Anda di halaman 1dari 18

Nama : Yohanes Kurnia Irawan

NIM : 21040122410001
Review Jurnal Penerapan Kota Transit di Indonesia

Judul Artikel : Kesesuaian Kawasan Transit di Kota Surakarta Berdasarkan Konsep


Transit Oriented Development
Jurnal : Region, Vol. 12, No. 2, Juli 2017: 168-180
Penulis : Dwiki Kuncara Jati1 , Kuswanto Nurhadi2, Erma Fitria Rini3
Penerbit : Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas
Sebelas Maret Surakarta
Tahun Terbit : 2017

Pertumbuhan kota yang tidak terencana dan konsisten akan menimbulkan sprawl.
Dampak yang ditimbulkan dengan munculnya sprawl adalah munculnya pusat-pusat distribusi
yang saling terkoneksi sehingga merangsang mobilitas yang berorientasi pada pemanfaatan
kendaraan pribadi (automobile). Dari hal tersebut kemudian muncul permasalahan transportasi
perkotaan seperti kemacetan, penurunan kualitas udara, peningkatan angka kecelakaan, hingga
pemborosan energi tak terbarukan. Pada negara berkembang, permasalahan terkait transportasi
lumrah dijumpai di kota-kota besar dan beberapa di antaranya bahkan sudah memasuki tahap
kritis (Tamin, 2000).
Transit Oriented Development (TOD) merupakan salah satu konsep pengembangan
kawasan perkotaan yang mengutamakan pemanfaatan transportasi publik daripada kendaraan
pribadi. Curtis (dalam Bishop 2015) mengemukakan tujuan pengembangan kawasan dengan
konsep TOD yaitu guna mengurangi ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi dengan
meningkatkan penggunaan transportasi umum massal dan mempromosikan pembangunan
tanpa menciptakan sprawl. Penerapan konsep TOD pada kawasan perkotaan sejatinya
merupakan ciri dari penerapan smart growth. Sesuai dengan penerapan smart growth,
pengembangan lahan pada kawasan transit TOD harus mempromosikan efisiensi
pengembangan lahan. Fungsi komersial, permukiman, perkantoran, perparkiran, dan fasilitas
umum yang dikembangkan dalam jangkauan pejalan kaki dimaksudkan untuk membentuk
jarak tempuh yang minimal (Dittmar et al, 2003).
Fungsi-fungsi strategis tersebut kemudian diakomodir oleh transportasi publik yang
dihubungkan dengan titik transit. Perencanaan kota yang matang dan menyeluruh mutlak
diperhitungkan mengingat konsep TOD tidak dapat terwujud tanpa mengaitkan pengembangan
transportasi dengan pengembangan tata ruang titik transit.
Kota Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang berfungsi sebagai Pusat
Kegiatan Nasional (PKN). Peran tersebut menjadikan Surakarta sebagai daerah tujuan
Kawasan-kawasan hinterland di sekitarnya, yang berdampak terhadap peningkatan intensitas
pergerakan internal maupun pergerakan regional Kota Surakarta. Kondisi ini terlihat dari
tingginya tingkat kejenuhan ruas jalan di Kota Surakarta, terutama ruas jalan yang melewati
kawasan pusat kota (Dishubkominfo Kota Surakarta, 2009).
Guna mengatasi permasalahan tersebut, Pemerintah Kota Surakarta dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Surakarta Tahun 2011 - 2031 menggunakan pendekatan
perencanaan konsep TOD untuk mengembangkan titik-titik transit yang tersebar di wilayah
Kota Surakarta. Titik transit tersebut berupa terminal/stasiun antarmoda pada pusat-pusat
kegiatan, stasiun angkutan jalan rel, shelter angkutan massal jalan raya (halte) dan terminal
angkutan umum. Selain itu untuk mendukung konsep TOD, Kota Surakarta mengembangkan
transportasi masal berupa BRT (Bus Rapid Transit) dengan nama BST yang telah memiliki
rute tiga koridor.
Namun dalam pelaksanaannya, perencanaan konsep TOD tidak dapat dicapai hanya
dengan melihat peran titik transit sebagai tempat naik dan turun penumpang atau dengan
menyediakan transportasi umum massal yang cepat dan menarik bagi masyarakat saja.
Pengembangan kawasan berkonsep TOD memerlukan kajian yang mendalam mengenai titik
transit beserta kawasan sekitar titik transit yang menunjang aktivitas transit. Hal tersebut
sejalan dengan pemikiran Oregom Reviser Statues (dalam TCRP 2002) yang mengatakan
bahwa salah satu kunci dalam menerapkan konsep TOD adalah pemanfaatan guna lahan
campuran (mixed-use) pada Kawasan transit. Selanjutnya, penelitian ini akan fokus mengkaji
titik-titik transit skala regional yang dilalui oleh rute BST yang berperan sebagai transportasi
umum masal untuk membatasi jumlah obyek penelitian yang dikaji.
Dalam proses pengembangan kawasan berbasis TOD, perlu diketahui karakteristik
utama yang mencirikan penerapan konsep TOD. Karakteristik tersebut dijabarkan secara lebih
rinci ke dalam prinsip dan indikator konsep TOD. Prinsip dan indikator tersebut disarikan dari
beberapa literatur yang dirumuskan oleh institusi pegiat pembangunan kota dan transportasi
seperti Florida Department of Transportation (TCRPC), Institute for Transportation and
Development Policy (ITDP) dan Calthorpe Associates. Berikut adalah prinsip dan indikator
konsep TOD :
A. Kepadatan atau densify adalah pembentukan pola dan tata ruang yang rapat serta padat,
dengan menekankan pertumbuhan kota secara vertikal (densifikasi) daripada
pertumbuhan kota secara horizontal (sprawl). Menurut TCRP (2002) dan TCRPC
(2012) tingkat kepadatan hunian atau properti menjadi indikator yang dapat
menjelaskan prinsip kepadatan. Sementara ITDP (2015) cenderung memperhatikan
tingkat kepadatan penggunaan lahan, dengan berpedoman pada nilai koefisien dasar
bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB). Kepadatan penggunaan lahan
akan mendekatkan berbagai aktivitas hingga pemanfaatan moda transportasi umum
dapat dimaksimalkan.
B. Land-Use Mixes bertujuan untuk mendukung efisiensi mobilitas dan meningkatkan
livability kawasan dengan mengintegrasikan hunian dengan tempat bekerja, tempat
berbelanja, dan sekolah. Prinsip mix bertujuan untuk mendekatkan antar guna lahan
yang berkaitan sehingga akan mendorong aktivitas berjalan dan bersepeda masyarakat
sekitar (ITDP, 2015). TCRP (2002) membagi indikator mixed-uses ke dalam dua hal
yaitu jumlah guna lahan mixed-uses dan keberadaan retail dengan skala pelayanan yang
beragam.
C. Jalur Pedestrian dibutuhkan untuk mendukung pergerakan yang berorientasi pada
penggunaan transportasi umum massal, dengan menyediakan infrastruktur yang
mampu memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pejalan kaki juga termasuk
pesepeda.
D. Interkoneksi jaringan jalan dan blok dibutuhkan guna membentuk lingkungan yang
walkable. Jaringan jalan yang padat dengan komposisi jalan-jalan kecil dan jumlah
persimpangan yang tinggi akan memperlambat laju kendaraan sehingga dapat
memberikan keuntungan bagi para pejalan kaki. Untuk mengetahui tingkat interkoneksi
jaringan jalan dan blok, indikator yang dapat digunakan yaitu dengan menghitung
jumlah persimpangan yang ada di suatu kawasan. Semakin banyak persimpangan yang
ditemui maka semakin tinggi tingkat interkoneksi jaringan jalan dan blok.
E. Parkir dalam konsep TOD diarahkan pada sistem pembatasan parkir dengan penyediaan
ruang parkir yang lebih sedikit pada pusat kawasan transit dibandingkan pada area
pinggiran kota/secondary area (TCRPC, 2012). Salah satu metode pembatasan lahan
parkir menurut TCRPC adalah metode parkir disrictwide dengan menyediakan parkir
kolektif. Metode ini mampu mengakomodasi kebutuhan parkir di titik transit dan atau
kawasan transit dengan meningkatkan efisiensi lahan dan membatasi lahan parkir
individu. Parkir dengan metode ini biasanya berupa gedung parkir, kantong parkir, atau
fasilitas parkir titik transit itu sendiri.
F. Ruang terbuka berperan sebagai wadah interaksi sosial sekaligus menciptakan
keserasian lansekap di tengah tingginya intensitas pemanfaatan lahan. Lokasi ruang
terbuka pada kawasan berkonsep TOD bisa berada di dekat titik transit, sempadan jalan,
area permukiman, atau di area sekitar peruntukkan retail.

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kawasan transit


Solopurwosari, kawasan transit Solobalapan, dan kawasan transit Solojebres termasuk ke
dalam kategori mendekati tidak sesuai dengan konsep Transit Oriented Development. Dari 6
prinsip konsep TOD, hanya 1 – 2 kriteria yang terpenuhi pada masing-masing kawasan.
Temuan ini menandakan bahwa penerapan konsep Transit Oriented Development di titik-titik
transit di Kota Surakarta masih perlu dikembangkan, khususnya pada aspek-aspek dasar yang
menjadi karakteristik kawasan TOD yaitu kepadatan penggunaan lahan dan bangunan,
pemanfaatan lahan campuran untuk mendekatkan berbagai aktivitas, infrastruktur yang aman
bagi pejalan kaki dan pesepeda serta ketersediaan lahan parkir kolektif sebagai langkah efisensi
penggunaan lahan.
Pemenuhan prinsip-prinsip tersebut perlu dilaksanakan secara menyeluruh mengingat
keenamnya saling terkait untuk mencapai konsep TOD yang berkelanjutan. Berdasarkan hasil
temuan diatas, rekomendasi yang dapat diusulkan untuk kawasan transit Solopurwosari,
Solobalapan dan Solojebres adalah sebagai berikut :
• Bagi pemerintah Kota Surakarta Pemerintah kota Surakarta dapat menjadikan bahan
pertimbangan dalam menyusun rencana tata ruang dari beberapa aspek dasar yang
belum terklasifikasikan sesuai dengan prinsip konsep TOD. Seperti dalam aspek tata
guna lahan, rencana pola ruang kota Surakarta, terutama kawasan disekitar Stasiun
Solopurwosari, Solobalapan dan Solojebres dapat diarahkan untuk dikembangkan
memiliki penggunaan lahan dengan intensitas tinggi dan variatif (mixed-uses).
Sementara dalam rencana struktur ruang, pengembangan jaringan pesepeda dan
pedestrian menjadi alternatif strategi dalam usaha membentuk lingkungan yang ramah
pejalan kaki dan pesepeda. Masukan lainnya yang dapat diambil adalah
mengembangkan sistem parkir kendaraan bersama/kolektif. Hal tersebut selain
bertujuan untuk meningkatkan efisensi penggunaan lahan juga membatasi visual yang
bertentangan dengan prinsip ramah pejalan kaki dan bersepeda.
• Penelitian selanjutnya Penerapan konsep Transit-Oriented Development saling
mengkaitkan aspek tata ruang dan transportasi. Oleh karena itu perlu juga melakukan
kajian terhadap aspek transportasi konsep TOD terkait dengan pengembangan sistem
transportasi masal. Dengan melakukan penelitian tersebut, maka diperoleh
hasil/masukan kawasan ber konsep TOD dalam satu kesatuan. Penelitian terkait TOD
lainnya yang dapat diambil adalah kajian konsep TOD untuk titik-titik transit Kota
Surakarta lainnya yang berpotensi untuk dikembangkan dengan konsep TOD.
Nama : Ayu Novita Sari
NIM : 21040122410007

Review Jurnal Teori Evaluasi Perencanaan, Metode Pelaksanaan Evaluasi, dan


Evaluasi pada Transit Oriented Development (TOD)

Evaluating TOD in the Context of Local Area Planning Using Mixed-Methods


R. Maheswari, et al. (2022). Evaluating TOD in the Context of Local Area Planning Using
Mixed Methods. Case Studies on Transport Policy.
https://doi.org/10.1016/j.cstp.2022.03.013

Makalah ini memberikan evaluasi tunggal dengan menggunakan pendekatan metode


campuran dengan evaluasi sebelum dan sesudah untuk menganalisis kinerja proyek
perencanaan wilayah lokal di sekitar stasiun metro yang direncanakan di Ahmedabad. Evaluasi
ini memberikan gambaran kritis tentang perencanaan TOD di kota yang terkenal dengan
implementasi angkutan massalnya, yang telah direplikasi di kota-kota lain. Temuan dari kasus
ini membantu untuk mengembangkan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan tingkat
TOD di stasiun transit. Rekomendasi ini juga dapat digunakan untuk meningkatkan TOD di
kota-kota di Asia, dan berpotensi di luarnya.
Transit Oriented Development (TOD) adalah alat perencanaan, desain, kebijakan dan
implementasi untuk mengintegrasikan penggunaan lahan dan sistem transit. Ini mengubah
lingkungan sekitar stasiun transit menjadi pengembangan penggunaan campuran dengan
kepadatan tinggi yang mudah diakses dengan berjalan kaki atau bersepeda di dalam zona
pengaruh. Zona pengaruh TOD didefinisikan sebagai daerah di sekitar stasiun transit, yaitu
dalam jarak berjalan kaki, memiliki pembangunan padat dengan kepadatan tinggi dengan
penggunaan lahan campuran untuk mendukung semua kebutuhan dasar penduduk
(Kementerian Perumahan & Urusan Perkotaan, 2017). Banyak kota telah menyiapkan rencana
TOD di tingkat lokal/ daerah atau kota. Otoritas Pengembangan Perkotaan Ahmedabad (2017)
menetapkan zona pengaruh sepanjang 200 meter di kedua sisi koridor transit untuk rencana
area lokalnya. Strategi dasar yang dilakukan dalam evaluasi berorientasi tujuan untuk melihat
konsep Kota Transit dapat dilihat berdasarkan normatif, spasial, dan temporal (R, Maheswari,
et al., 2022).

Metode Pelaksanaan Evaluasi Local Area Planning (LAP)


Dalam penelitian ini penukis mengevaluasi proyek perencanaan wilayah lokal yang dilakukan
untuk mempromosikan pembangunan berorientasi TOD yang berkelanjutan. Evaluasi ini
dilakukan dengan cara menghitung indikator LAP dengan TOD untuk mengevaluasi tingkat
TOD sebelum dan sesudah implementasi proyek perencanaan wilayah lokal di sekitar koridor
metro yang direncanakan. Hasil dari evaluasi ini adalah hasil yang konvergen dan cocok untuk
menangkan semua elemen yang relevan dan memberikan dasar yang cukup untuk memberikan
rekomendasi kebijakan. Berikut merupakan daftar indikator untuk mengevaluasi TOD:

Metode Pelaksanaan Evaluasi menurut Kaufirman dan Thomas (2005):


1. Goal Oriented Evaluation Model
Merupakan model yang muncul paling awal yang menjadi objek pengamatan pada model
ini adalah tujuan dari program yang sudah ditetapkan jauh sebelum program dimuali. Evaluasi
dilakukan secara berkesinambungan, terus menerus mengecek sejauh mana tujuan tersebut
terlaksana dalam proses pelaksanaan program.

2. Goal Free Evaluation Model


Model ini dapat dikatakan berbeda dengan model Goal Orientation Evaluation karena
dalam melakukan evaluasi, evaluator tidak perlu memperhatikan apa yang menjadi tujuan
program akan tetapi bagaimana kerjannya program dengan jalan mengidentifikasi penampilan-
penampilan yang terjadi, baik dalam hal positif maupun dalam hal negatif, karena tujuan
program tidak perlu diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator terlalu rinci mengamati
tiap-tiap tujuan khusus,jika masing-masing tujuan khusus tercapai artinya terpenuhi dalam
penampilan, tetapi evaluator lupa memperhatikan sejauh mana masingmasing penampilan
tersebut mendukung penampilan akhir.

3. Formatif-Sumatif Evaluation Model.


Model ini merupakan tahap dalam lingkungan objek yang dievaluasi, yaitu evaluasi yag
dilakukan pada waktu program masih berjalan (evaluasi formatif) dan ketika program sudah
selesai atau berakhir (evaluasi sumatif).
Nama : Ayu Novita Sari
NIM : 21040122410007

Evaluating Planning Without Plans: Principles, Criteria, And Indicator For


Efective Forest Landscape Approaches
E.A. Morgan et.al. (2022). Evaluating Planning Without Plans: Principles, Criteria, And
Indicator For Efective Forest Landscape Approaches. Land Use Policiy.
https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2022.106031

Evaluasi perencanaan dapat memberikan informasi yang dapat digunakan untuk


meningkatkan perencanaan, dan memberikan panduan tentang bagaimana perencanaan lebih
formal dapat dilaksanakan jika sesuai dan bermanfaat untuk masyarakat (E.A. Morgan, et al.,
2022). Keterbatasan sumber daya dan kapasitas berarti bahwa kegiatan perencanaan dalam
konteks ini seringkali bersifat informal dan baru lahir, daripada sangat formal dalam dokumen
perencanaan, namun pelaksanaan evaluasi terbatas. Alat yang kuat untuk melaksanakan
evaluasi dalam konteks perencanaan yang muncul dapat membantu meningkatkan proses dan
hasil perencanaan, dan memandu perencana (berbasis masyarakat dan lainnya) untuk memilih
dan menerapkan alat perencanaan yang tepat untuk konteks tersebut. Makalah ini
mengembangkan kerangka evaluasi prinsip, kriteria dan indikator untuk menilai proses
perencanaan lanskap hutan informal dan yang sedang berkembang. Kerangka kerja ini
dirancang khusus untuk pemangku kepentingan yang terlibat dalam proses perencanaan
lanskap hutan dengan sedikit sumber daya dan di mana kapasitas teknis formal terbatas.
Kerangka kerja ini akan membantu memandu dan meningkatkan perencanaan.
Evaluasi merupakan bagian penting dari proses perencanaan, meskipun seringkali
merupakan elemen yang lemah (Guyadeen and Seasons, 2016, 2018). Evaluasi rencana
seringkali apriori, untuk mengidentifikasi opsi perencanaan 'terbaik', atau 'ex post facto', untuk
mengukur keberhasilan rencana (Alexander, 2006). Evaluasi juga umumnya dibagi menjadi
evaluasi kinerja rencana (apa yang telah dicapai?) atau kesesuaian (apakah/bagaimana telah
digunakan?) (Alexander, 2006; Guyadeen and Seasons, 2018)

Tujuan Evaluasi Perencanaan


Tujuan dari evaluasi yang dilakukan penulis adalah untuk mempertimbangkan apakah proses
perencanaan telah meningkatkan kualitas keputusan, yang mencerminkan tujuan perencanaan
komunikatif (Faludi dan Altes, 1994) Oleh karena itu, kerangka evaluasi yang dikembangkan
di sini adalah tentang menilai apakah rencana tersebut 'melihat' dan 'melakukan' hal-hal yang
'benar' – baik dalam hal proses perencanaan (bagaimana perencanaan dilakukan) dan hasil
perencanaan (dalam hal bagaimana perencanaan dapat meningkatkan keputusan).

Metode Evaluasi Prinsip, Kriteri, dan Indikator


Pendekatan evaluasi perencanaan mengikuti format yang ditetapkan oleh kerangka
evaluasi tata kelola Cadman (2012) yang memungkinkan pemangku kepentingan menilai tata
kelola mereka saat ini dan mengidentifikasi tindakan masa depan untuk mempertahankan dan
meningkatkannya, dan yang dapat diformalkan dalam standar tata kelola. Prinsip, kriteria, dan
indikator yang diidentifikasi di sini dirancang agar sesuai dengan kerangka kerja tiga pilar
untuk pengelolaan lanskap hutan terpadu (Morgan et al., 2020).
Kerangka prinsip, kriteria dan indikator adalah alat evaluasi dan penilaian yang umum.
Mereka sering menjadi dasar standar, yang berfungsi sebagai referensi untuk pemantauan,
pelaporan dan evaluasi (Lammerts van Bueren dan Blom, 1997), termasuk dalam skema
sertifikasi kayu dan pedoman pengelolaan hutan lestari (Colfer et al., 1995; FAO, 2015).
Prinsip biasanya pernyataan normatif yang mencerminkan keinginan dan nilai-nilai dalam
sistem tertentu; mereka bersifat ideasional dan tidak terukur (Cadman, 2011; Lammerts van
Bueren dan Blom, 1997). Kriteria berfungsi pada tingkat di bawah prinsip, sebagai parameter
yang menunjukkan kepatuhan terhadap aspek tertentu dari status sistem. Mereka dirancang
untuk memfasilitasi penilaian prinsip dan merupakan kategori kondisi atau proses yang
berkontribusi pada prinsip, dan, jika terpenuhi secara konsisten, secara andal menyarankan
prinsip tersebut dicapai atau ditegakkan. Kriteria biasanya tidak dapat diukur secara langsung
tetapi dirumuskan untuk memungkinkan penentuan tingkat kepatuhan (Cadman, 2011;
Lammerts van Bueren dan Blom, 1997). Indikator adalah parameter yang dapat diukur secara
kualitatif atau kuantitatif, dan menggambarkan kondisi sistem dan/atau tingkat kesesuaian
dengan kriteria terkait. Definisi prinsip, komponen, dan indikator ini memandu analisis literatur
untuk mengidentifikasi prinsip, kriteria, dan indikator perencanaan.
Nama : Chrisanti K Lama Tokan
NIM : 21040122410013

Review Jurnal Struktur Ruang, Pola Ruang, Sub BWP dan Peraturan Zonasi

Stuktur Ruang Kota merupakan susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan sarana
prasarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara
hierarkis memiliki hubungan fungsional (Undang-Undang No 26 Tahun 2007). Struktur ruang
kota memperlihatkan penggunaan ruang kota oleh pergerakan dan aktivitas masyarakat dengan
pertimbangan kondisi fisik kota, sehingga struktur ruang kota tergantung kepada kondisi fisik
yaitu penggunaan lahan dan pola jaringan transportasi serta kondisi non fisik yaitu pergerakan
dan aktivitas masyarakat didalamnya.

“Kajian Perubahan Penggunaan Lahan Dan Struktur Ruang Kota Bima”


Bambang Setiawan, Iwan Rudiarto/ jurnal pembangunan wilayah dan kota Volume 12 (2): 154 - 168 Juni 2016
© 2016 Biro Penerbit Planologi Undip

Latar Belakang
Perkembangan kota di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh adanya pertumbuhan
penduduk, aktivitas sosial, ekonomi bahkan politik sehingga mempengaruhi bentuk dan
struktur ruang kota yang ada. Peningkatan aktivitas manusia di wilayah perkotaan telah
membawa perubahan dalam penggunaan lahan dan pola lanskape baik skala lokal maupun
global (Deng et al, 2009). Adanya fenomena perkembangan pada suatu wilayah atau kawasan
akan berpengaruh untuk terbentuknya struktur ruang kota yang baru. Menurut Chapin dan
Keiser (1979), untuk menjabarkan fenomena penggunaan lahan diperkotaan, terkait dengan
tiga kunci sistem yaitu sistem aktivitas, sistem pengembangan dan sistem lingkungan.
Perkembangan Kota Bima menunjukan adanya kemajuan jika ditinjau dari aktivitas
kotanya. Dalam perkembangannya, Kota Bima didominasi oleh tiga aktivitas utama sebagai
pusat pelayanan kegiatan bagi wilayah kabupaten di sekitarnya yaitu kegiatan perkantoran,
pendidikan, perdagangan dan jasa. Kota Bima mengalami pergeseran perkembangan ekonomi
yang pada awalnya beroreantasi pada sektor pertanian kemudian beralih ke sektor perdagangan
dan jasa. Perkembangan tersebut menyebabkan proses perubahan fisik, sosial budaya maupun
ekonomi ke dalam tatanan ruangnya.
Hasil dan Pembahasan

Penggunaan lahan di Kota Bima tahun 1999 dan 2014 menunjukan bahwa;
a. Berdasarkan analisis pada peta penggunaan lahan menunjukan bahwa jenis penggunaan
lahan di Kota Bima Tahun 1999 dan 2014 terdiri atas; penggunaan lahan untuk hutan,
permukiman, pertanian lahan kering, sawah, tambak, perdagangan dan jasa,
pemerintahan, pendidikan, pelabuhan, terminal. Penggunaan lahan tahun 2014
didominasi oleh pertanian lahan kering yakni sebesar 76,04% kemudian diikuti lahan
hutan sebesar 11,43%. Penggunaan lahan terkecil adalah terminal sebesar 0.01%.
b. Perubahan penggunaan lahan yang paling fluaktif adalah pertanian lahan kering, yang
dikonversi menjadi hutan seluas 691,01 Ha kemudian diikuti konversi menjadi
permukiman yakni seluas 171,93 Ha. Kenaikan luas terbesar terhadap penggunaan
lahan adalah permukiman, sedangkan penggunaan lahan yang mengalami penyusutan
adalah lahan sawah.
c. Analisis Perubahan struktur ruang di kota Bima, meliputi tinjauan Struktur Ruang
terhadap Kondisi Fisik Alam, aktivitas penduduk dan jaringan jalan.
Adanya pertumbuhan penduduk, peningkatan aktivitas dan sarana prasarana terutama
jaringan jalan dari tahun 1999 sampai 2014, ternyata belum menunjukan perubahan
struktur ruang yang terlalu signifikan karena perkembangan fisik kota hanya mengisi
ruang-ruang yang berada di dekat pusat pelayanan sehingga belum menumbuhkan pusat
pelayanan baru.
Nama : Chrisanti K Lama Tokan
NIM : 21040122410013
Pola Ruang merupakan distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi. Isi Rencana
Pola Pemanfaatan Ruang adalah delineasi (batas-batas) kawasan kegiatan sosial, ekonomi,
budaya dan kawasan-kawasan lainnya di dalam kawasan budidaya dan delineasi kawasan
lindung.

“Analisis Keselarasan Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Pola Ruang


dan Pengendaliannya di Kota Jakarta Timur”
Andy P. Sejati , Santun R.P. Sitorus and Janthy T. Hidayat / Tata Loka volume 22 nomor 1, februari 2020, 108-123
© 2020 Biro Penerbit Planologi Undip P ISSN 0852-7458- E ISSN 2356-0266

Latar Belakang
Jakarta merupakan kota metropolitan di Indonesia yang sedang maju pesat dengan
banyaknya perkembangan bisnis, industri, dan pembangunan. Metropolitan Jakarta merupakan
kawasan perkotaan terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Kawasan ini memiliki peran
dan fungsi yang penting dalam mendukung perekonomian nasional, salah satunya adalah
sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan Ibukota Negara Indonesia (Vioya 2010). Peningkatan
jumlah penduduk memiliki konsekuensi terhadap perkembangan ekonomi yang menuntut
kebutuhan lahan untuk pemukiman, industri, infrastruktur dan jasa (Munibah et al., 2009).
Pembangunan yang terus berjalan menyebabkan kebutuhan terhadap lahan sebagai ruang
dalam pembangunan semakin besar. Kebutuhan terhadap lahan yang terus meningkat,
sedangkan luas lahan yang ada tetap mendorong terjadinya konversi lahan di Kota Jakarta
Timur. Konversi penggunaan lahan yang terus terjadi menyebabkan kemungkinan
ketidakselarasan penggunaan lahan eksisting dengan rencana pola ruang RTRW/RDTR. Agar
peran dan fungsi Kota Jakarta Timur dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai bagian pusat
pemerintahan dan ekonomi, maka pemanfaatan ruang harus dikendalikan agar sejalan dengan
rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Hasil dan Pembahasan
a. Penggunaan lahan eksisting di Kota Jakarta Timur tahun 2017 terdiri atas 6 (enam) jenis
penggunaan lahan yang terdiri atas; Campuran bangunan, industri, perkantoran,
perumahan, ruang terbuka hijau, dan tubuh air. penggunaan lahan terbanyak adalah
perumahan berupa perumahan vertikal (bangunan apartmen) kompleks perumahan real
estate (perumahan cluster) dan perkampungan dengan lahan industri mempunyai pola
terkumpul pada satu kawasan dan menyebar disekitar kawasan perkampungan.
b. Analisis Keselarasan Penggunaan Lahan Eksisting dengan Rencana Pola Ruang Kota
Jakarta Timur menunjukan bahwa penggunaan lahan yang selaras dengan rencana pola
ruang RDTR seluas 12.430,8 ha (76,5%), sedangkan penggunaan lahan yang tidak
selaras dengan rencana pola ruang RDTR seluas 3.812,7 ha (23,5%). Persentase
keselarasan penggunaan lahan dengan pola ruang diatas 50% secara berurutan dimiliki
oleh perumahan industri dan perkantoran. Sedangkan Ketidakselarasan terbesar adalah
penggunaan lahan perumahan diikuti oleh dan perkantoran serta campuran bangunan.
c. Ketidakselarasan penggunaan lahan dengan pola ruang RDTR pada sepuluh kecamatan
di Kota Jakarta Timur seluas 3812,7 ha (23,5%). Angka ini menunjukkan masih
terdapat ketidakselarasan penggunaan lahan eksisting terhadap rencana pola ruang di
Kota Jakarta Timur. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakselarasan penggunaan
lahan dengan pola ruang RDTR di Kota Jakarta Timur adalah faktor kebutuhan
ekonomi, kebutuhan tempat tinggal, jarak dari pusat ekonomi, jarak dari jalan,
kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, kepadatan penduduk dan adanya fasilitas
umum. Faktor yang mempengaruhi ketidakselarasan penggunaan lahan dengan rencana
pola ruang RDTR tersebut dipilih yang sesuai dengan kondisi Kota Jakarta Timur untuk
dimasukkan ke dalam daftar kuesioner dan dilakukan penyebaran kuesioner kepada
responden.
Pengendalian pemanfaatan ruang di Kota Jakarta Timur telah dilakukan oleh Pemerintah
Daerah dengan empat instrumen pengendalian yaitu Peraturan Zonasi dalam Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR), pemberian izin, pemberian insentif dan disinsentif dan
penerapan sanksi. Namun dalam pelaksanaannya dinilai belum maksimal ditandai dengan
masih terdapat ketidakselarasan penggunaan lahan dengan pola ruang RDTR, terdapat
perizinan IPPR pada penggunaan lahan yang tidak selaras, terdapat pengembang yang
mendapatkan disinsentif dan terdapat sanksi administrasi terhadap pelanggaran
pemanfataan ruang.
Nama : Chrisanti K Lama Tokan
NIM : 21040122410013
Peraturan Zonasi atau disebut dengan zoning regulation, merupakan perangkat aturan pada
skala blok yang umum digunakan di negara maju dikarenakan pola ruang wilayah yang ada
didasarkan pada pola pengembangan blok kawasan. Peraturan zonasi dalam ketentuan
perundangan penataan ruang di Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Rencana Detail Tata Ruang.

Sub Bagian Wilayah Perkotaan yang selanjutnya disebut Sub BWP adalah bagian dari BWP
yang dibatasi dengan batasan fisik dan terdiri dari beberapa blok, dan memiliki pengertian yang
sama dengan subzona peruntukan. Sub BWP yang diprioritaskan penangannya sebagai upaya
dalam rangka operasionalisasi rencana tata ruang yang diwujudkan ke dalam rencana
penanganan sub BWP yang diprioritaskan.

“Perencanaan Peraturan Zonasi Di Kawasan Konservasi


(Studi Kasus Pecinan Semarang)”
Jamilla Kautsary/ Jurnal Planologi Vol. 15, No. 2, Oktober 2018 E-ISSN : 2615-5257

Latar Belakang

Peran penting aturan zonasi adalah untuk menjaga agar pemanfaatan ruang yang
berkembang tetap sesuai dengan karakteristik zona (sesuai dengan rencana) serta untuk
meminimalkan dampak negatif (Peraturan Mentri PU No. 20 Tahun 2012 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota). Pada peraturan zonasi memuat ketentuan yang
meliputi; izinkan, diizinkan bersyarat, diizinkan terbatas dan tidak diizinkan, ketentuan-
ketentuan ini tentu berbeda pada setiap zona pemanfataan ruang, tergantung pada karakteristik
zonanya. Pada kasus pengaturan zona di kawasan Semarang Tengah khususnya pada kawasan
Pecinan karakteristik unik zona sebagai bagian permukiman tradisional etnis Tionghoa belum
dipertimbangkan. Kawasan ini sesuai dengan Perda No. 14 tahun 2011 tentang RTRW Kota
Semarang 2011-2031 diarahkan sebagai kawasan Perkantoran dan Perdagangan dan Jasa (Pasal
10 ayat (2)) serta merupakan bagian dari kawasan Cagar Budaya (Pasal 69). Sementara pada
Perda No. 6 Tahun 2004 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Semarang (Bagian Wilayah
Kota I) peruntukan ini di rincikan menjadi fungsifungsi: permukiman, perdagangan dan jasa,
campuran perdagangan dan jasa, permukiman, perkantoran, spesifik/budaya. Guna
menghindari adanya konflik dan dampak negatif terkait dengan upaya konservasi kawasan
cagar budaya dan mengarahkan agar zona perkembangan sesuai dengan karakteristik lokal
zona, maka perlu untuk dikaji kembali peraturan zonasi yang ditetapkan di kawasan tersebut
serta melihat seberapa jauh karakteristik lokal zona di pertimbangan perencanaan peraturan
zonasi pemanfaatan ruang di kawasan tersebut dalam penyusunan rencana detail tata ruang
(RDTRK ).
Hasil dan Pembahasan
Penetapan kawasan cagar budaya Kota Semarang yang termuat dalam Peraturan Daerah
Kota Semarang No. 14 tahun 2011 berbeda dengan dokumen Pelakasanaan Program Penataan
dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) tahun 2013. Kawasan prioritas sesuai dokumen P3KP
merupakan kawasan yang diprioritaskan penanganannya dalam pelestarian pusaka yang
memiliki luas 141,5 Ha, penggunaan lahan di kawasan ini didominasi oleh perumahan dan
perdagangan, yang terdiri dari Kawasan Benteng (Kota Lama), Kawasan Kauman, Kawasan
Pecinan, Kawasan Petudungan, Kawasan Kulitan dan Kawasan pendukung Benteng.
Dari dokumen Pelaksanaan Program Penataan Dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP)
Kota Pusaka Semarang, Tahun 2013, yang disusun oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang,
Kementerian Pekerjaan Umum, pola pemanfaatan ruang dan zonasi yang ditetapkan secara
rinci hanya terbatas pada pengambaran fungsi blok peruntukan dan belum mencantukkan
aturan ditiap blok/zona. Produk tata ruang dan produk khusus penataan ruang untuk kawasan
pusaka Kota Semarang masih belum lengkap, aturan yang muncul hanya sebatas penetapan
fungsi kawasan, KDB dan KLB dan ketinggian bangunan secara umum, jika disandingkan
dengan parameter peraturan zonasi yang digunakan di Indonesia ( khususnya dalam muatan
RDTRK).
Nama : Ilham Hi Umar
NIM : 21040122410014

Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) merupakan bagian dari rencana rinci tata ruang. Di
Indonesia, terdapat dua jenis perencanaan utama yaitu Rencana Pembangunan dan Rencana
Tata Ruang (RTR) yang menjadi pedoman bagi pemerintah untuk mencapai target
pembangunan dalam jangka waktu dan lingkup tertentu. Rencana tata ruang terbagi menjadi 2,
yakni rencana umum yang terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota dan rencana rinci yang terdiri
dari RTR Pulau, RTR Kawasan Strategis Nasional dan RDTR Kabupaten dan Kota).

Implementasi Kebijakan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Di


KecamatanBalongbendo Kabupaten Sidoarjo (Studi Pelanggaran Ijin
Pemanfaatan Ruang)
Dody Feryanto Kurniawan, 1 Cahyo Sasmito, 2 Cakti Indra Gunawan3 123Program Studi Magister Administrasi Publik, Sekolah
Pascasarjana Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
Korespondensi Penulis Utama : dodyferyanto@gmail.com

Latar Belakang

Rencana Rinci Tata Ruang (RDTR) adalah rencana rinci tata ruang Kabupaten / Kota
dengan peraturan zonasi wilayah / perkotaan. Berdasarkan ketentuan peraturan pemerintah
Nomor 15 Tahun 2010 Pasal 59 Tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menetapkan
bahwa “setiap RTRW kabupaten/kota harus menentukan bagian dari wilayah kabupaten/kota
yang perlu disusun RDTR nya. Pertimbangan penetapan kawasan yang akan disusun RDTR
harus merupakan kawasan perkotaan atau kawasan strategis kabupaten/kota. Kawasan
strategis kabupaten kota dapat disusun rencana detilnya apabila merupakan kawasan yang
mempunyai ciri perkotaan atau akan direncanakan menjadi kawasan perkotaan”.

RDTR digunakan untuk pengendalian kualitas pemanfaatan ruang wilayah / kota


berbasis Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), acuan kegiatan pemanfaatan ruang yang
lebih rinci untuk kegiatan pemanfaatan ruang yang ditentukan oleh kebijakan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), acuan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, penerbitan izin
acuan pemanfaatan ruang, dan informasi dalam Perencanaan Gedung Referensi dan
Perencanaan. Tata Ruang (RDTR) dan aturan zonasi sangat diperlukan sebagai acuan
operasional dalam pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selain itu juga
menjadi acuan dalam pemberian izin pemanfaatan ruang, khususnya izin mendirikan
bangunan. Perda RTRW Kabupaten / Kota harus memberikan RDTR Perda dalam waktu 36
bulan setelah diundangkannya Perda RTRW Kabupaten, maka cukup banyak daerah dan kota
yang telah menerbitkan Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
(www.tataruang.atrbpn.go.id, 2020).

Penataan ruang / penggunaan lahan merupakan pedoman pelaksanaan pembangunan


wilayah dan contoh pelaksanaan kebijakan pembangunan. Secara umum berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Penatagunaan Tanah dinyatakan bahwa
penataan ruang yang dilakukan harus memiliki tiga fungsi yaitu perencanaan, pengendalian,
dan pengaturan. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) merupakan bagian dari sistem geografis
dan saling terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan
didukung dengan peraturan zonasi / blok dalam Undangundang No 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang.

Penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang memenuhi kebutuhan
pembangunan dengan selalu menjaga model alokasi investasi kolaboratif yang ramah
lingkungan dan efisien, dapat dijadikan acuan dalam rencana pembangunan untuk
kesejahteraan masyarakat, membakukan hubungan antara berbagai aktivitas dan fungsi ruang
untuk mencapai pemanfaatan ruang yang berkualitas. Penataan ruang secara sederhana dapat
dijelaskan sebagai perencanaan pemanfaatan ruang dan potensi kota, serta pembangunan
prasarana penunjang yang diperlukan untuk menyesuaikan dengan kegiatan sosial dan
ekonomi yang dibutuhkan (Budiharjo, 2011:27). Untuk dapat melaksanakan kegiatan
masyarakat secara efektif dan mencapai keterpaduan tujuan pembangunan, perlu diatur
pembagian tanah(Dardak, 2006).

Hasil dan pembahasan


Dalam penelitian ini peneliti membahas tentang implementasi kebijakan publik dalam
hal Implementasi Kebijakan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) dengan mengidentifikasi
Pelanggaran Pemanfaatan Ruang Di Kecamatan Balongbendo. Oleh karena itu berdasarkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo di Kecamatan Balongbendo
merupakan kawasan permukiman perkotaan, maka dari itu perlu adanya identifikasi tata ruang
agar penggunaan lahan tersebut sesuai dengan rencana yang ada.
Kegiatan ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kesesuaian penggunaan ruang faktual
terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah serta untuk mengetahui jenis penyimpangan penataan
ruang. Dalam upaya pengendalian dan penataan pemanfaatan ruang, maka dilakukan
pemetaan identifikasi pelanggaran pemanfaatan ruang di wilayah Kecamatan Balongbendo.
Implementasi Kebijakan Perda Kabupaten Sidoarjo No. 5 Tahun 2019 tentang Rencana Detail
Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Bagian Wilayah Perkotaan Kecamatan Balongbendo Tahun
2019 – 2039 berdasarkan penyajian data primer yang ditemukan peneliti berupa hasil
wawancara, observasi, dan dokumentasi yang disampaikan sebelumnya bahwa implementasi
kebijakan berbagai aturan yang terdapat didalam RDTR tersebut sudah berjalan dengan baik
hal ini dapat dilihat dengan adanya koordinasi yang dilakukan oleh instansi yang
berkewenangan memberikan rekomendasi perijinan, selain itu kebijakan RDTR juga dapat
mengakomodir izin pengembangan perumahan, industri, kegiatan perdagangan dan jasa,
pembangunan ruko dan lain sebagainya.
Berdasarkan rumusan masalah yang difokuskan pada Implementasi Kebijakan Rencana
Detil Tata Ruang (RDTR) Di Kecamatan Balongbendo, maka peneliti menganalisis dengan
menggunakan model Edward III dalam Widodo (2017:97), yang memiliki empat variabel
pendekatan yaitu:
1. Komunikasi
Dalam penelitian ini konteks komunikasi yang dimaksud adalah agar Implementasi
Kebijakan Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) Di Kecamatan Balongbendo ini dapat
berjalan dengan baik.
2. Sumber Daya
Faktor sumber daya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan atau
program (Edward III dalam Widodo (2017:98).
3. Disposisi atau Sikap Pelaksana
Kecamatan Balongbendo, dan Pemerintah Desa setempat dalam melaksanakan
kebijakan RDTR.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi berkenan dengan kesesuaian organisasi yang menjadi penyelenggara
implementasi kebijakan publik.

Anda mungkin juga menyukai