Anda di halaman 1dari 5

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT

PADA KASUS KORUPSI PT. ASABRI OLEH HERU HIDAYAT

Kronologi Kasus
Pada tahun 2012, Heru Hidayat, Benny Tjokrosaputro, dan Lukman Purnomosidi,
membuat kesepakatan dengan Direktur Utama, Direktur Investasi, dan Keuangan
serta Kadiv Investasi Asabri, untuk membeli atau menukar saham dalam portofolio
Asasbri dengan saham-saham milik Heru, Benny, dan Lukman. Pembelian saham
tersebut, dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi, dengan tujuan agar kinerja
portofolo Asabri seolah-olah terlihat baik. Sehingga, harga saham yang
diperjualbelikan oleh Asabri akan meningkat di Bursa Efek Indonesia. Kegiatan
tersebut dilakukan hingga tahun 2019, dan melibatkan banyak pihak sebagai nominee
untuk menjadi pemegang saham, agar transaksi saham di PT. Asabri terlihat lancar.
Oleh karena itu, dari tahun 2012 hingga 2019, kegiatan investasi Asabri dikendalikan
oleh Heru, Benny, dan Lukman. Berdasarkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK), kegiatan korupsi yang dilakukan oleh Heru, Benny, dan
Lukman pada kasus PT. Asabri, sebsar Rp. 23,7 triliun. Besaran uang yang dinikmati
oleh Heru Hidayat yaitu Rp. 12 triliun Tentunya nilai kerugian tersebut sangat
berpengaruh pada keuangan negara, dan atribusi yang dinikmati oleh Heru, telah
mencederai rasa keadilan masyarakat.

Terhitung sejak adanya kegiatan investasi dengan cara ilegal tersebut, banyak
korban dari anggota TNI, Polri ASN/PNS di Kementrian Pertahanan yang menjadi
peserta PT. Asabri. Selain itu, tindakan tersebut telah menyebabkan beberapa korban
secara tidak langsung. Karena, kejahatan yang dilakukan tersebut berdampak pada
sega aspek dalam investasi. Sistem yang terdapat pada Pasar Modal, telah di acak-
acak oleh tindakan korupsi tersebut, dengan mengendalikan sejumlah instrumen yang
terdaftar pada sitstem pasar modal.

Sebelum kasus yang dilakukan pada PT. Asabri, Heru Hidayat dinyatakan
bersalah karena telah melakukan tindak pidana korupsi pada kasus PT. Jiwasraya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Nilai kerugian
negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi tersebut, sebesar Rp. 16 triliun,
dan besaran uang yang dinikmati oleh Heru yaitu Rp. 10 tiriliun.
Putusan Hakim Pada Kasus PT. Asabri
Sebelum masuk pada bagian kasus PT. Asabri, kita harus melihat pada kasus
Heru Hidayat di PT. Jiwasraya. Karena, kedua kasus tersebut akan saling
berhubungan satu sama lain, dalam hal putusan hakim. Berdasarkan putusan Nomor
30/Pid.Sus/Tpk/2020/PN Jkt.Pst, hakim memutuskan untuk mengadili terdakwa Heru
Hidayat telah tersbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
Korupsi secara bersama-sama dan melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Terdakwa Heru Hidayat, dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup, dan wajib
untuk membayar uang pengganti kepada Negara sejumpat Rp. 10.728.783.375.000,-
(sepuluh tiriliun tujuh ratus dua puluh delapan miliar tujuh ratus delapan puluh tiga
juta tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

Pada kasus PT. Asabri Heru Hidayat, dikenakan pasal sangkaan primer yaitu,
Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun
2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP serta subsidair Pasal 3 jo. Pasal 18
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat
(1) ke 1 KUHP, oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Berdasarkan pasal-pasal tersebut,
Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Heru Hidayat untuk mendapatkan Hukuman
Mati. Namun, majelis hakim memutuskan lain, yaitu memberikan putusan nihil
kepada Heru Hidayat, dan memberikan putusan pidana pengganti, berupa uang
pengganti senilai Rp. 12 triliun. Hal tersebut, karena hakim menilai bahwa penuntutan
yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), keluar dari asas penuntutan. Pasal
dakwaan yang dikenakan pada Heru Hidayat adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Udang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana diubah
dalam UU Nomor 20 Tahun 2001. Namun, Jaksa malah menuntut hukuman mati,
menggunakan Pasal 2 ayat (2) dalam Undang-Undang yang sama. Oleh karena itu,
hakim tidak mengindahkan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), dan hanya
memberikan vonis nihil, serta pidana pengganti.
Analisis Putusan Hakim
Pada kasus korupsi yang dilakukan oleh Heru Hidayat, hakim memberikan
putusan pidana penjara seumur hidup pada kasus PT. Jiwasraya, dan memberikan
putusan nihil, serta pidana pengganti berupa ganti rugi uang negara sebesar 12 triliun
rupiah. Vonis nihil, adalah tidak adanya tambahan hukum pidana yang diberikan
kepada terdakwa, karena hukuman yang diterima oleh terdakwa dalam kasus
sebelumnya jika diakumulasi sudah mencapai batas angka maksimal yang
diperbolehkan oleh Undang-Undang. Berdasarkan Pasal 67 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa, terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman
pidana lain, apabila sudah divonis pidana penjara seumur hidup sebelumnya, kecuali
pencabutan hak-hak tertentu da pengumuman majelis hakim. Pasal 67 tersebut
menjadi dasar hakim dalam memberikan vonis nihil kepada Heru Hidayat. Karena,
Heru Hidayat sudah divonis penjara seumur hidup pada kasus korupsi PT. Jiwasraya,
aka ia tidak dapat diberikan vonis yang sama pada kasus PT. Asabri.

Selain itu, dasar hukum majelis hakim dalam memberikan vonis nihil yaitu Pasal
65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menjelaskan bahwa
“Dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan
yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan, yang diancam dengan
pidana pokok yang sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana”. Berdasarkan asas
legalitas, atau asas Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli, yang
artinya bahwa tidak ada delik, tidak ada pidana, tanpa peraturan terlebih dahulu. Jadi,
pada intinya asas tersebut menegaskan bahwa suatu tindak pidana, tidak dapat
dihukum pidana, apabila belum ada aturannya. Oleh karena itu, pemberian putusan
dalam kasus tindak pidana, harus merujuk pada peraturan perundang-undangan, agar
hakim dapat memberikan putusan secara objektif.

Namun, berdasarkan Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


(KUHAP) menjelaskan bahwa seseorang yang dintakan bersalah oleh pengadilan,
maka putusan tersebut harus memuat pemidanaan. Oleh sebab itu, hakim memberikan
pidana pengganti berupa uang ganti rugi kepada negara sebesar 12 (dua belas) triliun
rupiah, untuk memenuhi muatan pidana sebagaimana jenis pidana tambahan yang
diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Berdasarkan KUHP, pemberian hukuman pidana pada terdakwa, harus lebih
tinggi dari hukuman pidana sebelumnya. Maka, hukuman pidana yang dapat diberikan
kepada Heru Hidayat adalah hukuman mati. Tetapi permasalahannya, pasal yang di
dakwakan kepada terdakwa yaitu Pasal 2 ayat (1), sementara hukuman mati terdapat
pada Pasal 2 ayat (2).

Disreksi Hakim
Pendapat yang telah lama diperdebatkan bahwa hakim adalah boche de la loi,
hakim sebagai juru bicara hukum. Namun, hakim harus mengacu pada peraturan
perundang-undangan dalam memutuskan perkara. Namun keadilan substantif
seringkali melintasi garis hukum yang tertulis dalam undang-undang.

Banyak literatur yang mencoba mengkaji kecenderungan hakim dalam memutus


perkara, khususnya perkara pidana. Misalnya, menulis tentang budaya hukum hakim
dalam rezim yang demokratis dan otoriter. Panggabean, seorang polisi, melihat
budaya hukum hakim dari putusan tersebut. Diskresi pada dasarnya adalah kebebasan
untuk bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan isu-isu kritis. Ini semacam
penyimpangan dari asas legalitas dalam arti wet matigheid van bestuur. Istilah ini
sangat dikenal dalam konsepsi hukum administrasi. Bagi hakim pidana, diskresi
berarti upaya hakim dalam memutus perkara pidana dengan mengutamakan keadilan
substantif. Hakim bebas memberikan penilaian dan putusan, bahkan menyimpang dari
asas legalitas, untuk kepentingan keadilan substantif.

Dalam konteks proses pidana, kekuasaan diskresi ini dapat dikaitkan dengan
tindakan pemaksaan, perolehan bukti, keputusan pidana, dan perilaku yang
bertentangan dengan kekakuan peradilan. Meski memiliki kewenangan diskresi,
bukan berarti hakim bebas mengambil keputusan. Etika dan moralitas mengikat
hakim-hakim ternama. Di Indonesia, kita bisa membayangkan Kode Etik dan Kode
Etik Hakim yang dibuat oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Pasal 5 (1) Undang-Undang Peradilan Nomor 48 Tahun 2009 menyatakan:


“Hakim dan hakim konstitusi wajib mengungkapkan, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan makna keadilan dalam masyarakat.” Dari bunyi pasal tersebut,
berarti hakim tidak mengeluarkan hukum dari “kotak”. Namun pada hakekatnya,
hakim memiliki hak untuk melakukan diskresi.

Pada kasus PT. Asabri Heru Hidayat, hakim mempertimbangkan beberapa hal,
sebelum memberikan putusan pada terdakwa. Pertimbangan tersebut diantaranya :
1. Penilaian terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang keluar dari asas penuntutan
2. Jaksa tidak bisa membuktikan bahwa Heru melakukan tindak pidana korupsi sesuai
dengan Pasal 2 ayat (2).
3. Pemberian hukuman mati yang diatur dala Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tipikor
bersifat fakultatif, atau tidak diwajibkan.

Memamng berdasarkan Pasal 67 KUHP, pemberian pidana tambahan tidak dapat


dilakukan, ketika hukuman pidana sebelumnya sudah dinilai maksimal. Namun,
hakim tidak menggunakan hak diskresinya, untuk keluar dari jalur undang-undang,
dan memutuskan apa yang telah di tuntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Padahal,
pada hakekatnya, hakim memiliki hak untuk melakukan diskresi, sehingga Heru
Hidayat dapat dihukum mati.

Kesimpulan
Kasus Heru Hidayat, merupakan salah satu korupsi terbesar di Indonesia. Jumlah
uang yang mengakibatkan kerugian negara, bernilai sangat fantastis. Hal tersebut
sangat disayangkan, karena banyak sekali pihak-pihak yang baik secara langsung,
maupun tidak langsung, menjadi korban dari tindakan korupsi, dan pencucian uang
tersebut. Pada kasus PT. Jiwasraya, Heru Hidayat telah dijatuhi hukuman pidana
penjara seumur hidup, dan mengganti sejumlah uang kepada negara. Namun, pada
kasus PT. Asabri, Heru Hidayat di vonis nihil, dan hanya dijatuhi hukuman pidana
pengganti berupa uang sebesar 12 triliun rupiah. Alasan pemberian vonis nihil
tersebut, karena Kejaksaan telah keluar dari asas penuntutan, dimana pasal yang di
dakwakan, berbeda dengan pasal yang dituntutkan. Selain itu, pemberian vonis nihil,
karena berdasarkan Pasal 67 KUHP, bahwa seseorang tidak dapat diberikan hukuman
pidana tambahan, apabila ia telah menerima hukuman pidana penjara seumur hidup,
atau hukuman mati. Sebenarnya, hakim bisa saja memberikan vonis mati, dan keluar
dari jalur perundang-undangan melaui hak diskresinya. Namun, hakim tetap
berpedoman pada KUHP, sehingga pada akhirnya memberikan putusan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai