Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP DALAM

PEMBANGUNAN BANDARA NEW YOGYAKARTA


INTERNATIONAL AIRPORT (KULONPROGO)

Oleh:
Gabriel Pierre
15/382014/EK/20595

PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2017

1
Analisis Public Private Partnership dalam Pembangunan bandara Kulon Progo

Gabriel Pierre1

Abstrak
Kerja sama dalam bentuk Public Private Partnership (PPP) semakin banyak dilakukan. Pada
kasus pembangunan bandara Kulonprogo, kerjasama dilakukan antara pihak PT Angkasa
Pura I dan investor asing asal India yakni GVK Group. Kerja sama ini mampu memitigasi
masalah-masalah yang sering menjadi kendala pemerintah dalam menyediakan barang
publik seperti masalah pendanaan dan kualitas pelayanan. Dalam perskeptif ekonomi
kelembagaan, keberhasilan PPP suatu negara tak lepas dari peran institusi dalam
mencipkatan aturan main (rule of the game). Kejelasan aturan main bisa menciptakan suatu
kondisi (institutional environment) yang mempengaruhi keberlanjutan dari PPP agar
kedepannya tidak terjadi lack of enforcement dan dapat menimbulkan social cost. Paper ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh institutional environment terhadap kesuksesan
proyek PPP di Indonesia khususnya pembangunan Kulonprogo

Kata Kunci: institutional environment, public-private partnership, ekonomi kelembagaan


baru, banda Kulonprogo, lack of enforcement, social cost

1
Mahasiswa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada
2
Pendahuluan

Kerja sama berupa PPP telah menjadi tren dunia dalam penyediaan barang publik seperti
infrastruktur dan layanan kesehatan. Dalam perspektif kelembagaan, keberhasilan PPP ini
dipengaruhi oleh institutional environment. Negara yang memiliki institutional environment
yang baik dapat mendorong masuknya investasi berupa proyek PPP.

Infrastruktur memiliki peranan krusial dalam pertumbuhan dan pembangunan suatu


negara (Percoco 2010:2427). Indonesia saat ini melakukan pembangunan infrastuktur
secara masif. Keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mendanai seluruh infrastuktur
membuat pemerintah memilih untuk melakukan kerjasama dengan sektor privat. Proyek
semacam ini disebut dengan Public Private Partnership. Bappenas (2015) merilis data
tentang proyek pembangunan infrastruktur yang siap ditawarkan atau dilelang (ready to
offer), yang akan datang (prospective), dan yang berpotensi (potential) dari pelbagai
provinsi di Indonesia. Dalam data tersebut, proyek pembangunan NYIA termasuk dalam
proyek yang berpotensi dan diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar US $500 juta.

Bandara merupakan infrastruktur di bidang transportasi yang dianggap strategis.


Bandara dianggap berperan signifikan dalam pengembangan ekonomi (Freestone,
Williams, and Bowden 2006:491). Bandara sudah sejak lama dipertimbangkan sebagai
bagian penting dari pembangunan regional (Percoco 2010:2429). Kehadiran bandara
memunculkan pengembangan bisnis nonpenerbangan, seperti: hotel, lokasi-lokasi pusat
bisnis, pusat perbelanjaan moderen, outlets makanan cepat saji, dan sebagainya. Bandara
menjadi lokasi yang semakin menarik bagi aktivitas ekonomi dengan aksesibilitas baik
di skala internasional, nasional, regional, dan metropolitan (Schaafsma dkk 2008 dalam
Freestone dan Wiesel 2014:280).

Statistik transportasi udara menunjukkan bahwa jumlah penerbangan dan penumpang


di Indonesia terus bertambah tiap tahunnya (BPS 2016). Berdasarkan data terakhir,
jumlah kedatangan penerbangan dalam negeri (domestic) pada tahun 2014 sebanyak
769.762 pesawat dengan 73.889.533 penumpang. Angka tersebut mengalami kenaikan
menjadi 791.783 pesawat dengan 75.593.248 penumpang pada tahun 2015. Kenaikan

3
jumlah penerbangan disebabkan oleh pelbagai faktor, yaitu kondisi geografis Indonesia
yang bersifat kepulauan yang berdampak pada ekspansi rute baru, pertumbuhan jumlah
penduduk,peningkatan kesejahteraan penduduk, dan kebutuhan waktu tempuh yang
semakin singkat.

Dalam rangka mendukung pertumbuhan industri penerbangan yang pesat,


Kementrian Perhubungan berencana membangun 45 bandara baru dalam kurun waktu
10 tahun hingga tahun 2022 Pembangunan tersebut terbagi atas 24 bandara hingga
tahun 2017 dan sisanya akan dibangun secara bertahap hingga 2022. Salah satu bandara
baru yang akan dibangun pada tahun 2017 ialah New Yogyakarta International Airport
atau NYIA di Temon, Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta.

Pada paper ini, penulis ingin memberikan pengertian teoritis dan juga bukti empiris
bahwa peran institutional environmental sangat penting khususnya di daerah Kulonprogo.
Dengan kata lain, partisipasi kuat dari swasta perusahaan dalam penyediaan layanan dan
pengenalan kemitraan publik-swasta tergantung pada kualitas kelembagaan negara. Perlu
diketahui bahwa bandara Kulonprogo ketika paper ini ditulis masih dalam tahap
pembangunan sehingga penulis menemuka beragam permasalahan namun tidak semuanya
dituangkan kedalam tulisan ini, hanya yang dianggap relevan saja yang dimasukkan.

Kerangka dari paper ini adalah sebagai berikut. Bagian II menyajikan ulasan literatur-
literatur yang membahas PPPs dalam perspektif NIE. Bagian III menjelaskan kerangka teori
yang akan digunakan dalam menganalisis. Bagian IV menyajikan data dan metodologi
termasuk teknik estimasi yang digunakan. Setelah itu akan dilanjutkan dengan pembahasan
hasil analisis pada Bagian V. Terakhir, Bagian VI akan memuat kesimpulan dan Bagian VII
akan memuat analisis dampak kebijakan.

4
Studi Literatur

Dalam melihat perbandingan antara PPP di Indonesia khususnya bandara Kulonprogo


penulis menggunakan contoh empiris dari kasus Kulonprogo. Penulis menambahkan dampak
yang terjadi dari kasus tersebut dengan kerangka ekonomika kelembagaan. Berbagai
pandangan dalam kerangka studi ekonomika kelembagaan dapat diterapkan dalam melihat
kasus ini, salah satunya seperti Jin dan Doloi (2007) menggunakan sudut pandang
transaction cost economics dalam memahami praktik alokasi risiko pada proyek PPP.

Tsreng et al. (2012) menganalisis PPP sebagai sebuah permainan antara pemerintah
sebagai host dan investor sebagai promotors yang berusaha memaksimalkan payoffs mereka
masing-masing. Sesuai dengan teori NIE, sebuah PPP bisa dibilang merupakan endogenous
equilibrium outcome dari sebuah permainan. Berdasarkan sudut pandang ini, tiga permainan
disusun untuk menemukan equilibrium. Hasil dari permainan ini menunjukkan bahwa
pemerintah harus bisa menjamin bawahannya untuk melaksanakan proyek PPP dengan baik.

Beishem dan Campe (2012) melakukan penelitian yang bertujuan untuk


membuktikan bahwa desain institusi bermacam-macam dan penting untuk efektivitas
pelaksanaan PPPs. Tingkat institusionalisasi yang tinggi sesuai pada kasus kegiatan kolektif.
Contohnya adalah pelaksanaan PPPs yang harus berurusan dengan masalah distribusi,
kecurangan, dan free-riding. Untuk memperkuat argumen, mereka membandingkan dan
menganalisis tiga pelaksanaan PPPs. Hasilnya, tingkat institusionalisasi yang tinggi penting
dalam pelaksanaan PPPs yang costly.

Medda (2007) menganalisis proses alokasi risiko antara sektor publik dengan sektor
swasta dalam perjanjian infrastruktur transportasi sebagai proses tawar-menawar. Proses ini
dimodelkan dengan game theory yaitu final offer arbitration game. Penelitian ini
menunjukkan, pada kasus di mana jaminan memiliki nilai lebih tinggi dari kerugian finansial
dari risiko yang di-cover oleh garansi, sebuah penyelesaian dibandingkan dengan perjanjian
arbitrase sangat dianjurkan untuk mengurangi efek dari moral hazard.

Prez-DOleo et al. (2015) menganalisis hubungan institutional environment dan


proyek PPPs di bidang transportasi. Data proyek transportasi PPPs yang menggambarkan
5
investasi PPPs pada proyek infrastruktur seperti jalan, rel kereta, dermaga, dan bandara
diambil dari World Banks Private Participation in Infrastructure (PPI) Projects Database.
Dari Database PPI, diambil 80 negara berpendapatan menengah dan rendah pada periode
1996-2011. Analisis ini kemudian dilakukan dalam tiga periode, 1996-2001, 2002-2006, dan
2007-2011. Hasil analisis menunjukkan negara yang memiliki institutional environment yang
lebih baik cenderung memiliki tingkat investasi pada proyek PPP yang lebih tinggi dari dua
pertiga periode yang dipertimbangkan.

Jensen et al. (2015) menganalisis faktor kelembagaan yang menentukan partisipasi


sektor privat di sektor perairan dan sanitasi pada 60 negara berkembang. Hasil regresi
menunjukkan dukungan kepada hipotesis bahwa PPP lebih banyak di pasar yang lebih besar
di mana kemampuan membayarnya lebih tinggi dan pemerintahnya memiliki keterbatasan
fiskal. Perlindungan hak properti dan kualitas birokrasi muncul sebagai suatu hal yang paling
penting dari kelembagaan dalam mendorong proyek PPP.

Panayides, et al. (2015) secara empiris meneliti pengaruh faktor kelembagaan dalam
keberhasilan PPP pelabuhan; yang terakhir didefinisikan sebagai daya tarik proyek PPP.
Penyelidikan empiris dari sampel besar pelabuhan menemukan bahwa 'kualitas regulasi',
'keterbukaan pasar', 'kemudahan untuk memulai bisnis' dan 'menegakkan kontrak' merupakan
penentu kelembagaan penting dari keberhasilan PPP pelabuhan dan akhirnya dapat
berkontribusi untuk pembangunan pelabuhan dan ekonomi pertumbuhan.

Pada negara-negara yang tidak memiliki mekanisme penegakan yang cukup, unit PPP

nasional merupakan pilihan yang terbaik bagi pemerintah dan merupakan win-win solution yang

menghalangi perilaku oportunistis ex post oleh otoritas pemerintah dan meyakinkan perusahaan

swasta untuk berpartisipasi pada proyek PPP dengan pemerintah. Selain itu, kelembagaan yang

efisien dapat meminimalisasi pengeluaran sumber daya baik dalam bentuk waktu, uang, dan usaha

pada negara-negara yang berencana menerapkan PPP atau yang ingin meningkatkan kinerja PPP yang

sudah berjalan.

6
Selanjutnya, Nose (2015) mengkaji peran insentif kontrak dan kelembagaan fiskal pada

penegakan kontrak KSP. Sebelumnya, keberhasilan KSP sangat penting dalam mengatasi

kesenjangan infrastruktur dan mengembalikan tren modal stok publik yang menurun. Bagaimanapun,

peningkatan proyek PPP disertai dengan peningkatan perselisahan kontrak antara pemerintah dan

pihak swasta. Selain itu, negoisasi ulang dan pemutusan kontrak pada PPP terbukti menciptakan

kerugian yang besar terkait efisiensi.

Penelitian tersebut menemukan bahwa insentif kontrak yang mentransfer risiko finansial

yang lebih besar pada pihak swasta tanpa jaminan pencetakan uang atau subsidi pemerintah secara

langsung menghadapi risiko perselisihan kontrak yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan adanya

kelebihan biaya terkait bahan bakar yang harus dikeluarkan dewasa ini. Insentif kontrak sendiri

ditentukan oleh guncangan harga input, lembaga politik, penyediaan jaminan, peningkatan kualitas

manajemen keuangan publik, dan durasi kontrak.

Selain itu, pelibatan mitra mulitilateral dalam kontrak PPP memberikan kepastian terhadap

penurunan risiko perselisihan, sementara penerbitan jaminan tanpa penilaian yang tepat terhadap

biaya fiskal bersyarat meningkatkan risiko perselisihan yang disebabkan oleh pihak pemerintah. Hal

ini dikarenakan pemerintah menghadapi risiko yang lebih besar dari akumulasi kewajiban bersyarat.

Terakhir, rezim demokrasi terbukti menjadi faktor determinan yang penting bagi penegakan kontrak

dan adanya guncangan tidak terduga yang signifikan perlu diatasi dengan cara perancangan kontrak

yang lebih fleksibel

7
Kerangka Teoretis

Ekonomi Kelembagaan Baru

Seperti halnya barang/jasa lainnya yang dijual di pasar, bursa gagasan ekonomi yang
memiliki setupmpuk cabang pemikiran tersebut juga mengandaikan terdapatnya konsumen
yang ingin membeli gagasan itu (Yustika, 2013). Gagasan ekonomi yang banyak
konsumennya disebut sebagai aliran mainstream dan yang jarang konsumennya sebagai
non-mainstream. Pengertian mainstream dan non-mainstream bersinggungan dengan
masalah waktu. Contohnya cabang pemikiran yang mainstream bisa menjadi non-
mainstream apabila mulai ditinggalkan oleh pengikutnya. Jadi, pengertian mainstream dan
non-mainstream dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu.

Aliran pemikiran yang saat ini populer banyak dipengaruhi oleh mazhab klasik dan
neoklasik. Mazhab ekonomi klasik mengedepankan mekanisme pasar dalam alokasi sumber
daya. Artinya, peran pemerintah sangat sedikit dalam perekonomian. Pemerintah hanya hadir
apabila pasar gagal dalam menjalankan fungsi distribusi. Mazhab neoklasik menambahkan
apa yang sudah menjadi alas pemikiran mazhab klasik seperti eksternalitas, barang publik,
hak kepemilikan, dan monopoli. Mazhab neoklasik memperbolehkan adanya intervensi
pemerintah di dalam pasar.

Sayangnya, mazhab klasik/neoklasik memiliki kekurangan. Pada tahun 1937, Ronald


H. Coase mengatakan bahwa adanya kekurangan mazhab klasik/neoklasi berasal dari
asumsi-asumsi yang digunakan dalam membangun sebuah teori:

Economic theory has suffered in the past from a failure to state clearly its
assumptions. Economists in building up a theory have often omitted to examine the
foundations on which it was erected. This examination is, however, essential not only
to prevent the misunderstanding and needless controversy which arise from lack of
knowledge of the assumptions on which a theory is based, but also because of the
extreme importance for economics of good judgement in choosing between rival sets
of assumptions (Coase, 1937)

8
Asumsi tersebut antara lain tersedianya informasi yang sempurna (perfect
information) yang dimiliki oleh pelaku ekonomi dan tidak adanya biaya transaksi
(transaction cost) dalam pertukaran faktor produksi. Salah satu cabang yang mengkritisinya
adalah ekonomi kelembagaan (institutional economics). Terdapat dua aliran pemikiran
ekonomi kelembagaan: Old Institutional Economics (OIE) dan New Institutional Economics
(NIE). Teori OIE merupakan cabang ilmu ekonomi yang tidak memiliki teori dasar ekonomi
orthodoks, baik ekonomi klasik maupun neoklasik (Jaya, 2010). Selain itu, teori ini juga
menganggap seluruh asumsi dari ekonomi klasik/neoklasik merupakan falsifikasi yang fatal
sehingga harus diabaikan (Yustika, 2013).

NIE menyatakan bahwa asumsi zero transaction cost dan instrumental rationality
membuat mazhab klasik/neoklasik terhindar dari aturan main. Implikasinya, setiap individu
diandaikan bekerja hanya menurut insentif ekonomi, tanpa peduli dinamika perilaku individu
yang sangat dipengaruhi oleh beragam aspek seperti sosial, budaya, politik, hukum, dll.
(Yustika, 2013). NIE juga menyatakan dampak dari adanya informasi yang tidak sempurna
terhadap biaya transaksi. Ketidaksempurnaan informasi berdampak pada timbulnya biaya
transaksi. Semakin informasi tidak sempurna, semakin besar biaya transaksinya.

Diperlukan adanya peran kelembagaan dalam menentukan aturan main (rule of the
game) dalam perekonomian agar tidak berakibat biaya ekonomi yang tinggi (high economic
cost). Cara pandang inilah yang mulai serius dipelajari oleh para ekonom dan pengambil
keputusan penting akhir-akhir ini, khususnya semenjak dekade 1990-an (Jaya, 2010; Yustika,
2013).

Public Private Partnership dalam Ekonomi Kelembagaan Baru

Berkurangnya penerimaan pajak, meningkatnya pengeluaran pemerintah, atau


keduanya merupakan masalah utama yang sering dihadapi pemerintah. Pada saat yang sama,
untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dibutuhkan sarana infrastruktur yang
memadai seperti jalan, rel kereta, atau pelabuhan. Pertanyaannya, bagaimana peran NIE
dalam PPP? Institusi menentukan aturan main dan desain pemerintahan. Peran institusi
secara spesifik penting dalam memitigasi informasi yang tidak sempurna dan ketidakpastian

9
sesuatu yang tidak bisa terhindarkan dari sistem ekonomi di dunia nyata. Asymmetric
information antarpelaku, bouded rationality, dan batasan kemampuan manusia menyebabkan
adanya tambahan biaya yang disebut transaction cost. Biaya ini timbul karena faktanya
dalam rangka untuk melakukan setiap transaksi informasi pada rekan-rekan yang potensial
harus diperoleh, diperiksa untuk kebenaran dan dinilai dari segi counterparty dan lainnya
bentuk risiko ekonomi, dan bahwa, pada akhirnya, kontrak harus dinegosiasikan, dipantau
dan, jika perlu, dinegosiasi ulang.

Institusi yang baik bisa memberikan sinyal yang terpercaya pada sektor swasta untuk
berinvestasi karena kontrak bisa terjaga dari biaya transaksi yang tinggi. Jika institusinya
baik, tidak korupsi, dan transparan sektor privat akan tertarik untuk eberpartisipasi dalam
sebuah proyek PPP yang nantinya menghasilkan supply infrastruktur dan barang publik. Bagi
sektor privat pengurangan dalam transaction cost sangat mempengaruhi keputusan mereka:
sebuah perusahaan yang profit-oriented akan berinvestasi pada barang publik hanya jika
keuntungannya paling tidak menutupi biayanya. Dengan tingginya persentase transaction
cost dari keseluruhan biaya, hasil proyek dijalankan tidak akan profitable. Oleh karena itu,
berkurangnya transaction cost mungkin bisa meningkatkan probabilitas disepakatinya
kontrak PPP.

Peran institusi dalam PPP lainnya ada pada sinyal yang mereka berikan pada
organisasi pembangunan. Banyak proyek yang berhubungan dengan invesasi layanan publik
dan infrastruktur dibantu oleh instansi secara finansial, teknis, dan dukungan manajemen
(Hamammi et al., dalam Schomaker, 2014). Keberadaan institusi yang baik akan menarik
lebih banyak keterlibatan sektor privat di negara tersebut. Hal ini terjadi karena setiap kontrak
tidak terhindarkan dari biaya transaksi yang tinggi. Setiap sinyal yang kredibel akan
menciptakan trustworthiness bagi pemerintah dan akan memungkinkan terealisasinya sebuah
rencana atau proyek.

Teori Kontrak

Dalam pelaksanaan kebijakan PPP, ada beberapa bentuk kontrak. Pertama, kontrak jasa

merupakan perjanjian antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu,

10
misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun),

dengan pemberian kompensasi. Kedua, Kontrak manajemen adalah ketika pemerintah menyerahkan

seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada

pihak swasta, dalam masa yang lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi

tetap.

Bentuk ketiga yaitu kontrak sewa merupakan perjanjian dimana pihak swasta membayar uang

sewa untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta

memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas. Penyewa atau pihak swasta

dalam hal menanggung resiko komersial dengan masa kontrak umumnya antara 5-15 tahun. Keempat,

BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha swasta dimana pihak swasta

bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan sebuah

proyek investasi bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir

masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.

Terakhir, kontrak konsesi merupakan struktur kontrak dimana pemerintah menyerahkan

tanggung jawab penuh kepada pihak swasta (termasuk pembiayaan) untuk mengoperasikan,

memelihara, dan membangun suatu aset infrastruktur, dan memberikan hak untuk mengembangkan,

membangun, dan mengoperasikan fasilitas baru untuk mengakomodasi pertumbuhan usaha.

Umumnya, masa konsesi berlaku antara 20 tahun sampai 35 tahun.

Teori biaya sosial

Bermula pada tahun 1960, salah satu pemikir ekonomika kelembagaan yaitu Ronald

Coase menulis artikel mengenai The Problem of Social Cost . Pada pengantar ekonomi

kita telah mengetahui bahwa Biaya sosial / external cost yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan

untuk mengganti kerugian-kerugian fisik luar akibat adanya produksi dari suatu perusahaan
11
seperti Biaya pencemaran lingkungan, biaya keramaian. Dalam perspektif ekonomika

kelembagaan biaya sosial timbul karena sistem atau peraturan kontrak yang tidak tepat antara

satu orang dengan yang lain atau dikenal dengan konsep principle-agent.

Sebuah pemikiran yang disebut teorema Coase (Coase theorem) mengambil nama

perumusnya, Ronald Coase-yang menyatakan bahwa solusi/ peran swasta bisa sangat efektif

seandainya memenuhi satu syarat. Syarat itu adalah pihak-pihak yang berkepentingan dapat

melakukan negosiasi atau merundingkan langkah-langkah penanggulangan masalah

eksternalitas yang ada diantara mereka, tanpa menimbulkan biaya khusus yang memberatkan

alokasi sumber daya yang sudah ada. Menurut teorema Coase, hanya jika syarat itu terpenuhi,

maka pihak swasta itu akan mampu mengatasi masalah eksternalitas dan meningkatkan

efisiensi alokasi sumber daya. Menurut Terorema Coase, distribusi hak awal tidak

berpengaruh pada kemampuan pasar untuk mencapai hasil efisien.

Mudahnya, teorema tersebut mengisyaratkan perlu adanya peran swasta yang dapat

bekerjasama dengan pemerintah salah satu bentuknya adalah melalui PPP (Public-private

partnership) dimana nantinya dapat mengurangi permasalahan-permasalahan yang timbul

kedepannya. Mengapa tetap perlu dukungan pemerintah? Karena jika swasta bergerak sendiri

maka pelaku-pelaku swasta tersebut akan gagal memperoleh pemecahan masalah yang

efisien atas suatu masalah karena regulasi dipegang oleh pemerintah. Teorema Coase pun

hanya berlaku jika pihak-pihak yang berkepentingan tidak dihadapkan pada kendala untuk

mencapai dan melaksanakan kesepakatan dan jika biaya transaksi (transaction cost) dapat

seminimal mungkin

12
Metodologi

Merujuk pada teori ekonomi kelembagaan baru dan paper acuan terdahulu, Penulis
menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif deskriptif sehingga kerangka metodology
yang digunakan adalah mixed methodology. Dalam analisis kualitatif penulis melakukan uji
kualitatif dengan melihat tiga komponen dalam ekonomika kelembagaan yaitu theory gap,
empiricap gap, dan policy gap.

Dalam metode kuantitatif diukur melalui Potensi Reorientasi Usaha Berkaitan dengan
Rencana Pembangunan Bandara Internasional di Kulon Progo Potensi reorientasi usaha
dinilai sebagai proxy dari social cost yang terjadi akibat dari adanya PPP dalam
pembangunan bandara Kulonprogo dimana nantinya akibat pembangunan tersebut
masyarakat dapat mengubah minat usaha mereka dan ini akan menjadi hal yang sulit bagi
masyarakat khususnya kaum ekonomi rentan
Pengambilan data menggunakan menggunakan metode survei dengan pendekatan
kuantitatif. Analisis data berupa analisis deskriptif kuantitatif dengan menggunakan
statistik. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Lokasi Penelitian berada
di tiga wilayah berdasarkan zona KKOP yang ada, yaitu zona 1 di Kecamatan Kedundang
sejauh 5 km dari titik lokasi bandara, zona 2 yaitu Kecamatan Wates sejauh 10 km, serta
zona 3 sejauh 15 km.
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara metode survei menggunakan teknik
kuisioner. Selain menggunakan teknik kuisioner maka untuk mendukung hasil penelitian
juga dilakukan dengan cara observasi langsung di lapangan, yaitu melakukan pengamatan
di sekitar lokasi penelitian. Adapun teknik pengumpulan data sekunder diperoleh dari
literatur studi kepustakaan dan data instansional terkait. Analisis data dilakukan dengan cara
uji statistik menggunakans perangkat lunak SPSS. Uji statistik yang digunakan berupa
tabulasi silang dan uji chi kuadrat maupun uji korelasi Spearman.

13
Hasil Analisis dan Pembahasan

Penelitian ini melihat pengaruh dari persepsi masyarakat terhadap pembangunan


bandara Kulonprogo melalui persepsi reorientasi usaha. Persepsi Masyarakat terhadap
Rencana Pembangunan Bandara Responden penelitian ini merupakan warga/masyarakat
yang ada di tiga kecamatan yang berbeda di Kabupaten Kulon Progo. Pembagian tiga
kecamatan berdasarkan jarak dari lokasi titik rencana dibangunnya bandara, dengan
ketentuan KKOP yang ada yaitu buffer area sejauh 15 km dari titik rencana pembangunan
bandara.

Oleh peneliti area sejauh 15 km tersebut dibagi atas tiga zona, yaitu Zona 1 dengan
Kecamatan Temon yang ada pada jarak 0-5 km dari titik rencana bandara, zona 2 dengan
Kecamatan Wates yang ada pada jarak 5-10 km dari titik awal lokasi bandara, serta zona 3
dengan Kecamatan Pengasih dengan jarak 10-15 km dari titik awal rencana lokasi
pembangunan bandara. Jumlah total responden sebanyak 93 Kepala Keluarga atau yang
mewakili.

Persepsi masyarakat berkaitan dengan pembangunan bandara mengarah ke positif


disebabkan karena sudah adanya keterbukaan informasi antara pemerintah dengan warga
masyarakat saat ini. Hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa informasi yang
didapat masyarakat sudah cukup baik serta pemerintah sudah lebih terbuka terhadap peluang
peluang dan potensi yang ada apabila bandara nanti jadi dibangun. Untuk mengetahui
persepsi pembangunan responden terhadap tiap zona yang ada, maka dilakukan pembuatan
tabel silang seperti tampak pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Crosstab Klasifikasi Persepsi dengan Zona KKOP (Sumber: Prianggoro et al., 2016)

14
Dari hasil tabel silang dapat dilihat bahwa jumlah responden tiap zona yang ada yaitu
31 responden dengan responden yang memiliki persepsi pembangunan kelas tinggi pada tiap
zona yang memiliki nilai persentase 74-77% atau dengan jumlah sekitar 23 responden tiap
zona. Apabila ditotal, maka terdapat 71 responden atau sebanyak 76% responden termasuk
ke dalam persepsi pembangunan bandara kelas tinggi, yang berarti bahwa lebih dari setengah
responden tiap zona menyatakan minat yang tinggi serta mendukung terhadap dibangunnya
bandara baru di Kulon Progo.

Jumlah responden yang memiliki persepsi pembangunan bandara kelas tinggi di tiap
zona dengan nilai rata rata yang sama dapat diartikan bahwa di semua zona yang ada persepsi
masyarakatnya cenderung positif dan mendukung dibangunnya bandara baru. Dari tabel
dapat dikatakan bahwa tiap zona masyarakat sebagian besar mendukung penuh rencana
dibangunnya bandara.

Hasil uji chi kuadrat menunjukkan nilai 0,942 > 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan
yang signifikan antara nilai total persepsi pembangunan responden terhadap tiap zona yang
ada. Hal tersebut mengindikasikan bahwa tinggi rendahnya persepsi masyarakat terhadap
rencana pembangunan bandara tidak dibedakan oleh adanya zona. Zona satu, zona dua
maupun zona tiga memiliki masyarakat dengan persepsi yang tinggi dan positif terhadap
rencana dibangunnya bandara.

Persepsi Masyarakat berkaitan dengan Pengembangan Usaha

Tabel 2. Perhitungan skala likert (Sumber: Prianggoro et al., 2016)

15
Tabel menunjukkan frekuensi jawaban responden terhadap perkembangan usaha
apabila bandara nanti terbangun. Berdasarkan tabel yang ada menunjukkan bahwa persepsi
masyarakat cenderung ke arah positif. Sebanyak 43% responden memilih kategori setuju,
serta 36% responden memilih kategori sangat setuju berkaitan dengan perkembangan usaha
pasca bandara nanti terbangun, sehingga apabila dijumlahkan sebanyak 79% dari total
responden yang ada memiliki pandangan yang positif terhadap iklim perkembangan usaha
yang terjadi pasca bandara nanti dibangun.

Responden yang paling banyak menjawab kategori sangat setuju terdapat pada item
pernyataan peningkatan pendapatan, yaitu 41% dari total responden yang ada. Selain itu
variabel yang memiliki jawaban sangat setuju paling banyak lainnya berupa item pernyataan
minat masyarakat untuk membuka usaha dengan persentase 40% serta item pernyataan
kebutuhan akan bantuan modal dari pemerintah dengan nilai 39% dari total responden yang
ada.

Tabel 3. Perhitungan Likert variabel Minat usaha (Sumber: Prianggoro et al., 2016)

Hasil perhitungan persepsi menunjukkan bahwa rata-rata hasil klasifikasi tiap


variabel minat usaha termasuk dalam klasifikasi sedang-rendah, dengan satu item pernyataan
minat usaha toko/warung makan berada pada klasifikasi tinggi dengan nilai 77%. Nilai paling
rendah pada item pertanyaan minat usaha hotel/penginapan serta pariwisata dengan
persentase 64%. Sebagian besar item pertanyaan hasil klasifikasi termasuk ke dalam kelas

16
sedang dapat diartikan bahwa masyarakat cenderung kurang begitu antusias terhadap
beberapa alternatif minat usaha yang ada apabila bandara baru nanti jadi dibangun.

Namun terdapat satu item pertanyaan yang menunjukkan klasifikasi tinggi, yaitu item
pertanyaan minat membuka usaha jasa warung, toko kelontong, serta usaha yang sejenis.
Responden dengan pemilihan jawaban item usaha warung/sejenis berdasarkan hasil
perhitungan memiliki interpretasi skor sebesar 77% yang termasuk dalam kelas tinggi. Hal
ini dapat berarti bahwa sebagian besar responden akan berkeinginan/memiliki alternatif
usaha berupa membuka toko/warung artinya responden merasa bahwa mengganti usahanya
ke usaha lain akan menjadi suatu hal yang sulit dan beresiko

Masyarakat yang berkeinginan untuk membuka usaha warung yang tinggi disebabkan
karena mudah dalam pelaksanaannya serta tidak membutuhkan modal yang banyak. Berbeda
dengan membuka jenis usaha lain seperti penginapan yang harus membangun rumah hunian
terlebih dahulu, atau juga jasa lain yang membuthkan modal yang tidak sedikit. Membuka
warung atau usaha perdagangan sejenis dirasa menjadi pilihan alternatif usaha favorit apabila
dibandingkan dengan jenis usaha lain.

Teoritical Gap

Rencana pembangunan bandara Internasional di Kulon Progo tertuang dalam


peraturan daerah nomor 1 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Kulon
Progo dan secara jelas telah disebutkan dalam program Public Privat Partnership (PPP)
Project Book Bappenas 2010-2014. Melihat permasalahan pembangunan bandara ini yang
hingga sekarang masih menyulut ketidakadilan bagi sebagian warga Kulonprogo membuat
kita harus melihatnya dari berbagai macam perspektif ekonomi kelembagaan.

Penulis mencoba melihat permasalahan ini dari sudut pandang teori kontrak dan
social cost. Dari teori kontrak pada kasus ini yang menjadi principal adalah gabungan dari
pihak pemerintah-swasta dan yang menjadi agent adalah masyarakat disekitar daerah
pembangunan bandara Kulonprogo. Jika kita melihat dari hal ini seharusnya tidak menjadi
masalah besar ketika mulai untuk membangun bandara tersebut. Namun, hingga waktu
penulis menulis paper ini, masih banyak sekali pemberitaan media mengenai semerawutnya
17
permasalahan pembebasan lahan. Padahal target bandara ini rampung adalah tahun 2019
artinya tinggal dua tahun lagi.

Disini kita dapat menilai bahwa terjadi lack of enforcement dari pemerintah saat
melakukan kontrol terhadap kontrak yang sudah terjadi. Pemerintah-swasta dirasa
seharusnya tetap melakukan pengawasan secara utuh hingga kepada agent nya dalam hal ini
yaitu masyarakat karena tindakan seperti mencongkel pintu rumah warga secara tiba-tiba
atau dengan mematikan aliran listrik ke rumah warga yang bersangkutan. Hal ini
dimaksudkan agar kedepannya principle yang merupakan pemerintah-swasta tidak
melakukan abuse of power.

Perlu ditekankan bahwa pada beberapa kasus khusus teori kontrak tidak hanya kepada
dua institusi saja seperti dalam kasus ini dimana teori kontrak yang berlaku ditekankan pada
kontrak antara pemerintah-swasta dalam pengerjaan bandara dan masyarakat yang notabene
memiliki tanah tersebut lebih dahulu. Permasalahan pun muncul selanjutnya ketika deadline
yang diberikan bagi masyarakat untuk segera meninggalkan rumahnya namun pembayaran
ganti rugi masih dinilai tidak sesuai sehingga pemerintah melakukan langkah-langkah yang
abuse of power melalui aparatur negara lainnya.

Dari sudut pandang yang berbeda yaitu biaya sosial, permasalahan pembangunan
bandara Kulonprogo tidak hanya berhenti dipermasalahan terkait penggusuran lahan dan
AMDAL (Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan) namun ke permasalahan sosial yang
diakibatkannya. Kelompok rentan adalah salah satu contoh dari social cost yang diakibatkan
oleh pembangunan tersebut. Kustiningsih (2017) dalam penelitiannya mengenai
pembangunan infrasturktur berupa bandara berdampak pada peningkatan kualitas hidup
dari kelompok rentan. Secara spesifik, tulisan ini membahas bagaimana memberikan ruang
bagi kelompok rentan terdampak bandara baru, supaya berpartisipasi dan menikmati
pembangunan perkotaan atau kota bandara (airport city)

Perlu diperhatikan bahwa pembangunan bandara baru juga akan menimbulkan


konteks kerentanan (vulnerability context) yang merupakan bagian dari social cost itu
sendiri. Kerentanan yang muncul dapat berupa guncangan-guncangan (shocks),

18
ketidakpastian, dan kemungkinan terganggunya masa depan penghidupan. Kerentanan ini
bisa mengganggu aset-aset penghidupan warga dalam bentuk sumber daya manusia
(human capital), sumber daya alam (natural capital), keuangan (financial capital), sosial
(social capital), dan infrasruktur (physical capital).

Pembangunan NYIA yang menggandeng sektor privat asing dan dengan dana di
luar APBN mengisyaratkan indikasi kemunculan privatisasi yang dianggap sebagai bagian
dari rezimentasi neoliberalisme. Janji manis pertumbuhan ekonomi dari Investasi Asing
Langsung (Foreign Direct Investement) membuat pemerintah membuka pasar (market).
Regulasi-regulasi pro rakyat pun diruntuhkan dan kemudian diganti dengan regulasi-
regulasi yang ramah pasar (market friendly). Perekonomian rakyat menjadi terancam. Pasar
memiliki kuasa yang sangat besar, bahkan terhadap negara, aparatur negara, dan
masyarakat sipil.

Pertanyaan kemudian ialah terkait kesejahteraan warga. Sistem perekonomian yang


karut-marut akan memposisikan sekelompok besar warga di lapis terbawahkaum
petani, nelayan, buruh, para pekerja sektor informal, dan lainnya ebagai tumbal pasca-
pembangunanisme atau neoliberalisme. Liberalisasi pasar yang terjadi justru bukan
menyejahterakan warga, melainkan menciptakan krisis berupa polarisasi sosial (Graham
and Aurigi 1997:19). Warga lapisan bawah atau identik dengan sebutan kelompok rentan
dapat digolongkan menurut status sosial ekonomi, gender, usia, kesehatan, pengangguran,
dan lainnya (Gidley et al. 2010:2).

Berdasarkan kondisi di Temon, kelompok rentan yang berhasil terpetakan meliputi:


warga miskin; petani dan nelayan; balita, anak dan lansia; perempuan; dan difabel. Warga
miskin merupakan warga yang tidak memiliki aset dan/atau memiliki aset dalam jumlah
sedikit dan terbatas. Warga dalam kategori ini tidak mendapatkan dan/atau mendapatkan
dalam jumlah kecil ganti rugi pembebasan tanah. Golongan petani dan nelayan merupakan
warga yang mata pencahariannya hilang. Pengalaman menjadi petani atau nelayan bisa
jadi selama usia mereka. Proses adaptasi apabila mereka harus berganti mata pencaharian
juga bukan merupakan perkara yang mudah dan instan.

19
Di sisi lain, kebutuhan pasar kerja mensyaratkan kualifikasi yang cukup tinggi.
Kemudian, kategori balita, anak dan lansia membutuhkan perhatian ekstra terkait jaminan
kesehatan. Pada kawasan perkotaan, biaya-biaya kebutuhan dasar menjadi lebih mahal.
Selain itu, degradasi kualitas lingkungan berasosiasi dengan resiko penyakit. Khusus
untuk anak, pemerintah daerah seyogyanya menjamin keberlanjutan pendidikan mereka,
sehingga ke depannya nanti dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari aktor dalam
perekonomian lokal. Kelompok perempuan dan kelompok difabel menjadi bagian dari
kelompok rentan karena persoalan akses, khususnya akses ekonomi di ranah publik.
Penguatan kapasitas bagi keduanya sangat diperlukan supaya mereka juga merasakan
manfaat pembangunan lokal daerahnya.

Respon pemerintah terhadap problematika kelompok rentan yang timbul sebagai


social cost haruslah berbentuk kebijakan legal dan jangan sampai terjadi lack of
enforcement. Kebijakan tersebut harus mengakomodir pelbagai kepentingan dari
komunitas-komunitas lokal dan juga kelompok rentan dan dapat dilakukan check and
balance . Kebijakan tersebut tidak berlaku sama antara satu sama lain. Hal yang
terpenting ialah bahwa kebijakan tersebut harus memperhatikan aspek keadilan sosial
agar tidak menimbulkan biaya sosial kedepannya

Empirical Gap

Terdapat beberapa hal yang menjadi isu hangat hingga saat ini mengenai
pembangunan bandara tersebut. Diantaranya mengenai land clearing seperti dilansir dari
okezone.com PT Angkasa Pura I (Persero) melakukan pembongkaran paksa 38 unit rumah
penduduk yang menolak pembangunan New Yogyakarta International Airport di Kabupaten
Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berita tersebut mengindikasikan bahwa masih
terjadi penyimpangan dari pemerintah ke warga sekitar dalam rangka reorientasi daerah
tersebut.

Seperti dilansir dari TribunJogja.com, Fajar Ahmadi, pelapor dari PWPP-KP


mengatakan pengaduan ini merupakan buntut dari tindak kesewenang-wenangan dari aparat
kepolisian Polsek Temon yang mencongkel tiga pintu rumah dan 11 daun jendela milik warga

20
yang menolak proyek pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) pada
Senin (27/11) kemarin. Kasus ini memberikan pesan bahwa masih terdapat tindakan
semena-mena dari oknum tertentu dengan dalil ingin menyelesaikan bandaran sesuai
targetnya.

Hal tersebut senada dengan berita yang dilansir dari sumber serupa yang
menyebutkan PT Perusahan Listrik Negara (PLN) menyatakan sikapnya dalam mendukung
upaya percepatan pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di
Temon. Di antara langkahnya antara lain dengan memutus jaringan listrik di wilayah-
wilayah terdampak yang akan dibersihkan PT Angkasa Pura I

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Prianggoro (2015) terdapat beberapa


fenomena ambiguitas terkait dengan fakta lapangan contohnya adalah fenomena kenaikan
harga lahan yang meningkat namun mereka dipaksa untuk meninggalkan tempat mereka
menimbulkan dilema tersendiri. Kenaikan harga tanah secara signifikan terjadi di pinggir
jalan arteri (Jalan Nasional) WatesPurworejo yang menuju ke arah bandara. Harga tanah di
pinggir jalan arteri dahulu berkisar antara Rp.200.000,00-Rp.300.000,00. Semenjak ada isu
bandara yang bergulir, maka harga tanah di pinggir jalan utama melonjak sampai dengan
Rp.500.000,00-Rp.700.000,00.

Sebagian besar warga masyarakat juga turut senang terhadap kenaikan harga tanah
tersebut, karena sewaktu-waktu saat mereka membutuhkan uang maka mereka akan melepas
tanah mereka dengan harga yang tinggi. Namun menurut penuturan perangkat Desa
Kedungsari, kenaikan harga tanah di wilayah tersebut hanya terjadi secara siginifikan di area
pinggir jalan saja, yaitu lokasi yang strategis menuju area bandara. Adapun harga tanah yang
ada di dalam desa, dengan harus melalui jalan desa (kampung) yang dalam maka harga tanah
cenderung tidak mengalami kenaikan, hanya berkisar antara Rp.75.000,00 sampai
Rp.100.000,00 per meter persegi.

Mendekati lokasi bandara, harga tanah di zona tiga yaitu daerah Desa Kedundang,
Temon, Palihan, Demen dan sekitarnya juga mengalami peningkatan. Menurut narasumber
Kepala Desa Kedundang, harga tanah di lokasi pinggir jalan sebelum isu bandara berkisar

21
antara Rp.200.000,00-Rp.300.000,00 per meter persegi. Namun setelah adanya isu bandara,
maka harga penawaran yang ditawarkan sudah menyentuh angka Rp.1.200.000,00 per meter.
Kenaikan harga tanah tersebut baru berlangsung selama dua tahun ini. Masyarakat yang
memiliki tanah sebagian besar merasa senang dengan adanya penawaran yang tinggi tersebut.
Hal yang sama juga diutarakan oleh perangkat desa Kedundang lain, bahwa peningkatan
harga tanah di lokasi strategis menuju area bandara tidak dapat dibantah. Beliau juga
menunjukkan satu lokasi yang telah terjadi jual beli tanah dengan harga per meternya
mencapai Rp.1.500.000,00.

Bisa kita bayangkan betapa sulitnya bagi masyarakat disekitar daerah tersebut yang
seharusnya dapat menjual tanah dengan harga tinggi harus digusur dengan harga ganti rugi
(bukan ganti untung) yang rendah dan dilakukan secara agresif karena akan dibangun
bangunan seperti hotel dan rumah sakit. Terlebih lagi ketika nanti setelah dilakukan relokasi
dan pembayaran ganti rugi, masyarakat akan kesulitan untuk mencari tempat usaha baru dan
tempat tinggal baru nantinya.

Policy Gap

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) telah menyetujui adanya


rencana pembangunan bandara baru di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Rencana pembangunan bandara yang ada di Provinsi DIY berdasarkan Peraturan Presiden
no 48 tahun 2014 merupakan salah satu program yang diprioritaskan di koridor ekonomi
Jawa. Namun dengan dikeluarkannya peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2016 yang
mengatur mengenai pedoman beracara dalam sengketa penetapan lokasi pembangunan untuk
kepentingan umum pada peradilan tata usaha negara menimbulkan masalah baru.

Peraturan ini dinilai mengesampingkan norma hukum umum dengan tidak memandang pada
esensi pencari keadilan atas persolan yang akan berdampak penting dan meluas bagi hajat hidup orang
banyak dalam kasus ini yaitu permasalahan ganti rugi lahan yang akan dibangun menjadi bandara.
Seperti kita ketahui negara Indonesia merupakan negara hukum, sehingga perlakuan-perlakuan yang
bersifat lack of enforcement dari aparat yang sewenang-wenang dalam melakukan penggusuran (yang
dinilai merupakan pembebasan lahan) merupakan langkah tidak patut diapresiasi sekalipun.

22
Disisi lain, konsep bandara Kulonprogo nantinya akan mengusung Airport City, yaitu
konsep yang dibangun tak sebatas hanya terkait pembangunan bandara saja, melainkan
terdapat hotel , tersedia rumah sakit airport serta bekerjasama dengan PT KAI dalam
pengadaan infrastruktur berwujud railway. Nantinya akan dibangun pula jalur transportasi
terintegrasi dengan bis, monorail dan kereta yang akan membantu masyarakat yang melalui
bandara tersebut agar memudahkan mobilitas mereka

Konsep tersebut diharapkan mampu mempercepat perkembangan perekonomian


daerah Kulon Progo yang agaknya dinilai lebih tertinggal dibanding daerah-daerah lainnya di
Provinsi D.I. Yogyakarta. Pada tahap awal runaway Bandara Kulon Progo ini akan
dibangun 3.000 meter dengan tujuan agar mampu menampung pesawat-pesawat berbadan
besar. Besar angka jumlah tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan mega proyek ini
memanglah tidak terlalu besar jika dilihat dari bayangan impian perancangan sebuah Airport
City, namun untuk sebuah daerah perbatasan di provinsi elit tentunya kepemilikan dan
kegunaan tanah menjadi persoalan baru. Seharusnya menurut peraturan pemerintah tersebut
konsep ini dapat memberikan multiplier effect bagi masyarakat sekitar

Permasalahan yang terjadi dimasa pembangunan bandara Kulon Progo didukung oleh
penelitian yang dilakukan Kustiningsih (2017) Ada empat dampak ekonomi dari adanya
bandara dari segi ketenagakerjaan dimana seharusnya pembangunan bandara yang
merupakan kebijakan pemerintah melalui peraturannya memberikan dampak domino.
Permasalahan dan dampak tersebut yaitu: dampak langsung (direct impact), dampak tidak
langsung (indirect impact), dampak stimulan (induced impact), dan dampak katalitik
(catalytic impact) (Graham (2003) dan ACI (2004) dalam Percoco 2010:2429).

Pertama, dampak langsung, yaitu berupa pekerjaan dan pendapatan yang


diperoleh dari konstruksi dan operasional bandara. Dampak ini diperoleh apabila terlibat
secara langsung pada dua tahapan tersebut. Proses konstruksi bandara termasuk dalam
megaproyek dengan melibatkan jumlah tenaga kerja yang besar. Akan tetapi, proyek
tersebut bersifat tender, sehingga warga setempat tidak dengan mudah terlibat dalam
tahap konstruksi. Untuk tahap operasional, kebutuhan tenaga kerja di bandara terbagi
atas pekerjaan formal (tetap atau kontrak) dan pekerjaan informal (outsourching). Prasyarat
23
pekerja formal tentu lebih tinggi dibandingkan pekerja informal, misalnya level
pendidikan setaraf perguruan tinggi. Menurut data profil pendidikan di Temon tahun 2014,
rata-rata pendidikan yang ditempuh warga ialah SMA.

Kedua, dampak tidak langsung ialah pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh
dari distribusi pemasok barang dan jasa. Masyarakat memiliki kesempatan dalam
kategori ini. Pemda melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan dapatmembuat skema
kerjasama dengan manajemen bandara dan perusahaanperusahaan distributor guna
peningkatan ekonomi melalui supply produk lokal. Ketiga, dampak stimulan merupakan
pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh berdasarkan pengeluaran dari pendapatan yang
disebabkan oleh efek langsung maupun tidak langsung. Bagian ini terkait perputaran
uang dalam kawasan.

Keempat, dampak katalitik yaitu pekerjaan dan pendapatan yang diperoleh dari
peran bandara sebagai pendorong pertumbuhan produktivitas dan sebagai penarik
perusahaan-perusahaan baru. Masyarakat bisa jadi tidak bekerja di bandara, namun
bekerja pada supporting system dari bandara, misal hotel, perusahaan jasa transportasi,
dan lainnya.

Dari beberapa kasus aktual diatas, dapat disimpulkan bahwa masih ada
permasalahan-permasalahan komplek mengenai pembangunan bandara Kulonprogo yang
dihadapi oleh masyarakat sekitar. Tentunya etikat baik dari pemerintah-swasta sebagai
penanggung jawab proyek ini sangat diperlukan terutama bagi warga yang merasa uang ganti
ruginya masih belum setimpal dengan dampak relokasi rumah mereka.

24
Kesimpulan

Pada paper ini, penulis telah menunjukkan relevansi dari institutional environment
sebagai salah satu faktor terbentuknya sebuah PPP. Kasus pembangunan bandara Kulonprogo
tidak terlepas dari pengaruh kelembagaan yang ada baik formal maupun informal. Polemik mengenai
pembebasan lahan dan lainnya sesungguhnya dapat diselesaikan dengan pandangan ekonomika
kelembagaan yaitu hak kepemilikan . Terkait hak kepemilikan sumberdaya tersebut, dibutuhkan
kontrak yang mengatur penyediaan dan pemanfaatan oleh pihak lain baik individu maupun kelompok.
Salah satu bentuk kontrak adalah kerjasama pemerintah-swasta dan masyarakat.

Biaya sosial yang terjadi diakibatkan kasus ini diantaranya dibuktikan melalui
reorientasi minat usaha masyarakat dengan proxy persepsi minat usaha menunjukkan
signifikan sebanyak 67% tidak mau mengganti usaha lamanya. Hal-hal ini harus diperhatikan
pemerintah jika tidak akan menjadi salah satu akibat dari lack of enforcement pemerintah
yang tidak dapat mengontrol kontrak terhadap principle-agent (dalam hal ini principle
merupakan pemerintah-swasta dan agent merupakan masyarakat Kulonprogo) sehingga
masyarakat menilai pemerintah telah melakukan abuse of power dalam melaksanakan
wewenangnya dalam rangka melakukan penggusuran lahan di daerah Kulonprogo mengingat
daerah tersebut akan dibangun airport city artinya tidak hanya dibangun bandara namun juga
akan dibangun rumah sakit dan hotel disekitar bandara yang tentunya akan membutuhkan
lahan yang tidak sedikit.

Pembangunan ekonomi tidak hanya dipandang sebagai proses ekonomi semata,


melainkan juga merupakan bentuk dari perubahan sosial dan kebudayan yang ada dalam
masyarakat (Soedjatmoko 1995:21). Hal ini seharusnya menjadi dasar dalam
pengambilan kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak agar tidak
menimbulkan biaya sosial yang negatif kedepannya. Pembangunan bandara baru yang
menjanjikan keuntungan finansial, juga harus dilihat pada aspek terjadinya perubahan
sosial dan budaya dari masyarakatnya. Pembangunan ekonomi yang identik dengan
pembangunan infrastruktur yang masif harus senantiasa memperhatikan kualitas
manusianya dalam kerangka ekualitas (equality) dan bersifat inklusif (inclusive),
khususnya bagi kelompok rentan. Pemerintah perlu melakukan check and balance agar

25
pembangunan yang dilakukan sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dan dapat
memberikan multiplier effect

Dampak Kebijakan

Penelitian ini memberikan suatu insight dampak kebijakan untuk para pengambil
kebijakan. Dalam hal implikasi lapangan, penulis menyarankan bagi para pengambil
kebijakan untuk bisa menarik minat investor asing untuk berpartisipasi dalam PPP. Sektor
publik harus memperbaiki desain institusinya, khususnya dalam menciptakan institutional
environment agar proyek PPP yang direncanakan bisa terealisasikan dan berkelanjutan.
Namun lebih dari itu, sektor publik sebagai regulator perlu juga memperhatikan masyarakat
sebagai incumbent di suatu daerah dimana proyek akan dilaksanakan melalui check and
balance agar tidak terjadi lack of enforment dan abuse of power

Pendekatan ini tentu saja memiliki dampak positif kepada aktivitas ekonomi lainnya
yang mana juga merupakan kunci dari pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. PPP tidak
hanya mengatasi kendala anggaran pemerintah tapi juga bisa memitigasi risiko yang
ditimbulkan dan dapat memberikan kualitas layanan publik yang baik. Dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi yang tinggi, PPP merupakan kerja sama yang tepat dalam
menyediakan barang publik. Barang publik berupa infrastruktur merupakan suatu hal yang
sangat vital khususnya dalam mengurangi biaya perpindahan faktor produksi dari satu
wilayah ke wilayah lainnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, T. 2017. Terkait Insiden Congkel Pintu Rumah Warga, ORI DIY Akan Minta
Penjelasan Kapolsek Temon. Diakses pada 2017, 9 Desember , dari
http://jogja.tribunnews.com/2017/11/28/terkait-insiden-congkel-pintu-rumah-warga-
ori-diy-akan-minta-penjelasan-kapolsek-temon
Badan Pusat Statistik Kabupaten Kulon Progo. (2010). Temon Dalam Angka. Kulon Progo:
Mandiri Jaya Wates.
Beisheim, M., Campe, S. (2012). Transnational Public-Private Partnership
Performance in Water Governance: Institutional Design Matters. Environment and
Planning C: Government and Policy, 30, 627-642.
Coase, R. H. (1937). The Nature of the Firm. Economica, 4(16), 386-405.
Emirullah, C., Azam, M. (2014). Examining Public Private Partnerships in ASEAN
countries: The Role of Investment Climate. Theoretical and Applied Economics.
2(591), pp. 67-76.
Jaya, Wihana K. (2010). Pidato Pengukuhan Guru Besar, Gadjah Mada Press.
Jin, X., & Doloi, H. (2008). Interpreting risk allocation mechanism in publicprivate
partnership projects: An empirical study in a transaction cost economics perspective.
Construction Management and Economics, 26(7), 707-721.
doi:10.1080/01446190801998682
Kaufmann, D., Kraay, A, & Mastruzzi, M. (2010). The Worldwide Governance Indicators:
Methodology and analytical issues. Policy Research Working Papers.
doi:10.1596/1813-9450-5430
LBH Yogyakarta. 2016. Renca Pembangunan Banda Kulonprogo yang di Paksakan.
Diakses pada 2017, 8 Desember, dari http://www.lbhyogyakarta.org/2016/07/rencana-
pembangunan-bandara-kulon-progo-proyek-yang-di-paksakan/
Medda, F. (2006). A Game Theory Approach for the Allocation of Risk in Transport Public
Private Partnerships. International Journal of Public Management. 25(3), 213-218. doi:
10.1016/j.ijproman.2006.06.003

27
Okezone. 2017. Bangun Bandara Yogyakarta 38 Rumah Terpaksa Dirubuhkan.
Diakses pada 2017, 7 Desember, dari
https://economy.okezone.com/read/2017/12/04/320/1824995/bangun-bandara-
yogyakarta-38-rumah-terpaksa-dirubuhkan
Prez-DOleo, J., et al. (2015). The Influence of the Institutional Environment of Public-
Private Partnership Transport Projects. Urban Transport XXI. doi:10.2495/ut150321.
Panayides, P. M., Parola, F., & Lam, J. S. (2015). The effect of institutional factors on public
private partnership success in ports. Transportation Research Part A: Policy and
Practice, 71, 110-127. doi: 10.1016/j.tra.2014.11.006
Prianggoro, A.A dan Andri Kurniawan. 2016. PERSEPSI MASYARAKAT DAN
POTENSI REORIENTASI USAHA BERKAITAN DENGAN PEMBANGUNAN
BANDARA INTERNASIONAL DI KULON PROGO. Diakses pada 2017, 11
Desember, dari http://lib.ugm.ac.id/ind/?page_id=248
Schomaker, R. (2014). Institutional Quality and Private Sector Participation: Theory and
Empirical Findings. European Journal of Government and Economics. 3(2), 104-118.
Tserng, H. P., Russell, J. S., Hsu, C., & Lin, C. (2012). Analyzing the Role of National PPP
Units in Promoting PPPs: Using New Institutional Economics and a Case Study.
Journal of Construction Engineering and Management, 138(2), 242-249.
doi:10.1061/(asce)co.1943-7862.0000398
Wahyu, S. 2017. PLN Cabut Ratusan Sambungan Listrik Warga Terdampak Bandara.
Diakses pada 2017, 8 Desember, dari http://jogja.tribunnews.com/2017/10/24/pln-
cabut-ratusan-sambungan-listrik-warga-terdampak-bandara
World Bank. (2016). World Governance Indicator. Geneva. Switzerland
Yustika, A. E. (2013). Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Erlangga.
Jakarta

28

Anda mungkin juga menyukai