Oleh
Ayu Novita Sari
21040122410007
Dalam menciptakan sebuah visi Bersama tidak selalu mudah, menciptakan visi
melibatkan pembangunan consensus dari semua pemangku kepentingan, dengan
membuka jaringan yang luas dan memberikan semua pemangku kepentingan
berkesempatan untuk mewujudkan visi, dpat mengurangi kemungkinan pihak yang
menentang suatu prooyek. Audiensi publik dilakukan dalam proses pembuatan visi,
dengan mempertahankan visi perlunya strategi implementasi yang meliputi (mekanisme
pendanaan, mitra potensial, dan agenda pencapaian visi atau proyek dapat
terimplementasi. Contohnya yaitu, Rencana Induk Pusat Kota Durham, pemangku
kepentingan diundang untuk mengidentifikasi dan memformalkan visi mereka tentang
masa depan kota melalui pertemuan, wawancara, dan mitra pemerintah dan swasta.
Melibatkan media dapat memberikan keberhasilan dalam PPP, karena dapat membantu
menyampaikan visi dan proses perencanaan, dan membantu membentuk aliansi dengan
media dalam mengartikulasikan dan mempublikasi visi yang telah dibuat.
Komponen penting dari sebuah visi adalah memastikan bahwa visi itu dapat bertahan
dalam jangka panjang, dengan demikian visi tercipta bukan hanya kepentingan pemerintah
tetapi untuk masyarakat yang akan membantu bertahannya visi, dan akan melampaui
implementasi. Guna mendapatkan keyakinan bahwa konsekuensi biaya yang ditanggung
dalam penyiapan proyek PPP dapat mencapai visi dan tujuannya, langkah preventif perlu
ditetapkan. Penting untuk mengimplementasikan manajemen risiko yang optimal sedini
mungkin, termasuk dalam proses pengelolaan Project Development Fund atau PDF . Risiko
pasar, risiko industri, bahkan risiko performa proyek perlu diidentifikasi dan dalam
beberapa hal dijadikan sebagai bagian dari critical path dalam pelaksanaan fasilitas (KPBU,
Kementrian Keuangan RI, 2020).
Titik awal keberhasilan PPP adalah semua calon mitra mendapatkan apresiasi penuh,
rasa hormat terhadap pemangku kepentingan lain dalam suatu kesepakatan. Pilih mitra
dengan bijak, karena mitra akan bekerja bekerjasama, setiap pemangku kepentingan
memiliki kesepakatan karena alasan dan pemahaman yang sama. Kepercayaan yang tidak
dibangun dengan baik akan menyebabkan kesepakatan batal. PPP diasumsikan sebagai
bangku berkaki empat, melibatkan pemerintah, organisasi nirlaba, kepentingan nirlaba,
dan pemangku kepentingan, masing-masing sector memiliki peran yang berbeda. Setiap
kesepakatan dalam PPP terdapat pertanyaan mendasar yaitu (1) Apakah layak secara
finansial? dan (2) Apakah akan disetujui?. Aspek kelembagaan sangat penting dalam
kesuksesan implementasi PPP, menurut Akhmetshina et al, (2017) PPP adalah suatu
kelembagaan dan suatu organisasi pemerintah dan swasta yang bertujuan untuk
merealisasikan proyek penting dengan cakupan aktivitas dari pengembangan sector
ekonomi yang penting secara strategis sampai pada penyediaan jasa public diseluruh
negeri.
Faktor sukses dalam aspek kelembagaan dengan konsep kerangka delegasi
pengelolaan, manajemen asset, manajemen kontrak, isu-isu operasional dan tubuh
regulasi yang terkait dengan peran pemerintah dalam PPP.
Mitra Publik/Pemerintah, Lembaga pemerintah mengesahkan tujuan umum proyek
sebelum mempertimbangkan partisipasi, pemerintah sebagai penggerak. Pemerintah
memiliki wewenang dalam menyiapkan lokasi, memberi izin, mempercepat proses,
pengurangan pajak, keringanan biaya, memberikan insentif kepada sector swasta yang
membantu. Jika pemerintah tidak membuat kompromi yang diperlukan dengan mitra,
kesepakatan pembiayaan akan hilang, dalam hal ini konsultan dan pengacara dapat
memfasilitasi. Mitra Swasta, sector swasta dapat Menyusun pengembangan, dengan
memberikan keahlian desain pemasaran, pembangun proyek hingga mengoperasikan.
Nirlaba atau Nonprofits Organizations, bertindak sebagai perantara antara kepentingan
public dan swasta untuk keuntungan Bersama, organisasi ini membantu investor
menemukan peluang untuk berpartisipasi dalam proyek pengembangan masyarakat.
Pemangku Kepentingan, memiliki hak untuk didengar, masyarakat mingin tahu apakah
suara dan pendapat mereka dapat menjadi pertimbangan.
Menurut Perpres 38 / 2015 dan Permen PPN no 4 / 2015, terdapat tiga lembaga utama
yang terkait dengan KPBU yaitu Pertama, PJPK (menteri /Kepala Lembaga / Kepala Daerah),
dengan tugas utama adalah memberikan dukungan pemerintah dan Memberikan jaminan
pemerintah (penjaminan infrastruktur). Kedua, Menteri Keuangan, dengan tugas utama
adalah merumuskan bentuk dan cara pemberian dukungan kelayakan dan merumuskan
Pengendalian dan pengelolaan risiko atas Jaminan Pemerintah. Ketiga, Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur, dengan tugas utama adalah merumuskan Jaminan Pemerintah.
Alasan kuat yang meyakinkan publik dan swasta untuk bermitra untuk mengambil
risiko yang diperlukan untuk membangun kemitraan dan mengimplementasikan proyek.
Alokasi risiko kepada pihak swasta harus diperhitungkan dengan matang, jika tidak akan
berdampak pada dua hal yaitu kelebihan investasi dari yang direncanakan, dan
peningkatan tarif sebagai kompensasi biaya modal yang tinggi oleh pihak swasta. Jika
pemerintah kurang memiliki informasi yang baik, pihak swasta akan berperilaku
oportunistik dan berpotensi merugikan pemerintah atau masyarakat.
Prinsip Alokasi Risiko dalam proyek PPP (Acuan Alokasi Risiko PT. PII, 2022):
- Risiko sebaiknya dialokasikan kepada pihak yang relatif lebih mampu mengelolanya
atau dikarenakan memiliki biaya terendah untuk menyerap risiko tersebut.
- Jika prinsip ini diterapkan dengan baik, diharapkan dapat menghasilkan premi risiko
yang rendah dan biaya proyek yang lebih rendah sehingga berdampak positif bagi
pemangku kepentingan proyek tersebut.
Manfaat bagi pengembang swasta paling jelas dan mudah diukur, kesepakatan harus
menguntungkan setelah membayar semua biaya terkait investasi waktu dan dana. Bagi
pihak swasta, imbalan atau reward yang diperoleh dari proyek PPP sangat penting, karena
swasta berorientasi pada keuntungan yang diperolah, imbalan dapat berbentuk hasil yang
bersumber dari membangun atau berinvestasi dari proyek PPP (J.B. Maramis, 2018).
Imbalan atau keuntungan juga menjadi aspek resiko, menurut Mathur (2014)
mengidentifikasi beberapa jenis resiko yang bisa timbul dalam proyek PPP yaitu ; (1) Resiko
Politik. Resiko menyangkut (salah satunya) adalah kurangnya konsistensi dalam kriteria
imbalan suatu proyek. Sedangkan menurut menurut Perpres 38 / 2015, Pasal 29, 3) Biaya
penyiapan KPBU yang dapat dibebankan kepada Badan Usaha pemenang lelang meliputi:
a. biaya penyiapan prastudi kelayakan; b. biaya transaksi; c. imbalan terhadap Badan
Usaha dan lembaga/institusi/organisasi internasional pelaksana penyiapan yang
dibayarkan berdasarkan keberhasilan transaksi KPBU (success fee); dan d. biaya lain yang
sah.
Ketersediaan imbalan atau return yang menarik atau valuable bagi swasta yang terlibat
dalam proyek proyek KBPU berkorelasi dengan kesuksesan implementasi KPBU.
Kemudahan prosedur pembayaran imbalan atau return dan konsistensinya di masa depan
akan mengurangi resiko imbalan atau return, hal ini akan menghasilkan daya tarik tinggi
dari swasta untuk berpartisipasi dalam proyek proyek KPBU (J.B. Maramis, 2018).
Agar PPP berjalan sukses, semua pihak harus melakukan tugas dari awal hingga akhir
proyek, mitra perlu memahami apa yang harus dikerjakan dengan menginvestasikan
waktu, energi, dan sumber daya disemua tahapan proyek. Tahapan pelaksanaan perjanjian
PPP memilik empat (4) tahapan yaitu (1) Tahap Perencanaan, (2) Tahap Penyiapan, (3)
Tahap Transaksi, dan (4) Tahap Pelaksanaan Perjanjian PPP. Pada Tahap persiapan proyek
PPP melakukan uji tuntas, bertujuan untuk memastikan semua mitra harus memahami
semua masalah teknis, social, dan keuangan proyek. Dengan melakukan semua tugasnya
masing-masing para mitra dapat mempertahankan pemahaman tentang aspek teknis
proyek, dengan kata lain jangan keluar dari proses dan tetap berinvestasi. Kegagalan
proyek PPP akan gagal ketika kedua belah pihak tidak terus menginvestasikan sumber daya
yang dibutuhkan untuk memastikan proyek tetap berjalan. Kolaborasi sangat penting
untuk pembelajaran, dapat memastikan PPP menerapkan sistem perbaikan berkelanjutan
yang dapat digunakan untuk menyediakan sistem dan jaringan beroperasi secara andal dan
aman (Li, Xinjian 2022).
Komunikasi yang dijalin dengan konstan atau berlanjut dapat membantu dalam
mengenali kepentingan Bersama dan memastikan efisiensi pengambilan keputusan dan
proses implementasi. Komunikasi Internal antar pemangku kepentingan ini sangat penting
bagi dinamika internal dari struktur kemitraan yang kompleks. Komunikasi dilakukan lebih
awal dimana para mitra harus mengkomunikasikan tujuan proyek secara menyeluruh
untuk menemukan landasan Bersama dalam kemitraan. Setelah mendapatkan tujuan
proyek, mitra harus mendikusikan dan menyetujui strategi untuk mencapai tujuan
tersebut, untuk memastikan keputusan lebih efisien dalam memfasilitasi pertukaran ide,
informasi, dan menciptakan peluang keterlibatan public.
Sedangkan komunikasi eksternal yaitu komunikasi yang terus menerus dengan
beragam sector eksternal untuk memastikan dukungan luas dan beragam perprektif dalam
proses. Kemitraan harus mengembangkan konsep proyek yang jelas dan ringkas yang
dapat dikomunikasikan dalam suara yang konsisten dan kohesif kepada seluruh mitra.
Perlu ada dorongan untuk menciptakan kolaborasi dan kerja sama antar pihak dalam
jangka waktu yang lama (misalnya, hingga 30 tahun) untuk memberikan penyampaian
layanan berkualitas tinggi dan memastikan nilai uang dalam KPS. Mempertahankan
hubungan selama periode ini dapat menjadi tantangan (Hodgeet al., 2018).
Negosiasi kesepakatan yang adil berada pada tahap transaksi, pemahaman yang jelas
mengenai struktur kesepakatan harus sudah terdokumentasi, kedua belah pihak harus
sudah melakukan tugas untuk mengevalasi masing-masing risiko dan pengembalian.
Memahai risiko yang sudah ada, umumnya akan menjaga transaksi tetap pada jalurnya
apabila ketika ada hal yang tidak terduga muncul, transaksi akan gagal karena salah satu
prinsipnya diabaikan dan pemangku kepentingan melepaskan tanggung jawab mereka
untuk mengawasi negosiasi. Kesepakatan yang adil dapat menghindari perilaku yang
oportunistik, Perilaku opportunistik atau perilaku untuk mencari keuntungan sangat
merugikan dalam kontrak KPBU. Perilaku oportunistik akan memberikan dampak negatif
terhadap kelangsungan dan kualitas proyek yang ditangani. Perilaku oportunistik bisa
dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta dalam suatu kontrak PPP (J.B Mariams,
2018). Qu and Loosemore (2013) mencontohkan tindakan pemerintah yang melakukan
takeover suatu proyek setelah kontraktor / badan usaha menanamkan sejumlah besar
uang. Namun karena terlambat menyelesaikan proyek ini diambil alih oleh pemerintah
dengan argumen sebagai hukuman. Dalam kasus ini, kerugian pihak lain dianggap sebagai
hukuman yang benar. Kesuksesan proyek PPP secara jangka panjang akan ditentukan oleh
mampu atau tidaknya kontrak PPP dalam meminimalisasi perilaku opportunistik para
pihak yang terlibat didalamnya.
Kepercayaan menjadi salah satu nilai utama yang harus diwujudkan sejak awal dan
memerlukan kepercayaan dan komitmen dari masing-masing mitra. Karena dalam proses
PPP yang kompleks, kepercayaan diperlukan untuk memungkinkan pengambilan
keputusan Bersama dan pengambilan risiko. Mitra harus memastikan bahwa pemangku
kepentingan seperti investor dan masyarakat berdedikasi dan mempercayai jalannya
proses PPP. Membangun kepercayaan secara bertahap menjadi upaya kecil keberhasilan
yang mendukung Langkah yang lebih besar.
REFERENSI
Akhmetshina E.R and Mustafin A.N., 2015, Public-private partnership as a tool for
development of innovative Economy, Procedia Economics and Finance 24 ( 2015 ) 35
– 40.
Asian Development Bank. (2020). Public-Private Partnership Monitor in Indonesia. DOI:
http://dx.doi.org/10.22617/SGP210069-2
Kementerian koordinator bidang perekonomian Republik Indonesia.
Maramis, Joubert B. (2018). Faktor Faktor Sukses Penerapan KPBU Sebagai Sumber
Pembiayaan Infrastruktur : Suatu Kajian. Jurnal Manajemen Bisnis dan Inovasi, Vol 5
Hal. 49-63.
Mathur Swati, 2014, Public Private Partnership in infrastructure – A study on roads and
Highway Project in Andhra Prades, Thesis Doctor
Nsasira Rachael, Benon C. Basheka & Pross. N. Oluka,2013, Public Private Partnerships (PPPs)
and Enhanced Service Delivery in Uganda: Implications from the Energy Sector,
International Journal of Business Administration Vol. 4, No. 3, PP. 48-60.
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 / 2015 Tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur.
Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, No. 2 Tahun 2022 tentang Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha
PT. Penjamin Infrastruktur Indonesia. (2016). Acuan Alokasi Risiko, Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha di Indonesia.
Qu Y and Loosemore M, 2013, A meta-analysis of opportunistic behaviour in public-private
partnerships: manifestations and antecedents In: Smith, S.D and Ahiaga-Dagbui, D.D
(Eds) Procs 29th Annual ARCOM Conference, 2-4 September 2013, Reading, UK,
Association of Researchers in Construction Management, 415-424
Xinjian Li, Peter E.D. Love. (2021). Procuring urban rail transit infrastructure by integrating
land value capture and public-private partnerships: Learning from the cities of Delhi
and Hong Kong. Journal Elsevier: Cities 122 (2022) 103545.