Berlakunya hukum perdata di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh kekuatan politik liberal di Belanda yang mencoba mengupayakan perubahan-perubahan mendasar di dalam tata hukum kolonial. Kebijakan ini dikenal dengan sebutan de bewuste rechtspolitiek. Tahun 1840 – 1860 merupakan tahun-tahun yang merupakan babakan baru dalam kebijakan kolonial di Indonesia yaitu kebijakan untuk membina tata hukum kolonial. Kebijakan ini dimaksudkan untuk di satu pihak mengontrol kekuasaan dan kewenangan raja dan aparat eksekutif atas daerah jajahan, dan di lain pihak akan ikut mengupayakan diperolehnya perlindungan hukum yang lebih pasti bagi segenap lapisan penduduk yang bermukim dan berusaha di daerah jajahan. Kebijakan tata hukum kolonial ini ternyata mengarah kuat untuk melaksanakan kodifikasi dan unifikasi hukum dengan preferensi utama untuk mendayagunakan hukum Eropa atas dasar asas konkordansi. Berdasarkan asas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Hukum perdata Eropa di Indonesia berasal dari : hukum Romawi, hukum Perancis yang kuno bahkan hukum Belanda yang kuno. Pada tanggal 30 April 1947, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undangundang Hukum Dagang diundangkan dalam Stb. 1847 No. 23. Hukum perdata (burgerlijkrecht) bersumber pokok burgerlijk wet boek (KHUS) atau kitab undang-undang hukum sipil yang berlaku di Indonesia sejak tanggal 1 mei 1848 KUHP ini merupakan copyan dari KUHP belanda, berdasarkan asas konkordasi . Sebagian besar dalam KHUS merupakan hukum perdata perancis . yaitu code napoleon (1811-1838) Code Napoleon terdiri dari code civil yang berasal dari para pengarang bangsa perancis tentang hukum romawi, hukum kanonik, dan hukum kebiasaan setempat. Hukum perdata di Indonesia adalah hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. 1) Hukum perdata barat adalah hukum bekas peninggalan zaman kolonial belanda yang berlakunya di Indonesia berdasarkan aturan peralihan UUD1945 misal BW (KUHPdt) 2) Hukum perdata nasional adalah hukum perdata yang diciptakan di Indonesia
2. Kedudukan hukum perdata di Indonesia Pada masa sekarang
Bahwa secara yuridis formil kedudukan BW tetap sebagai UU sebab BW tidak pernah di cabut dari kedudukannya sebagai UU. Namun pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai kitab UU hukum perdata yang bulat dan utuh seperti keadaan semula saat diundangkan beberapa bagian dari padanya sudah tidak berlaku lagi, baik karena peraturan baru dalam lapangan perdata maupun karena disingkirkan dan mati oleh putusan-putusan hakim (yurisprudensi)
3. Objek dan subjek hukum perdata Objek Hukum Perdata Objek hukum adalah segala sesuatu yang berada di dalam pengaturan hukum dan dapat dimanfaatkan oleh subyek hukum berdasarkan hak/kewajiban yang dimilikinya atas obyek hukum yang bersangkutan. Jadi, obyek hukum itu haruslah sesuatu yang pemanfaatannya diatur berdasarkan hukum. Benda dalam hukum perdata diatur dalam Buku II KUH Perdata, tidak sama dengan bidang disiplin ilmu fisika, di mana dikatakan bahwa bulan itu adalah benda (angkasa), sedangkan dalam pengertian Hukum Perdata bulan itu bukan (belum) dapat dikatakan sebagai benda, karena tidak/belum ada yang (dapat) memilikinya. Pengaturan tentang hukum benda dalam Buku II KUH Perdata mempergunakan sistem tertutup, artinya orang tidak diperbolehkan mengadakan hak-hak kebendaan selain dari yang telah diatur dalam undang-undang ini. Selain itu, hukum benda bersifat memaksa (dwingend recht), artinya harus dipatuhi, tidak boleh disimpangi, termasuk membuat peraturan baru yang menyimpang dari yang telah ditetapkan. Subjek Hukum Perdata Subyek hukum (rechts subject) menurut Algra adalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Subjek hukum dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: 1. Manusia (Naturlijke Person), yaitu manusia sama dengan orang karena manusia mempunyai hak-hak subjektif dan kewenangan hukum. Pengertian secara yuridisnya, ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai subyek hukum, yaitu: a. manusia mempunyai hak-hak subyektif. b. kewenangan hukum, dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban. Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kandungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata). Setiap manusia adalah sebagai subjek hukum dan pendukung hak serta kewajiban. Tidak setiap manusia (orang) wenang berbuat atau bertindak untuk melaksanakan hak dan kewajiban yang dimilikinya. Untuk wenang berbuat atau bertindak melaksanakan hak dan kewajiban yang dimilikinya dibutuhkan adanya syarat kecakapan. Syarat-syarat seseorang yang cakap hukum, yaitu: a. Seseorang yang sudah dewasa (berumur 21 tahun). b. Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah. c. Seseorang yang sedang tidak menjalani hukum. d. Berjiwa sehat dan berakal sehat. 2. Badan hukum (Vicht Person), yaitu badan hukum adalah kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban. Badan hukum merupakan badan-badan atau perkumpulan. Badan hukum yakni orang yang diciptakan oleh hukum. Oleh karena itu, badan hukum sebagai subjek hukum dapat bertindak hukum (melakukan perbuatan hukum) seperti manusia. Dengan demikian, badan hukum dapat melakukan persetujuan-persetujuan, memiliki kekayaan yang sama sekali terlepas dari kekayaan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, badan hukum dapat bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya.