Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH TATA KELOLA PUBLIK DAN DEMOKRASI

Dosen : Dr. Ir. Indra Budiman Syamwil

JAKARTA SMART CITY : SEBUAH TINJAUAN DARI


PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

RIO DARMAWAN I.
NIM. 24014041

MAGISTER STUDI PEMBANGUNAN


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2015
JAKARTA SMART CITY : SEBUAH TINJAUAN DARI
PERSPEKTIF KEBIJAKAN PUBLIK

Abstrak

Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi dari tahun ke tahun sebagai implikasi
pembangunan kota membawa dampak yang merugikan pada berbagai aspek.
Manajemen kota yang baik diperlukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Konsep kota cerdas adalah salah satu alternatif manajemen kota yang
berkembang dalam ranah diskursus pembangunan perkotaan seiring dengan
perkembangan jaman dan teknologi. Jakarta Smart City adalah sebuah produk
kebijakan Pemerintah Kota Jakarta yang mengedepankan penggunaan TIK yang
bertujuan untuk mengatasi berbagai permasalahan perkotaan mulai dari
kemacetan, banjir, sampai permasalahan sosial seperti kriminalitas.
Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen
kota cerdas dalam program Jakarta Smart City. Jenis penelitian ini bersifat
deskriptif dengan metode analisa data secara kualitatif. Metode yang digunakan
dalam penulisan ini adalah melalui penelusuran pustaka dengan mengumpulkan
data dan rujukan yang diperoleh dari buku, jurnal, dan sumber pustaka lainnya.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Jakarta Smart City saat ini
dianggap belum menyentuh pangkal permasalahan utama kota Jakarta itu sendiri.
Selain itu pembangunan masyarakat dan aparatur pemerintahannya hendaknya
lebih dikedepankan.

Kata kunci : Kota Cerdas, Jakarta Smart City, Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK)

1. Pendahuluan

Urbanisasi kota besar seperti di Jakarta adalah implikasi yang tak terelakkan dari
perkembangan kota Jakarta itu sendiri. Pesatnya pertumbuhan ekonomi,
banyaknya kesempatan kerja, dan banyaknya sarana prasarana di Jakarta
menjadi faktor penarik adanya urbanisasi. Sementara, kurangnya lapangan kerja
dan minimnya sarana prasarana di pedesaan mendorong penduduk desa untuk
berpindah ke kota besar seperti Jakarta. Seakan-akan sudah menjadi budaya di
masyarakat kita, setiap berakhirnya musim mudik lebaran pasti selalu diiringi
dengan fenomena membludaknya para pendatang di kota besar.
Dampak peningkatan penduduk kota Jakarta karena proses urbanisasi tidak
hanya dari segi demografi tetapi juga pada beberapa aspek, diantaranya sumber
daya bumi yang semakin berkurang. Karena konsumsi sumber daya yang tinggi
ini, penduduk perkotaan menghasilkan pencemaran udara, pencemaran air, serta
sampah dan limbah berbahaya. Di samping itu, perilaku penduduk yang masih
belum sadar lingkungan menjadi salah satu penyebab timbulnya banjir yang tiap
tahun kerap terjadi. Lingkungan yang kurang sehat akibat perilaku penduduknya
tersebut memicu timbulnya kerawanan sosial dan tindak kriminalitas. Selain itu
penduduk kota padat yang tidak diakomodasi dengan pemukiman yang sehat
berakibat pada menurunnya tingkat kesehatan.

1
Pada akhir tahun 2014, Gubernur Jakarta Basuki Tjahya Purnama meluncurkan
program Jakarta Smart City. Jakarta Smart City adalah sebuah produk kebijakan
Pemerintah Kota Jakarta yang diciptakan dengan tujuan untuk mengatasi
berbagai permasalahan perkotaan mulai dari kemacetan, banjir, sampai
permasalahan sosial seperti kriminalitas. Produk kebijakan tersebut salah satunya
diwujudkan dalam bentuk aplikasi yang bernama QLUE dan CROP. QLUE adalah
sebuah aplikasi media sosial yang memiliki sarana penyampaian aspirasi
pengaduan secara real time yang bisa diunduh secara gratis oleh warga Jakarta.
Sedangkan CROP yang merupakan singkatan dari Cepat Respons Opini Publik
adalah aplikasi yang hanya khusus digunakan oleh aparat pemerintah dalam
menanggapi aspirasi pengaduan dari warga Jakarta.
Jakarta Smart City adalah sebuah konsep penataan kota dengan mengedepankan
konsep kota cerdas dalam pengelolaannya. Salah satu dimensi kota cerdas
menurut Giffinger adalah tata kelola pemerintahan yang cerdas (smart
governance) yang salah satu cirinya ditandai dengan penerapan teknologi
informasi dalam tata kelolanya (atau biasa disebut e-government). Tetapi yang
menjadi pertanyaan adalah apakah permasalahan perkotaan dapat selesai hanya
dengan mengandalkan penerapan aplikasi teknologi informasi saja?apakah hal
tersebut sudah menyentuh pangkal masalah utama yang dialami kota
tersebut?Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis mengangkat tema tentang
Jakarta Smart City dalam bentuk karya tulis. Untuk memperkaya kajian, dituliskan
pula pandangan atau teori yang dianggap relevan dengan tema utama. Teori yang
digunakan adalah Teori Diskursus Foucault. Diharapkan karya tulis ini bisa
memberikan gambaran bagaimana penerapan kebijakan Jakarta Smart City dan
kendalanya. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah melalui
penelusuran pustaka dengan mengumpulkan data dan rujukan yang diperoleh dari
buku, jurnal, dan sumber pustaka lainnya.

2. Pembahasan

2.1 Kota cerdas dan dimensinya


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Jakarta Smart City adalah sebuah
konsep penataan kota yang mengedepankan konsep kota cerdas dalam
pengelolaannya. Suatu kota disebut cerdas apabila kota mampu menggunakan
SDM, modal sosial, dan infrastruktur telekomunikasi modern untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan kualitas kehidupan yang tinggi, dengan
manajemen sumber daya yang bijaksana melalui pemerintahan berbasis
masyarakat (Caragliu dan Nijkamp, 2009)1. Frost dan Sullivan mengidentifikasikan
ada delapan aspek kunci dalam Kota Cerdas: tata kelola pemerintahan, energi,
bangunan, mobilitas, infrastruktur, teknologi, sarana kesehatan, dan masyarakat.
Kota mengimplementasikan teknologi di dalam berbagai aspek fungsi kota (Smart
city council)2.
Ada satu pemahaman di masyarakat bahwa Kota Cerdas diidentikkan dengan
kota yang semuanya dijalankan oleh teknologi maju. Hal itu tidak sepenuhnya
tepat walaupun memang hampir sebagian pengelolaannya dijalankan dengan

1
http://mpra.ub.uni-muenchen.de/51586/1/MPRA_paper_51586.pdf diakses pada tanggal 8 Mei 2015
2
http://www.forbes.com/sites/sarwantsingh/2014/06/19/smart-cities-a-1-5-trillion-market-opportunity/
diakses pada tanggal 8 Mei 2015

2
bantuan teknologi. Yang perlu dipahami adalah bahwa teknologi bukan satu-
satunya faktor. Ada dimensi-dimensi lain yang semuanya berpengaruh satu sama
lain untuk menjamin terciptanya sebuah kota yang berkelanjutan
Menurut Giffinger, ada enam dimensi dalam mewujudkan Kota Cerdas3 : smart
economy, smart mobility, smart environment, smart people, smart living, dan smart
governance. Lebih jauh, dimensi Kota Cerdas dapat dijabarkan sebagai berikut4 :
a. Smart economy (ekonomi)
Pada masa lalu, aktifitas ekonomi hanya berkutat pada aspek sumber daya alam,
tenaga kerja, dan modal. Pandangan ini mengabaikan arti penting teknologi
(otomasi, fungsi reduksi harga, pengefektifan proses), dan kreatifitas (produk baru,
pelayanan, proses, pasar baru, pasar yang berkembang dan beragam, ceruk
pasar, kenaikan pendapatan), pada khususnya yang menghasilkan kekayaan
intelektual. Karakteristik smart economy pada dasarnya termasuk perhatian pada
sistem pendidikan yang berkualitas unggul, penelitian ilmiah swadaya masyarakat,
insentif fiskal perusahaan, dan sarana prasarana dan perhubungan dalam dan
luar negeri yang handal, pelayanan jaringan komunikasi yang luas dan pelayanan
umum yang prima termasuk dalam bidang kesehatan dan lain sebagainya.
b. Smart mobility (mobilitas)
Smart mobility menekankan pada banyaknya pilihan perjalanan, perjalanan yang
tepat waktu dan aman bagi semua orang. Sasaran dari konsep smart mobility
adalah mengenai pengelolaan lalu lintas secara real time, pengelolaan
transportasi umum, pengelolaan perparkiran mobil, pengelolaan penggunaan
kendaraan tak bermotor/sepeda, dan lain sebagainya. Seiring pesatnya kemajuan
teknologi, kendaraan kini sudah semakin cerdas berkat adanya teknologi
komputer yang ditanamkan pada kendaraan. Hal tersebut didukung pula oleh
sistem tiket yang cerdas berupa tiket elektronik. Selain itu, informasi jadwal
perjalanan dapat dilihat melalui aplikasi telepon genggam.
c. Smart environment (lingkungan)
Lingkungan cerdas berarti lingkungan yang bisa memberikan kenyamanan,
keberlanjutan sumber daya, keindahan fisik maupun non fisik, visual maupun
tidak,bagi masyarakat dan public. Menurut undang-undang tentang penataan
ruang, mensyaratkan 30 % lahan perkotaan harus difungsikan untuk ruang
terbuka hijau baik privat maupun publik. Lingkungan yang bersih tertata
merupakan contoh dari penerapan lingkungan yang cerdas 5.
d. Smart people (kreatifitas dan modal)
Kota cerdas tidak hanya berhubungan dengan infrastruktur TIK. Tetapi termasuk
juga didalamnya peran sumber daya manusia dan pendidikan. Berry dan Glaeser
(2005)6 dan Glaeser dan Berry (2006) menunjukkan sebagai contoh, bahwa
pertumbuhan kota yang pesat sebagian besar dicapai oleh kota dimana
didalamnya terdapat banyak tenaga kerja yang terdidik. Berry dan Glaeser (2005)
memodelkan hubungan antara modal manusia (human capital) dan
perkembangan kota dengan beranggapan bahwa inovasi dipengaruhi oleh para
pengusaha yang berinovasi pada industri dan produk yang membutuhkan banyak
tenaga kerja terampil. Warga adalah alasan utama terhadap keberadaan suatu

3
http://www.smart-cities.eu/download/smart_cities_final_report.pdf diakses pada tanggal 8 Mei 2015
4
Smart cities six dimensions oleh Somaya Madakam dan Prof. R. Ramaswamy diakses dari
http://www.seekdl.org/nm.php?id=2466 pada tanggal 8 Mei 2015
5
http://smartcityindonesia.blogspot.com/2014/11/dimensi-smart-city.html diakses pada tanggal 8 Mei
2015
6
http://www.nber.org/papers/w11617.pdf diakses pada tanggal 8 Mei 2015

3
kota dan kebijakannya. Oleh karena itu unsur kunci dalam pembangunan Kota
Cerdas adalah pelibatan masyarakat yang juga cerdas (smart people) di dalam
prosesnya.
e. Smart living (kualitas hidup)
Smart living adalah mengenai tempat dimana manusia tinggal. Dalam pengertian
ini salah satu dimensi Kota Cerdas adalah rumah dan lingkungan sekitarnya.
Termasuk di dalamnya adalah aspek-aspek non fisik. Cook dan Youngblood
(2008)7 menyatakan bahwa rumah yang cerdas adalah rumah yang bisa
menyesuaikan penghuni dan lingkungan sekitarnya untuk mencapai kenyamanan
dan efisiensi. Contohnya rumah yang bisa menyesuaikan kondisi cuaca atau
mempunyai penerangan otomatis. Ricqueborg et al (2006)8 menyatakan bahwa
semenjak teknologi berkembang pesat, komponen elektronik di dalam rumah bisa
diintegrasikan ke dalam sebuah sistem.
f. Smart governance (tata kelola pemerintahan)
Smart governance atau tata kelola cerdas adalah mengenai pelayanan umum
sebuah kota di masa mendatang. Tujuan utamanya adalah efisiensi, infrastruktur
yang handal, dan peningkatan melalui inovasi yang berkesinambungan. Smart
governance pada dasarnya tentang penggunaan teknologi untuk memfasilitasi
dan mendukung perencanaan dan pengambilan keputusan yang lebih baik dalam
sebuah manajemen perkotaan yang bertujuan untuk mengubah pelayanan umum
menjadi lebih efektif dan efisien. Kunci utama keberhasilan penyelengaraan
pemerintahan adalah Good Governance.
Kota Cerdas adalah suatu konsep manajemen kota yang tidak terjadi begitu saja
tetapi melalui proses yang cukup panjang. Selain itu dalam sebuah manajemen
kota hampir dipastikan selalu ada hambatan untuk mewujudkan sebuah konsep
penataan. Hambatan tersebut dapat berasal dari dalam (internal pemerintah) dan
dari luar (eksternal). Faktor hambatan internal bisa disebabkan oleh faktor
kepemimpinan, kebijakan, ataupun anggaran. Sedangkan faktor hambatan
eksternal bisa berasal dari masyarakat sebagai warga kota, dan pemangku
kepentingan lain di luar pemerintah. Dalam sebuah laporan9 disebutkan bahwa
hambatan terbesar untuk mewujudkan Kota Cerdas adalah berasal dari
penyediaan infrastruktur TIK. Selain itu juga berasal dari pola pikir sistem
manajemen konvensional yang telah diwarisi secara turun temurun. Hambatan
kedua adalah dari segi pembiayaan. Hambatan lain adalah adanya
ketidaknyamanan terhadap perubahan sistem ke dalam dijitalisasi dan
ketidakmauan untuk menerima perubahan.

2.2 Teori Diskursus


Sebuah penelitian10 yang dilakukan oleh I Made Sukamerta mengangkat topik
teori diskursus yang menggaris-bawahi relasi antara (ke)kuasa(an) dan
pengetahuan (yang merupakan penyederhanaan dari kata pouvoir dan savoir
dalam bahasa Perancis dan power dan knowledge dalam bahasa Inggris) dari
pemikiran Michel Foucault (1926-1984). Nama Foucault perlu ditegaskan karena

7
http://eecs.wsu.edu/~prashidi/Papers/LNCS2007.pdf diakses pada tanggal 8 Mei 2015
8
https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/9918/Ulvestad.pdf?sequence=2 diakses pada tanggal 8
Mei 2015
9
http://www.computerweekly.com/news/2240207794/Legacy-IT-preventing-councils-from-delivering-
better-digital-services diakses pada tanggal 8 Mei 2015
10
http://www.pps.unud.ac.id/disertasi/pdf_thesis/unud-16-1341990478-bab%20ii_deaertasi_.pdf diakses
pada 16 Mei 2015

4
teori Diskursus Kekuasaan/Pengetahuan pada dasarnya tidak semata-mata
merupakan dominasinya. Sebenarnya terdapat sejumlah teori Diskursus, yakni
dari Althusser, Pheceux, Hindess dan Hirst, sampai Foucault, Bahkan Francois
Bacon pun, menulis pernyataan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan. Dalam
hal ini menunjukkan bagaimana diskursus Barat tentang Timur (orientalisme) bisa
dijadikan contoh suatu konstruk pengetahuan tentang Timur yang diciptakan oleh
Barat dan suatu bentuk hubungan antara kekuasaan-pengetahuan yang
mengartikulasikan kepentingan kekuasaan Barat. Said yang mengutip pernyataan
Foucault menyebutkan bahwa kebenaran suatu diskursus tergantung pada apa
yang dikatakan, terutama siapa yang menyatakan, kapan dan di mana ia
menyatakannya (Ringkasnya, kebenaran suatu diskursus tergantung pada
konteks).
Analisis genealogi Foucault, yang diadopsi dari Nietszche, membahas hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan serta bagaimana hubungan ini terjalin
sehingga disebut formasi diskursif, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual yang
memungkinkan diterimanya beberapa mode pemikiran dan ditolaknya beberapa
mode pemikiran lainnya. Apabila strukturalis memfokuskan kajiannya, yakni
bagaimana sistem bahasa (dan sistem lain yang analog dengan bahasa)
menentukan hakikat linguistik dan ekspresi budaya, postrukturalis seperti halnya
Foucault, lebih tertarik pada kenyataan bagaimana bahasa digunakan dan
bagaimana penggunaan bahasa diartikulasikan dalam suatu praktik budaya dan
praktik sosial. Penggunaan bahasa dan praktik bahasa secara umum lebih dilihat
sebagai hal yang bersifat dialogis dan rawan konflik ketika satu mode penggunaan
bahasa berhadapan dengan penggunaan bahasa yang lain ataupun teks dan
praktik budaya yang lain. Dalam hal ini, diskursus tidak bisa dipisahkan dari
kekuasaan. Diskursus adalah sarana dengan mana suatu institusi yang
memeroleh kekuasaannya melalui proses definisi dan eksklusi. Maksudnya,
diskursus atau formasi diskursif tertentu memiliki otoritas untuk mendefinisikan
apa yang mungkin (boleh dan tidak boleh) untuk dikatakan orang untuk suatu
topik. Suatu formasi diskursif terdiri atas sekelompok aturan tidak tertulis yang
berusaha mengatur dan membatasi apa yang dapat (boleh dan tidak boleh) ditulis,
dipikirkan, dan dilakukan pada suatu bidang pembahasan tertentu.
Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan (dan cara tertentu penggunaan
bahasa) saling berjalin antara satu dengan yang lain dalam discourse. Dalam hal
ini penggunaan ruang sebagai satu fenomena bahasa dalam satu discourse,
sehingga tidak terlepas dari bentuk-bentuk kekuasaan yang beroperasi di
baliknya. Discourse tidak lain adalah cara menghasilkan pengetahuan beserta
praktik sosial yang menyertainya, bentuk subjektivitas yang terbentuk darinya,
relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan dan praktik sosial tersebut, serta
saling keterkaitan di antara semua aspek tersebut.
Menurut Foucault, diskursus adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh yang
berkuasa yang ditetapkan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang
mendasarinya. Setiap diskursus tentang kebudayaan tidak terlepas dari
kepentingan dan kekuasaan. Dalam suatu masyarakat dapat dijumpai berbagai
diskursus tentang kebudayaan masyarakat bersangkutan yang bisa saja saling
bertentangan, tetapi karena dukungan dari kekuasaan, maka diskursus tertentu
akan menjadi diskursus dominan. Namun diskursus-diskursus lainnya akan
terpinggirkan atau terpendam.

5
2.3 Jakarta Smart City
Jakarta Smart City adalah sebuah program Pemerintah Kota Jakarta yang
diluncurkan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
perkotaan di kota Jakarta. Program ini diresmikan tepatnya pada tanggal 15
Desember 2014. Dalam prakteknya, Jakarta Smart City mengedepankan aplikasi-
aplikasi teknologi informasi terbaru yang mengintegrasikan aspirasi warga dan
pelayanan aparat pemerintah. Aplikasi yang digunakan dalam skema program
Jakarta Smart City diantaranya adalah smartcity.jakarta.go.id11. Dalam aplikasi
tersebut, keterlibatan warga terhubung dengan beragam aplikasi sosial media
kanal pengaduan DKI jakarta seperti email dki@jakarta.go.id, twitter @jakartagoid,
facebook Jakarta Go Id, balai warga di web www.jakarta.go.id, Peta Jakarta,
Lapor 1708, maupun Waze .
Aplikasi Waze, merupakan salah satu aplikasi digital berbasis lokasi yang
digunakan sebagai aplikasi untuk memandu perjalanan hingga menghindari
kemacetan. Integrasi data Waze dapat membantu masyarakat dan pemerintah
dalam mengetahui keadaan jalan sehingga diharapkan membantu mobilitas dan
aktivitas sehari-hari.
Sebagai media penyampaian aspirasi warga, dalam kesempatan yang sama
diluncurkan aplikasi sosial media QLUE yang memiliki sarana penyampaian
aspirasi pengaduan secara aktual. Data dari kanal tersebut termasuk QLUE
masuk ke dashboard smartcity.jakarta.go.id. Pengaduan seperti masalah macet,
banjir, sampah, joki 3 in 1, parkir ilegal, pengemis dan lainnya dapat dilaporkan
dan dipetakan berdasarkan lokasi dilengkapi foto. Melalui foto yang diunggah dan
memilih qlue yang ada, seorang pengguna dapat menceritakan sebuah aduan
yang dilaporkan. Foto dan laporan masyarakat kemudian dipetakan secara digital
dan terintegrasi dengan sistem Google.
Di tingkat wilayah hingga Kelurahan, Lurah dapat memerintahkan petugas melalui
aplikasi khusus petugas bernama Cepat Respon Opini Publik (CROP). CROP
adalah dashboard mapping yang menggunakan platform Google Maps sebagai
dasar pemetaan digital. CROP pertama kali digunakan di Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta sebagai aplikasi utama Smart City, dimana dapat meng-integrasikan data-
data yang terkoleksi lama oleh Pemprov seperti data edukasi, kelurahan, populasi,
dan lain-lain.
CROP berfungsi untuk memproses pelaporan masyarakat melalui QLUE, Waze
dan Twitter yang saat ini sudah bekerjasama dengan Pemprov DKI untuk
mengkombinasikan pelaporan masyarakat. Aplikasi CROP berjalan di dua
platform, yaitu web dan mobile. CROP Web digunakan oleh semua internal
Pemprov DKI yaitu untuk masing-masing Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD)
yang terkait untuk melakukan analisa sehubungan dengan pelaporan yang
disampaikan oleh masyarakat. CROP Mobile adalah aplikasi mobile yang dapat
diunduh pada ponsel pintar Android oleh petugas. Aplikasi ini berguna untuk lurah
dan camat memonitor pelaporan yang dilaporkan pada masing-masing wilayah,
selain itu bagi petugas dinas (kebersihan, sosial, perhubungan) untuk menerima
pekerjaan yang dikirimkan dari pusat.
Menurut Kepala Unit Pengelola Teknis Smart City Pemprov DKI Jakarta Alberto
Ali, hingga bulan Mei 2015, jumlah keluhan yang masuk mencapai ribuan.
Rinciannya yaitu 1.059 keluhan tentang kemacetan, 1.160 sampah, 1.052 keluhan
pelanggaran, 921 keluhan jalan rusak, 159 keluhan tentang banjir, 180 pohon

11
http://selular.id/news/2014/12/beginilah-smart-city-ala-ahok/ diakses pada tanggal 8 Mei 2015

6
tumbang, 844 keluhan pedagang kaki lima, 44 keluhan kriminalitas, 430 jalan
umum, 591 fasilitas umum, dan sebagainya. Dari laporan yang masuk, rata-rata
yang berisi keluhan dibanding masukan12.
Jakarta Smart City tidak hanya fokus terhadap pelaporan saja, tapi kedepannya
CROP Dashboard dapat berguna untuk menganalisa data dari semua SKPD di
Pemprov DKI. Warga dapat melihat melalui CROP Dashboard versi publik
terhadap pelaporan yang sedang trending saat ini dan peringkat dari semua
pelapor, dinas dan aparatur melalui smartcity.jakarta.go.id. Terkait tindak lanjut,
warga serta pimpinan wilayah dapat memantau berapa banyak pengaduan di
wilayahnya, jenis pengaduan hingga kelanjutan pengaduan.
Selain pengaduan, masyarakat juga dapat memanfaatkan aplikasi
smartcity.jakarta.go.id sebagai sumber informasi Pemprov DKI Jakarta. Data yang
terintegrasi antara lain jalur fiber optic, tinggi muka air,letak menara, pos polisi,
hingga data kependudukan. Dashboard aplikasi smartcity akan dikelola di ruang
control room di Balaikota. Integrasi CCTV juga menjadi keunggulan dashboard ini.
Pimpinan dapat melihat langsung keadaan Jakarta melalui monitoring CCTV yang
terintegrasi termasuk melihat ketinggian muka air.

2.4 Kritik terhadap konsep Jakarta Smart City


Konsep kota cerdas adalah hanya satu bentuk manajemen perkotaan yang
mengoptimalkan teknologi dalam tata kelola kotanya. Hal ini terkadang menjadi
bias. Seolah-olah hanya dengan penerapan teknologi tinggi semua permasalahan
perkotaan bisa terselesaikan. Padahal ada dimensi lain yang perlu dibangun
terlebih dahulu. Misalnya sumber daya manusianya. Alokasi anggaran yang
terkonsentrasi pada kebutuhan teknologi dalam sekali waktu belum tentu bisa
secara tiba-tiba merubah kondisi masyarakat dan lingkungan. Membangun
kesadaran masyarakat terhadap lingkungan adalah hal yang perlu dilakukan
sebelum membangun infrastruktur. Sebuah contoh sederhana ada di masyarakat
kita. Banyak terjadi aksi vandalisme terhadap fasilitas umum. Ini adalah bukti
bahwa masyarakat kita belum sadar terhadap lingkungan. Apa jadinya apabila
fasilitas teknologi seperti CCTV kota dirusak oleh masyarakat yang tidak sadar
lingkungan seperti ini?
Jakarta, sebuah megapolitan dengan penduduknya mencapai hampir 10 juta jiwa
menanggung beban masalah perkotaan yang tidak sedikit, mulai dari yang
populer dan biasanya terjadi di puncak musim hujan: banjir. Kondisi geografis
Jakarta yang dilalui oleh jalur angin muson membuat jumlah curah hujan yang
jatuh di Jakarta selama musim hujan cukup tinggi. Hal ini kemudian menyebabkan
naiknya volume air di 13 sungai yang melintasi Jakarta. Dengan kondisi sistem
drainase dan tanggul yang belum baik Jakarta pun menjadi langganan banjir
setiap tahunnya. Sistem drainase di Jakarta banyak terganggu oleh sampah yang
dibuat oleh jutaan jiwa penduduk Jakarta yang belum cukup cerdas secara
merata. Selanjutnya, adalah masalah kemacetan. Jumlah kendaraan di
Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) mencapai 38,7 juta
unit (IEE, 2013). Angka ini pun masih terus mengalami pertumbuhan sekitar 16,5
persen per tahun. Sementara itu, ruas jalan di Jakarta sekarang masih jauh dari
kebutuhan normal yang mestinya seluas 20 persen dari luas kota. Saat ini jalan di
Jakarta baru di angka 6,2 persen dan sebagian besar lahan sudah sesak.

12
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/16/08245031/Seperti.Apa.Cara.Kerja.Jakarta.Smart.City.
diakses pada tanggal 8 Mei 2015

7
Kemudian, tentang penggunaan lahan dan tata ruang kota. Rencana tata ruang
Jakarta terlihat lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan fasilitas penduduk,
sementara itu terjadi ketimpangan dalam pengendalian pertumbuhan
pemanfaatan lahan dan pertumbuhan jumlah penduduk. Akibatnya kebutuhan
ruang penduduk akan selalu meningkat dan Jakarta pun tidak muat lagi bagi
mereka. Hal ini juga berkaitan dengan soal daya dukung lingkungan di Jakarta.
Jakarta dari Abad ke 15 hingga sekarang adalah daerah teluk yang berdataran
rendah, dan berada di bawah muka laut pasang. Selain itu Jakarta juga memiliki
sejumlah dataran banjir di sepanjang pinggiran aliran sejumlah sungai. Daerah
dengan kondisi seperti ini mestinya memiliki aliran permukaan dan daerah
resapan yang cukup. Namun faktanya, pembangunan di Jakarta sekarang
sebagian besar sudah mengabaikan semua itu karena tingginya kebutuhan
manusianya.
Itulah sejumlah riwayat penyakit Jakarta, yang kemudian benar-benar
menyebabkan penyakit sebenarnya. Polusi dari kendaraan di Jakarta
menyebabkan 57,8 persen warga menderita berbagai penyakit, dari asma hingga
infeksi pernapasan. Itulah juga yang kemudian membuat Jakarta masuk ke dalam
20 kota di dunia yang terancam bangkrut menurut Jurnal Nature Climate Change.
Dalam sejumlah teori tahap perkembangan kota, sulit menjelaskan Jakarta berada
di tahap yang mana, karena terdapat sejumlah anomali akibat riwayat penyakit di
atas.
Jika ditelusuri kembali, maka salah satu penyebab utama dari riwayat penyakit di
atas adalah jumlah penduduk Jakarta. Laju urbanisasi cukup tinggi yakni di atas
4,5 persen per tahun. Kepadatan penduduk di Jakarta 15.234 orang per kilometer
persegi. Data dari World Population Review mencatat jumlah penduduk Jakarta
mencapai 10,2 juta jiwa di akhir Tahun 2014 lalu. Ini yang tinggal menetap di
dalam area DKI Jakarta, yang sering melakukan perjalanan dari kawasan Bogor,
Depok, Tangerang, dan Bekasi, mencapai sekitar dua kali lipatnya. Jumlah
penduduk di Kawasan Jabodetabek lebih dari 28 juta jiwa. Jika jumlah penduduk
di atas dapat dikendalikan, maka penyakitnya pun lebih mudah disembuhkan.
Kembali pada kota cerdas, Konsep kota cerdas mengedepankan teknologi
informasi sebagai solusi bagi permasalahan kota-kota megapolitan. Ibarat obat,
konsep tersebut diharapkan bisa menyembuhkan penyakit-penyakit kota besar.
apakah aplikasi tersebut bisa jadi obat untuk semua riwayat penyakit di atas?
Terlepas dari konsep kota cerdas yang merupakan jualan para perusahaan
penyedia layanan teknologi informasi, sederhananya, kota cerdas mestinya tidak
akan punya riwayat penyakit sebanyak itu. Teknologi informasi bisa membantu,
tapi jika pengendalian populasi tak dilakukan, maka itu hanya akan menjadi obat
penghilang rasa sakit, namun tak akan pernah menyembuhkan riwayat penyakit
Jakarta. Penerapan aplikasi smart city dianggap tidak menyentuh pangkal
masalah sebenarnya terhadap permasalahan Kota Jakarta. Sedangkan sejauh ini,
belum tampak langkah serius yang efektif dari Pemprov DKI untuk mengendalikan
jumlah populasinya. Padahal jumlah tersebut sudah merugikan pemprov yang
mesti terus mensubsidi mereka.
Merujuk pada enam dimensi kota cerdas yang dirumuskan oleh Giffinger,
tampaknya dimensi smart people lebih perlu dikedepankan lebih dahulu
dibanding dimensi-dimensi lain. Sumber daya manusia adalah modal utama
kemajuan peradaban sebuah kota. Apalah artinya penerapan aplikasi pengaduan
banjir apabila tidak ada kesadaran warga untuk tidak membuang sampah
sembarangan di sungai. Dari sisi integritas aparat petugas, apakah sudah secara

8
sadar untuk meningkatkan kinerjanya dalam menanggapi laporan-laporan dari
warga. Secara kelembagaan pemprov DKI sendiri sudah siapkah dengan
kebutuhan personel seiring dengan semakin banyaknya aduan-aduan. Jangan
sampai terjadi tumpukan aduan-aduan dan minimnya tindakan yang berujung
pada ketidakpuasan warga.
Maka menjadi penting untuk kembali memerhatikan persoalan ini. Permasalahan
populasi, pertumbuhan penduduk yang tinggi sekaligus kualitas warga dan
pemerintahannya, sesuaikan dengan rencana pembangunan yang telah ada yang
juga menyangkut pertumbuhan kota-kota lain di Indonesia. Pada titik ini wacana
pemindahan ibukota mungkin perlu kembali didengungkan dan segera
realisasikan.

3. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Jakarta Smart City adalah sebuah produk kebijakan pemerintah provinsi DKI
Jakarta yang mengedepankan penggunaan teknologi informasi dan komputer
(TIK) dalam menyelesaikan permasalahan perkotaan.
2. Aplikasi teknologi informasi yang digunakan diantaranya adalah aplikasi sosial
media QLUE yang memiliki sarana penyampaian aspirasi pengaduan secara
aktual. Data dari kanal tersebut termasuk QLUE masuk ke dashboard
smartcity.jakarta.go.id. selain itu untuk menanggapi aduan masyarakat, aparat
petugas dibekali aplikasi CROP (Cepat Respon Opini Publik)
3. Ada enam dimensi kota cerdas (Giffinger). Jakarta Smart City adalah sebuah
contoh penerapan konsep kota cerdas yang mendahulukan aspek smart
governance. Yaitu penggunaan aplikasi teknologi informasi komputer (TIK)
dalam menyelesaikan permasalahan perkotaan.
4. Jakarta Smart City adalah sebuah praksis dari sebuah wacana kota cerdas
(smart city) yang merupakan solusi mewujudkan pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Menurut Teori Diskursus Foucault,
diskursus adalah kerangka kerja yang ditentukan oleh yang berkuasa yang
ditetapkan melalui hubungan-hubungan kekuasaan yang mendasarinya.
Diskursus Jakarta Smart City adalah sebuah pengejawantahan hubungan
kekuasaan dan pengetahuan dimana kekuasaan diwakili oleh kebijakan yang
ditetapkan untuk menjalankan sebuah wacana kota cerdas yang didasari
oleh pengetahuan.
5. Konsep Jakarta Smart City saat ini dianggap belum menyentuh pangkal
permasalahan utama kota Jakarta itu sendiri. Sedangkan permasalahan
utama kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia adalah
urbanisasi. Tingkat urbanisasi yang terus meningkat mengakibatkan semakin
banyaknya permasalahan perkotaan.

Saran
1. Permasalahan utama yang dihadapi kota Jakarta adalah tingginya
pertumbuhan penduduk yang disebabkan oleh urbanisasi yang menimbulkan
berbagai implikasi. Penerapan konsep Jakarta Smart City saat ini dipandang

9
belum bisa mengakomodasi permasalahan tersebut. Sebagai contohnya
aplikasi QLUE yang diterapkan pemprov DKI Jakarta. Aplikasi tersebut hanya
sebagai fasilitas penyaluran aduan atau laporan tentang permasalahan
perkotaan yang dialami warga misalnya aduan tentang banjir atau macet.
Akan lebih baik seandainya aplikasi dalam Jakarta Smart City didampingi
edukasi tentang bagaimana memitigasi banjir. Atau lebih jauh mengajarkan
warganya untuk tidak membuang sampah sembarangan. Atau sederhanannya
aplikasi yang diterapkan dalam Jakarta Smart City adalah aplikasi yang
membuat cerdas warganya dalam berkota.
2. Dari contoh best practices pembangunan kota, bahwa dalam suatu
pembangunan kota atau daerah, pemerintah perlu bercermin sudah
maksimalkah kinerja yang dilakukan? Apabila belum maka perbaikan pada
kinerja pemerintah mutlak dilakukan. Pembangunan adalah untuk rakyat. Dan
pemerintah yang baik adalah pemerintah yang mampu memberikan
pelayanan prima kepada masyarakat baik dengan fasilitas teknologi ataupun
tidak.
3. Jakarta Smart City tidak akan terwujud apabila tidak ada kesadaran baik dari
masyarakat Jakarta ataupun pemerintahnya untuk mewujudkan kehidupan
yang selaras dengan lingkungan. Secanggih apapun teknologinya apabila
warga tetap membuang sampah di sungai dan aparat pemerintah tidak ada
tindakan nyata maka Jakarta Smart City hanya semacam label belaka.

Daftar Pustaka

Baldwin, Caroline on ComputerWeekly.com (2013). Legacy IT preventing councils


from delivering better digital services dari
http://www.computerweekly.com/news/2240207794/Legacy-IT-preventing-
councils-from-delivering-better-digital-services diakses pada tanggal 8 Mei
2015
Berry, Christopher R dan Edward L. Glaeser (2005). The Divergence Of Human
Capital Levels Across Cities dari http://www.nber.org/papers/w11617.pdf
diakses pada tanggal 8 Mei 2015
Cook, Diane J., et al (2007). Inhabitant Guidance of Smart Environments dari
http://eecs.wsu.edu/~prashidi/Papers/LNCS2007.pdf diakses pada tanggal
8 Mei 2015
Ferro, Enrico et al. (2013). The Role of ICT in Smart Cities Governance dari
http://www.enricoferro.com/paper/CEDEM13.pdf diakses pada tanggal 8
Mei 2015
Giffinger, Rudolf et al (2007). Smart Cities Ranking of European Medium-size
Cities dari http://www.smart-cities.eu/download/smart_cities_final_report.pdf
diakses pada tanggal 8 Mei 2015
Kompas.com (2014) Seperti Apa Cara Kerja Jakarta Smart City dari
http://megapolitan.kompas.com/read/2014/12/16/08245031/Seperti.Apa.
Cara.Kerja.Jakarta.Smart.City. diakses pada tanggal 8 Mei 2015
Madakam, Somaya dan Prof. R. Ramaswamy (2014). Smart cities six
dimensions dari http://www.seekdl.org/nm.php?id=2466 diakses pada
tanggal 8 Mei 2015

10
Mudula, Luigi dan Sabrina Auci (2013). Smart Cities and Stochastic Frontier
Analysis : A Comparison among European Cities dari
http://mpra.ub.unimuenchen.de/51586/1/MPRA_paper_51586.pdf diakses
pada tanggal 8 Mei 2015
Selular.co.id (2014). Beginilah Smart City Ala Ahok dari
http://selular.id/news/2014/12/beginilah-smart-city-ala-ahok/ diakses pada
tanggal 8 Mei 2015
Singh, Sarwant (2014). Smart Cities -- A $1.5 Trillion Market Opportunity dari
http://www.forbes.com/sites/sarwantsingh/2014/06/19/smart-cities-a-1-5-
trillion- market-opportunity/ diakses pada tanggal 8 Mei 2015
Sukamerta, I Made (2011). Implementasi Kebijakan Pembelajaran Bahasa Inggris
Pada Sekolah Dasar Di Kota Denpasar dari
http://www.pps.unud.ac.id/disertasi/detail-27-implementasi-kebijakan-
pembelajaran-bahasa-inggris-pada-sekolah-dasar-di-kota-denpasar.html
diakses pada 16 Mei 2015
Ulvestad, Hakon S. (2008). Migrating Video Streaming Sessions in Planning
Based Middleware dari
https://www.duo.uio.no/bitstream/handle/10852/9918/Ulvestad.pdf?
sequence=2 diakses tanggal 8 Mei 2015
UNPAN (2014) United Nations E-Government Survey 2014E-government for the
future we want dari
http://unpan3.un.org/egovkb/Portals/egovkb/Documents/un/2014-
Survey/E-Gov_Complete_Survey-2014.pdf diakses pada tanggal 8 Mei
2015

11

Anda mungkin juga menyukai