Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/338621469

Identifikasi Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Skema Pendanaan Land


Value Capture Pada Proyek Infrastruktur Transportasi Nasional: Studi
Pendahuluan

Conference Paper · January 2020

CITATION READS

1 1,760

2 authors, including:

Ario Koesalamwardi
Podomoro University
13 PUBLICATIONS   18 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Cost Optimum Single-Family Near Zero Energy House View project

Kompetisi Tesis & Artikel (KTA) 2020 View project

All content following this page was uploaded by Ario Koesalamwardi on 16 January 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KONFERENSI NASIONAL REKAYASA DAN DESAIN
UNIVERSITAS AGUNG PODOMORO
Jakarta - 18 JULI 2019

IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN


LAND VALUE CAPTURE PADA PROYEK INFRASTRUKTUR TRANSPORTASI NASIONAL:
STUDI PENDAHULUAN

Billi Dentiala1, Ario Bintang Koesalamwardi2*


1PT.Sarana Multi Infrastruktur (Persero), Sahid Sudirman Center,
Jl. Jend. Sudirman No.86, DKI Jakarta 10220
2 Program Studi Manajemen dan Rekayasa Konstruksi, Universitas Agung Podomoro,

Jl. Letjen S. Parman, Kav. 28, DKI Jakarta 11470


Email: ario.bintang@podomorouniversity.ac.id

ABSTRAK
Proyek infrastruktur transportasi Nasional membawa manfaat dengan meningkatkan nilai aset dari
area sekitar infrastruktur tersebut. Komitmen sektor publik, baik untuk membangun infrastruktur
transportasi, regulasi pemanfaatan lahan, serta pendanaan modal, akan menstimulasi sektor swasta
untuk melakukan investasi dan aktivitas bisnis di sekitar lokasi proyek. Surplus dari nilai aset
tersebut dapat dipertahankan dalam bentuk kepemilikan individu sebagai aset yang dikapitalisasi.
Pada teori ekonomi liberal, nilai yang tercipta dari suatu aktivitas adalah milik pencipta dari nilai
tersebut. Dengan dasar ini, pemerintah dalam peranannya sebagai pencipta nilai tambah, dengan
pembangunan infrastruktur, dapat menjustifikasi penarikan dari nilai tambah tersebut untuk
mendanai keberlangsungan proyek transportasi. Konsep value capture, yang dianggap sebagai
pemasukan publik, dapat digunakan untuk mendanai proyek infrastruktur di area berkonsep
Tramsit Oriented Development (TOD). Skema pembiayaan infrastruktur transportasi Land Capture
Value (LCV) adalah skema pembiayaan infrastruktur yang relatif baru diperkenalkan di Indonesia.
Konsep LVC pada TOD belum diterapkan di Indonesia, sehingga dibutuhkan kajian terhadap
Identifikasi faktor – faktor penentu keberhasilannya, agar dapat menjadi acuan untuk keberhasilan
penerapannya di Indonesia. Agar penerapan skema pembiayaan infrastruktur ini dapat berjalan
dengan efektif, maka pertanyaan yang timbul adalah, apa saja faktor penentu kesuksesan skema
LCV yang sudah berjalan di negara lain? Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penentu kesuksesan skema Land Capture Value untuk membiayai pembangunan infrastruktur
transportasi. Penelitian ini adalah penelitian pendahulian (preliminari) yang akan dijadikan dasar
untuk penelitian lebih lanjut mengenai Land Capture Value. Penelitian ini akan menggunakan
metode meta-analisis untuk mempelajari dan mengidentifikasi faktor-faktor penentu keberhasilan
skema Land Value Capture di beberapa negara. Selain itu, Penelitian ini juga akan menerapkan
kajian dengan membandingkan penerapan skema ini di negara lain.
Kata Kunci: Infrastruktur, Land Capture Value, Transit Oriented Development, Transportasi

PENDAHULUAN
Infrastruktur transportasi mempunyai peran vital dalam meningkatkan dan menjaga daya saing
ekonomi suatu kota. Infrastruktur transportasi memangkas waktu tempuh, dan meningkatkan
efektifitas pengguna, serta membuat kota tersebut menjadi tempat yang hunian yang nyaman untuk
beraktivitas. Pada banyak kota besar di dunia, kebutuhan terhadap sistem transportasi sangatlah
tinggi seiring dengan bertumbuhnya populasi pada suatu kota besar, serta peningkatan kemacetan
lalu lintas yang berimbas kepada terbuangnya waktu aktivitas masyarakat serta menningkatnya
polusi udara. Disisi lain, International Transport Forum (2013) berpendapat bahwa pemerintah di
negara berkembang mengalami kesulitan mendanai proyek infrastruktur transportasi karena

Dentiala - IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN LAND VALUE CAPTURE│ 64
Pengembangan Inovasi Kawasan TOD Berbasis Value Engineering

tingginya biaya konstruksi, perawatan serta pemeliharaan, sementara kapasitas pemerintah


sangatlah terbatas.

Secara tradisional, pengembalian investasi infrastruktur transportasi hanya bergantung kepada


pendapatan yang dihasilkan dari pengoperasian infrastruktur transportasi tersebut. Oleh karena
itu, pendapatan tersebut seringkali tidak cukup untuk menutupi bahkan hanya untuk biaya
pengoperasian dan pemeliharaan aset, apalagi untuk membiayai infrastruktur lainnya. Jilella dan
Newman (2016) menyebutkan bahwa pada hampir semua sistem infrastruktur transportasi,
bahkan yang dikategorikan sebagai menguntungkan, seperti pada Hong Kong dan Jepang, tidak bisa
menutupi biaya yang dikeluarkan selama keseluruhan siklus hidup proyek (life-cycle cost) hanya
dari pendapatan biaya tiket semata. Hasilnya, banyak pemerintah di kota besar bergantung pada
bantuan dari Pemerintah Pusat atau hutang untuk membangun infrastruktur, dengan tingkat
keberhasilan yang sangat terbatas (Sreedharan, 1983). Utilisasi dari sektor swasta secara
konvensional juga belum dapat maksimal, menyadari bahwa appetite swasta untuk berinvestasi
pada proyek yang memiliki bankability yang baik. Dibutuhkan skema pembiayaan alternatif untuk
menjembatani antara kebutuhan infrastruktur transportasi yang tak terhindarkan dengan
keterbatasan pemerintah untuk memenuhi hal tersebut.

Hubungan antara pembangunan Infrastruktur Transportasi dengan kenaikan nilai dari lahan,
ekonomi dan proses bisnis dari lahan sekitar sangatlah berkorelasi, dan tercipta melalui konsep
aksesibilitas (Roukoni, et al., 2014). Pengembangan Infrastruktur Transportasi dapat memberikan
nilai tambah pada pengembangan lahan dan pertumbuhan ekonomi. Pada teori ekonomi liberal,
nilai yang tercipta dari suatu aktivitas adalah milik pencipta dari nilai tersebut. Dengan dasar ini,
pemerintah dalam peranannya sebagai pencipta nilai tambah, dengan pembangunan infrastruktur,
dapat menjustifikasi penarikan dari nilai tambah tersebut untuk mendanai keberlangsungan
infrastruktur disekitar (Salon dan Shermake, 2011; Ahlfeldt dan Feddersen, 2010). Mengenali nilai
ekonomi dari lahan dan properti disekitar area Infrastruktur Transportasi bukanlah hal baru, tetapi
untuk mengintegrasikan kedua hal tersebut kedalam suatu konsep pembiayaan masih sedikit
diterapkan di dunia, dan masih menghadapi banyak tantangan (Cervero,2003;Newman,
Glazerbrook and kenworthy, 2013, 1999,; Mcintosh, Trubka and Newman, 2014).

Konsep Land Value Capture telah banyak diterapkan di banyak negara berkembang di dunia.
Diantara banyak mekanisme dan tools yang digunakan dalam Land Value Capture, Jillella dan
Newman (2016) menjelaskan bahwa Pengembangan Bersama (Joint Development) merupakan
mekanisme yang paling banyak digunakan, diikuti oleh Pendanaan Kenaikan Pajak (Tax Increment
Financing) dan Pajak Property (Property Tax) selebihnya merupakan mekanisme lainnya dalam
melakukan monetisasi lahan. Namun, dalam penerapannya oleh berbagai negara di dunia, aplikasi
dari Land Value Capture menemui banyak tantangan seperti pemahaman dan penerimaan publik,
transparansi penggunaan retribusi, generalisasi dalam pengenaan pajak antara pemilik rumah
tinggal dan pelaku bisnis, peraturan yang belum mengatur praktek Land Value Capture secara
komprehensif, serta banyak tantangan lainnya (Houston dan Lashbash, 2018). Maka, studi
mengenai evaluasi, Critical Success Factor, dan Lesson Learned menjadi penting agar kota – kota
baru yang akan menerapkan konsep tersebut dapat belajar dan mengaplikasikan pembelajaran
didapat dan mengaplikasikan dengan lebih baik.

Di Indonesia, konsep Land Value Capture untuk membiayai Infastruktur Transportasi masih
terbilang baru, sementara kebutuhan Infrastruktur Transportasi disadari cenderung meningkat.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015 – 2019, Badan perencanaan dan
Pembangunan Nasional (2018) menyebutkan bahwa kebutuhan pembiayaan Infrastruktur
Transportasi di Indonesia sebesar 1.283 Triliun Rupiah. Dengan keterbatasan kemampuan
ekonomi dari Pemerintah, Land Value Capture menjadi salah satu dari skema pembiayaan yang
patut untuk dieksplorasi. Namun, studi mengenai Land Value Capture di Indonesia masih dirasa
sangat sedikit. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor penentu
65│PROSIDING – KORD 2019
Pengembangan Inovasi Kawasan TOD Berbasis Value Engineering

kesuksesan (Critical Success Factor) dari studi proyek Infrastruktur Transportasi yang telah
berjalan di seluruh dunia dapat dijadikan lesson learned, dengan harapan good practices tersebut
dapat diadopsi dan disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi dan hukum yang terdapat di
Indonesia.

LAND VALUE CAPTURE (LVC)


Definisi LVC
Sebelum membahas definisi skema pendanaan infrastruktur Land Value Capture (LVC), perlu
dipahami definisi dari nilai lahan. Nilai lahan terdiri dari 3 (tiga) elemen nilai kapital: (1)
infrastruktur “pembangunan” yang memberi layanan bagi properti milik pribadi dan dibayar
melalui instrumen tarif oleh pemerintah (misal, jalan lokal, distribusi air bersih, drainase lokal); (2)
infrastruktur sosial yang dibiayai pemerintah melalui instrumen seperti pajak (misal, sekolah,
rumah sakit, transportasi umum, jaringan jalan arteri); (3) eksternalitas perkotaan (misal, akses
untuk layanan tertentu, pasar, dan penyedia jasa lainnya) (Fensham & Gleeson, 2003). Sedangkan
kawasan Transit-Oriented-Development (TOD) adalah sebuah konsep pembangunan kawasan
penggunaan lahan campuran (mixed-use) berpenduduk padat yang berpusat di sekitar
infrastruktur transportasi massal sehingga mendorong penduduk yang bertempat tinggal di
kawasan tersebut untuk menggunakan transportasi umum (Bernick & Cervero, 1997) (Still, 2002).
Berdasarkan definisi tersebut, kawasan TOD memiliki nilai lahan yang tinggi. Untuk meningkatkan
mobilitas orang dan barang di kawasan perkotaan , pemerintah perlu membangun infrastruktur
transportasi massal dengan gencar. Dengan memanfaatkan peningkatan trend pembangunan
kawasan TOD oleh para pengembang, pemerintah dapat membiayai pembangunan infrastruktur
transportasi dari kenaikan nilai lahan di kawasan TOD tersebut dengan skema Land Value Capture
(LVC).
Land Value Capture (LVC) adalah alternatif skema pendanaan infrastruktur transportasi yang
bersumber dari memanfaatkan kenaikan nilai lahan di sekitar infrastruktur transportasi akibat dari
meningkatnya akses lahan dan pembangunan tersebut (Medda, 2012). Gagasan utama dari
memanfaatkan nilai lahan adalah nilai lahan akan meningkat ketika infrastruktur transportasi
terbangun. Peningkatan nilai lahan ini dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pihak swasta atau
badan pemerintah untuk membiayai pembangunan hingga perawatan dan operasional
infrastruktur transportasi. Sehingga penambahan nilai lahan dapat memberi manfaat kepada
masyarakat yang dihasilkan selain dari pemilik lahan (Smolka, 2013; Jillella & Newman, 2016).

Mekanisme LVC
Terdapat berbagai skema penerapan LVC, Suzuki et. al. (2015) menjabarkan pada dasarnya
terdapat 2 kelompok besar mekanisme LVC, yaitu (1) LVC berbasis pajak dan atau retribusi (tax or
fee based), dan (2) berbasis pembangunan (development based), seperti yang dijelaskan secara
lebih rinci pada tabel 1.

Dentiala - IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN LAND VALUE CAPTURE│66
Pengembangan Inovasi Kawasan TOD Berbasis Value Engineering

Tabel 1. Deskripsi Mekanisme LVC

Mekanisme Deskripsi
Land and Pajak yang dikenakan atas estimasi nilai tanah atau tanah dan
Property Tax bangunan digabungkan, dengan pendapatan biasanya masuk ke
(Pajak lahan dan anggaran untuk keperluan umum.
properti)
Betterment Tambahan Pajak diberlakukan oleh pemerintah atas estimasi
charges and manfaat yang diciptakan oleh investasi publik,pemilik properti yang
special mendapat manfaat langsung dari investasi publik akan membayar
assessments biayanya.
(Perbaikan biaya
Tax-or-fee Based

dan asesmen
khusus)
Tax Increment Tambahan Pajak pada properti dalam area yang akan dibangun
Financing kembali oleh investasi publik yang dibiayai oleh municipal bond
(kenaikan nilai terhadap kenaikan yang diharapkan dalam pajak properti. Skema ini
pajak) banyak digunakan di Amerika Serikat.
Land sale or Pemerintah menjual tanah pengembang atau hak
lease pengembangannya, yang nilainya telah meningkat karena investasi
(Sewa atau jual sebagai imbalan untuk pembayaran di muka, biaya sewa, atau
lahan) pembayaran sewa tahunan
Joint Pengembangan bersama area Transit-oriented Development (TOD)
Development antara pengembang dan agen transit yang berkontribusi secara
(Pengembangan finansial untuk pembangunan stasoun, karena nilai properti mereka
bersama) akan meningkat setelah TOD beroperasi
Air rights sale Pemerintah menjual hak pengembangan yang melampaui batas yang
ditentukan dalam peraturan penggunaan lahan seperti Koefisien
Development-based

Luas Bangunan (KLB) atau perubahan peraturan untuk


mengumpulkan dana untuk membiayai infrastruktur publik dan
layanan.
Land Pemilik tanah menjual porsi dari tanah mereka untuk pembangunan
readjustment publik. Selain pemilik tanah mendapat insentif dari hasil penjualan
(Penyesuaian porsi lahan, mereka juga mendapat gaindari area rumah mereka
Lahan) yang berubah menjadi tempat umum yang lebih komersil.
Sumber: Suzuki, Murakami, Hong, & Tamayose, 2015

Praktik Penerapan Pendanaan LVC di Berbagai Negara


1. Hong Kong (Cervero & Murakami, Rail and Property Development in Hong Kong: Experiences
and Extensions, 2009)
Hong Kong adalah salah satu kota megapolitan terbesar dan terpadat di dunia dengan 6.300
penduduk per meter persegi (United Nations, 2019). Selain itu, Hong Kong memiliki sistem
trasnportasi massal tersibuk di dunia dengan 10 jalur transportasi massal berbasis rel
sepanjang 128 km yang melayani 4 juta perjalanan penumpang per hari. Transportasi massal
berbasis rel dikelola oleh MTR Corporation, sebuah Special Purpose Vehicle (SPV) berbentuk
Badan Usaha pembangun, operator, serta pengelola yang 75% sahamnya dimiliki oleh
pemerintah Hong Kong.
Dalam skema pendanaan LVC Hongkong, pemerintah memberi hak istimewa kepada developer
properti untuk membangun properti di atas lahan milik pemerintah dengan harga sebelum
67│PROSIDING – KORD 2019
Pengembangan Inovasi Kawasan TOD Berbasis Value Engineering

infrastruktur transportasi terbangun. Developer kemudian membangun dan menjual properti


di atas lahan pemerintah itu dengan harga setelah infrastruktur transportasi terbangun yang
tentu saja akan lebih mahal dari harga sebelum terbangun. Keuntungan yang didapat dari
kenaikan nilai lahan tersebut kemudian didistribusikan dalam perjanjian bagi untung (profit
sharing) melalui MTR Corporation. Keuntungan yang dihasilkan digunakan untuk membiayai
infrastruktur transportasi di lahan milik pemerintah tersebut dengan mengembalikan modal
pembangunan awal (initial construction cost), biaya perawatan dan operasional (maintenanca-
operation).
2. Tokyo, Jepang. (Murakami, 2012)
Tokyo dengan 37 juta penduduknya memiliki sistem jaringan transportasi massal berbasis rel
sepanjang 3.500 km dengan 2.000 stasiun yang dioperasikan oleh 48 perusahaan. Tokyo
menerapkan memanfaatkan kenaikan nilai lahan dengan program penyesuaian ulang lahan dan
skema pengembangan lahan inklusif.
Kondisi lahan di Tokyo sudah sangat terbatas untuk membangun sarana tarnsportasi massal
berbasis rel, maka dari itu pemerintah Jepang mengajak para pemilih lahan yang sudah
terbangun untuk menyumbangkan sebagian lahannya untuk infrastruktur transportasi dan
mengubah lahan mereka dari penggunaan tunggal (single-use) menjadi lahan campuran (mixed-
use) dengan imbalan berupa insentif. Selain itu, para pemilik lahan di sekitar jalur transportasi
dikonsolidasikan sehingga nilai KLB dapat ditingkatkan dan mendapat subsidi.
3. Linha Verde Metro, Portugal (Froes & Rebelo, 2006)
Linha Verdea Metro adalah jalur transportasi sepanjang 9 km dan terdiri dari 13 stasiun. Untuk
membiayai pembangunan dan operasional jalur transportadi massal ini, pemerintah Portugal
memberikan air-right-sale kepada pemilik lahan di sekitar Linha Verde. Pemerintah menjual
pengembangan KLB kepada pemilik lahan agar mereka dapat meningkatkan kepadatan
bangunan komersil dengan meninggikannya. Pendapatan penjualan pengembangan KLB
digunakan untuk mendanai Linha Verde.
4. Hong Kong dan Singapore (Hui & Ho, 2004)
Hong Kong dan Singapore memiliki sistem penyewaan lahandimana pemerintah sebagai
pemilik lahan memiliki kuasa pengendalian atas pengembangan kawasan TOD dan dapat
mengenakan pajak dari peralihan fungsi lahan.
Kedua negara mendapatkan pendapatan dari pengaturan tata guna lahan melalui mekanisme
retribusi tahunan dan cukai. Skema ini sangat bergantung kepada kondisi pasar properti real
estate, maka dari itu diperlukan sistem administrasi untuk memanfaatkan nilai lahan secara
efektif dan efisien. Hong Kong menerapkan sistem dimana seluruh keuntungan dari
pembangunan kawasan TOD dikembalikan kepada masyarakat memlaui proyek infrastruktur
lainnya. Sedangkan Singapore mengenakan biaya pengembangan dari nilai pasar kepada
developer.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini berada pada tahap penelitian pendahuluan, sehingga penelitian ini masih berada pada
tahap kajian literatur permulaan. Proses pencarian literatur memerlukan proses pengembangan
kata kunci untuk digunakan dalam mesin pencari Google Scholar. Kata kunci yang digunakan, yaitu
"Critical Success Factor" OR "Critical Factor" OR "Success Factor" OR "Critical Issue" AND "Land
Value Capture" OR "Value Capture" AND "Transportation" OR "Railway Transport" AND
"Transportasi Indonesia" OR "Indonesian Transportation". Dengan kata-kata kunci tersebut, 47
publikasi terkait dari sumber-sumber bereputasi didapatkan yang kemudian di analisa untuk
mendapatkan faktor penentu keberhasilan skema LVC untuk membiayai infrastruktur transportasi.
Hasil pengkajian literatur kemudian ditabulasikan dalam tabel meta-analisis seperti Tabel 2. Dari

Dentiala - IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN LAND VALUE CAPTURE│68
Pengembangan Inovasi Kawasan TOD Berbasis Value Engineering

tabel meta-analisis faktor tersebut, 3 faktor dengan kemunculan terbanyak akan menjadi pokok
bahasan.

FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN


Berdasarkan studi kasus dalam 47 literatur terkait, 22 literatur di antaranya tidak membahas
mengenai faktor keberhasilan skema pendanaan LVC. Dari 25 jurnal yang membahas faktor
penentu keberhasilan, didapatkan sejumlah 8 faktor penentu keberhasilan yang selalu dibahas
(Tabel 2). Dari 8 faktor tersebut, 3 faktor di antaranya menjadi faktor penentu keberhasilan yang
selalu muncul dalam pembahasan, yaitu model bisnis, studi pengembangan zonasi kawasan yang
komprehensif, dan regulasi serta perjanjian antar pihak pemerintah dan swasta yang jelas.
Model Bisnis.
Salaj et. al. (2018) menemukan para investor akan memutuskan untuk bergabung dalam skema
pendanaan infrastruktur trasnportasi apabila mereka mendapat jaminan mendapatkan keuntungan
selama keseluruhan masa siklus hidup proyek itu. Dalam beberapa skema pengembangan bersama
LVC, pengembang swasta ikut berkontribusi dalam membiayai pembangunan proyek infrastruktur
dengan ikut berinvestasi dalam proyek infrastruktur (pengembangan bersama) atau membayar
retribusi, dan atau pajak tambahan. Dengan adanya biaya (modal) awal tambahan di awal,
pengembang properti akan mencari cara untuk mengembalikan modal yang sudah mereka
keluarkan.
Pemerintah dapat memberikan kompensasi lain kepada mitra investor sarana transportasi dengan
menaikkan nilai KLB bagi pengembang sehingga pengembang mendapatkan sumber pendapatan
lain dari peningkatan penjualan unit properti, untuk menggantikan pendapatan yang bisa
didapatkan dari harga tiket transportasi umum. Faktor kunci bagi pengembang mendapatkan
pendapatan optimum dari penjualan unitnya di kawasan TOD adalah kepadatan kawasan tersebut
(Berawi, Ibrahim, Gunawan, & Miraj, 2019)
Studi Pengembangan Zonasi Kawasan Yang Komprehensif
Skema pendanaan LVC membutuhkan dukungan dari peraturan zonasi dan tata guna lahan (Mathur
& Smith, Land value capture to fund public transportation infrastructure: Examination of joint
development projects' revenue yield and stability, 2013). Dengan membakukan peraturan zonasi
antara kawasan perkotaan di dalam area infrastruktur transportasi umum, risiko bagi pengembang
swasta dapat diminimalisir. Peraturan zonasi dan tata guna lahan yang fleksibel juga dapat
mengurangi risiko pengembang, misalnya seperti tingkat kemacetan jalan raya, polusi udara dan
kebisingan maksimum di kawasan pembangunan itu; daripada peraturan tata guna lahan yang
bersifat preskriptif seperti KLB, atau garis sempadan bangunan (Mathur, 2014; Suzuki, Murakami,
Hong, & Tamayose, 2015). Selain itu, perencanaan dan zonasi jangka panjang harus konsisten,
sebagai contoh apabila rencana jangka panjang suatu kawasan menetapkan kawasan tersebut
adalah kawasan berpopulasi padat, maka peraturan zonasi dengan instrumen seperti KLB dan
batas tinggi bangunan harus cukup fleksibel agar kepadatan tertentu dapat dicapai (Renne,
Bartholomew, & Wontor, 2011)
Regulasi dan Perjanjian yang Jelas
Regulasi dan perjanjian yang jelas, adil, dan transparan antara pemerintah dan developer terkait
pembagian alokasi biaya dan keuntungan menjadi salah satu dari 3 faktor keberhasilan terpenting.
Pendekatan bottom-up dapat lebih mudah untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi dari
pihak swasta (Mittal, 2014). Selain itu, perancangan regulasi, perjanjian, termasuk skema
pendanaan harus mencakup sistem penerapan tarif untuk pengembalian modal, prosedur
pembebasan lahan yang tepat waktu, dan mekanisme untuk penyelesaian sengketa (Abiad &
Teipelke, 2017). Pihak swasta akan lebih tertarik untuk berpartisipasi apabila mereka merasa aman
untuk berinvestasi bersama pemerintah untuk mengembangkan suatu wilayah.

69│PROSIDING – KORD 2019


KONFERENSI NASIONAL REKAYASA DAN DESAIN
UNIVERSITAS AGUNG PODOMORO
Jakarta - 18 JULI 2019

Tabel 2.Meta-Analisis Faktor dari Studi Terkait


Studi Dukungan
Koordinasi Transparansi Rencana Regulasi dan
Faktor Penentu Keberhasilan terhadap Penerimaan Model bisnis/ Pengembang politik yang
No stakeholder pengelolaan mitigasi Perjanjian
Land Value Capture publik retribusi an Zonasi kuat
terkait dana resiko yang jelas
Area
1 Jillella and Newman (2016) x x x
2 Cervero and Murakami (2009) x x x x x x
3 Murakami (2012) x x x
4 Marilda, Jorge and Rebelo (2006) x x x
5 Cesare and Claudia (1998) x x x
6 San Fransisco Municipal Agency (2013) x x x
7 Dye and England (2010) x x x
8 Mathur (2019) x x x x
9 Bitir (2019) x x x
10 Berawi et al. (2019) x x x
11 Salaj, Roumboutsos, and Groum (2017) x x x
12 Doherty (2004) x x x
13 Singh and Sharma (2012) x x x
14 Roukoni et al. (2017) x x
15 Bowes and Ihlanfeldt (2001) x
16 Ang and Marchal (2013) x x
17 Rybeck (2004) x x x
18 Gihring (2009) x x
19 Abiad and Teipelke (2017) x x
20 Lefaver (2001) x x x
21 Cooke (1984) x x x
22 Medda (2012) x x x
23 Mittal (2014) x x x x x x
24 Cervero and Susantono (1999) x x x x
25 Smolka and Furtado (2002) x x x x x
Total Kemunculan Faktor 8 3 2 5 11 13 10 3
Sumber: Hasil analisis

Dentiala - IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN LAND VALUE CAPTURE│ 70
KONFERENSI NASIONAL REKAYASA DAN DESAIN
UNIVERSITAS AGUNG PODOMORO
Jakarta - 18 JULI 2019

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil studi benchmarking penerapan skema LVC di berbagai negara dan meta-analisis,
dari 8 faktor penentu keberhasilan skema pendanaan infrastruktur transportasi, 3 faktor yang
paling sering dikemukakan untuk menjamin keberhasilan skema LVC adalah: (1) Model bisnis yang
memberikan keuntungan dan manfaat bagi pemerintah dan swasta, (2) studi pengembangan zonasi
kawasan yang komprehensif, dan (3) regulasi dan perjanjian yang transparan, adil serta berimbang
antara pemerintah, swasta terkait dengan pembagian keuntungan dan biaya.
Model bisnis dari skema pembiayaan LVC harus dapat memberikan tingkat pengembalian modal
bagi pihak swasta yang sudah ikut berkontribusi dalam investasi proyek infrastruktur transportasi.
Pihak swasta yang sudah mendapatkan keuntungan dari penjualan properti real estate yang
memiliki akses transportasi massal tidak semestinya mencari keuntungan lagi dari harga tiket
transportasi, karena infrastruktur transportasi pada dasarnya adalah untuk memberi pelayanan
kepada masyarakat. Studi pengembangan zonasi haruslah komprehensif dan tidak kaku. Studi
zonasi dan penataan kawasan tidak hanya terpaku pada KLB atau garis sempadan bangunan,
melainkan perencana tata kota dapat berinovasi dalam hal densitas bangunan, dampak terhadap
lalu-lintas, atau ambang batas polusi kebisingan. Selain itu, perencanaan dan zonasi jangka panjang
harus konsisten. Regulasi dan perjanjian yang transparan, adil serta berimbang dapat memberikan
rasa aman bagi pihak swasta untuk berinvestasi dalam pembiayaan infrastruktur transportasi di
kawasan TOD yang dikembangkan bersama dengan pemerintah. Rasa aman didapatkan dari adanya
pembagian risiko proyek dan jaminan dari kerugian yang timbul dari sengketa atau kebangkrutan.

DAFTAR PUSTAKA
Abiad, A., & Teipelke, R. (2017). Infrastructure provision in developing Asia’s giants: A comparative
perspective on China, India, and Indonesia. Journal of Infrastructure, Policy and
Development, 1(1), 24-43.
Ang, G., & Marchal, V. (2013). Mobilising Private Investment in Sustainable Transport: The Case of
Land-Based Passenger Transport Infrastructure. OECD Environment Working Papers, 56.
Berawi, M. A., Ibrahim, B. E., Gunawan, & Miraj, P. (2019). Developing A Conceptual Design of
Transit-Oriented Development To Improve Urban Land Use Planning. Journal of Design and
Built Environment, 19(1), 40-48.
Bernick, M., & Cervero, M. (1997). Transit Villages for the 21st Century. New York: McGraw-Hill.
Bitir, S. B. (2019). Designing Land Value Capture Tools in the Context of Complex Tenurial and
Deficient Land Use Regulatory Regimes in Accra, Ghana . Lincoln Institute of Land Policy .
Bowes, D. R., & Ihlanfeldt, K. R. (2001). Identifying the Impacts of Rail Transit Stations on
Residential Property Values. Journal of Urban Economics, 50, 1-25.
Cervero, R., & Murakami, J. (2009). Rail and Property Development in Hong Kong: Experiences and
Extensions. Urban Studies, 46(10), 2019-2043.
Cervero, R., & Susantono, B. (1999). Rent Capitalization and Transportation Infrastructure
Development in Jakarta. RURDS, 11-23.
Doherty, M. (2004). Funding public transport development through land value capture programs.
Dye, R., & England, R. (2010). Land Value Taxation Theory, Evidence and Practice. Bolton: The
Lincoln Institute of Land Policy.
Fensham, P., & Gleeson, B. (2003). Capturing Value for Urban Management: A New Agenda for
Betterment. Urban Policy and Research, 21(1), 93-112.
Froes, M., & Rebelo, J. M. (2006). Transport, Energy, and CO2 in Asia: Where Are We Going and How
Do We Change It? The Better Air Quality 2008 Workshop. Bangkok, Thailand.

Dentiala - IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN LAND VALUE CAPTURE│ 71
Pengembangan Inovasi Kawasan TOD Berbasis Value Engineering

Gihring, T. A. (2009). The Value Capture Approach To Stimulating Transit Oriented Development And
Financing Transit Station Area Improvements. Victoria: Victoria Transport Policy Institute.
Hodge, G., & Greve, C. (2007). Public–Private Partnerships: An International Performance Review.
Public Administration Review, 67(3), 545-588.
Hui, E. C.-M., & Ho, V. S.-M. (2004). Land value capture mechanisms in Hong Kong and Singapore: A
comparative analysis. Journal of Property Investment & Finance, 22(1), 76-100.
Jillella, S. S., & Newman, P. (2016). Innovative value capture based rail transit financing: an
opportunity for emerging transit cities of India. Journal of Sustainable Urbanization,
Planning and Progress, 1(1), 56-65.
Mathur, S. (2014). Innovation in Public Transport Finance - Property Value Capture. London: Taylor
& Francis Group.
Mathur, S., & Smith, A. (2013). Land value capture to fund public transportation infrastructure:
Examination of joint development projects' revenue yield and stability. Transport Policy, 30,
327-335.
Medda, F. (2012). Land value capture finance for transport accessibility: a review. Journal of
Transport Geography, 154-161.
Mittal, J. (2014). Self-financing land and urban development via land readjustment and value
capture. Habitat International, 44, 314-323.
Murakami, J. (2012). Transit Value Capture: New Town Codevelopment Models and Land Market
Updates in Tokyo and Hong Kong. Value Capture and Land Policies, 285-320.
Renne, J. L., Bartholomew, K., & Wontor, P. (2011). Transit-Oriented and Joint Development: Case
studies and legal issues. Transit Cooperative Research Program (TCRP) Legal Research.
Rybeck, R. (2004). Using Value Capture to Finance Infrastructure and Encourage Compact
Development. Public Works Management and Policy, 8(4), 249-260.
Salaj, A. T., Roumboutsos, A., & Grum, B. B. (2018). Land value capture strategies in PPP – what can
FM learn from it? Facilities, 36(1), 24-36.
Smolka, M. (2013). Implementing Value Capture in Latin America. Cambridge, MA: Lincoln Institute
of Land Policy.
Still, T. (2002). Transit-Oriented Development: Reshaping America's Metropolitan Landscape. On
Common Ground, 44-47.
Suzuki, H., Murakami, J., Hong, Y.-H., & Tamayose, B. (2015). Financing Transit Oriented Development
with Land Values: Adapting Land Value Capture in Developing Countries. Washington: World
Bank Group.
United Nations. (2019). Department of Economic and Social Affairs. Diambil kembali dari World
Population Prospects 2019, Online Edition: https://population.un.org/wpp/

Dentiala - IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN SKEMA PENDANAAN LAND VALUE CAPTURE│72

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai