Anda di halaman 1dari 9

Paper Mitigasi MUHAMMAD ALFAJRUL

Bencana
Alam 60800115040

BANJIR
Penyebab Banjir
Berikut dalam Gambar diilustrasikan dengan sederhana terjadinya banjir.
(Kodoatie & Sjarief, 2010)

Gambar 1 ; Skema Terjadinya Banjir


Tabel 1; Uraian Proses Terjadinya Banjir

1
Banjir dan genangan yang terjadi di suatu lokasi diakibatkan antara lain oleh sebab-
sebab berikut ini (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002):
1. Perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai (DAS).
2. Pembuangan sampah.
3. Erosi dan sedimentasi.
4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase.
5. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat.
6. Curah hujan.
7. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai.
8. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai.
9. Pengaruh air pasang.
10. Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang air laut).
11. Drainase lahan.
12. Bendung dan bangunan air.
13. Kerusakan bangunan pengendali banjir.
Bilamana diklasifikasikan oleh tindakan manusia dan yang disebabkan oleh alam
maka penyebab di atas dapat disusun sebagai berikut. Yang termasuk sebab-sebab banjir
karena tindakan manusia adalah:
1. Perubahan tata guna lahan (land-use) di daerah aliran sungai (DAS).
2. Pembuangan sampah.
3. Erosi dan sedimentasi.
4. Kawasan kumuh di sepanjang sungai/drainase.
5. Perencanaan sistem pengendalian banjir tidak tepat.
6. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai.
7. Kapasitas sungai dan drainase yang tidak memadai.
8. Penurunan tanah dan rob (genangan akibat pasang air laut).
9. Drainase lahan.
10. Bendung dan bangunan air.
11. Kerusakan bangunan pengendali banjir.
Yang termasuk sebab-sebab alami diantaranya adalah:
1. Curah hujan.

2
2. Pengaruh fisiografi/geofisik sungai.
3. Kapasitas sungai.
4. Pengaruh air pasang.
5. Penurunan tanah dan rob.
6. Kerusakan bangunan pengendali banjir (oleh bencana alam).

Tabel 2; Penyebab banjir dan prioritasnya (Kodoatie & Sjarief, 2005)

3
Perubahan tata guna lahan merupakan penyebab utama banjir dibandingkan
dengan yang lainnya. Sebagai contoh, apabila suatu hutan yang berada dalam suatu daerah
aliran sungai diubah menjadi pemukiman, maka debit puncak sungai akan meningkat antara
6 sampai 20 kali. Angka 6 dan angka 20 ini tergantung dari jenis hutan dan jenis
pemukiman. Demikian pula untuk perubahan yang lainnya maka akan terjadi peningkatan
debit puncak yang signifikan.
Perlu pula diketahui bahwa perubahan tata guna lahan memberikan kontribusi
dominan kepada aliran permukaan (run-off). Hujan yang jatuh ke tanah, airnya akan
menjadi aliran permukaan dan sebagian meresap ke dalam tanah tergantung kondisi
tanahnya menjadi soil water dan air tanah (groundwater) untuk daerah CAT. Namun hanya
menjadi soil water untuk daerah Non-CAT
Studi Kasus Banjir
Genangan Banjir yan terjadi di kota Samarinda yang di lalui oleh DAS Mahakam
yang di kutip dari (Perkembangan genangan banjir Tahun 1990 sampai 2002 (Irwan,
2005; Dinas Bina Marga Dan Pengairan Kota Samarinda, 2002 ) memberikan hasil yang
jelas bahwa telah terjadi peningkatan luas genangan banjir dalam kurun waktu 12 tahun
yang cukup signifikan. Kalau pada Tahun 1990 genangan seluas 81 ha hanya terjadi di
sebelah Utara sungai namun pada Tahun 2002 genangan terjadi baik di Utara dan Selatan
sungai dengan total luasnya mencapai 1570 ha.
Irwan menyimpulkan bahwa pengaruh peningkatan perubahan tata guna lahan
meningkatkan luas genangan banjir yang ada. Secara teori hal ini dapat diterima karena
perubahan tata guna lahan terutama hutan menjadi pemukiman ada peningkatan debit
puncak banjir yang besar.
Namun bila dilihat Sungai Mahakam secara keseluruhan maka dapat diketahui
bahwa ada perbedaan besar antara luas Kota Samarinda dan luas DAS Mahakam. Luas
Kota Samarinda adalah 0,93% terhadap luas total DAS Mahakam dan 1,10% terhadap luas
DAS Mahakam sampai Kota Samarinda. Ini berarti bahwa luas total DAS Mahakam adalah
107 kali luas kota Samarinda dan luas DAS Mahakam sampai Kota hampir 91 kali luas
Kota Samarinda. Dengan perbedaan luas yang begitu besar dapat disimpulkan bahwa
penyebab genangan bukan hanya disebabkan oleh perkembangan atau perubahan tata guna
lahan Kota Samarinda namun juga diakibatkan oleh kondisi Sungai Mahakam. Dengan kata
lain genangan yang terjadi itu adalah diakibatkan dua hal, yaitu:

-anak Sungai Mahakam.


Muka air Sungai Mahakam yang tinggi pada waktu musim hujan menyebabkan
adanya aliran air yang menuju anak-anak sungai. Sehingga karena kapasitas jauh lebih kecil
dibandingkan dengan Sungai Mahakam, muka air anak-anak sungai dan genangan yang
terjadi harus menunggu surutnya muka air Sungai Mahakam selama berhari-hari.
Fenomena ini umumnya juga terjadi pada sungai-sungai besar lainnya baik yang berlokasi
di Kalimantan, Sumatra maupun pulau-pulau lainnya.

4
Kalau pada Tahun 1990 genangan seluas 81 ha hanya terjadi di sebelah Utara
sungai namun pada Tahun 2002 genangan terjadi baik di Utara dan Selatan sungai dengan
total luasnya mencapai 1570 ha. Ada kenaikan luas genangan yang sangat signifikan yaitu
pada Tahun 2002 mencapai 1570/81 = 1938% atau 9,38 kali lipat. Peningkatan genangan
banjir di Kota Samarinda yang signifikan hanya dalam waktu 12 tahun juga merupakan
bukti selain perubahan tata guna lahan Kota Samarinda juga oleh kerusakan DAS
Mahakam.
Solusi Penanganan
Flood Control Toward Flood Management
Dengan kondisi tata guna lahan yang sudah padat (adanya bangunan untuk
pemukiman, industri dll.) menyebabkan kenaikan run-off yang signifikan dan pengurangan
resapan air. Upaya perbaikan sungai dengan pelebaran akan memberikan pengaruh
maksimal dua kali lipat saja, itupun bila proses pelebaran ataupun pengerukan sebesar dua
kali lipatnya bisa berjalan lancar. Perlu diperhatikan bahwa pelebaran sungai/drainase
harus dipertahankan sampai ke lokasi sungai paling hilir (di muara) artinya kajian
morfologi sungai perlu dilakukan secara menyeluruh.
Bilamana dilakukan pelebaran namun pada lokasi tertentu di bagian hilir tidak
dapat dilebarkan maka akan terjadi penyempitan alur sungai (bottleneck). Hal ini akan
menyebabkan daerah hulu yang sudah dilebarkan akan kembali ke posisi lebar semua.
Di samping itu setelah dilebarkan potensi kembali ke lebar sungai semula cukup
besar akibat sedimentasi dan morfologi sungai yang belum stabil, demikian pula kedalaman
sungai yang dikeruk menjadi dua kali akan kembali ke kedalaman semula akibat besarnya
sedimentasi.
Oleh karena itu metode non-struktur harus dikedepankan lebih dahulu karena
pengaruh perubahan tata guna lahan mengkontribusi debit puncak di sungai mencapai 5
sampai 35 kali debit semula. Metode struktur yang hanya memberikan penurunan /reduksi
debit jauh lebih kecil dibandingkan peningkatan debit akibat perubahan tata guna lahan
atau degradasi lingkungan. Istilah populer yang dipakai adalah flood control toward flood
management (Hadimuljono, 2005). Flood management berarti melakukan tindakan
manajemen yang menyeluruh yaitu gabungan antara metode non-struktur dan metode
struktur. Flood control lebih dominan pada pembangunan fisik (atau dikenal dengan
metode struktur). Hal ini sebenarnya wajar apabila sebelumnya telah dilakukan kajian
manajemen banjir secara menyeluruh dengan salah satu rekomendasi adalah melakukan
flood control. Untuk lebih jelasnya metode tersebut dapat dilihat dalam Tabel 6-9. Apabila
perubahan tata guna lahan sudah bisa dipastikan sampai ke masa yang akan datang, maka
dapat diketahui debit rencana yang pasti melalui sungai tersebut. Bilamana hal ini terjadi
maka perbaikan sungai dengan metode struktur dapat dilakukan.
Kementrian PU membuat suatu ketentuan kebijakan tentang debit sungai akibat
dampak perubahan tata guna lahan di daerah aliran sungai tersebut yaitu dengan
menyatakan bahwa DAS boleh dikembangkan/ diubah fungsi lahannya dengan zero delta
2005). Arti kebijakan ini
adalah bila suatu lahan di DAS berubah maka debit sebelum dan sesudah lahan berubah
harus tetap sama. Misalnya, suatu lahan hutan diubah menjadi pemukiman maka debit yang

5
di suatu titik sungai harus tetap sama. Hal ini dapat dilakukan dengan cara kompensasi
yaitu pada lahan pemukiman harus disisakan lahan untuk penahan run-off akibat perubahan
misal dengan cara pembuatan sumur resapan, penanaman rumput atau semaksemak
(tanaman) yang lebat dan rendah, pembuatan embung, pembuatan tanggul-tanggul kecil
dalam sistem drainase dll.
Umumnya untuk mengurangi banjir atau genangan yang terjadi dilakukan
perbaikan penampang sungai (sering disebut dengan istilah normalisasi walaupun istilah
ini kurang tepat). Perbaikan sungai yang dilakukan umumnya dengan melebarkan sungai
atau memperdalam (pengerukan) sungai. Sesungguhnya istilah normalisasi kurang tepat,
karena sebenarnya sungai (alami) sudah normal lalu mengapa harus dinormalkan. Secara
alami sungai hampir selalu merubah kondisi fisiknya sesuai dengan perubahan yang terjadi
di sungai. Sebagai contoh perubahan debit sungai akan diikuti dengan perubahan morfologi
sungai. Pengertian ini lebih dominan meluruskan sungai, melebarkan atau memperdalam
penampang, agar aliran air lebih cepat dan kapasitas sungai menampung air lebih besar.

Sumber; Robert J. Kodatie, Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota, Penerbit


Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2012

LONSOR
Penyebab Longsor

Gambar 2; Skema Faktor-faktor penyebab dan pemicu tanah longsor


(dimodifikasi dari Varnes, 1978)
Kejadian tanah longsor memiliki dimensi ruang dan waktu. Longsor hanya dapat
terjadi pada suatu lereng baik pada perbukitan, pegunungan, bantaran sungai, atau struktur
timbunan. Tanah longsor dapat dimungkinkan untuk diketahui melalui identifikasi faktor-

6
faktor penyebab ( causes ) dan pemicu ( trigger ) terjadinya tanah longsor. Konsep ini
sederhana tapi penting. Gambar 2.1 menunjukkan skema dari penyebab dan pemicu
terjadinya keruntuhan lereng. Penyebab longsor dapat diartikan sebagai faktor-faktor yang
membuat lereng menjadi rentan terhadap keruntuhan atau longsor pada lokasi dan pada
waktu tertentu. Penyebab terjadinya tanah longsor di jelaskan pada Tabel 2.1 yang meliputi
faktor geologi, morfologi dan aktifitas manusia. Faktor penyebab dapat disebut sebagai
faktor-faktor yang membuat lereng mengalami kegagalan struktur, yang kemudian
membuat lereng menjadi tidak stabil. Pemicu adalah kejadian tunggal yang akhirnya bisa
menyebabkan terjadinya tanah longsor. Sehingga bisa disimpulkan bahwa kombinasi
faktor-faktor penyebab ( causes ) membuat kondisi struktur lereng mengalami kegagalan,
sedangkan trigger yang akhirnya menyebabkan terjadinya keruntuhan/pergerakan.
Biasanya, faktor pemicu mudah ditentukan setelah terjadinya tanah longsor (meskipun
secara umum sangatlah sulit menentukan secara pasti kejadian alam yang memicu
(terjadinya tanah longsor dari sebuah peristiwa keruntuhan/pergerakan). Secara umum,
ketidakstabilan lereng atau mekanisme kegagalan struktur dapat dikelompokkan pada
peningkatan nilai tegangan geser dan kuat geser tanah (Varnes, 1978).
Tabel 3; Penyebab umum tanah longsor (TRB, 1996).

7
Solusi Penanganan atau Mitigasi Bencana Longsor
Tahapan mitigasi bencana tanah longsor yang di kutip dari (Vulcanology Survey
Indonesia):
• Pemetaan Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam
geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau pemerintah
kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk melakukan pembangunan
wilayah agar terhindar dari bencana.
• Penyelidikan Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat
digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana pengembangan
wilayah.
• Pemeriksaan Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana,
sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
• Pemantauan Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis
secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh pengguna
dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
• Sosialisasi Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten /Kota
atau Masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor dan akibat yang
ditimbulkannnya. Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain,
mengirimkan
• poster, booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada masyarakat dan
aparat pemerintah.
• Pemeriksaan bencana longsor bertujuan mempelajari penyebab, proses terjadinya,
kondisi bencana dan tatacara penanggulangan bencana di suatu daerah yang terlanda
bencana tanah longsor.
Upaya selama dan setelah terjadinya bencana longsor(Vulcanology Survey Indonesia,
2018);
1. Tanggap Darurat
Yang harus dilakukan dalam tahap tanggap darurat adalah penyelamatan
dan pertolongan korban secepatnya supaya korban tidak bertambah. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:
• Kondisi medan
• Kondisi bencana
• Peralatan
• Informasi bencana
2. Rehabilitasi
Upaya pemulihan korban dan prasarananya, meliputi kondisi sosial,
ekonomi, dan sarana transportasi. Selain itu dikaji juga perkembangan tanah
longsor dan teknik pengendaliannya supaya tanah longsor tidak berkembang dan
penentuan relokasi korban tanah longsor bila tanah longsor sulit dikendalikan.

8
3. Rekonstruksi
Penguatan bangunan-bangunan infrastruktur di daerah rawan longsor tidak
menjadi pertimbangan utama untuk mitigasi kerusakan yang disebabkan oleh
tanah longsor, karena kerentanan untuk bangunan-bangunan yang dibangun pada
jalur tanah longsor hampir 100%.
Ada beberapa tindakan perlindungan dan perbaikan yang bisa ditambah
untuk tempattempat hunian, antara lain:
• Perbaikan drainase tanah (menambah materi-materi yang bisa menyerap).
• Modifikasi lereng (pengurangan sudut lereng sebelum pem-bangunan).
• Vegetasi kembali lereng-lereng.
• Beton-beton yang menahan tembok mungkin bisa menstabilkan lokasi
hunian.
Study Kasus Bencana Longsor
Longsor di El Salvador Pada tanggal 13 Januari 2001 gempabumi dengan
magnitudo Mw 7.6 di El Salvador menyebabkan longsor di 445 lokasi. Bahan longsoran
ini merupakan tanah dari endapan vulkanik. Longsor di Las Colonas merupakan kejadian
longsor yang sangat besar dimana pergerarakan masa tanah mencapai 200.000 m3 (Gambar
1.9). Masa tanah yang longsor seolah-olah menjadi masa yang agak cair (semiliquid mass)
sehingga mampu bergerak dengan jarak yang jauh. Bahan rombakan ini bergerak dari
ketinggian 1070 m menuju bawah pada ketinggian 700-800 m. Dengan demikian masa
tanah tersebut dapat bergerak dengan sangat cepat (Konagai dkk., 2002).

Sumber; Agus M Setyo. Tanah Longsor; Analisis-Prediksi-Mitigasi. Univesitas


Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai