Anda di halaman 1dari 7

KONSEP PERWALIAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM

PERDATA BARAT DAN HUKUM ISLAM

PENDAHULUAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku sekarang di
Indonesia, telah dilakukan beberapa kali pembaharuan. Sistem hukum bukan
merupakan kesatuan hukum, ia mempunyai sifat hukum yang beraneka
ragam dan pluralistis. Artinya semua golongan etnis tunduk pada hukumnya
sendiri. Bagi golongan rakyat eropa berlaku hukum pada BW ( Burgerlijk
Wetboek) Atau yang kita kenal sebagai Hukum Barat.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam atau disingkat dengan (KHI) yang
pada tanggal 10 Juni 1991, mendapat legalisasi pemerintah dalam bentuk
Instruksi Presiden kepada Menteri Agama untuk digunakan oleh Instansi
Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya. Instruksi itu
dilaksanakan dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tanggal 22 Juli
1991. Maka dengan demikian bahwa baik itu, KUHPerdata (BW), Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 maupun Kompilasi Hukum
Islam, tidak akan terlepas pembahasannya mengenai perwalian, karena
definisi daripada Hukum Perdata tersebut yaitu hukum yang mengatur
tentang kepentingan perseorangan dalam hal keperdataan.

Banyak sekali hal yang diatur dalan Hukum Perkawinan, salah satunya
yaitu Perwalian (voogdij). Kata Perwalian awalnya berasal dari kata wali, yang
artinya seseorang atau lembaga yang memiliki hak asuh sebagai orang tua
terhadap anak. Menurut Subekti dijelaskannya bahwa. Seorang wali, adalah
orang yang mengawasi terhadap anak yang di dalam undang-undang
disebutkan masih dibawah usia 18 tahun, dan tidak memiliki orang tua juga
tidak ada yang mengurus benda atau kekayaan anak tersebut. Undang-
Undang yang dimaksud misalnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, mengatur tentang Perwalian pada Bab XI, dan menjelaskan
diantaranya bahwa Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di
bawah kekuasaan orangtua, berada di bawah kekuasaan wali (Pasal 50 ayat
1). KUHPerdata, mengatur tentang Perwalian, dalam Buku Ke satu Bab XV di
bawah judul tentang Kebelumdewasaan dan Perwalian. Di samping itu,
perwalian juga diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak pada Bab VII di bawah judul tentang Perwalian.

PEMBAHASAN
A. Hukum Perdata Barat
Dalam Bahasa Indoneisa Burgelijk Wetboekataulebih dikenal dengan
KUH Perdata. Jika dilihat dari sejarah, produk hukum ini berasal dari Belanda
yang membawa sistem hukum nya ke Indonesia pada masa penajajahan.,
berdasarkan asas konkordansi. pada awalnya diberlakukan sistem hukum ini
hanya berlaku bagi orang keturunan Belanda (termasuk di dalamnya orang
Eropa dan Jepang), namun setelah Indonesia merdeka masyarakat Indonesia
masih saja menggunakan hukum ini untuk menyelesaikan masalah-masalah
perdata. Hukum ini dibuat pada awal abad ke 18 dan diimplementasikan di
Indoneisa pada abad 19. Hariyanto, (2009) juga berpendapat bahwa
KUHPerdata (BW) ini, ada beberapa pasalnya yang sudah ketinggalan zaman,
yang berarti sudah tidak ada relevansi nya lagi dengan kebutuhan masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, masyarakat sangat berharap kepada pemerintah
Indonesia atau badan legislatif agar merubah beberapa undang-undang yang
sudah tidak ada relevansi nya lagi dengan kebutuhan masyarkat sekarang,
berdasarkan asas konkordansi, dan juga secara hukum pada sifat nya harus
mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat pada saat itu.
Karenanya hakim nantinya dalam menafsirkan pasal-pasal yang terdapat
dalam BW tersebut harus mengedepankan keadilan. Selanjutnya dengan
harapan semoga badan legislatif mampu membuat hukum perdata nasional
yang mampu diterima oleh semua kalangan masyarakat, dimana belanda
sendiri sudah melakukan modernisasi terhadap Burgelijk Wetboek lamanya.
Salah satu produk hukum dari KUHPerdata adalah munculnya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan tersebut
mengatur segala permasalahan hukum terkait perkawinan. Seperti mengatur
bagaimana perkawinan dikatakan sah secara hukum agamanya sendiri.
Perkawinan tidak akan lepas dari ikatan agama, karena perkawinan sendiri
sangat kental hubungannya dengan kerohanian dan agama. Sehingga perlu
adanya peraturan yang mengatur mengenai sah atau tidaknya sebuah
perkawinan, agar tidak mengalami penyelewengan pada tiap individu, dan
juga untuk mengimpelementasikan sila pertama dari Pancasila yaitu,
Ketuhanan Yang Maha Esa. Undang-undang ini juga menganut prinsip, bahwa
calon suami-istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat.

B. Hukum Islam
Pengertian hukum Islam atau syariat islam adalah sistem kaidah-
kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rasul mengenai
tingkah laku mukallaf (orang yang sudah dapat dibebani kewajiban) yang
diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua pemeluknya. Dan hal ini
mengacu pada apa yang telah dilakukan oleh Rasul untuk melaksanakannya
secara total. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diperintahkan
Allah Swt untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik yang
berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun yang berhubungan
dengan amaliyah. Syariat Islam menurut bahasa berarti jalan yang dilalui
umat manusia untuk menuju kepada Allah hanya sebuah agama yang
mengajarkan tentang bagaimana menjalankan ibadah kepada Tuhannya saja.
Keberadaan aturan atau sistem ketentuan Allah swt untuk mengatur
hubungan manusia dengan sesamanya. Aturan tersebut bersumber pada
seluruh ajaran Islam, khususnya Al-Quran dan Hadits. Definisi hukum Islam
adalah syariat yang berarti aturan yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya
yang dibawa oleh seorang Nabi SAW, baik hukum yang berhubungan dengan
kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan
amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh umat Muslim semuanya.

C. Perwalian Menurut Sistem Hukum Barat dan Hukum Islam


Perwalian mempunyai arti, bahwa untuk anak-anak yang belum cukup
umur atau belum dewasa yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.
Undang-Undang menentukan bahwa mereka harus diangkat seorang wali,
yang mempunyai wewenang untuk mewakili atau bertindak bagi orang
tersebut. Oleh Undang-Undang, anak-anak tersebut dianggap belum mampu
untuk bertindak sendiri oleh karena mereka memang secara biologis dianggap
belum mampu untuk mempertimbangka apa yang baik dan apa yang tidak
baik. Tugas dari seorang yang memegang kekuasaan perwalian adalah untuk
melindungi dan menyelenggarakan kepentingan anak-anak yang belum
dewasa tersebut, yakni untuk menyelenggarakan pendidikan dan mengurus
harta benda kekayaan mereka. Dalam sejarah hukum, ternyata perwalian itu
dianggap sebagai suatu kekuasaan yang menjadi hak dari orang tua, maupun
keluarga lain dari yang belum dewasa tersebut. Kekuasaan peralian pada
sebenarnya juga dianggap sebagai suatu kekuasaan yang dilakukan untuk
kepentingan anak yang belum dewasa. Jadi perwalian disini menitikberatkan
pada kepentungan anak-anak yang belum dewasa. Perwalian pada dasarnya
dianggap sebagai tugas dari keluarga, meskipun disana Undang-Undang
memberikan wewenang kepada lembaga-lembaga tertentu untuk ikut campur
dalam hal perwalian.

Perwalian menurut sistem hukum barat adalah campur tangan


keluarga dalam perwalian dilakukan oleh suatu Dewan yang terdiri dari
anggota Keluarga, anak-anak dibawah umur yang diletakan dalam perwalian.
Dewan keluarga inilah yang memberikan suatu pandangan atau pendapat
dalam soal pengangkatan seorang wali. Dewan keluarga ini juga yang dikenal
dalam sistem perundang-undangan Perancis.
Perwalian menurut hukum Islam ( fiqih ) merupakan tanggung jawab
orangtua terhadap anak. Dalam hukum Islam diatur dalam (hadlanah), yang
diartikan “melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki atau
perempuan,atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, dan menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani dan akalnya agar
mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.
Dalam hal ini, kedua orangtua wajib memelihara anaknya, baik pemeliharaan
mengenai jasmani maupun rohaninya. Keduannya bertanggung jawab penuh
mengenai perawatan, pemeliharaan, pendidikan, akhlak, dan agama anaknya.
Penguasaan dan perlindungan terhadap orang dan benda, bahwa
seseorang( wali ) berhak menguasai dan melindungi satu barang, sehingga
orang yang bersangkutan mempunyai hukum dengan benda tersebut,
misalnya benda miliknya atau hak milik orang lain yang telah diserah
terimakan secara umum kepadanya. Jadi, ia melakukan penguasaan dan
perlindungan atas barang tersebut sah hukumnya. Adapun yang dimaksudkan
dengan perwalian dalam terminologi para Fuqaha ( pakar hukum Islam )
seperti di formulasikan Wahbah Al-Zuhayli ialah “kekuasaan atau otoritas
( yang dimiliki ) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu tindakan
sendiri tanpa harus bergantung ( terikat ) atau seizin orang lain.”Orang yang
mengurusi atau menguasai sesuatu ( akad/transaksi ), disebut wali seperti
dalam penggalan ayat: fal-yumlil waliyyuhu bil-adli. Kataal-
waliyymuannatsnya al-waliyyahdan jamaknyaal-awliya, berasal dari kata wala-
yaliwalyan-wa-walayatan, secara harfiah berarti yang mencintai, teman dekat,
sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh dan orang yang
mengurus perkara ( urusan ) seseorang.
KESIMPULAN
Budaya kehidupan di daerah barat, sangat berpengaruh terhadap
pembentukan hukum yang terjadi. Banyak sekali produk-produk hukum hasil
dari budaya orang eropa tersebut, yang menjadi landasan hukum di masa
sekarang. Salah satunya dengan munculnya Hukum Perdata Barat yang juga
dianut oleh Indonesia karena dibawa oleh belanda pada masa penjajahan,
yang akhirnya juga menjadi produk hukum baru bagi Indonesia. Perwalian
menjadi salah satu yang diatur di dalamnya, karena hal ini cukup banyak
terjadi di Indonesia, sehingga perlu adanya peraturan khusus mengenai
Perwalian, agar masyarakat mempunyai kepastian hukum dan jaminan yang
kuat dalam hal Perwalian. Bukan hanya hukum perdata barat, hukum yang
mengatur tentang perwalian juga terdapat dalam hukum islam, dimana, Al-
Quran dan Hadits menjadi sumber dari hukum islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Darmabrata, W. 20015. Hukum Perkawinan Perdata: Putusnya Perkawinan,
Keturunan, Kekuasaan Orang Tua Perkawinan, Perwalian, dan Pengampunan.
Cetakan 2. Jakarta: Rizkita Jakarta.
Hariyanto, E. 2009. BURGELIJK WETBOEK (Menelusuri Sejarah Hukum
Pemberlakuannya di Indonesia). Al-Ihkam. Vol IV(1): 142-152
Jananuraga, H. H. 2014. Perbandingan Pandangan Hukum Perdata Barat dan
Hukum Islam terhadap Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh Manusia.
Fakultas Hukum : Universitas Indonesia.
Lili, R. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malasyia dan Indonesia ,
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991.
Mustagfirin, H. 2011. Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Adat, Dan Sistem
Hukum Islam Menuju Sebagai Sistem Hukum Nasional Sebuah Ide yang
Harmoni. Jurnal Dinamika Hukum. Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011: 90-96
Rahmatullah, N. (2016) Konsep Perwalian dalam Perspektif Hukum Perdata
Barat dan Hukum Perdata Islam (Studi Komparasi). Undergraduate (S1)
thesis, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Soedaryo, S. 1992. Hukum orang dan keluarga : perspektif hukum perdata
barat/bw, hukum Islam, hukum adat. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti R. 1983. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan XVII. Jakarta:
Intermasa.
Subekti R., Tjitrosudibjo. 1992. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.,
Cetakan XXV. Jakarta: Pradnya Paramita

Anda mungkin juga menyukai