Anda di halaman 1dari 13

Analisis Urgensi Pengembangan Kawasan TOD dalam Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas

(Studi Kasus Kota Jakarta)

Siti Nur Farihah.190721637664.Prodi Pendidikan Geografi Jurusan Geografi Universitas


Negeri Malang. Email: siti.nur.1907216@students.um.ac.id

Abstrak
Bank Indonesia tahun 2019 menyebutkan bahwa terdapat 6 kota besar yang memiki angka
kemacetan yang tinggi. Diantaranya adalah Jakarta, Padang, Malang, Pontianak, Bengkulu,
dan Yogyakarta. Kemacetan merupakan kondisi tidak dapat bekerja dengan baik tersendat-
sendat, berhenti, tidak lancar, atau seret. Masalah ini akan timbul pada kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 2 juta jiwa. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemacetan lalu lintas
antara lain faktor jalan raya, kendaraan, manusia sebagai pemakai jalan, dan faktor-faktor
lainnya. Salah satu cara mengatasi kemacetan yang terjadi adalah dengan pengembangan
kawasan TOD (Transit-Oriented Development) di Kawasan Kota dengan kepadatan
penduduk tinggi dan heterogen. Metode analisis pada artikel ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan studi literatur dan pemanfaatan GIS. Hasil yang diperolah adalah
pengembangan konsep TOD Kawasan Jakarta yang dibagi kedalam dua jenis yakni TOD
Stasiun Kereta api dan TOD Terminal Bus. Kawasan TOD yang dikembangkan sebagai TOD
maksimum diantaranya adalah stasiun Fatmawati, Cipete, Blok M, Dukuh Atas, dan Lebak
Bulus
Kata Kunci: Transit-Oriented Development, Kota Jakarta, Kemacetan, Urbanisasi
Abstract
Bank Indonesia in 2019 stated that there were 6 big cities that had high congestion rates.
Among them are Jakarta, Padang, Malang, Pontianak, Bengkulu and Yogyakarta.
Congestion is a condition of not being able to work properly, stagnating, stopping, not
smooth, or dragging. This problem will arise in cities with a population of more than 2
million people. Several factors that influence traffic congestion include road factors,
vehicles, humans as road users, and other factors. One way to overcome the congestion that
occurs is by developing a TOD (Transit-Oriented Development) area in a City Area with a
high and heterogeneous population density. The method of analysis in this article uses a
qualitative descriptive method with literature studies and the use of GIS. The result obtained
is the development of the Jakarta Area TOD concept which is divided into two types, namely
TOD for Train Stations and TOD for Bus Terminals. The TOD areas developed as the
maximum TOD include Fatmawati, Cipete, Blok M, Dukuh Atas, and Lebak Bulus stations.
Keywords: Transit-Oriented Development, City of Jakarta, Congestion, Urbanization
PENDAHULUAN

Kemacetan merupakan masalah yang tidak bisa dihindari. Manusia yang pada dasarnya
merupakan makhluk sosial yang bersifat dinamis, menyebabkan adanya mobilitas secara
terus menerus terutama di wilayah perkotaan. Perkotaan memiliki daya tarik tersendiri
sebagai penyedia berbagai fasilitas bisnis, sosial, budaya, dan pendidikan yang membuka
berbagai peluang yang menyebabkan munculnya urbanisasi. Laporan Bank Indonesia tahun
2019 menyebutkan bahwa terdapat 5 kota besar selain Jakarta yang memiki angka kemacetan
yang tinggi. Diantaranya adalah Padang, Malang, Pontianak, Bengkulu, dan Yogyakarta.
[ CITATION Tri19 \l 1057 ] . Kemacetan lalu lintas terjadi akibat tidak adanya jumlah kendaraan
yang terus meningkat dengan ketersediaan ruas jalan di suatu wilayah. Hal ini menhakibatkan
munculnya berbagai dampak baik sosial maupun ekonomi.[ CITATION Win16 \l 1057 ].

Poerwadarminto (1976) mendefinisikan kemacetan sebagai kondisi tidak dapat bekerja


dengan baik tersendat-sendat, berhenti, tidak lancar, atau seret. Masalah ini akan timbul pada
kota dengan jumlah penduduk lebih dari 2 juta jiwa. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kemacetan lalu lintas antara lain faktor jalan raya, kendaraan, manusia sebagai pemakai jalan,
dan faktor-faktor lainnya. Seperti adanya pedagang kaki lima, kurangnnya sarana prasarana
lalu lintas, dan parkir liar. Salah satu kemacetan ini disebabkan karena arus urbanisasi yang
begitu besar.

Urbanisasi mendorong adanya peningkatan harga lahan yang bengakibatkan harga jual
lahan yang tinggi. Mobilitas menjadi sangat tinggi karena sebagian masyarakat kelompok
kelas menengah dan rendah terpaksa tinggal menjauhi pusat kota karena tidak mampu
membeli lahan di pusat kota. Hal ini menimbulkan kejadian urban sprawl, yaitu luas catcmen
area berkurang, konversi lahan pertanian menjadi fungsi terbangun,dan pemerintah harus
meningkatkan investasi penyediaan infrastruktur permukiman dan transportasi. Selain itu, hal
ini juga menyebabkan waktu dan biaya transportasi bertambah. Kenaikan jumlah penduduk
berbanding lurus dengan kenaikan volume kendaraan, sehingga mobilitas yang semakin
tinggi menyebabkan kemacetan lalu lintas. Fenomena-fenomena tersebut memerlukan sebuah
perencanaan tata ruang kota yang efektif. Salah satunya adalah dengan menggunakan konsep
TOD.

Konsep TOD (Transit-Oriented Development) merupakan salah satu rekomendasi awal


sebagai langkah untuk menyediakan hunian yang layak, akses mudah, dann terjangkau di
kawasan perkotaan. Konsep ini pada dasarnya tidak terlepas dari kerangka besar konsep
compact cities yang mana dilakukan pengembangan fungsi daerah secara terpadu, berupa
lahan campuran, serta akses transportasi umum, pejalan kaki dan pengguna sepeda yang
mudah. Konsepn TOD sudah banyak diterapkan di kota-kota modern seperti Hongkong,
Tokyo, Singapura, Beijing, Copenhagen, dan Stockholm. Dalam 5 tahun terakhir, Indonesia
juga mulai mengadopsi konsep TOD di sekitar stasiun dan terminal di wilayah Jabodetabek.
(Perumahan.pu.go.id,2021)

Konsep TOD menjadi sangat potensial untuk menjadi bagian dari kerangka
pelaksanaan Proyek Priorotas RPJMN (major project) Pembangunan Rumah Susun
Perkotaan (1 juta) di kawasan metropolitan Bandung Raya, Gerbangkertosusila,
Kedungsepur, Maminasata, dan Mebidangrogo. TOD juga merupakan peluang yang perlu
dioptimalkan dalam penyediaan hunian kelompok MBR di berbagai lokasi strategis
perkotaan. 20% dari luas lantai merupakan jumlah minimal yang harus dialoksikan untuk
masyarakat kelas rendah. Hal ini secara tidak langsung merupakan wujud dari new Urban
Agenda (cites for all) dalam deklarasi Habitat III Cities Conference di Quito, Equador tahun
2016. Maka artikel ini ditulis untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep TOD di
Kawasan Kota Jakarta.
METODE

Metode analisis pada artikel ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang menghasilkan data deskriptif
dalam bentuk perkataan atau tulisan dari orang lain dan perilku untuk kemudian dianalisis.
Artikel ini akan menginterpretasikan bagaimana konsep TOD, kawasan TOD Kota Jakarta,
serta bagaimana urgensi pengembangan kawasan TOD di Kawasan Kota Jakarta berdasarkan
volume kendaraan dan jumlah penduduk dari hasil analisis studi literatur.

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur dan GIS.
Perlengkapan yang digunakan adalah Google Earth, website pemerintah sebagai data
sekunder, dan sumber bacaan berupa jurnal maupun buku. Teknik analisis yang digunakan
berupa Interactive model of analysis yang menggunakan 3 komponen utama. Yaitu seleksi
data, penyajian data, dan penyimpulan data yang menjelaskan secara urgensi pengembangan
kawasan TOD di Kota Jakarta serta implikasinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsep TOD

Pengembangan TOD merupakan wujud perhatian pemerintah dalam penyediaan


hunian yang segat, layak huni, dan berkualitas bagi warga Indonesia. Perencanaan
pembangunan kawasan TOD sudah tercantumkan dalam beberapa peraturan daerah RTRW
sebagian kota metropolitan di Indonesia. Hal ini merupakan amanat dari UU no. 1 tahun 2011
tentang perumahan dan Kawasan permukiman yang berbunyi bahwa akses menuju pusat
layanan dan tempat kerja harus dimiliki oleh setiap rumah umum. Kawasan TOD juga
termaktub dalam UU no. 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, bahwa setiap pembangunan
rumah susun komersial, wajib menyediaan minimal 20% untuk masyarakat kelas bawah.
Konsep TOD merupakan konsep penataan tata ruang kota yang telah dikenal dunia sejak
lama.

Konsep TOD diperkenalkan pertama kali pada akhir tahun 1980-an oleh pakar arsitek
perkotaan dari San Fransisco, AS bernama Peter Calthorpe. Konsep ini termuat dalam jural
“The New American Metropolis” tahun 1993. Dallam jurnalnya, dia menguraikan prinsip
TOD bertujuan untuk:

a. Pengorganisasian pertumbuhan menjadi lebih transit supportive dan kompak dalam


skala regional
b. Menempatkan fasilitas umum dan tempat kerja dalam jarak tempuh jalan kaki dari
stasiun transit
c. Mewujudkan jaringan jalan yang ramah pejalan kaki
d. Menyiapkan perumahan dengan kepadatan, tipe, dan biaya yang variatif
e. tMenciptakan ruang terbuka dan hunian yang berkualitas
f. Menjadikan ruang publik sebagai fokus
g. Mendorong penggunaan bangunan kembali dan lajan di sepanjang koridor transit.
Dalam Urban Planning, TOD didenifisikan sebagai jenis pembangunan perkotaan yang
dengan fungsi dan jumlah bisnis, hunian, dan ruang hiburan yang dapat ditempuh dengan
berjalan kaki dari angkutan umum secara maksimal. Konsep ini juga memperkenalkan
simbiosis antara penggunaan transportasi umum dan perkotaan yang kompak, serta
kepadatannya. Idealnya, TOD memiliki 3 aspek diantaranya adalah density, diversity, dan
design.

a. Density: Kepadatan kawasan yang tinggi


b. Diversity: Penggunaan lahan dan jenis aktivitas yang beragam
c. Design: Kawasan yang didesain ramah terhadap pejalan kaki.

Kawasan TOD biasanya meliputi transit pusat seperti stasiun dan terminal yang
dikelilingi oleh kawasan campuran dengan kepadatan tinggi daerah terpadat biasa terlerak
pada radius 400-800n di sekitar transit pusat. Hal ini dikarenakan jarak tersebut merupakan
skala yang sesuai untuk pejalan kaki. Sehingga penempatan TOD harusnya berada di jaringan
utama angkutan massal, koridor jaringan BRT/bus dengan frekuensi tinggi, dan jaringann
Feader bus dengan waktu tempuh kurang dari 10 menit. Hal yang terpenting adalah
bagaimana mengubungkan warga dengan angkutan massal sedekat dan seefisien mungkin.
Berikut adalah ilustrasi pengembangan kawasan TOD.

Gambar 1. Ilustrasi kawasan TOD


Sumber: Hunian Berbasis Transit (TOD) Tantangan dan Potensinya
Fokus utama kawasan TOD adalah pengembangan fasilitas untuk pejalan kaki yang
terintegrasi dengan simpul transit. Tujuan utama pengembangan kawasan TOD adalah untuk
meningkatkan nilai perbaikan lingkungan dan nilai ekonomi melalui perbaikan struktur
ruang, menciptakan kawasa transit dengan nilai tambah, menciptakan iklim usaha yang sehat,
dan meningkatkan keoptimalan kapasitas bangunan. Pada intinya, konsep ini mendorong
terpusatnuya aktivitas perkotaan yang heterogen didukung dengan mobilitas kawasan pejalan
kaki dengan transportasi umum. Berikut adalah kriteria teknis kawasan TOD berdasarkan
jenisnya.

Kawasan TOD kota Kawasan TOD Sub Kota


 Persentase Kawasan peruntukan  Persentase peruntukan perumahan
perumahan adalah 20-40% adalah 30-40%
 Tipe bangunan high-rise,  Tipe bangunan mid-rise, sedikit
apartemen ketinggian sedang, high-rise, dan townhouse.
dan kondominium  Target hunian adalah 5rb hingga
 Target hunian adalah 8rb hingga 15rb
30rb  Kepadatan unit minimal 12-
 Kepadatan hunian minimal 38/1000 meter persegi
adalah 20-75 unit setiap
1000meter persegi

Perumahan kawasan TOD harus memenuhi kriteria hunian berimbang. Diantaranya


adalah presentase Rusun MBR adalah 20% dari rusun komersial, rusun MBR dapat
akses tower yang sama atau tidak sama dengan rusun komersial, serta pengelolaan
rusan komersial dan MBR yang terpisah jika beda tower. Berikut merupakan struktur
area TOD.
Tabel Struktur Area TOD

Sumber: Hunian Berbasis Transit (TOD) Tantangan dan Potensinya

B. Urgensi Pengembangan kawasan TOD di Kota Jakarta


Pengembangan kawasan TOD sangat diperlukan di Kota Jakarta mengingat angka
kepadatan penduduk yang sangat besar. kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan
aktivitas mobilitas masyarakat jga meningkat. sebaba akibat maslaah transportasi begitu
kompleks dan memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap tata guna lahan yang
berujung pada kesejahteraan masyarakat. Berikut adalah bagan sebab akibat masalah
transportasi di Indonesia.
Gambar 2. Bagan sebab akibat masalah transportasi
Sumber: Hunian Berbasis Transit (TOD) Tantangan dan Potensinya

Berdasarkan bagan tersebut, msalah penurunan kesejahteraan berakar pada tidak


adanya kebijakan tegas pemerintah dalam membatasi pertumbuhan kawasan perkotaan.
Urbanisasi yang tidak terkendali serta tata ruang kota yang tidak terencana secara baik akan
menimbulkan lingkar masalah yang tidak berkesudahan. Salaj satu dampak buruk dari sistem
transportasi yang tidak optimal adalah kemacetan. Solusi yang tidak tepat dalam mengatasi
kemacetam akan menimbulkan fenomen spiral devil dimana solusi dari kemacetan dalam
jangka waktu lama akan menimbulkan kemacetan serupa. Jumlah pemilik kendaraan pribadi
yang selalu meningkat harus segera diminimalkan untuk menciptakan kawasan kota yang
sehat. Berikut adalah grafik jumlah kendaraan di Kota Jakarta.
9000000
8000000
7000000
6000000
5000000 2017
4000000 2018
2019
3000000
2000000
1000000
0
mobil bus truk motor
Gambar 3. Grafik jumlah kendaraan Kota Jakarta
Sumber: Data olahan BPS Kota Jakarta

Pada grafik tersebut nampak bahwa perbandingan antara pengguna kendaraan pribadi
dan bus sangatlah besar. Pengguna kendaraan pribadi terus meningkat sedangkan transportasi
umum relatif tetap. Data dari BPS Kota Jakarta menyebutkan bahwa jumlah penumpang
kereta api pada tahun 2018 hanya 11.166.115 warga dengan angka terbanyak pada bulan Juni,
agustus, dan Desember atau tepatnya pada bulan libur dan awal masuk kerja serta sekolah.
Sementara pada bulan-bulan biasa hanya sekitar 7rb hingga 8rb penumpang(BPS Provinsi
DKI Jakarta, n.d.).

Jumlah penumpang kereta Api setiap bulannya setara dengan pemilik kendaraan
bermotor di kota Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa mayoritas warga masih belum
memiliki minat untuk menggunakan transportasi umum seperti bus dan kereta api untuk
aktivitas sehari-hari. Hal ini dikarenakan fasilitas transportasi umum yang masih tidak
memiliki akses cukup mudah bagi masyarakat. Hal ini mungkin akan semakin parah karena
kepadatan penduduk yang semakin tinggi.
25000

20000

15000

10000 2010
2018
5000 2019

0
u
ta
n ur sa
t at ra ta
erib la Tim P u Bar Uta kar
p.
S se rta Ja
ta rta rta rta KI
Ke r a ka ka ka D
ka jak Ja Ja Ja
Ja

Gambar 4. Grafik kepadatan penduduk Kota Jakarta


Sumber: Data olahan BPS Kota Jakarta

Terlihat pada gambar bahwa mayoritas kepadatan penduduk Kota Jakarta meningkat
dari tahun ke tahun. Wilayah yang paling padat adalah Jakarta Barat, sementara kepadatan
penduduk terendah berada di Kepulauan Seribu. Kota Jakarta memiliki banyak jaringan jalan
serta kepadatan bangunan yang tinggi. Pada citra dibawah menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah kawasan kota Jakarta tidak memiliki ruang terbuka hijau. Mayoritas adalah
permukiman dan daerah industri. Penduduk yang semakin bertambah sementara ruang yang
semakin sempit menyebabkan kebutuhan akan pengembangan kota secara efektif dan efisien
semakin mendesak.

Gambar Citra Kota Jakarta


Sumber: Google Earth
C. Kawasan TOD Kota Jakarta

Kota Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki letak astronomis 6°
LS dan 106°48’BT. Kota ini memiliki luas 661,52 km 2. Letak Kota Jakarta berbatasan
dengan provinsi Banten di sebelah timur, Provinsi Jawa Barat di sebelah selatan, dan Laut
Jawa di sebelah utara. Secara umum, iklim Kota Jakarta merupakan iklim tropis dengan suhu
28-30°C. Memiliki panjang jalan sekitar 6.400an meter serta dilewati oleh 13 kali besar dan
kecil. Diantaranya adalag kali Ciliwung, Kali Malang, Kali Krukut, dan Kali Cedeng
(Pemerintah Provinsi DKI Jakarta | BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta, n.d.). Arus
urbanisasi yang tinggi mengakibatkan kota Jakarta menjadi kota yang heterogen dan padat
sehingga memunculkan gagasan untuk menciptakan kawasan TOD disekitar jalur transit Kota
Jakarta. Berikut adalah gambar sketsa kawasan TOD Kota Jakarta.

Gambar 5. Sketsa Kawasan TOD Kota Jakarta


Sumber: https://jakartamrt.co.id/id/kawasan-berorientasi-transit-tod

Berdasarkan Peraturan Menteri ATR/BPN RI no 16 Tahun 2017, beberapa kota di


Indonesia mulai menerapkan sistem TOD. Peraturan tersebut berisi tentang pedoman
pengembangan kawasan berorientasi transit. Maka, Kawasan TOD DKI Jakarta ditetapkkan
dalam Pergub no. 44/2017 tentang Pengembangan Kawasan TOD. Disitu menjelaskan bahwa
TOD merupakan pengembangan kawasan berbasis di stasiun transportasi umum yanng
memandegani pertumbuhan baru menjadi kawasan campuran dengan radius 350-700m dari
pusat kawasan dengan pemanfaatan berbagai ruang. Kawasan campuran ini merupakan
kawasan pemukiman yang memiliki aksebilitas tinggi dengan stasiun sebagai pusat kawasan
dengan kepadatan bangunan tinggi. Konsep TOD perlu segera diterapkan secara maksimal
seiring dengan perkembangan kota dengan arus urbanisasi yang sangat cepat.

Gambar 6. Grafis jumlah penduduk di 6 kota terbesar Indonesia


Sumber: Hunian Berbasis Transit (TOD) Tantangan dan Potensinya
Grafik tersebut menunjukkan bahwa perkotaan merupakan motor pertumbuhan
nasional. Kota metropolitan Indonesia memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi yang
secara langsung menyebabkan tingginya aktivitas ekonomi, sosial, politik, dan aktivitas
lainnya. Sebanyak enam wilayah perkotaan terbesar di Indonesia ini menyumbang 41% PDB
Nasional. Sementara itu, peningkatan urbanisasi sebesar 1% hanya memiliki dampak
kenaikan PDB perkapita sebesar 1,4%. Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan naiknya
volume kendaraan yang akan berujung kepada kemacetan.

Pada tahun 2019, Bank Dunia memberikan proyensi kerugian akibat kemacetan di
Indonesia mencapai US$4 miliar atau Rp 56 triliun untuk kurs Rp.14.000/dolar. Angka ini
senilai 0,5% PDB Indonesia. Asumsi kerugian tersebut dihitung dari konsumsi bahan bakar
dan waktu perjalanan 28 kota. Kota Jakarta sendiri, memiliki total kerugian yang mencapai
Rp 36 triliun, lebih dari setengah dari total kerugian yang ada. Maka permasalahan urban
sprawl ini menyebabkan timbulnya kesadaran untuk menciptakan sistem tata kota yang lebih
baik yang sejak tahun 1980-an dikenal dengan new urbanism. Gerakan ini menimbulkan
perkembangan paradigma baru yang pedesterian oriented, mix used, fasilitas komersial, dan
publik. Didukung juga dengan pengembangan konsep compact city, hunian vertikal, dan lain
sebagainya.

Pada tahun 2015, kota Jakarta mulai mengembangkan MRT modern pertama.
Pemerintah setempat menerapkan konsep TOD dalam pembangunan KABT (Kereta Api
Bawah Tanah) tahap pertama dengan rute Lebak Bulus-Dukuh Atas. Lima dari pembangunan
stasiun yaitu fatmawati, Cipete, Blok M, Dukuh Atas, dan Lebak Bulus dijadikan TOD
maksimum. Sementara tiga stasiun yakni Senayan,Bendungan Hilir, dan Istora menjadi pola
TOD medium, dan stasiun Haji Nawi, Sisiangaraja, Blok A, serta Setiabudi akan
dikembangan dalam konsep TOD minimum. Penyelenggara TOD diselenggarakan oleh BPTJ
(Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) yang termaktub dalam Peraturan Kepala BPTJ
No.377/AJ.208/BPTJ-2017 tentang Pedoman Teknis Aspek Transportasi (Transit Oriented
Development (TOD) | BPTJ, n.d.). Pembangunan kawasan TOD juga didukung oleh beberapa
pihak.

PT Hanson International tbk (MYRX) merupakan salah satu pengembang konsep TOD
yag nemiliki proyek andalan Mellenium City, Forest Hill, dan Citra Maja Raya. Lokasi
mereka berada di Tangerang dan Banten. Ketiganya memiliki akses mudah ke stasiun yang
berhubungan dengan kota Jakarta. Di wilayah Perumnas sendiri juga terdapat Mahata
Maronda yang merupakan nama komersial dari TOD Pondok Cina. Lokasi ini memiliki akses
mudah menuju stasiun KA Pondok Cina, Blok M, Bandara Soekarno Hatta, Lebak Bulus,
Pasar Minggu, hingga Kampung Rambutan.

1. TOD Stasiun Kereta Api

Mulai tahun 2014 hingga sekarang, banyak rumah susun yang berinteraksi langsung
dengan stasiun kereta api. Diantara stasiun yang dibangunan perumahan susun adalah Stasiun
Pondok Cina, Depok Baru, Rawa Buntu, dan Tanjung Barat. Sejumlah stasiun tersebut
merupakan bentuk kerja sama antara PT KAI dengan Perum Perumnas. Selain itu, ada pula
TOD yang diterapkan berbasis LRT yang dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 2. Daftar LRT Kota Jakarta

No. Nama Perusahaan Pengembang


1. LRT City Bekasi Timur Eastern & Green Avenue
2. LRT City Jatibening Baru Gateway Park
3. LRT City Ciracas Urban Signature
4. LRT City Sentul Royal Sentul Park PT. Adhi Commuter
5. LRT City MT Haryono The Premiere MTH Property (ACP)
6. MTH 27 Office Suites
7. Cisauk point Of LRT City
8. Oase Park member of LRT City
Sumber: Hunian Berbasis Transit (TOD) Tantangan dan Potensinya
2. TOD Terminal Bus
BRT (bus rapid transit) merupakan salah satu pembangunan berkonsep TOD yang
dirancang pada jalur yang berintegrasi dengan transportasi massal berupa bus. Keberadaan
BRT adalah wujud dari pelaksanaan Undang-undang no. 22/2009 tentan LLAJ pasal 139
yang menyatakan bahwa PP dan Pemda diwajibkan untuk menjamin ketersediaan angkutan
umum untuk barang dan orang. Di Jakarta sendiri, BRT dikembangkan dengan nama
komersial Bus Trans Jakarta.
BRT di Jakarta dirancang di Terminal Kampung Rambutan, Terminal Rawa Buaya, dan
terminal Pulo Gadung. Namun, belum ada perusahaan pengembang yang memiliki minat
untuk mendirikan BRT dikarenakan beberapa alasan. Yaitu keberadaan terminal bus yang
berada di pinggiran kota saat ini relatif kurang nyaman, angkutan bus masing tersaingi
dengan Ojek Online, dan ketidak tertiban lalu lintas.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian artikel tersebut dapat disimpulkan bahwa Pengembangan TOD


merupakan wujud perhatian pemerintah dalam penyediaan hunian yang segat, layak huni, dan
berkualitas bagi warga Indonesia. Angka urbanisasi yang meningkat akan berakibat pada
kepadatan penduduk dan berimplikasi pada kemacetan lalu lintas. Masalah ini akan terus
terjadi apabila tidak ada kebijakan tegas dari pemerintah. Konsep TOD merancang
pengembangan kota yang ramah pejalan kaki dan pengguna sepeda, serta akses transportasi
umum yang mudah serta berkualitas.

Konsep TOD sebaiknya harus dikembangkan secara optimal di Kota Jakarta.


Penyediaan hunian layak, akses transportasi yang memadai, serta kemacetan lalu lintas yang
minim akan menekan kerugian atas masalah transportasi yang terjadi serta menyejahterakan
warga kelas menengah. Pihak yang berkewajiban dalam melaksanakan konsep ini bukan
hanya pemerintah, melainkan warga sipil dan pihak pengembang dari berbagai perusahaan di
Indonesia.
Daftar Pustaka
BPS Provinsi DKI Jakarta. (n.d.). Retrieved May 21, 2021, from
https://jakarta.bps.go.id/indicator/17/274/1/panjang-jalan-menurut-kabupaten-kota-
dan-tingkat-kewenangan-pemerintahan-km-.html
Joewono, T. B. (2019). Paradoks Kemacetan Perkotaan dan Solusi untuk Mengatasinya.
Theconversation.com.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta | BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta. (n.d.). Retrieved
May 21, 2021, from https://jakarta.bpk.go.id/pemerintah-provinsi-dki-jakarta/
TOD_LENGKAP.pdf. (n.d.). Retrieved May 20, 2021, from
https://perumahan.pu.go.id/Majalah%20Maisona/Buku/TOD_LENGKAP.pdf
Transit Oriented Development (TOD) | BPTJ. (n.d.). Retrieved May 21, 2021, from
http://bptj.dephub.go.id/transit-oriented-development-tod

Wini Mustikarani, Suherdiyanto. (2016). Analisis Faktor-faktor Penyebab Kemacetan Lalu


Lintas di Sepanjang Jalan Rais A ahman (SuiJAwi) Kota Pontianak. Jurnal Edukasi
vol.14(7), 143-156

Anda mungkin juga menyukai