Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Masalah transportasi umumnya selalu disederhanakan sehingga sering dilihat hanya


sebagai kurangnya luasan jalan dan jumlah angkutan, sehingga penyelesaian yang diusulkan
umumnya adalah menambah ruas dan melebarkan jalan serta menambah armada angkutan.
Sehingga saat penambahan tersebut menjadi padat kembali maka usulannya adalah kembali
menambah, sehingga menjadi proses yang tak kunjung selesai yang berarti permasalahannya
juga tidak pernah selesai. Sedang setiap ulangan penambahan yang dilakukan akan juga melipat
gandakan biaya yang diperlukan sehingga akhirnya melampaui kesanggupan pemerintah kota.
Makalah ini akan menjelaskan bahwa transportasi tidak dapat dipisahkan dari masalah perkotaan
yang sangat kompleks dan menyangkut semua faktor kehidupan baik sosial, ekonomi, fisik, dan
engineering, yang pananganannya harus serentak dan bersinergi.

Untuk sekedar mendapatkan gambaran tentang kompleksitas permasalahan transportasi,


penulis menyajikan beberapa ilustrasi berikut:

A. Ilustrasi I

Jaultop Siputar-putar adalah imigran baru di Kota Medan yang datang dari pegunungan
menyusul pamannya yang mendahuluinya hijrah dari kampung halaman dan bekerja di sektor
transportasi modern yaitu sebagai supir taksi. Untuk kehidupan di kota metropolitan, sang paman
mendidik Jaultop menjadi supir, berikut kebiasaan yang sering dilakukannya sehari-hari, pada
setiap lampu merah sang paman selalu menambah laju kendaraannya agar tidak tertahan dalam
antrian, meskipun tidak lupa mengajarkan bahwa pada saat lampu merah seyogianya mereka
berhenti. Tidak lama kemudian, Jaultop dipercayakan mengendarai sendiri taksi untuk mengantar
penumpang, hanya saja setiap penumpang yang menumpang taksinya selalu heran karena pada
saat lampu hijau malah Jaultop menginjak rem dengan tiba-tiba sehingga kendaraannya selalu
berhenti, ketika penumpang menanyakan apakah sang supir tidak mengerti bahwa kendaraan
seyogianya melaju pada lampu hijau, Jaultop menjawab dengan ringan bahwa dia tahu tetapi
khawatir sang paman akan melaju karena kebiasaannya melanggar lampu merah.

B. Ilustarsi II

Karena banyaknya pelanggaran lampu merah oleh pengguna lalu lintas, maka alat
pengatur lalu lintas modern ini terpaksa dijaga oleh polisi lalu lintas, demi untuk menegakkan
peraturan yang berlaku terutama penggunaan lampu lalu lintas. Hanya saja seringkali bapak
polisi ini berdiri di tempat yang tersembunyi, sehingga banyak pengguna lalu lintas yang harus
berdamai dengan pak polisi sesudah ditangkap. terutama pengendara mobil dan sepeda motor.
Tetapi anehnya becak terutama becak dayung selalu dibiarkan lewat.

C. Ilustarsi III
Seorang pakar transportasi menawarkan jasa kepada Pak Wali Kota untuk membuat
pengaturan lalu lintas dengan menggunakan statistik dan matematik serta model-model
transportasi supaya antrian tidak lama dan agar kendaraan yang lewat selalu mendapatkan lampu
hijau seperti yang telah dilihat dan dipelajari pakar tersebut di negara maju. Karena tertarik maka
sang pakar ditugaskan dengan imbalan biaya yang cukup besar, meskipun sebagian harus
didonasikan kepada teman-teman pimpinan proyek. Akhirnya studi tersebut selesai dan dicoba
dilaksanakan, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang, karena
kemacetan tetap saja berlangsung seperti biasanya. Tentu dengan ketiga ilustrasi tersebut kita
dengan mudah menjawab di mana kesalahannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Dari ilustrasi diatas bagaimana disiplin transportasi di kota medan?
2. Apa yang menjadi masalah transportasi di kota medan?
3. Bagaimana perencanaan dan transportasi di kota medan?
4. Bagaimana pola jalan dan transportasi di kota medan?
5. Bagaimana evaluasi yang dilakukan terhadadp perencanaan dan transportasi kota medan?
6. Apa solusi yang dilakuakn dalam permasalahn transportasi kota medan?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Disiplin Transportasi Kota Medan


