Abstrak
Bank Indonesia tahun 2019 menyebutkan bahwa terdapat 6 kota besar yang memiki angka
kemacetan yang tinggi. Diantaranya adalah Jakarta, Padang, Malang, Pontianak, Bengkulu,
dan Yogyakarta. Kemacetan merupakan kondisi tidak dapat bekerja dengan baik tersendat-
sendat, berhenti, tidak lancar, atau seret. Masalah ini akan timbul pada kota dengan jumlah
penduduk lebih dari 2 juta jiwa. Beberapa faktor yang mempengaruhi kemacetan lalu lintas
antara lain faktor jalan raya, kendaraan, manusia sebagai pemakai jalan, dan faktor-faktor
lainnya. Salah satu cara mengatasi kemacetan yang terjadi adalah dengan pengembangan
kawasan TOD (Transit-Oriented Development) di Kawasan Kota dengan kepadatan
penduduk tinggi dan heterogen. Metode analisis pada artikel ini menggunakan metode
deskriptif kualitatif dengan studi literatur dan pemanfaatan GIS. Hasil yang diperolah adalah
pengembangan konsep TOD Kawasan Jakarta yang dibagi kedalam dua jenis yakni TOD
Stasiun Kereta api dan TOD Terminal Bus. Kawasan TOD yang dikembangkan sebagai TOD
maksimum diantaranya adalah stasiun Fatmawati, Cipete, Blok M, Dukuh Atas, dan Lebak
Bulus
Kata Kunci: Transit-Oriented Development, Kota Jakarta, Kemacetan, Urbanisasi
Abstract
Bank Indonesia in 2019 stated that there were 6 big cities that had high congestion rates.
Among them are Jakarta, Padang, Malang, Pontianak, Bengkulu and Yogyakarta.
Congestion is a condition of not being able to work properly, stagnating, stopping, not
smooth, or dragging. This problem will arise in cities with a population of more than 2
million people. Several factors that influence traffic congestion include road factors,
vehicles, humans as road users, and other factors. One way to overcome the congestion that
occurs is by developing a TOD (Transit-Oriented Development) area in a City Area with a
high and heterogeneous population density. The method of analysis in this article uses a
qualitative descriptive method with literature studies and the use of GIS. The result obtained
is the development of the Jakarta Area TOD concept which is divided into two types, namely
TOD for Train Stations and TOD for Bus Terminals. The TOD areas developed as the
maximum TOD include Fatmawati, Cipete, Blok M, Dukuh Atas, and Lebak Bulus stations.
Keywords: Transit-Oriented Development, City of Jakarta, Congestion, Urbanization
PENDAHULUAN
Kemacetan merupakan masalah yang tidak bisa dihindari. Manusia yang pada dasarnya
merupakan makhluk sosial yang bersifat dinamis, menyebabkan adanya mobilitas secara
terus menerus terutama di wilayah perkotaan. Perkotaan memiliki daya tarik tersendiri
sebagai penyedia berbagai fasilitas bisnis, sosial, budaya, dan pendidikan yang membuka
berbagai peluang yang menyebabkan munculnya urbanisasi. Laporan Bank Indonesia tahun
2019 menyebutkan bahwa terdapat 5 kota besar selain Jakarta yang memiki angka kemacetan
yang tinggi. Diantaranya adalah Padang, Malang, Pontianak, Bengkulu, dan Yogyakarta.
[ CITATION Tri19 \l 1057 ] . Kemacetan lalu lintas terjadi akibat tidak adanya jumlah kendaraan
yang terus meningkat dengan ketersediaan ruas jalan di suatu wilayah. Hal ini menhakibatkan
munculnya berbagai dampak baik sosial maupun ekonomi.[ CITATION Win16 \l 1057 ].
Urbanisasi mendorong adanya peningkatan harga lahan yang bengakibatkan harga jual
lahan yang tinggi. Mobilitas menjadi sangat tinggi karena sebagian masyarakat kelompok
kelas menengah dan rendah terpaksa tinggal menjauhi pusat kota karena tidak mampu
membeli lahan di pusat kota. Hal ini menimbulkan kejadian urban sprawl, yaitu luas catcmen
area berkurang, konversi lahan pertanian menjadi fungsi terbangun,dan pemerintah harus
meningkatkan investasi penyediaan infrastruktur permukiman dan transportasi. Selain itu, hal
ini juga menyebabkan waktu dan biaya transportasi bertambah. Kenaikan jumlah penduduk
berbanding lurus dengan kenaikan volume kendaraan, sehingga mobilitas yang semakin
tinggi menyebabkan kemacetan lalu lintas. Fenomena-fenomena tersebut memerlukan sebuah
perencanaan tata ruang kota yang efektif. Salah satunya adalah dengan menggunakan konsep
TOD.
Konsep TOD menjadi sangat potensial untuk menjadi bagian dari kerangka
pelaksanaan Proyek Priorotas RPJMN (major project) Pembangunan Rumah Susun
Perkotaan (1 juta) di kawasan metropolitan Bandung Raya, Gerbangkertosusila,
Kedungsepur, Maminasata, dan Mebidangrogo. TOD juga merupakan peluang yang perlu
dioptimalkan dalam penyediaan hunian kelompok MBR di berbagai lokasi strategis
perkotaan. 20% dari luas lantai merupakan jumlah minimal yang harus dialoksikan untuk
masyarakat kelas rendah. Hal ini secara tidak langsung merupakan wujud dari new Urban
Agenda (cites for all) dalam deklarasi Habitat III Cities Conference di Quito, Equador tahun
2016. Maka artikel ini ditulis untuk mengetahui bagaimana penerapan konsep TOD di
Kawasan Kota Jakarta.
METODE
Metode analisis pada artikel ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif kualitatif merupakan salah satu jenis penelitian yang menghasilkan data deskriptif
dalam bentuk perkataan atau tulisan dari orang lain dan perilku untuk kemudian dianalisis.
Artikel ini akan menginterpretasikan bagaimana konsep TOD, kawasan TOD Kota Jakarta,
serta bagaimana urgensi pengembangan kawasan TOD di Kawasan Kota Jakarta berdasarkan
volume kendaraan dan jumlah penduduk dari hasil analisis studi literatur.
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi literatur dan GIS.
Perlengkapan yang digunakan adalah Google Earth, website pemerintah sebagai data
sekunder, dan sumber bacaan berupa jurnal maupun buku. Teknik analisis yang digunakan
berupa Interactive model of analysis yang menggunakan 3 komponen utama. Yaitu seleksi
data, penyajian data, dan penyimpulan data yang menjelaskan secara urgensi pengembangan
kawasan TOD di Kota Jakarta serta implikasinya.
A. Konsep TOD
Konsep TOD diperkenalkan pertama kali pada akhir tahun 1980-an oleh pakar arsitek
perkotaan dari San Fransisco, AS bernama Peter Calthorpe. Konsep ini termuat dalam jural
“The New American Metropolis” tahun 1993. Dallam jurnalnya, dia menguraikan prinsip
TOD bertujuan untuk:
Kawasan TOD biasanya meliputi transit pusat seperti stasiun dan terminal yang
dikelilingi oleh kawasan campuran dengan kepadatan tinggi daerah terpadat biasa terlerak
pada radius 400-800n di sekitar transit pusat. Hal ini dikarenakan jarak tersebut merupakan
skala yang sesuai untuk pejalan kaki. Sehingga penempatan TOD harusnya berada di jaringan
utama angkutan massal, koridor jaringan BRT/bus dengan frekuensi tinggi, dan jaringann
Feader bus dengan waktu tempuh kurang dari 10 menit. Hal yang terpenting adalah
bagaimana mengubungkan warga dengan angkutan massal sedekat dan seefisien mungkin.
Berikut adalah ilustrasi pengembangan kawasan TOD.
Pada grafik tersebut nampak bahwa perbandingan antara pengguna kendaraan pribadi
dan bus sangatlah besar. Pengguna kendaraan pribadi terus meningkat sedangkan transportasi
umum relatif tetap. Data dari BPS Kota Jakarta menyebutkan bahwa jumlah penumpang
kereta api pada tahun 2018 hanya 11.166.115 warga dengan angka terbanyak pada bulan Juni,
agustus, dan Desember atau tepatnya pada bulan libur dan awal masuk kerja serta sekolah.
Sementara pada bulan-bulan biasa hanya sekitar 7rb hingga 8rb penumpang(BPS Provinsi
DKI Jakarta, n.d.).
Jumlah penumpang kereta Api setiap bulannya setara dengan pemilik kendaraan
bermotor di kota Jakarta. Hal ini membuktikan bahwa mayoritas warga masih belum
memiliki minat untuk menggunakan transportasi umum seperti bus dan kereta api untuk
aktivitas sehari-hari. Hal ini dikarenakan fasilitas transportasi umum yang masih tidak
memiliki akses cukup mudah bagi masyarakat. Hal ini mungkin akan semakin parah karena
kepadatan penduduk yang semakin tinggi.
25000
20000
15000
10000 2010
2018
5000 2019
0
u
ta
n ur sa
t at ra ta
erib la Tim P u Bar Uta kar
p.
S se rta Ja
ta rta rta rta KI
Ke r a ka ka ka D
ka jak Ja Ja Ja
Ja
Terlihat pada gambar bahwa mayoritas kepadatan penduduk Kota Jakarta meningkat
dari tahun ke tahun. Wilayah yang paling padat adalah Jakarta Barat, sementara kepadatan
penduduk terendah berada di Kepulauan Seribu. Kota Jakarta memiliki banyak jaringan jalan
serta kepadatan bangunan yang tinggi. Pada citra dibawah menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah kawasan kota Jakarta tidak memiliki ruang terbuka hijau. Mayoritas adalah
permukiman dan daerah industri. Penduduk yang semakin bertambah sementara ruang yang
semakin sempit menyebabkan kebutuhan akan pengembangan kota secara efektif dan efisien
semakin mendesak.
Kota Jakarta merupakan ibukota negara Indonesia yang memiliki letak astronomis 6°
LS dan 106°48’BT. Kota ini memiliki luas 661,52 km 2. Letak Kota Jakarta berbatasan
dengan provinsi Banten di sebelah timur, Provinsi Jawa Barat di sebelah selatan, dan Laut
Jawa di sebelah utara. Secara umum, iklim Kota Jakarta merupakan iklim tropis dengan suhu
28-30°C. Memiliki panjang jalan sekitar 6.400an meter serta dilewati oleh 13 kali besar dan
kecil. Diantaranya adalag kali Ciliwung, Kali Malang, Kali Krukut, dan Kali Cedeng
(Pemerintah Provinsi DKI Jakarta | BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta, n.d.). Arus
urbanisasi yang tinggi mengakibatkan kota Jakarta menjadi kota yang heterogen dan padat
sehingga memunculkan gagasan untuk menciptakan kawasan TOD disekitar jalur transit Kota
Jakarta. Berikut adalah gambar sketsa kawasan TOD Kota Jakarta.
Pada tahun 2019, Bank Dunia memberikan proyensi kerugian akibat kemacetan di
Indonesia mencapai US$4 miliar atau Rp 56 triliun untuk kurs Rp.14.000/dolar. Angka ini
senilai 0,5% PDB Indonesia. Asumsi kerugian tersebut dihitung dari konsumsi bahan bakar
dan waktu perjalanan 28 kota. Kota Jakarta sendiri, memiliki total kerugian yang mencapai
Rp 36 triliun, lebih dari setengah dari total kerugian yang ada. Maka permasalahan urban
sprawl ini menyebabkan timbulnya kesadaran untuk menciptakan sistem tata kota yang lebih
baik yang sejak tahun 1980-an dikenal dengan new urbanism. Gerakan ini menimbulkan
perkembangan paradigma baru yang pedesterian oriented, mix used, fasilitas komersial, dan
publik. Didukung juga dengan pengembangan konsep compact city, hunian vertikal, dan lain
sebagainya.
Pada tahun 2015, kota Jakarta mulai mengembangkan MRT modern pertama.
Pemerintah setempat menerapkan konsep TOD dalam pembangunan KABT (Kereta Api
Bawah Tanah) tahap pertama dengan rute Lebak Bulus-Dukuh Atas. Lima dari pembangunan
stasiun yaitu fatmawati, Cipete, Blok M, Dukuh Atas, dan Lebak Bulus dijadikan TOD
maksimum. Sementara tiga stasiun yakni Senayan,Bendungan Hilir, dan Istora menjadi pola
TOD medium, dan stasiun Haji Nawi, Sisiangaraja, Blok A, serta Setiabudi akan
dikembangan dalam konsep TOD minimum. Penyelenggara TOD diselenggarakan oleh BPTJ
(Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek) yang termaktub dalam Peraturan Kepala BPTJ
No.377/AJ.208/BPTJ-2017 tentang Pedoman Teknis Aspek Transportasi (Transit Oriented
Development (TOD) | BPTJ, n.d.). Pembangunan kawasan TOD juga didukung oleh beberapa
pihak.
PT Hanson International tbk (MYRX) merupakan salah satu pengembang konsep TOD
yag nemiliki proyek andalan Mellenium City, Forest Hill, dan Citra Maja Raya. Lokasi
mereka berada di Tangerang dan Banten. Ketiganya memiliki akses mudah ke stasiun yang
berhubungan dengan kota Jakarta. Di wilayah Perumnas sendiri juga terdapat Mahata
Maronda yang merupakan nama komersial dari TOD Pondok Cina. Lokasi ini memiliki akses
mudah menuju stasiun KA Pondok Cina, Blok M, Bandara Soekarno Hatta, Lebak Bulus,
Pasar Minggu, hingga Kampung Rambutan.
Mulai tahun 2014 hingga sekarang, banyak rumah susun yang berinteraksi langsung
dengan stasiun kereta api. Diantara stasiun yang dibangunan perumahan susun adalah Stasiun
Pondok Cina, Depok Baru, Rawa Buntu, dan Tanjung Barat. Sejumlah stasiun tersebut
merupakan bentuk kerja sama antara PT KAI dengan Perum Perumnas. Selain itu, ada pula
TOD yang diterapkan berbasis LRT yang dijelaskan dalam tabel berikut:
KESIMPULAN