PENDAHULUAN
A. Ilustrasi I
Jaultop Siputar-putar adalah imigran baru di Kota Medan yang datang dari pegunungan
menyusul pamannya yang mendahuluinya hijrah dari kampung halaman dan bekerja di sektor
transportasi modern yaitu sebagai supir taksi. Untuk kehidupan di kota metropolitan, sang paman
mendidik Jaultop menjadi supir, berikut kebiasaan yang sering dilakukannya sehari-hari, pada
setiap lampu merah sang paman selalu menambah laju kendaraannya agar tidak tertahan dalam
antrian, meskipun tidak lupa mengajarkan bahwa pada saat lampu merah seyogianya mereka
berhenti. Tidak lama kemudian, Jaultop dipercayakan mengendarai sendiri taksi untuk mengantar
penumpang, hanya saja setiap penumpang yang menumpang taksinya selalu heran karena pada
saat lampu hijau malah Jaultop menginjak rem dengan tiba-tiba sehingga kendaraannya selalu
berhenti, ketika penumpang menanyakan apakah sang supir tidak mengerti bahwa kendaraan
seyogianya melaju pada lampu hijau, Jaultop menjawab dengan ringan bahwa dia tahu tetapi
khawatir sang paman akan melaju karena kebiasaannya melanggar lampu merah.
B. Ilustarsi II
Karena banyaknya pelanggaran lampu merah oleh pengguna lalu lintas, maka alat
pengatur lalu lintas modern ini terpaksa dijaga oleh polisi lalu lintas, demi untuk menegakkan
peraturan yang berlaku terutama penggunaan lampu lalu lintas. Hanya saja seringkali bapak
polisi ini berdiri di tempat yang tersembunyi, sehingga banyak pengguna lalu lintas yang harus
berdamai dengan pak polisi sesudah ditangkap. terutama pengendara mobil dan sepeda motor.
Tetapi anehnya becak terutama becak dayung selalu dibiarkan lewat.
C. Ilustarsi III
Seorang pakar transportasi menawarkan jasa kepada Pak Wali Kota untuk membuat
pengaturan lalu lintas dengan menggunakan statistik dan matematik serta model-model
transportasi supaya antrian tidak lama dan agar kendaraan yang lewat selalu mendapatkan lampu
hijau seperti yang telah dilihat dan dipelajari pakar tersebut di negara maju. Karena tertarik maka
sang pakar ditugaskan dengan imbalan biaya yang cukup besar, meskipun sebagian harus
didonasikan kepada teman-teman pimpinan proyek. Akhirnya studi tersebut selesai dan dicoba
dilaksanakan, namun hasilnya tidak seperti yang diharapkan oleh semua orang, karena
kemacetan tetap saja berlangsung seperti biasanya. Tentu dengan ketiga ilustrasi tersebut kita
dengan mudah menjawab di mana kesalahannya.
Permasalahan transportasi sesuai dengan uraian di atas merupakan masalah yang sangat
kompleks yang tidak dapat dilihat secara terpisah dan sepotong-sepotong. Setiap daerah memiliki
permasalahan yang berbeda dan sangat tergantung pada lokalitas dan geografi dari daerah yang
bersangkutan. Menurut survai yang dilakukan oleh asosiasi pabrik mobil Jepang, terdapat 837
juta kendaraan di jalan raya di seluruh dunia menyebabkan permasalahan bagi lingkungan
maupun masyarakat seperti polusi, global warming, biaya sosial, dan ekonomi akibat kecelakaan
dan kemacetan lalu lintas yang kronis. Untuk itu diperlukan “Environmental Sustainability
Transport (EBS)” sistem salah satu di antaranya adalah mengembangkan kendaraan generasi
baru yang menggunakan teknologi tinggi seperti “fuel cell” .Selanjutnya untuk negara maju
seperti Jepang, Jerman, dan Perancis yang sudah memiliki kereta api cepat dengan kelajuan
sekitar 300 km/jam adalah mengurangi suara, getaran, dan tekanan udara di sekitar kendaraan ini
saat melaju, konservasi energi serta meningkatkan kecepatannya seperti yang telah diuji coba
oleh Spanyol sampai mencapai 350 km/jam.
Hampir di seluruh negara di dunia memiliki fenomena pertumbuhan kota yang berlebihan
yang terbatas hanya beberapa kota, termasuk negara berkembang. Sebagai konsekuensi
pemusatan kekuasaan dan politik hanya di pusat negara yang diikuti oleh konsentrasi uang maka
ibu kota negara di negara berkembang telah tumbuh berlebihan sehingga menimbulkan masalah
kepadatan penduduk yang sangat tinggi, transportasi, serta infrastruktur lainnya. Perluasan kota
dan perbaikan transportasi serta infrastruktur yang dimaksud untuk menyelesaikan masalah
tersebut justru telah membuka peluang bagi pendatang tambahan yang akan menambah
konsentrasi penduduk dan membuat permasalahan semakin rumit. Secara analogi, konsentrasi
yang demikian juga terjadi di kota-kota kedua seperti Medan. Sangat diharapkan, otonomi yang
akan mendelegasikan kekuasaan dan politik serta keuangan akan mengurangi tekanan ke ibu kota
negara dan menghidupkan daerah kabupaten dan kota. Permasalahan transportasi menurut
pemerintah Kota Medan sudah demikian krusialnya sehingga sudah saatnya ditangani secara
serius. Namun dari sudut pandang tersebut jelas terlihat, bahwa pemerintah daerah masih melihat
masalah transportasi sebagai masalah yang terpisah dari masalah perkotaan yang lain seperti
disajikan pada Tabel 3.1 Permasalahan Kota Medan.
Sejalan dengan konsep berpikir yang menyederhanakan masalah transportasi seperti di
atas, panitia seminar seolah telah mengarahkan kajian dan topik seminar terhadap penyelesaian
masalah transportasi dengan penggunaan sistem transportasi yang handal dan terpadu, karena
transportasi memegang peranan penting dalam pembangunan kota sebagai urat nadi kegiatan
sosial ekonomi masyarakat. seperti selanjutnya dikutip sebagai berikut:
Berbagai persoalan perkotaan yang dihadapi saat ini maupun masa depan, juga sangat
terikat dengan sistem transportasi yang terbangun, termasuk upaya mendorong percepatan
pembangunan wilayah kota, sangat dibutuhkan koridor transportasi terpadu, untuk meningkatkan
perekonomian wilayah tersebut.
Sebagai kota orde I nasional, Kota Medan sebenarnya memiliki sistem transportasi yang
cukup lengkap meliputi seluruh matra pergerakan (darat, laut, udara) dan hampir seluruh jenis
moda. Namun harus diakui masih belum merata secara sosial (maksudnya melayani seluruh
lapisan masyarakat: penulis), adakalanya muncul kesan diskriminasi pelayanan transportasi.
Peningkatan sarana transportasi dan peningkatan kebutuhan pergerakan orang dan barang
secara umum, sering berbenturan dengan kemampuan pengembangan sarana dan prasarana
transportasi. Peningkatan jumlah kendaraan tidak seimbang dengan kemampuan pengembangan
jaringan jalan. Berbagai pengamat berpendapat untuk mengatasi berbagai masalah transportasi di
kota ini dibutuhkan interkoneksi dan peningkatan kualitas pelayanan moda angkutan umum
massal, monorel, kereta api dalam kota, dan lain-lain. Hal ini akan dicoba dikupas, dalam
diskusi yang bersifat interaktif tersebut.
Berbagai porsoalan makro dan mikro lainnya, yang menjadi isu Medan sebagai kota
metropolitan, di bidang transportasi, merupakan motivasi kuat bagi panitia, untuk mengajak
pemerhati dan pemangku kepentingan di bidang transportasi, mencari solusi tepat mewujudkan
sistem transportasi yang handal, modern, terpadu yang mendukung kebutuhan pelayanan
transportasi bagi seluruh warga kota, yang berarti tak ada diskriminasi pelayanan transportasi,
atau dengan kata lain “transportasi untuk semua”.
Medan memiliki luas Wilayah sekitar 26.510 ha, yang secara administratif berbatasan
dengan Kabupaten Deli Serdang di bagian barat, timur dan selatan, serta Selat Malaka dibagian
utara.
Hinterland Medan merupakan daerah yang kaya dengan Sumber Daya Alam sedang Selat
Malaka adalah salah satu jalur lalu lintas laut paling sibuk di dunia. sehingga kedua potensi alam
tersebut ikut mempengaruhi perkembangan fisik Kota Medan dalam 2 kutub pertumbuhan secara
fisik. Jumlah penduduk tetap diperkirakan sekitar 2 juta jiwa, dan jumlah penduduk tidak tetap
sekitar 3 juta jiwa (Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000 dengan pertumbuhan sekitar 1,17%
per tahun). Dengan konsentrasi penduduk yang demikian maka seyogianya tersedia sumber
tenaga kerja yang besar yang sekaligus merupakan potensi pemasaran potensial. Pada tahun
2001, PDRB Kota Medan adalah sebesar Rp 14,2 Triliun sedang income per kapita penduduk
adalah sebesar Rp 7.378.159 di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 3,5% sedang inflasi
mencapai 15,5% dengan pertumbuhan penduduk sebesar 1,17% per tahun.
Perencanaan kota modern telah dilaksanakan oleh Belanda untuk pertama kali tahun 1930
di Polonia; yang kedua dilaksanakan oleh pemerintah daerah tahun 1974. Rentang waktu
perencanaan kota yang dibuat tahun 1974 adalah 20-30 tahun dan telah dimodifikasi tahun 1991
tetapi tidak sempat dibuat sebagai peraturan daerah yang mengikat. Tujuan utama dari
perencanaan kota ini adalah memperbaiki kualitas hidup penduduk kota dengan jalan
menyediakan lapangan pekerjaan, fasilitas, dan utilitas kota yang lebih baik. Di samping itu,
Medan diharapkan befungsi sebagai pusat pengembangan wilayah Sumatera Utara dan bagian
barat Indonesia dengan kata lain akan dijadikan sebagai salah satu kutub pertumbuhan.
Konsep perencanaan kota Medan 1974 pada prinsipnya merujuk pada “central place
theory” yang dikemukakan oleh Christaller pada tahun 1933 berdasarkan asumsi bahwa kota
akan berfungsi sebagai pusat (central place) pelayananan dan kehidupan bagi daerah pinggiran
di sekitarnya (The Countryside/ Hinterland), yang terbentuk karena pencapaiannya yang mudah
dari segala sisi karena terletak di tengah.
Christaller mengatakan bahwa asumsi ini diperoleh dan dikembangkan berdasarkan
pendapat Gradman (1916), yang menyatakan peran yang menonjol dari sebuah kota adalah
menjadi pusat dari daerah pedesaan di sekitarnya, menjadi mediator perdagangan lokal dengan
dunia luar, mengumpulkan dan mengekspor produksi lokal, mengimpor dan mendistribusikan
barang dan jasa yang diperlukan oleh pedesaan di sekitarnya.
Peran dan sentralitas yang dimiliki oleh sebuah kota tidak ditentukan oleh jumlah
penduduknya, yang dimaksud dengan sentralitas dalam hal ini adalah tingkat pelayanan yang
diberikan kepada daerah tangkapannya yang diukur dengan jumlah barang dan jasa yang dapat
ditawarkan. Terdapat variasi kualitas dan kuantitas serta perbedaan tingkat dari barang dan jasa
yang ditawarkan, beberapa di antaranya mahal dan pembeliannya jarang dan memerlukan jumlah
populasi yang besar untuk menjamin jumlah pembeliannya; jenis yang lain diperlukan sehari-
hari dan hanya menunutut jumlah populasi yang kecil untuk mempertahankan keberadaannya.
Dari karakter barang tersebut timbul dua konsep. Yang pertama, jumlah ambang penduduk
minimal yang diperlukan untuk mendukung penjualan barang atau pelayanan tertentu sehingga
penawarannya bertahan, dalam istilah ekonomi permintaan minimum agar supply barang tersebut
dapat dipertahankan. Jika penduduk pendukungnya kurang dari batas minimum tersebut maka
barang tersebut tidak dapat lagi disediakan. Yang kedua, rentang jangkauan atas sebuah barang
dan pelayanan, yaitu jarak maksimum yang akan ditempuh oleh penduduk untuk dapat
membelinya di tempat yang memiliki sentralitas, jika lebih jauh dari jarak tersebut maka
kenikmatan berperjalanan dari segi waktu, biaya dan kesulitan yang timbul akan melebihi nilai
dan tingkat keperluan dari barang yang akan dibeli, dengan kata lain tidak akan terjadi
pembelian.
Rujukan lain dari rencana Kota Medan 1974 adalah konsep Garden City dari Howard
yang memusatkan perhatian pada pembagian (de-concentration), sehingga Kota Medan
kemudian dibagi menjadi enam satelit yang berdekatan. Konsep tersebut diperjelas lagi
kemudian pada perencanaan Medan yang lebih luas yang mencakup Medan, Binjai dan Deli
Serdang pada tahun 1993. Menurut Howard keuntungan dari kota dan kehidupan di dalamnya
dapat ditingkatkan secara maksimal dan kerugian yang ditimbulkannya dapat dibuat minimal jika
pembangunannya didasarkan pada koperasi serta besarnya kota tersebut dibatasi hanya sampai
32.000 penduduk. Penduduk ini akan menggantungkan dirinya pada makanan dan sumber daya
alam dari tanah pertanian yang ada di sekelilingnya, mereka akan membuat sendiri pelayanan
dan industri yang integral dengan jalur transportasi yang secara rasional telah direncanakan
sebelumnya. Jika diperlukan perluasan, tidak diizinkan mengembang-tumbuhkan kota yang
sudah ada, atau memperluas pinggirannya tetapi membuat kota satelit baru yang serupa besarnya
pada jarak yang optimal untuk tidak saling mengganggu. Pada praktiknya prinsip perencanaan
kota tersebut selalu menyimpang dan dikhianati (flouted and deceptive).
The garden cities akhirnya diterjemahkan sebagai kota pinggiran yang dilengkapi dengan
taman, dengan kepadatan penduduk yang rendah, direncanakan dengan baik, dan pada umumnya
ditempati golongan penduduk kelas menengah dan sangat tergantung pada kota induk yang
sudah ada sebelumnya sehingga akhirnya telah menciptakan kota yang sudah ada sampai terlalu
luas sampai melewati batas toleransi.
Dekonsentrasi Kota Medan dalam Konteks Kebijakan Anti-kota
Dalam usaha mengatasi konsentrasi dan pertumbuhan penduduk yang begitu tinggi di
kawasan inti kota yang telah menyebabkan berbagai macam masalah genting maka perencanaan
kota 1974 memberikan rekomendasi agar Medan dibagi menjadi sub-region tiga yang terdiri dari
Belawan, koridor Medan-Belawan, dan Medan yang ketiga region ini selanjutnya dibagi lagi
menjadi tujuh sub-sub region di mana salah satu di antaranya menjadi pusat kota. Setiap sub-sub
region akan mengakomodasi penduduk sebesar 60.000 sampai 120.000 populasi yang kemudian
dipecah-pecah lagi menjadi neighborhood yang dihuni oleh 5.000 sampai 10.000 orang.
Kawasan Belawan dan koridor Belawan- Medan akan dipacu pertumbuhannya agar
tekanan pada pusat kota dapat dikurangi. Daerah industri dikonsentrasikan di dua daerah, industri
menengah dan kecil di distrik Maryland dan industri berat di distrik Titipapan dan Timbang Deli.
Kecuali zoning, rencana kota Medan 1974 tidak memperinci lebih lanjut dengan floor area ratio,
building set back, building coverage, ruang terbuka dan pola-pola jalan sekunder, namun
seleruhnya dapat dinegoisasi dan diubah antara pemerintahan legislatif dan para pengusaha
pemilik modal tanpa memperhitungkan kemaslahatan rakyat banyak. Hampir dapat dikatakan
perencanaan ini hanya alat untuk membuat negoisasi agar dapat diubah kembali.
Sejalan dengan rekomendasi desentralisasi dan dalam usaha membuat sistem transportasi di
dalam kota maka dikembangkan sistem jalan melingkar sebanyak tiga lapis, masing masing jalan
lingkar dalam, tengah dan luar, jalan lingkar ini kemudian dihubungkan oleh beberapa jalan
radial yang bergerak dari pinggiran sampai ke inti kota. Dengan pola jalan seperti itu, paling
tidak terdapat tiga keuntungan yang diharapkan, yang pertama, perkembangan kota dan
perumahan akan berkembang merata tidak hanya di satu daerah, dan yang kedua, lalu lintas yang
langsung dari pinggiran ke pinggiran yang lain tidak lagi harus melewati kota dan yang ketiga,
kemudahan pencapaian ke segala arah akan lebih mudah.
Rencana Induk Kota tahun 1974 telah diberlakukan selama kurang lebih 30 tahun dan
telah dicoba direvisi pada tahun 1991 dan 1995, namun rekomendasi yang diusulkan dalam
rencana tersebut belum satupun yang dapat dilaksanakan sepenuhnya, dan kota berkembang
secara alamiah tanpa kendali.
Kemungkinan penyebabnya adalah sebagai berikut; pertama, rencana tersebut didasarkan
pada prinsip perencanaan Barat yang memerlukan beberapa prakondisi untuk mendukung
keberhasilannya, seperti adanya kontrol yang ketat dari masyarakat dan adanya partisipasi
masyarakat pada tingkat tertentu yang sulit diperoleh di negara-negara Asia sehingga
penyimpangan mudah dilakukan oleh para elite politik. Yang kedua, kemandirian dan
kemampuan pemerintah daerah untuk mencari dana bagi pelaksanaan rencana, dengan kata lain
prioritas dan dana pembangunan lebih banyak ditentukan oleh pemerintahan di atasnya sebelum
era reformasi dan ditentukan oleh swasta pada pasca-reformasi. Yang ketiga, perencanaan 1974
tidak mempertimbangkan preferensi dari penduduk sehingga tidak didukung, di samping
lemahnya hukum dan tidak jelasnya petunjuk detail “urban guideline” pembangunan kota.
Sehingga, pembangunan makin terkonsentrasi di tengah kota yang kemudian dipenuhi oleh
gedung bertingkat di samping membusuknya bagian tengah kota karena timbulnya perumahan
kumuh untuk menampung golongan bawah agar mereka mudah mencapai konsentrasi
pembangunan di tengah kota.
Rencana tata guna tanah yang direkomen-dasikan oleh RIK tidak pernah terwujud,
sedang pusat-pusat pertumbuhan tidak kunjung terbentuk. Ditambah lagi, kontrol perkembangan
kota seperti distribusi penduduk dalam bentuk kepadatan penduduk (population density),
kepadatan bangunan (building density), koefisien dasar bangunan (building coverage), koefisien
lantai bangunan (floor area ratio), dan sempadan (set back).
3.1 Kesimpulan
Untuk mewujudkan tujuan seminar, yaitu membahas persoalan makro dan mikro, demi
untuk menunjang visi Kota Medan menjadi kota metropolitan, dan mencari solusi yang tepat
mewujudkan sistem transportasi yang handal, modern, terpadu dan terjangkau yang akan
mendukung kebutuhan pelayanan transportasi bagi seluruh warga kota tanpa diskriminasi, masih
diperlukan kajian yang lebih mendalam dari berbagai disiplin ilmu dan antar-sektoral yang harus
dilakukan secara intensif dengan melibatkan seluruh stakeholder sesuai dengan peraturan
pemerintah daerah yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Asia Pasific Perspective ”Branding Japan, Japanese Creative Genius Goes Global, Vol. 3 No. 6
Oktober 2005.
Carter and Harold, The Study Urban Geography Third Edition 1981 ditentukan oleh Edward
London.
Makalah Walokota Medan pada Seminar Pembangunan Kota Medan yang diselenggarakan oleh
Ikatan Mahasiswa Muhammadiah di Garuda Plaza tanggal 19 Oktober 2002.
Review Urban Development Strategy for Mebidang Metropolitan Area Toward Year 2009
(RUDS-MMA) Juni 1993. Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara.