moda ini akan diidentifikasi besarnya pergerakan antarzona yang menggunakan setiap moda
transportasi tertentu. Dalam bab ini kita mendiskusikan pemilihan moda sebagai masalah agregat.
Sangatlah menarik bahwa pendekatan yang sama dapat juga digunakan untuk menurunkan model
sebaran pergerakan.

Bab ini dimulai dengan penjelasan tentang faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan moda
(subbab 6.2). Subbab berikutnya menjelaskan beberapa model pemilihan moda yang telah
dikembangkan, yaitu model pemilihan moda ujungperjalanan (subbab 6.3) dan model pemilihan
moda pertukaran-perjalanan (subbab 6.4). Subbab 6.5 menjelaskan keterkaitan model pemilihan
moda dengan tahapan model perencanaan transportasi lainnya. Subbab 6.6 menjelaskan secara
rinci beberapa model sintetis meliputi model kombinasi sebaran pergerakan−pemilihan moda,
model pemilihan multimoda, model logit-biner, dan model pemilihan moda berhierarki.

Setelah itu, kita mengkaji model penaksiran bangkitan, sebaran dan pemilihan moda secara
simultan, yang biasa disebut model kebutuhan-langsung (subbab 6.7). Model jenis ini dihasilkan
pertama sekali pada tahun 1960-an, kemudian terlupakan selama tahun 1970-an, dan mulai
mendapat perhatian kembali sampai akhir tahun 1980-an. Salah satunya adalah model simultan
yang dikembangkan oleh Laboratorium Rekayasa Lalulintas, Jurusan Teknik Sipil, ITB pada tahun
1997 untuk memodel kebutuhan akan pergerakan angkutan barang di pulau Jawa.

Pemilihan moda mungkin merupakan model terpenting dalam perencanaan transportasi. Hal ini
disebabkan karena peran kunci dari angkutan umum dalam berbagai kebijakan transportasi. Tidak
seorang pun dapat menyangkal bahwa moda angkutan umum menggunakan ruang jalan jauh lebih
efisien daripada moda angkutan pribadi. Selain itu, kereta api bawah tanah dan beberapa moda
transportasi kereta api lainnya tidak memerlukan ruang jalan raya untuk bergerak sehingga tidak
ikut memacetkan lalulintas jalan.

Seterusnya, jika ada pengendara yang berganti ke moda transportasi angkutan umum, maka
angkutan pribadi mendapatkan keuntungan dari perbaikan tingkat pelayanan akibat pergantian
moda tersebut. Sangatlah tidak mungkin menampung semua kendaraan pribadi di suatu kota
karena dibutuhkan ruang jalan yang sangat luas, termasuk tempat parkir. Oleh karena itu, masalah
pemilihan moda dapat dikatakan sebagai tahap terpenting dalam berbagai perencanaan dan
kebijakan transportasi. Hal ini menyangkut efisiensi pergerakan di daerah perkotaan, ruang yang
harus disediakan kota untuk dijadikan prasarana transportasi, dan banyaknya pilihan moda
transportasi yang dapat dipilih penduduk.

Masalah yang sama juga terjadi untuk pergerakan antarkota karena moda transportasi kereta
api lebih efisien dalam memindahkan manusia dan barang dibandingkan dengan moda transportasi
jalan raya. Akan tetapi, moda transportasi jalan raya mempunyai beberapa kelebihan, yaitu
mobilitasnya tinggi dan dapat bergerak kapan saja. Oleh karena itu, model tersebut sangat
diperlukan untuk memodel pergerakan yang peka terhadap atribut pergerakan yang mempengaruhi
pemilihan moda. Akan kita lihat bagaimana hal ini bisa didapatkan dengan pendekatan agregat.

Dalam subbab 6.8 secara lebih menyeluruh disampaikan pendahuluan tentang metode
pemodelan pemilihan diskret (misalnya apabila setiap individu memilih dari satu set alternatif
yang tersedia). Kita mulai dengan beberapa pertimbangan umum dan kemudian diteruskan dengan
penjelasan kerangka teori secara umum yaitu teori utilitas acak. Hal ini memerlukan penjelasan
tentang terminologi dasar. Diterangkan pula dalam subbab 6.9 model pemilihan diskret yang
populer digunakan; model logit-multinomial (LM) yang merupakan kelompok model yang dapat
digunakan oleh para praktisi sebagai alat bantu pemodelan yang sangat baik. Pada subbab 6.10
akan diberikan contoh aplikasi model logit-biner dalam memodel pemilihan moda antara kereta
api dengan jalan raya.

• Model pemilihan rute

Beberapa bab terdahulu menerangkan secara rinci beberapa model utama dalam perencanaan
transportasi, meliputi model bangkitan dan tarikan, model sebaran pergerakan, dan model
pemilihan moda yang sangat sering digunakan untuk mencerminkan kebutuhan akan transportasi
di dalam suatu daerah kajian. Bab 7 ini akan menjelaskan proses pemilihan rute dari setiap
pergerakan yang terjadi dalam proses pencapaian zona tujuannya. Akan dijelaskan pula bagian sisi
penyediaan dari pemodelan transportasi serta kondisi keseimbangan antara kebutuhan dan
penyediaan transportasi. Sisi penyediaan suatu sistem transportasi telah dijelaskan pada bab 3 yang
menerangkan pendefinisian sistem zona dan sistem jaringan. Sistem jaringan, yang untuk kasus
angkutan umum dapat berupa frekuensi dan kapasitas, merupakan unsur utama sisi penyediaan
dalam transportasi.

Dalam pemikiran secara ekonomi yang sederhana, proses pertukaran barang dan jasa dapat
terjadi sebagai akibat dari kombinasi antara kebutuhan dan penyediaan. Titik keseimbangan
kombinasi ini menjelaskan harga barang yang diperjualbelikan serta jumlahnya di pasar. Titik
keseimbangan (p* ,q* ) didapat jika biaya marginal produksi dan penjualan barang sama dengan
keuntungan marginal yang didapat dari hasil penjualan tersebut.

Teori ekonomi menyangkal bahwa kondisi keseimbangan ini secara praktis tidak pernah
tercapai karena sistem harga dan tingkat produksi tidak selalu dapat langsung berubah sesuai
dengan perubahan daya beli, selera, teknologi, dan teknik produksi. Tetapi, konsep keseimbangan
sangatlah berharga dalam usaha memahami permasalahan kegiatan ekonomi dan peramalannya
pada masa mendatang.

Oleh sebab itu, sangatlah penting mempelajari penggunaannya dalam konteks sektor
transportasi. Sisi penyediaannya, yaitu berupa sistem jaringan transportasi S(L,C), dapat
dinyatakan dalam bentuk ruas jalan L (termasuk simpulnya) serta biaya transportasi C. Biaya
tersebut merupakan fungsi dari sejumlah atribut yang terkait pada ruas jalan seperti jarak,
kecepatan arus bebas, kapasitas, dan hubungan kecepatan−arus.
• Model transportasi berdasarkan data arus lalulintas

Kemacetan dan tundaan di daerah perkotaan merupakan masalah yang sangat kritis yang
dihadapi banyak kota besar di negara sedang berkembang, misalnya Indonesia. Permasalahan ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti urbanisasi, pertumbuhan penduduk yang pesat, laju
pertumbuhan ekonomi, dan pertumbuhan lalulintas yang tinggi. Di Indonesia, masalah kemacetan
ini timbul di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan akan diikuti oleh
beberapa kota lainnya pada akhir tahun 2000.

Kemacetan, keterlambatan, polusi suara, polusi udara, dan pencemaran lingkungan merupakan
sebagian permasalahan tersebut. Untuk mengatasinya perlu dilakukan beberapa tindakan seperti
menambah jaringan jalan, menerapkan manajemen lalulintas, menetapkan kebijakan transportasi,
termasuk angkutan umum. Untuk itu diperlukan informasi mengenai pola perjalanan atau
pergerakan manusia dan/atau barang yang biasanya diwakili dengan Origin−Destination Matrix
(O−D Matrix) atau Matriks Asal−Tujuan (MAT).

Jika MAT ini dibebankan ke jaringan jalan, dihasilkan pola arus lalulintas. Dengan mempelajari
pola tersebut, kita dapat mengidentifikasi permasalahan yang terjadi pada jaringan jalan dan
selanjutnya beberapa solusi bisa diperoleh. Oleh karena itu, informasi tentang MAT berperan
sangat penting dalam usaha menanggulangi masalah kemacetan di kota besar. Contohnya, agar
suatu ‘kebijakan transportasi’ dapat dikatakan berhasil, perlu diketahui pola perjalanan sebelum
dan sesudah kebijakan tersebut diterapkan.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya pada bab 5, Matriks Asal−Tujuan (MAT) merupakan
masukan utama yang paling sering digunakan dalam berbagai macam perencanaan dan manajemen
sistem transportasi. Dapat dikatakan bahwa MAT ‘yang sebenarnya terjadi’ di lapangan tidak akan
pernah bisa diketahui oleh siapa pun sehingga para peneliti mengembangkan berbagai macam
metode beberapa tahun belakangan ini untuk dapat memperkirakan MAT tersebut. Metode
penaksiran digolongkan menjadi dua kelompok.

