Skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), atau yang dikenal sebagai
Public Private Partnerships (PPP), memungkinkan pemerintah bekerjasama dengan sektor swasta
dalam penyediaan layanan infrastruktur tanpa harus bergantung pada anggaran APBN. Pihak
swasta, melibatkan Badan Usaha Pelaksana (BUP), dapat berkontribusi dalam desain,
pembangunan, pembiayaan, operasi, dan pemeliharaan proyek infrastruktur untuk jangka waktu
tertentu sebelum dikembalikan kepada pemerintah.
Studi Delmon (2021) mengidentifikasi tiga opsi sumber pembiayaan untuk proyek
infrastruktur: government financing, corporate financing, dan project financing. Dalam konteks
KPBU, penerapan project financing menjadi salah satu model, di mana pembiayaan dilakukan oleh
BUP sebagai entitas proyek itu sendiri. Pembiayaan proyek ini biasanya bersumber dari utang dan
ekuitas, dengan proporsi utang mencapai 70-80% dari biaya proyek.
Proporsi utang yang tinggi dalam project financing dipengaruhi oleh beberapa
pertimbangan. Pertama, bunga utang dapat dikurangkan sebagai beban pajak, sementara dividen
tidak memiliki keuntungan pajak serupa. Kedua, tingkat pengembalian yang diharapkan oleh
pemberi pinjaman (lenders) cenderung lebih rendah dibandingkan pemilik saham. Ketiga, pemberi
pinjaman tidak memiliki hak suara atau kendali atas BUP.
Penting untuk dicatat bahwa utang yang terlalu besar juga bisa menciptakan tekanan
finansial, sehingga BUP harus memastikan kewajiban utang sejalan dengan kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan kas. Dalam evaluasi permohonan utang, lenders fokus pada
perkiraan arus kas proyek dan kelayakan teknis, finansial, serta kredit proyek. Bankability, atau
kemampuan proyek untuk mendapatkan pembiayaan, menjadi faktor kunci yang dievaluasi oleh
pemberi pinjaman dalam skema KPBU.
Dalam skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), konsep biaya modal
(cost of capital) sangat penting bagi project manager untuk menentukan proporsi utang dan ekuitas.
Metode umum yang digunakan adalah Weighted Average Cost of Capital (WACC), yang
mengintegrasikan tingkat pengembalian yang dipersyaratkan oleh berbagai sumber pembiayaan.
Langkah-langkah menentukan nilai WACC mencakup mendefinisikan struktur modal
perusahaan, mengestimasi biaya setiap sumber pembiayaan, dan menghitung bobot tertimbang
atas biaya modal semua sumber pembiayaan. Proporsi utang yang tinggi dalam project financing
dipengaruhi oleh keuntungan pajak bunga utang, tingkat pengembalian yang lebih rendah dari
pemberi pinjaman, dan kekuasaan penuh pemberi pinjaman. Setelah mengetahui nilai WACC, hal
selanjutnya adalah terkait funding. Financing adalah pembiayaan yang dibutuhkan di awal untuk
biaya konstruksi proyek, sementara funding diperlukan untuk pengembalian investasi pihak
swasta, mencakup biaya konstruksi, operasi, pemeliharaan, dan margin yang wajar.
Dua skema pendanaan umum di Indonesia adalah Pembayaran Ketersediaan Layanan
(Availability Payment/AP) dan Pengguna Membayar (Tarif). Pemerintah bertanggung jawab
memastikan funding memenuhi seluruh komponen pengembalian investasi pihak swasta. Dalam
skema AP, pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk pembayaran AP, sedangkan dalam
skema tarif, penyesuaian tarif mungkin diperlukan jika terjadi risiko politik atau faktor lain di luar
kendali BUP yang memengaruhi penerimaan. Dengan demikian, proyek KPBU dibiayai melalui
kombinasi utang dan ekuitas, dengan proporsi yang ditentukan melalui metode WACC, sementara
funding dapat berasal dari pembayaran pemerintah atau tarif pengguna layanan.
DAFTAR PUSTAKA