Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH ASPEK HUKUM DALAM

PEMBANGUNAN
“ UNDANG – UNDANG PEMBANGUNAN “

DI SUSUN OLEH :

DISKY SAPUTRA WARDANI

1522201005

DOSEN PENGAMPU :

Zainuri, ST., MT.

FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
PEKANBARU – RIAU
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa ta'ala sehingga tugas ini bisa
selesai tepat pada waktunya, sehingga memenuhi tugas mata kuliah Aspek Hukum
Dalam Pembangunan , yang mana merupakan mata kuliah pada program studi Teknik
Sipil.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang penulis
hadapi. Namun melalui banyak referensi di internet, diktat kuliah serta pinjaman buku
melalui perpustakaan, dan juga masukan dari asisten dosen, sangat membantu
terselesaikannya makalah ini.

Saya sadar bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, maka
daripada itu, saya minta masukannya dari dosen pengampu saya dan juga pembaca
lainnya berupa kritik maupun sarannya. Terima kasih.

Pekanbaru, April 2018

Penyusun

Disky Saputra Wardani

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

I.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1

I.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2

I.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA .................................................................................. 3

II.1 Undang-Undang No.2/2017 tentang Jasa Konstruksi .............................. 3

II.2 Undang-Undang No.1/1970 tentang Keselamatan Kerja ......................... 8

BAB III STUDI KASUS ....................................................................................... 13

III.1 Kasus ................................................................................................... 13

III.2 Kajian Analisa..................................................................................... 14

BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 15

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 16

V.1 Argumentasi ........................................................................................... 16

V.2 Kesimpulan ............................................................................................. 16

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

ii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial,
dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran
guna menunjang agar tujuan pembangunan nasional dapat terwujud. Pembangunan
nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
material dan spiritual.

Pekerjaan konstruksi merupakan salah satu pekerjaan dengan kompleksitas


pekerjaan yang tinggi. Pekerjaan ini juga merupakan salah satu pekerjaan yang cukup
besar dalam menyerap tenaga kerja. Sebagai pekerjaan yang memiliki kompleksitas
yang tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja, tidak heran bahwa pekerjaan ini
memiliki risiko yang besar pula terhadap terjadinya kecelakaan kerja.

Kecelakaan kerja dapat terjadi pada tenaga kerja, peralatan kerja dan segala
sesuatu yang berada di tempat kerja. Kecelakaan kerja dapat menimbulkan kerugian
yang sangat besar, mulai dari kematian tenaga kerja yang dapat berujung pada kasus
hukum, kerusakan alat, kehancuran tempat kerja dan kecelakaan lain yang dapat
menyebabkan pekerjaan terhenti sehingga mengalami kerugian secara material yang
tidak sedikit.

Angka kecelakaan kerja yang terjadi di Indonesia cukup tinggi. Penyebab


kecelakaan kerja secara umum terjadi akibat kesalahan manusia (human error),
peralatan dan lingkungan. Akan tetapi, banyak dari kecelakaan yang terjadi, terutama
di bidang konstruksi, diakibatkan oleh kesalahan manusia.

1
I.2 Rumusan Masalah

 Apakah UU Jasa Kontruksi dan UU Keselamatan Kerja saling


berkaitan ?
 Adakah aturan UU Jasa Kontruksi dan UU Keselamatan Kerja yang
bertentangan ?
I.3 Tujuan

 Untuk mengetahui pasal-pasal yang saling berkomplemen di antara


UU Jasa Konstruksi dengan UU Keselamatan Kerja
 Untuk mengetahui implementasi dan permasalahan yang terjadi terkait
dengan kedua undang-undang tersebut.

2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

II.1 Undang-Undang No.2/2017 tentang Jasa Konstruksi

a. Kegagalan Bangunan (Pasal 61:1)


a. memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja pada jenjang jabatan ahli di bidang
yang sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang mengalami
Kegagalan Bangunan;
b. memiliki pengalaman sebagai perencana, pelaksana, dan/atau pengawas
pada Jasa Konstruksi sesuai dengan klasifikasi produk bangunan yang
mengalami Kegagalan Bangunan; dan
c. terdaftar sebagai penilai ahli di kementerian yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan dibidang Jasa Konstruksi.

b. Kontrak Kerja Konstruksi (Pasal 47:1)


Kontrak Kerja Konstruksi paling sedikit harus mencakup uraian
mengenai:
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup
kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu
pelaksanaan;
c. masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan
pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
d. hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk
memperoleh hasil JasaKonstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi
ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia

3
Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya
melaksanakan layanan Jasa Konstruksi

e. penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan


tenaga kerja konstruksibersertifikat;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa
dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di
dalamnya jaminan atas pembayaran;
g. wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah
satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara
penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang
pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat
dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di
luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian
bagi salah satu pihak;
k. Kegagalan Bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban Penyedia
Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan dan jangka waktu
pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
l. pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak
dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m. pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat
kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang
menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
n. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan
ketentuan tentang lingkungan;

4
o. jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak
lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan
Bangunan; dan
p. pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.

c. Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Berkelanjutan (Pasal 59:2)


Dalam memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan
Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengguna Jasa dan/atau
Penyedia Jasa harus memberikan pengesahan atau
persetujuan atas:
a. hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan;
b. rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran,
dan/atau pembangunan kembali;
c. pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran,
dan/atau pembangunan kembali;
d. penggunaan material, peralatan dan/atau teknologi; dan/atau
e. hasil layanan Jasa Konstruksi.
d. Sanksi Administratif
 Pasal 89:1 dan 2
(1) Setiap usaha orang perseorangan yang tidak memiliki Tanda Daftar Usaha
Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan/atau
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.
(2) Setiap badan usaha dan badan usaha asing yang tidak memenuhi kewajiban
memiliki Izin Usaha yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26 ayat (2) dan Pasal 34 ayat (3), dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;

5
b. denda administratif; dan/atau
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.

 Pasal 96:1 dan 2


(1) Setiap Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam
penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat
(1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.
(2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang dalam memberikan
pengesahan atau persetujuan melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.

 Pasal 98
Penyedia Jasa yang tidak memenuhi kewajiban untuk mengganti atau
memperbaiki Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;

6
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi;
d. pencantuman dalam daftar hitam;
e. pembekuan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.

 Pasal 99:1-3
(1) Setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi tidak
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pemberhentian dari tempat kerja.
(2) Setiap Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang mempekerjakan tenaga
kerja konstruksi yang tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. denda administratif; dan/atau
b. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi.
(3) Setiap lembaga sertifikasi profesi yang tidak mengikuti ketentuan pelaksanaan
uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan lisensi; dan/atau
d. pencabutan lisensi.

 Pasal 100
Setiap asosiasi profesi yang tidak melakukan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (6) dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;

7
b. pembekuan akreditasi; dan/atau
c. pencabutan akreditasi.

 Pasal 101:1 dan 2


(1) Setiap pemberi kerja tenaga kerja konstruksi asing yang tidak memiliki
rencana penggunaan tenaga kerja konstruksi asing dan izin mempekerjakan
tenaga kerja konstruksi asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1)
dan mempekerjakan tenaga kerja konstruksi asing yang tidak memiliki
registrasi dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3),
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi; dan/atau
d. pencantuman dalam daftar hitam.
(2) Setiap tenaga kerja konstruksi asing pada jabatan ahli yang tidak
melaksanakan kewajiban alih pengetahuan dan alih teknologi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pemberhentian dari pekerjaan; dan/atau
d. pencantuman dalam daftar hitam.

II.2 Undang-Undang No.1/1970 tentang Keselamatan Kerja

a. Istilah (Pasal 1:3)


“Pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung
sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
b. Ruang Lingkup
 Pasal 2:1

8
Undang-undang ini mengatur keselamatan kerja dalam segala tempat kerja,
baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara,
yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.

 Pasal 2:2
Ketentuan-ketentuan tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana :
o dipakai atau dipergunakan mesin, peralatan atau instalasi yang berbahaya
atau dapat menimbulkan kecelakaan;
o dikerjakan pembangunan gedung atau bangunan lainnya;
o dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah; dan
o dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya kejatuhan benda.

c. Syarat-syarat Keselamatan Kerja (Pasal 3:1)


Dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan
kerja untuk:
 mencegah dan mengurangi kecelakaan;
 memberi pertolongan pada kecelakaan;
 memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
 memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan
proses kerjanya; dan
 menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

d. Pengawasan
 Pasal 5:1
“Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang
ini, sedangkan para pegawai pengawas kerja ditugaskan menjalankan
pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undangn ini dan
membantu pelaksanaannya.”

9
 Pasal 6:1
“Barangsiapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat
mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding.”

 Pasal 6:3
“Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.”

 Pasal 8:1
“Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental
dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan
dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.”

 Pasal 8:2
“Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di
bawah pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh
Pengusaha dan dibenarkan oleh Direktur.”

e. Pembinaaan (Pasal 9)
1. Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja
baru tentang :
o Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam
tempat kerjanya;
o Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
semua tempat kerjanya;
o Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
o Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan peerjaannya.
2. Pengurus boleh mempekerjakan tenaga kerja setelah ia yakin bahwa tenaga
kerja paham

10
3. Pengurus wajib membina tenaga kerja dalam pencegahan kecelakaan,
peningkatan keselamatan dan pemberian pertolongan pertama dalam
kecelakaan

f. Kecelakaan (Pasal 11:1)


Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan pada pejabat yang ditunjuk
oleh Menteri Tenaga Kerja.

g. Kewajiban dan Hak Kerja Tenaga Kerja (Pasal 12)


 Memberikan keterangan bila diminta oleh pegawai pengawas atau ahli
keselamatan kerja
 Memakai alat-alat perlindungan diri
 Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan
 Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan
 Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan
kerja serta alat-alat perlindungan diri diragukan olehnya.

h. Kewajiban Bila Memasuki Tempat Kerja (Pasal 13)


“Barang siapa yang akan memasuki suatu tempat kerja, diwajibkan
mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat
perlindungan diri yang diwajibkan.”

i. Kewajiban Pengurus (Pasal 14)


 Secara tertulis menempatkan semua syarat keselamatan kerja, sehelai
Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya pada tempat-
tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai
pengawas atau ahli keselamatan kerja
 Memasang semua gambar keselamatan kerja pada tempat-tempat yang
mudah dilihat

11
 Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri pada
tenaga kerja dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki
tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk

j. Sanksi (Pasal 15:2)


Ancaman pidana atas pelanggaran peraturan perundang-undangan berupa
kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-

12
BAB III

STUDI KASUS

III.1 Kasus
Kecelakaan dalam pembangunan proyek kembali terjadi, Selasa (20/2/2018).
Insiden kali ini terjadi di Tol Bekasi-Cawang-Kampung Melayu (Becakayu), yang
berada di dekat gardu tol Kebon Nanas Jalan DI Panjaitan, Jakarta Timur, pada Selasa
(20/2/2018) pukul 03.00 WIB.
Proyek ini merupakan satu dari 47 jalan tol yang masuk dalam Proyek
Strategis Nasional dan tercantum dalam Peraturan Presiden 58 tahun 2017. Perpres
ini merupakan kelanjutan dari Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan
Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang ditandatangani pada 8 Januari 2016.
Bersamaan dengan proyek ini, sejumlah pemerintah daerah juga sedang
membangun proyek infrastruktur yang bersinergi dengan PSN ini. Sinergi ini tampak
dalam pembangunan proyek-proyek jalan layang yang berada di DKI Jakarta.
kecelakaan terjadi di proyek Tol Bekasi, Cawang, Kampung Melayu. Proyek
yang digarap PT Waskita Karya ini merupakan satu dari 47 jalan tol yang masuk
proyek strategis nasional yang dicanangkan Jokowi. Akibat insiden ini, tujuh pekerja
dirawat di rumah sakit lantaran mengalami kondisi kritis.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai pengerjaan proyek
infrastruktur di Indonesia dikerjakan seperti sopir angkot yang terburu-buru dan asal
rampung.
"Ya, seperti sopir angkot mengejar setoran. Yang penting pekerjaan selesai,
tanpa mengutamakan keselamatan, keamanan, dan kenyamanan penumpangnya," kata
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi.
Menurut Tulus, kecelakaan konstruksi terhadap proyek infrastruktur yang
terjadi secara beruntun, dengan puluhan korban melayang, membuktikan hal itu.

13
"Kecelakaan konstruksi terjadi sebagai terbukti karena kegagalan konstruksi
(construction failure). Ini membuktikan proyek konstruksi tersebut tidak
direncanakan dengan matang dan atau pengawasan yang ketat dan konsisten,"
katanya.

III.2 Kajian Analisa

Jika kesalahan yang terjadi diakibatkan oleh faktor alat, maka pihak yang
bertanggungjawab adalah pihak yang menyebabkan alat tersebut digunakan pada
proyek ini, yaitu konsultan perencana atau kontraktor. Jika kesalahan disebabkan oleh
kesalahan prosedural, maka pihak yang bertanggungjawab adalah pekerja atau pihak
yang mempekerjakannya. Tenaga kerja haruslah orang yang telah dianggap layak
baik oleh suatu lembaga atau oleh kontraktor. Jika pekerja sudah dianggap layak
namun terjadi kecelakaan akibat kelalaian/human error, maka orang tersebutlah yang
bersalah. Akan tetapi, jika tenaga kerja tidak memenuhi kualifikasi tapi tetap
dipekerjakan, maka pihak yang mempekerjakan dan orang tersebut dapat dikatakan
sama-sama bertanggungjawab.

Konsultan perencana dan kontraktor dianggap bertanggungjawab karena


diduga terjadi kesalahan atau kelalaian pada proses perencanaan.

14
BAB IV

PEMBAHASAN

Berdasarkan Undang-undang Jasa Konstruksi Pasal 99 ayat 2, Setiap


Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa yang mempekerjakan tenaga kerja konstruksi
yang tidak memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal
70 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa, akan tetapi belum diketahui apakah
tenaga kerja tersebut sudah memenuhinya. Jika belum, maka pihak penyelenggara
konstruksi dapat dikenakan sanksi karena telah melakukan pembiaran tenaga kerja
yang tidak layak dipekerjakan. Jika tenaga kerja telah memenuhinya, maka pihak
penyelenggara bebas dari pasal ini, namun belum dapat dikatakan tidak bersalah.

Pihak penyelenggara konstruksi dapat dikenai sanksi atas pelanggaran pasal


47: 1(l) jika para pihak tersebut tidak mencantumkan mengenai keselamatan kerja di
dalam kontrak kerja.Dengan pasal 96:1, penyelenggara konstruksi dapat dikenai
sanksi karena tidak dapat menciptakan tempat kerja yang aman. Penyelenggara dapat
terbebas dari pasal ini jika dalam melaksanakan tugasnya, telah memenuhi semua
kewajibannya dan kecelakaan yang terjadi disebabkan oleh sesuatu yang di luar
kekuasaannya.

15
BAB V

PENUTUP

V.1 Argumentasi

Melalui studi kasus ini, diketahui bahwa Undang-Undang No.2/2017 tentang Jasa
Konstruksi saling terkait dan berkomplemen dengan Undang-Undang No.1/1970 tentang
Keselamatan Kerja karena tidak ada pasal-pasal yang bermasalah dan saling bertentangan di
dalamnya. Undang-Undang tentang Jasa Konstruksi lebih mengatur hubungan antara
Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa, hak dan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk dalam
rangka menciptakan tempat kerja yang aman dari bahaya yang dapat menimbulkan
kecelakaan kerja terhadap tenaga kerja, tempat kerja dan benda-benda yang berada di
tempat tersebut. UU JK hanya mengatur bahwa penyelenggara konstruksi harus
memperhatikan keselamatan kerja, sedangkan penjabarannya terdapat pada Undang-
Undang tentang Keselamatan Kerja

UU KK mengatur tentang keselamatan kerja di segala tempat kerja dan segala jenis
pekerjaan. Pekerjaan konstruksi merupakan pekerjaan yang sangat kompleks dan sangat
berisiko terjadinya kecelakaan, terutama pada proses konstruksi berlangsung. Keselamatan
kerja harus sangat diperhatikan, karena jika tidak, akan menimbulkan kerugian yang besar
seperti terhentinya pekerjaan yang akan membuat cost bertambah.

Implementasi UU Keselamatan Kerja belum optimal, terutama pada bidang


pengawasan. Dari kasus tersebut dan kasus-kasus sejenisnya, terdapat perbedaan-
perbedaan mengenai siapa yang harus bertanggung jawab ketika terjadi kasus seperti ini,
apakah pekerja, pemimpin atau bukan keduanya. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan
terhadap Undang-undang tersebut agar lebih rinci, sehingga dapat dengan mudah
menentukan siapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus-kasus seperti ini.

V.2 Kesimpulan

 UU Jasa Konstruksi dan UU Keselamatan Kerja memiliki keterkaitan satu sama lain
dan saling melengkapi.
 Tidak ada aturan di dalam kedua undang-undang tersebut yang saling tumpang
tindih dan yang saling bertentangan.
 Penerapan UU No.1/1970 tentang Keselamatan Kerja belum optimal, terutama pada
bidang pengawasan.

16
 Diperlukannya perbaikan terhadap kedua Undang-Undang tersebut agar lebih rinci
dan tegas, sehingga tidak terjadi kesulitan saat menentukan pihak yang harus
bertanggungjawab atas kasus kecelakaan kerja.

17
DAFTAR PUSTAKA

http://wartakota.tribunnews.com/detil/berita/116290/Kasus-Crane-Ambruk-4-Orang-
Diperiksa, diakses 26 Maret 2013.

Republik Indonesia. 1970. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.
Lembaran Negara RI Tahun 1970, No. 1. Sekretariat Negara. Jakarta.

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 54. Sekretariat Negara. Jakarta.

18

Anda mungkin juga menyukai