Anda di halaman 1dari 8

KEDUDUKAN TRANSPORTASI DALAM TATA RUANG

A. Keterkaitan Tata Ruang dengan Transportasi


Kebijakan tata ruang sangat erat kaitannya dengan kebijakan transportasi. Ruang
merupakan kegiatan yang ‘ditempatkan’ di atas lahan kota, sedangkan
transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan satu
ruang kegiatan dengan ruang kegiatan lainnya. Antara ruang kegiatan dan
transportasi terjadi hubungan yang disebut siklus penggunaan ruang transportasi.
Bila akses transportasi ke suatu ruang kegiatan (persil lahan) diperbaiki, ruang
kegiatan tersebut akan menjadi lebih menarik, dan biasanya menjadi lebih
berkembang. Dengan berkembangnya ruang kegiatan tersebut, meningkat pula
kebutuhan akan transportasi. Peningkatan ini kemudian menyebabkan kelebihan
beban pada transportasi, yang harus ditanggulangi, dan siklus akan terulang
kembali bila aksesibilitas diperbaiki. Struktur kota yang tersebar memanjang dari
pusat ke pinggiran atau acak secara meluas ke segala penjuru kota menyebabkan
tidak memadainya perkembangan prasarana jalan dan angkutan umum untuk
melayani masyarakat. Persoalan menjadi semakin rumit karena selain disebabkan
oleh hal yang telah diuraikan di atas, juga oleh terbatasnya lahan di pusat kegiatan
perkotaan sehingga pelebaran dan penambahan ruas jalan baru sulit dilakukan.
Sementara itu, pola perjalanan yang terjadi, yang sesuai dengan pola
perkembangan, lokasi kegiatannya tetap terkonsentrasi pada kawasan yang sama.
B. Perencanaan Tata Ruang Untuk Transportasi
Ruang memiliki arti yang luas dan mencakup berbagai macam unsur, akan tetapi
dalam pengertian hukum di Indonesia dapat dipahami menurut Pasal 1 ayat (1)
UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang bahwa ruang adalah wilayah
dalam negara Republik Indonesia yang meliputi ruang daratan, ruang lautan,
ruang udara, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Ruang sebagai
suatu kesatuan wilayah ini dihuni oleh manusia dan makhluk hidup lainnya dalam
rangka melakukan kegiatan dan memlihara kelangsungan hidupnya. Guna
mencapai suatu keselarasan dan tujuan yang terbentuk antar suatu komponen
dengan yang lainnya, suatu ruang membutuhkan perencanaan dan penataan
sebagaimana peruntukkan ruang. Oleh sebab itu, ruang harus dilindungi dan
dikelola secara berkelanjutan guna mencapai kemakmuran rakyat yang sebesar-
besarnya karena penataan ruang diharapkan dapat mengharmoniskan lingkungan
alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya buatan, serta dapat memberikan perlindungan
terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup
akibat pemanfaatan ruang.
Penataan Ruang merupakan suatu kegiatan yang terdiri dari proses perencanaan
Tata Ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Bidang
transportasi secara implisit termuat dalam pasal 20 s/d 28. point 1.b. Dalam
RTRWN (Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional) No. 26/2008, transportasi
terdapat dalam Sistem Jaringan Transportasi Nasional yaitu pada pasal 17 s/d 37,
meliputi sistem jaringan transportasi laut, darat dan udara. Sedangkan sistem
jaringan transportasi pipa terdapat pada pasal 38, 39, 42 dan pasal 43 (1).
Peran kompetensi profesi bidang transportasi dalam RTRWN merupakan bagian
dari perwujudan struktur Ruang Wilayah Nasional, Propinsi, Kabupaten dan
Kota. Sistem jaringan transportasi terstruktur menurut hirarki fungsional dan
menurut moda transportasi yang terdiri dari jaringan prasarana ruang lalu lintas
dan simpul serta jaringan pelayanan transportasi.
Melihat perkembangan pesat penduduk yang tidak tercermin dalam upaya
pemerintah yang berusaha meningkatkan jumlah pembangunan jalan maupun
penyediaan transportasi massal yang aman, nyaman, murah, cepat, dan efisien
bagi semua penduduk. Salah satu penyebabnya ialah rencana tata ruang suatu
wilayah. yang tidak mengedepankan aspek-aspek mobilitas serta belum mampu
memprediksi adanya lonjakan penduduk yang begitu besar.
Definisi ”mobilitas” dan ”transportasi” sering-kali dianggap sama secara keliru.
Mobilitas direduksi menjadi pergerakan, yang diartikan sebagai perpindahan
lokasi dan transportasi itu sendiri. Besarnya jarak tempuh menjadi fokus dan
menjadi indikator mobilitas. Sebagai konsekuensi, pilihan moda lain terabaikan.
Fakta menunjukkan, bahwa seseorang yang tidak banyak menggunakan
kendaraan bermotor dapat menjalani hidup yang lebih fleksibel dan produktif
dibanding seseorang yang sangat bergantung pada mobil pribadi dalam aktifitas
sehari-hari. Mobilitas, terutama dengan kendaraan bermotor memerlukan lahan
yang semakin besar, baik didalam kota maupun di pedesaan. Kota-kota di Negara
dengan jumlah kendaraan bermotor yang tinggi mengorbankan sebagian besar
dari ruang kota untuk jalan raya. Contohnya, di Amerika Serikat (AS), Jepang dan
kota-kota di Eropa menggunakan sebesar 15 hingga 25 persen. Kota-kota di Cina
hanya menggunakan 5 hingga 7 persen dari ruang kota untuk jalan raya. Apabila
dihitung per-penduduk, Shanghai luas jalan adalah 6 m2 per penduduk, sedangkan
di New York lebih dari 26 m². Jelaslah sudah bahwa terdapat perbedaan yang
mencolok dalam ketersediaan ruang jalan per penduduk. (Data CCICED/TWG
Urban Transport and Environment Workshop, Beijing, April 1999).
Masyarakat dengan kepemilikan mobil yang tinggi menyediakan ruang kota yang
semakin besar untuk jalan raya, dan seiring dengan waktu kepadatan penduduk
kota menurun. Perencana di Negara berkembang seringkali mengutip angka-
angka yang mendukung pembangunan jaringan jalan secara massif. Sebagai
contoh, Shanghai mengembangkan perkerasan jalan dari 18,6 ke 41,6 persen
antara periode 1991–1997, mengembangkan jaringan jalan raya arteri primer dan
jalan laying. Luas jaringan jalan meningkat dari 4,7 menjadi 6,5 m². Pelajaran dari
berbagai kasus secara international menyimpulkan bahwa strategi ini nampak
masuk akal, namun layak dipertanyakan apakah penambahan jalan sesuai dengan
peningkatan kondisi lalu-lintas jangka secara berkelanjutan. Kemacetan di arteri
primer New York mungkin lebih parah dari Shanghai, seba-gaimana di Los
Angeles atau di London. Meskipun studi lintas kota yang membandingkan rata-
rata kecepatan arus lalu-lintas mengindikasikan bahwa situasi di Bangkok adalah
yang paling buruk, dan beberapa kota besar di Asia menunjukkan laju lalu lintas
yang kurang baik, data tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran pembangunan
jaringan jalan raya secara ber-lebihan. Interaksi antara transportasi dan tata guna
lahan, dan dinamika yang terkait dengan pembangunan perlu dipertimbangkan.
Penambahan ruang jalan dapat berdampak negatif pada kualitas lingkungan kota,
mempersulit pejalan kaki dan pesepeda, dan memaksa rumah tangga yang mampu
untuk pindah ke pinggiran kota yang lebih bersih dan sunyi.
Dalam perencanaan tata ruang melalui penataan dan pengembangan sistem
transportasi berbasis terminal, angkutan jalan, kendaraan parkir, dan jaringan
jalan untuk pejalan kaki serta memfasilitasi upaya peningkatan kualitas dan
kuantitas pelayanan transportasi publik. Diperlukan suatu perencanaan yang
terkondisi, keseimbangan antara transportasi dengan tata ruang sangat penting
dalam memanajemenkan masalah yang akan terjadi kedepannya. Perencanaan tata
ruang yang sangat diperlukan untuk menjamin keseimbangan pembangunan kota
dan wilayah. Dalam mengarahkan pembangunan kota untuk menghindari
terbentuknya struktur ruang kota yang tidak berkelanjutan, Sistem transportasi
yang berkelanjutan, baik dari kriteria ekonomi dan lingkungan, hanya dapat
dicapai apabila interaksi antara perencanaan tata ruang, pertumbuhan kota dan
pembangunan transportasi diperhatikan dengan baik.
C. Interaksi Antara Transportasi, Tata Ruang dan Lingkungan
Tata letak (distribusi spasial) perumahan, pusat pekerjaan, pusat belanja, rekreasi
dan aktifitas lainnya mempengaruhi rata-rata panjang perjalanan. Kepadatan
penduduk yang tinggi, dengan kombinasi guna lahan untuk berbagai kegiatan
sosial ekonomi, menjaga jarak antara asal tujuan yang rendah. Sebaliknya, pola
pembangunan kepadatan rendah dan ruang jalan yang luas meningkatkan rata-rata
panjang perjalanan dan mengakibatkan perjalanan mobil yang semakin banyak.
Dengan mengubah struktur ruang dan tata letak fungsi-fungsi perkotaan,
perencanaan tata ruang dapat mengurangi perjalanan dan menunjang penggunaan
angkutan umum yang lebih tinggi. Pembangunan yang cukup padat dengan guna
lahan multifungsi memungkinkan lebih banyak pejalan kaki dan pesepeda.
Keduanya merupakan moda perjalanan yang paling ramah lingkungan. Studi
banding lintas negara telah menunjukkan hubungan yang erat antara kepadatan
penduduk, penggunaan kendaraan bermotor dan konsumsi energi perkapita pada
sektor transportasi. Mengingat rendahnya standar emisi di Negara berkembang,
besarnya lalu lintas yang dibangkitkan oleh struktur ruang yang kurang baik
berdampak pada kualitas udara. Selanjutnya, penggunaan bahan bakar minyak
dan emisi gas rumah kaca akan meningkat tajam apabila kebijakan transportasi
dan tata guna lahan di Negara berkembang mengikuti pola pembangunan ruang
yang telah dilalui oleh Negara-negara maju dengan tingkat kepemilikan mobil
yang tinggi.

Gambar 1 Interaksi transportasi dan tata ruang


(sumber; Sourcebook Perencanaan Tata Ruang Kota dan Transportasi Perkotaan, Rudolf
Petersen)
Gambar 1 mengilustrasikan lalu lintas mobil yang mengakibatkan kondisi hunian
yang buruk, menuju sub-urbanisasi (pembangunan di pinggiran kota) dan
mengubah pedesaan menjadi permukiman, dimana penghuninya akan sangat
bergantung pada mobil pribadi untuk mobilitas sehari-hari. Pertumbuhan
penggunaan mobil akan kembali menimbulkan masalah kemacetan, dimana
semakin banyak jalan raya yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan penglaju,
yang pada akhirnya mengakibatkan pemubaziran lahan kota.
Di Eropa, Jepang dan bahkan Amerika Utara (AS dan Kanada), para perencana
kota telah menyadari bahwa paradigma masa lalu perlu diubah dan pola
pembangunan yang menyebar perlu dikendalikan. Wawasan semacam ini didasari
oleh pengalaman local dan penga-matan yang menyimpulkan bahwa kemacetan
dan waktu tempuh terus meningkat, dan me-ningkatkan beban
anggaran/pengeluaran baik kepada masing-masing perorangan maupun
pemerintah. Sebagai tambahan, banyak ancaman terhadap lingkungan sekitar,
terutama polusi udara, kebisingan, polusi air dari limpas-an, hilangnya kesuburan
tanah, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kemudian ada pula ancaman yang
bersifat global yaitu sehubung-an dengan sumber daya energi dan emisi gas
rumah kaca. Kebijakan iklim tingkat internasional telah memulai dengan
komitmen untuk mengurangi emisi, dengan menempatkan kebijakan tata ruang
yang membantu penghematan energi dalam agenda. Hal ini berperan dalam
mengkritisi penggunaan mobil pribadi atau ketergantungan terhadap mobil
pribadi.
Perencanaan tata ruang sangat diperlukan untuk menjamin keseimbangan
pembangunan kota dan wilayah. Contohnya Kota-kota di Eropa dan Jepang
memiliki tradisi yang kuat dalam perencanaan tata ruang, dan telah berhasil
menjaga struktur ruang kota yang baik. Negara-negara berkembang sudah mulai
memahami pentingnya mengarahkan pembangunan kota untuk menghindari
terbentuknya struktur ruang kota yang tidak berkelanjutan, namun kapasitas
kelembagaan dan penegakan hukum untuk. Perencanaan tata ruang kota dan
transportasi perkotaan perencanaan tata ruang masih lemah. Sistem transportasi
yang berkelanjutan, baik dari kriteria ekonomi dan lingkungan, hanya dapat
dicapai apabila interaksi antara perencanaan tata ruang, pertumbuhan kota dan
pembangunan transportasi tidak diperhatikan. Pengalaman telah menunjukkan
bahwa memprioritaskan pengembangan kapasitas jaringan jalan tanpa visi yang
jernih mengenai pembangunan ruang telah gagal mengatasi kemacetan.
Peningkatan kapasitas infrastruktur, terutama pada jalan tol dalam kota,
mengakibatkan meningkatnya permintaan yang pada akhirnya kembali membuat
kemacetan.
D. Sistem Transportasi Harus Terintegrasi dengan Penataan Ruang
Penataan Ruang dan sistem transportasi memiliki integritas (keterkaitan-red) yang
erat dalam pembentukan ruang. Upaya penyediaan sarana transportasi untuk
perkembangan wilayah semestinya mengacu pada rencana tata ruang. seiring
perkembangan sebuah wilayah baik secara ekonomi maupun demografis, maka
aktivitas transportasi juga semakin meningkat. Jika hal tersebut tidak diantisipasi
maka akan timbul permasalahan di bidang transportasi, khususnya kemacetan
yang saat ini sering terjadi di kota-kota besar Indonesia.
Persoalan kemacetan merupakan masalah krusial transportasi yang sangat terkait
dengan penataan ruang. Pertumbuhan wilayah yang menyimpang dari rencana
tata ruang (beralih fungsinya suatu kawasan yang tidak sesuai dengan
peruntukan), dari fungsi permukiman menjadi kawasan komersial akan
menimbulkan dampak, salah satunya kemacetan. Agar lalu lintas di kawasan
komersial tersebut dapat berjalan lancar, selain adanya jalan yang lebih luas dan
penyediaan lahan untuk parkir, maka perlu tersedianya Mass Rapid Transit
(Sistem Angkutan Massal-red).
Penyelenggaraan MRT di kota-kota besar wajib untuk dilaksanakan. Ditargetkan
penyelesaian kegiatan tersebut akan terlaksana pada tahun 2016. Kendala yang
umumnya dihadapi dalam penyelenggaraan MRT adalah tidak adanya budaya
planning, biaya yang mahal, dan perlu konsistensi antar pemangku kepentingan
terkait. Selain itu upaya public hearing (paparan kepada masyarakat-red) tentang
Undang-undang Penataan ruang harus terus dilakukan, agar masukan masyarakat
terhadap perbaikan sarana transportasi dapat terfasilitasi.
Ada empat alternatif pilihan dalam pemecahan masalahan transportasi, yaitu:
1) penyediaan angkutan umum yang murah dan nyaman;
2) desentralisasi strategi berupa pemecahan konsentrasi kegiatan dari pusat kota
ke wilayah pinggiran merupakan upaya pemerataan;
3) peralihan dari angkutan pribadi menuju angkutan massal, dan
4) pembatasan lalu lintas.
Upaya untuk mewujudkan kota yang nyaman dan aman ke depan, dapat
dilaksanakan development impact fee (keterkaitan antara tata ruang dengan
transportasi), dimana pelaku yang ingin membangun kegiatan komersial dapat
dikenakan retribusi lebih besar.

Referensi

Eka Prasetya, 2018. Pembangunan Jaringan Transportasi Publik dalam RTRW Kota
Depok Tahun 2012-2032. Universitas Indonesia. Jakarta

Rudolf Petersen, 2004. Perencanaan Tata Ruang Kota dan Transportasi Perkotaan.
Federal Ministry for Economic Cooperation and Development (BMZ)

Ofyar Z. Tamin, 1997. Perencanaan Pemodelan Transportasi Edisi Kedua. ITB


Bandung.

https://leumburkuring.wordpress.com/tata-ruang-2/animasi-3d/transportasi/

Anda mungkin juga menyukai