Esta Lestari
Peneliti, Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Email: esta.lestari@gmail.com
Abstract
Lack of infrastructure is one of the major challenge for improving investment in Indonesia, especially in
electricity. Investment in this area is very much capital-intensive which is hardly fulfilled by the sole government
budget. This circumstance initiated the government to cooperate with the private sector under the scheme of public-
private partnership (PPP). This is a qualitative-study based on secondary and literature study to examine the
trends, performance and potential impact of electricity investment under PPP. The study shows that regardless of
the economic benefits of this scheme, the social cost may need to be considered as infrastructure plants interacted
with the livelihood of people living in the area that raises the resistance and the environmental cause in order to
find a win-win solution for all parties Involved.
Keywords: Infrastructure, electricity sector, Investment scheme, Public-private partnership.
Abstrak
Rendahnya infrastruktur kelistrikan menjadi salah satu hambatan paling signifikan bagi peningkatan iklim
investasi. Investasi kelistrikan membutuhkan pembiayaan yang sangat besar dan menjadi awal bagi inisiasi pemerintah
untuk menggandeng pihak swasta melalui mekanisme Kerja sama Pemerintah-Swasta (KPS) atau public private
partnership (PPP). Studi ini merupakan studi kualitatif yang didasarkan pada data sekunder untuk menganalisis
perkembangan, kinerja dan potensi dampak dari KPS kelistrikan. Studi ini menunjukkan bahwasanya lepas dari
besarnya manfaat yang didapatkan dari KPS, tantangan implementasi sangat besar dan tidak saja terkait dengan
aspek ekonomi semata, namun juga membutuhkan pertimbangan aspek sosial. Resistensi masyarakat, dan dampak
terhadap lingkungan harus menjadi bagian dari pertimbangan pemerintah dan swasta untuk mencari titik temu dan
koordinasi yang menguntungkan semua pihak. Oleh karena itu, perlu perhatian lebih mendalam untuk mencari
alternatif solusi pembiayaan bagi pemerintah sehingga tidak menimbulkan biaya ekonomi dan sosial dimasa depan.
Kata kunci: Infrastruktur, kelistrikan, Model Pembiayaan, Kerja sama Pemerintah-Swasta.
1
PENDAHULUAN produktivitas, dan memberikan dampak spillover
yang positif (Bottini, Coelho dan Kao, n.d).
Keterlambatan investasi dalam bidang
Namun, investasi bukanlah tentang seberapa
ketenagalistrikan sejak krisis ekonomi di
besar nilainya, melainkan bagaimana mengelola
pertengahan 1990an telah menggerus daya saing
investasi secara efektif sehingga mendatangkan
Indonesia pada peringkat 41 ditahun 2016-2017,
manfaat bagi masyarakat luas (Bottini, Coelho
menurun empat peringkat dari tahun sebelumnya
dan Kao, n.d; Hulten, 1996).
(WEF 2017). Rendahnya infrastruktur kelistrikan
menjadi salah satu hambatan paling signifikan Landasan teoritis dari pengaruh infrastruktur
yang menghambat iklim investasi. Besarnya terhadap pertumbuhan berakar pada Teori
biaya investasi dalam sektor kelistrikan yang Pertumbuhan. Adalah Arrow dan Kurz (1970)
tidak dapat ditanggung pemerintah menjadi alasan and Weitzman (1970) yang memasukkan
utama keterlambatan investasi pembangkit, yang infrastruktur ke dalam teori pertumbuhan formal
menjadi awal dari inisiasi pemerintah untuk sementara Auschauer (1989) adalah yang pertama
menggandeng pihak swasta dalam investasi menganalisis pentingnya infrastruktur sebagai
infrastruktur melalui mekanisme Kerja sama sumber pertumbuhan secara empiris, yang
Pemerintah-Swasta (KPS) atau umumnya disebut kemudian diikuti oleh berbagai studi kuantitatif
sebagai public private partnership (PPP). lainnya (Hulten, 1996).
Megaproyek penyediaan listrik 10.000 Menurut Chan (2009), infrastruktur adalah
MW menjadi pintu bagi masuknya pihak terminologi yang beragam, mencakup berbagai
swasta yang lebih luas dalam skema KPS dalam struktur fisik yang digunakan sebagai input dalam
bidang ketenagalistrikan. Proyek ini terbagi proses produksi. Secara umum, infrastruktur
menjadi 2 tahap dimana Tahap I melibatkan 37 terbagi menjadi dua jenis, 1) infrastruktur sosial
pembangkit1 dan direncanakan akan selesai pada seperti sekolah dan rumah sakit; 2) Infrastruktur
2014 (Sustaining Partnership, 2011). Selain ekonomi (Adam 2016, unpublished; Bottini,
proyek tersebut, salah satu model KPS lainnya Coelho dan Kao, n.d).
yang menjadi showcase pemerintah adalah Menurut Adam (2016, unpublished), terdapat
PLTU Jawa Tengah dengan kapasitas 2x1.000 beberapa peran infrastruktur dalam pembangunan
MW yang merupakan proyek KPS terbesar dan pertumbuhan ekonomi, 1) sebagai variabel
dan masuk kedalam MP3EI. Proyek ini adalah stock, infrastruktur akan mendorong peningkatan
proyek pertama dalam skema KPS yang telah output dalam fungsi produksi perekonomian. Ini
mendapatkan penjaminan pemerintah melalui terjadi karena infrastruktur berperan sebagai input/
PT Penjamin Infrastruktur Indonesia (PT PII) faktor produksi kunci (necessary inputs) yang
dengan nilai total investasi mencapai Rp 30 triliun secara langsung mempengaruhi prosesproduksi
(Sustaining Partnership, 2011). dalam suatu perekonomian (Fedderke dan
Garlick, 2008; Olaseni dan Alade, 2012).
TINJAUAN PUSTAKA Meskipun banyak studi yang menganalisis
hubungan antara infrastruktur dengan pertumbuhan
ekonomi namun sedikit yang mengkaji efektivitas
Peran infrastruktur Energi terhadap dari investasi itu sendiri. Banyak bukti empiris
pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan bagaimana investasi
Infrastruktur memegang peran penting dalam infrastruktur kerap beroperasi dibawah kapasitas
proses pertumbuhan ekonomi karena memberikan (under-capacity) meskipun telah menghabiskan
manfaat ekonomi jangka panjang yang akan biaya yang tidak sedikit.
mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, Investasi ketenagalistrikan juga tidak pelak
menjadi salah satu pendorong pertumbuhan
1
Dari 37 pembangkit yang diproyeksikan, ditahun 2011 ekonomi karena meningkatkan permintaan
baru enam proyek yang telah berhasil beroperasi, yaitu dan penawaran barang dan jasa. Stern (2010)
PLTU Banten-Labuan (2x300 MW), PLTU Jabar-Indrama-
yu (3x330 MW), PLTU Banteng-Suralaya (1x625 MW),
berargumen bahwa energi memainkan peran
dan PLTU Jatim-Paiton dalm uji coba (1x660 MW). penting dalam proses produksi yang umumnya
kesamaan makna dengan proyek Greenfield atau dengan mentransfer kepemilikan pada pemerintah
EPC dalam UU tahun 1985 yang berarti proyek di akhir periode konsesi yaitu setelah 30 tahun.
swasta atau kerja sama pemerintah-swasta untuk Perbedaan paling signifikan diantara kedua
membangun suatu fasilitas infrastruktur dan jenis KPS tersebut adalah dalam hal penjaminan.
mengoperasikannya selama periode konsesi PLTU Jateng dijamin menurut Perpres 78/2010
tertentu. Umumnya kesepakatan diantara yaitu oleh PT PII dalam berbagai resiko yang
pemerintah (PT PLN) dan swasta adalah untuk ditanggung oleh swasta (sebagai pihak yang
pembelian listrik swasta atas dasar kesepakatan dianggap mampu mengatasi resiko dengan biaya
harga tertentu atau sewa pembangkit. paling minimum) dengan resiko-resiko yang
Proyek PLTU Batang Jateng telah mengikuti sudah dieksplisitkan dalam kontrak. Sebaliknya,
kaidah PPP (KPS) sesuai dengan mekanisme yang KPS sebelum tahun 2006 hanya mengandalkan
diatur dalam UU 2009 yaitu dengan melibatkan jaminan pemerintah.
institusi pemerintah termasuk pemerintah daerah PLTU Jateng saat ini dikerjakan oleh badan
dalam prosesnya, berbeda dengan mekanisme usaha PT Bhimasakti Power Indonesia (PT BPI),
proyek IPP sebelum tahun 2006 yang hanya antara yang merupakan konsorsium dari tiga perusahaan
PLN dan swasta. Sub tipe kontrak yang dikerja subkontrak dari sponsor yang telah memenangkan
samakan juga sedikit berbeda. Jika IPP sebelum pelelangan. Secara singkat, mekanisme dan proses
tahun 2006 hanya sekitar BOO dan BOT, PLTU PPP untuk proyek tersebut digambarkan oleh
Jateng justru memodifikasi kedua tipe tersebut Gambar 3.
menjadi BOOT (build operate own transfer) yaitu
Apakah PPP adalah jawaban dari krisis Keterlibatan pihak swasta dalam penyediaan
listrik di Indonesia? infrastruktur merupakan fenomena global yang
dialami oleh banyak negara berkembang terutama
Sejalan dengan dikeluarkannya Perpres No.
negara dengan tingkat perekonomian yang
67 tahun 2005 tentang kerja sama pemerintah
sedang menanjak (emerging countries) terutama
dan swata dalam penyediaan infrastuktur maka
dibenua Asia. Meningkatnya arus modal swasta
bisa dipastikan keterlibatan pihak swasta dalam
(khususnya asing) menurut Nishizawa (2011)
sektor-sektor publik di Indonesia akan semakin
menunjukkan bahwa kecederungan keuangan
meningkat. Disatu sisi, hal ini menjadi angin
global dimana terjadinya ketidakseimbangan
segar bagi peningkatan penyediaan infrastruktur
antara investasi yang lebih tinggi daripada
di Indonesia dan baik bagi pemerintah dalam hal
tabungan dinegara-negara pemilik modal yang
pengalokasian pengeluaran pemerintah. Investasi
kemudian mendorong terjadinya arus kapital
yang seharusnya menjadi tanggung jawab
ke negera-negara yang dianggap kekurangan
pemerintah dapat dibagi kepada pihak swasta
tabungan untuk membiayai investasinya. Namun
sehingga alokasi pengeluaran bisa ditempatkan
jika ditelaah lebih lanjut, teori pertumbuhan
pada sektor atau bidang- lain yang dianggap
Harrod-Domar yang mengutamakan investasi
lebih krusial seperti penddikan dan kesehatan.
sebagai motor pertumbuhan yang dialokasikan
Akan tetapi, disisi lain, timbul pertanyaan
dari tabungan atau asumsi ekuivalensi antara
tentang bagaimana dampak meningkatnya peran
tabungan dan investasi belum tentu terjadi
swasta dalam sektor publik yang memungkinkan
dinegara-negara berkembang. Negara-negara
terjadinya kegagalan pasar akibat semakin
Asia justru memiliki kecenderungan tingkat
lemahnya fungsi regulasi, distribusi dan
tabungan yang sangat tinggi tanpa diikuti oleh
alokasi pemerintah. Ketakutan terbesar adalah
alokasi investasi.
mekanisme harga yang semakin rigid dan
cenderung meningkat akibat semakin terbukanya Dari Gambar 5 terlihat bahwa negara-negara
peluang menjadi oligopoli atau monopoli oleh di Asia saat ini sedang mengalami fase ketiga
sektor swasta. Ketakutan bernuansa politis juga dari gelombang investasi dimana investasi lebih
timbul karena dengan keterbukaan terhadap tinggi dari tabungan5. Negara berkembang Asia
investasi disektor publik yang dicirkan oleh mengalami pembalikan sejak tahun 1997 dan
investasi padat modal dan teknologi, maka pintu ASEAN-5 setahun setelahnya. Investasi yang
masuk bagi investor asing akan semakin terbuka 5
Nishizawa (2011) membagi tiga fase globing investasi di
dan menguasai pasar domestik. Pada gilirannya, Asia, fase pertama (sampai pertengahan 1970an) tabun-
masyarakat jualah yang harus menanggung biaya gan lebih rendah dari investasi, fase kedua (1970an-1997)
tersebut. akslerasi tabungan dan investasi yang cepat, fase ketiga
(1998-200an) tabungan lebih tinggi dari investasi sejalan
dengan surplus yang besar dalam neraca berjalan.
lebih besar dari tabungan menunjukkan bahwa membengkak. Hingga tahun 2011, cadangan
tabungan domestik belum sepenuhnya secara devisa Indonesia mencapai US$110,3 milyar
efektif diutilisasikan sebagai sumber pembiayaan atau setara dengan 6 bulan impor. Cadangan
pembangunan. Terdapat kecenderungan bahwa devisa inilah yang cenderung digunakan sebagai
pemerintah negara berkembang untuk menjaga self-insurance pemerintah yang sedikit sekali
kondisi tersebut sebagai self-insurance terhadap dikontribusikan pada investasi.
krisis neraca pembayaran dimasa depan atau Kecenderungan pemerintah di Asia untuk
untuk menjaga kestabilan nilai tukar. Pada kasus menumpuk tabungannya menjadi alasan yang
negara tertentu seperti China, nilai tabungan rasional ditengah ketidakpastian perekonomian
domestiknya yang sedemikian besar bahkan harus global termasuk Indonesia. Maka alasan untuk
diseimbangkan dengan meningkatnya konsumsi berbagi resiko dengan swasta dengan melibatkan
untuk menurunkan tabungan. Menganggurnya mereka dalam pembiayaan-pembiayaan domestik
tabugan domestic yang sedemikian besar akan untuk investasi infrastruktur menjadi masuk
merugikan negara berkembang karena kehilangan akal. Terlebih lagi sejak awal 2000, terdapat
momentum untuk mengakselrasikan petumbuhan kecenderungan penurunan mekanisme dan
dengan pembiayaan domestik yang bukan hutang. pendampingan pembiayaan dari ODA akibat
Indonesia tidak lepas dari kecenderungan skeptisme terhadap pengalokasiaan bantuan
tersebut. Dari Gambar 6 terlihat bahwa akibat dianggap tidak efisien (Nishizawa 2011). Tidak
liberalisasi disektor industry di Indonesia mengherankan jika kemudian ODA yang
dengan dikeluarkannya Paket kebijakan Oktober kemudian mendorong mekanisme PPP dan
1988 membawa arus investasi asing masuk memonitornya untuk memastikan pengalokasian
kedalam negeri diawal tahun 1990an. Kondisi yang lebih efisien. Dengan mekanime PPP
ini terus berlangsung hingga krisis melanda maka resiko akan terbagi sepanjang durasi
yang berdampak pada kehati-hatian pemerintah kontrak. Namun apakah pembiayaan melalui PPP
dan kontraksi yang sangat tajam dalam investasi merupakan pilihan terbaik.
mengakibatkan tabungan mulai dijaga. Kondisi Hal pertama yang harus diperhatikan
ini mengalami ketidakseimbangan investasi dalam PPP adalah motivasi dari keterlibatan
tabungan yang terus berjalan hingga 2010. swasta yang tidak lepas dari mecapai efisiensi
Kelebihan tabungan atas investasi berdampak manfaat, dan menjembatani gap pembiayaan
pada neraca berdagangangan yang meningkat dari infrastruktur publik yang tidak bias diatasi
dan berkontribusi pada cadangan devisa yang pemerintah. Artinya dalam kerangka PPP ada