Dari uraian di atas terlihat bahwa disiplin transportasi meliputi disiplin yang sangat luas,
dan menyangkut berbagai disiplin ilmu yang harus dipertimbangkan bagi keberhasilan rencana
maupun kebijaksanaan yang akan diambil dalam menyelesaikan masalah transportasi antara lain
adalah sebagai berikut; hukum, perundang-undangan, dan peraturan lalu lintas, ekonomi
transportasi yang masuk dalam cabang ilmu ekonomi, town and country planning, highway
engineering, transportation and traffict engineering, mechanical engineering menyangkut
kendaraan, electrical engineering, kedokteran yang berhubungan dengan kecelakaan lalu lintas,
sosiologi dan budaya, geografi transportasi, statistik, dan permodelan.

2.2 Permasalahan Transportasi

Permasalahan transportasi sesuai dengan uraian di atas merupakan masalah yang sangat
kompleks yang tidak dapat dilihat secara terpisah dan sepotong-sepotong. Setiap daerah memiliki
permasalahan yang berbeda dan sangat tergantung pada lokalitas dan geografi dari daerah yang
bersangkutan. Menurut survai yang dilakukan oleh asosiasi pabrik mobil Jepang, terdapat 837
juta kendaraan di jalan raya di seluruh dunia menyebabkan permasalahan bagi lingkungan
maupun masyarakat seperti polusi, global warming, biaya sosial, dan ekonomi akibat kecelakaan
dan kemacetan lalu lintas yang kronis. Untuk itu diperlukan “Environmental Sustainability
Transport (EBS)” sistem salah satu di antaranya adalah mengembangkan kendaraan generasi
baru yang menggunakan teknologi tinggi seperti “fuel cell” .Selanjutnya untuk negara maju
seperti Jepang, Jerman, dan Perancis yang sudah memiliki kereta api cepat dengan kelajuan
sekitar 300 km/jam adalah mengurangi suara, getaran, dan tekanan udara di sekitar kendaraan ini
saat melaju, konservasi energi serta meningkatkan kecepatannya seperti yang telah diuji coba
oleh Spanyol sampai mencapai 350 km/jam.
Hampir di seluruh negara di dunia memiliki fenomena pertumbuhan kota yang berlebihan
yang terbatas hanya beberapa kota, termasuk negara berkembang. Sebagai konsekuensi
pemusatan kekuasaan dan politik hanya di pusat negara yang diikuti oleh konsentrasi uang maka
ibu kota negara di negara berkembang telah tumbuh berlebihan sehingga menimbulkan masalah
kepadatan penduduk yang sangat tinggi, transportasi, serta infrastruktur lainnya. Perluasan kota
dan perbaikan transportasi serta infrastruktur yang dimaksud untuk menyelesaikan masalah
tersebut justru telah membuka peluang bagi pendatang tambahan yang akan menambah
konsentrasi penduduk dan membuat permasalahan semakin rumit. Secara analogi, konsentrasi
yang demikian juga terjadi di kota-kota kedua seperti Medan. Sangat diharapkan, otonomi yang
akan mendelegasikan kekuasaan dan politik serta keuangan akan mengurangi tekanan ke ibu kota
negara dan menghidupkan daerah kabupaten dan kota. Permasalahan transportasi menurut
pemerintah Kota Medan sudah demikian krusialnya sehingga sudah saatnya ditangani secara
serius. Namun dari sudut pandang tersebut jelas terlihat, bahwa pemerintah daerah masih melihat
masalah transportasi sebagai masalah yang terpisah dari masalah perkotaan yang lain seperti
disajikan pada Tabel 3.1 Permasalahan Kota Medan.
Sejalan dengan konsep berpikir yang menyederhanakan masalah transportasi seperti di
atas, panitia seminar seolah telah mengarahkan kajian dan topik seminar terhadap penyelesaian
masalah transportasi dengan penggunaan sistem transportasi yang handal dan terpadu, karena
transportasi memegang peranan penting dalam pembangunan kota sebagai urat nadi kegiatan
sosial ekonomi masyarakat. seperti selanjutnya dikutip sebagai berikut:
Berbagai persoalan perkotaan yang dihadapi saat ini maupun masa depan, juga sangat
terikat dengan sistem transportasi yang terbangun, termasuk upaya mendorong percepatan
pembangunan wilayah kota, sangat dibutuhkan koridor transportasi terpadu, untuk meningkatkan
perekonomian wilayah tersebut.
Sebagai kota orde I nasional, Kota Medan sebenarnya memiliki sistem transportasi yang
cukup lengkap meliputi seluruh matra pergerakan (darat, laut, udara) dan hampir seluruh jenis
moda. Namun harus diakui masih belum merata secara sosial (maksudnya melayani seluruh
lapisan masyarakat: penulis), adakalanya muncul kesan diskriminasi pelayanan transportasi.
Peningkatan sarana transportasi dan peningkatan kebutuhan pergerakan orang dan barang
secara umum, sering berbenturan dengan kemampuan pengembangan sarana dan prasarana
transportasi. Peningkatan jumlah kendaraan tidak seimbang dengan kemampuan pengembangan
jaringan jalan. Berbagai pengamat berpendapat untuk mengatasi berbagai masalah transportasi di
kota ini dibutuhkan interkoneksi dan peningkatan kualitas pelayanan moda angkutan umum
massal, monorel, kereta api dalam kota, dan lain-lain. Hal ini akan dicoba dikupas, dalam
diskusi yang bersifat interaktif tersebut.

Berbagai porsoalan makro dan mikro lainnya, yang menjadi isu Medan sebagai kota
metropolitan, di bidang transportasi, merupakan motivasi kuat bagi panitia, untuk mengajak
pemerhati dan pemangku kepentingan di bidang transportasi, mencari solusi tepat mewujudkan
sistem transportasi yang handal, modern, terpadu yang mendukung kebutuhan pelayanan
transportasi bagi seluruh warga kota, yang berarti tak ada diskriminasi pelayanan transportasi,
atau dengan kata lain “transportasi untuk semua”.

2.3 Perencanaan dan Transportasi Kota Medan

Medan memiliki luas Wilayah sekitar 26.510 ha, yang secara administratif berbatasan
dengan Kabupaten Deli Serdang di bagian barat, timur dan selatan, serta Selat Malaka dibagian
utara.
Hinterland Medan merupakan daerah yang kaya dengan Sumber Daya Alam sedang Selat
Malaka adalah salah satu jalur lalu lintas laut paling sibuk di dunia. sehingga kedua potensi alam
tersebut ikut mempengaruhi perkembangan fisik Kota Medan dalam 2 kutub pertumbuhan secara
fisik. Jumlah penduduk tetap diperkirakan sekitar 2 juta jiwa, dan jumlah penduduk tidak tetap
sekitar 3 juta jiwa (Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 dengan pertumbuhan sekitar 1,17%
per tahun). Dengan konsentrasi penduduk yang demikian maka seyogianya tersedia sumber
tenaga kerja yang besar yang sekaligus merupakan potensi pemasaran potensial. Pada tahun
2001, PDRB Kota Medan adalah sebesar Rp 14,2 Triliun sedang income per kapita penduduk
adalah sebesar Rp 7.378.159 di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5% sedang inflasi
mencapai 15,5% dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,17% per tahun.

Perencanaan kota modern telah dilaksanakan oleh Belanda untuk pertama kali tahun 1930
di Polonia; yang kedua dilaksanakan oleh pemerintah daerah tahun 1974. Rentang waktu
perencanaan kota yang dibuat tahun 1974 adalah 20-30 tahun dan telah dimodifikasi tahun 1991
tetapi tidak sempat dibuat sebagai peraturan daerah yang mengikat. Tujuan utama dari
perencanaan kota ini adalah memperbaiki kualitas hidup penduduk kota dengan jalan
menyediakan lapangan pekerjaan, fasilitas, dan utilitas kota yang lebih baik. Di samping itu,
Medan diharapkan befungsi sebagai pusat pengembangan wilayah Sumatera Utara dan bagian
barat Indonesia dengan kata lain akan dijadikan sebagai salah satu kutub pertumbuhan.

Konsep perencanaan kota Medan 1974 pada prinsipnya merujuk pada “central place
theory” yang dikemukakan oleh Christaller pada tahun 1933 berdasarkan asumsi bahwa kota
akan berfungsi sebagai pusat (central place) pelayananan dan kehidupan bagi daerah pinggiran
di sekitarnya (The Countryside/ Hinterland), yang terbentuk karena pencapaiannya yang mudah
dari segala sisi karena terletak di tengah.
Christaller mengatakan bahwa asumsi ini diperoleh dan dikembangkan berdasarkan
pendapat Gradman (1916), yang menyatakan peran yang menonjol dari sebuah kota adalah
menjadi pusat dari daerah pedesaan di sekitarnya, menjadi mediator perdagangan lokal dengan
dunia luar, mengumpulkan dan mengekspor produksi lokal, mengimpor dan mendistribusikan
barang dan jasa yang diperlukan oleh pedesaan di sekitarnya.
Peran dan sentralitas yang dimiliki oleh sebuah kota tidak ditentukan oleh jumlah
penduduknya, yang dimaksud dengan sentralitas dalam hal ini adalah tingkat pelayanan yang
diberikan kepada daerah tangkapannya yang diukur dengan jumlah barang dan jasa yang dapat
ditawarkan. Terdapat variasi kualitas dan kuantitas serta perbedaan tingkat dari barang dan jasa
yang ditawarkan, beberapa di antaranya mahal dan pembeliannya jarang dan memerlukan jumlah
populasi yang besar untuk menjamin jumlah pembeliannya; jenis yang lain diperlukan sehari-
hari dan hanya menunutut jumlah populasi yang kecil untuk mempertahankan keberadaannya.
Dari karakter barang tersebut timbul dua konsep. Yang pertama, jumlah ambang penduduk
minimal yang diperlukan untuk mendukung penjualan barang atau pelayanan tertentu sehingga
penawarannya bertahan, dalam istilah ekonomi permintaan minimum agar supply barang tersebut
dapat dipertahankan. Jika penduduk pendukungnya kurang dari batas minimum tersebut maka
barang tersebut tidak dapat lagi disediakan. Yang kedua, rentang jangkauan atas sebuah barang
dan pelayanan, yaitu jarak maksimum yang akan ditempuh oleh penduduk untuk dapat
membelinya di tempat yang memiliki sentralitas, jika lebih jauh dari jarak tersebut maka
kenikmatan berperjalanan dari segi waktu, biaya dan kesulitan yang timbul akan melebihi nilai
dan tingkat keperluan dari barang yang akan dibeli, dengan kata lain tidak akan terjadi
pembelian.
Rujukan lain dari rencana Kota Medan 1974 adalah konsep Garden City dari Howard
yang memusatkan perhatian pada pembagian (de-concentration), sehingga Kota Medan
kemudian dibagi menjadi enam satelit yang berdekatan. Konsep tersebut diperjelas lagi
kemudian pada perencanaan Medan yang lebih luas yang mencakup Medan, Binjai dan Deli
Serdang pada tahun 1993. Menurut Howard keuntungan dari kota dan kehidupan di dalamnya
dapat ditingkatkan secara maksimal dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dibuat minimal jika
pembangunannya didasarkan pada koperasi serta besarnya kota tersebut dibatasi hanya sampai
32.000 penduduk. Penduduk ini akan menggantungkan dirinya pada makanan dan sumber daya
alam dari tanah pertanian yang ada di sekelilingnya, mereka akan membuat sendiri pelayanan
dan industri yang integral dengan jalur transportasi yang secara rasional telah direncanakan
sebelumnya. Jika diperlukan perluasan, tidak diizinkan mengembang-tumbuhkan kota yang
sudah ada, atau memperluas pinggirannya tetapi membuat kota satelit baru yang serupa besarnya
pada jarak yang optimal untuk tidak saling mengganggu. Pada praktiknya prinsip perencanaan
kota tersebut selalu menyimpang dan dikhianati (flouted and deceptive).
The garden cities akhirnya diterjemahkan sebagai kota pinggiran yang dilengkapi dengan
taman, dengan kepadatan penduduk yang rendah, direncanakan dengan baik, dan pada umumnya
ditempati golongan penduduk kelas menengah dan sangat tergantung pada kota induk yang
sudah ada sebelumnya sehingga akhirnya telah menciptakan kota yang sudah ada sampai terlalu
luas sampai melewati batas toleransi.
Dekonsentrasi Kota Medan dalam Konteks Kebijakan Anti-kota
Dalam usaha mengatasi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi di
kawasan inti kota yang telah menyebabkan berbagai macam masalah genting maka perencanaan
kota 1974 memberikan rekomendasi agar Medan dibagi menjadi sub-region tiga yang terdiri dari
Belawan, koridor Medan-Belawan, dan Medan yang ketiga region ini selanjutnya dibagi lagi
menjadi tujuh sub-sub region di mana salah satu di antaranya menjadi pusat kota. Setiap sub-sub
region akan mengakomodasi penduduk sebesar 60.000 sampai 120.000 populasi yang kemudian
dipecah-pecah lagi menjadi neighborhood yang dihuni oleh 5.000 sampai 10.000 orang.
Kawasan Belawan dan koridor Belawan- Medan akan dipacu pertumbuhannya agar
tekanan pada pusat kota dapat dikurangi. Daerah industri dikonsentrasikan di dua daerah, industri
menengah dan kecil di distrik Maryland dan industri berat di distrik Titipapan dan Timbang Deli.
Kecuali zoning, rencana kota Medan 1974 tidak memperinci lebih lanjut dengan floor area ratio,
building set back, building coverage, ruang terbuka dan pola-pola jalan sekunder, namun
seleruhnya dapat dinegoisasi dan diubah antara pemerintahan legislatif dan para pengusaha
pemilik modal tanpa memperhitungkan kemaslahatan rakyat banyak. Hampir dapat dikatakan
perencanaan ini hanya alat untuk membuat negoisasi agar dapat diubah kembali.

2.4 Pola Jalan dan Transportasi Kota Medan

Sejalan dengan rekomendasi desentralisasi dan dalam usaha membuat sistem transportasi di
dalam kota maka dikembangkan sistem jalan melingkar sebanyak tiga lapis, masing masing jalan
lingkar dalam, tengah dan luar, jalan lingkar ini kemudian dihubungkan oleh beberapa jalan
radial yang bergerak dari pinggiran sampai ke inti kota. Dengan pola jalan seperti itu, paling
tidak terdapat tiga keuntungan yang diharapkan, yang pertama, perkembangan kota dan
perumahan akan berkembang merata tidak hanya di satu daerah, dan yang kedua, lalu lintas yang
langsung dari pinggiran ke pinggiran yang lain tidak lagi harus melewati kota dan yang ketiga,
kemudahan pencapaian ke segala arah akan lebih mudah.

2.4.1 Kota Medan dalam Konteks Mebidang Metropolitan Area (MMA)


Kota Medan dinyatakan berfungsi sebagai kota Orde I menurut RSTP Provinsi Sumatera
Utara. Selain memiliki arti ekonomi, fungsi itu memberi juga arti sosial, teknologi, dan fisik. Jika
pemenuhan fungsi itu tak tertampug secara fisik oleh Kota Medan saja, maka diperlukan
pemikiran membagi beban fungsi kepada kota-kota di sekitarnya yang langsung berhubungan.
Inilah salah satu pengertian dari perkotaan “metropolitan”.
Selanjutnya disebutkan strategi ini pada jangka menengah digunakan untuk menghadapi
segitiga pertumbuhan Medan-Penang-Phuket dan AFTA yang memerlukan segera penetapan
strategi-strategi investasi di Mebidang dalam rangka usaha mengambil manfaat sebesar-besarnya
dari kerjasama negara-negara ASEAN ini.

2.4.2 Tujuan dan Strategi MMA


Tujuan metropolitan Mebidang ini dapat dicapai dengan selalu mengupayakan perbaikan,
perluasan, dan peningkatan pada komponen-kompnen terpentingnya, yaitu; pertama, pencapaian
pasar internasional dan nasional oleh produk MMA. Kedua, pembinaan sumber daya manusia
(penduduk) MMA. Ketiga, pemupukan dan penarikan modal bagi investasi ke MMA. Keempat,
prasarana kekotaan, dan terakhir, pengembangan sumber daya alam MMA secara lestari. Dasar
Penyusunan Prioritas Pengembangan MMA.
Strategi demikian itu dalam praktiknya berarti mengadopsi suatu sistem prioritas
pengembangan perkotaan dengan tekanan yang berbeda dari waktu ke waktu, jadi bukan “frontal
attack”.
Pada masa-masa permulaan ditekankan peningkatan sumber daya manusia, pemanfaatan
sumber daya alam dengan tetap menjaga kelestariannya, dan peningkatan efisiensi pemanfaatan
prasarana dan sarana. Sedangkan usaha pencapaian pasar internasional maupun pemupukan
modal akan menjadi arah bagi kegiatan tersebut, dengan memperhatikan “comparative
advantage” yang dimiliki. Pada jangka menengah akan ditekankan peningkatan usaha-usaha
pencapaian pasar internasional dan pemupukan modal di dalam MMA, bertumpu pada hasil-hasil
fase pertama dan dengan tujuan semakin meningkatkan sumber daya manusia dan sumber daya
alam domestik. Untuk jangka panjang, ditekankan usaha integrasi, di mana peningkatan sumber
daya manusia, sumber daya alam, dan investasi prasarana/sarana, keseluruhannya diintegrasikan
dengan pencapaian pasar internasional dan pemupukan ketersediaan modal di MMA. Dengan
kata lain, membina mekanisme pertumbuhan kehidupan perkotaan metropolitan yang sehat dan
mandiri.
2.4.3 Skenario Perkembangan Ruang Kota dan Kawasan MMA
Peta “Strategi Pengembangan Kawasan Perkotaan Mebidang” menggambarkan pokok-
pokok skenario perkembangan yang terpilih dari 8 opsi yang ada, yakni yang dianggap paling
mungkin terlaksana menuju tahun 2008. Tercatat acuan khusus kepada UU No. 24 Tahun 1992
tentang Penataan Ruang, terutama Pasal 8 ayat 3, yang mendasari kewajiban dan kewenangan
pihak provinsi daerah tingkat I untuk menetapkan rencana umum yang bersifat antar-daerah dan
integratif semacam itu yang digambarkan sebagai berikut:
a. Pusat-Pusat Pertumbuhan
Sejumlah studi di tahun 1980-an menunjuk pentingnya mengurangi tekanan urbanisasi ke
Kota Medan dengan menyediakan alternatif pusat-pusat pertumbuhan di dalam kota MMA.
Meskipun ternyata pada beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan pusat Kota Medan meningkat
dengan tajam.
b. Pokok-Pokok Strategi Pemanfaatan Kawasan Strategis Regional
Wilayah Mebidang untuk waktu yang cukup lama di masa depan diarahkan tetap mampu
mendukung kombinasi dua macam kehidupan perkotaan: perkotaan yang padat dan pertanian
yang berlandaskan lahan ekstensif. Alasan utama, perlu memetik hasil investasi sistem irigasi
Sungai Percut dan Sungai Ular yang beroperasi di bagian timur laut MMA; tingginya nilai
ekonomis, sosial, dan historis dari perkebunan; dan munculnya keperluan menjaga kelestarian
lingkungan serta optimasi penggunaan sumber daya air. Perlu diberlakukan kebijaksanaan
positif, termasuk alokasi penduduk kepada tiap pusat pertumbuhan, yang sesungguhnya kota
mandiri. Yaitu, arahan alokasi menggantikan projeksi trend. Alasan utama, perlunya pemerataan
sasaran pembangunan, yang selama dekade terakhir justru mengakibatkan Kota Medan menjadi
berdaya tarik semakin besar. Dapat dikatakan kini Medan sudah “over invested”, relatif jika
dibandingkan dengan permukiman sekitarnya.
c. Daya Dukung Lahan Potensial Urban
Sebagai akibat dari strategi di atas, maka dari sudut semata-mata daya dukung lahan
potensial urban diketahui bahwa Pancur Batu dan Deli Tua sebaiknya tidak dijadikan perkotaan
padat c.q. pusat pertumbuhan. Sedangkan Lubuk Pakam menjadi pusat kota secara terbatas,
karena limitasi daya dukungnya. Kota Binjai, Tanjung Morawa, dan Simpang Sunggal ternyata
surplus daya dukung urban yang jauh lebih besar dari semua perkiraan. Demikian pula Batang
Kuis/Serdang di sebelah timur laut, serta Belawan dan Labuhan di Kota Medan, menyediakan
potensi kelebihan daya dukung yang cukup besar. Semua lokasi itu, dengan kombinasi investasi
yang tepat dapat dikembangkan sebagai kota mandiri atau pusat pertumbuhan.
d. Pembentukan Kota-Kota Mandiri
Direkomendasikan suatu komposisi perkotaan di Mebidang yang terdiri dari 9 (sembilan)
Kota Mandiri. Wataknya, berperan sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang sengaja direncanakan
untuk saling melengkapi. Lokasi kesembilan Kota Mandiri ini menentukan wujud keseluruhan
pola pembangunan perkotaan yang dikehendaki di MMA. Setiap kota akan tumbuh dan didorong
tumbuh menjadi permukiman yang secara ekonomis dan sosial tidaklah terlalu tergantung
kepada Medan Kota Inti. Dengan penyiapan sumber daya lahan secara dini pada tingkat investasi
yang pantas (mungkin investasi yang pertama diperlukan hanya suatu bentuk Perda/ketentuan
hukum pasti tentang peruntukan lahan bagi perkotaan ini), serentak dapat diciptakan suatu
kondisi penawaran dan permintaan (supply and demand) lahan permukiman kota yang
berimbang di seluruh Mebidang. Harga tanah akan mengikut harga pasar yang wajar, sehingga
penyiapan prasarana dasar seperti air bersih, kemudian listrik dan telekomunikasi, serta jaringan
transpor ke segenap pintu Mebidang, ke simpul angkutan regional, dan ke Medan Kota Inti
sendiri, dapat diperhitungkan secara wajar.
Dengan demikian, kumpulan kota-kota mandiri ini akan benar-benar mampu menyerap
sebagian besar dari potensi pertumbuhan urbanisasi yang jika dibiarkan, akan selalu mengarah ke
Medan Kota Inti.
Setiap pusat pertumbuhan atau Kota Mandiri itu akan memiliki kombinasi pembangunan
industri, perumahan, pusat komersial, dan pusat jasa, beserta dengan pelayanan umum yang baik.

2.5 Evaluasi terhadap Perencanaan dan Transportasi Kota Medan

Rencana Induk Kota tahun 1974 telah diberlakukan selama kurang lebih 30 tahun dan
telah dicoba direvisi pada tahun 1991 dan 1995, namun rekomendasi yang diusulkan dalam
rencana tersebut belum satupun yang dapat dilaksanakan sepenuhnya, dan kota berkembang
secara alamiah tanpa kendali.
Kemungkinan penyebabnya adalah sebagai berikut; pertama, rencana tersebut didasarkan
pada prinsip perencanaan Barat yang memerlukan beberapa prakondisi untuk mendukung
keberhasilannya, seperti adanya kontrol yang ketat dari masyarakat dan adanya partisipasi
masyarakat pada tingkat tertentu yang sulit diperoleh di negara-negara Asia sehingga
penyimpangan mudah dilakukan oleh para elite politik. Yang kedua, kemandirian dan
kemampuan pemerintah daerah untuk mencari dana bagi pelaksanaan rencana, dengan kata lain
prioritas dan dana pembangunan lebih banyak ditentukan oleh pemerintahan di atasnya sebelum
era reformasi dan ditentukan oleh swasta pada pasca-reformasi. Yang ketiga, perencanaan 1974
tidak mempertimbangkan preferensi dari penduduk sehingga tidak didukung, di samping
lemahnya hukum dan tidak jelasnya petunjuk detail “urban guideline” pembangunan kota.
Sehingga, pembangunan makin terkonsentrasi di tengah kota yang kemudian dipenuhi oleh
gedung bertingkat di samping membusuknya bagian tengah kota karena timbulnya perumahan
kumuh untuk menampung golongan bawah agar mereka mudah mencapai konsentrasi
pembangunan di tengah kota.
Rencana tata guna tanah yang direkomen-dasikan oleh RIK tidak pernah terwujud,
sedang pusat-pusat pertumbuhan tidak kunjung terbentuk. Ditambah lagi, kontrol perkembangan
kota seperti distribusi penduduk dalam bentuk kepadatan penduduk (population density),
kepadatan bangunan (building density), koefisien dasar bangunan (building coverage), koefisien
lantai bangunan (floor area ratio), dan sempadan (set back).

Sebagai konsekuensinya, maka penyediaan infrastruktur sangat menyulitkan, termasuk


air, listrik, telepon, dan akses jalan. Sebagai contoh, kompleks pertokoan yang tadinya
penggunaannya untuk kawasan komersial yang hanya digunakan untuk siang hari telah
digunakan sebagai tempat tinggal yang padat, sehingga menyebabkan terciptanya traffic
tambahan dari dan keluar rumah, serta tuntutan tambahan air, listrik, dan telepon, dengan
demikian besaran pipa distribusi air, lebar jalan, serta besaran kabel listrik dan telepon tidak
sesuai lagi dengan rencana, sehingga memerlukan tambahan.
Pembangunan perumahan serta pusat-pusat perbelanjaan tidak dilakukan secara
komprehensif menghasilkan ”trip-generation” dan ”trip distribution” di luar perhitungan,
sehingga memerlukan penyesuaian di luar rencana. Perubahan yang sukar diramalkan seperti ini
akan menyebabkan biaya tinggi yang akan merugikan seluruh ”stakeholder”.

2.6 Penyelesaian Masalah Transportasi


Dari pengalaman kota-kota besar lainnya di Indonesia serta berpedoman kepada PAD
setiap daerah dan tingkat sumber daya manusia yang ada di daerah maka dapat disimpulkan
bahwa pemerintah kota tidak akan sanggup membiayai transportasi umum yang layak untuk
penduduk dalam dekade sekarang. Sehingga sangat diharapkan investasi dari pihak swasta untuk
transportasi terutama untuk monorel dan kereta api dalam kota, meskipun biaya operasi kedua
moda transportasi ini lebih murah tetapi biaya investasinya sangat tinggi, dengan demikian
tarifnya selalu lebih tinggi pada awal pengoperasiannya untuk mempercepat pengem-balian
investasinya (Malaysia menetapkan tarif sekitar Rp 1.500/km, bandingkan dengan tarif angkutan
kota sejenis Sudako dengan jarak terjauh sekitar 10 km), untuk itu pihak swasta menuntut adanya
pengembalian modal yang aman dan dapat diramalkan yang didukung oleh kebijakan yang jelas
dan tegas. Di samping itu pendapatan penduduk (income per capita) harus cukup tinggi untuk
dapat membayar tarif angkutan yang memadai, karena tidak akan ada investor yang bersedia
mensubsidi biaya angkutan kecuali pemerintah, dan pemerintah pun akan rugi kalau terus-
terusan mensubsidi penduduk.
Bagi yang menentukan dan merekomendasikan jenis dan moda transportasi yang akan
digunakan untuk mengatasi permasalahan transportasi di Kota Medan perlu lebih dahulu
memastikan beberapa hal berikut; pertama, memastikan skenario perencanaan kota yang yang
akan ditempuh, serta keterkaitannya dengan rencana yang lebih luas seperti dengan MMA,
kedua, menyusun land use yang disepakati dari seluruh penduduk kota dengan
mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi Kota Medan, ketiga, menyusun metode kontrol
penggunaan dalam bentuk kepadatan penduduk (population density), kepadatan bangunan
(building density), koefisien dasar bangunan (building coverage), koefisien lantai bangunan
(floor area ratio), dan sempadan (set back). Keempat, dengan demikian, Origin and Destination
pengguna jasa transportasi, Trip Generation dan Trip Distribution dapat diramalkan dengan
tepat, kelima, menentukan jenis moda transportasi bersama-sama dengan seluruh stakeholder.
Dengan demikian, setiap penduduk, termasuk investor memperoleh kepastian hukum atas segala
investasi yang yang akan dilakukannya. Bila skenario dekonsentrasi yang dipilih tentu angkutan
massa seperti angkutan cepat jarak jauh (Mass Urban Rapid Transit System) diperlukan untuk
mendukungnya. Jika ini yang ditentukan tentu konsentrasi bangunan tinggi terutama perumahan
padat atau apartemen dalam kota harus dikurangi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Untuk mewujudkan tujuan seminar, yaitu membahas persoalan makro dan mikro, demi
untuk menunjang visi Kota Medan menjadi kota metropolitan, dan mencari solusi yang tepat
mewujudkan sistem transportasi yang handal, modern, terpadu dan terjangkau yang akan
mendukung kebutuhan pelayanan transportasi bagi seluruh warga kota tanpa diskriminasi, masih
diperlukan kajian yang lebih mendalam dari berbagai disiplin ilmu dan antar-sektoral yang harus
dilakukan secara intensif dengan melibatkan seluruh stakeholder sesuai dengan peraturan
pemerintah daerah yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

Asia Pasific Perspective ”Branding Japan, Japanese Creative Genius Goes Global, Vol. 3 No. 6
Oktober 2005.

Kerangka Acuan Seminar yang disampaikan oleh Panitia Seminar.

Carter and Harold, The Study Urban Geography Third Edition 1981 ditentukan oleh Edward
London.

Makalah Walokota Medan pada Seminar Pembangunan Kota Medan yang diselenggarakan oleh
Ikatan Mahasiswa Muhammadiah di Garuda Plaza tanggal 19 Oktober 2002.

Review Urban Development Strategy for Mebidang Metropolitan Area Toward Year 2009
(RUDS-MMA) Juni 1993. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.

Anda mungkin juga menyukai