Kelompok pertama disebut metode konvensional, yang secara langsung menaksir sampel MAT
dari lapangan. Beberapa jenis survei yang tergolong dalam metode ini adalah survei wawancara di
rumah dan di tepi jalan, metode menggunakan-bendera, foto udara, atau kombinasinya yang
penggunaannya sangat tergantung pada permasalahan yang dihadapi dan sumber daya yang
tersedia. Tetapi, metode konvensional ini cenderung membutuhkan biaya yang sangat mahal dan
tenaga kerja yang sangat banyak, sangat mengganggu pergerakan arus lalulintas, dan yang
terpenting, hasil akhirnya hanya berlaku untuk selang waktu yang singkat (penjelasan mengenai
metode ini didapat pada bab 6).

Kelompok yang kedua disebut metode tidak konvensional, yang hanya membutuhkan biaya
sangat murah berupa informasi data arus lalulintas yang banyak tersedia dan mudah didapat.
Metode penaksiran ini banyak mendapat perhatian para peneliti pada beberapa tahun belakangan
ini karena keuntungannya secara ekonomi. Keuntungan tersebut bisa didapat karena metode ini
hanya membutuhkan data arus lalulintas yang sangat murah dan mudah mendapatkannya jika
dibandingkan dengan survei lain yang membutuhkan waktu yang sangat lama, tenaga kerja yang
banyak, serta pekerjaan survei yang intensif yang tentu lebih mahal.

• Masalah transportasi di negara sedang berkembang

Seperti di negara sedang berkembang lainnya, berbagai kota besar di Indonesia berada dalam
tahap pertumbuhan urbanisasi yang tinggi akibat laju pertumbuhan ekonomi yang pesat sehingga
kebutuhan penduduk untuk melakukan pergerakan pun menjadi semakin meningkat. Mobil
sebagai kendaraan pribadi sangat menguntungkan, terutama dalam hal mobilitas pergerakannya.
Jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan di Indonesia diperkirakan meningkat dari tahun
ke tahun akibat tingginya tingkat urbanisasi ini.

Urbanisasi dan industrialisasi selalu terjadi secara bersamaan, terutama di negara yang beralih
dari negara pertanian ke negara industri. Indonesia, pada tahun 1990- an, tergolong negara yang
sedang bergerak menuju negara semi industri. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1950, kota yang
berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa hanyalah Jakarta. Pada tahun 1970, kota Bandung dan Surabaya
berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, dan pada tahun 1990 terdapat 8 kota di Indonesia yang
berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa, termasuk Medan, Semarang, Bogor, Ujung Pandang, dan
Palembang.

Sebagai ilustrasi lain, Jakarta pada tahun 1990 mempunyai penduduk 8,2 juta jiwa (17% dari
total penduduk perkotaan di Indonesia). Mari kita bandingkan dengan penduduk kota besar lain di
dunia pada tahun yang sama: New York (8,7%), Los Angeles (6,4%), Paris (8,7%), Bangkok
(56,8%), Buenos Aires (41,3%), dan Seoul (38,7%). Terlihat persentase jumlah penduduk kota
besar di negara maju cukup kecil, sedangkan di negara sedang berkembang sangat tinggi.

Tantangan bagi pemerintah negara sedang berkembang, dalam hal ini instansi dan departemen
terkait serta para perencana transportasi perkotaan, adalah masalah kemacetan lalulintas serta
pelayanan angkutan umum perkotaan. Masalah kemacetan ini biasanya timbul pada kota yang
penduduknya lebih dari 2 juta jiwa, yang sampai tahun 1996 telah dicapai oleh beberapa kota di
Indonesia, seperti DKIJakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan Jogyakarta.

Pada akhir tahun 2000, diperkirakan kemacetan akan terjadi di beberapa kota lain seperti
Semarang, Palembang, Ujung Pandang, Bogor, disusul kemudian oleh kota Malang dan Bandar
Lampung. Sementara pada tahun 2020, hampir semua ibukota propinsi di Indonesia akan dihuni
oleh sekitar 2 juta jiwa, yang berarti pada dasawarsa tersebut para pembina daerah perkotaan akan
dihadapkan pada permasalahan baru yang memerlukan solusi yang baru pula, yaitu permasalahan
transportasi perkotaan. Walaupun kota yang lebih kecil juga mempunyai masalah transportasi yang
perlu pemecahan secara dini, pada umumnya masih dalam skala kecil dan tidak memerlukan biaya
besar.

Sektor pertanian konvensional secara perlahan terlihat semakin kurang menarik, dan tidak lagi
diminati, terutama oleh generasi muda. Di sisi lain, perkotaan menawarkan banyak kesempatan,
baik di sektor formal maupun informal. Ditambah lagi dengan tidak meratanya pertumbuhan
wilayah di daerah pedalaman dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Hal ini menyebabkan
tersedianya banyak lapangan kerja serta upah atau gaji yang tinggi di daerah perkotaan
dibandingkan dengan di daerah pedalaman. Semua ini merupakan daya tarik yang sangat kuat bagi
para pekerja di daerah pedalaman. Pepatah mengatakan ada gula, ada semut.

Namun, sebesar apa pun kota dengan segala kelengkapannya, pasti mempunyai batasan, yaitu
daya tampung. Jika batas tersebut sudah terlampaui, akan terjadi dampak yang merugikan. Dalam
konteks kota di Indonesia, fenomena kota bermasalah sudah mulai terlihat, yang diperkirakan akan
terus berkembang menjadi persoalan yang semakin rumit, seiring dengan tingginya laju urbanisasi.
Hal ini sulit dihindari karena daerah perkotaan sudah terlanjur dianggap sebagai penyedia berbagai
macam lapangan pekerjaan.
Tingginya urbanisasi secara tidak langsung dapat dikatakan akibat tidak meratanya
pertumbuhan wilayah di Indonesia; antara daerah pedalaman dengan daerah perkotaan. Semakin
besarnya perbedaan antara tingkat pertumbuhan wilayah tersebut menyebabkan semakin tingginya
tingkat urbanisasi, yang pada gilirannya akan menimbulkan beberapa permasalahan perkotaan,
khususnya transportasi.

Orang yang melakukan urbanisasi dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok utama, yaitu
a) orang yang mampu membeli tanah di dalam kota dan bekerja di dalam kota; b) orang yang
bekerja di dalam kota, tetapi tinggal di pinggiran kota serta mampu membayar biaya transportasi;
dan terakhir c) orang yang tidak mampu membeli tanah di dalam kota dan tidak mempunyai
kemampuan untuk membayar biaya transportasi.

Orang yang termasuk pada kelompok pertama tidak akan menyebabkan permasalahan yang
berarti dalam hal mobilitas dan aksesibilitas karena jarak antara tempat tinggal dengan tempat
bekerja yang cukup dekat. Orang yang tergolong pada kelompok kedua, yang persentasenya
tertinggi di antara ketiga kelompok tersebut, sangat potensial menimbulkan permasalahan
transportasi. Permasalahan tersebut terjadi setiap hari, yaitu pada jam sibuk pagi dan sore hari.
Pada jam sibuk pagi hari terjadi proses pergerakan dengan volume tinggi, bergerak ke pusat kota
untuk bekerja. Pada sore hari terjadi hal yang sebaliknya karena semua orang kembali ke rumahnya
masing-masing.

Permasalahan transportasi semakin bertambah sejalan dengan semakin bergesernya


permukiman kelompok berpenghasilan menengah ke bawah ini jauh ke pinggir kota.
Kecenderungan ini terus berlangsung sejalan dengan semakin pentingnya daerah perkotaan yang
menyebabkan harga tanah semakin mahal.

Kelompok terakhir adalah kelompok yang tidak mampu membeli tanah di dalam kota serta
tidak mampu pula membayar biaya transportasi sehingga terpaksa menempati ruang kosong di
seputar kota secara ilegal. Implikasi yang timbul seterusnya adalah masalah permukiman kumuh
yang bukan saja menyangkut masalah transportasi, tetapi sudah mengarah kepada masalah sosial,
kesehatan, kejahatan, pendidikan, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai