Anda di halaman 1dari 30

KEPASTIAN HUKUM ASURANSI KREDIT DALAM MELINDUNGI BANK DAN

PENERIMA JAMINAN AKIBAT WANPRESTASI TERJAMIN DALAM PERJANJIAN


BANK GARANSI PELAKSANAAN JASA KONSTRUKSI

Rancangan Permasalahan Hukum


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
HUKUM PERUSAHAAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Dosen:
Dr. Hj. Yeti Sumiyati, S.H., M.H.

Oleh

Randy Permana Putra Suardi


NPM :20040022605

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah ...........................................................................................................10
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................................................11
D. Kegunaan Penelitian ..........................................................................................................11
E. Kerangka Pemikiran...........................................................................................................12
F. Metode Penelitian ..............................................................................................................21
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

ii
KEPASTIAN HUKUM ASURANSI KREDIT DALAM MELINDUNGI BANK DAN
PENERIMA JAMINAN AKIBAT WANPRESTASI TERJAMIN DALAM PERJANJIAN
BANK GARANSI PELAKSANAAN JASA KONSTRUKSI

A. Latar Belakang Masalah


Pada masa pemerintahan Indonesia saat ini, salah satu program utama pemerintah dalam
rangka memajukan Indonesia agar tidak terperangkap hanya sebagai negara berkembang atau
“middle income Trap”1 sehingga menjadi negara maju salah satunya dengan melakukan
pembangunan infrastruktur secara masif dan merata diseluruh pelosok tanah air, karena menurut
pemerintah Infrastruktur merupakan pondasi bagi Indonesia untuk mampu berkompetisi dengan
negara lain. Indeks daya saing Indonesia masih berada pada posisi ditengah terhadap negara-
negara lain.2
Dalam rangka realisasi program tersebut pemerintah melalui beberapa kementerian,
terutama kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah membuka banyak
peluang pekerjaan terutama pada jasa kontruksi, sebagai contoh Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) telah melakukan lelang dini paket kontraktual pekerjaan infrastruktur Tahun
Anggaran (TA) 2020 sejak 6 November 2019 hingga 29 Januari 2020, tercatat sebanyak 3.086 paket
senilai Rp 36,2 triliun telah dilakukan tender dini dari total 7.426 paket kontraktual senilai Rp 93,5 triliun
yang dilelang.3
Banyaknya pekerjaan yang ditawarkan kementerian tersebut menjadi kabar baik bagi
penyedia jasa konstruksi/kontraktor dalam upaya menjalankan usaha jasa kontruksi yang
dimilikinya, namun untuk memperoleh pekerjaan tersebut terdapat berbagai seleksi yang wajib
ikuti penyedia jasa. Selain itu, penyedia jasa juga diwajibkan untuk memenuhi beberapa
persyaratan dan standarisasi penyedia jasa yang diatur dalam Pasal 47 Ayat (1) Peraturan Menteri
(Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 07/PRT/M/2019 yang menggantikan

1
Ditjen SDA, “Presiden Jokowi: Ketersediaan Infrastruktur Menjadi Pondasi Indonesia Menuju Negara
Maju”, https://sda.pu.go.id/balai/bwssumatera1/article/presiden-jokowi-ketersediaan-infrastruktur-menjadi-pondasi-
indonesia-menuju-negara-maju, 2019, diakses 06 Oktober 2022
2
Ibid.
3
Media Informasi dan Komunikasi Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Sistem
Pengadaan Jasa Konstruksi, Buletin Konstruksi Edisi 1 Tahun 2020, Hlm. 3, Diakses 06 Oktober 2022

1
2

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No. 7 Tahun 2011 dan No. 31 Tahun 2015 tentang Standar dan
Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Peraturan Menteri yang menyebutkan bahwa:
Kualifikasi Penyedia untuk jasa Konsultansi Konstruksi dan untuk Pekerjaan Konstruksi
meliputi:
a. syarat kualifikasi administrasi;
b. syarat kualifikasi teknis; dan
c. syarat kualifikasi kemampuan keuangan
Hal tersebut dimaksudkan untuk menemukan penyedia jasa yang handal dan berkualitas.
Pemilihan penyedia yang handal dimaksud untuk menjamin mutu pembangunan infrastruktur
guna meningkatkan pelayanan publik dan pengembangan perekonomian nasional dan daerah.
Pemilihan penyedia jasa/kontraktor yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan salah satu
tahapan penting yang menentukan keberhasilan proyek konstruksi, karena dalam tahap
prakualifikasi untuk memilih kontraktor, seharusnya terdapat faktor kriteria seleksi yang lebih
baik. Hal ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang dianggap penting bagi pengguna jasa
/klien proyek konstruksi dalam proses pemilihan kontraktor yang meliputi beberapa faktor antara
lain:4
a. kemampuan peralatan;
b. kemampuan personil;
c. keuangan;
d. pengalaman kerja;
e. catatan kegagalan;
f. penerapan asuransi; dan
g. keselamatan kerja.
Dari faktor-faktor yang telah disebutkan sebelumnya, seringkali penyedia jasa/kontraktor
tidak dapat memenuhi semua syarat tersebut, terutama syarat kemampuan keuangan, sehingga
untuk mengatasi kekurangan syarat tersebut para penyedia jasa/kontraktor meminta bantuan
lembaga keuangan seperti bank sebagai penyedia modal kerja.
Terkait modal kerja, menurut peraturan-peraturan jasa konstruksi, penyedia jasa wajib
memiliki modal kerja atau kemampuan keuangan yang cukup sesuai dengan jumlah perhitungan

4
Ibid.
3

atau persentase nilai kontrak yang telah diatur dalam peraturan jasa konstruksi tersebut, sehingga
sebelum pelaksanaan jasa konstruksi atau pra pelaksanaan jasa konstruksi, penyedia jasa harus
memenuhi atau menyetorkan sejumlah uang sebagai jaminan kepada pemberi kerja yang
bertujuan untuk menjamin penyedia jasa akan dapat menyelesaikan pekerjaan yang diberikan
oleh pemberi kerja (Obligee) sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan dalam
kontrak pekerjaan. Adapun jaminan-jaminan dimaksud antara lain jaminan uang muka, jaminan
pelaksanaan, dan jaminan pemeliharaan yang keseluruhannya harus disiapkan oleh penyedia jasa
sebelum kontrak jasa konstruksi di sepakati oleh penyedia jasa dan pemberi kerja (Obligee).
Jaminan pelaksanaan adalah salah satu Jaminan tertulis yang dikeluarkan oleh Bank
Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Asuransi/Lembaga keuangan khusus yang
menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi untuk mendorong ekspor
Indonesia di bidang lembaga pembiayaan ekspor Indonesia/konsorsium Perusahaan Asuransi
Umum/konsorsium Lembaga Penjaminan/konsorsium Perusahaan Penjaminan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penjaminan yang dilakukan oleh pihak bank merupakan salah satu fungsi bank yang diatur
oleh Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi yang berbentuk bank
garansi, bank garansi yaitu Pemberian janji secara tertulis dari Bank kepada Obligee untuk
jangka waktu tertentu, jumlah tertentu dan keperluan tertentu bahwa Bank akan membayar
kewajiban Principal apabila yang bersangkutan wanprestasi.
Terkait fungsi bank dalam kegiatan jasa konstruksi pihak bank juga dilibatkan dalam
penerbitan surat jaminan baik jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan, surat jaminan uang
muka sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 26 Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 07/PRT/M/2019 yang menggantikan Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum (PU) No. 7 Tahun 2011 dan No. 31 Tahun 2015 tentang Standar dan Pedoman
Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia. Peraturan Menteri yang berbunyi:
“Surat Jaminan yang selanjutnya disebut Jaminan adalah Jaminan tertulis yang dikeluarkan oleh
Bank Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Asuransi/Lembaga keuangan khusus yang
menjalankan usaha di bidang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi untuk mendorong ekspor
Indonesia di bidang lembaga pembiayaan ekspor Indonesia/konsorsium Perusahaan Asuransi
Umum/konsorsium Lembaga Penjaminan/konsorsium Perusahaan Penjaminan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
4

Hal tersebut sejalan dengan Tujuan perbankan di Indonesia yaitu sebagai penunjang
pembangunan nasional dan dapat berperan penting dalam meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini sesuai dengan tujuan perbankan itu sendiri yang termuat dalam
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang berbunyi:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam
rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kearah
peningkatan rakyat banyak.”5
Selain dari tujuan tersebut bank juga memiliki fungsi – fungsi dalam rangka berperan
meningkatkan pembangunan nasional antara lain:

a. Menghimpun dan dari masyarakat dalam bentuk simpanan, maksudnya dalam hal ini
bank sebagai tempat menyimpan uang atau berinvestasi bagi masyarakat. Tujuan utama
masyarakat menyimpan uang biasanya untuk keamanan. Tujuan kedua adalah untuk
melakukan investasi dengan harapan memperoleh bunga dari hasil simpanannya. Tujuan
lainnya adalah untuk memudahkan dalam melakukan transaksi pembayaran. Untuk
memenuhi tujuan diatas, bank menyediakan sarana yang disebut sebagai simpanan. Jenis
simpanan yang ditawarkan sangat bervariasi tergantung dari bank yang bersangkutan.
Secara umum jenis simpanan yang ada di bank adalah terdiri dari simpanan giro
b. Menyalurkan dana ke masyarakat, maksudnya adalah bank memberikan pinjaman
(kredit) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan. Dengan kata lain bank
menyediakan dana bagi masyarakat yang membutuhkan. Pinjaman atau kredit diberikan
dalam berbagai jenis sesuai keinginan masyarakat dan tentunya saja dengan prinsip-
prinsip perkreditan akan dilakukan penilaian apakah kredit layak diberikan atau tidak.
Penilaian ini dilakukan agar bank terhindar dari kerugian akibat tidak dapat
dikembalikannya kredit yang disalurkan dengan berbagai sebab. Jenis kredit yang
biasanya diberikan oleh hampir semua bank adalah kredit investasi, kredit modal kerja
dan kredit perdagangan.
c. Memberikan jasa-jasa bank lainnya. Disini fungsinya bank akan terlihat bervariasi
berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan keuangan seperti pengiriman uang
5
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan.
5

(transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing),
penagihan suratsurat berharga yang berasal dari luar kota Karakteristik Hukum dan
Pelaksanaan Bank Garansi dalam Jaminan Kontrak Jasa Konstruksi Lex Jurnalica
Volume 14 Nomor 1, April 2017 27 (inkaso), instrumen pembayaran melalui letter of
credit (L/C), safety box, bank notes, travelers cheque serta melakukan jaminan
penanggungan terhadap debitur dalam bentuk bank garansi.6

Secara ringkas kegiatan bank sebagai lembaga keuangan dapat dilihat dalam gambar berikut ini
BANK

Menghimpun Dana Menyalurkan Dana Jasa-jasa lain

Dari beberapa fungsi bank tersebut, salah satu fungsi diantaranya memberikan jasanya
lainnya yaitu melakukan jaminan penanggungan terhadap debitur dalam bentuk bank garansi,
produk bank tersebut sering digunakan dalam rangka penjaminan proyek konstruksi. Bank
garansi merupakan jaminan pembayaran yang diberikan oleh bank kepada suatu pihak, baik
perorangan, perusahaan atau badan lainnya dalam bentuk surat jaminan. Pemberian jaminan
dengan maksud bahwa bentuk menjamin akan memenuhi kewajiban-kewajiban pihak yang
dijamin (debitur) kepada pihak yang menerima jaminan, apabila yang dijamin kemudian hari
ternyata ingkar janji/wanprestasi dalam arti tidak memenuhi kewajiban sesuai yang
diperjanjikan.7 Selain itu pengertian bank garansi juga dijelaskan dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No.23/7/UKU tanggal 18 Maret 1991 jo SK Direksi BI No.23/88/KEP/DIR tanggal 18
Maret 1991 tentang Pemberian Garansi oleh Bank termasuk penggantian atau perubahannya,
bank garansi yaitu Pemberian janji secara tertulis dari Bank kepada Obligee untuk jangka waktu
tertentu, jumlah tertentu dan keperluan tertentu bahwa Bank akan membayar kewajiban Principal
apabila yang bersangkutan wanprestasi.

6
Ade Hari Siswanto, Karakteristik Hukum Dan Pelaksanaan Bank Garansi Dalam Jaminan Kontrak Jasa
Konstruksi, Lex Jurnalica Volume 14 Nomor 1, April 2017, diakses 06 Oktober 2022
7
Ibid.
6

Berdasarkan pengertian diatas, pada saat ini banyak terjadi perubahan dalam system
penjaminan bank garansi, yang pada awalnya bank sendiri yang menjamin dan membayar
kewajiban principal apabila yang bersangkutan wanprestasi dengan catatan principal tersebut
telah menjaminkan atau menyimpan colletaral pada bank dimaksud, namun saat ini sebagai salah
satu upaya pemerintah dalam rangka meringankan beban permodalan bagi para pengusaha lemah
dapat menggunakan metode “Back To Back Bank Garansi” yang artinya. Garansi Bank yang
diberikan oleh Bank kepada Kontraktor (Principal) tanpa diwajbkan memberikan collateral,
melainkan cukup dengan Surat jaminan dari salah satu Perusahaan Asuransi yang sebelumnya
sudah ada kontrak dengan Bank yang bersangkutan.
Namun dalam upaya pemerintah dalam meringankan beban permodalan dengan
menciptakan metode “Back To Back Bank Garansi” yang pada prinsipnya tidak memerlukan
agunan/colleteral bagi si principal dan ditambah Bank Garansi berpegang pada prinsip
Unconditional atau First Demand8 yang artinya bank dapat segera mencairkan jaminan jika
diminta oleh Obligee (tanpa harus membuktikan kegagalan/wanprestasi/default Principal
dan/atau kerugian yang diderita Obligee). Dari banyaknya celah hukum dan pengaturan terhadap
Penjaminan Kontra Bank Garansi yang dilakukan perusahaan asuransi kredit seperti
ASKRINDO dan JAMKRINDO serta JAMKRIDA tersebut sangat rentan akan timbulnya
permasalahan-permasalahan yang merugikan perusahaan asuransi itu sendiri karena perusahaan
asuransi tidak boleh menolak permintaan bank untuk membayar apabila terdapat klaim dari
obligee dan juga perusahaan asuransi kredit wajib melakukan pembayaran ganti rugi kepada
kreditur sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship yaitu:
Ayat (1)
“Perusahaan asuransi umum wajib melakukan pembayaran ganti rugi kepada kreditur atau oblige
akibat ketidakmampuan atau kegagalan atau tidak terpenuhinya kewajiban debitur atau principal
sesuai dengan perjanjian pokok”

Ayat (2)
“Perusahaan asuransi umum dilarang menunda dan/atau tidak memenuhi kewajiban pembayaran
jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan apapun termasuk alasan:
a. Pembayaran klaim bagian reasuransi belum diterima dari reasuradur;

8
J. Tinggi Sianipar dan Jan Pinontoan., Surety Bonds, Cet. I, Jakarta: CV. Dharmaputra, 2003, Hlm. 19-20
7

b. Sedang dilakukan upaya oleh perusahaan asuransi umum agar pihak debitur atau
principal dapat memenuhi kewajibannya, tanpa ada persetujuan dari kreditur atau
obligee; dan/atau
c. Pembayaran imbal jasa belum dipenuhi oleh debitur atau principal.”9
Dalam sejarah terbentuknya Perusahaan asuransi kredit berawal dari banyaknya kebutuhan
akan kredit dan meningkatkan pertumbuhan usaha mikro, kecil dan Menengah (UMKM)
sehingga pada tanggal 6 April 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 1971
tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia Untuk Pendirian Perusahaan Perseroan
Dalam Bidang Perasuransian Kredit, pemerintah membentuk suatu badan usaha milik Negara
(BUMN) yang diberi nama PT.Asuransi Kredit Indonesia (ASKRINDO)10, Asuransi ini
merupakan asuransi wajib (compulsory insurance) yaitu perjanjian asuransi yang terbentuk
karena diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan11 dengan tugasnya yang tercantum
dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1971 tentang Penyertaan Modal Negara
Republik Indonesia antara lain:
1. Membantu kelancaran pengarahan dan pengamanan perkreditan bank-bank terutama di
bidang-bidang usaha menengah dan kecil dengan jalan membuat dan menutup perjanjian
pertanggungan (asuransi) terhadap risiko atas kredit yang diberikan oleh bank-bank
dalam arti kata yang seluas-luasnya; serta memberikan dan menerima perantaraan dalam
penutupan perjanjian pertanggungan terhadap risiko atas kredit bank.
2. Membuat dan menutup perjanjian pertanggungan ulang (reasuransi) serta melakukan
usaha-usaha yang langsung dan tidak langsung erat hubungannya dengan ketentuan
kelancaran dan pengamanan perkreditan bank.12
Kembali kepada permasalahan-permasalahan yang timbul atas penjaminan bank garansi
yang diadakan perusahaan asuransi kredit seperti PT. ASKINDO, terdapat 5 contoh kasus besar

9
Pasal 8 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/PMK.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha
Asuransi Kredit dan Suretyship.
10
Website resmi Asuransi Kredit Indonesia, https://askrindo.co.id/new/id/, diakses 3 Maret 2019.
11
Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, Hlm.89.
12
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1971 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia.
8

yang melibatkan perusahaan asuransi sebagai perusahaan Penjaminan Kontra Bank Garansi
antara lain:13

1. Penerbitan Bank Garansi Palsu Rp. 30 miliar


Seperti yang dilaporkan oleh kompas.com, pada tanggal 20 Desember 2019, Aparat Polda Metro
Jaya menangkap enam tersangka pelaku penipuan penerbitan bank garansi senilai Rp 30 miliar.

2. Morgan Stanley Terima Bank Garansi Palsu senilai USD 55 juta


Dilaporkan oleh Detik Finance pada tanggal 29 April 2011, Morgan Stanley sedang dibuat
bingung oleh Bank Garansi palsu ‘Bank Mandiri’ yang diterbitkan berkaitan dengan fasilitas
kreditnya kepada beberapa perusahaan peminjam dan obligor di Indonesia.

3. PT Cikarang Listrindo (PTCL) – Tuntut Jaminan Uang Rp. 32 miliar


Dilaporkan oleh Wartaekonomi.co.id 23 Agustus 2017, PT Cikarang Listrindo (PTCL)
melaporkan PT Hamson Indonesia (PTHI) ke Bareskrim Mabes Polri terkait dugaan pemalsuan
bank garansi terbitan Bank Mandiri, dengan nomor laporan polisi dengan dugaan tindak pidana
yang dilakukan adalah pemalsuan dan penipuan.

4. Asuransi Recapital digugat US$ 4,6 juta dan US$ 1 juta US$ 3,6 juta.
Dilaporkan oleh CNN Indonesia 29/06/2015 lalu bahwa PT Asuransi Recapital digugat oleh
KZIS karena tidak membayar uang jaminan (surety bonds) senilai US$ 4,6 juta. Bonds itu terdiri
dari advance payment bond US$ 1 juta dan performance bonds US$ 3,6 juta.

5. OJK terima pengaduan kasus Surety Bond sebanyak 51 kasus tahun 2016
Sesuai dengan berita dari kontan.co.id berdasarkan laporan Deputi Direktur Pengawasan
Asuransi OJK pengaduan klaim terbanyak asuransi kepada OJK berasal dari lini usaha suretyship
sebesar 31% dari 100% keseluruhan pengaduan klaim. “Jumlahnya ada 51 dan suretyship ini
menanggung proyek di bidang infrastruktur.
Permasalahan-permasalahan tersebut secara tidak langsung menggambarkan kerugian-
kerugian bagi perusahaan asuransi kredit karena tanggung jawab klaim sepenuhnya dibebankan

13
Mhd. Taufik Arifin ANZIIF (Snr. Assoc) CIIB., 5 Kasus Surety Bond dan Bank Garansi yang
Menggemparkan, https://ligaasuransi.com/5-kasus-surety-bond-dan-bank-garansi-yang-menggemparkan/
Tangerang Selatan, 2020, Diakses 07 Oktober 2022
9

kepada perusahaan asuransi kredit yang nantinya perusahaan tersebut harus banyak menanggung
hutang sebagai sebagai contoh:
Berdasarkan data perusahaan, realisasi pendapatan usaha pada 2009 sebesar Rp 207,898
miliar. Itu terdiri dari pendapatan underwriting sebesar Rp 107,356 miliar dan pendapatan
investasi sebesar Rp 100,542 miliar. Sementara, beban usaha pada 2009 sebesar Rp 335,709
miliar, Itu terdiri dari beban underwriting sebesar Rp 294,108 miliar dan beban non klaim
sebesar Rp 41,601 miliar. Kondisi tersebut menyebabkan kerugian sebelum pajak sebesar Rp
126,914 miliar.

Sementara, realisasi pendapatan usaha pada 2010 sebesar Rp 191,058 miliar. Itu terdiri dari
pendapatan underwriting sebesar Rp 127,009 miliar dan pendapatan investasi sebesar Rp 64,050
miliar. Sementara, beban usaha pada 2010 sebesar Rp 401,450 miliar, Itu terdiri dari beban
underwriting sebesar Rp 344,547 miliar dan beban non klaim sebesar Rp 56,904 miliar. Kondisi
tersebut menyebabkan kerugian sebelum pajak sebesar Rp 209,830 miliar.14

Dalam pemaparan diatas, penulis melihat kurangnya kepastian hukum dalam rangka
melindungi perusahaan asuransi kredit sehingga kesewenangan pihak bank dalam melakukan
klaim kepada asuransi kredit atas penjaminan bank garansi selalu terjadi. Menurut Sudikno
Mertukusumo, kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus
dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan
hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa
hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.15sehingga dengan adanya jaminan
atau kepastian hukum tersebut dapat melindungi perusahaan asuransi kredit dalam menjalankan
usahanya
Pada saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang
Asuransi kredit, peraturan yang ada pada saat ini tentang asuransi diatur dalam undang-undang
40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang mana peraturan tersebut kurang memiliki kejelasan
terhadap pengaturan perusahaan asuransi kredit, pengaturan asuransi kredit hanya diatur dalam
peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 124/PMK.010/2008 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship

14
Evana Dewi, Askrindo Selalu Merugi, https://bisnis.tempo.co/read/321715/askrindo-selalu-merugi, Jakarta
2011, Diakses 07 Oktober 2022
15
Asikin zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta 2012.
10

Oleh karena itu, berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh Ade Hari Siswanto
dalam Lex Jurnalica Volume 14 Nomor 1, yang diterbitkan pada bulan April 2017 yang berjudul
KARAKTERISTIK HUKUM DAN PELAKSANAAN BANK GARANSI DALAM JAMINAN
KONTRAK JASA KONSTRUKSI yang mana dalam jurnal tersebut hanya menjelaskan terkait
karekteristik hukum konsep bank garansi dan mekanisme pelaksanaan bank garansi hanya dari sudut
perbankan, berbeda dengan Judul yang diangkat oleh penulis yaitu KEPASTIAN HUKUM
ASURANSI KREDIT DALAM MELINDUNGI BANK DAN PENERIMA JAMINAN
AKIBAT WANPRESTASI TERJAMIN DALAM PERJANJIAN BANK GARANSI
PELAKSANAAN JASA KONSTRUKSI yang mana dalam hal ini penulis mencoba meneliti
dari segi kepastian hukum terhadap perusahaan asuransi kredit sebagai pihak yang sebenarnya
tidak ada dalam perjanjian bank garansi namun memiliki tanggungjawab serta resiko besar akibat
wanprestasinya terjamin.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah. Penulis akan mengidentifikasi masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah perlindungan hukum atas kegiatan usaha yang dilakukan asuransi kredit
sebagai produk dalam menjamin bank, penerima jaminan dan terjamin dalam perjanjian
bank garansi terkait jaminan pelaksanaan jasa konstruksi?
2. Bagaimanakah akibat hukum apabila pihak terjamin yang telah dinyatakan wanprestasi
melakukan gagal bayar atas jaminan pelaksanaan yang telah diperjanjikan dalam
perjanjian bank garansi terkait jaminan pelaksanaan jasa konstruksi?
3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa apabila telah terjadi gagal bayar bank garansi dan
upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan baik oleh pihak asuransi kredit sendiri, bank
dan penerima jaminan dalam rangka memperoleh kepastian hukum?
11

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis mekanisme perlindungan atau proteksi
yang dilakukan asuransi kredit sebagai produk dalam menjamin bank, penerima jaminan
dan terjamin dalam bank garansi jaminan pelaksanaan jasa konstruksi.
2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis akibat hukum apabila pihak terjamin
yang telah dinyatakan wanprestasi melakukan gagal bayar atas jaminan pelaksanaan
yang telah diperjanjikan dalam bank garansi bank garansi jaminan pelaksanaan jasa
konstruksi.
3. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis bentuk penyelesaian sengketa apabila
telah terjadi gagal bayar bank garansi dan upaya-upaya apa saja yang dapat dilakukan
baik oleh pihak asuransi kredit sendiri, bank dan penerima jaminan.

D. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan hukum
dibidang perbankan dan perasuransian, terutama berkaitan dengan permasalahan yang
sering dialami asuransi kredit akibat dari perjanjian bank garansi terkait jaminan
pelaksanaan jasa konstruksi.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan
kepada perusahaan asuransi terutama perusahaan asuransi kredit tentang kepastian hukum
penjaminan bank, penerima jaminan serta terjamin dalam perjanjian bank garansi terkait
jaminan pelaksanaan jasa konstruksi.
12

E. Kerangka Pemikiran
Menurut Sri Magfirah Indriani, Budiharto, Rinitami Njatrijani memberi pandangan
mengenai arti perlindungan hukum sebagai berikut:
“Perlindungan hukum memiliki arti sebagai upaya atau tindakan yang diberikan oleh hukum
dalam arti peraturan perundang-undangan untuk melindungi subjek hukum dari adanya
pelanggaran atas hak dan kewajiban para pihak yang terdapat dalam sebuah hubungan
hukum.”16
Bank garansi dikategorikan sebagai kredit tidak langsung (non-cash loan), yaitu fasilitas
yang akan menjadi kredit apabila nasabah wanprestasi, dimana bank memiliki kewajiban kepada
pemberi jaminan karena bersifat kredit tidak langsung (non-cash loan), maka pemberian bank
garansi memerlukan analisis kekayaan (melalui penilaian melalui Credit Memorandum) terhadap
nasabah seperti halnya nasabah yang mengajukan kredit.17
Bank garansi sebagai perjanjian penanggungan didalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata, perjanjian penanggungan didefinisikan sebagai Perjanjian dengan mana seorang pihak
ketiga guna kepentingan si berhutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berhutang
mana hak orang tersebut tidak memenuhinya.”

Beberapa unsur perumusan yang tampak dan perlu mendapat perhatian adalah:
1. Penanggungan hutang merupakan suatu perjanjian
2. orgt/penjamin adalah pihak ketiga
3. Penanggungan diberikan untu kepentingan kreditur
4. Borgt mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur kalau debitur wanprestasi
5. Ada perjanjian bersyarat.
Tujuan utama perjanjian bank garansi dalam penjaminan pekerjaan jasa konstruksi yaitu
untuk melindungi pemberi pekerjaan atas kemungkinan wanprestasi yang dilakukan penyedia
jasa

Sri Magfirah Indriani., et al., “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam Penyalahgunaan
16

Deposito Berjangka (Studi Kasus Commonwealth Bank Cabang Palembang Putusan Nomor 59/Pdt.G/2013/PN. Plg)
Diponegoro Law Jurnal Vol 5, Nomor 4, 2016, http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/, diakses 15 Maret
2019.
17
Niek Maschudah, Modul Klasikal Laboratorium Operasional Bank STIE PerbanasSurabaya, STIE
Perbanas, Surabaya, 2016, Hal. 106.
13

Penjaminan terhadap pemberi kerja dalam usaha jasa konstruksi sebagaimana yang
tercantum dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi menerangkan
bahwa dalam pemilihan Penyedia Jasa, Penyedia Jasa menyerahkan jaminan kepada Pengguna
Jasa untuk memenuhi kewajiban sebagaimana dipersyaratkan dalam dokumen pemilihan
Penyedia Jasa.
Bentuk jaminan-jaminan dalam jasa konstruksi dimaksud antara lain sebagai berikut:
a. jaminan penawaran;
b. jaminan pelaksanaan;
c. jaminan uang muka;
d. jaminan pemeliharaan; dan/ atau
e. jaminan sanggah banding.

Bentuk Jaminan dapat dikeluarkan oleh lembaga perbankan, perusahaan asuransi, dan/atau
perusahaan penjaminan dalam bentuk bank garansi dan/atau perjanjian terikat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk perjanjian bank garansi bank dan perusahaan
asuransi merupakan penjamin dalam hubungan antara pemilik pekerjaan (penerima jaminan) dan
pelaksana pekerjaan (terjamin)
Namun dalam penjaminan jasa konstruksi terdapat perbedaan antara penjaminan yang
dikeluarkan oleh bank dan perusahaan asuransi, produk penjaminan yang ada di perbankan
adalah Bank Garansi (bank guarantee), sedangkan perusahaan asuransi juga menerbitkan produk
penjaminan dengan nama Surety Bond. Namun dibandingkan dengan Surety Bond, terdapat
beberapa persyaratan Bank Garansi yang tidak dapat dipenuhi oleh Principal, salah satu
diantaranya adalah persyaratan agunan/colleteral fisik yang besarnya minimal senilai Garansi
Bank tersebut karena Bank sebagai pihak penjamin dalam perjanjian bank garansi dalam
melakukan usahanya dalam memfasilitasi penjaminan antara pemberi kerja dan penyedia jasa
wajib berpedoman kepada prinsip penilaian berdasarkan analisis 5 C dan analisis 5 P.
Penjelasan 5 C dapat diuraikan sebagai berikut:18
a. Character

18
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi 2002. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002
14

Bahwa calon nasabah debitur mempunyai watak, moral, dan sifat – sifat pribadi yang baik.
Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan
kemauan dari calon nasabah debitur untuk memenuhi dan menjalankan usahanya. Informasi ini
dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan informasi dari usaha –
usaha yang sejenis.
b. Capacity
Setelah aspek watak maka faktor berikutnya yang sangat penting dalam analisis kredit adalah
faktor kemampuan. Jika tujuan analisis watak adalah untuk mengetahui kesungguhan nasabah
melunasi hutangnya, maka tujuan analisis kemampuan adalah untuk mengukur kemampuan
membayar. Kemampuan tersebut dapat diuraikan kedalam kemampuan manajerial dan
kemampuan finansial. Kedua kemampuan ini tidak dapat berdiri sendiri. Karena kemampuan
finansial merupakan hasil kerja kemampuan manajerial perusahaan.
c. Capital
Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki
oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah semata – mata didasarkan pada besar kecilnya
modal, akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh
pengusaha tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada dapat berjalan secara efektif
d. Collateral
Unsur lain yang perlu mendapatkan perhatian dalam analisis kredit adalah collateral (agunan).
Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahan
dan kesempurnaannya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan
dapat dipergunakan secepat mungkin.
e. Condition of Economy
Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi, sosial dan politik yang ada
sekarang dan prediksi untuk dimasa yang akan datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang
usaha yang dibiayai hendaknya benar–benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan
kredit tersebut bermasalah relatif kecil.
Penjelasan 5 P yang dikemukakan oleh Kasmir (2004) yaitu
a. Party (golongan)
15

Maksud dari prinsip ini adalah bank menggolongkan calon debitur ke dalam kelompok tertentu
menurut character, capacity, dan capitalnya
b. Purpose (tujuan)
Maksud dari tujuan di sini adalah tujuan penggunaankredit yang diajukan, apa tujuan sebenarnya
dari kredit tersebut, apakah mempunyai aspek social yang positif dan luas atau tidak. Dan bank
masih harus meneliti apakah kredit yang diberikan digunakan sesuai tujuan semula.
c. Payment (sumber pembiayaan)
Setelah mengetahui tujuan utama dari kredit tersebut maka hendaknya diperkirakan dan dihitung
kemungkinan-kemungkinan besarnya pendapatan yang akan dicapai. Sehingga bank dapat
menghitung kemampuan dan kekuatan debitur untuk membayar kembali kreditnya serta
menentukan cara pembayaran dan jangka waktu pengembaliannya.
d. Profitability (kemampuan untuk mendapatkan keuntungan)
Keuntungan di sini maksudnya bukanlah keuntungan yang dicapai oleh debitur semata
melainkan juga kemungkinan keuntungan yang diterima oleh bank jika kredit diberikan terhadap
debitur tertentu dibanding debitur lain atau dibanding tidak memberikan kredit.
e. Protection (perlindungan)
Perlindungan maksudnya adalah untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak terduga maka
untuk melindungi kredit yang diberikan antara lain adalah dengan meminta jaminan dari
debiturnya
Prinsip-prinsip diatas memperlihatkan begitu banyak penilaian yang wajib dilaksanakan oleh
pihak bank dalam menilai calon debiturnya, sehingga Keterlibatan perusahaan asuransi dalam
bank garansi sangat penting dan menjadi solusi untuk mempermudah penyedia jasa dalam
memenuhi salah satu persyaratan jasa konstruksi dan juga untuk melindungi bank dari risiko
wanprestasi yang dilakukan penyedia jasa dengan cara mengalihkan risiko tersebut dari pihak
bank kepada pihak asuransi.
Man Suparman Sastrawidjaja dan Endang menjelaskan bahwa:
“Perjanjian asuransi sebagai lembaga pengalihan dan pembagian risiko mempunyai kegunaan
yang positif baik bagi masyarakat, perusahaan maupun bagi pembangunan negara.”19

19
Man S. Sastrawidjaja & Endang, Hukum Asuransi Perlindungan Asuransi Deposito Usaha Perasuransian,
Alumni, Bandung, 2004, hlm. 1.
16

Sri Redjeki Hartono juga mengemukakan bahwa fungsi dasar asuransi ialah suatu upaya
20Asuransi
untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian. sebagai pihak penanggung
risiko dalam suatu perjanjian asuransi sepatutnya dimulai dengan kesetaraan para pihak dan yang
memperhatikan keseimbangan kepentingan diantara mereka. Ketidakseimbangan kepentingan
antara penanggung dan tertanggung pada umumnya baru muncul kepermukaan setelah timbulnya
klaim.21
Beberapa ayat diatas, menjelaskan bahwa tidak ada satu orangpun yang akan mengetahui
apa yang akan terjadi dikemudian hari. Perusahaan asuransi dalam kegiatan usahanya sangat
rentan terhadap resiko yang menimbulkan akibat hukum karena dengan adanya peralihan resiko
tersebut perusahaan asuransi mengemban tanggung jawab baik terhadap bank maupun kepada
penerima jaminan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tanggung jawab adalah kewajiban
menanggung segala sesuatunya bila terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, dan
diperkarakan. Dalam kamus hukum, tanggung jawab adalah suatu keseharusan bagi seseorang
untuk melaksanakan apa yang telah diwajibkan kepadanya.22 Menurut hukum tanggung jawab
adalah suatu akibat atas konsekuensi kebebasan seorang tentang perbuatannya yang berkaitan
dengan etika atau moral dalam melakukan suatu perbuatan.23 Selanjutnya menurut Titik
Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya
hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan
kewajiban hukum orang lain untuk member pertanggung jawabannya.24
Menurut Hans Kelsen dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa:
“seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia

20
Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi, dalam Hukum Asuransi Indonesia, Junaedy
Ganie, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 44.
21
Ibid., hlm. 44.
22
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.
23
Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010,
24
Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hlm
48.
17

memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi
dalam hal perbuatan yang bertentangan.25 Lebih lanjut Hans Kelsen menyatakan bahwa:26
“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan
(negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis laindari kesalahan (culpa),
walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan
atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.”

Hans Kelsen selanjutnya membagi mengenai tanggungjawab terdiri dari:27


1. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap
pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
2. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas
suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
3. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan
dengan tujuan menimbulkan kerugian;
4. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas
pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian menjelaskan
Asuransi memiliki tanggung jawab untuk memberikan penggantian kepada tertanggung atau
pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang
polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau memberikan pembayaran yang
didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
Tanggung jawab perusahaan Asuransi dalam perjanjian bank garansi terutama terkait
jaminan pelaksanaan jasa konstruksi adalah membayar klaim dari bank atas wanprestasi
penyedia jasa yang sumber dananya berasal dari penyedia jasa itu sendiri, namun terkadang

25
Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State, Teori Umum
Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media
Indonesia, Jakarta, 2007, Hlm. 81
26
Ibid, Hlm. 83
27
Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni Nuansa & Nusa
Media, Bandung, 2006, Hlm. 140.
18

penyedia jasa tidak dapat membayarkan jaminan pelaksanaan tersebut dengan berbagai alasan
contohnya penyedia jasa tidak dapat membayarkan jaminan pelaksanaan dikarenakan proyek
yang sedang mereka kerjakan terbengkalai yang disebabkan kurangnya modal usaha dari
penyedia jasa.
Hal ini tentu sangat merugikan pihak asuransi, karena walaupun penyedia jasa tidak dapat
membayar kewajibannya terhadap jaminan pelaksanaan diperjanjikan didalam bank garansi
namun pihak perusahaan asuransi tetap berkewajiban membayar klaim yang diajukan pihak
bank.
Permasalahan yang dialami perusahaan asuransi tersebut harus diselesaikan atau pecahkan
dengan solusi-solusi terutama yang terkait dengan penyelesaian secara hukum yang memiliki
kepastian hukum bagi perusahaan asuransi itu sendiri
Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara
hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan
itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan
dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan
pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.28
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang
menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman
bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama
individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan
itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.29
Definisi hukum juga dikemukakan J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto bahwa
Hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,

28
Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang Pressindo,
Yogyakarta, 2010, Hlm.59
29
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, Hlm.158
19

pelanggaran mana peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukum
tertentu
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan
secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multi tafsir) dan logis. Jelas dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan
norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Kepastian hukum
menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten dan konsekuen yang
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Kepastian
dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara factual mencirikan hukum.
Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekedar hukum yang buruk30
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu, individu dapat mengetahui apa
saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu31
Kepastian hukum sebagai sebuah nilai adalah masalah perlindungan dari tindakan
sewenang-wenang baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara. Jika
dirumuskan kepastian hukum seharusnya menciptakan hal-hal sebagai berikut antara lain:
1. Melakukan solusi autotorif yaitu memberikan jalan keluar untuk menciptakan stabilitas
yakni memberikan ketertiban dan ketentraman bagi para pihak dan masyarakat;
2. Efisiensi prosesnya, cepat, sederhana dan biaya ringan;
3. Sesuai dengan tujuan hukum yaitu Undang-Undang yang dijadikan dasar dari putusan
untuk memberikan kepastian dalam hukum itu sendiri dan kepastian karena hukum; dan
4. Mengandung equality, memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak.32
Asas kepastian hukum diperlihatkan contohnya oleh Allah SWT. Hukum yang berasal dari
Allah SWT sebagai otoritas tertinggi dalam pandangan Islam yang akan diterapkan dalam

30
Cst Kansil, Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah Hukum,
Jakarta, 2009, Hlm. 385.
31
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm.23
32
Wantu, Fence M. “Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan Hakim di
Peradilan Perdata”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, 2012
20

masyarakat harus disampaikan sejelas-jelasnya kepada masyarakat itu untuk dipedomani dan
dilaksanakan dalam kehidupan mereka. Hal itu antara lain diinformasikan oleh Allah SWT:
“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota sebelum Dia mengutus di ibukota itu
seorang rasul yang membacakan ayat-ayat1 Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula)
Kami membinasakan kota-kota kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman”
(Al-Qur'an Surat Al-Qasas Ayat ke-59).

Selain itu dalam ayat lain,


“Dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kalian,
mereka itu adalah pakaian, dan kalian pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasannya kalian tidak dapat menahan nafsu kalian, karena itu Allah mengampuni kalian
dan memberi maaf kepada kalian. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang
telah ditetapkan Allah untuk kalian, dan makan minumlah hingga terang bagi kalian benang
putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,
(tetapi) janganlah kalian campuri mereka itu, sedang kalian beri‟tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa.” (Surat al-Baqarah ayat 187)

Bank garansi sebagai bentuk wadah agar pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
pelaksanaan pekerjaan jasa konstruksi telah banyak diatur dalam beberapa peraturan salah-
satunya dimuat seperti Surat keputusan direksi BI No.23/88/KEP/DIR tanggal 18 maret 1991
serta Surat Edaran No.23/7/UKU dan tanggal 18 maret 1991. Hal ini menunjukkan salah satu
upaya pemberian kepastian hukum agar pihak-pihak yang membuat perjanjian pelaksanaan yang
tertuang dalam bank garansi mengetahui hak dan kewajibannya termasuk Pihak perusahaan
asuransi kredit yang karena fungsinya sebagai pengalihan resiko dari bank atas dibuatkannya
perjanjian pelaksanaan bank garansi tersebut berkewajiban untuk diberikan kepastian hukum atas
pelaksanaan dari fungsinya tersebut.
Kepastian hukum dalam perjanjian bank garansi setidaknya mencakup beberapa hal antara
lain:
1. Kepastian Hukum dalam lini asuransi kredit itu sendiri;
2. Kepastian Hukum terhadap penyelenggaraan jasa konstruksi;
3. Kepastian Hukum terhadap Perjanjian bank garansi;
4. Kepastian Hukum dalam proses klaim dari bank;
5. Kepastian Hukum dalam melakukan penagihan terhadap penyedia jasa;
6. Kepastian Hukum terkait penyelesaian sengketa yang mungkin timbul.
21

F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum memaparkan pendekatan-
pendekatan yang digunakan dalam dalam penelitian hukum antara lain Pendekatan
Undang-undang (statute Approach), Pendekatan kasus (case Approach), pendekatan
historis (historical Approach), pendekatan komparatif (comparative Approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual Approach).33
Tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini yakni hukum normatif,
sehingga peneliti menggunakan pendekatan Undang-undang (statute Approach)
Menurut Peter Mahmud Marzuki pendekatan undang-undang (statute Approach)
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.34

2. Spesifikasi penelitian
Berdasarkan permasalahan pada pokok bahasan penelitian ini, maka spesifikasi
penelitian adalah penelitian deskriptif (deskriptif research). Menurut Abdulkadir
Muhammad penelitian deskriptif adalah Tipe penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan
bertujuan untuk memperoleh gambaran (deskriptif) lengkap tentang keadaan hukum yang
berlaku di tempat tertentu atau mengenai peristiwa yang terjadi di masyarakat”35
Pada penelitian ini penulis menggambarkan permasalahan yang ada, kemudian
dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Jenis penelitian yuridis
normatif, merupakan jenis penelitian kepustakaan (data sekunder) berupa bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.36

33
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum edisi revisi, Prenadamedia Group, Jakarta 2016, Hlm. 133.
34
Ibid
35
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 134.
36
Ibid.
22

Dalam hal ini, penulis meneliti data sekunder atau data kepustakaan mengenai
asuransi kredit. Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan dan meneliti data sekunder
atau kepustakaan sebagai alat untuk menganalisis masalah yang diteliti, meliputi:
a. Bahan hukum primer, berupa peraturan perundang-undangan yaitu:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);
2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
4) Undang-Udang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi;
5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/Pmk.010/2008 tentang
Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang menunjang bahan hukum primer
berupa karya-karya ilmiah dan hasil penelitian para ahli hukum, khususnya yang
terkait dengan asuransi kredit.
c. Bahan hukum tersier, diantaranya kamus hukum, mass media (cetak/elektronik),
kamus bahasa.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk penulisan skripsi ini dikumpulkan dengan cara studi
dokumen atau studi kepustakaan, menurut Abdulkadir Muhammad Pengumpulan data
sekunder dilakukan dengan studi pustaka, juga studi dokumen yang meliputi perundang-
undangan, yurisprudensi, dan buku literatur hukum lainnya.”37
Pengumpulan data dilakukan untuk mengumpulkan dan menginvetarisasi semua data
kepustakaan atau data sekunder yang terkait dengan obyek penelitian dan dari internet.
5. Metode Analisis Data
Seluruh data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif. Normatif karena menganalisis berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kualitatif karena analisis data dilakukan tanpa menggunakan
perhitungan matematis dan angka-angka statistik. Menurut Abdulkadir Muhammad
Bahan Hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode

37
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 151.
23

analisis kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat-kalimat
yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif, sehingga
memudahkan interprestasi data dan pemahaman hasil analisis.”38
Tetapi dianalisis berupa uraian pembahasan sehingga diperoleh informasi baru dari
simpulan hasil penelitian.

G. Sistematika Penulisan
Dalam mengalisis tesis ini, penulis menggunakan sistematika yang terdiri dari beberapa
bagian antara lain sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Identifikasi Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Kerangka Pemikiran
F. Metode Penelitian
G. Sistematika Penulisan

BAB II ASPEK HUKUM MENGENAI ASURANSI DAN HUKUM PERBANKAN

A. Ruang Lingkup Mengenai Hukum Asuransi


B. Ruang Lingkup Mengenai Hukum Perbankan
C. Ruang Lingkup Mengenai Hukum Jasa Konstruksi
D. Asuransi Kredit Sebagai Bagian Dari Hukum Asuransi

BAB III PELAKSANAAN PERJANJIAN BANK GARANSI DAN PENJAMINAN


ASURANSI KREDIT DALAM UPAYA MELINDUNGI BANK DARI
WANPRESTASI PENYEDIA JASA KONSTRUKSI (TERJAMIN)

38
Ibid.
24

A. Ketentuan Hukum Pelaksanaan Perjanjian Bank Garansi Yang Dilakukan Oleh Bank
Sebagai Penjamin, Pengguna Jasa Sebagai Penerima Jaminan Dan Penyedia Jasa
Sebagai Terjamin.
B. Mekanisme Pelaksanaan Klaim Atas Pengalihan Resiko dari Pihak Bank Kepada
Pihak Perusahaan Asuransi Kredit.
C. Permasalahan Yang Timbul Dalam Proses Klaim Bank Garansi Pelaksanaan Kepada
Pihak Asuransi melalui Bank Yang Dilakukan Pengguna Jasa Akibat Wanprestasi
Penyedia Jasa.

BAB IV KEPASTIAN HUKUM ASURANSI KREDIT DALAM MELINDUNGI BANK DAN


PENERIMA JAMINAN AKIBAT WANPRESTASI TERJAMIN DALAM
PERJANJIAN BANK GARANSI PELAKSANAAN JASA KONSTRUKSI

A. Perlindungan Hukum Atas Kegiatan Usaha Yang Dilakukan Asuransi Kredit Sebagai
Produk Dalam Menjamin Bank, Penerima Jaminan Dan Terjamin Dalam Perjanjian
Bank Garansi Terkait Jaminan Pelaksanaan Jasa Konstruksi.
B. Akibat Hukum Apabila Pihak Terjamin Yang Telah Dinyatakan Wanprestasi
Melakukan Gagal Bayar Atas Jaminan Pelaksanaan Yang Telah Diperjanjikan Dalam
Perjanjian Bank Garansi Terkait Jaminan Pelaksanaan Jasa Konstruksi.
C. Penyelesaian Sengketa Apabila Telah Terjadi Gagal Bayar Bank Garansi Dan Upaya-
Upaya Apa Saja Yang Dapat Dilakukan Baik Oleh Pihak Asuransi Kredit Sendiri,
Bank Dan Penerima Jaminan Dalam Rangka Memperoleh Kepastian Hukum.

BAB V PENUTUP

A. Simpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

A Junaedy Ganie, Hukum Asuransi Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2013.

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 2005.

Asikin zainal, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rajawali Press, Jakarta 2012.

Cst Kansil, Christine, S.T Kansil, Engelien R, Palandeng dan Godlieb N Mamahit, Kamus Istilah
Hukum, Jakarta, 2009.

Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010.

H. Nazarkhan Yasin, Ir, Mengenal Klaim Konstruksi & Penyelesaian Sengketa Konstruksi,
Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, Teori Hukum Murni, Nuansa &
Nusa Media, Bandung, 2006.

Hans Kelsen, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, General Theory Of law and State,
Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu
Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia, Jakarta, 2007.

J. Tinggi Sianipar dan Jan Pinontoan., Surety Bonds, Cet. I, CV. Dharmaputra, Jakarta, 2003.

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2002.

Man S. Sastrawidjaja & Endang, Hukum Asuransi Perlindungan Asuransi Deposito Usaha
Perasuransian, Alumni, Bandung, 2004.
N. Budi Arianto Wijaya, Aspek Hukum Jasa Konstruksi, Andi, Yogyakarta, 2021.

Niek Maschudah, Modul Klasikal Laboratorium Operasional Bank STIE Perbanas Surabaya,
STIE Perbanas, Surabaya, 2016.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum edisi revisi, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016.

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Soekidjo Notoatmojo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2010.

Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi Dan Perusahaan Asuransi, dalam Hukum Asuransi
Indonesia Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Titik Triwulan dan Shinta Febrian, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2010.

JURNAL

Ade Hari Siswanto, Karakteristik Hukum Dan Pelaksanaan Bank Garansi Dalam Jaminan
Kontrak Jasa Konstruksi, Lex Jurnalica Volume 14 Nomor 1, April 2017

Media Informasi dan Komunikasi Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR,
Sistem Pengadaan Jasa Konstruksi, Buletin Konstruksi Edisi 1 Tahun 2020.

Wantu, Fence M., Mewujudkan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Putusan
Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Volume 12, 2012

Sri Retno Widyorini, Bank Garansi Sebagai Jaminan Bagi Pihak Ketiga, Serat Acitya-Jurnal
Ilmiah, UNTAG Semarang, 2020.

Gideon F. Sumual, Firdja Baftim, Anna S. Wahongan, Pengaturan Hubungan Kerja Antara
Pengguna Jasa Dan Penyedia Jasa Dalam Kontrak Kerja Konstruksi, Lex Administratum,
Vol. IX/No. 2/Mar/EK/2021.
Ni Nengah Ayu Putri Darsani, Dewa Gde Rudy, Legalitas Asuransi Kredit Sebagai Perlindungan
Dana Lender Dalam Pelaksanaan Peer to Peer Lending, Jurnal Kertha Wicara Vol.10 No. 9
Tahun 2021

I Gusti Yesi Triastiti, Candra Irawan, Emelia Kontesa, Implementasi Bank Garansi Dalam
Kontrak Konstruksi, Sinta 4|Vol.7, No.1, 2022

Sri Magfirah Indriani., et al., “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Bank Dalam
Penyalahgunaan Deposito Berjangka (Studi Kasus Commonwealth Bank Cabang
Palembang Putusan Nomor 59/Pdt.G/2013/PN. Plg) Diponegoro Law Jurnal Vol 5, Nomor
4 (2016)

Rega Aris Pratama, Kasahdi, Siti Malikhatun Badriyah, Tinjauan Yuridis Garansi Pelaksanaan
Tidak Bersyarat (Unconditional Performance Bond) Sebagai Bentuk Jaminan Dalam
Kontrak Konstruksi, Diponegoro Law Journal, Volume 5, Nomor 3, Tahun 2016.

Ade Hari Siswanto, Karakteristik Hukum Dan Pelaksanaan Bank Garansi Dalam Jaminan
Kontrak Jasa Konstruksi, Lex Jurnalica Volume 14 Nomor 1, April 2017

INTERNET

Evana Dewi, Askrindo Selalu Merugi, https://bisnis.tempo.co/read/321715/askrindo-selalu-


merugi, Jakarta 2011.

Mhd. Taufik Arifin ANZIIF (Snr. Assoc) CIIB., 5 Kasus Surety Bond dan Bank Garansi yang
Menggemparkan, https://ligaasuransi.com/5-kasus-surety-bond-dan-bank-garansi-yang-
menggemparkan, Tangerang Selatan, 2020.

Ditjen SDA, “Presiden Jokowi: Ketersediaan Infrastruktur Menjadi Pondasi Indonesia Menuju
Negara Maju”, https://sda.pu.go.id/balai/bwssumatera1/article/presiden-jokowi-
ketersediaan-infrastruktur-menjadi-pondasi-indonesia-menuju-negara-maju, 2019

Website resmi Asuransi Kredit Indonesia, https://askrindo.co.id/new/id


UNDANG-UNDANG

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata);


Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan;
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian;
Undang-Udang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi;
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124/Pmk.010/2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha
Asuransi Kredit dan Suretyship.

Anda mungkin juga menyukai