Revisi Uts Uas Mppkih Alif Permana 010002004004
Revisi Uts Uas Mppkih Alif Permana 010002004004
NO URAIAN KETERANGAN
1 Tema : Pertanahan
2 Judul : Pengaturan dan Pandangan Masyarakat Adat Suku
Arfak Kabupaten Manokwari tentang Jual
Beli/Ganti Kerugian Tanah Hak Ulayat Kepada
Perorangan dan/atau Badan Hukum untuk
Pembangunan bagi Kepentingan Umum
3 Permasalahan : 1. Bagaimana pengaturan tentang jual
beli/ganti kerugian tanah hak ulayat
berdasarkan peraturan perundang-
undangan?
2. Bagaimana pandangan masyarakat adat
suku Arfak kabupaten Manokwari provinsi
Papua Barat tentang jual beli/ganti kerugian
tanah hak ulayat kepada perorangan
dan/atau badan hukum untuk pembangunan
bagi kepentingan umum?
3. Apakah pandangan masyarakat suku Arfak
kabupaten Manokwari provinsi Papua
Barat tentang jual beli/ganti kerugian tanah
hak ulayat kepada perseorangan dan/atau
badan hukum untuk pembangunan bagi
kepentingan umum sudah sesuai dengan
pengaturan tentang jual beli/ganti kerugian
tanah hak ulayat?
4 Bidang hukum : 1. Hukum Perikatan
2. Hukum Agraria
3. Hukum Adat
5 Tingkat kedalaman Menggambarkan (deskriptif), dan mengetahui
(eksploratif)
6 Fakta penyebab : - Maraknya gugatan pihak yang merasa
timbulnya permasalahan sebagai pemegang hak sesungguhnya
kepada perorangan dan/atau badan hukum
pemegang sertifikat hak atas tanah
- Pihak-pihak yang mengajukan gugatan
merasa tidak pernah melepaskan haknya
atas tanah-tanah ulayat tersebut
- Gugatan diajukan diatas 5 (lima) tahun
setelah terbitnya sertifikat, telah berdiri
bangunan permanen untuk kepentingan
bisnis perorangan maupun kepentingan
umum
- Pemegang sertifikat telah melakukan jual
beli dan/atau pembayaran ganti rugi kepada
masyarakat hukum adat, sehingga badan
pertanahan menerbitkan sertifikat
7 Peraturan dan putusan : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
terkait (burgerlijk Weetbook)
2. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
3. UU No. 21 Tahun 2001 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU No. 2 Tahun
2021 tentang Otonomis Khusus bagi
Provinsi Papua
4. PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah
5. Peraturan Daerah Khusus Provinsi Papua
Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang
Pedoman Pengakuan, Perlindungan,
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat
dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat
6. Putusan PN Manokwari Nomor
23/Pdt.G/2021/Pn.Mnk
7. Putusan PN Manokwari Nomor
40/Pdt.G/2021/Pn.Mnk
8 Hasil penelitian : Jurnal
sebelumnya mengenai 1. Sem, Sanjaya. “Keabsahan Pengikatan Jual
topik yang sama Beli Yang Objeknya Sama Dengan
Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli
Kembali (Studi Putusan Mahkamah Agung
RI No. 509 K/PDT/2020),” Indonesian
Notary 3 no. 3 (2021).
2. Arif, Rahmadi. (2022). “Urgensi Penetapan
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
terkait kebijakan Pelayanan Pertanahan di
Papua,” Jurnal Tunas Agraria 5 no.1
(2022).
3. Lastuti, Abubakar. “Revitalisasi Hukum
Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam
Membangun Sistem Hukum Indonesia,”
Jurnal Dinamika Hukum 13 no 5 (2013).
Buku
1. J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang
Lahir Dari Perjanjian, Buku I. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.
2. Sigit, Sapto Nugroho. Pengantar Hukum
Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam,
2016.
3. Soerjono, Soekanto. Hukum Adat
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1983.
4. Soerjono, Soekanto. Pengantar Penelitian
Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 2010.
5. Van Dijk. Diterjemahkan A. Soehardi.
Pengantar Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Sumur Bandung, 1971.
6. Zakiyah,. Hukum Perjanjian, Teori dan
Perkembangannya. Yogyakarta: Lentera
Kreasindo, 2015.
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Penulisan Karya Ilmiah Hukum
Oleh:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2023
A. Latar Belakang
Di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk
perekonomiannya masih bercorak agraria, bumi, air, dan ruang angkasa sebagai karunia Tuhan
Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil
dan makmur. Hukum agraria yang telah mengalami unifikasi dengan dihapusnya dualisme
hukum tanah ciptaan Belanda dan lahirnya Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria
nomor 5 tahun 1960, bertujuan untuk mencapai tujuan negara yaitu meningkatnya
perekonomian nasional melalui pembangunan. Di sisi lain, dalam mewujudkan perekonomian
nasional yang maju dan meningkat, hukum agraria sebagai hukum tanah nasional juga
menjamin eksistensi hubungan hukum antara manusia Indonesia baik secara perorangan
maupun komunal dengan permukaan bumi atau yang disebut tanah. Hubungan hukum secara
komunal antara manusia Indonesia dengan tanah atau yang disebut hak masyarakat adat atas
tanah menjadi landasan dalam UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Selain di dalam hukum tanah nasional, konstitusi juga memberi pengakuan dan
penghormatan kepada masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya1. Hak-hak
tradisional ini termasuk hak atas tanah, berupa seperangkat hak untuk menguasai,
mempertahankan, mengalihkan, dan memanfaatkan tanah untuk memperoleh keuntungan
ekonomi. Hak-hak masyarakat adat atas tanah dalam hukum tanah nasional dikenal sebagai hak
ulayat masyarakat adat yang pelaksanaannya sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh
bertentangan dengan Undang-Undang2.
Hak-hak atas tanah bagi perorangan dan/atau badan hukum yang diatur dan disebutkan
dalam UUPA diantaranya adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain yang sifatnya
sementara. Dalam rangka implementasi pemanfaatan tanah untuk kepentingan ekonomi
masyarakat, negara memberikan surat tanda bukti hak atas tanah dengan jenis-jenis hak
sebagaimana disebutkan sebelumnya kepada perorangan (masyarakat Indonesia) dan/atau
badan hukum dalam bentuk sertifikat. Pemberian sertifikat diselenggarakan dalam kegiatan
pendaftaran tanah oleh badan pertanahan yang berfungsi sebagai jaminan kepastian hukum bagi
pemegang hak untuk mengambil manfaat ekonomi dari tanah yang dihaki, juga sebagai bukti
untuk mempertahankan haknya dari gugatan hukum pihak lain.
“.. Yang dimaksud dengan “mempunyai hubungan antara yang satu dengan yang lain”
adalah, bahwa bilamana dalam perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, yang satu
mempunyai hak, maka pihak yang lain disana berkedudukan memikul kewajiban. Jadi
pembagian disini didasarkan atas perikatan yang muncul dari perjanjian tersebut, apakah
mengikat satu pihak saja ataukah mengikat kedua pihak”
Jual beli tanah diatur dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA),
mengingat UUPA sebagai unifikasi hukum tanah nasional menganut hukum adat, maka
ketentuan-ketentuan jual beli dalam KUHPerdata yang menganut hukum barat tidak dapat
diterapkan3. Meskipun ketentuan jual beli dalam KUHPerdata tidak dikenal dalam hukum
tanah, mengingat jual beli adalah suatu perbuatan hukum perjanjian, ketentuan-ketentuan
tentang syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata tetap berlaku
diantaranya sepakat para pihak yang mengadakan perjanjian, cakap bertindak dimuka hukum
(telah cukup umur dan tidak berada dibawah perwalian atau pengampuan), suatu objek tertentu
dalam hal ini letak luas dan batas tanah yang diperjualbelikan, dan sebab-sebab yang halal yaitu
objek tanah yang diperjualbelikan tidak melanggar hukum, ketertiban umum dan/atau
kesusilaan. Selain itu, karena menganut hukum adat maka jual beli tanah harus memenuhi asas
tunai dan terang, asas tunai adalah pada saat pernyataan penyerahan hak atas tanah, pada saat
itu pula pembeli membayar secara tunai harga yang disepakati sedangkan asas terang
maknanya penyerahan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat berwenang.
3. Sem Sanjaya, “Keabsahan Pengikatan Jual Beli Yang Objeknya Sama Dengan Perjanjian Jual Beli Dengan Hak
Membeli Kembali (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 509 K/PDT/2020),” Indonesian Notary 3 no. 3 (2021);
https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss4/3. Diakses Mei 30, 2023.
2. Masyarakat Hukum Adat
Masyarakat hukum adat, sebagaimana disebutkan Hazairin, dikutip dalam Sorejono
Soekanto Hukum Adat Indonesia (1983: 93,94)
UUD NRI 1945 pasal 18B ayat (2) menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dengan Undang-undang. Kemudian di dalam UU No. 2 Tahun 2021
tentang perubahan kedua atas UU No. 2 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Papua, eksistensi masyarakat hukum adat di Papua kembali ditegaskan pada pasal 1 angka 20
yang menyatakan
“Masyarakat hukum adat adalah warga masyarakat asli Papua yang sejak kelahirannya
hidup dalam wilayah tertentu dan terikat serta tunduk kepada hukum adat tertentu dengan
rasa solidaritas yang tinggi diantara para anggotanya”
Lebih lanjut masyarakat hukum adat di provinsi Papua Barat dimuat dalam Peraturan
Daerah Khusus Provinsi Papua Barat Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan,
Pelindungan, Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wlayah Adat di Provinsi Papua
Barat, yang membagi wilayah adat Doberay dan wilayah adat Bomberay sebagai 2 (dua)
wilayah adat yang masuk dalam wilayah provinsi Papua Barat dari 7 (tujuh) wilayah adat yang
ada di tanah Papua. Wilayah adat Doberay secara dministrasi pemerintahan terdiri dari
kabupaten Manokwari, kabupaten Manokwari Selatan, kabupaten Pegunungan Arfak,
kabupaten Teluk Bintuni, kabupaten Teluk Wondama dan kabupaten Tambrauw. Suku besar
yang mendiami wilayah adat ini adalah suku Arfak, yang secara historis berasal dari daerah
yang kini menjadi kabupaten Pegunungan Arfak memiliki marga/klan besar diantaranya
Mandacan, Indou dan Salabai4.
Berdasarkan literasi keilmuan dan rujukan peraturan perundang-undangan dapat ditarik
kesimpulan bahwa masyarakat adat suku Arfak adalah masyarakat hukum adat yang mendiami
wilayah adat Doberay di provinsi Papua Barat yang mempunyai kesatuan hukum, dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah (wilayah adat) dan air bagi semua
anggotanya.
Di dalam masyarakat adat terdapat suatu tata aturan yang mengatur tingkah laku
masyarakat dan memiliki sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya. Sebagaimana
dikemukakan oleh C. Van Vollenhoven dikutip dalam Sigit Sapto Nugroho dalam bukunya
Pengantar Hukum Adat di Indonesia (2016: 24)
“Hukum Adat adalah keseluruhan antara tingkah laku yang mengatur tingkah laku manusia
dalam kehidupan masyarakat yang merupakan adat dan sekaligus mempunyai atau
memberi sanksi bagi siapa saja yang melanggarnya dan ada upaya memaksa”
“Maka di tempat paling atas haruslah ditempatkan hak milik. Hak milik ini memberikan
kepada pemiliknja, didalam batas-batas jang ditentukan oleh hak-pertuanan, kebebasan
penuh atas tanah. Oleh hak itu ia memperoleh hak untuk melakukan segala transaksi, jang
akan kita bitjarakan nanti (lihat D dan E), j.i. tanah itu boleh didjualnja digadaikan atau
dihubungkantja setjara lain kepada hutangnja atau diturunkannja kepada ahli warisnja.
Perpindahan tanah kepada orang-orang luaran”
Hak ulayat sebagaimana diterangkan Harsono (2008), dikutip oleh Arif Rahmadi adalah
himpunan kewajiban dan kekuasaan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat, yang berkaitan
dengan tanah yang berada di dalam lingkungan tanah kawasannya. 5
4. Kelly Dowansiba, “Mengenal Asal Usul dan Kebudayaan Masyarakat Suku Arfak” Yayasan Lao-Lao Papua,
November 22, 2021, diakses Mei 30, 2023. https://laolao-papua.com/2021/11/22/mengenal-asal-usul-dan-
kebudayaan-masyarakat-suku-arfak/. Diakses Mei 30, 2023.
5. Arif Rahmadi, “Urgensi Penetapan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Terkait Kebijakan Pelayanan Pertanahan
di Papua,” Jurnal Tunas Agraria 5 no. 1 (2022); doi:10.31292/jta.v5i1.170. Diakses Mei 22, 2023.
Transaksi atas tanah adat di berbagai daerah Indonesia memiliki perbedaan istilah
penyebutan tergantung pada penggunaan Bahasa daerah, misalnya di daerah Minangkabau
dikenal perjanjian maro atau belah pinang atau mertelu. Perjanjian belah pinang adalah suatu
perjanjian dalam mana si pemilik tanah mengijinkan orang lain mengerjakan, menanami dan
memetik hasil tanahnya dengan tujuan membagi hasilnya menurut perbandingan yang telah
diperjanjikan sebelumnya. 6 Sedangkan dalam jual beli tanah, masyarakat hukum adat
melepaskan haknya atas tanah ulayat untuk selama-lamanya, yang dalam masyarakat suku-suku
di Papua dikenal dengan pelepasan. Pelepasan hak atas ulayat masyarakat adat yang telah
dinyatakan oleh penguasa adat kepada perorangan dan/atau badan hukum dan telah disepakati
harganya, kemudian oleh pejabat berwenang (PPAT) dibuat dalam suatu akta otentik untuk
selanjutnya didaftarkan kepada badan pertanahan. Badan pertanahan yang menerima akta dan
permohonan penerbitan sertifikat melakukan pengukuran untuk memperoleh data fisik tanah
berupa letak luas dan batas tanah yang dimohonkan, dan meminta keterangan terkait asal-usul
tanah dari pemerintah setempat (kepala kampung) untuk memperoleh data yuridis objek tanah.
Ketentuan-ketentuan tersebut dimuat di dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Setelah memperoleh data fisik dan data yuridis, badan pertanahan
mengumumkan dalam kurun waktu 90 (Sembilan puluh) hari untuk pendaftaran atas
permintaan sendiri (sporadik), apabila dalam kurun waktu tersebut tidak ada keberatan dari
pihak lain maka sertifikat sebagai tanda bukti hak diberikan kepada pemohon.
Selain kepada perorangan, tanah-tanah hak ulayat termasuk hak ulayat masyarakat hukum
adat suku Arfak juga dilepaskan kepada negara untuk keperluan pembangunan bagi
kepentingan umum. Musyawarah adat yang dihadiri dan disaksikan pemerintah daerah
setempat dilaksanakan untuk menyepakati harga ganti kerugian kepada masayarakat adat,
setelah disepakati tanah hak ulayat yang telah dilepaskan oleh masayarakat adat didaftarkan
menurut ketentuan pendaftaran tanah.
Di dalam hukum tanah nasional yang berdasarkan hukum adat, tidak dikenal lembaga
acquisitive verjaring yang dikenal dalam hukum perdata barat, yaitu hilangnya hak gugat
karena telah melewati suatu waktu tertentu “Kadaluwarsa”. Lembaga Verjaring bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang telah menguasai suatu benda
selama kurun waktu tertentu dengan itikad baik dari gugatan pihak lain, karena lembaga ini
tidak dikenal dalam hukum adat sebagaimana telah ditegaskan dalam yurisprudensi putusan-
putusan Mahkamah Agung, misalnya dalam putusan nomor 802 K/Sip/2971 tanggal 22
6. Lastuti Abubakar, “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun Sistem Hukum
Indonesia,” Jurnal Dinamika Hukum 13 no. 2 (2013);
http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/213. Diakses Juni 4, 2023.
Desember 1971 dan putusan nomor 157 K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975 sebagaimana
dirujuk dalam pertimbangan putusan PN Manokwari nomor 23/Pdt.G/2021/Pn Mnk halaman
129
“.. Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi
kelemahan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran tanah, yaitu lembaga
rechtsververking. Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan
tanahnya tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya
dengan itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah tersebut.
Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah karena
diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini”
“I’tikad baik berarti bahwa kedua belah pihak dalam perjanjian harus berlaku yang satu
terhadap yang lain seperti patut saja antara orang-orang sopan, tanpa tipu daya, tanpa tipu
muslihat, tanpa akal-akalan, tanpa menggangu pihak lain, tidak dengan melihat
kepentingan sendiri saja, tetapi juga melihat kepentingan pihak lain”
Perjanjian termasuk jual beli tanah yang dilaksanakan tidak dengan itikad baik dapat
berakibat pada perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata
yang menyatakan bahwa tiap perbuatan yang melawan hukum, yang membawa kerugian pada
orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Sebagai akibat hukum selanjutnya adalah sertifikat yang telah diterbitkan
oleh badan pertanahan, yang alas haknya tidak sesuai hukum atau diperoleh tidak dengan itikad
baik misalnya ganti kerugian atas pelepasan hak ulayat diberikan bukan kepada pemegang hak
ulayat yang sesungguhnya, dan/atau perorangan yang melakukan perjanjian jual beli bukan
dengan pemegang hak ulayat yang sesugguhnya, sepanjang dapat dibuktikan oleh masyarakat
adat bahwa tidak pernah melepaskan haknya maka sertifikat yang telah terbit itu sekalipun
telah melampaui suatu jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan,
dapat dibatalkan.
F. Daftar Pustaka
BUKU
J. Satrio. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Buku I. Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001.
Sigit, Sapto Nugroho. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Solo: Pustaka Iltizam, 2016.
Soerjono, Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983.
Van Dijk. Diterjemahkan A. Soehardi. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Sumur
Bandung, 1971.
JURNAL
Arif, Rahmadi. “Urgensi Penetapan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Terkait Kebijakan
Pelayanan Pertanahan di Papua.” Jurnal Tunas Agraria 5 no.1 (2022): 6. Diakses Mei 22,
2023. doi:10.31292/jta.v5i1.170.
Lastuti, Abubakar. “Revitalisasi Hukum Adat Sebagai Sumber Hukum Dalam Membangun
Sistem Hukum Indonesia.” Jurnal Dinamika Hukum 13 no. 2 (2013): 9, diakses Juni 4,
2023. http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/213.
Sem, Sanjaya. “Keabsahan Pengikatan Jual Beli Yang Objeknya Sama Dengan Perjanjian Jual
Beli Dengan Hak Membeli Kembali (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 509
K/PDT/2020).” Indonesian Notary 3 no. 3 (2021): 51. Diakses Mei 30, 2023.
https://scholarhub.ui.ac.id/notary/vol3/iss4/3.
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor 104. Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
2043.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lembaran Negara RI
Nomor 59 Tahun 1997.
Peraturan Daerah Khusus Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Pelindungan,
Pemberdayaan Masyarakat Hukum Adat dan Wilayah Adat di Provinsi Papua Barat.
Lembaran Daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2019 Nomor 09. Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi Papua Barat Nomor 97.