Anda di halaman 1dari 17

UTS MPPKIH

TABEL RANCANGAN PENELITIAN


Nama : Alif Permana
NIM : 010002004004
Peminatan : Hukum Bisnis

NO URAIAN KETERANGAN
1 Tema : Pertanahan
2 Judul : Pengaturan dan Pandangan Masyarakat Adat Suku
Arfak Kabupaten Manokwari tentang Jual
Beli/Ganti Kerugian Tanah Hak Ulayat Kepada
Perorangan dan/atau Badan Hukum untuk
Pembangunan bagi Kepentingan Umum
3 Permasalahan : 1. Bagaimana pengaturan tentang jual
beli/ganti kerugian tanah hak ulayat
berdasarkan peraturan perundang-
undangan?
2. Bagaimana pandangan masyarakat adat
suku Arfak kabupaten Manokwari provinsi
Papua Barat tentang jual beli/ganti kerugian
tanah hak ulayat kepada perorangan
dan/atau badan hukum untuk pembangunan
bagi kepentingan umum?
3. Apakah pandangan masyarakat suku Arfak
kabupaten Manokwari provinsi Papua
Barat tentang jual beli/ganti kerugian tanah
hak ulayat kepada perseorangan dan/atau
badan hukum untuk pembangunan bagi
kepentingan umum sudah sesuai dengan
pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian
tanah hak ulayat?
4 Bidang hukum : 1. Hukum Perikatan
2. Hukum Agraria
3. Hukum Adat
5 Tingkat kedalaman Menggambarkan (deskriptif), dan mengetahui
(eksploratif)
6 Fakta penyebab : - Maraknya gugatan pihak yang merasa
timbulnya permasalahan sebagai pemegang hak sesungguhnya
kepada perorangan dan/atau badan hukum
pemegang sertifikat hak atas tanah
- Pihak-pihak yang mengajukan gugatan
merasa tidak pernah melepaskan haknya
atas tanah-tanah ulayat tersebut
- Gugatan diajukan diatas 5 (lima) tahun
setelah terbitnya sertifikat, telah berdiri
bangunan permanen untuk kepentingan
bisnis perorangan maupun kepentingan
umum
- Pemegang sertifikat telah melakukan jual
beli dan/atau pembayaran ganti rugi kepada
masyarakat hukum adat, sehingga badan
pertanahan menerbitkan sertifikat
7 Peraturan dan putusan : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terkait (burgerlijk Weetbook)
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
3. UU No. 21 Tahun 2001 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU No. 2 Tahun
2021 tentang Otonomis Khusus bagi
Provinsi Papua
4. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
5. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua
Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang
Pedoman Pengakuan, Perlindungan,
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat
6. Putusan PN Manokwari Nomor
23/Pdt.G/2021/Pn.Mnk
7. Putusan PN Manokwari Nomor
40/Pdt.G/2021/Pn.Mnk
8 Hasil penelitian : Jurnal
sebelumnya mengenai 1. Sem, Sanjaya. “Keabsahan Pengikatan Jual
topik yang sama Beli Yang Objeknya Sama Dengan
Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli
Kembali (Studi Putusan Mahkamah Agung
RI No. 509 K/PDT/2020),” Indonesian
Notary 3 no. 3 (2021).
2. Arif, Rahmadi. (2022). “Urgensi Penetapan
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
terkait kebijakan Pelayanan Pertanahan di
Papua,” Jurnal Tunas Agraria 5 no.1
(2022).
3. Lastuti, Abubakar. “Revitalisasi Hukum
Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam
Membangun Sistem Hukum Indonesia,”
Jurnal Dinamika Hukum 13 no 5 (2013).
Buku
1. J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian, Buku I. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.
2. Sigit, Sapto Nugroho. Pengantar Hukum
Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam,
2016.
3. Soerjono, Soekanto. Hukum Adat
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1983.
4. Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 2010.
5. Van Dijk. Diterjemahkan A. Soehardi.
Pengantar Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Sumur Bandung, 1971.
6. Zakiyah,. Hukum Perjanjian, Teori dan
Perkembangannya. Yogyakarta: Lentera
Kreasindo, 2015.

9 Data yang diperlukan : Data Primer, Data Sekunder.


10 Cara memperloeh data : 1. Data Primer diperoleh dari wawancara
responden masyarakat suku arfak
kabupaten Manokwari
2. Data sekunder berupa peraturan perundang-
undangan, putusan pengadilan dan jurnal
diperoleh dari penelusuran internet.
11 Dimana data tersebut : 1. Data Primer diperoleh dari masayarakat
diperoleh adat suku arfak yang ada di kabupaten
Manokwari
2. Data sekunder berbahan hukum primer
(peraturan perundang-undangan) diperoleh
dari penelusuran internet
3. Data sekunder berbahan hukum sekunder
(buku, jurnal) diperoleh dari perpustakaan
dan penelusuran internet
12 Populasi : Masyarakat Adat suku Arfak kabupaten
Manokwari
13 Sampel : Masyarakat Adat suku Arfak kepala marga
Mandacan, marga Indou, dan marga salabai
14 Teknik Sampling : Non-Probability Sampling, Quota Sampling yaitu
penentuan sampel berdasarkan pertimbangan
peneliti, pertimbangan peneliti disini yaitu
masyarakat adat suku Arfak memiliki marga induk,
sub-sub marga lain adalah turunan dari marga-
marga induk sehingga yang menjadi sampel
(responden) adalah kepala marga-marga induk
suku Arfak
15 Cara mengolah data : Analisis data kualitatif
16 Cara menarik kesimpulan : Deduktif
RANCANGAN PENELITIAN

PENGATURAN DAN PANDANGAN MASYARAKAT ADAT SUKU ARFAK


KABUPATEN MANOKWARI TENTANG JUAL BELI/GANTI KERUGIAN TANAH HAK
ULAYAT KEPADA PERORANGAN DAN/ATAU BADAN HUKUM UNTUK
PEMBANGUNAN BAGI KEPENTINGAN UMUM

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penulisan Karya Ilmiah Hukum

Oleh:

Nama : Alif Permana


NIM : 010002004004

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2023
A. Latar Belakang
Di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk
perekonomiannya masih bercorak agraria, bumi, air, dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil
dan makmur. Hukum agraria yang telah mengalami unifikasi dengan dihapusnya dualisme
hukum tanah ciptaan Belanda dan lahirnya Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria
nomor 5 tahun 1960, bertujuan untuk mencapai tujuan negara yaitu meningkatnya
perekonomian nasional melalui pembangunan. Di sisi lain, dalam mewujudkan perekonomian
nasional yang maju dan meningkat, hukum agraria sebagai hukum tanah nasional juga
menjamin eksistensi hubungan hukum antara manusia Indonesia baik secara perorangan
maupun komunal dengan permukaan bumi atau yang disebut tanah. Hubungan hukum secara
komunal antara manusia Indonesia dengan tanah atau yang disebut hak masyarakat adat atas
tanah menjadi landasan dalam UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Selain di dalam hukum tanah nasional, konstitusi juga memberi pengakuan dan
penghormatan kepada masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya1. Hak-hak
tradisional ini termasuk hak atas tanah, berupa seperangkat hak untuk menguasai,
mempertahankan, mengalihkan, dan memanfaatkan tanah untuk memperoleh keuntungan
ekonomi. Hak-hak masyarakat adat atas tanah dalam hukum tanah nasional dikenal sebagai hak
ulayat masyarakat adat yang pelaksanaannya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang2.
Hak-hak atas tanah bagi perorangan dan/atau badan hukum yang diatur dan disebutkan
dalam UUPA diantaranya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang sifatnya
sementara. Dalam rangka implementasi pemanfaatan tanah untuk kepentingan ekonomi
masyarakat, negara memberikan surat tanda bukti hak atas tanah dengan jenis-jenis hak
sebagaimana disebutkan sebelumnya kepada perorangan (masyarakat Indonesia) dan/atau
badan hukum dalam bentuk sertifikat. Pemberian sertifikat diselenggarakan dalam kegiatan
pendaftaran tanah oleh badan pertanahan yang berfungsi sebagai jaminan kepastian hukum bagi
pemegang hak untuk mengambil manfaat ekonomi dari tanah yang dihaki, juga sebagai bukti
untuk mempertahankan haknya dari gugatan hukum pihak lain.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 18B


2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 3
Jual beli atas objek tanah adalah aktivitas yang mempunyai dimensi ekonomi,
sebagaimana fungsi tanah untuk kepentingan ekonomi yang disebutkan dalam UUPA. Syarat
sah jual beli objek tanah merujuk pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sah
suatu perjanjian, yaitu sepakat para pihak yang mengadakan jual beli, dalam hal ini penjual
sepakat melepaskan haknya dan pembeli sepakat membayarkan sejumlah uang kepada penjual.
Syarat selanjutnya adalah cakap bertindak di depan hukum para pihak yang mengadakan jual
beli, maknanya baik penjual dan pembeli telah cukup umur, dan sehat jiwanya (tidak berada
dibawah pengampuan). Selanjutnya adalah suatu objek tertentu, dalam hal ini objek tanah harus
jelas letak luas dan batasnya, dan syarat yang ke-empat adalah sebab yang halal (tidak
bertentangan dengan hukum dan kesusilaan), dalam konteks jual beli tanah hak ulayat adalah
penjual yang melepaskan haknya benar-benar pihak yang berhak atas tanah ulayat tersebut,
biasanya dibuktikan dengan keterangan pemuka adat dan pemerintah kampung mengenai
riwayat dan asal-usul tanah yang diperjualbelikan.
Selain memenuhi syarat sah perjanjian, jual beli tanah juga harus memenuhi asas tunai.
Asas tunai dikenal dalam hukum adat, karena hukum tanah nasional bersumber dan berdasar
pada hukum adat maka perbuatan hukum atas objek tanah dalam hal ini jual beli harus
memenuhi asas tunai, konkretnya adalah pasa saat jual beli, penjual menyatakan melepaskan
haknya dan pembeli pada saat itu juga membayar secara tunai sejumlah uang sebagai harga
yang disepakati antara penjual dan pembeli.
Masyarakat hukum adat suku Arfak di kabupaten Manokwari provinsi Papua Barat,
secara faktual adalah masyrakat hukum adat yang mendiami dan menguasai tanah-tanah ulayat
di Manokwari. Melapaskan haknya atas objek tanah ulayat, baik jual beli kepada perorangan,
maupun kepada badan pemerintahan untuk kepentingan pembangunan telah lazim dilakukan.
Prosesi pelepasan ini biasanya dilakukan dalam suatu musyawarah adat dimana pihak yang
melepaskan hak ulayatnya yaitu keluarga dengan marga tertentu dan pihak pembeli
dipertemukan oleh ketua adat untuk menyepakati harga jual beli. Pun demikian dalam hal
pengadaan tanah bagi pembangunan, badan pemerintahan yang berkepentingan mengadakan
tanah, disaksikan pemerintah daerah setempat, biasanya juga menghadirkan pihak kepolisian,
mengadakan musyawarah adat dengan keluarga yang menguasai tanah ulayat dipimpin oleh
kepala adat untuk menyepakati harga ganti rugi yang harus dibayarkan oleh badan
pemerintahan kepada keluarga pemilik hak ulayat.
Setelah musyawarah menyepakati harga, perorangan dan/atau badan pemerintahan tadi
melakukan pembayaran, dan selanjutnya melakukan pendaftaran hak atas tanah tersebut.
Sebagaimana ketentuan dalam pendaftaran tanah, perorangan dan/atau badan hukum yang telah
menerima pelepasan hak atas tanah ulayat, mendaftarkan haknya dan memegang sertifikat.
Sertifikat berfungsi sebagai alat pembuktian yang sah dimuka pengadilan dari gugatan pihak
lain, sertifikat juga sebagai jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah untuk
mengadakan perbuatan hukum di atas tanah yang dihaki.
Tanah-tanah yang asalnya tanah hak ulayat ternyata tidak terlepas dari gugatan pihak
lain, dalam beberapa perkara bahkan tanah-tanah ulayat yang telah dilepaskan dan telah
didaftarkan (bersertifikat) selama bertahun-tahun dan telah dibangun bangunan permanen di
atasnya, justru oleh Pengadilan si penggugat dimenangkan. Padahal, proses pelepasan telah
melalui musyawarah adat, disaksikan oleh pemerintah setempat, dan telah dilkukan
pembayaran.
Singkatnya, dalam jual beli tanah ulayat telah terpenuhi syarat sah perjanjian, telah
terpenuhi asas tunai dan telah terpenuhi tata cara pendaftaran tanah, namun dalam beberapa
putusan Pengadilan Negeri Manokwari, jual beli (pelepasan hak) dinyatakan batal dan tidak
sah. Dalam putusan PN Manokwari nomor 23/Pdt.G/2021/Pn Mnk, gugatan bahkan diajukan
30 (tiga puluh) tahun setelah terbitnya sertifikat dan gugatan penggugat dikabulkan seluruhnya.
Pun demikian dalam putusan lain seperti putusan nomor 2/Pdt.G/2022/Pn Mnk, putusan nomor
40/Pdt.G/2021/Pn Mnk dan putusan nomor 61/Pdt.G/Pn Mnk, yang kesemuanya diajukan
dalam jangka waktu lewat 5 (lima) tahun setelah terbitnya sertifikat dan dikabulkan oleh
Pengadilan. Padahal untuk meberikan kepastian hukum yang adil bagi pihak yang yang dengan
itikad baik menguasai tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan
lembaga rechtsverwerking yang menyatakan bahwa apabila seseorang selama sekian waktu
membiarkan tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan oleh orang lain yang
memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut tanah tersebut.
menarik untuk diteliti bagaimana sesungguhnya pengaturan tentang jual beli atau pelepasan hak
atas tanah ulayat masyarakat hukum adat dan bagaimana pandangan masyarakat adat suku
Arfak kabupaten Manokwari tentang jual beli atau pelepasan hak atas tanah ulayat.
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk membuat
karya ilmiah hukum yang berjudul “PENGATURAN DAN PANDANGAN MASYARAKAT
ADAT SUKU ARFAK KABUPATEN MANOKWARI TENTANG JUAL BELI/GANTI
KERUGIAN TANAH HAK ULAYAT KEPADA PERORANGAN DAN/ATAU BADAN
HUKUM UNTUK PEMBANGUNAN BAGI KEPENTINGAN UMUM”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini disusun
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat berdasarkan
peraturan perundang-undangan?
2. Bagaimana pandangan masyarakat adat suku Arfak kabupaten Manokwari provinsi Papua
Barat tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat kepada perorangan dan/atau badan
hukum untuk pembangunan bagi kepentingan umum?
3. Apakah pandangan masyarakat suku Arfak kabupaten Manokwari provinsi Papua Barat
tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat kepada perseorangan dan/atau badan
hukum untuk pembangunan bagi kepentingan umum sudah sesuai dengan pengaturan
tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk menggambarkan mengenai pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak
ulayat masyarakat hukum adat.
2. Untuk mengetahui pandangan masyarakat adat suku Arfak kabupaten Manokwari provinsi
Papua Barat tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat.
3. Untuk mengetahui apakah pandangan masyarakat adat suku Arfak kabupaten Manokwari
provinsi Papua Barat tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat sudah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
D. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitan, berdasarkan tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu:
a. Normatif untuk menggambarkan pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak
ulayat masyarakat hukum adat
b. Empiris untuk mengetahui pandangan masyarakat adat suku Arfak tentang jual beli/ganti
kerugian tanah hak ulayat, dan untuk mengetaui apakah pandangan masyarakat adat suku
Arfak sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian hukum yang hendak digunakan dalam penelitian ini untuk mencapai
tujuan penelitian yaitu:
a. Deskriptif (menggambarkan) bagiamana pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian
tanah hak ulayat antara masyarakat hukum adat dengan perorangan dan/atau badan
hukum untuk pembangunan bagi kepentingan umum
b. Eksploratif (mengetahui) bagaimana pandangan masyarakat hukum adat suku Arfak
yang ada di Manokwari jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat kepada perorangan
dan/atau badan hukum untuk pembangunan bagi kepentingan umum, dan mengatahui
apakah pandangan tersebut sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
3. Data Yang Digunakan
Data yang hendak digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
a. Untuk menggambarkan pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian tanah hak ulayat
berdasarkan peraturan perundang-undangan, data yang digunakan adalah data
sekunder
b. Untuk mengetahui pandangan masayarakat adat suku Arfak tentang jual beli/ganti
kerugian tanah hak ulayat, dan untuk mengetahui apakah pandangan tersebut sudah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan, menggunakan data primer.
4. Sumber Data
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dengan masyarakat adat
suku Arfak kabupaten Manokwari itu sendiri. Sedangkan sumber data sekunder dalam
penelitian ini yaitu:
a. Sumber data sekunder bahan hukum primer dari peraturan perundang-undangan.
b. Sumber data sekunder bahan hukum sekunder dari buku dan jurnal.
5. Cara Memperoleh Data
Cara memperoleh data primer dengan wawancara langsung kepada masyarakat adat suku
Arfak dengan metode Purposive sampling, atau sampel yang ditentukan yaitu 3 (tiga)
marga/klan besar atau marga/klan induk terdiri ddari marga Mandacan, marga Indou, dan
marga Saiba. Cara memperoleh data sekunder yaitu dengan penelusuran literatur dan
penelusuran internet.
6. Cara Pengolahan Data
Data berupa informasi yang diperoleh dari hasil wawancara diolah dengan cara kualitatif,
begitu pula dengan informasi dari buku, jurnal dan peraturan perundang-undangan diolah
secara kualitatif.
7. Cara Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan yang akan diperoleh dari penelitian ini akan ditarik dengan metode deduktif,
yaitu dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum bersumber dari hasil wawancara dan
informasi dari data sekunder, ditarik kesimpulan berupa pernyataan yang bersifat khusus.
E. Kerangka Konsepsional
1. Jual Beli Tanah
Jual beli secara etimologis berarti menukar harta dengan harta, sedangkan secara hukum
jual beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dimana pihak penjual menyerahkan prestasi
dalam bentuk objek jual beli dan pembeli melaksanakan prestasinya berupa pembayaran atas
objek jual beli. Jual beli dilaksanakan dalam suatu perbuatan/tindakan hukum yang disebut
perjanjian. J Satrio membagi jenis perjanjian menjadi perjanjian sepihak dan perjanjian timbal
balik. Yang menjadi pembeda antara perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik adalah
hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak yang lainnya, yaitu bila disatu pihak adalah
hak, maka dipihak lainnya adalah kewajiban, sebagaimana dijelaskan J. Satrio Hukum
Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian (2001: 43-44)

“.. Yang dimaksud dengan “mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain”
adalah, bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu
mempunyai hak, maka pihak yang lain disana berkedudukan memikul kewajiban. Jadi
pembagian disini didasarkan atas perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, apakah
mengikat satu pihak saja ataukah mengikat kedua pihak”

Jual beli tanah diatur dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
mengingat UUPA sebagai unifikasi hukum tanah nasional menganut hukum adat, maka
ketentuan-ketentuan jual beli dalam KUHPerdata yang menganut hukum barat tidak dapat
diterapkan3. Meskipun ketentuan jual beli dalam KUHPerdata tidak dikenal dalam hukum
tanah, mengingat jual beli adalah suatu perbuatan hukum perjanjian, ketentuan-ketentuan
tentang syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata tetap berlaku
diantaranya sepakat para pihak yang mengadakan perjanjian, cakap bertindak dimuka hukum
(telah cukup umur dan tidak berada dibawah perwalian atau pengampuan), suatu objek tertentu
dalam hal ini letak luas dan batas tanah yang diperjualbelikan, dan sebab-sebab yang halal yaitu
objek tanah yang diperjualbelikan tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan/atau
kesusilaan. Selain itu, karena menganut hukum adat maka jual beli tanah harus memenuhi asas
tunai dan terang, asas tunai adalah pada saat pernyataan penyerahan hak atas tanah, pada saat
itu pula pembeli membayar secara tunai harga yang disepakati sedangkan asas terang
maknanya penyerahan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat berwenang.

3. Sem Sanjaya, “Keabsahan Pengikatan Jual Beli Yang Objeknya Sama Dengan Perjanjian Jual Beli Dengan Hak
Membeli Kembali (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 509 K/PDT/2020),” Indonesian Notary 3 no. 3 (2021);
https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss4/3. Diakses Mei 30, 2023.
2. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat, sebagaimana disebutkan Hazairin, dikutip dalam Sorejono
Soekanto Hukum Adat Indonesia (1983: 93,94)

“Masyarakat-masyarakat Hukum Adat seperti desa di Jawa, marga di Sumetera Selatan,


nagari di Minangkabau, kuria di Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan, adalah kesatuan-
kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelangkapan-kelengkapan untuk sanggup
berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…
Bentuk hukum kekeluargaannya (patrinileal, matrilineal, atau bilateral) mempengaruhi
sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan, dan
pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan perburuan binatang liar,
pertambangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama dalam hak dan
kewajibannya. Penghidupan mereka berciri komunal, dimana gotong royong, tolong
menolong, serasa dan selalu mempunyai peranan yang besar”

UUD NRI 1945 pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dengan Undang-undang. Kemudian di dalam UU No. 2 Tahun 2021
tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua, eksistensi masyarakat hukum adat di Papua kembali ditegaskan pada pasal 1 angka 20
yang menyatakan

“Masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya
hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan
rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya”

Lebih lanjut masyarakat hukum adat di provinsi Papua Barat dimuat dalam Peraturan
Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan,
Pelindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wlayah Adat di Provinsi Papua
Barat, yang membagi wilayah adat Doberay dan wilayah adat Bomberay sebagai 2 (dua)
wilayah adat yang masuk dalam wilayah provinsi Papua Barat dari 7 (tujuh) wilayah adat yang
ada di tanah Papua. Wilayah adat Doberay secara dministrasi pemerintahan terdiri dari
kabupaten Manokwari, kabupaten Manokwari Selatan, kabupaten Pegunungan Arfak,
kabupaten Teluk Bintuni, kabupaten Teluk Wondama dan kabupaten Tambrauw. Suku besar
yang mendiami wilayah adat ini adalah suku Arfak, yang secara historis berasal dari daerah
yang kini menjadi kabupaten Pegunungan Arfak memiliki marga/klan besar diantaranya
Mandacan, Indou dan Salabai4.
Berdasarkan literasi keilmuan dan rujukan peraturan perundang-undangan dapat ditarik
kesimpulan bahwa masyarakat adat suku Arfak adalah masyarakat hukum adat yang mendiami
wilayah adat Doberay di provinsi Papua Barat yang mempunyai kesatuan hukum, dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah (wilayah adat) dan air bagi semua
anggotanya.

Di dalam masyarakat adat terdapat suatu tata aturan yang mengatur tingkah laku
masyarakat dan memiliki sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya. Sebagaimana
dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dikutip dalam Sigit Sapto Nugroho dalam bukunya
Pengantar Hukum Adat di Indonesia (2016: 24)

“Hukum Adat adalah keseluruhan antara tingkah laku yang mengatur tingkah laku manusia
dalam kehidupan masyarakat yang merupakan adat dan sekaligus mempunyai atau
memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya dan ada upaya memaksa”

3. Jual Beli Tanah Hak Ulayat


Di dalam hukum adat, terdapat hak perseorangan yang memberi wewenang untuk
melakukan tindakan hukum atas tanah adat tersebut, termasuk melakukan transaksi jual beli
kepada perorangan diluar masyarakat hukum adat. Hal ini dijelaskan oleh Prof. Dr. R. Van
Dijk, dalam bukunya Pengantar Hukum Adat Indonesia terjemahan Mr. A. Soehardi (1971:56)

“Maka di tempat paling atas haruslah ditempatkan hak milik. Hak milik ini memberikan
kepada pemiliknja, didalam batas-batas jang ditentukan oleh hak-pertuanan, kebebasan
penuh atas tanah. Oleh hak itu ia memperoleh hak untuk melakukan segala transaksi, jang
akan kita bitjarakan nanti (lihat D dan E), j.i. tanah itu boleh didjualnja digadaikan atau
dihubungkantja setjara lain kepada hutangnja atau diturunkannja kepada ahli warisnja.
Perpindahan tanah kepada orang-orang luaran”

Hak ulayat sebagaimana diterangkan Harsono (2008), dikutip oleh Arif Rahmadi adalah
himpunan kewajiban dan kekuasaan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, yang berkaitan
dengan tanah yang berada di dalam lingkungan tanah kawasannya. 5

4. Kelly Dowansiba, “Mengenal Asal Usul dan Kebudayaan Masyarakat Suku Arfak” Yayasan Lao-Lao Papua,
November 22, 2021, diakses Mei 30, 2023. https://laolao-papua.com/2021/11/22/mengenal-asal-usul-dan-
kebudayaan-masyarakat-suku-arfak/. Diakses Mei 30, 2023.
5. Arif Rahmadi, “Urgensi Penetapan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Terkait Kebijakan Pelayanan Pertanahan
di Papua,” Jurnal Tunas Agraria 5 no. 1 (2022); doi:10.31292/jta.v5i1.170. Diakses Mei 22, 2023.
Transaksi atas tanah adat di berbagai daerah Indonesia memiliki perbedaan istilah
penyebutan tergantung pada penggunaan Bahasa daerah, misalnya di daerah Minangkabau
dikenal perjanjian maro atau belah pinang atau mertelu. Perjanjian belah pinang adalah suatu
perjanjian dalam mana si pemilik tanah mengijinkan orang lain mengerjakan, menanami dan
memetik hasil tanahnya dengan tujuan membagi hasilnya menurut perbandingan yang telah
diperjanjikan sebelumnya. 6 Sedangkan dalam jual beli tanah, masyarakat hukum adat
melepaskan haknya atas tanah ulayat untuk selama-lamanya, yang dalam masyarakat suku-suku
di Papua dikenal dengan pelepasan. Pelepasan hak atas ulayat masyarakat adat yang telah
dinyatakan oleh penguasa adat kepada perorangan dan/atau badan hukum dan telah disepakati
harganya, kemudian oleh pejabat berwenang (PPAT) dibuat dalam suatu akta otentik untuk
selanjutnya didaftarkan kepada badan pertanahan. Badan pertanahan yang menerima akta dan
permohonan penerbitan sertifikat melakukan pengukuran untuk memperoleh data fisik tanah
berupa letak luas dan batas tanah yang dimohonkan, dan meminta keterangan terkait asal-usul
tanah dari pemerintah setempat (kepala kampung) untuk memperoleh data yuridis objek tanah.
Ketentuan-ketentuan tersebut dimuat di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Setelah memperoleh data fisik dan data yuridis, badan pertanahan
mengumumkan dalam kurun waktu 90 (Sembilan puluh) hari untuk pendaftaran atas
permintaan sendiri (sporadik), apabila dalam kurun waktu tersebut tidak ada keberatan dari
pihak lain maka sertifikat sebagai tanda bukti hak diberikan kepada pemohon.
Selain kepada perorangan, tanah-tanah hak ulayat termasuk hak ulayat masyarakat hukum
adat suku Arfak juga dilepaskan kepada negara untuk keperluan pembangunan bagi
kepentingan umum. Musyawarah adat yang dihadiri dan disaksikan pemerintah daerah
setempat dilaksanakan untuk menyepakati harga ganti kerugian kepada masayarakat adat,
setelah disepakati tanah hak ulayat yang telah dilepaskan oleh masayarakat adat didaftarkan
menurut ketentuan pendaftaran tanah.
Di dalam hukum tanah nasional yang berdasarkan hukum adat, tidak dikenal lembaga
acquisitive verjaring yang dikenal dalam hukum perdata barat, yaitu hilangnya hak gugat
karena telah melewati suatu waktu tertentu “Kadaluwarsa”. Lembaga Verjaring bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang telah menguasai suatu benda
selama kurun waktu tertentu dengan itikad baik dari gugatan pihak lain, karena lembaga ini
tidak dikenal dalam hukum adat sebagaimana telah ditegaskan dalam yurisprudensi putusan-
putusan Mahkamah Agung, misalnya dalam putusan nomor 802 K/Sip/2971 tanggal 22

6. Lastuti Abubakar, “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum
Indonesia,” Jurnal Dinamika Hukum 13 no. 2 (2013);
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/213. Diakses Juni 4, 2023.
Desember 1971 dan putusan nomor 157 K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975 sebagaimana
dirujuk dalam pertimbangan putusan PN Manokwari nomor 23/Pdt.G/2021/Pn Mnk halaman
129

“… berdasarkan yurisprudensi tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa dalil pokok


gugatan Para Penggugat bahwa Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan
melawan hukum dengan tanpa hak menguasai tanah objek sengketa yang adalah tanah hak
ulayat milik Para Penggugat, dengan demikian tanah objek sengketa dalam perkara a quo
merupakan tanah hak adat yang tidak mengenal lembaga verjaring (kadaluwarsa), dengan
demikian dalil eksepsi huruf B angka 2 Tergugat I dan Tergugat II yang menyatakan
gugatan obscuur libel adalah dalil yang tidak beralasan dan haruslah ditolak”

Untuk memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang sertifikat tanah, PP No 24


Tahun 1997 pasal 32 ayat (2) menerapkan lembaga rechtsverwerking sebagaimana penjelasan
pasal 32 ayat (2) yang menyatakan:

“.. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi
kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga
rechtsververking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan
tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya
dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.
Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena
diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini”

Berdasarkan rujukan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi putusan-putusan


yang telah berkekuatan hukum tetap, jual beli yang menjadi alas hak perorangan atas tanah hak
ulayat, dan/atau ganti kerugian sebagai alas hak menguasai negara atas tanah ulayat yang
kemudian hak mengasai negara tersebut diberikan kepada badan hukum dalam bentuk sertifikat
hak telah dimuat pengaturannya. Pemegang sertifikat diberikan jaminan kepastian hukum atas
tanah yang dihaki, sepanjang alas haknya sesuai dengan hukum yaitu diperoleh dengan itikad
baik. Itikad baik juga merupakan asas dalam perjanjian, dasar hukum asas itikad baik dalam
perjanjian adalah pasal 1338 KUHPerdata, itikad baik sebagaimana dijelaskan oleh P.L. Wery
(1990: 9) dikutip dalam Zakiyah, Hukum Perjanjian Teori dan Perkembangannya (2015: 32)

“I’tikad baik berarti bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian harus berlaku yang satu
terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu
muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa menggangu pihak lain, tidak dengan melihat
kepentingan sendiri saja, tetapi juga melihat kepentingan pihak lain”

Perjanjian termasuk jual beli tanah yang dilaksanakan tidak dengan itikad baik dapat
berakibat pada perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa tiap perbuatan yang melawan hukum, yang membawa kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Sebagai akibat hukum selanjutnya adalah sertifikat yang telah diterbitkan
oleh badan pertanahan, yang alas haknya tidak sesuai hukum atau diperoleh tidak dengan itikad
baik misalnya ganti kerugian atas pelepasan hak ulayat diberikan bukan kepada pemegang hak
ulayat yang sesungguhnya, dan/atau perorangan yang melakukan perjanjian jual beli bukan
dengan pemegang hak ulayat yang sesugguhnya, sepanjang dapat dibuktikan oleh masyarakat
adat bahwa tidak pernah melepaskan haknya maka sertifikat yang telah terbit itu sekalipun
telah melampaui suatu jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,
dapat dibatalkan.

F. Daftar Pustaka
BUKU
J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Buku I. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.

Sigit, Sapto Nugroho. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam, 2016.

Soerjono, Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983.

Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 2010.

Van Dijk. Diterjemahkan A. Soehardi. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung, 1971.

Zakiyah. Hukum Perjanjian, Teori dan Perkembangannya. Yogyakarta: Lentera Kreasindo,


2015.

JURNAL
Arif, Rahmadi. “Urgensi Penetapan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Terkait Kebijakan
Pelayanan Pertanahan di Papua.” Jurnal Tunas Agraria 5 no.1 (2022): 6. Diakses Mei 22,
2023. doi:10.31292/jta.v5i1.170.
Lastuti, Abubakar. “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun
Sistem Hukum Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum 13 no. 2 (2013): 9, diakses Juni 4,
2023. http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/213.

Sem, Sanjaya. “Keabsahan Pengikatan Jual Beli Yang Objeknya Sama Dengan Perjanjian Jual
Beli Dengan Hak Membeli Kembali (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 509
K/PDT/2020).” Indonesian Notary 3 no. 3 (2021): 51. Diakses Mei 30, 2023.
https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss4/3.

PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
2043.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang


Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Lembaran Negara
RI Tahun 2021 Nomor 155. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 6697.

Putusan Pengadilan Negeri Manokwari Nomor 23/Pdt.G/2021/PN. Mnk

Putusan Pengadilan Negeri Manokwari Nomor 40/Pdt.G/2022/PN. Mnk

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara RI
Nomor 59 Tahun 1997.

Peraturan Daerah Khusus Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Pelindungan,
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.
Lembaran Daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2019 Nomor 09. Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 97.

Anda mungkin juga menyukai