Anda di halaman 1dari 81

HUKUM

KELUARGA
Indonesia

1
PENGERTIA
N
Pengertian Hukum Keluarga
HUKUM KELUARGA menurut  Ali Affandi : Keseluruhan ketentuan yang
mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).

Menurut Muhammd Amin Summa al ahwal as-syakhshiyyah/


Hukum keluarga dalam literatur Islam (Fiqih) ruang lingkupnya adalah
mencakup Hukum:
(1) perkawinan (al munakahat),
(2) Pengasuhan dan pemeliharaan anak (Hadhanah),
(3) kewarisan dan wasiat (al muwarist/Faraid dan washaya),
(4) perwalian dan pengawasan (alwalayah wal hajr).
3

Family law atau Hukum Keluarga mengatur


hubungan hukum yang bersumber pada pertalian
kekeluargaan. Dengan begitu hukum keluarga
mempunyai bidang-bidang sebagai berikut: 

1. Perkawinan Pada mulanya diatur dalam Bab IV sampai


dengan Bab IX, Buku I KUHPer. Termasuk didalamnya
hukum tentang harta benda perkawinan (yaitu hubungan
harta benda antara suami istri), karena hubungan hukum
harta benda antara suami istri bersumber pada perkawinan.
Ketentuan hak-hal tersebut telah diubah dengan adanya
Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Perkawinan yang bersifat nasional sebagai pengganti
Hukum Perkawinan yang bersumber dari Hukum Barat. 
4

2. Kekuasaan orang tua yaitu hubungan hukum antara orang tua


dan anak mereka, baik yang sah maupun yang disahkan (Bab XII,
Buku I KUHPer). 
3. Perwalian yaitu hubungan hukum antara si wali dan anak yang
berada di bawah perwaliannya (Bab XV, Buku I KUHPer). 
4. Pengampuan (Curatele) yaitu hubungan hukum antara kurator
dan orang yang berada dibawah pengampuannya (kuradus) (Bab
XVII, Buku I KUHPer). 

Sedangkan Hukum Waris mengatur pemindahtanganan harta benda


seseorang setelah ia meninggal dunia. Dengan begitu sebenarnya
Hukum Waris ini merupakan bagian dari Hukum Harta Benda. Akan
tetapi sebaliknya Hukum Waris mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan Hukum Keluarga, dimana bila kita lihat dari sudut
pandang yang berhak mewarisi harta benda yang meninggal
(almarhum) adalah keluarganya. Oleh karena itu Hukum Waris
mempunyai hubungan erat dengan Hukum Harta Benda dan Hukum
Keluarga, maka Hukum Waris diberikan suatu tempat tersendiri di
samping Hukum Harta Benda dan Hukum keluarga.
5

Hubungan Sistem Kekeluargaan di


Indonesia

Sistem Kekeluargaan Sistem Kewarisan

Sistem Perkawinan Sistem Kemasyarakatan


6

Epistemologi Budaya
Hukum keluarga di Indonesia
7

Budaya Hukum Keluarga


di Indonesia
 Kehidupan manusia disemua lini kehidupanpun tidak ada yang steril
dari hukum, artinya hukum sebagai penormaan perilaku sangat penting
agar perilaku masyarakat tidak menyimpang. Peran hukum sangat
tergantung pada negaranya. Pada Negara berkembang, hukum
mengambil peran sebagai kontrol sosial sekaligus sebagai penggerak
tingkah laku ke arah tujuan nasional yaitu peningkatan kesejahteraan dan
keadilan sosial.
 Agar perilaku masyarakat tidak berseberangan dengan hukum tentunya
dibutuhkan kesadaran masyarakt secara total untuk patuh dan taat pada
hukum. Kesadaran itu merupakan jembatan penghubung antara hukum
dengan perilaku masyarakat. Melalui nilai kesadaran tersebutlah, maka
di Indonesia terkait hukum keluarga lahir 3 sistem hukum yang
bergerak saling mengisi, yakni, hukum adat,hukum Islam, dan
hukum Barat yang mempengaruhi sistem hukum nasional
8

PLURALISME
SISTEM HUKUM KELUARGA
DI INDONESIA

HK
KEL
BARA
T
HK
HK KEL
KEL ADAT
ISLAM

HK KELUARGA NASIONAL
9

 secara epistemologis, budaya hukum keluarga di Indonesia saat ini lebih


menonjolkan nilai-nilai agama, yakni Islam dengan tetap
memperhatikan nilai Hukum Adat dan Hukum Barat. Sebagaimana bisa
kita lihat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam saripatinya adalah
fiqh aswaja yang mengedepankan maskulinitas dan secara tidak
langsung memarginalkan unsur perempuan, dan faktanya ternyata belum
membumi di Indonesia terbukti begitu banyak kasus perkawinan di
bawah tangan ( siri), bahkan dilakukan oleh pejabat negara sebagai
pelaksana undang-undang. 

 Oleh karenanya, agar tidak berseberangan dengan hukum yang di


butuhkan, disadari, dan dilaksanakan oleh masyarakat, maka hukum
harus terus perubah dan sebagai unsur penting di dalam kebudayaan,
sudah sangat mengharuskan perubahan paradigma yang lebih responsif
dengan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia saat ini .
10

 Hal ini sebagaimana Lawrence M. Friedman menjelaskan bahwa budaya


hukum adalah nilai-nilai yang mempengaruhi bekerjanya hukum di suatu
negara. Unsurnya adalah ; Pertama, struktur yakni seperangkat kelembagaan
yang dihadirkan demi terlaksananya sistem hukum itu sendiri. Kedua,
substansi yakni produk dari sistem hukum yang bekerja tadi. Ketiga, kultur
yakni nilai-nilai sosial yang mengikat demi bekerjanya sistem hukum tersebut.
 Serta pendapat Ronny R. Nitibaskara yang  memberikan definisi lain tentang
budaya hukum, di mana menurutnya budaya hukum adalah sub budaya yang
bertalian dengan penghargaan dan sikap tindak manusiaterhadap hukum
sebagai realitas sosial. 

 Maka hukum keluarga sudah selayaknya harus terus bergerak sesuai


tuntutan, Masyarakat sehingga tujuan peningkatan kesejahteraan dan keadilan
sosial, dapat tercapai dalam hukum keluarga di Indonesia. Perubahan hukum
sebaiknya menjadi lebih baik dengan menyandarkan pada nilai-nilai
kesetaraan, dengan tidak melihat aspek seksiologi (jenis kelamin) semata,
karena keanekaragaman keluarga dalam budaya lokal sebagai sub sistem
kebudayaan nasional perlu dikembangkan lebih lanjut dengan tetap
mempertahankan kekuatan dan ketahanan budaya daerah. Dimana hal ini.
Secara das sollen dalam al Qur’an juga di tegaskan dalam :
11

  “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
[QS. al-Hujurat : 13]
 Bahkan Rasulullah Muhammad saw dengan jelas menegaskan
 Artinya : “Rasulullah saw bersabda ; Sesungguhnya Allah tidak
melihat bentuk fisik dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat
pada hati dan perbuatan kalian.” [HR. Muslim ].

 Mengkaji ayat al qur’an dan hadist Rasul tersebut karena


sesungguhnya Allah dan Rasul mengedepankan kesetraan tidak
membedakan seks, dan suku bangsa, kecuali ketaqwaannya saja.
 Walaupun secara das sein justru patriarchi dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Indonesia masih tinggi.
PLURALISME
12

MENGAPA
HUKUM PERKAWINAN
DI INDONESIA
PLURAL ??
PERKAWINAN DI Indonesia

PENGERTIAN PERKAWINAN
HK ADAT HK ISLAM HK BARAT
Hilman Hadikusuma Menurut ulama Syafi’iyah tidak ada pengertian
mengartikan hukum adalah suatu akad dengan Perkawinan dalam
perkawinan adat adalah menggunakan lafal nikah atau KUHPerdata
aturan hukum yang zawj yang menyimpan arti
menunjukkan bagaimana wati’ (hubungan intim).
suatu perkawinan itu terjadi Artinya dengan pernikahan
secara majas bermakna
dan berakhir serta akibat–
wat’un.
akibat hukum keperdataan
misalnya hak dan Al-Qur’an Surat An Nisa
kewajiban suami-istri, (4): 21 Mitsaqa Ghalidha
kedudukan anak, harta artinya janji yang sangat kuat,
bersama, hak dan karena hubungan antara laki-
kewajiban orang tua, dll laki dan perempuan yang telah
melakukan Uqdah Nikah
14

UU no.1 tahun 1974 UUP KHI : Inpres no 1/1991

Ps 1 : Perkawinan ialah ikatan lahir Ps 2 : pernikahan, yaitu akad yang


bathin antara seorang pria dengan sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan
seorang wanita sebagai suami isteri untuk mentaati perintah Allah dan
dengan tujuan membentuk keluarga melaksanakannya merupakan ibadah
(rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkn ketuhanan Yang
Maha Esa
Pluralisme Hukum PERKAWINAN Adat

A. Beragamnya Sistem Perkawinan Adat

1. Sistem Endogami
Seseorang hanya boleh kawin dengan orang dari sukunya
sendiri. Contoh: Toraja
2. Sistem Exogami
Seseorang diharuskan kawin dengan orang dari luar
sukunya sendiri Contoh: Gayo, Alas, Tapanuli dll
3. Sistem Eleutherogami
Tidak mengenal larangan dan keharusan yang ada pada
sistem endogami dan exogami. Contoh: Jawa-Madura
Aceh, Irian, Minahasa, Bali, Lombok dll
16

B. Beragamnya Pertalian Perkawinan terkait struktur


kemasyarakatan genealogis :
1 . Dalam susunan Masyarakat geanealogis Patrilineal
bentuk perkawinannya adalah perkawinan jujur YAITU
Kerabat calon suami m’berikan tanda PENGIKAT kpd
kerabat istri, sbg tanda istri keluar dr kerabatnya &
masuk ke dalam kerabat suami
2. Dalam masyarakat geanealogis Matrilineal Bentuk
perkawinannya adalah perkawinan semenda Calon
mempelai pria DILAMAR oleh kerabat wanita
3. Dalam Masyarakat geanealogis Bilateral/ Parental
a. Perkawinan Bebas
b. Perkawinan Mentas
Kedudukan Hukum Perkawinan
Adat dalam Hukum Nasional (UUPerkawinan)

Tidak disebutkan secara jelas, dalam UUPerkawinan No 1/ 1974,


namun dalam UUP ini terdapat beberapa Pasal yang menunjukan
pluralisme hukum yang diambil dari hukum adat dalam Perkawinan
antara lain yaitu:
1. Pasal 2 : Sahnya perkawinan berdasarkan hukum agamanya dan
kepercayaannya
2. Pasal 3. : Kebolehan memiliki istri lebih dari seorang
3. Pasal 37 : Mengenai harta benda diatur oleh hukum masing-masing
(termasuk hukum adat)
4. Pasal 35-36 : mengenai harta perkawinan memuat ketentuan hukum
adat yang dikenal dengan (gono gini ada harta bawaan dan harta
bersama)
18

PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM


Menurut pendapat Ahlusunnah waljamaa’ah ( Suni)
Berpendapat khususnya melihat dari Al Qur’an Annisa (4):
7,11,12,176 bahwa sistem kewarisan Islam adalah patrilinial yang
disimpangkan. Karena ayat –ayat tersebut menurut mereka
menunjukkan bahwa Al Qur’an tetap menarik garis laki-laki dalam
mewarisan dan bila Al Qur’an memberi perempuan waris yang hanya
separuh bagian laki-laki, ini merupakan penyimpangan dari prinsip
patrilinial.

Menurut pendapat Prof Hazairin


Kalau dihubungankan dengan sistem kekeluargaan adat sistem
kekeluargaan yang dikehendaki Islam/ Al-Qur’an adalah Masyarakat
Bilateral menurut Prof. Hazairin disimpulkan dari Al-Qur’an Surat An-
nisa (4) ayat 7, 11, 12, 176 (mengenai hak kewarisan) dan Al-Qur’an
Surat An-Nisa (4) ayat 4, 22, 23, 24 (ayat hukum perkawinan
19

Menurut KOMPILASI HK ISLAM ( INPRES no1 / 1991


Sistem kekeluargaan yang di terapkan dari Mazhab Imam
Syafi’i

Mazhab Maliki Mazhab Hanafi Mazhab Hambali


( Imam Malik) (Imam Abu ( Imam Ahmad
Hanifah) bin Hambal)

a) Wali a) Calon suami a) Wali


b) Mas kawin b) Calon isteri b) Calon suami
c) Calon suami ( aqil baliq) c) Calon isteri
d) Calon isteri c) Saksi ( aqil baliq)
f) Sighat akad/ ijab d) Sighat akad/ ijab d) Sighat akad/ ijab
Kabul. Kabul. e) saksi
20

Rukun perkawinan
Madzab Syafii KHI/ INPRES NO1/1991

a) Calon Suami a). Calon Suami


b) Calon Istri. b) Calon Istri.
c) Wali c) Wali
d) 2 orang saksi d) 2 orang saksi
e) Sighat akad/ Ijab kabul e) Sighat akad/ Ijab kabul
Kedudukan Hukum Islam dalam Hukum Nasional (UUPerkawinan )

Tidak disebutkan secara jelas, dalam UUPerkawinan No


1/ 1974, namun dalam UUP ini terdapat beberapa Pasal
yang menunjukan pluralisme hukum yang diambil dari
hukum agama Islam antara lain :
1. Pasal 2 : Sahnya perkawinan berdasarkan hukum
agamanya dan kepercayaannya
2. Pasal 3 : Kebolehan memiliki istri lebih dari seorang
3. Pasal 6 (6): Syarat perkawinan
4. Pasal 8, 9, 10 : Larangan perkawinan
5. Pasal 11 : Waktu tunggu menikah kembali
6. Pasal 31 (3) :suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu
rumah tangga
22

PLURALISME HUKUM KELUARGA pada


MASA HINDIA BELANDA
Terjadinya pluralisme hukum keluarga karena pemerintah HB
mengeluarkan ketentuan 131 IS (Indische Staatsregeling) dan 163 IS
pada masa Hindia Belanda bahwa

1. orang-orang Indonesia asli ( pribumi )

a. yang beragama Islam berlaku hukum (keluarga/pekawinan)


Islam yang diresiplir dalam hukum adat;

b. orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum


(perkawinan) adat;

c. yang beragama Kristen berlaku Staatsblad 1933 Nomor 74


Huwelijks-ordonnanti Christen Indonesia HOCI  (Ordonansi

Perkawinan Kristen Indonesia)

 
23

b. orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum

(perkawinan) adat;

c. orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen

berlaku Huwelijks-ordonnanti Christen Indonesia 

(Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) Staatsblad 1933 Nomor 74);


Orang Indonesia asli, sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu
peraturan bersama dengan golonganEropa, diperbolehkan menundukkan diri
pada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa. Penundukkan diri ini
boleh dilakukan secara umum atau secara hanya mengenai suatu tertentu
saja;
24

2. Orang Timur Asing. Vreemde Oosterlingen 


Tionghoa dan non Tionghoa (Arab, India ,Pakistan dll
asing non-Eropa )
a. Timur asing Tionghoa dapat berlaku ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel); mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I
(mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan
mengenai “penahanan” pernikahan) tidak berlaku bagi
mereka, sedangkan untuk mereka ada pula
“Burgerlijk Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu
peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal
ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.
25

b. Timur asing non Tionghoa


berlaku ketentuan sebahagian dari Burgerlijk Wetboek, yaitu pada
pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan
harta benda (vermogensrecht), tapi tidak termasuk mengenai hukum
kepribadian dan kekeluargaan (personen en familierecht) maupun
mengenai hukum warisan. Mengenai bagian-bagian hukum yang
terakhir, berlaku hukum mereka sendiri dari negeri asalnya.

3. Orang asing Eropa


berlaku Burgerlijk Wetboek sebagai mana perundang-undangan
yang berlaku di negeri Belanda (asas konkrodansi)
26

Hukum Perdata dan hukum dagang (begitu juga hukum pidana, hukum acara perdata)
disitimatisir diletakkan dalam Kitab Undang Undang, yang dikodifikasikan;

Pluralisme Hukum Perkawinan :

a. Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken), Stbld

1898 No. 158;

b. Ordonansi Perkawinan Indonesia – Kristen Jawa, Minahasa dan Ambon (Huwelijke

Ordonnantie, voor Christen Indonesiers Jawa, Minahasa Ambonina), Stbld 1933

No. 74 jo 36-607 jo LN 1946 No, 136.

c. Kitab Undang Undang Hukum Perdata

d. Undang Undang No. 32 tahun 1954 Tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk

(LN No. 1954 No. 98).


 
27

Asas Perkawinan di Indonesia


Hukum Adat Hukum Islam
1. Asas Perkawinan bertujuan 1. Asas Sahnya perkawinan Harus
membentuk rumah tangga dan memenuhi Rukun dan syarat
hubungan kekerabatan yang pernikahan
rukun,damai, bahagia dan kekal 2. Harus dengan ijin orangtua dan bagi
2. Tidak hanya harus sah dilaksanakan CPP harus di walikan oleh Ayah kandungnya
atau asabah dalam garis keatas, menyamping dan
menurut agama / kepercayaan, tapi
kebawah.
juga harus mendapat pengakuan dari
kerabat 3. Perkawinan monogami terbuka Srt Al
3. harus didasarkan atas persetujuan Q AnNisa ( 3) dan (129)
keluarga dan kerabat 4. Dilakukan setelah akil baliq
4. dapat dilakukan oleh seorang laki-laki 5. kebebasan mencari pasangan
dengan satu atau bbrp orang 6. Perkawinan di dasarkan atas sukarela
perempuan 7. personalitas keislaman; larangan
5. Perkawinan tidak ada batas usia menikahi yang berbeda agama
8.Suami-isteri dengan tugas dan fungsi
yang berbeda karena perbedaan kodrat (sifat
asal, pembawaan). (Q.S. an-Nisa (4) : 43 dan al-
Baqarah (2) ayat 187
Hukum Adat Hukum Islam
28

5. Asas Perceraian ada yang boleh 8. Asas Perceraian sesuatu yang halal
dilakukan ada yang tidak namun hal yang dibenci Allah , Perkawinan
6. Asas Kesetaraan antara suami dan isitri untuk selama-lamanya
didasarkan ketentuan hk Adat 9. Asas kebolehan atau mubah
• Asal hukum melakukan perkawinan jika di
hubungkan dengan al-ahkam al-khamsah adalah
kebolehan atau ibahah.
• Q.S. An-Nisa (4): Ayat (1) Ayat (3): Ayat (24)
• Namun kebolehan ini dapat berubah menjadi sunnah,
meningkat menjadi wajib atau dapat juga turun
menjadi makruh ataupun haram. Perubahan ini dapat
terjadi karena berubahnya illah.
10. Asas kemaslahatan hidupTujuan perkawinan
adalah untuk mewujudkan suatu keluarga dalam rumah
tangga yang ma’ruf (baik), sakinah (tentram), mawaddah
(saling mencintai), dan rahmah (saling mengasihi).
Q.S An Nisa:1
11. Asas menolak mudharat dan mengambil
manfaat
Tujuan perkawinan adalah mencegah melakukan
perbuatan yang keji dan munkar.
KUHPERDATA UU no 1974
1.Menampung segala kenyataan-kenyataan 1. tujuan perkawinan adalah untuk
yang hidup dalam masyarakat bangsa membentuk keluarga yang bahagia
Indonesia dewasa ini. dan kekal
2. Sesuai dengan tuntutan Zaman 2. perkawinan adalah sah jika dilakukan
3. Tujuan perkawinan membentuk keluarga menurut hukum agama dan
bahagia yang kekal kepercayaannya masing – masing,
dan perkawinan yang dilakukan
4. Kesadaran akan hukum agama dan
tersebut menurut ketentuan UUP Psl 2
keyakinan masing-masing warga Negara (1) dan (2) haruslah dicatatkan pada
bangsa Indonesia yaitu perkawinan harus Lembaga Pencatatan
dilakukan berdasarkan hukum agama dan 3. menganut asas monogami terbuka.
kepercayaannya masing-masing 4. menganut prinsip bahwa calon suami
5.Undang- undang perkawinan menganut isteri itu harus telah masak jiwa
asas-asas monogami akan tetapi terbuka raganya
peluang untuk melakukan poligami selama 5. mempersukar terjadinya perceraian
hukum agamanya mengizinkan. 6. pengaturan hak dan kewajiban yang
6. Perkawinan dan pembentukan keluarga seimbang antara suami dan isteri baik
dilakukan oleh pribadi-pribadi yang telah dalam pergaulan masyarakat maupun
matang jiwa dan raganya. dalam kehidupan berkeluarga.
7. Kedudukan suami istri dalam kehidupan
seimbang
Kompilasi Hukum Islam KHI
30

5. Ps 79 Suami adalah kepala keluar, a


1. Asas untuk selama-lamanya dan isteri ibu rumah tangga.  
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat 6. Hak dan kedudukan isteri adalah
atau mitssaqan ghalidzan  Pasal 2 KHI seimbang dengan hak dan kedudukan
2. Perkawinan didasarkan atas persetujuan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
calon mempelai Pasal 16-17 KHI pergaulan hidup bersama dalam
2. persetujuan calon mempelai di hadapan masyarakat
dua saksi nikah.  7. suami istri memiliki hak dan kewajiban
3. Asas kebebasanPasal 18 (tidak terdapat Ps 80, sd 84
halangan perkawinan), 39-44 KHI 8.Asas kemaslahatan hidup PS 3
(larangan perkawinan). 9. Asas kepastian hukum Ps 2(2), Ps 5 -10
perkawinan tidak dpt dilaksanakan dengan 10. Ps 44 Asas personalitas keislaman
paksaan 11. Asas monogami terbuka Ps 3
4. Asas Kemitraan Suami isteri; memikul
kewjiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan
susunan masyaraka, ( pasal 77,78)
   
AZAS SYARIAH KHI UUP
31
Monogami terbuka Qs4:3 Jo Qs 4: 129 Psl 55-59 Pasal 3 UU (1,2)
Psl 4 (1,2) Psl 5
Asas kesukarelaan Hadist Rasulullah SAW dari Abi Hurairah ; Pasal 16 ayat Pasal 6 ayat (1)
Seorang perempuan (boleh) dinikahi karena (1,2)
empat hal: karena hartanya, karena
keturunannya, karena kecantikannya, dan
karena agamanya.
Asas persetujuan H R,ttg seorang yang dipaksa kawin oleh Pasal 17 ayat Pasal 6 ayat
tidak boleh ada orang tuanya dg yang tidak disukainya, dpt (2,3,4); (2,3,4); Pasal 6
paksaa memilih meneruskan perkawinan atau ayat (5)
meminta agar perkawinan tersebut dibatalkan

Asas kebebasan Ibnu Hajar al-’Asqallany menguraikan Pasal 71 (f) Pasal 27 ayat (1)
memilih pasangan hadist tentang perlunya persetujuan calon
isteri terhadap calon suaminyasebelum
akan dilangsungkan akad nikah menulis

Asas kemitraan Al-Baqarah (2): 228 Pasal 77, 78, 79, Pasal 31 ayat (1,
suami-isteri 80, 81, 82,83, 84 2, 3)

Asas untuk selama- An-Nisa Pasal 3 Pasal 1


lamanya (4):21
32

Wali Nikah Saksi Ijab Qabul


Syarat Wali adalah Al Qur’an Surat Al- Harus atas permintaan dari calon
a) Beragama Islam Baqarah (2): 282 suami/ harus jelas, terang
b) Mempunyai hubungan ketentuan jual beli bersambung dan langsung.
darah/ nazab dengan calon yang di qiaskan Ijab : Penawaran dari wali calon
istri misalnya, kakek, ayah, untuk perkawinan isteri
saudara laki-laki, paman, perlunya ada 2 orang Qabul : Penerimaan dari calon
(ditarik dari garis ayah, saksi dalam suami
karena laki-laki adalah perkawinan Akad harus dimulai dengan
pimpinan keluarga). syaratnya adalah : ijab dan dilanjutkan dengan
c) Adil/tidak boleh dalam 1) Muslim qabul
keadaan berbeda 2) Dua orang laki- Materi tidak boleh berbeda,
kepentingan dengan calon laki seperti nama si perempuan
istri. 3) Berakal/ dewasa secara lengkap dengan
(Akhil baliqh) bentuk mahar yang
4) Adil disebutkan
Ijab dan Qabul,
33

Wali Nikah Saksi Ijab Qabul


d) Berakal, dewasa (Aqil diucapkan secara bersambungan
baliq) tanpa terputus walaupun sesaat.
 Wali : 1. Nasab ( Mujbir karena perkawinan itu ditujukan
& Gahaira mujbir) untuk selama hidup
2. Hakim Ijab dan qabul mesti
menggunakan lafaz yang
jelas dan terus terang, tidak
boleh dengang
menggunakan ucapan
sindiran,
UNIFIKASI HK PERKAWINAN
34

Ketentuan Hukum Perkawinan


Sebelum Berlakunya Undang
Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
35

Hukum perkawinan yang berlaku sebelum UUP no 1 /


1974 adalah
1. KUHPerdata .
2. dengan tetap memperhatikan hukum
keluarga / perkawinan Adat
3. Hukum Keluarga Islam sebagai mana di
tuliskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD45
36

Prinsip memasukkan hukum agama dalam UUP, hal yang berbeda


dengan Beberapa pasal yang secara prinsipil dari pemerintah Hindia
Belanda yang mengesampingkan ketentuan hukum agama

1. Pasal 81 KUHPERDATA yang menyatakan bahwa tiada


upacara agama apa pun dibolehkan berlangsung sebelum
kedua belah pihak menyatakan kepada pemuka agama
bahwa pernikahan mereka telah terjadi (berlangsung)
dihadapan pencatatan sipil.
2. Pasal 82 KUHPERDATA yang mengatur ancaman denda
bagi pegawai catatan sipil yang melanggar Pasal 81
KUHPERDATA ini.

Pasal 82 KUHPERDATA telah dicabut dan perihal acaman hukum sekarang hanya
diberikan kepada pemuka agama, dan diatur dalam Pasal 530 KUHPIDANA.
37

Konsepsi Hukum Perkawinan Menurut Undang Undang No. 1


Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pasal 1 Undang Undang No.1 Tahun 1974


Tentang perkawinan dinyatakan arti
perkawinan, yaitu : “Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang
berbahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa ”
38

4. Buku I KUHPERDATA Bab 10 :


 Bagian 2 tentang putusnya perkawinan setelah pisah meja dan
ranjang;

 Bagian 3 tentang perceraian;

 Bagian 4 tentang pisah meja dan ranjang :


Pasal 200 - Pasal 249
pasal-pasal perceraian yang berlaku bagi golongan Eropa tanpa
kecuali, artinya juga berlaku terhadap golongan Eropa yang
beragama Khatolik, dimana dianggap bertentangan dengan ajaran
agama Khatolik yang melarang adanya Perceraian karena
perkawinan itu adalah sakramen dari Tuhan.
39

5. Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158


(Peraturan Perkawinan Campuran) :

Pasal 7 ayat 2 GHR : perbedaan agama, bangsa


atau asal itu sama sekali bukanlah menjadi
halangan untuk perkawinan itu.
(Jadi melalui pasal ini, maka terjadi perkawinan campuran
dimungkinkan, diantara golongan agama)
40

3. Pasal 530 KUHPIDANA :

Ayat (1) : pemuka agama yang melakukan upacara agama


tentang perkawinan yang hanya dapat dilakukan dimuka
pegawai pencatatan sipil, jika pemuka agama belum mendapat
pernyataan dari kedua belah pihak yang kawin itu bahwa mereka
telah kawin dihadapan pegawai pencatatan sipil, dihukum
dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah;

Ayat (2) : jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum


lewat dua tahun sejak penghukuman dahulu terhadap si bersalah,
karena pelanggaran itu juga menjadi tetap, maka hukuman denda
itu boleh diganti dengan hukuman kurungan selama-lamanya
dua tahun.
41

6. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa


dan Ambon, S. 1933 No. 74 (Huwelijks Ordonantie voor
Christelijke Indonesia / HOCI)

ketentuan ini merupakan salinan dari pasal-pasal yang ada dari


BW tentang hukum perkawinan, sehingga meskipun
ordonansi ini diperuntukan seseorang yang memeluk agama
Kristen namun tetap lebih mengutamakan unsur
keperdataannya saja.
42

7. pencatatan perkawinan dan perceraian :

Catatan Sipil
Golongan (Burgerlijke Stand)
Eropa S. 849 – 25 jis S.
1946 – 136;

S. 1917-130 JIS, Golongan.


S.1946-136 Thionghoa

Gol. Indonesia
Kristen di Jawa, S. 1933 – 75 jis
Minahasa dan S. 1939 – 288.
Ambon,
43

8. pencatatan perkawinan orang Indonesia yang beragama Islam dimana


ketentuan pencatatan pada awalnya tidak perlu dicatatkan, namun
kemudian diharuskan untuk melakukan pencatatan dengan
dikeluarkannya ketentuan yang mengalami beberapa kali perubahan,
yaitu :

Huwelijksordonantie S. 1929 – 348 jo S. 1931 – 467 yang


dikeluarkan pada tahun 1929,

Huwelijksordonantie Buitengewesten S. 1932 - 482 pada tahun


1932, dan Vorstenenlandsche

Huwelijksordonantie S. 1933 – 98 pada tahun 1933.


UU NO. 1 / 1974
TENTANG PERKAWINAN

Pasal 66
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan perkawinan berdasarkan atas Undang- undang ini,
maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933
No.74 ), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah
diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
45

Hukum Perkawinan saat ini


 joUU no. 16 tahun 2019 Tentang perubahan
UUP no 1 tahun 1974
 Lex specialist de rogat generalis Kompilasi
Hukum Islam (inpres no 1tahun 1991)
46
Pasal 1, 2 ayat (1);
Pasal 6 , Pasal 8 sub f ;
Pasal 29 (2), Pasal 51
UNSUR
ayat (3);

Agama
Pasal 35 sd 37; Pasal 4 (2)c
Pasal 7 (1)&(2)
hk Adat Biologis

uu no.1th
Pasal 1 kekal abadi
1974 Sosiologis
Pasal 45;
Pasal7;

Monogomi
Yuridis
terbuka
Pasal 2(2); Pasal 3
Pasal6 (1); Pasal 7(1)
Pasal 9, Pasal 11)
Pasal 3 (1), ( 2) PP No.9 /1975 Bab II&III
Pasal 5
47

Materiil Umum :
Syarat a. Pasal 6;
Materiil b. Pasal 7;
c. Pasal 9;
d. Pasal 11

Syarat
Materiil Khusus :
perkawinan a. Pasal 8,9, 10 :
Menurut UU No.1 b. Pasal 6
Tahun 1974
Syarat
Formil a. Pemberitahuan ;
(PP No. 9 b. Penelitian;
Thn 1975) c. Pengumuman;
d. Pencatatan.
48

Syarat perkawinan
49

Pencatatan Perkawinan Menurut Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

 Pasal 2 ayat (2) Undang Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, yang menyebutkan bahwa : “Tiap – tiap perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

 Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 :


“(1) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat
sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan nikah,
talak dan rujuk.
50

(2) Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkannya perkawinan


menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh
pegawai pencatat perkawinan pada kantor pencatatan sipil sebagaimana dimaksud
dalam perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan – ketentuan yang khusus berlaku


bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku,
tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3
sampai Pasal 9 PP ini”.
51

 akta perkawinan itu dapat diperpergunakan, terutama sebagai


salah satu alat bukti tertulis yang sifatnya otentik, dan melalui
akta ini salah satu pasangan suami isteri tersebut dibenarkan
untuk melakukan upaya pencegahan suatu perbuatan lain yang
dapat mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak dalam
ikatan perkawinan tersebut.

akta perkawinan tersebut dianggap sebagai alat bukti yang kuat, dan akta perkawinan tersebut mempunyai 3
macam sifat :

alat bukti yang Alat bukti


bersifat mutlak alat bukti yang
yang memaksa
penuh
52

Kesulitan yang timbul akibat tidak adanya akta perkawinan :


1. Berkaitan dengan Hubungan suami – isteri dalam perkawinan,
bahwa dengan tidak adanya bukti otentik yang menyatakan bahwa
suami isteri tersebut terikat dalam perkawinan yang sah, maka
dapat saja sewaktu-waktu pihak suami menghilang atau
meninggalkan si isteri, sehingga pada akhirnya si isteri yang
harus menanggung semua biaya hidup atau nafkah termasuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anaknya.
2. Bila terjadi perceraian, sedangkan perkawinannya tidak memiliki
bukti otentik, maka sulit bagi si isteri untuk memperoleh
tunjangan nafkah dari mantan suaminya sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 41 sub c UUP, bahwa Pengadilan dapat
mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan / atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
isteri.
53

3. Berkaitan dengan status anak yang lahir


dalam perkawinan tersebut, dimana dengan
tidak adanya bukti otentik perkawinan kedua
orang tuanya, maka status anak dapat
disebut sebagai anak luar kawin.

4. Dalam hal pewarisan, terdapat kemungkinan


isteri tidak memperoleh bagian dari harta
warisan tersebut yang seharusnya ia dapat
turut menjadi ahli waris.
54

Alasan tidak dilakukan pencatatan


perkawinan :
1. Pasang suami isteri tidak mengetahui bahwa perkawinan yang
dilangsungkan oleh mereka wajib untuk dilakukan pencatatan perkawinan;

2. Letak lokasi pencatatan perkawinan berada jauh dari tempat


dilangsungkan perkawinan oleh para pihak;

3. Para pihak mengetahui bahwa perkawinan tersebut harus dicatatkan


namun sengaja mengesampingkannya.

4. Pihak pria sengaja mengesampingkan pencatatan perkawinan untuk dapat


melangsungkan perkawinan lebih dari satu kali tanpa ijin dari isteri
terdahulu.
 
 
AKIBAT HUKUM

DALAM
PERKAWINAN YANG
SAH
55
56

Undang Undang Perkawinan terbagi ke dalam 3 macam, yaitu


:
1. Akibat hukum yang timbul diantara suami dan isteri satu
sama lain dan hubungan mereka dengan masyarakat luas;

2. Akibat hukum yang timbul terhadap harta benda dalam


perkawinan;

3. Akibat hukum antara hubungan suami – isteri sebagai orang


tua terhadap anak- anak yang lahir dalam perkawinan
tersebut.
57

1.Akibat hukum yang timbul diantara suami isteri satu sama lain dan hubungan mereka dengan masyarakat luas;

 Pasal 30 UUP bahwa : “Suami isteri memikul kewajiban yang


luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat’’
 Pasal 31 UUP bahwa :

“(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan


hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat;
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan
perbuatan hukum;
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah
tangga”
58
 Pasal 32 UUP, bahwa : “Suami isteri harus mempunyai
tempat kediamannya yang tetap, dan rumah tempat kediaman
yang dimaksud itu ditentukan oleh suami isteri secara
bersama-sama”
 Pasal 34 UUP, bahwa :

“(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan


segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga
sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik –
baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.”
59

PERBEDAAN HUBUNGAN SUAMI


ISTERI MENURUT UUP DAN
BWBW
UUP (KUHPERDATA)
Suami adalah kepala keluarga dan isteri  Suami adalah kepala keluarga,
ibu rumah tangga :
sedang isteri harus taat dan patuh
kepada suaminya (Maritale Macht)
-Suami wajib melindungi isterinya dan
memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan kemampuannya;
-Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan suami dimungkinkan untuk
hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah mengurus dan
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat; menentukan :
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya
1. Harta kekayaan bersama;
masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada
Pengadilan. 2. Sebagian besar kekayaan milik
isteri;
3. Persoalan yang menyangkut
tentang kekuasaan orang tua.
60

UUP BW (KUHPERDATA)
 Akibat hukumnya : Akibat
1. Masing-masing pihak berhak
hukumnya :
1. Isteri harus mengikuti ke WN
untuk melakukan perbuatan
hukum;
suaminya (UU ke WN no.
62/1958);
2. Suami isteri memikul
kewajiban yang luhur untuk 2. Suami menentukan tempat
menegakkan rumah tangga kediaman bersama (Pasal 21
yang menjadi sendi dasar KUHPerdata);
dari susunan masyarakat; 3. Suami berhak menentukan
3. Suami isteri harus pada tingkat terakhir apabila
mempunyai tempat timbul perselisihan antara
kediamannya yang tetap, dan kedua orang tua dalam
rumah tempat kediaman yang menjalankan kekuasaan orang
dimaksud itu ditentukan oleh tua (Pasal 300 (1)
suami isteri secara bersama- KUHPerdata).
sama.
61

2. Akibat hukum yang timbul dalam harta benda dalam perkawinan;

 Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan ini ada dalam


Pasal 35 s/d 37 UUP

 Undang undang membedakan antara harta yang diperoleh


selama perkawinan dan harta bawaan yang tetap menjadi milik
pribadi masing-masing suami isteri.

 pasal36 ayat (1) dan (2) bahwa : “mengenai harta bersama,


suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua
belah pihak, Sedangkan mengenai harta bawaan masing-
masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya”.
62

Harta Perkawinan Menurut UUP :

harta milik pribadi dari masing-masing


antara suami isteri, antara lain adalah : harta bersama ialah :
 Harta yang dibawa masing-
masing ke dalam perkawinan • Harta yang diperoleh sepanjang
termasuk di dalamnya hutang- perkawinan berlangsung;
hutang yang belum dilunasi; • Harta yang diperoleh sebagai hadiah/
 Harta benda yang diperoleh pemberian atau warisan apabila
sebagai hadiah / pemberian kecuali ditentukan demikian;
ditentukan lain; • Hutang-hutang yang timbul selama
 Warisan yang diperoleh masing- perkawianan berlangsung, kecuali
masing, kecuali ditentukan lain; yang
Hasil-hasil dari milik pribadi masing- merupakan hutang pribadi masing-
masing sepanjang perkawinan masing suami isteri.
berlangsung, termasuk hutang-
hutang yang ditimbulkan dalam
melakukan pengurusan harta milik
pribadi tersebut.
63

 Harta perkawinan menurut BW :


harta bersama atau harta masing-masing
 Harta perkawinan menurut KHI :
 Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau
isteri (Pasal 85 KHI);
 Pada dasarnya tidak ada pencampuran harta suami

dan harta isteri karena perkawinan (Pasal 86 ayat 1 KHI);


 Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi penuh
olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami
dan dikuasi penuh olehnya (Pasal 86 ayat 2 KHI).
64

3. Akibat hukum antara hubungan suami – isteri sebagai orang


tua terhadap anak- anak yang lahir dalam perkawinan

 Hak dan kewajiban tersebut diatur dalam pasal 45 s/d 49 UU


Perkawinan;
 Undang Undang Perkawinan tersebut mengandung prinsip-
prinsip, sebagai berikut :
1. Kekuasaan orang tua berada di tangan dan dilaksanakan oelah kedua
orang tua;
2. Kekuasaan orang tua berlangsung sampai batas-batas waktu yang
ditentukan dalam undang undang;
3. Kekuasaan orang tua berlaku selama orang tua tersebut menjalankan
tugasnya dengan baik, disertai dengan kemungkinan pencabutan
kekuasaan orang tua berdasarkan alasan-alasan yang menyangkut
pelaksanaan tugas.
65
 Kekuasaan orang tua itu dapat mengenai 2 hal yaitu :
1. Kekuasaan orang tua terhadap diri pribadi si anak;
2. Kekuasaan orang tua terhadap harta benda si anak;

 Kekuasaan orang tua ini dapat berakhir apabila :


 Si anak mencapai usia 18 tahun;
 Si anak telah melangsungkan perkawinan;
 Si anak dapat berdiri sendiri;
 Kekuasaan orang tua dicabut.
66

Putusnya perkawinan menurut pasal 38 UUP :

Kematian

Perceraian

Keputusan Pengadilan
67

Putusnya perkawinan karena kematian

Pada dasarnya UUP tidak mengatur


secara khusus mengenai putusnya
perkawinan karena kematian.

Akibat hukum yang muncul dalam putusnya perkawinan


karena kematian dapat dianggap sama dengan akibat
hukum karena perceraian, khususnya tentang pengurusan
anak (muculnya perwalian – Pasal 50 – 54 UUP) dan
pengaturan harta bersama dalam perkawinan (Pasal
37 UUP)
68

PERCERAIAN

• lebih ditujukan kepada kaum suami yang


Cerai beragama Islam.
• Tata Cara : Pasal 15 hingga Pasal 18 PP No.
talak Tahun 1975.

• dapat diajukan oleh suami atau isteri perkawinannya


dilangsungkan menurut agama dan kepercayaannya selain
agama Islam, dan dapat pula diajukan oleh seorang isteri
perkawinannya dilangsungkan berdasarkan agama Islam
Gugat • Tata cara : Pasal 20 sama dengan 35 PP No. Tahun 1975
(Pasal 36 tidak lagi berlaku sejak dikeluarkannya Undang
Cerai Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama)
69

Upaya perceraian itu dipersukar oleh UUP dengan cara, sebagai


berikut :

a. Pasal 39 (1) UUP perceraian harus dilakukan dihadapan


sidang pengadilan dan hakim harus
terlebih dahulu mengusahakan
perdamaian diantara para pihak;

b. Pasal 39 (2) UUP jo Pasal 19 PP 9/75 salah satu alasan


perceraian adalah
tidak dapat hidup
rukun sama sekali
antara suami isteri;

c. Pasal 39 (3) UUP tata cara perceraian diatur dalam


peraturan perundang-undangan yang
khusus, yaitu PP 9 Tahun 1975 dimana
dibagi dalam 2 macam, yaitu talak dan
gugat cerai.
70

Akibat hukum dari perceraian :

Bapak bertanggung jawab atas semua


biaya pemeliharaan dan pendidikan
Baik ibu atau bapak yang diperlukan anak-anak yang lahir Pengadilan dapat
dalam perkawinan tersebut;
tetap berkewajiban mewajibkan bekas suami
untuk memelihara Pengadilan pun dapat menentukan untuk memberikan biaya
bahwa ibu pun turut serta memikul
dan mendidik anak- biaya pemeliharaan dan pendidikan
penghidupan bagi bekas
anaknya; anak-anaknya jika bapak dalam isteri.
kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut;
71

Putusnya perkawinan karena keputusan pengadilan


• Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
Pasal 22 untuk melangsungkan perkawinan.
UUP

• Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri .
Pasal 25
UUP

• Alasan pembatalan :
• Salah Satu pihak karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak;
Pasal 24 • Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan
dan Pasal dibawah ancaman yang melanggar hukum.
27 UUP • Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya
perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri .

• Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap :


• Anak – anak yang dilahirkan dalam perkawinan;
• suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas
Pasal 28
adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
UUP
• Orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak dengan itikad baik sebelum keputusan pembatalan mempunyai kekuatan
hukum tetap.
PERKAWINAN YANG
DILANGSUNGKAN DI
LUAR NEGERI

72
73

Pengertian tentang perkawinan yang dilangsungkan di luar


negeri

Pasal 56 ayat (1) : Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua
orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara
Indonesia dengan warga negara Asing.

(2) : Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu


kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di kantor pencatatan
perkawinan setempat.
74

Bagi mereka yang berwarga negara Indonesia, perkawinan tersebut tidak


boleh melanggar ketentuan yang diatur dalam Undang Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, disamping juga memperhatikan hukum yang berlaku
di mana perkawinan tersebut dilangsungkan.

terdapat kaidah bidang hukum lain yang perlu diperhatikan oleh kedua calon mempelai
tersebut, yaitu bidang hukum yang berkaitan dengan Hukum Perdata Internasional .

Hukum perkawinan berlaku Pasal 16 Algemen Bepalingen (AB), dimana Indonesia


dalam hal ini memakai prinsip nasionalitas. Dari Pasal 16 AB ini dapat
disimpulkan bahwa para warga negara Indonesia yang berada di luar negeri dan
hendak menikah harus memenuhi semua syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum
Indonesia sebagai hukum nasionalnya.
75

R A N
AM PU
A N C
AWI N
PERK
76

Pengertian Perkawinan Campuran


perkawinan campuran terdahulu dalam GHR S. 1898 No. 158,
pasal 1 adalah :
• Perkawinan antara orang – orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan.

Perkawinan campuran (sekarang) dalam UUP Pasal 57


adalah :
• Perkawinan antara dua orang di Indonesia tunduk pada hukum yang
berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia
77

Tata cara dan syarat-syarat melakukan perkawinan


campuran di Indonesia diatur dalam Pasal 57 sampai
dengan Pasal 62 UUP, antara lain yaitu :

1. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia


dilakukan menurut Undang Undang No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan (pasal 59 UUP)
Artinya, prosedural formal harus mengikuti tata cara
perkawinan di Indonesia.

2. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum


terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan
oleh hukum yang berlaku pihak masing-masing telah
terpenuhi. (pasal 60 UUP)
78

PUTUSAN MK TTG PERKAWINAN


Keganjilan terjadi dalam proses perubahan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
DPR dan Pemerintah telah menyetujui bersama RUU tentang Perubahasan atas 
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk disahkan menjadi Undang-
Undang, pada 16 September lalu. Mayoritas fraksi setuju pada naiknya batas
minimal usia perkawinan. Fokus anggota Dewan dan pemerintah lebih pada
materi muatan pasal yang diubah, yakni Pasal 7 dan tambahan Pasal 65A UU
Perkawinan.
Sebagaimana terbaca dari kondiserannya, perubahan UU Perkawinan dilakukan
guna mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi No. 22/PUU-XV/2017.
Putusan ini menegaskan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan dan 19
tahun bagi laki-laki adalah diskriminasi. Karena itu, Mahkamah Konstitusi
menyatakan batal ketentuan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan. Mahkamah
Konstitusi juga “memerintahkan” agar DPR dan Pemerintah melakukan UU
Perkawinan paling lambat 3 tahun sejak putusan dibacakan.
79

Sebelum lewat batas waktu tiga tahun itu, DPR dan pemerintah sudah
melahirkan UU Perkawinan baru. Sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, salah satu materi muatan
Undang-Undang adalah menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi.

UU Perkawinan ini jelas dalam konteks melaksanakan putusan Mahkamah


Konstitusi, namun Mahkamah Konstitusi yang menyangkut UU Perkawinan tak
ikut diubah.

Pertama, putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010. Pasal 43 ayat (1) UU


Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukum
mengikat. Pasal ini menyebutkan “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Persidangan kasus ini menyita perhatian publik, bahkan mendapat perhatian dari
kalangan akademisi setelah putusan karena sejak putusan itu anak luar kawin
mempunyai hubungan darah dengan ayak biologisnya sepanjang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
80

Bahkan dalam amarnya, MK sudah membuat rumusan sehingga tak sulit bagi DPR dan
Pemerintah untuk memasukkannya ke dalam revisi UU Perkawinan. Pasal itu, menurut MK,
seharusnya dibaca: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut
hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.

Putusan kedua adalah putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya, MK


menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang
tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan
kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut”.

Putusan ini telah memperluas waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Selama ini, UU
Perkawinan hanya mengatur perjanjian pranikah (prenuptial agreement). Dengan putusan
MK, maka kedua pihak dapat membuat perjanjian baik sebelum maupun selama masih dalam
ikatan perkawinan. Asalkan kedua pihak setuju, dan perjanjian itu disahkan pegawai pencatat
perkawinan atau notaris.
(
81

kewajiban DPR dan Pemerintah menindaklanjuti putusan MK


sebagaimana disebut dalam Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011.
DPR dan pemerintah tidak bisa hanya memilih satu putusan,
lalu putusan lain diabaikan. Jika demikian halnya, proses
pembahasan dapat dinilai kurang cermat.
.
Terlewatnya dua putusan MK dalam revisi memperlihatkan
ketidakcermatan dalam proses pembahasan revisi UU
Perkawinan. Seyogianya, pasal-pasal lain UU Perkawinan yang
sudah dibatalkan MK juga ikut dibahas dan direvisi. Ternyata,
hanya pasal usia minimal perkawinan yang direvisi. “Hasilnya,
hasil pembahasan menjadi tidak komprehensif,” ujar dosen
yang menulis disertasi tentang perundang-undangan ini.

Anda mungkin juga menyukai