Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH STRUKTUR BAJA II

TIPE KERUNTUHAN PADA PLAT SAMBUNGAN

Dosen Pengampu Tugas :


Oties T Tsarwan, ST, MT.

Disusun Oleh :
Nida Nadiaturrohmah 41117010007
Farroszy Safana Putra 41117010027
Resty Ariestya Rani 41117010036
Anisya Intan Sari 41117010070

PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MERCU BUANA JAKARTA
2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat kemurahan-Nya
makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami
membahas tentang “Tipe Keruntuhan pada Plat Sambungan dan Sambungan”.

Makalah telah selesai kami susun dengan maksimal dan dengan bantuan pertolongan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar dalam pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam pembuatan
makalah ini.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari bahwa masih jauh dari kata sempurna baik
dari segi susunan kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami bersedia menerima
segala masukan dan kritik yang bersifat membangun sehingga kami dapat melakukan
perbaikan makalah yang baik dan benar.

Jakarta, 26 Maret 2019

Tim Penyusun,
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sambungan dalam struktur gedung merupakan bagian terlemah sehingga perlu perhatian
secara khusus. Seluruh elemen struktur mengalami pembebanan sesuai dengan bagian
dan posisinya. Beban diharapkan dapat diteruskan ke bagian struktur dibawahnya hingga
sampai ke pondasi. Rekayasa teknik dan bahan berkembang sangat pesat, sehingga
sambungan seharusnya tidak menjadi hambatan dalam berbagai desain struktur. Model
sambungan untuk aplikasi struktur memiliki beraneka ragam bentuk, jenis bahan dan
cara analisis.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut, kami merumuskan masalah dalam makalah ini,
yaitu sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari metode ASD dan LRFD?
2. Apa perbedaan metode ASD dan LRFD?
3. Apa kelebihan dan kekurangan metode ASD dan LRFD?
4. Apa metode yang digunakan di Indonesia saat ini?
5. Bagaimana perkembangan metode LRFD pada saat ini?

C. Tujuan

Pada dasarnya makalah ini bertujuan untuk mengungkap hal-hal sebagai berikut :
1. Memahami pengertian metode ASD dan LRFD
2. Memahami perbedaan metode ASD dan LRFD
3. Memahami kelebihan dan kekurangan metode ASD dan LRFD
4. Mengetahui metode yang digunakan untuk mendesain struktur baja di Indonesia
5. Mengetahui perkembangan metode LRFD pada saat ini
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Metode LRFD dan ASD

ASD yang tercantum pada code 2005 mempunyai definisi yang berbeda dibanding
code 1989 dan sebelumnya.

Menurut code 2005 definisi ASD dan LRFD adalah sebagai berikut
Load and Resistance Factor Design (LRFD): The nominal strength is multiplied by a
resistance factor, and the resulting design strength is then required to equal or exceed the
required strength determined by structural analysis for the appropriate LRFD load
combination specified by the applicable building code.

Allowable Strength Design (ASD): The nominal strength is divided by a safety


factor, and the resulting allowable strength is then required to equal or exceed the
required strength determined by structural analysis for the appropriate ASD load
combination specified by the applicable building code.

Karena sama-sama memakai nominal strength maka sebenarnya konsep


perencanaannya sama, hanya beda soal resistance factor dan safety factor saja. Juga
tentunya load combination yang dipakai. Meskipun ketiga faktor tersebut berbeda, tetapi
keduanya telah dikalibrasi agar mempunyai tingkat keamanan yang sama terhadap suatu
kondisi pembebanan yang tertentu, khususnya terhadap pembebanan tetap dengan
konfigurasi LL = 3 * DL . Beban hidup besarnya tiga kali lipat beban mati. Jadi jika
dipakai untuk kondisi beban tersebut, keduanya (ASC dan LRFD) akan menghasilkan
nilai yang sama persis.

Kalau konsep ASD yang lama, yang biasa dipakai adalah mengacu pada perencanaan
elastis, yaitu memastikan semua tegangan yang terjadi di bawah tegangan ijin. Adapun
yang dimaksud dengan tegangan ijin adalah tegangan leleh dibagi dengan safety faktor.

Perencanaan elastis berarti hanya memperhitungkan kondisi elastis saja, yaitu


tegangan-tegangan di bawah tegangan leleh baja (fy). Sedangkan nominal strength tidak
hanya kondisi elastis (fs < fy), tetapi juga telah memperhitungkan tegangan ultimate baja
(fu).

Perbedaan konsep tersebut tidak ditujukan pada masalah “irit yang mana”, tetapi
lebih dari itu. Bahwa nominal strength sudah memperhitungkan kondisi batas, kondisi
maksimum yang dapat diberikan suatu penampang yang berada di luar batas elastis.
Tepatnya bahwa kondisi in-elastis juga telah diperhitungkan di LRFD, sedang ‘ASD
lama’belum.
Dengan memperhitungkan kondisi in-elastis maka perilaku keruntuhan struktur
dapat dideteksi terlebih dahulu, apakah perilakunya daktail atau tidak. Kondisi tersebut
sangat penting untuk mengantisipasi adanya beban tak terduga, yang mungkin saja bisa
terjadi, contoh yang umum adalah beban gempa, blasting (ledakan) dan sebagainya.

Jadi LRFD dibanding ASD yang lama memang mempunyai keunggulan terhadap
beban-beban tak terduga. Itu pulalah maka ANSI/AISC 341-02 (Seismic Provisions for
Structural Steel Buildings - 2002) , code tentang bangunan baja tahan gempa yang
dikeluarkan sebelum code 2005, menyatakan dengan tegas bahwa perencanaan baja
tahan gempa harus memakai LRFD code.

Sedangkan untuk perencanaan struktur yang didesain terhadap pembebanan tetap


(beban gravitasi) maka LRFD dan ASD lama menghasilkan struktur yang mempunyai
keamanan dan kekakuan yang sama. Jika ada bedanya itu disebabkan oleh load faktor
yang memang berbeda. Tapi, itu tidak terlalu signifikan jika dijadikan faktor pembeda,
dan menurut saya tidaklah bijak jika berbicara faktor ekonomis atau tidaknya berkaitan
dengan adanya perbedaan tersebut.

Metode ASD (Allowable Stress Design) dalam struktur baja telah cukup lama
digunakan, namun beberapa tahun terakhir metode desain dalam struktur baja mulai
beralih ke metode lain yang lebih rasional, yakni metode LRFD (Load Resistance and
Factor Design). Metode ini didasarkan pada ilmu probabilitas, sehingga dapat
mengantisipasi segala ketidak pastian dari material maupun beban. Oleh karena itu,
metode LRFD ini dianggap cukup andal. Peraturan Perencanaan Bangunan Baja
Indonesia (PPBBI 1987) telah diganti dengan Tata Cara Perencanaan Struktur Baja untuk
Bangunan Gedung, SNI 03-1729-2002 yang berbasis pada metode LRFD.
B. Perbedaan antara Metode ASD dengan Metode LRFD

Berikut adalah tabel perbedaan kedua metode tersebut :

Keterangan :
D = beban mati
L = beban hidup
La = beban hidup diatap
W = beban angina
H = beban hujan
E = beban gempa
ℽL= 0,5 jika L < 5 kPa atau 1 jika L ≥ 5 kPa
1. Desain Kekuatan Berdasarkan Desain Faktor Beban dan Ketahanan / LRFD (Load And
Resistance Factor Design)

adalah suatu metode dalam perencanaan bangunan gedung yang memperhitungkan faktor
beban dan faktor ketahanan material.

Persamaan umum metode LRFD adalah sebagai berikut :

ϕRn ≥ ∑ γi . Qi......................................... Persamaan 1

Keterangan :
ϕ : factor reduksi
Rn : kuat nominal, kekuatan elemen yang dihasilkan
ϕRn : Kuat rencana
γi : faktor beban terkait beban Qi yang ditinjau
Qi : beban nominal

Pendekatan umum berdasarkan faktor daya tahan dan beban, atau disebut dengan
Load Resistance Design Factor (LRFD) ini adalah hasil penelitian dari Advisory Task
Force yang dipimpin oleh T. V. Galambos. Pada metode ini diperhitungkan mengenai
kekuatan nominal Rn penampang struktur yang dikalikan oleh faktor pengurangan
kapasitas (under-capacity) ϕ, yaitu bilangan yang lebih kecil dari 1,0 untuk
memperhitungkan ketidak-pastian dalam besarnya daya tahan (resistance uncertainties).

Dalam perencanaan struktur berdasarkan metode LRFD, faktor tahanan dapat


dilihat pada tabel 6.4.2 SNI 03-1729-2002 seperti berikut :

1). Komponen struktur yang memikul lentur  = 0,90


2). Komponen struktur yang memikul gaya tekan aksial  = 0,85
3). Komponen struktur yang memikul gaya tarik aksial,
• terhadap kuat tarik leleh  = 0,90
• terhadap kuat tarik fraktur  = 0,75
4). Komponen struktur yang memikul aksi-aksi kombinasi,
• kuat lentur atau geser  = 0,90
• kuat tarik  = 0,90
• kuat tekan  = 0,85
5). Komponen struktur komposit,
• kuat tekan  = 0,85
• kuat tumpu beton  = 0,60
• kuat lentur dengan distribusi tegangan plastic  = 0,85
• kuat lentur dengan distribusi tegangan elastic  = 0,90
6). Sambungan baut,
• baut yang memikul geser  = 0,75
• baut yang memikul tarik  = 0,75
• baut yang memikul kombinasi geser dan tarik  = 0,75
• lapis yang memikul tumpu  = 0,75
7). Sambungan las,
• las tumpul penetrasi penuh  = 0,90
• las sudut dan las tumpul penetrasi sebagian  = 0,75
• las pengisi  = 0,75

Selain itu diperhitungkan juga faktor gaya dalam ultimit Ru dengan kelebihan
beban (overload) γ (bilangan yang lebih besar dari 1,0) untuk menghitung ketidak-pastian
dalam analisa struktur dalam menahan beban mati (dead load), beban hidup (live load),
angin (wind), dan gempa (earthquake).

Struktur dan batang struktural harus selalu direncanakan memikul beban yag lebih
besar daripada yang diperkirakan dalam pemakaian normal. Kapasitas cadangan ini
disediakan terutama untuk memperhitungkan kemungkinan beban yang berlebihan.
Selain itu, kapasitas cadangan juga ditujukan untuk memperhitungkan kemungkinan
pengurangan kekuatan penampang struktur. Penyimpangan pada dimensi penampang
walaupun masih dalam batas toleransi bisa mengurangi kekuatan. Terkadang penampang
baja mempunyai kekuatan leleh sedikit di bawah harga minimum yang ditetapkan,
sehingga juga mengurangi kekuatan.

2. Desain Kekuatan Ijin /Allowable Stress Design (ASD)

Di dalam metode ini, elemen struktur pada bangunan (pelat / balok / kolom /
pondasi) harus direncanakan sedemikian rupa sehingga tegangan yang timbul akibat
beban kerja/layan tidak melampaui tegangan ijin yang telah ditetapkan.

σ maks ≤ σ ijin ......................................... Persamaan 2

𝜎𝑦
𝜎𝑖𝑧𝑖𝑛 = ………………………..untuk pembebanan tetap.
𝑆𝐹

𝜎𝑦
𝜎𝑖𝑧𝑖𝑛 (1,3) …………………….untuk pembebanan sementara..
𝑆𝐹

Keterangan :
σ :Tegangan
SF :Safety Factor (1,5)

Tegangan ijin ini ditentukan oleh peraturan bangunan atau spesifikasi (seperti
American Institute of Steel Construction (AISC) Spesification 1978) untuk mendapatkan
faktor keamanan terhadap tercapainya tegangan batas, seperti tegangan leleh minimum
atau tegangan tekuk (buckling). Tegangan yang dihitung akibat beban kerja/layan harus
berada dalam batas elastis, yaitu tegangan sebanding dengan regangan seperti
ditunjukkan pada grafik berwarna hijau pada kurva tegangan-regangan baja di bawah.
Gambar 1. Kurva tegangan-regangan baja

Pada kondisi beban kerja, tegangan yang terjadi dihitung dengan menganggap
struktur bersifat elastis, dengan memenuhi syarat keamanan (kekuatan yang memadai)
untuk struktur. Pada dasarnya, tegangan ijin pada baja sesuai kualitasnya yang diberikan
dalam spesifikasi AISC ditentukan berdasarkan kekuatan yang bisa dicapai bila struktur
dibebani lebih dari semestinya (faktor beban tambahan jagaan). Bila penampang bersifat
daktail dan tekuk (buckling) tidak terjadi, regangan yang lebih besar daripada regangan
saat leleh dapat diterima oleh penampang tersebut. Pada metode tegangan kerja (ASD)
ini, tegangan ijin disesuaikan ke atas bila kekuatan plastis merupakan keadaan batas yang
sesungguhnya. Jika keadaan batas yang sesungguhnya adalah ketidak-stabilan tekuk
(buckling) atau kelakuan lain yang mencegah pencapaian regangan leleh awal, maka
tegangan ijin harus diturunkan.

Pada bahagian kanan mengambarkan kekuatan bahan, dimana fy adalah


tegangan leleh baja sesuai mutu baja, dan sebelah kiri menggambarkan tegangan yang
terjadi yang dihasilkan sejumlah beban (beban mati, hidup, angin dan/atau gempa dan
lain- lain) yang bekerja.
Kombinasi muatan (PPPURG 1987 / PMI 1970 NI.18),

1). Pembebanan tetap, D + L.


2). Pembebanan sementara, D + L + W.
D + L + E.
Keterangan:

D = adalah beban mati yang diakibatkan oleh berat konstruksi permanen, termasuk
dinding, lantai, atap, plafon, partisi tetap, tangga, dan peralatan layan tetap.

L = adalah beban hidup yang ditimbulkan oleh penggunaan gedung, termasuk kejut,
tetapi tidak termasuk beban lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-lain.
W = adalah beban angin.

E = adalah beban gempa, yang ditentukan menurut PMI 1970 NI.18, PPPURG 1987,
SNI 03–1726–1989 atau penggantinya (SNI 03–1726–2002).
Andaikata dapat disebut sebagai faktor tahanan, maka dalam perencanaan struktur
berdasarkan metode ASD, faktor tahanan dapat dilihat pada PPBBI 1984 yang harus
dikalikan dengan persamaan (4) dan (5) pada bagian kanan diatas seperti berikut :
- Akibat pembebanan tetap,

fy
  (faktor tahanan) . ......(6)
1,5
- Akibat pembebanan
sementara,

fy
  (faktor tahanan) .(1,3) . ......(7)
1,5

Faktor tahanan tersebut antara lain,

1). Komponen struktur yang memikul geser  = 0,58


2). Komponen struktur yang memikul aksi-aksi kombinasi,
• kuat lentur  = 1,00
• kuat tarik  = 1,00
• kuat tekan  = 1,00
• kombinasi tegangan normal dan geser (tegangan idiil)  = 1,00
3). Sambungan baut (PPBBI 1984, fs.8.2.1),
• baut yang memikul geser  = 0,
• baut yang memikul tarik  = 0,70
• baut yang memikul kombinasi geser dan tarik  = 1,00
{    t 2  1,56 2   . }
• baut yang memikul tumpu
Untuk s1 > 2 d  = 1,50
Untuk 1,5 d < s1  2 d  = 1,20
(d = diameter baut ; s1 = jarak baut tepi)
4). Sambungan dengan paku keling (rivet), (PPBBI 1984, fs.8.3.1),
• baut yang memikul geser  = 0,80
• baut yang memikul tarik  = 0,80
• baut yang memikul kombinasi geser dan tarik  = 1,00

{    t 2  3 2   .
BAB III

Anda mungkin juga menyukai