Anda di halaman 1dari 107

BAB

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

SEJARAH umat manusia penuh dengan peristiwa bencana. Dalam berbagai


kitab suci banyak kisah-kisah mengenai bencana sebagai peringatan bagi
umat manusia misalnya Banjir Nabi Nuh dan kaum Luth semuanya
disetai dengan peristiwa bencana yang memusnahkan satu generasi.
Sejarah juga dipenuhi dengan berbagai peristiwa bencana, misalnya tengelamnya
benua Atlantis, Letusan Gunung Visevius di Yunani serta Gunung Krakatau dan Merapi
Pulau Jawa. Dalam abad modern juga terjadi berbagai bencana seperti Tsunami di Aceh,
Gempa Bumi di Peru dan Cina disamping bencana yang terjadi akibat perbuatan manusia
misalnya Bm Atom di Hiroshima dan Nagasaki, Chernobyl di Rusia, Bhopal di India dan
kasus Lapindo di Indonesia.

Peristiwa bencana senantiasa disertai dengan cerita tragis penderitaan manusia


yang tidak habis-habisnya. Menyisakan kerusakan alam dan materi yang tidak ternilai
serta hancurnya peradaban manusia.

Bencana Tsunami di Aceh misalnya mengakibatkan 150 ribu orang meninggal dan
puluhan ribu lainnya hilang, cedera atau sakit. Ribuan janda dan anak yatim harus
menyelesaikan sisa masa hidupnya dengan penderitaan. Suatu desa atau kampung musnah
dengan sekejap beserta seluruh makhluk bernyawa menyisakan puing-puing berserakan.
Mungkin diperlukan puluhan atau ratusan tahun untuk memulihkan kondisi alam,
lingkungan atau tatanan sosial seperti semula. Dampak bencana juga bersifat universal
dan dapat berdampak luas. Pemanasan global misalnya telah menimbulkan berbagai
dampak terhadap pola cuaca, iklim, permuaan air laut, dan lainnya.

Indonesia juga sering ditimpa bencana baik skala kecil maupun skala besar yang
menimbulkan korban yang besar.

Berikut ini top ten bencana alam terbesar di Indonesia dengan korban meinggal di
atas 100 orang sebagai berikut.

1. Tsunami 26 Desember 2004 di Aceh, Nias, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Afrika.
Korban lebih 200.000 orang (150.000 orang di Aceh dan Nias). Ketinggian tsunami
mencapai 35 meter karena gempa tektonik 8,5 SR di Samudera Hindia
2. Gunung Tambora meletus, tahun 1815. Korban 92.000 orang.
3. Tsunami Gunung Krakatau meletus, 26 Agustus 1883. Korban 36.417 orang.
4. Gempa Tektonik 6,2 SR di Yogyakarta , 27 Mei 2006. Korban 6,234 orang
5. Gunung Kelud, meletus 19 Mei 1919. Korban 5.115 orang
6. Tsunami Ende, Flores-NTT, 12 Desember 1992. Korban 2.100 orang
7. Gempa Sumbar tanggal 30 September 2009 berkekuatan 7,6 SR mengakibatkan
korban tewas mencapai 1.115 orng.
8. Tsunami pantai selatan Jawa (Pangandaran) 17 Juli 2006. Disebabkan oleh gempa
bumi berkekuatan 6,8 SR yang berpusat di Samudera Indonesia korban 668 orang
(sekitar 260km sebelah selatan Bandung)
9. Gempa bumi 6,5 SR Sulawesi Tengah, 4 Mei 2000. Korban 386 orang
10. Tsunami Banyuwangi-Jawa Timur pada 3 Juni 1994. Korban 208 orang
(sumber:http//adamakna.blogspot/Viva New)

Apakah berbagai kejadian tersebut dapat menyadarkan manusia akan kekuatan


alam dan kemungkinan bencana yang dapat menimpa? Mengapa manusia kurang
memperhatikan atau peduli mengenai bencana dan mencoba menghadapinya dengan bijak
dan cerdas sehingga bisa mengurangi dampak yang timbul?

Oleh karena itu, selama masih hidup di muka bumi yang rawan dengan berbagai
bencana ini hendaknya manusia senantiasa waspada dan siaga menghadapi setiap
kemungkinan bencana yang bakal terjadi. Manusia harus mempersiapkan diri menghadapi
setiap kemungkinan terburuk yang datang menimpanya.

Gambar 1.1: Indonesia di atas lempeng benua yang aktif

Khusus bagi bangsa Indonesia, memahami bencana ini semakin penting mengingat
kondisi alam dan geografis Indonesia yang sangat retan terhadap bencana.

Indonesia memiliki wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi
silang antara dua benua dan dua samudera, berada dalam wilayah yang memiliki kondisi
geografis, geologis, hidrologis, dan demografis yang rawan terhadap terjadinya bencana
dengan frekuensi yang cukup tinggi.

Indonesia berada diatas lempeng benua yang aktif, dijejeri dengan deretan gunung
api yang sangat aktif yang disebut ring of fire. Bangsa Indonesia hidup berdekatan dengan
berbagai sumber bencana.

Kerentanan Indonesia terhadap bencana di pengaruhi oleh berbagai faktor antara


lain:

 Geofrafi
 Geologi
 Hidrometologi
 Demografi
 Lingkungan hidup, dan
 Tata lahan

Faktor Geografis

Wilayah Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau-pulau yang tersebar diantara
benua Asia dan Australia dan di tengah dua samudera mengakibatkannya rawan terhadap
bencana. Pengaruh iklim, badai tropis, dan arus laut akan berpengaruh terhadap
kerentanan bencana .

Pantai-pntai yang memanjang sepanjang samudera menjadikan daerah Indonesia


rawan bahaya gelombang pasang dan tsunami

Faktor Geologi

Dari sisi geologi, Indonesia juga merupakan kawasan yang rawan terhadap
berbagai bencana. Posisi geografis Indonesia terutama aspek geologi berpengaruh besar.
Indonesia tempat bertemunya lempeng Australia, lempeng Asia, lempeng Pasifik, yang
masing-masing memunyai gerakan sendiri dengan arah berbeda dan saling bergeser.
Kondisi ini mengakibatkan penumpukan energi yang jika tidak bisa ditahan lahi akan
menimbulkan gempa.

Faktor Hidrometeorologi
Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang dialiri oleh sungai-sungai yang besar dan
berlairan deras. Curah hujan di Indonesia sebagi suatu kawasasan tropis juga tergolong
tinggi, khususnya dimusim penghujan. Kondisi ini menimbulkan kerawanan untuk
menimbulkan bahaya banjir, tanah longsor, atau galodo.

Faktor Demografi

Dari sudut pandang demografi, Indonesia dengan jumlah pendduduk sangat besar
230 juta jiwa sangant rawan terhadap dampak suatu bencana.

Penduduk Indonesia juga bervariasi mulai dari wilayah padat seperti pulau Jawa
sampai ke area yang jarang seperti Papua dan pulau-pulau terpencil lainnya. Kepadatan
penduduk, di satu sisi mengakibatkan potensi kerawanan terhadap bencana sangat tinggi.
Peristiwa tsunami di Aceh melanda kota Banda Aceh yang relatif padat penduduknya
mengakibatkan korban menjadi lebih besar dan skala kerusakan menjadi lebih parah.

Faktor Lingkungan Hidup

Faktor demografi juga berpengaruh terhadap aspek lingkungan hidup. Tidak dapat
disangkal, sejak dasa warsa terakhir terjadi degradasi lingkungan hidup diberbagai tempat
di Indonesia. Hutan mengalami kerusakan , daerah aliran sungai mengalami kerusakan
ekologi shingga banjir terjadi setiap musim hujan.

Penggunan lahan, eksploitasi hutan, perubahan fungsi hutan untuk pertanian,


pemukiman, dan pertambangan, ekspliotasi sumber tambang baik di dalam maupun di
permukaan tanah semakin mneningkat bahkan cenderung tidak terkendali. Kondisi ini
mengakibatkan kerusakan lingkungan semakin berat. Hal ini mengakibatkan kerentanan
terhadap bencana juga semakin tinggi.

Kasus tanah longsor, banjir, kebakaran hutan terjadi sepanjang tahun dan
menimbulkan bencana sosial dan lingkungan yang lias. Kerusakan hutan di Indonesia juga
tergolong tinggi. Menurut data Dpeartemen Kehutanan, kerusakan hutan di Indonesia
tahun 2008 mencapai rat-rata 1,08 juta ha per tahun.
Gambar 1.2: Peta Kepadatan Penduduk Indonesia tingkat Provinsi

Sumber: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)

1.2. Penyebab Bencana

Potensi penyebab bencana Indonesia dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) golongan


karena faktor alam, perbuatan manusia, dan sosial.

Bencana alam antara lain berupa gempa bumi, letusan gunung api, angin topan,
tanah longsor, kekeringan, kebakaran, hutan/lahan karena faktor alam, hanya penyakit
tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian antariksa/ benda-benda
angkasa.

Bencana buatan manusia antara lain berupa kebakaran hutan/lahan yang


disebabkan ulah manusia, kecelakaan transportasi, kegagalan konstruksi atau teknologi,
dampak industri, ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, dan kegiatan pertambangan.
Beberapa contoh bencana non alam Indonesia adalah peristiwa Lapindo Brantas,
Kebakaran tangki di Cilacap, ledakan di Pabrik Kimia Petro Widada Gresik, dan
tenggelamnya Kapal Tampomas.

Bencana sosial terjadi karena rusak dan kurang harmonisnya hubungan sosial antar
anggota masyarakat yang disebabkan berbagai faktor baik sosial, budaya, suku, atau
ketimpangan sosial.
Dari kejadian-kejadian bencana alam dan non alam, Indonesia merupakan kawasan
rawan bencana. Namun demikian kepedualian dan kesadaran mengenai bencana ini masih
sangat rendah di akalngan masyarakat luas. Masyarakat Indonesia khusunya yang masih
tradisional menganggap bencana sebagai takdir dari Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu tidak heran jika masyarakat masih sering menyikapi dengan
pendekatan kultural dan budaya. Lihatlah kepercayaan tentang penguasa gunung api atau
lautan luas yang dikembangkan dengan berbagai macam ritual dan sesajen. Liatlah riual
yang sering dilakukan masyarakat seperti selamtan, tolak bala atau bentuk lainnya yang
intinya adalah mohon keselamatan dari segala macam bencana.

Padahal dalam berbagai kitab suci, misalnya dalam Al-Quran surat 42:30
menyebutkan “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah karena perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahan)”.

Bencana tidak terjadi begitu saja, namun ada faktor kesalahan dan kelalaian
manusia dalam mengantisipasi alam dan kemungkinan bencana yang dapat menimpanya.
Masyarakat yang tinggal di pingir sungai yang setiap tahun di landa banjir. Masyarakat
yang tinggal di lereng gunung curam, juga menghadapi risiko kemungkinan terjadinya
tanah longsor.

Dalam masyarakat modern, masalah bencana harus didekati dengan pendekatan


yang lebih rasional. Banyak bencana yang sebenernya bersumber dari ulah manusia
sendiri.

Gambar 2.2: Pemanasan global.


Pemanasan global misalnya, diyakini terjadi karena perbuatan manusia yang menghasilkan
emisi gas rumah kaca ke atmosfir yang kemudian yang menghambat panas sehingga
permukaan bumi menjadi lebih panas. Demikian pula dengan bencana banjir atau tanah
longsor, sangat banyak dipengaruh oleh pola hidup manusia yang merambah hutan tanpa
kendali sehingga gundul. Sebagai akibatnya daya dukung tanah menampungcurah hujan
menurun sehingga terjadi banjir.

Semua bencana tersebut, baik yang bersumber dari kekuatan alam maupun akibat
perbuatan manusia harus dan dapat dihadapi dengan bijak dan dengan penuh rasa tanggung
jawab terhadap kelangsungan kehidupan di atas bumi ini.

Menyadari kondisi Indonesia yang rawan bencana dan berdasarkan kasus bencana
yang pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Indonesia pada tanggal 26 April 2006
mengerluarkan Undang-undang No.24 tentang Penanggulangan Bencana yang menjadi
dasar hukum kegiatan penanggulangan bencana di Indonesia.

1.3 Pengertian Manajemen Bencana

MENURUT United Nation Development Program (UNDP), bencana adalah suatu


kejadian yang ekstrem dalam lingkungan alam atau manusia yang secara merugikan
mempengaruhi kehidupan manusia, harta benda atau aktivitas sampai pada tingkat yang
menimbulkan bencana.

Menurut NFPA 1600: Standard on Disaster/Emergency Management and


Business Continuity Programs.

 A disaster Is an Incident where the resources, personnel, and materials of the


Affected Facility cannot control an abnormal situation (fire, explosion, leak, well
blowout etc.)that threatenthe loss of human or physical resources of the facility
and environtment
 Bencana adalah kejadian dimana sumberdaya, personal atau material yang
tersedia didaerah bencana tidak dapat mengendlikan kejadian luar biasa yang
dapat mengancam nyawa atau sumberdaya fisik dan lingkungan.
 Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam,
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/ atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
 Manajemen bencana adalah upaya sistematis dan komprehensif untuk
menanggulangi semua kejadian bencana secara cepat, tepat, dan akurat untuk
menekan korban dan kerugian yang ditimbulkan.

1.4 Tujuan Manajemen Bencana

Banyak pihak yang kurang menyadari pentingnya mengelola bencana dengan baik.
Salah satu faktor adalah karena bencana belum pasti terjadinya dan tidak diketahui kapan
akan terjadi. Sebagai akibatnya, manusia sering kurang peduli, dan tidak melakukan
langkah pengamanan dan pencegahan terhadap berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.

Untuk itu diperlukan sistem manajemen bencana yang bertujuan untuk:

a. Mempersiapkan diri menghadapi semua bencana atau kejadian yang tidak


diinginkan.
b. Menekan kerugian dan korban yang dapat timbul akibat dampak suatu bencana
atau kejadian.
c. Meningkatkan kesadran semua pihak dalam masyarakat atau organisasi tentang
bencanasehingga terlibat dalam proses penanganan bencana.
d. Melindungi anggota masyarakat dari bahaya atau dampak bencana sehingga
korban dan penderitaan yang dialami dapat dikurangi.

1.5 Asas Manajemen Bencana

Penanggulangan bencana merupakan kegiatan yang sangat penting bagi masyarakat


di Indonesia termasuk kalangan industri berisiko tinggi.

Pelaksanaan manajemen bencana, dilakukan berasaskan sebagai berikut.

 Kemanusiaan
Aspek manajemen bencana memiliki dimensi kemanusiaan yang tinggi.
Korban bencana khususnya bencana alam akan mengalami penderitaan baik fisik,
moral maupun materi sehingga memerlukan dukungan tangan dari pihak lainnya
agar bisa bangkit kembali.

Banyak kasus bencana yang menimbulkan tragedi kemanusiaan yang sangat


besar, seperti kasus Lapindo Brantas, Gempa Bumi di berbagai kawasan, dan
bencana longsor

Karena itu, penerapan manajemen bencana merupakan usaha mulia yang


menyangkut aspek kemanusiaan untuk melindungi semua.

 Keadilan

Penerapan manajemen bencana juga mengandung asas, keadilan, yang


berarti bahwa dalam penaggulangan bencana tidak boleh ada diskriminasi atau
keberpihakan kepada unsur tertentu. Pertolongan harus diberikan dengan asas
eadilan bagi semua pihak.

 Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;


Menajemen bencana juga mengandung asas kesamaan dalam hukum dan
jga dalam pemerintahan, dalam arti semua pihak harus tunduk kepada perundangan
yang berlaku dan taat asas yang ditetapkan.
 Keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;

Penanganan bencana harus berasaskan keseimbangan, keselarasan dan


keserasian dalam arti apapun program yang dikerjakan untuk mengatasi bencana
memperhatikan keseimbangan alam, ekologi, sosial, budaya dan lingkungan hidup.
Upaya menajemen bencana tidak berarti harus mengorbankan kepentingan yang
lain atau aspek kehidupan yang telah dijalankan sehari-hari, amun menempatkan
sebagai kekuatan untuk membangun manajemen bencana.

 Ketertiban dan kepastian hukum


Manajemen bencana juga harus mempertimbangkan aspek ketertiban dan
kepastian hukum. Program dan penerapan manajemen bencana harus senantiasa
berlandaskan hukum yang berlaku dan ketertiban anggota masyarakat lainnya.
 Kebersamaan
Salah satu asas penting dalam manajemen bencana adalah kebersamaan.
Masalah bencana tidak bisa diselesaikan secara partial atau hanya oleh satu pihak
saja, namun harus melibatkan seluruh anggota masyarakat atau komunitas yang
ada.

Tanpa keterlibatan dan peran serta, program manajemen bencana tidak akan
berjhasil dengan baik.

 Kelestarian lingkungan hidup


Manajemen bencana juga harus memperhatikan aspek lingkungan hidup di
sekitarnya. Banyak sekali benturan akan terjadi dalam menjalankan manajemen
bencana dengan aspek lingkungan. Namun untuk mencapai keberhasilan,
kelestarian lingkungan harus tetap terjaga dan terpelihara.
 Ilmu pengetahuan dan teknologi

Penerapan manajemen bencana hendaknya dilakukan secara ilmiah dan


memanfaatkan ilmu pengetahuan. Bencana sangat erat kaitannya dengan berbagai
disiplin keilmuan seperti geologi, geografi, lingkungan, ekonomi, budaya,
teknologi, dan lainnya. Semuanya harus dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.

1.6. Perundangan Bencana di Indonesia

BANYAKNYA kasus bencana Indonesia telah menimbulkan keprihatinan semua lapisan


masyarakat. Pemerintah didesak agar lebih memperhatikan aspek bencana yang terjadi
dan upaya penanganannya dengan cepat dan tept sehingga timbulnya korban dapat
dikurangi.

Pemerintah telah mengeluarkan berbagai perundangan dan peraturan mengenai


bencana dengan harapan bahwa upaya penanganan bencana akan memiliki landasan
hukum yang pasti.

Beberapa perundangan yang menyangkut manajemen bencana antara lain sebagai


berikut:
1) Undang-undang No.24 tahun 2007 tentang Penaggulangan Bencana. Undang-
undang ini mengatur berbagai hal mengenai penanganan bencana di Indonesia.
2) Peraturan Pemerinatahan No.21 tahun 2008 tentang Penyelenggara Penaggulangan
Bencana. PP ini memuat antara lain tentang kriteria bencana, perencanaan
manajemen bencana, identifikasi risiko bencana, dan analisa risiko bencana.
3) Peraturan Pemerintah No.22 tahun 2008, tentang pendanaan dan pengelolaan
bantuan bencana
4) Peraturan Pemerintah No.23 tahun 2008, tentang peran serta lembaga internasional
dan lembaga asing nonpemerintah dalam penanggulangan bencana.
5) Peraturan Presiden No.8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan
Bencana.
Sesuai dengan ketentuan perundangan, Pemerintahan membentuk Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) utnuk tingkat nasional dan Badan
Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk tingkat propinsi, kabupaten/kota.

BNPB memiliki tugas pokok antara lain:

1) Memberikan pedoman dan penagarahan terhadap usaha penanggulangan


bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat,
rehabilitasi, dan rekontruki secara adil dan setara;
2) Menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penaggulangan
bencana berdasarkan peraturan perundang-undang;
3) Menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada
masyarakat;
4) Melaporkan penyelenggara penanggualangan bencana kepada Presiden setiap
sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat
bencana;
5) Menggunakan dan mempertanggung jawabkan sumbangan/bantuan nasional
dan internasional
6) Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari anggaran
pendapatan dan belanja negara;
7) Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
dan
8) Menyusun pedoman pembentukan badan penaggulangan bencana daerah.
Badan ini memiliki fungsi antara lain:

1) Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan


pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien
2) Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara
terencana, terpadu dan menyeluruh.
6) Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana No.4 tahun 2008 tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Pedoman ini memuat
bagaimana menentukan tingkat risiko bencana dan prosedur penyusunan.
BAB
2

Jenis Bencana

2.1 Pengertian Umum

BENCANA adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa


yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Bencana ada bermacam-macam menurut sumber atau penyebabnya. United Nation
for Development Program (UNDP) mengelompokkan bencana atas 3 (tiga) jenis yaitu
bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.
 Bencana alam (natura; disaster) antara lain berupa gempa bumi, letusan gunung
api, angin topan, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan/lahan karena faktor
alam, hama penyakit tanaman, epidemi, wabah, kejadian luar biasa, dan kejadian
antariksa/benda-benda angkasa.
 Bencana non alam antara lain kebakaran hutan/lahan yang disebabkan oleh
manusia, kecelakaan transportasi, kegagalan konstruksi/teknlogi, dampak industri,
ledakan nuklir, pencemaran lingkungan, dan kegiatan keantariksaan.
 Bencana sosial antara lain berupa krusuhan dan konflik sosial dalam masyarakat
yang sering terjadi termasuk bencana akibat peperangan.
 Menurut undang-undang No.24 tahun 2007, bencana di klasifikasi atas 3 jenis
sebagai berikut.
1. Bencana Alam
Yaitu bencana yang bersumber dari fenomen alam seperti gempa bumi,
letusan gunung api, meteor, pemanasan global, banjir, topan, dan tsunami
2. Bencana non alam
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa
nonalam yang antara lain berupa gagal tknologi, gagal modernisai, epidemi,
dan wabah penyakit
3. Bencana sosial
Adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok
atau antar komunitas masyarakat dan teror.

2.2 Bencana Alam

BENCANA alam terjadi hampir sepanjang tahun diberbagai belahan dunia, termasuk di
Indonesia. Jenis bencana alam sangat banyak beberapa diantaranya sebagai berikut.

a. Gempa
Gempa merupakan kejadian alam yang paling sering dan banyak
menimbulkan korban. Menurut kejadiannya, gempa merupakan gejala alam,
berupa sentakan alamiah yang terjadi di bumi, yang sumbernya didalam bumi dan
merambat ke permukaan.
Terdapat dua jenis gempa bumi menurut kejadiannya yaitu gempa tektonik
dan vulkanik.
Gempa tektonik, adalah gempa yang berkaitan dengan pembentukan
patahan (fault), sebagai akibat langsung dari tumbukan antar lempeng pembentuk
kulit bumi. Pada umunya gempa ini memiliki kekuatan lebih dari 5 skala Richter.
Patahan-patahan besar juga merupakan penyebab gempa yang dasyat. Misalnya
patahan Semangko yag membujur sepanjang pulau Sumatera.
Gempa vulkanik, yaitu gempa yang berkaitan dengan aktivitas gunung api.
Pada umunya gempa ini berkekuatan kurang dari 4 skala Richter.
Terban terjadi akibat longsoran yang menimbulkan efek gempa dan
biasanya merupakan gempa kecil. Kekuatan gempa mungkin relatif kecil sehingga
kurang begitu dirasakan dan terdeteksi oleh seismograf.
b. Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang (tsu = pelabuhan, nami = gelombang)
yang dapat diartikan sebagai gelombang pasang. Umumnya, tsunami menerjang
pantai landai. Tsunami diperkirakan terjadi karena adanya perpindahan badan iar
yang disebabkan perubahan muka laut secara vertikal dengan tiba-tiba yang
disebabkan oleh berbagai faktor. Antara lain karena gempa bumi yang berpusat
dibawah laut, letusan gunung api bawah laut, longsor bawah laut. Gelombang
tsunami dapat merambat ke segala arah. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat
merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Ketika mendekati pantai,
kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun
ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman
gelombang tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai.
c. Letusan gunung api
Indonesia adalah daerah bergunung api sehingga bencana letusan gunung
api sering terjadi antara lain Gunung Krakatau, Gunung Merapi, Gunung
Galunggung, Gunung Semeru dan lainnya. Gunung api tersebar hampir tersebar
diwilayah Indonesia yang disebabkan posisi Indonesia yang berada dalam jalur
“ring of fire”
Letusan terjadi akibat endapan magma di dalam perut bumi yang didorong
keluar oleh gas yang bertekanan tinggi. Magam adalah cairan pijar yang terdapat
didalam lapisan bumi dengan suhu yang sangat tinggi, yakni diperkirakan lebih
dari 1.0000C. cairan magma yang keluar dari dalam bumi disebut lavq. Suhu lava
yang dikeluarkan bisa mencapai 700-1.2000C. letusan gunung api yang membawa
batu dan abu dapat menyembur sampai sejauh radius 18 km atau lebih, sedangkan
lavanya bisa membanjiri sampai sejauh radius 90 km.
Bahaya letusan gunung api dibagi menjadi dua bagian berdasarkan waktu
kejadiannya, yaitu bahaya primer dan bahaya sekunder yang meliputi hal-hal
sebagai berikut.

Bahaya Utama (Primer)

1. Awan panas, merupakan campuran material letusan antara gas dan bebatuan
(segala ukuran) terdorong ke bawah akibat densitas yang tinggi dan merupakan
adonan yang jenuh menggulung secara turbulensi bagaikan gunung awan yang
menyusuri lereng. Selain suhunya sangat tinggi, antara 300-7000C, kecepatan
lumpurnyapun sangat tinggi, >70 km/jam (tergantung kemiringan lereng).
2. Lontaran Material (pijar), terjadi ketika letusan (magmatik) berlangsung.
Jauh lontarannya sangat tergantung dari besarnya energi letusan yang bisa
mancapai ratusan meter. Selain suhunya yang sangat tinggi (>2000C), ukuran
materialnya juga besar dengan diameter >10 cm sehingga mampu membakar
sekaligus melukai, bahkan mematikan makhluk hidup.
3. Hujan abu lebat, terjadi ketika letusan gunung api sedang berlangsung.
Material yang berukuran halus (abu dan pasir halus) yang diterbangkan angin
dan jatuh sebagai hujan abu. Arah jatuhnya tergantung arah kecepatan angin.
Karena ukurannya yang halus, material ini sangat berbahaya bagi manusia dan
makhluk hidup baik flora maupun fauna karena mengandung unsur-unsur
kimia yang bersifat asam sehingga mampu mengakibatkan korosi terhadap
bahan-bahan logam.
4. Lava, merupakan magma yang mencapai permukaan, sifatnya liquid (cairan
kental dan bersuhu tinggi, antara 700-12000C). Karena berbentuk cair, lava
umumnya mengalir mengikuti lereng dan membakar apa saja yang dilaluinya.
Bila lava sudah dingin, wujudnya berubah menjadi batu (bantuan beku) dan
daerah yang dilaluinya akan menjadi ladang batu.
5. Gas racun, muncul tidak selalu didahului oleh letusan gunung api sebab gas
ini dapat keluar melalui rongga-rongga ataupun rekahan-rekahan yang terdapat
di daerah gunung api. Gas utama yang biasanya muncul adalah CO2, H2S,
HCl, SO2, dan CO. Yang kerap menyebabkan kematian adalah gas CO2.
Beberapa gunung yang memiliki karakteristik letusan gas beracun adalah
Gunung Api Tangkuban Perahu, Gunung Api Dieng, Gunung Ciremai, dan
Gunung Api Papandaya.
6. Tsunami, umumnya dapat terjadi pada gunung api pulau, dimana saat letusan
terjadi material-material akan memberikan energi yang besar untuk mendorong
air laut ke arah pantai sehingga terjadi gelombang tsunami. Makin besar
volume material letusan makin besar gelombang yang terangkat ke darat.
Sebagai contoh kasus adalah letusan Gunung Krakatau tahun 1883.
(sumber:www.bnpb.go.id)
d. Banjir
Meningkatnya banjir yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia,
khususnya Pulau Jawa, sering dikaitkan dengan pembabatan hutan di kawasan hulu
dari sistem daerah aliran sungai (DAS). Banjir, merupakan bencana alam yang
paling dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan besar curah hujan.
Disebabkan karena pembabatan hutan yang tidak terkendali, sistem pengaturan atau
tata air yang buruk, perubahan fungsi hutan menjadi ladang dan pemukiman.
Kegiatan penebangan hutan dan pemadatan tanah mengakibatkan air hujan
sulit terserap ke tanah. Sebagaian besar menjadi air permukaan disertai lumpur.
Ditambah lagi kondisi sungai yang sudah mengalami erosi, dangkal dan menyempit,
bantaran sungai yang penuh dengan penghuni, serta peyumbatan air.
Banjir umumnya terjadi didataran rendah dibagian hilir daerah aliran sungai.
Umumnya berupa delta maupun alluvial. Secara geologis, berupa lembahatau
bentuk cekungan bumi lainnya dengan porositas rendah.
Daerah daratan rendah dan rata tersebut umumnya menjadi tujuan utama pusat
pemukiman dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi seperti pesisir utama
pulau Jawa seperti daerah aliran Bengawan Solo, dataran Sungai Citarum, dan
Sungai Brantas. Di pulau Sumatera potensi banjir banyak terjadi di daerah sebelah
timur seperti Sumatera Utara, Riau, dan Jambi.
e. Longsor
Longsor merupakan gejala alam untuk mencapai kondisi kestabilan kawasan.
Seperti halnya banjir, sebenernya gerakan tanah merupakan bencana alam yang
dapat diramalkan kedatangannya, karena berhubungan dengan besar curah hujan.
2.3. Bencana Buatan Manusia (Man Made Disaster)

BENCANA buatan manusia (man made disaster) atau sering juga disebut bencana non
alam yaitu bencana yang diakibatkan atau terjadi karena campur tangan manusia. Campur
tangan ini dapat berupa langsung atau tidak langsung. Buatan manusia langsung misalnya
bencana akibat kegagalan teknologi di suatu pabrik industri. Bencana tidak langsung
misalnya pembabatan hutan yang mengakibatkan timbulnya bahaya banjir.

Berbagai bentuk bencana yang terkait dengan kegiatan manusia antara lain:

a. Bencana Industri
Adalah bencana yang berkaitan dengan aktivitas industri dalam proses operasinya.
Kegiatan industri mengandung berbagai bahaya yang berpotensi menimbulkan
bencana khususnya industri berisiko tinggi.
Bencana yang dapat terjadi akibat kegiatan industri antara lain:
 Kebakaran dan peledakan
 Bocoran bahan berbahaya dan beracun
 Pencemaran lingkungan
 Kegagalan konstruksi

Beberapa diantara bencana industri yang terjadi diberbagai bagian dunia antara
lain:

 Bhopal, India
Peristiwa ini terjadi di kota kecil Bhopal India pada tanggal 1984. Sebuah
pabrik kimia milik Union Carbide yang menghasilkan Methyl Isocianate
sebagai bahan pestisida. Pabrik mengalami kebocoran karena kesalahan dalam
operasi.
Sebagai akibatnya gas beracun menyebar keluar pabrik mengakibatkan
lebih 2500 orang meninggal dunia, ribuan hewan dan tanaman mati. Peristiwa
ini juga meninggalkan ribuan korban cacad seumur hidup dan kerusakan
ekologi yang sangat besar.
 Bencana Chernobyl, Rusia
Chernobyl adalah sebuah kota tak berpenghuni di Ukrina Utara, tepatnya di
Oblast Kiev dekat dengan perbatasan Belarusia. Pada tanggal 26 April 1986
pukul 01:23 terjadi ledakan pada Reaktor Unit 4 pembangkitan Listrik tenaga
Nuklir (PLTN) Chernobyl, Rusia. Yang termasuk bencana terhebat dalam
sejarah pembangkit listrik tenaga nuklir.
Bencana diakibatkan sebaran bahan radioaktif menyusul ledakan dan
kebakaran yang mengandung zat radio aktif dengan konsentrasi empat ratus
kali lebih besar dibanding bahan yang disebarkan akibat bom atom di
Hiroshima.
 Pasadena Explosion
Salah satu bencana terburuk dalam industry petrokimia terjadi di Pasadena
Texas 23 Oktober 1989 di sebuah pabrik Kimia milik Philips 66 yang
menghasilkan high-density polythylene (HDPE), bahan pembuat botol dan
kemasan plastik.
Pabrik dengan pekerja sekitar 905 orang dan kontraktor sekitar 600 orang
tiba-tiba meledak dahsyat yang menghasilkan getaran setara dengan gempa
berkekuatan 3,5 SR. Ledakan ini megakibatkan korban 23 orang tewas dan
lebih 300 orang cedera. Bencana disebabkan ileh bocoran gas yang mudah
menyala ketika sedang melakukan pekerjaan pemeliharaan di salah satu unit
reaktor pabrik.
Diperkirakan lebih dari 50.000 kg bahan mudah meledak keluar ke udara
membentuk awan yang kemudian terkena sumber panas dan meledak
menghancurkan area sekitarnya.
 Mexico Disaster
Peristiwa ini merupakan man made disaster yang sangat dasyat yang
mengakibatkan lebih 67 orang tewas, bangunan hancur, dan ribuan korban
cedera.
Kecelakaan ini bermula dari instalasi penimbunan dan pengisian LPG di
kota Mexico. Peristiwa di awali oleh seorang operator yang sedang melakukan
pekerjaan membuang cairan air (drain) dari bagian bawah tangki.
Diduga yang bersangkutan melakukan kesalahan prosedur operasi yang
mengakibatkan gas LPG menyebar keluar dan akhirnya disambar api sehingga
terjadi kebakaran yang disusul dengan ledakan beruntun yang mengakibatkan
kehencuran area lebih 1 kilometer sekitarnya.
 Bencana Minamata
Bencana Minamata terjadi di teluk Minamata Jepang tahun 1956. Bencana
terjadi karena adanya buangan limbah Merkuri (methyl mercury) dari pabrik
yang berlokasi di sekitar teluk. Merkuri masuk ke dalam perairan diserap oleh
ganggang dan organik halus dimakan ikan dan kemudian dikonsumsi oleh
manusia Merkuri mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf mengakibatkan
ratusan bayi lahir cacad dan kemudian menimbulkan berbagai penyakit
lainnya.
 Bencana Lapindo Brantas
Bencana ini terjadi di daerah Porong, Sidoarjo. Terjadi semburan lumpur
panas dari rekahan tanah di sekitar area pengeboran minyak yang dilakukan
oleh P.T. Lapindo Brantas. Luapan lumpur yang tidak terkendali ini telah
menenggelamkan kawasan seluas sekitar 900 hektar mengakibatkan ribuan
penduduk kehilangan tempat tinggal dan tempat usaha yang terpaksa berhenti
beroperasi.
b. Bencana non Industri
Bencana non industri juga banyak terjadi di berbagai negara dan kawasan di
dunia, mulai dari bencana transportasi, publik, pemukiman, dan lainnya.
Salah satu bencana transportasi yang menjadi sejarah manusia adalah
tenggelamnya kapal Titanic tanggal 14 April 1912 yang mengakibatkan sekitar 1.500
orang meninggal dunia.
c. Bencana sosial
Bencana sosial sudah menjadi fenomena di berbagai kawasan dan terjadi
hampir sepanjang peradaban manusia, misalnya peperangan, dan konflik sosial.
Indonesia sejak jaman silam sampai masa sekarang sarat dengan berbagai
kasus konflik sosial seperti perang antar suku, agama dan separatis, perebutan
kekuasaan, dan penjajahan.
BAB

Proses Manajemen Bencana

3.1 Pendahuluan

3.1.1. Konsep Manajemen Bencana

Mengelola bencana tidak bisa dilakukan hanya dengan cara dadakan atau
insidentil, tetapi harus dilakukan secara terencana dengan manajemen yang baik,
jauh sebelum suatu bencana terjadi melalui suatu proses yang disebut manajemen
bencana.
Penyelenggara penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Manajemen bencana pada dasarnya dapat dibagi atas tiga tingkatan yaitu pada tingkat
lokasi, tingkat lokasi. Tingkat unit atau daerah dan tingkat nasional atau korporat. Untuk
tingkat lokasi disebut manajemen insiden (incident management), pada tingkat daerah atau
unit disebut manajemen darurat (emergency mangement) dan pada tingkat yang lebih
tinggi disebut manajemen krisis (crisis management).

Lokasi
Insiden
Manajemen
Insiden

Wilayah/Unit
Manajemen Darurat

Nasional/Korpirat
Manajemen Krisis

a. Manajemen Insiden (Incident Management)


Yaitu penanggulangan kejadian di lokasi atau langsung di tempat kejadian.
Biasanya dilakukan oleh tim tanggap darurat yang dibentuk atau petugas-petugas
lapangan sesuai dengan keahliannya masing-masing.
Penanggulangan bencana pada tingkat ini bersifat teknis.
b. Manajemen Darurat (Emergency Management)
Yaitu upaya penanggulangan bencana di tingkat yang lebih tinggi yang
mengkoordinir lokasi kejadian. Sebagai contoh, terjadi bencana di kota Pariaman
Sumbar, maka pada tingkat manajemen bencana dilakukan di level Propinsi,
sedangkan penanggulangannya ada di tingkat Kabupaten.
Untuk tingkat perusahaan, manajemen bencana berada di tingkat area atau
pimpinan pabrik terkait.
c. Manajemen Krisis (Crisis Management)
Manajemen krisis berada di tingkat yang lebih tinggi misalnya tingkat nasional
atau tingkat korporat bagi suatu perusahaan yang mengalami bencana.
Perbedaan tugas dan tanggung jawab pada ketiga tingkatan ini adalah
berdasarkan fungsinya yaitu taktis (tactic) dan strategis (strategic). Pada tingkat
manajemen insiden, tugas dan tanggung jawab lebih banyak menangani hal-hal yang
strategis.
Pengaturan fungsi dan peran ini sangat penting dilakukan dalam
mengembangkan suatu manajemen bencana. Benturan dilapangan pada dasarnya
terjadi karena pengaturan tugas dan peran ini tidak jelas dan bertabrakan. Misalnya
siapa yang bertanggung jawab mengkoordinir bantuan dari pihak luar dan siapa yang
mengelola bantuan tersebut setelah berada dilapangan. Siapa pula yang menetukan
kebijakan manajemen bencana dan siapa melakukan penerapannya di lapangan.
Tingkat Kategori Lingkup
Lokasi Manajemen insiden
(incident management)

Daerah/Unit Pabrik Manajemen Darurat


(emergency management)

Nasional/Korporat Manajemen Krisis (crisi


management)

Strategis Taktis

Peran antara ketiga angkatan ini sangat berbeda. Tim taktis berperan langsung
di lapangan, misalnya tim SAR, tim Medis , tim Peadam Kebakaran, tim Penyelamat,
tim Perbaikan.
Pada tingkat kedua yang bersifat setengah taktis dan strategis, berperan untuk
mendukung pelaksanaan tugas tim di lapangan, memberikan arahan dan sekaligus juga
memantau pelaksanaan manajemen bencana di lapangan. Tim ini juga bertugas
melakukan monitoring langsung mengenai upaya penaggulangan sekaligus
mengevaluasi permasalahan yang dihadapi tim penanggulangan dan bagaimana
megatasinya.
Pada tingkat nasional atau korporat yang lebih bersifat strategis, tugasnya
adalah menentukan kebijakan, misalnya menetapkan kondisi darurat nasioanl atau
menetapkan anggaran yang diperlukan, mengadakan koordinasi dengan tim eksternal
lainnya. Dalam kondisi normal, organisasi tingkat korporat juga bertugas dan
berperan menetapkan dan mengembangan pedoman atau prosedur operasional yang
diperlukan dalam menghadapi suatu bencana.

3.1.2 Tahapan Manajemen Bencana


Manajemen bencana merupakan suatu proses terencana yang dilakukan untuk
mengelola bencana dengan baik dan aman melalui 3 (tiga) tahapan sebagai berikut:
1. Pra bencana
1.1. Kesiagaan
1.2. Peringatan dini
1.3. Mitigasi
2. Saat bencana
 Tanggap darurat
3. Pasca bencana
3.1 Rehabilitasi
3.2 Rekontruksi

3.2. Pra Bencana

TAHAPAN manajemen bencana pada kondisi sebelum kejadian atau pra bencana
meliputi kesiagaan, peringatan dini, dan mitigasi.

3.2.1. Kesiagaan
Kesiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi
bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya
guna.
Membangun kesiagaan adalah unsur penting, namun tidak mudah dilakukan
karena menyangkut sikap mental dan budaya serta disiplin di tengah masyarakat.
Kesiagaan adalah tahapan yang paling strategis karena sangat menentukan katahanan
anggota masyarakat dalam menghadapi datangnya suatu bencana.
3.2.2. Peringatan Dini
Langkah lainnya yang perlu dipersiapkan sebelum bencana terjadi adalah
peringatan dini. Langkah ini diperlukan untuk memberi peringatan kepada masyarakat
tentang bencana yang akan terjadi sebelum kejadian seperti banjir, gempa bumi,
tsunami, letusan gunung api, atau badai.
Peringatan dini disampaikan dengan segera kepada semua pihak, khususnya
mereka yang potensi tekena bencana akan kemungkinan datangnya suatu bencana
didaerahnya masing-masing. Peringatan didasarkan berbagai informasi teknis dan
ilmiah yang dimilki, diolah atau diterima dari pihak berwenang mengenai
kemungkinan akan datangnya suatu bencana. Sebagai contoh, jauh sebelum badai
Katrina tiba, badan yang berwenang sudah dapat melakukan ramalan dan
memperkirakan kapan terjadinya badai, lokasi serta kekuatannya. Dengan demikian
anggota masyarakat dapat diberi informasi sehingga mereka dapat mempersiapkan
dirinya dengan baik.
Dewasa ini sistem peringatan dini sudah berkembang pesat didukung oleh
berbagai temuan teknologi. Di Indonesia, berbagai ramalan atau perkiraan akan
datangnya bencana sudah banyak dilakukan seperti cuaca, gempa, tsunami, dan banjir.
Pemerintah telah memasang berbagai peralatan peringatan dini di berbagai kawasan di
Indonesia.
3.2.3. Mitigasi Bencana
Menurut Peraturan Pemerintah (PP) No.21 tahun 2008, mitigasi bencana
adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui
pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan mengahdapi
ancaman bencana.
Mtigasi bencana adalah upaya untuk mencegah atau mengurangi dampak yang
ditimbulkan akibat suatu bencana. Dari batasan ini sangat jelas bahwa mitigasi
bersifat pencegahan sebelum kejadian.
Mitigasi bencana harus dilakukan secara terencana dan komprehensif melalui
berbagai upaya dan pendekatan antara lain:
a. Pendekatan Teknis
Secara teknis mitigasi bencana dilakukan untuk mengurangi dampak suatu
bencana misalnya:
 Membuat rancangan atau desain yang kokoh dari bangunan sehingga tahan
terhadap gempa
 Membuat material yang tahan terhadap bencana, misalnya material tahan api
 Membuat rancangan teknis pengaman, misalnya tanggul banjir, tanggul
lumpur, tanggul tangki untuk mengendalikan tumpahan bahan berbahaya.
b. Pendekatan Manusia
Pendekatan secara manusia ditujukan untuk membentuk manusia yang paham
dan sadar mengenai bahaya bencana. Untuk itu perilaku dan cara hidup manusia
harus dapat diperbaiki dan disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan potensi
bencana yang dihadapinya.
c. Pendekatan Administratif
Pemerintah atau pimpinan organisai dapat melakukan pendekatan administratif
dalam manajemen bencana, khususnya di tahap mitigasi sebagai contoh:
 Penyusunan tata ruang dan tata lahan yang memperhitungkan aspek risiko
bencana.
 Sistem perijinan dengan memasukkan aspek analisa risiko bencana.
 Penerapan kajian bencana untuk setiap kegiatan dan pembangunan industri
berisiko tinggi.
 Mengembangkan program pembinaan dan pelatihan bencana diseluruh tingkat
masyarakat dan lembaga pendidikan
 Menyiapkan prosedur tanggap darurat dan organisai tanggap darurat di setiap
organisai baik pemerintahan maupun industri berisiko tinggi.
d. Pendekatan kultural
Masih ada anggapan dikalangan masyarakat bahwa bencana itu adalah takdir
sehingga harus diterima apa adanya. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
dengan kemampuan berpikir dan berbuat, manusia dapat berupaya menjauhkan diri
dari bencana dan sekaligus mengurangi keparahannya.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan kultural untuk meningkatkan kesadran
mengenai bencana. Melalui pendekatan kultural, pencegahan bencana disesuaikan
dengan kearifan masyarakat lokal yang telah membudaya sejak lama.
Upaya pengendalian dan pencegahan bencana disesuaikan dengan budaya
lokal dan tradisi yang berkembangdi tengah masyarakat. Sebagai contoh,
bagaimana keberhasilan Wali Songo mengembangkan agama Islam melalui
pendekatan budaya melalui wayang atau tradisi lainnya. Sebaiknya pemerintah
daerah setempat mengembangkan budaya dan tradisi lokal tersebut untuk
membangun kesadaran akan bencana di tengah masyarakat.

3.3. Saat Kejadian Bencana

TAHAPAN paling krusial dalam sistem manajemen bencana adalah saat bencana
sesungguhnya terjadi. Mungkin telah melalui proses peringatan dini, maupun tanpa
peringatan atau terjadi secara tiba-tiba. Bencana banjir, mungkin dapat diperkirakan
sebelumnya berdasarkan angka curah hujan yang terjadi. Bencana angin topan juga dapat
diprediksi sebelumnya sehingga saat kejadian masyarakat sudah mempersiapkan dirinya
masing-masing. Namun banyak bencana, khususnya gempa bumi yang masih sulit
diperkirakan terjadinya.
Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah seperti tanggap darurat untuk dapat
mengatasi dampak bencana dengan cepat dan tepat agar jumlah korban atau kerugian dapat
minimalkan.
3.3.1. Tanggap Darurat
Tanggap darurat bencana (response) adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana.
Tanggap darurat adalah tindakan segera yang dilakukan untuk mengatasi kejadian
bencana misalnya dalam suatu proses kebakaran atau peledakan di lingkungan industri:
 Memadamkan kebakaran atau ledakan
 Menyelamatkan manusia dan korban (resque)
 Menyelamatkan harta benda dan dokumen penting (salvage)
 Perlindungan masyarakat umum
Tindakan ini dilakukan oleh tim penanggulangan bencana yang dibentuk dimasing-
masing daerah atau organisasi.
Menurut PP No.11, langkah-langkah yang dilakukan dalam kondisi tanggap darurat
antara lain:
 Pengkajian secara tepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumberdaya,
sehingga dapat diketahui dan diperkirakan magnitude bencana, luas area yang
terkena dan perkiraan tingkat kerusakan.
 Penentuan status keadaan darurat bencana
 Berdasarkan penilaian awal dapat diperkirakan tingkat bencan sehingga dapat pula
ditentukan status keadaan darurat. Jika tingkat bencana tersebut dapat digolongkan
sebagai bencana nasional.
 Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
Langkah berikutnya adalah melakukan penyelamatan dan evakuasi korban bencana.
Kemungkinan besar bencana tersebut menimbulkan korban yang dapat segera ditemukan,
namun tidak jarang pula korban terjebak atau tertimbun reruntuhan sehingga diperlukan
upaya keras untuk dapat menyelamatkan.
 Pemenuhan kebutuhan dasar;
Dalam kondisi bencana, kemungkinan besar semua sarana umum, sanitasi
dan logistik mengalami kehancuran atau sekurangnya terputus. Untuk itu, salah
satu langkah yang harus dilakukan adalah memberikan layanan kebutuhan dasar
seperti pangan dan papan.
 Perlindungan terhadap kelompok rentan
Salah satu prioritas dalam menyelamatkan korban bencana adalah
kelompok yang dikategorikan rentan, misalnya anak-anak, orang tua, cacad, pasien
dirumah sakit, dan kaum lemah lainnya. Mereka perlu dibantu terlebih dahulu dan
dievakuasi ke tempat yang lebih aman sehingga tidak menambah jumlah korban
bencana.
 Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Tim tanggap darurat juga bertugas untuk segera memulihkan kondisi
prasarana yang mengalami kerusaksan akibat bencana seperti saluran air minum,
listrik, dan telepon.
Sarana vital ini sangat menentukan dalam mendukung upaya pemulihan dan
penyelamaan korban bencana.
3.3.2. Penaggulangan Bencana
Selama kegiatan tanggap darurat, upaya yang dilakukan adalah menanggulangi
bencan yang terjadi sesuai dengan sifat dan jenisnya. Penanggulangan bencana
memerlukan keahlihan dan pendekatan khusu menurut kondisi dan skala kejadian.
Sebagai contoh, kasus lumpur Lapindo memerlukan upaya penanggulangan yang
tidak mudah untuk dapat menghentikan semburan lumpur. Kebakaran atau tumpahan
minyak dalam jumlah besar di laut lepas juga memerlukan upaya penanggulangan yang
sangat berat dengan mengerahkan seluruh tim tanggap darurat, bahkan mungkin
memerlukan sumberdaya tambahan.
Tim tanggap darurat diharapkan mampu menangani segala bentuk bencana. Oleh
karena itu tim tanggap darurat harus diorganisir dan dirancang untuk dapat menangani
berbagai jenis bencana.

3.4. Pasca Bencana

SETELAH bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati, maka langkah
berikutnya adalah melakukan rehabilitasi dan rekontruksi.
3.4.1 Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yan memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.
Di tingkat industri atau perusahaan, fase rehabilitasi dilakukan untuk
mengembalikan jalannya operasi perusahaan seperti sebelum bencana terjadi. Upaya
rehabilitasi misalnya memperbaiki peralatan yang rusak dan memulihkan jalannya
perusahaan seperti semula.
3.4.2 Rekontruksi
Rekontruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana.
Kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perkeonomian,
sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Proses rekontruksi tidak mudah dan memerlukan upaya keras dan terencana dan
peran serta semua anggota masyarakat. Sebagai contoh, rekontruksi Aceh pasca tsunami
memerlukan waktu tidak kurang dari 5 tahun agar kondisi fisik dan mental, lingkungan
dan teknis, serta prasarana ekonomi dibangun kembali dan diharapkan akan lebih baik
dibanding kondisi sebelum bencana.
Bab
4

Elemen Sistem Manajemen Bencana

Manajemen bencana harus dikembangkan dan dilaksanakan


secara terncana dan sistematis. Penerapannya tidak sederhana
namun membutuhkan berbagai aktivitas yang saling terkait
satu dengan lainnya. Manajemen bencana juga harus mencakup
seluruh fase di mulai dari prabencana, bencana dan pasca bencana.
Banyak sekali tugas atau kegiatan yang harus dilakukan dalam
setiap fase tersebut. Untuk itu manajemen bencana memerlukan
berbagai elemen yang mendukung penerapannya antara lain:
1. Kebijakan Manajemen
2. Identifikasi Keadaaan Darurat
3. Perencanaa Awal
4. Prosedur Tanggap Darurat
5. Organisasi Tanggap Darurat
6. Sumberdaya dan Sarana
7. Pembinaan dan Pelatihan
8. Komunikasi
9. Inspeksi dan Audit
10. Investigas dan Pelaporan
Kesepuluh elemen ini sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan penerapan
manajemen bencana.

4.1. Kebijakan Manajemen

Manajemen tanggap darurat harus menjadi kebutuhan dan dituangkan dalam kebijakan
manajemen. Tanpa dukungan dan keinginan dari manajemen, maka program pengelolaan
tanggap darurat tidak akan berhasil.
Untuk tingkat nasional, kebijakan tentunya ditetapkan oleh Presiden dan untuk
daerah adalah Kepala Darurat setempat. Untuk tingkat perusahaan kebijakan keadaan
darurat harus ditetapkan oleh pimpinannya setempat.
Kebijakan ini menjadi landasan penerapan manajemen bencana di masing-masing
daerah atau perusahaan/organisasi. Berdasarkan kebijakan ini, dapat dikembangkan dan
ditetapkan strategi pengendalian bencana, penyediaan sumberdaya yang diperlukan serta
organisasi pelaksanaannya.
Kebijakan ini juga sangat penting karena sekaligus menjadi bukti komitmen
pimpinan setempat terhadap penerapan manajemen bencana di lingkungannya masing-
masing. Dengan demikian, semua pihak terkait, bawahan dan anggota tim pengendalian
bencana akan memperoleh dukungan nyata dari pimpinan setempat.

4.2. Identifikasi dan Penilaian Risiko Bencana (Disaster Risk Assesment)

Unsur berikutnya dalam sistem maanjemen bencana adalah identifikasi dan penilaian
risiko bencana. Identifikasi bencana mutlak diperlukan sebelum mengembangkan sistem
manajemen bencana. Tanpa mengetahui apa jenis dan skala bencana yang akan dihadapi,
maka upaya penanggulangan bencana akan sulit dilakukan dengan baik dan efektif.
Menurut PP No.21 tahun 2008, risiko bencana adalah potensi kerugian yang
ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertntu yang dapat berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau
kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.
Persyaratan analisis risiko bencana sebagaimana ditetapkan dalam PP tersebut
antara lain sebagai berikut:
a. Tuuan Identifikasi Bencana adalah untuk mengetahui dan menilai tingkat risiko
dari suatu kondisi atau kegiatan yang dapat menimbulkan bencana.
b. Persyaratan analisis risiko bencana disusun dan ditetapkan oleh Kepala BNPB
dengan melibatkan instansi/lembaga terkait.
c. Persyaratan analisis risiko bencana digunakan sebagai dasar dalam penyusunan
analisis mengenai dampak lingkungan, penataan ruang serta pengambilan tindakan
pencegahan dan mitigasi bencana.
d. Pasal 12: setiap kegiatan pembanguna yang mempunyai risiko tinggi
menimbulkan bencana, wajib dilengkapi dengan analisis risiko bencana.
e. Analisis risiko bencana sebagaimana dimaksud disusun berdasarkan persyaratan
analisis risiko bencana melalui penelitian dan pengkajian terhadap suatu kondisi
atau kegiatana yang mempunyai risiko tinggi menimbulkan bencana.
f. Analisis risiko bencana dituangkan dalam bentuk dokumen yang disahkan oleh
pejabat pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
g. BNPB atau BPBD sesuai dengan kewengangannya melakukan pemantuan dan
evaluasi terhadap pelaksanaan analisis risiko bencana.
Berdasarkan peraturan di atas, jelas terlihat bahwa setiap organisasi atau kegiatan
yang mengandung risiko bencana tinggi wajib melakukan Analisa Risiko Bencana
(ARISCANA). Hal serupa dengan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan) yang diberlakukan mengenai aspek lingkungan.
ARISCANA dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh informasi dan data
mengenai potensi bencana yang mungkin dapat terjadi dilingkungan masing-masing
serta potensi atau tingkat risiko atau keparahannya.
Risiko adalah merupakan kombinasi antara kemungkinan dengan tingkat keparahan
bencana yang mungkin terjadi.

Risiko = Kemungkinan x Keparahan


atau dengan rumus:

Risiko = f (Bahaya x Kerentanan/Kemampuan)

Menurut pedoman Kepala BNPB No.4 tahun 2008 mengenai Pedoman Penyusunan
Rencana Penanggulangan bencana suatu risiko adalah fungsi dari bahaya dan
kerentanan dibagi dengan kemampuan untuk mengendalikannya. Dengan demikian,
semakin tinggi ancaman bahaya, maka semakin tinggi risiko bencana.

Kemungkinan bencana (likehood) adalah perkiraan kemungkinan suatu bencana


dapat terjadi yang digambarkan dalam bentuk peringkat misalnya dengan memberi
angka dari 1 sampai 4.

Sebagai contoh, untuk kemungkinan (likehood) terjadinya bencana dapat bencana


dapat dibuat peringkat sebagai berikut:

1. Sangat jarang terjadi


2. Pernah terjadi misalnya sepuluh tahun yang lalu.
3. Dapat terjadi lebih dari 1 kali dalam setahun.
4. Sering artiny dapat terjadi setiap saat atau lebih 1 kali dalam setahun.

Nilai Kemungkinan
1 Sangat jarang terjadi
2 Pernah terjadi misalnya sepuluh tahun yang lalu
3 Sering terjadi lebih dari 1 kali dalam setahun
4 Sering artinya dapat terjadi setiap saat atau lebih 1 kali dalam setahun

Menurut pedoman BNPB, kemungkinan terjadinya bencana diberi peringkat


sebagai berikut:

5 Pasti Hampir dipastikan 80-90%


4 Kemungkinan 60-80% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 10
besar tahun mendatang
3 Kemungkinan 40-60% terjadi tahun depan, atau sekali dalam 100
terjadi tahun
2 Kemungkinan 20-40% dalam 100 tahun
kecil
1 Kemungkinan Hingga 20%
sangat kecil

Keparahan bencana (severity) adalah perkiraan dampak atau akibat yang


ditimbulkan oleh suatu bencana baik terhadap manusia, aset, lingkungan atau sosial.
Secara sederhana dengan menggunakan pendekatan kualitatif, keparahan suatu
bencana dapat dibuat peringkatnya denganmemberi angka dari 1 untuk risiko yang
sangat ringan sampai 4 untuk risiko atau dampak yang sangat serius seperti contoh
berikut:

1. Tidak memiliki dampak signifikan baik terhadap manusia maupun terhadap


aset atau bisnis perusahaan atau kerugian misalnya dibawah Rp 1 juta.
2. Menimbulkan kerugian ringan, cedera ringan dan dampak tidak besar terhadap
organisasi, misalnya kerugian tidak lebih dari Rp 1 juta
3. Dampak signifikan, menimbulkan cedera serius atau kerugian besar bagi
organisasi, misalnya kerugian materi lebih dari Rp 10 juta sampai 100 juta.
4. Dampak sanat serius, jika kejadian dapat menimbulkan korban jiwa atau
kerusakan parah yang dapat mengganggu jalannya bisnis dengan nilai kerugian
misalnya lebih Rp 100 juta.

Nilai Keparahan
1 Tidak memiliki dampak signifikann baik terhadap manusia maupun
terhadap aset atau bisnis perusahaan atau kerugian di bawah Rp 1 juta
2 Menimbulkan kerugian ringan, cedera ringan dan dampak tidak besar
terhadap organisasi, misalnya kerugian tidak lebih dari Rp 1 juta
3 Dampak signifikan, menimbulkan cedera serius atau kerugian besar
bagi organisasi, misalnya kerugian materi lebih dari Rp 10juta sampai
100 juta
4 Dampak sangat serius, jika kejadian dapat menimbulkan korban jiwa
atau kerusakan parah yang dapat mengganggu jalannya bisnis dengan
nilai kerugian lebh Rp 1 milyar
Menurut pedoman BNPB, keparahan bencana diberi bobot sebagai berikut:

5 Sangat parah 80-90% wilayah hancur dan lumpuh total


4 Parah 60-80% wilayah hancur
3 Sedang 40-60% wilayah terkena rusak
2 Ringan 20-40% wilayah yang rusak
1 Sangat ringan Kurang dari 20% wilayah rusak

Disamping cara di atas masih banyak metode lain yang dapat digunakan misalnya
dengan metoda vulnerability analysis, quantitative risk assessment (QRA) dan lainnya.

Dari hasil analisa diatas, dapat dibuat matrik risiko (risk matrix) sebagai kombinasi
antara kemungkinan dan keparahan yang menggambarkan tingkat atau peringkat suatu
risiko bencana, misalnya risiko paling tinggi bernilai 4 x 4 atau sama dengan 16.
Selanjutnya dari peringkat ini, dapat ditetapkan kriteria risiko bencana bagi organisasi
misalnya:

I. Risiko kecil, dengan nilai risiko antara 1-8


II. Risiko sedang, dengan nilai risiko antara 9-10
III. Risiko besar, dengan nilai antara 11-16

Menurut Standar Australia AS/NZS 4360 tentang Manajemen Risiko, matrik risiko
dapat disusun dengan menggabungkan antara kemungkinan terjadinya bencana
(probabilitas) dengan keparahan jika terjadi (vulnerablity). Pedoman penentuan risiko
yang digunakan dalam standar tersebut dapat diaplikasikan dalam manajemen bencana.

Menurut standar tersebut, risiko adalah merupakan kombinasi dari kemungkinan


terjadinya (likehood) dengan keparahan atau dampak yang ditimbulkannya jika terjadi
(severity).

Selanjutnya masing-masing aspek ini diberi peringkat untuk menentukan tingkat


keparahannya. Untuk bencana, keparahan atau dampak ini bisa dihitung atau dinilai dari
berbagai aspek, misalnya:

 Jumlah populasi atau manusia yang kemungkinan terkena dampak bencana


 Luasnya area bencana yang akan terjadi. Misalnya ledakan dari suatu tangki LPG
dalam industri kimia dapat menjangkau radius lebih dari 1 kilometer. Dampak dari
suatu gempa bumi, dapat menjangkau radius ratusan kilometer tergantung dari
intensitasnya
 Kondisi lingkungan dimana bencana terjadi, misalnya area pemukiman padat,
perkotaan, pegunungan. Lembah berbukit-bukit, pantai, atau aliran sungai.
 Tingkatan bencana atau intensitasnya, misalnya gempa dengan skala diatas 7 SR,
bocoran nuklir dengan kekuatan 200 TNT, atau kebakaran dengan luas tertentu.

Selanjutnya dilakukan penilaian risiko (risk analyisis) yaitu kombinasi antara


kemungkinan (likelihood) dengan keparahan (severity) yang digambarkan dalam matriks
sebagai berikut:

Keparahan
Kemungkinan
1 2 3 4
1 1 2 3 4
2 2 4 6 8
3 3 6 9 12
4 4 8 12 16

Menurut pedoman BNPB, matrik bencana disusun sebagai berikut:

Dampak
Probabilitas
1 2 3 4 5
5
4
3
2
1

Berdasarkan matriks di atas dapat ditetapkan peringkat risiko sebagai berikut:

 Risiko bencana Rendah


 Risiko bencana Sedang
 Risiko bencana Tinggi
 Risiko bencana Ekstrem
Menurut pedoman BNPB, tingkat risiko dibagi atas tiga tinkatan yaitu:

 Bahaya/ancaman tinggi nilai 3


 Bahaya/ancaman sedang nilai 2
 Bahaya/ancaman rendah nilai 1

Dari uraian di atas dapat disimpulkan proses manajemen bencana melalui tiga langkah
sebagai berikut:

a. Identifikasi bencana
b. Penilaian dan evaluasi risiko bencana
c. Menentukan pengendalian bencana

4.2.1. Identifikasi Bencana

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi semua potensi bencana


yang dapat terjadi. Sebagai contoh, untuk suatu industri kimia potensi bencana yang
mungkin terjadi misalnya:

 Tumpahan bahan kimia beracun


 Kebakaran dan peledakan
 Pencemaran lingkungan dan perairan
 Gempa bumi
 Tsunami
 Banjir
 Badai dan topan
 Gangguan keamanan (sosial)

Untuk suatu wilayah atau daerah dimana terdapat kota yang padat, pusat industri, dan
pelabuhan laut, kemungkinan bencana dapat diidentifikasi misalnya:

 Banjir dan tanah longsor


 Badai dan topan
 Gempa bumi
 Tsunami
 Bencana industri
 Gangguan keamanan (sosial)
Identifikasi bencana dilakukan dengan melihat berbagai aspek yang ada di suatu daerah
atau perusahaan, seperti lokasi, jenis kegiatan, kondisi geografis, cuaca, alam, aktivitas
manusia dan industri, sumberdaya alam serta sumber lainnya yang berpotensi
menimbulkan bencana. Identifikasi ini dapat didasarkan kepada pengalaman bencana yang
pernah terjadi sebelumnya dan prediksi kemungknan suatu bencana dapat terjadi.

4.2.2. Penilaian dan Evaluasi Risiko Bencana

Tingkat risiko untuk setiap perusahaan atau kawasan tentu tidak sama. Berdasarkan
hasil identifikasi bencana dilakukan penilaian kemungkinan dan keparahan atau skala
dampak yang mungkin ditimbulkan oleh bencana tersebut. Dengan demikian dapat
diketauhi. Apakah potensi suatu bencana di suatu perusahaan atau wilayah tergolong tinggi
atau rendah. Sebagai contoh, setiap wilayah mungkin mempunyai risiko gempa yang
sama. Namun dampak bencana gempa dengan kekuatan yang sama disuatu wilayah
dengan wilayah lainnya pasti akan berbeda.

a. Penilaian Risiko Bencana

Untuk menentukan tingkat risiko bencana tersebut, dapat dilakukan melalui penilaian
risiko bencana. Benyak metoda yang dapat dilakukan untuk menilai tingkat risiko
bencana. Misalnya dengan menggunakan sistem matriks seperti diuraikan diatas atau
dengan menggunakan tehnik yang lebih kuantitatif misalnya dengan permodelan risiko.

b. Evaluasi Risiko

Berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut, selanjutnya ditentukan peringkat risiko


yang mungkin timbul dengan mempertimbangkan kerentanan dan kemampuan untuk
menahan atau menanggung risiko.

Risiko tersebut dibandingkan dengan kriteria yang telah ditetapkan, misalnya oleh
pemerintahan atau berdasarkan referensi yang ada.

Sebagai contoh di Australia, pemerintah menetapkan kriteria risiko untuk lingkungan


pemukiman dan perumahan adalah sebesar 0,5 x 10-6/tahun. Untuk bangunan komersil
standar risiko maksimal yang diijinkan adalah 5 x 10-6/tahun. Batasan ini selanjutnya
digunakan sebagai dasar menentukan tata lahan dan penggunaannya.
Untuk itu, semua kegiatan seperti pembangunan pemukiman, industri, atau bangunan
umum harus dibangun dengan persyaratan tertentu sehingga tingkat risikonya di bawah
batas yang ditentukan.

4.2.3 Pengendalian Risiko Bencana

Berdasarkan hasil identifikasi dan anlisa risiko yang telah dilakukan maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan strategi pengendalian yang sesuai.

Pengendalian risiko bencana menurut konsep manajemen risiko dapat dilakukan


melalui beberapa cara sebagai berikut:

a. Mengurangi Kemungkinan (reduce likelihood)

Strategi pertama adalah dengan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana.

Kecuali bencana alam, semua bencana pada dasarnya dapat dicegah. Bencana industri
misalnya, terjadi karena kesalahan manusia atau kegagalan teknologi. Hal ini dapat
dicegah atau dikurangi kemungkinan terjadinya dengan menerapkan cara kerja yang
aman, prosedur operasi yang baik serta perencanaan teknis yang sesuai dengan norma-
norma teknis yang berlaku. Bencana alam pun, seperti fenomena pemanasan global,
sebenarnya dapat dicegah karena manusia sudah tahu apa penyebabnya yaitu aktivitas
manusia dimuka bumi yang berlebihan.

b. Mengurangi keparahan (reduce consequences)

Jika kemungkinan bencana tidak bisa dikurangi atau dihilangkan, maka langkah yang
harus dilakukan adalah mengurangi keparahan atau konsekuensi yang ditimbulkannya.

Bencana gempa misalnya, tentu tidak dapat dicegah. Namun dapat dikurangi
dampaknya dengan melakukan upaya mitigasi sebagai contoh:

 Membangun rumah atau bangunan tahan gempa sehingga tingkat kerusakan akibat
bencana dapat dikurangi
 Membuat jalur penyelamat
 Sistem peringatan dini untuk bencana alam
 Pembatasan penggunaan lahan didaerah kategori rawan gempa seperti di lereng yang
curam, di pinggir sungai yang berpotensi banjir, di areal jalur lahar.
 Mempersiapkan sarana medis dan reque yang lengkap sehingga korban dapat segera
ditolong yang berarti angka keparahan dapat ditekan.

Demikian pula dengan bencana industri, misalnya peledakan dan kebakaran dalam
industri kimia dapat dikurangi dampaknya misalnya:

o Membuat sistem proteksi kebakaran yang baik, tata letak bangunan, pembatasan
jumlah timbunan bahan berbahay atau dengan melakukan sistem tanggap darurat.
o Membangun sistem pengamanan dalam proses atau unit industri berisiko tinggi
sehingga dampak bencana dapat ditekan
o Mengembangkan sistem tanggap darurat untuk area industri
o Membangun sistem peringatan dini untuk bahaya gas beracun atau mudah meledak
o Mengurangi volume penimbunan bahan berbahaya yang mudah terbakar dan meledak
o Menetapkan zone aman untuk daerah di sekitar industri berbahaya, sehingga dampak
kerugian dan fataliti terhadap masyarakat berdekatan dengan industri dapat dikurangi.
o Rancang bangun industri yang aman sehingga potensi dampak atau akibat bencana
dapat ditekan.

Berdasarkan hasil identifikasi bahaya, penilaian risiko bencana dan langkah


pengendalian tersebut dapat disusun analisa risiko bencana yang terperinci dan mendasar
untuk selanjutnya dikembangkan program kerja penerapannya.

Hasil tersebut dituangkan dapat bentuk daftar risiko bencana (disaster risk register)
yang terdokumentasi dan disimpan dengan baikdi setiap organisai atau pemerintah daerah.
Hasil daftar risiko bencana ini dikomunikasikan kepada semua pihak khususnya
masyarakat yang terkena risiko.

Dengan demikian, setiap elemen dalam msyarakat dapat mengetahui apa saja risiko
bencana yang ada dilingkungannya masing-masing dan apa langkah pengendalian yang
ditetapkan.

Hasil identifikasi ini juga dapat digunakan sebagai dasar dalam mengatur tata ruang,
ijin bangunan dan ijin industri. Misalnya industri atau bangunan umum yang dibangun di
daerah dengan tingkat risiko bencana tinggi harus dilengkapi dengan sistem pengaman
dan dirancang sesuai dengan risikonya.
4.3. Perencanaan Awal

ELEMEN berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah perencanaan awal


(preplanning) yang disusun berdasarkan hasil identifikasi dan penilaian risiko bencana
sebelumnya.

Atas dasar berbagai potensi bencana disusun suatu skenario awal bencana yang dapat
terjadi bagi setiap jenis bencana, misalnya bencana gempa, banjir atau ledakan.

Dari perencanaan awal dapat diketahui atau disusun rencana strategi penanganan
bencana, sumberdaya yang tersedia dan yang diperlukan untuk menangani bencana serta
organisai yang diperlukan.

Perencanaan awal ini akan membantu manajemen dalam merancang sistem


manajemen bencana yang tepat dan sesuai bagi lingkungan atau daerahnya masing-masing.
Penanganan bencana di suatu lokasi akan berbeda dengan lokasi lainnya. Demikian juga
kebutuhan penanganannya.

4.4. Prosedur Manajemen Bencana

DARI hasil perencanaan awal, selanjutnya dikembangkan prosedur penanganan, tugas dan
tanggung jawab, sistem komunikasi, sumber daya yang diperlukan, prosedur pelaporan,
dan lainnya.

Prosedur manajemen bencana ini harus disiapkan dan ditetapkan untuk setiap tingkat
organisasi baik di tingkat insiden, darurat maupun level korporat, yang mencakup aspek
taktis dan aspek strategis.

Prosedure manajemen bencan harus disyahkan dan ditetapkan oleh manajemen


tertinggi dalam organisai, misalnya Kepala Daerah, pimpinan perusahaan atau organisasi.
4.5. Organisasi dan Tanggung Jawab

ELEMEN berikutnya dalam sistem manajemen bencana ini adalah organisasi dan
tanggung jawab. Penanganan bencana tidak akan berhasil baik jika tidak didukung oleh
pengorganisasian baik pada level taktis maupun level strategis. Untuk itu perlu dibangun
atau ditetapkan organisasi manajemen bencana yang menjadi landasan penanganan encana
di lingkungan masing-masing.

Manajemen bencana harus dijalankan dan diorganisir dengan baik. Tanpa


pengorganisasian yang baik dan rapi, penanganan bencana akan kacau dan lamban
sehingga tidak efektif. Oleh karena itu, salah satu elemen penting dalam sistem
manajemen bencana adalah penetapan organisasi dan tanggung jawab yang jelas.

Disetiap level organisasi, harus dibentuk organisasi tanggap darurat yang bentuk,
struktur dan tanggung jawabnya disesuaikan dengan kebutuhan atau potensi risiko bencana
yang dihadapi.

Organisasi tanggap darurat bencana sekurangnya mengandung fungsi atau unsur


sebagai berikut.

1. Unsur komando yang bertanggung jawab mengkoordinir seluruh fungsi


manajemen bencana yang ditetapkan.
2. Tim inti yang terdiri atas unsur sebagai berikut:
a. Unsur penanggulangan, yang bertugas dan bertanggung jawab menangani
kejadian bencana. Sebagai contoh, untuk bencana kebakaran dan peledakan
diperlukan tim yang mampu memadamkan api atau mengatasi tumpahan bahan
kimia. Untuk bencana gempa, diperlukan tim penanggulangan yang bertugas
mengatasi bencana yang terjadi sebagai ikutan dari gempa, misalnya kebakaran,
atau keruntuhan bangunan. Dalam tim ini terlibat antara lain fungsi pemadam
kebakaran dan safety.
b. Unsur penyelamatan dan evakuasi (search & resque) bertugas menyelamatkan
korban bencana baik yang hidup maupun yang tewas menuju tempat yang aman.
c. Unsur penyelamatan material (salvage), bertugas menyelamatkan harta benda
atau aset yang terlibat atau terkena dampak bencana, termasuk dokumen
penting, barang berharga dan saran vital
d. Unsur medis, bertugas untuk memberikan bantuan medis bagi korban bencana
yang dapat diselamatkan oleh tim penyelamat dan evakuasi.
3. Tim penunjang
Unsur penunjang adalah semua fungsi atau elemen yang berperan memberikan
dukungan terhadap ti inti antara lain
a. Fungsi logistik yang emndukung kebutuhan logistik baik untuk tim
penanggulangan maupun untuk korban bencana. Jenis logistik yang diperlukan
terbagi atas dua bagian yaitu logistik untuk penanggulangan seperti peralatan
dan material, dan logistik untuk kebutuhan korban seperti selimut, makanan, dan
obat-obatan.
b. Fungsi transportasi, bertanggung jawab menyediakan dan mengkoordinir
kebutuhan transportasi baik darat, laut dan udara guna mendukung upaya
penanggulangan
c. Fungsi keamanan, bertanggung jawab untuk memelihara kemanan selama
penanggulangan bencana berlangsung. Unsur kemanan ini juga bertugas
mengamankan lokasi kejadian bencana dan kemanan petugas dan korban
bencana.
d. Fungsi komunikasi, bertugas mendukung tim penanggulangan dengan sarana
komunikasi yang diperlukan. Tanpa komunikasi yang baik, tim penanggulangan
tidaka akan dapat melakukan kooordinasi dengan koordinator tim atau anggota
tim lainnya, misalnya untuk meminta bantuan atau dukungan logistik yang
diperlukan.
e. Tim humas, yang memberikan dukungan informasi kepada semua pihak,
misalnya dengan media massa, keluarga korban, donor dan unsur lainnya yang
mendukung penanggulangan. Tim ini dengan segera membuka pusat informasi
bencana yang mudah diakses semua pihak.
f. Unsur teknis yang memberikan dukungan teknis, seperti peralatan, alat berat dan
sarana lainnya. Tim ini juga bertugas melakukan perbaikan atau sarana darurat
yang diperlukan dengan segera misalnya perbaikan jembatan atau sarana umum,
perbaikan pipa yang rusak, sarana air minum atau listrik.
g. Unsur lainnya yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan misalnya bagian tata
kota dan bangunan jika diperlukan informasi tentang denah suatu banguan.
Jumlah dari masing-masing tim disesuaika ndenga kebutuhan dan skala
kegiatan. Untuk bencana umum, jumlah tim tentu berbeda dengan bencana industri
yang lebih terbtas area dan lingkup penanggulangannya.

Organisasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing serta jenis


bencana yang akan dihadapi. Organisai yang terlalu besar atau terlalu kecil juga
tidak akan berfungsi dengan baik. Dalam pengembangan organisasi manajemen
bencana juga harus dipertimbangkan kemungkinan terjadinya chaos dalam situasi
bencana yang sebenernya.

Kemungkinan yang dapat terjadi adalah banyaknya anggota organisasi


penanganan bencana yang ditunjuk, justru dalam keadaan bencana menjadi korban
bencana menjadi korban bencana sehingg tidak dapat menjalankan tugasnya
sebagaimana mestinya. Untuk itu perlu dieprtimbangkan organisai cadangan yang
dapat menggantikan petugas yang tidak aktif.

Sebagai pembanding berikut ini adalah organisasitanggap darurat tingkat


nasional di Amerika Serikat yang dibentuk oleh Presiden W.Bush pada tahun 2003.

Organisasi penanggulangan bencana di USA tersebut diatas, melibatkan


berbagai unsur dalam penanggulangan bencana seperti bidang trasnportasi,
kesehatan, keuangan, layanan umum, dinas kebakaran, dinas keselamatan,
komunikasi, keamanan dan sebagainya

Di Indonesia pemerintah juga sudah menyusun sistemorganisai tanggap darurat


bencana sebagaimana ditetapkan dalam perundangan antara lain dengan membentuk
BNPB dan BPBD.

4.5.1 Peran dalam Pengorganisasian bencana

Peran organisai bencana sebagaimana diuraikan diatas harus disesuaikan dengan lingkup
dan tanggung jawab penanggulangan bencana masing-masing

Namun secara umum peran organisai penanggulangan bencana dapat disesuaikan dengan
peran masing-masing apakah bersifat taktis atau trategis sebagaimana diuraikan dalam
Bagian 3.1.1. (hlm. 29)
Basic Plan

ESF # 6 --- Mass Care


ESF # 12 --- Energy
ESF # 5 ---
Information ESF # 11 --- Food
And Planning
ESF # 10 ---
ESF # 4 --- Hazardous
Firefighting Materials
ESF # 3 --- Public EFS # 9 --- Urban
Works And Search and Rescue Public Affairs
Engineering
ESF # 8 --- Health Occupation
ESF # 2 --- And Medical Safety
Communication Services And Health
EFS #7 --- Rescue
EST # 1--- Logistics
Support
Transportation Management

Emergency Support Financial


Function Annexes Management

Donations
Management
Recovery Congressional
Function Annexes Affairs
Community
Relations
Support
Annexes
Overview of
Disaster
Terrorism Operation
FRP Changes and
Incident Revisions
Annexes
Acronyms and
Abbrevitions
Terms and
Defitions

Support
Annexes

Gambar 4.1: Organisasi tanggap darurat tingkat nasional di Amerika Serikat (tahun
2003).
4.6. Sumberdaya Penanganan Bencana

PENANGANAN bencana memerlukan sumberadaya yang memadai sesuai dengan tingkat


dan jenis bencana yang akan dihadapi. Oleh karena itu, manajemen atau pimpinan
tertinggi, harus menyediakan sumberdaya yang diperlukan untuk mengelola bencana di
lingkungannya masing-masing.

Berbagai sumber daya yang diperlukan untuk menangani suatu bencana antara lain:

a. Sumber daya Manusia


Penanganan bencana memerlukan sumberdaya manusia yang memadai baik dari
segi jumlah maupun kompetensi dan kemampuannya.
Banyak permasalahan timbul ketika bencana terjadi karena sumberdaya yang
terlihat dalam penanggulangan kurang memadai atau tidak tahu tugas dan tanggung
jawabnya.
Oleh karena itu, sebelumnya menyusun sistem manajemen bencana yang baik,
terlebih dahulu harus diidentifikasi kabutuhan sumberdaya manusia yang diperlukan
misalnya untuk tim penanggulangan, tim medis, tim logistik, tim teknis, dan lainnya.
b. Prasarana dan material
Bencana tidak dapat ditanggulangi dengan efektif dan cepat tanpa didukung oleh
prasarana dan logistik yang memadai. Kebakaran misalnya harus dipadamkan dengan
menggunakan peralatan pemadam kebakaran yang handal dan sesuai. Tumpahan
minyak di laut, harus ditanggulangi dengan menggunakan sarana penanggulangan
minyak seperti oil boom, oil skimmer, kapal khusus dan peralatan lainnya.
Demikian juga bencana ala memerlukan sarana khusus untuk mengatasi dampak
bencana misalnya alat berat, alat resque, peralatan medis, dan lainnya. Tanpa
dukungan peralatan tersebut, jelas upaya penanggulangan akan terhambat bahkan
gagal.
Prasarana dan material merupakan unsur penting dalam mendukung keberhasilan
penanggulangan bencana. Banyak kejadian, dimana korban tidak berhasil ditolong
karena tidak tersedianya prasarana atau peralatan yang memadai sehingga jumlah
korban meningkat.
Dari berbagai peristiwa, terlihat masih lemahnya kondisi prasarana dan peralatan
yang dimiliki oleh tim tanggap darurat di Indonesia. Banyak kejadian dimana korban
yang seharusnya dapat dibantu, justru meninggal karena terlambatnya bantuan dan
kurangnya peralatan.
Contoh kasus adalah kecelakaan kereta api di stasiun Bogor, dimana seorang
masinis terjepit akibat tabrakan dan tidak bisa ditolong karena alat tidak memadai.
Setelah terjepit selama beberapa jam, akhirnya korban tewas. Andaikan alat dan
tenaga ahli tersedia, mungkin nyawa korban masih dapat diselamatkan.
Contoh lain, dalam kasus gempa di Sumatera Barat, tim mengalami kesulitan untuk
membantu korban yang tertangkap di bawah reruntuhan bangunan karena tidak
tersedianya peralatan yang sesuai.

Tabrakan Keretea, Masinis KA Pakuan Ekspres Akhirnya Meninggal


c. Sumber daya finansial Nazir Amin

Selasa, 04 Agustus 2009 16:39,

Bogor, beritabaru.com- Akbar Zaelani,21, asisten masinis KA Pakuan Ekspress akhirnya


menghembuskan nafas terkahir, setelah sekitar terjepit 4 jam terjepit di besi lokomotif. Ajat,
masinis kereta naas itu sempat terjebak sepserti Akbar, tetapi berhasi diselamatkan. Ia kini di
rawat di Rumah Sakit PMI, bogor. Keduanya korban kecelakaan KA Pakuan Ekspress menabrak
kereta ekonomi. Selasa (4/8) pagi. “korban meninggal dunia dalam keadaan sudah mendapat
pertolongan medis”, kata Kapolresta Bogor ,AKBP Sofyan Syarif, di lokasi kecelakaan KA Pakuan
Ekspress vs KA Ekonomi Jabodetabek Jakarta-Bogor, di kampung Pondok Rumput, kecamatan
Bogor tengah, kota Bogor, Jawa Barat. Akbar terjepit besi, sekitar 4 jam dalam lokomotif KA
Pakuan Ekspress yang rusak parah, setelah menabrak KA Ekonomi dari belakang. Meski telah
berupaya sekuat tenaga, petugas gabungan dari Pusdikzeni TNI AD, Polres Bogor dan PT KA,
tidak berhasil mengevakuasi anak muda tersebut. Wejauh ini, belum diketahui penyebab
tabrakan kereta tersebut. Wakadaops 1, Muharjito yang ditemui dilokasi kejadian, tidak
bersedia komentar banyak. Ia hanya mengatakan, kasus tersebut masih dalam penyelidikan
petugas. Seperti diberitakan sebelumnya, kaki masinis, dan asisten masinis KA Pakuan Ekspress
Jakarta Bogor, terjepit besi lokomotif. Seorang penumpang pingsan, dan beberapa orang
lainnya luka ringan dan benjol-benjol. Akbar akhirnya menghembuskan napas terkahir setelah
upaya evakuasi gagal dilakukan. Mereka merupakan korban kecelakaan kereta api. Selasa (4/8)
menjelang siang, saat KA Pakuan Ekspress menabrak Ka ekonomi.

Oleh karena itu, setiap perusahaan, daerah atau wilayah harus memiliki sarana
minimal yang diperlukan dalam suatu bencana sehingga keterlambatan dalam membantu
korban dapat dihindarikan.
Jenis sarana yang diperlukan tentunya disesuaikan dengan sifat bencana dan skala
bencana yang mungkin terjadi sesuai dengan hasil identifikasi dan perencanaan awal
(langkah 2 dan 3 hlm. 120-121).
Beberapa sarana yang diperlukan dalam penanganan bencana antara lain:
 Alat resque sepserti dongkrak, pemotong besi dan beton, pengungkit, dan alat
deteksi korban
 Alat pemadam kebakaran
 Perlatan penanggulangan bahan kimia berbahaya dan beracun
 Peralatan keselamatan untuk menanggulangi kejadian seperti topi, masker, sepatu,
sarung tangan
 Perlatan komunikasi
 Peralatan medis
 Perlatan transportasi.
Untuk mengahdapi bencana gmepa bumi, perlengkapan resque seperti alat
pengangkat (lifting bag), alat pemotong dan pengungkit atau pompa sangat dibutuhkan,
termasuk juga alat bantuan pernafasan.
Disamping perlatan resque, juga diperlukan sarana komunikasi dalam keadaan
darurat. Sebagai contoh dalam kasus gempa di Sumbar, hubungan komunikasi melalui
telepon dan HP (handphone) terputus total sehingga arus komunikasi praktis terganggu.
Untuk itu perlu disiapkan sarana komunikasi yang dapat segera digunakan dalam kegiatan
penanggulangan antara semua gugus tugas.
Jenis dan jumlah peralatan untuk tingkat wilayah, daerah atau perusahaan tertentu
berbeda. Adalah sangat sulit dan mahal bagi suatu daerah atau perusahaan memenuhi
semua kebutuhan perlengkapan yang diperlukan.
Salah satu upaya paling bak dan praktis adalah dengan melakukan mobilisasi dan
mutual assistance antara semua unsur atau organisasi yang ada di suatu wilayah. Untuk
itu, pihak berwenang atau koordinator bencana setempat dapat melakukan inventarisasi
sarana yang tersedia di seluruh wilayahnya misalnya pemilik, lokasi peralatan, jenis,
jumlah dan ketersediaanya dalam suatu keadaan bencana. Dengan kerjasama tersebut,
biaya pengadaan sarana dapat ditangani bersama.
c. Sumberdaya finansial
Kegiatan manajemen tanggap darurat jelas membutuhkan biaya, baik sebelum
kejadian maupun saat dan setelah kejadian. Sebelum kejadian diperlukan dukungan
finansial untuk penyediaan perlengkapan, pelatihan personil dan membangun suatu sistem
atau pusat komando penanggulangan bencana yang baik.
Saat kejadian akan diperlukan dana yang disesuaikan dengan skala dan tingkat
bencana. Setelah bencana diperlukan dukungan finansial untuk kegiatan rekontruksi dan
pemulihan.
Oleh karena itu, diperlukan komitmen manajemen tau pimpinan tertinggi organisasi
sebagaimana ditetapkan dalam kebijakan manajemen bencana.

4.7. Pembinaan dan Pelatihan

PENANGANAN bencana memerlukan tenaga-tenaga terlatih dan trampil. Oleh karena


itu, diperlukan suatu program pembinaan dan pelatihan yang terencana mengenai
penanganan bencana.
Pelatihan sangat diperlukan baik untuk petugas maupun untuk masyarakat yang
bakal terkena bencana. Pendidikan dan pembinaan dilakukan baik secara formal meupun
informal misalnya melalui tokoh-tokoh masyarakat, lembaga pendidikan media massa dan
jalur lainnya.
Pelatihan yang diperlukan berkaitan dengan manajemen bencana misalnya:
 Pemahaman mengenai manajemen risiko dapat diberikan bagi petugas, pejabat,
pengawas atau pimpinan perusahaan/organisai. Diharapkan mereka memiliki
wawasan mengenai manajemen bencana termasuk perundangannya sehingga mampu
mengembangkannya di lingkungan masing-masing.
Pemahaman mengenai analisa risiko bencana sehingga anggota masyarakat mampu
menyusun dan menilai suatu analisa risiko bencana.

 Pemahaman mengenai penanganan suatu bencana menurut jenisnya misalnya


bencana banjir, bencana gempa bumi, tsunami, bencana industri, atau bencana sosial.
 Pengetahuan umum mengenai bencana untuk meningkatkan kesadaran dan
kepedulian dapat diberikan kepada seluruh anggota masyarakat antara lain melalui
lembaga pendidikan mulai tingkat terendah sampai tingkat menengah. Pemahaman
melalui generasi muda, diharapkan akan bermanfaat dan dapat menyebar di tengah
keluarga masing-masing. Generasi muda seperti pelajar dan mahasiswa, organisasi
pemuda, pramuka dan lainnya dapat diarahkan menjeadi agent of change dalam
penanganan bencana.
4.7.1. Pelatihan dan Pembinaan Tim Teknis

Tim Teknis yang terlibat dalam penanggulangan bencana harus terlatih dan diberi
pembinaan berkala mengenai cara penanggulangan bencana yang baik. Program
pembinaan yang perlu dilakukan antara lain :

 Teknik melakukan pertolongan seperti resque atau penyelamatan lainnya.


 Teknik bantuan medis (P3K) dan bantuan medis lainnya.
 Pemahaman mengenai prosedur tanggap darurat dengan melakukan simulasi atau
drill.
4.7.2. Pelatihan dan Pembinaan Masyarakat

Anggota masyarakat atau ditingkat perusahaan adalah pekerjaan perlu diberi


pembinaan dan pelatihan mengenai bencana yang mencakup antara lain.

 Pemahaman mengenai jenis dan bentuk bencana yang mungkin terjadi di


lingkungan masing-masing.
 Cara dan teknik penyelamatan ketika bencana terjadi misalnya kebakaran, gempa
bumi, ledakan, bocoran bahan beracun, dan lainnya.
 Peralatan keselamatan yang tersedia dan penggunaannya.
 Kemampuan untuk memberikan pertolongan pertama sebelum tim medis datang.

4.8 Komunikasi

SELAMA keadaan darurat bencana berlangsung, diperlukan komunikasi yang baik guna
menjamin kelancaran upaya penanggulangan. Komunikasi diperlukan dalam sistem
manajemen bancana mulai dari proses perencanaan, mitigasi, tanggap darurat sampai ke
rehabilitasi.

Komunikasi dalam manajemen bencana dapat dikategorikan sebagai berikut :

 Komunikasi organisasi tanggap darurat.


 Komunikasi anggota komunikasi misalnya para pekerja dalam suatu
perusahaan/organisasi.
 Komunikasi kepada masyarakat umum.
 Komunikasi dengan pihak ekternal baik nasional maupun internasional.
Ketika membangun sistem manajemen bencana, sistem komunikasi tersebut harus
disusun dan ditetapkan baik mengenai cara, sistem, prosedur maupun sarananya.

Sebagai contoh, bagaimana mengkomunikasikan adanya bencana kepada anggota


komunikasi atau anggota masyarakat umum? Siapa yang berwenang melakukan
komunikasi dan bagaimana salurannya?

Dilihat dari tahapan manajemen bencana, komunikasi dapat dikelompokkan


sebagai berikut.

Tahap Pra Bencana

Selama masa mitigasi diperlukan komunikasi untuk menyampaikan pesan,


pedoman atau petunjuk kepada semua pihak mengenai kesadaran mengenai bencana, tata
cara menyelamatkan diri dan pedoman teknis misalnya cara membangun rumah yang baik.

Tahap Bencana

Pata tahap ini komunikasi sangat berperan, khususnya antar tim tanggap darurat,
antar tim dengan anggota masyarakat dan antar keluarga. Dalam kondisi darurat, sering
terjadi rusaknya semua infra struktur termasuk fasilitas komunikasi. Dengan demikian,
saluran komunikasi akan terputus. Untuk itu diperlukan sarana komunikasi alternatif atau
yang bersifat darurat sehingga kegiatan penanggulangan bencana dapat berjalan dengan
baik.

Tahap Pasca Bencana

Pada tahap ini, komunikasi juga diperlukan dan berperan besar dalam memberikan
arahan kepada anggota masyarakat atau semua pihak yang menjadi korban bencana.

Program rekonstruksi dan rehabilitasi harus disosialisasikan sehingga tidak timbul


keributan di kemudian hari.

4.9. Investigasi dan Pelaporan

ELEMEN berikutnya dalam sistem manajemen bencana adalah investigasi dan pelaporan
bencana yang terjadi di suatu daerah atau organisasi harus diinvestigasi dan dilaporkan
kepada instansi atau pihak yang ditunjuk, misalnya BNPB atau BPBD untuk
kabupaten/kota.

Investigasi atau penyelidikan bencana sangat diperlukan dengan tujuan sebagai


berikut :

a. Untuk mengetahui apa penyebab terjadinya suatu bencana


b. Mengetahui kelemahan atau kelebihan yang terdapat dalam pelaksanaan
penanganan bencana yang dilakukan.
c. Mengetahui efektivitas organisasi penanganan bencana yang ada.
d. Menentukan langkah perbaikan atau pencegahan terulangnya suatu bencana.
e. Sebagai masukan dalam melakukan perbaikan atau penyempurnaan sistem
manajemen bencana dan dalam menentukan kebijakan pembangunan.

4.10. Inspeksi dan Audit Manajemen Bencana

ELEMEN terakhir dalam sistem manajemen bencana adalah inspeksi dan audit manajemen
bencana. Salah satu upaya untuk mengevaluasi pelaksanaan manajemen bencana adalah
dengan melakukan audit.

Inspeksi adalah suatu upaya pemeriksaan rutin atau berkala untuk memeriksa
kesiapan penanganan bencana dalam organisasi baik sarana teknis maupun non teknis
sehingga dapat dilakukan perbaikan segera. Semua peralatan penanganan bencana harus
diperiksa dan diuji kelaikannya sehingga siap digunakan setiap saat.

Audit adalah suatu upaya untuk mengevaluasi penerapan manajemen bencana


dalam suatu organisasi, apakah sudah sesuai atau telah memenuhi persyaratan atau tolok
ukur yang ditetapkan. Sebagai contoh, salah satu tolok ukur sistem manajemen bencana
adalah standar yang dikelaurkan oleh Nationsl Fire Protection Association (NFPA-1600
tentang Standar Program Manajemen Bencana/Kedaruratan dan Kontinuitas Bisnis)

Menurut klausul 4.4.2 setiap Entitas wajib melakukan evaluasi program secara
periodik berdasarkan sasaran kinerja.

Audit bencana dilakukan secara berkala dan sebaiknya oleh pihak yang independen
sehingga diharapkan hasilnya akan lebih objektif. Dari hasil audit, selanjutnya dilakukan
perbaikan dan penyempurnaan sistem manajemen bencana. Audit manajemen bencana
yang dikembangkan oleh NFPA tersebut dapat digunakan baik untuk tingkat pemerintahan
maupun tingkat organisasi atau perusahaan.

NFPA 1600 ini menurut berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu
sistem manajemen bencana yang dikembangkan oleh suatu entitas.

Contoh: Kriteia Audit Manajemen Bencana

Nama Organisasi/Entitas :

Lokasi :

Tanggal Audit :

Auditor :

Audit Tanggap Darurat


Berdasarkan Persyaratan NFPA 16000

Klausul Persyaratan NFPA 16.000 Sesuai Ket


4.1. Administrasi Program
Entitas wajib memiliki program terdokumentasi
yang meliputi hal-hal berikut:
4.1.1. Kebijakan eksekutif yang meliputi pernyataan
visi, misi, peran dan tanggung jawab, dan
otoritas pelaksana
4.1.2. Tujuan, obyektif, dan metode evaluasi program
4.1.3. Rencana dan prosedur program
4.1.4. Otoritas, legalisir, regulasi, dan/atau kode praktik
industri yang berlaku
4.1.5. Budget program dan jadual project, termasuk
tahapan pencapaian
4.1.6. Catatan praktik manajemen
4.2 Koordinator Program
Koordinator program wajib ditunjuk oleh entitas
dan diberikan otorisasi untuk mengelola dan
memelihara program yang ada
4.3 Komite Penasihat
4.3.1. Suatu komite penasihat wajib dibentuk oleh
entitas sesuai dengan kebijakannya
4.3.2. Komite penasihat wajib memberikan masukan
atau membantu koordinasi perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi, dan revisi program
4.3.3. Komite penasihat wajib meliputi koordinator
program dan yang lainnya yang memiliki
keahlian terkait, pengetahuan tentang entitas, dan
kemampuan untuk mengidentifikasi sumberdaya
dari semua area fungsional utama di dalam
entitas dan wajib memenuhi permintaan
representasi pihak ekternal
4.4. Evaluasi program
4.4.1. Entitas wajib menetapkan sasaran kinerja untuk
manajemen program yang tercantum di Bab 4
dan elemen-elemen program yang
terindentifikasi di Bab 5
4.4.2. Entitas wajib melakukan evaluasi program
secara periodik berdasarkan sasaran kinerja
5. Elemen-elemen Program
5.1. Ketentuan Umum
5.1.1. Program wajib mencakup elemen-elemen yang
ada di bagian 5.2 sampai 5.16, cakupan yang
wajib ditentukan oleh dampak bahaya yang
mempengaruhi entitas
5.1.2. Elemen Program wajib bersifat applicable, untuk
pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons,
dan pemulihan
5.2. Hukum dan Otoritas
5.2.1. Program wajib memenuhi ketentuan legistrasi,
kebijakan, prasyarat perundang-undangan, dan
peraturan yang berlaku
5.2.2. Entitas wajib melaksanakan strategi untuk
memenuhi kebutuhan revisi perubahan terhadap
legislasi, regulasi, peraturan, kebijakan, dan kode
praktik industri yang berlaku
5.3. Penilaian Risiko
5.3.1. Entitas wajib mengidentifikasi bahaya, monitor
bahaya-bahaya tersebut, kemungkinan
terjadinya, dan kerentanan orang, properti,
lingkungan, dan entitas itu sendiri terhadap
paparan bahaya-bahaya tersebut
5.3.2. Bahaya yang dievaluasi wajib meliputi hal-hal
berikut:
1) Bahaya alam ( bahaya geologi,
meteorologi, dan biologi)
2) Kejiadian yang disebabkan oleh manusia
(sengaja maupun tidak)
3) Kejadian yang disebabkan oleh teknologi
5.3.3. Entitas waji melakukan analisis dampak untuk
menentukan dampak potensial yang merugikan
bahaya-bahaya tersebut terhadap:
1) Kesehatan dan keselamatan orang-orang
di area yang terkena pada saat terjadinya
insiden (cedera dan kematian)
2) Kesehatan dan keselamatan orang-orang
yang menangani insiden
3) Kontinuitas operasional
4) Properti, fasilitas, dan infrastruktur
5) Pemberian pelayanan jasa
6) Lingkungan
7) Kondisi ekonomi dan finansial
8) Kewajiban kontraktual dan regulasi
9) Reputasi atau kepercayaan atas entitas
10) Pertimbangan nasional, regional, dan
internasional
5.4 Pencegahan Insiden
5.4.1. Entitas wajib membentuk suatu strategi untuk
mencegah suatu insiden yang mengancam orang,
properti, dan lingkungan
5.4.2. Strategi pencegahan wajib berdasarkan atas
informasi atas informasi yang didapatkan
sebagaimana Bagian 5.3 dan wajib dijaga agar
selalu sesuai keadaan dengan menggunakan
teknik pengumpulan informasi dan intelijen
5.4.3. Entitas wajib memiliki suatu sistem untuk
memonitor bahaya yang teridentifikasi, dan
mengatur tingkat tindakan pencegahan sesuai
dengan risiko
5.5 Mitigasi
5.5.1. Entitas wajib membangun dan melaksanakan
suatu strategi mitigasi yang meliputi tindakan-
tindakan yang diambil untuk membatasi atau
mengendalikan konsekuensi, luasan, atau
keparahan suatu insiden yang tidak dapat
dicegah
klausul Persyaratan NFPA 16.000 Sesuai Ket
5.5.2. Strategi mitigasi wajib berdasarkan kepada hasil
identifikasi bahaya dan penilaian risiko, analisa
dampak, batasan program, pengalaman
operasional, dan analisa cost-benefit
5.5.3. Strategi mitigasi wajib meliputi tindakan interim
dan jangka panjang untuk mengurangi
kerentanan
5.6. Manajemen Sumberdaya dan Logistik
5.6.1. Entitas wajib menetapkan sasaran manajemen
sumberdaya yang konsisten dengan tujuan
program secara keseluruhan dan sasaran yang
diindentifikasi pada Bagian 4.1 untuk bahaya
sebagaimana terindentifikasi di Bagian 5.3.
5.6.2. Entitas wajib menetapkan prosedur untuk
mencari, mendapatkan, menyimpan, membagi,
menguji, dan pertanggungan atas jasa, orang,
sumberdaya, material, dan fasilitas yang dibeli
atau disumbangkan bagi program
5.6.3. Sasaran manajemen sumber yang ditetapkan
wajib meliputi hal-hal berikut ini:
1) Orang, perlengkapan, pelatihan, fasilitas,
pembiayaan, pengetahuan keahlian,
material, teknologi, informasi, intelijen,
dan kerangka waktu yang diperlukan
2) Jumlah, waktu tanggap, kemampuan,
keterbatasan, biaya, pertanggungan
terkait dengan penggunaan sumberdaya
3) Sumberdaya dan pengaturan kemitraan
yang diperlukan bagi program
5.6.4. Manajemen sumberdaya wajib meliputi tugas-
tugas berikut:
1) Penetapkan proses penentuan,
inventarisasi, permintaan, dan pencarian
sumberdaya
2) Pengaktifan proses ini sebelum dan
selama terjadinya insiden
3) Pengerahan sumberdaya sebelum dan
selama terjadinya insiden
4) Penghentian atau penarikan sumberdaya
selama dan sesudah insiden
5) Rencana darurat bila terjadi kekurangan
sumberdaya
5.6.5. Suatu penilaian wajib dilakukan untuk
mengidentifikasi keterbatasan sumberdaya dan
langkah-langkah yang diperlukan untuk
mengatasi keterbatasan
5.6.6. Ketersediaan sumberdaya ekternal dan internal
yang memadai wajib dipelihara
5.6.7. Bantuan barang, jasa, orang, dan fasilitas, baik
yang diminta atau tidak, dan pengelolaannya
wajib dicatat
5.7 Bantuan Kerjasama
5.7.1. Kebutuhan akan bantuan kerjasama wajib
ditentukan
5.7.2. Jika bantuan kerjasama dibutuhkan maka suatu
perjanjian wajib ditetapkan
5.7.3. Perjanjian bantuan kerjasama wajib merujuk
kepada rencana program
5.8. Perencanaan
5.8.1. Proses Perencanaan
1) Program wajib mengikuti suatu proses
perencanaan strategi, pencegahan,
mitigasi, operasi/tanggap darurat,
kontinuitas bisnis dan pemulihan

Klausul Persyaratan NFA 16.000 Sesuai Ket


2) Entitas wajib mejalankan proses
perencanaan secara teratur terjadual atau
ketika terjadi perubahan situasi rencana
yang ada dipertanyakan
3) Jika memungkinkan, entitas wajib
meliputi stakeholder ke dalam proses
perencanaan
5.82 Elemen Rencana Umum
1) Rencana wajjib memiliki sasaran yang
tercantum secara jelas
2) Rencana wajib memuat identifikasi peran
dan tanggung jawab fungsional dari
badan, organisasi, dan departemen
internal dan eksternal, serta posisinya
3) Rencana wajib mengidentifikasi jajaran
otoritas untuk badan, organisasi,
departemen, dan posisinya
4) Rencana wajib mengidentifikasi
dukungan logistic dan kebutuhan
sumberdaya
5) Rencana wajib mengidentifikasi proses
untuk mengelola suatu insiden
6) Rencana wajib mengidentifikasi proses
pengelolaan komunikasi dan alur
informasi baik secara internal dan
eksternal
5.8.3 Rencana-rencana
1) Program wajib meliputin suatu rencana
strategis, rencana operasi/tanggap
darurat, suatu rencana pencegahan, suatu
rencana mitigasi,suatu rencana
kontinuitas
2) Rencana-rencana yang dibentuk wajib
didokumentasikan baik dalam bentuk
berdiri sendiri atau integrasi, atau
kombinasi keduanya
3) Rencana stretegis wajib menetapkan visi,
misi,tujuan dan sasaran program
( lihat Bagian 4.1)
4) Rencana operasional/tanggap darurat
wajib menentukan tanggung jawab untuk
menjalankan tindakan khusus dalam
keadaan darurat
5) Rencana pencegahan wajib menetapkan
tindakan interim dan jangka panjang
untuk menghilangkan bahaya yang
memiliki danpak terhadap entitas
6) Rencana mitigasi wajib menetapkan
tindakan interim dan jangka panjang
untuk mengurangi dampak bahaya yang
tidak dapat dihilangkan
7) Rencana pemulihan wajib memuat
prioritas jangka pendek dan jangka
panjang untuk pemulihan kembali
fungsional, jasa pelayanan, sumberdaya,
fasilitas, program, dan infrastruktur
8) Rencana kontinuitas wajib
mengidentifikasi stakeholder yang perlu
diberitahu, aplikasi kritis dan yang time-
sensitive,tempat kerja alternatif, catatan
penting, daftar kontak, proses dan fungsi
yang wajib dipertahankan, demikian juga
dengan orang, prosedur, dan sumberdaya
yang diperlukan ketika entitas dalam
proses pemulihan
Klausul Persyaratan NFPA 16.000 Sesuai Ket
5.9. Menejemen Insiden
5.9.1 Entitas wajib membangun sesuatu system
manejemen untuk mengarahakan,
mengendalikan,dan mengkoordinasikan respons
dan operasional pemulihan
5.9.2 Sistem manejemen wajib menjelaskan peran,
nama, dan tanggung jawab yang spesifik dari
fungsi manejemen insiden
5.9.3 Entitas wajib menetapkan kebijakan dan
prosedur yang dapat diterapkan untuk koordinasi
respons, kontinuitas, dan aktivitas pemulihan
dangan stakeholder yang terlibat langsung dalam
operasional respons, kontinuitas, dan pemulihan
5.9.4 Entitas wajib menetapkan kebijakan dan
prosedur yang dapat diterapkan untuk koordinasi
respons, kontinuitas, dan aktivitas pemulihan dan
sumberdaya yang terkait, termasuk aktivasi dan
deaktivasi rencana, sambil memastikan
pemenuhan dengan peraturan dan
perundangundang yang berlaku
5.9.5 Operasional / respons kedaruratan wajib
dipandu melalui rencana tindakan penanganan
atau manejemen kedaruratan melalui sasaran
rencananya
5.10. Komunikasi dan peringatan
5.10.1. Sistem komunikasi wajib ditetapkan dan secara
teratur diuji untuk mendukung program
5.10.2 Prosedur komunikasi wajib ditetapkan oleh
entitas dan secara teratur dilatihkan untuk
mendukung program
5.10.3 Entitas wajib membentuk dan memelihara
kemampuan pihak resmi pemberi peringatan dan
personel tanggap darurat
5.10.4 Komunikasi kedaruratan dan protokol, sisem,
proses, dan prosedur peringatan wajib dibentuk,
secara periodic diuji, dan digunakan untuk
memberi peringatan kepada orang-orang yang
mungkin secara potensial terkena dampak baik
oleh kedaruratan yang nyata maupun yang belum
terjadi
5.10.5 Entitas wajib menentukan kebutahan
komunikasi, menyiapkan kemampuan untuk
menjalankan rencana, dan mengkaji ulang dan
memfokuskan kepada interoperabilitas berbagai
organisasi yang merespon keadaan darurat
5.11. Prosedur Operasional
5.11.1 Entitas wajib membentuk, mengkoordinasikan,
dan melaksanakan prosedur operasional untuk
mendukung program dan menjalankan
rencananya
Prosedur wajib ditetapkan dan
diimplementasikan untuk merespon dan
pemulihan dari konsekuensi bahaya-bahaya
teridentifikasi di bagian 5.3 dan wajib
menekankan kepada kesehatan dan keselamatan,
stabilisasi insiden stabilisasi,
Prosedur, termasuk keselamatan jiwa, stabilisasi
insiden, kontinuatas bisnis/operasional, dan
konservesi properti, wajib ditetapkan dan
diterapkan dalam merespon, dan pemulihan dari
bahaya-bahaya yang teridentifikasi di Bagian 5.3
Prosedur wajib tersedia untuk menjalankan
analisa situasi yang memerlukan penilaian
kebutuhan, kerusakan, dan identifikasi
sumberdaya yang diperlukan untuk mendukung
operasional respond an pemulihan
Prosedur wajib memadukan aktivitas pemulihan
dan mitigasi selama respons tanggap drarurat
Prosedur wajib ditetapkan untuk keberhasilan
menejemen/pengaturan sebagaimana diperlukan
di 5.8.3.8
5.12. Fasilitas
Entitas wajib menetapkan suatu pusat
operasional tanggap darurat utama dan
alternative, secara fisik dan virtual, yang mampu
mengelola operasional kontinuitas, respons, dan
pemulihan
Fasilitas yang mampu mendukung operasional
kontinuitas, respons, dan pemulihan
5.13. Pelatihan
5.13.1. Entitas wajib membentuk dan melaksanakan
suatu kurikulum pelatihan/pendidikan untuk
mendukung program
5.13.2 Sasaran pelatihan wajib disusun tuntuk
membentuk kesadaran dan meningkatkan
ketrampilan yang diperlukan untuk membentuk,
menerapkan, memelihara, dan menjalankan
program
5.13.3. Frekuensi dan cakupan pelatihan wajib
diidentifikasi
5.13.4. Personal wajib dilatih dalam sistem menejemen
insiden entitas
5.13.5. Catatan pelatihan wajib dipelihara
5.13.6. Kurikulum pelatihan dan edukasi wajib sesuai
dengan prasyarat peraturan dan perundang-
undang yang berlaku
5.14. Latihan, Evaluasi, Tindakan Perbaikan
5.14.1. Entitas wajib mengevaluasi rancana program,
prosedur, dan kemampuan melalui penilaian
ulang, ujian, dan latihan periodic
5.14.2. Suatu penilaian ulang wajib berdasarkan pada
analisa dan laporan pasca insiden, pelajaran yang
diambil, dan evaluasi kinerja
5.14.3. Latiahan wajib dirancang untuk menguji
elemen-elemen dasar individu, elemen terkait,
atau keseluruhan rencana
5.14.4. Prosedur wajib ditetapkan untuk mengambil
tindakan perbaikan atau setiap kekurangan yang
terindikasi
5.15. Komunikasi Krisis dan Informasi Publik
5.15.1. Entitas wajib membentuk Prosedur untuk
menyebarkan dan menanggapi untuk permintaan
informasi pre insiden, insiden, dan pasca insiden,
sebagaimana penyediaan informasi kepada pihak
internal dan eksternal termasuk media dan
menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari mereka
5.15.2. Entitas wajib menetapkan dan memelihara suatu
kemampuan penyediaan informasi public tentang
kedaruratan yang meliputin hal-hal berikut:
1) Satu fasilitas pusat kontak untuk media
2) Suatu system untuk mengumpulkan,
memonitor, dan menyebarkan informasi
kedaruratan
3) Buletin informasi yang dipersiapkan
4) Suatu metode untuk mengkoordinasikan dan
menjelaskan informasi yang dikeluarkan
5.15.2.5 5) Kemampuan untuk berkomunikasi dengan
kelompok-kelompok yang memerlukan
kebutuhan tertentu
5.15.2.6 6) Rekomondasi / petunjuk tindakan
perlindungan (contoh: tempat perlindungan
atau evakuasi)
5.15.3 Jika ada public yang secara potential dapat
terkena dampak oleh suatu bahaya, satu program
kesadaran public wajib dilaksanakan
5.15.4 Entitas wajib membentuk prosedur untuk
memberikan petunjuk dan nasehat bagi public,
melalui suatu badan yang berwenang, atas
adanya ancaman terhadap orang, property, dan
lingkungan
5.16. Keuangan dan Administrasi
5.16.1 Entitas wajib membentuk prosedur finansial dan
administrative untuk mendukung program
sebelum, selama, dan sesudah kedaruratan atau
bencana
Bab

Penerapan
Manajemen Bencana

5.1. Pengorganisasian

PENANGANAN bencana dan pengembangan sistem manajemen bencana


Harus dimulai dari tingkat nasional. Untuk itu, pemerintah pusat harus mengembangkan
Sistem manajmen bencana tingkat nasional yang memuat system penanganan bencana
Dan organisasi penanggulangannya.
Sebagai contoh di USA, presiden Clinton membentuk dan mensyahkan Federal
Emergency Response Plan, yang memuat mengenai struktur organisasi penanganan
darurat, garis komando, tugas dan tanggung jawab, dan personil terkait.
Struktur Federal Emergency Response Plan yang disyahkan pada tahun 2003
adalah sebagai berikut.

International National
Disaster State
Sources
Response Governments
Network
Governments
Tribal

Organisasi Tanggap darurat di USA tingkat pusat (federal) mensinergikan seluruh


kekuatan yang ada baik di tingkat pusat, tingkat negara bagian (state), pemerintahan lokasi,
sektor swasta, tingkat komunitas lokal (suku), LSM, dan internasional.
Pemerintah menetapkan struktur organisasi, kordinasi, dan mobilisasi seluruh
kekuatan tingkat nasional untuk mendukung keperluan penanganan bencana di tingkat
daerah atau wilayah.
Di tingkat pusat (federal) organisasi tanggap bencana juga mensinergikan semua
kekuatan yang ada menurut fungsi dan kebutuhannya masing-masing misalnya fungsi
kesehatan, pekerjaan umum, pendidikan, kebakaran, perhubungan, komunikasi dan fungsi
lainnya.
DHS
Operations Center
Monitors Potential Local first
Disasters responders
Arrive First at Scene
Mayor/County
Emergency Executive
Response Team- Activities Local
Advance Element Emergency
May Deploy in Governor Operations Center
Advance Or Activities State
Imminent Danger Emergency Operations
Center
Request Presidential
Declaration

Request Preliminary
DHS
Damage Assessment
Regional Director
Evaluates Damage/
Requirements

Disaster
State Coordinating
Assistance Officer
 Response Identifies Unmet Needs
 Recovery DHS Secretary
 Mitigation Reviews Declaration Request
Federal
Coordinating Officer Recommends
Delive

Overseas Delivery of
Regional
Assistance
Emergency Operations Center
Response Team Initiates
Conducts Operations Deployment
From Disaster
Field Office President
Activates

Declares Major
Disaster or
Emergency
Emergency
Support Team
Provides HQ DHS
Coordination Activates
Implements
Federal Response Plan
Catastrophic
Disaster
Response Group
Struktur pengorganisasian penanganan bencana secara garis besar adalah sebagai berikut.
 Jika terjadi suatu bencana maka yang pertama melakukan penanggulangan adalah
tim tanggap darurat tingkat lokal yang dibantu oleh tim federal sesuai dengan
kebutuhan dan risikonya.
 Selanjutnya kepala daerah setempat, berdasarkan perkembangan, eskalasi dan
kondisi bencana dapat menetapkan tingkat bencana dan mengajukan permintaan
kepada pemerintah pusat untuk dinyatakan sebagai bencana nasional.
 Selanjutnya setelah dideklarasikan oleh Presiden sebagai bencana nasional, maka
tim tanggap darurat bencana tingkat federal akan segera diaktifkan lengkap dengan
perangkat-perangkatnya.

Tingkat Wilayah/Daerah
Disetiap daerah atau wilayah dibentuk BPBD. Penanggung jawab tertinggi adalah
pimpinan daerah setempat.
Tingkat Perusahaan/Organisasi
Sesuai dengan persyaratan dalam Undang-undang No. 1 tentang Keselamatan
Kerja, setiap perusahaan wajib menerapkan tanggap darurat.
Untuk menangani bencana tingkat perusahaan atau organisasi, dibentuk tim
tanggap darurat lokasi yang berfungsi menangani kejadian yang menyangkut asset atau
fasilitas perusahaan atau organisasi.
Tim tanggap darurat bencana ini bertugas menangani semua bencana yang
mungkin terjadi di tempat kerja seperti kebakaran, pencemaran, bocoran bahan beracun,
atau bencana alam.

5.2. Pedoman Penanganan Bencana

UNTUK setiap jenis bencana harud dipersiapkan pedoman penanganannya sehingga setiap
anggota masyarakat dapat mengetahuinya. Pemerintah melalui BNPB (www.bnpb.org.id)
telah menyusun berbagai panduan dan pedoman mengenai berbagai jenis bencana
sebagaimana dikutip berikut ini.
5.2.1. Bencana Gempa Bumi
Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang menyebabkan
dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba.

Penyebab terjadinya gempa bumi


1. Proses tektonik akibat pergerakan kulit/lempeng bumi
2. Aktivitas segar di permukaan bumi
3. Pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah
4. Aktivitas gunung api
5. Ledakan nuklir
Mekanisme perusahaan terjadi karena energi getaran gempa dirambatkan ke
seluruh bagian bumi. Di permukaan bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan
kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan korban jiwa.
Getaran gempa juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan, dan
kerusakan tanah lainnya yang merusak permukiman penduduk. Gempa bumi juga
menyebabkan bencana ikutan berupa kebakaran, kecelakaan industri dan
transportasi serta banjir akibat rubtuhnya bendungan maupun tanggul penahan
lainnya.

Gejala dan peringatan dini


 Kejadian mendadak/secara tiba-tiba
 Belum ada metode pendugaan secara akurat

Tips penanganan jika terjadi gampa bumi


Jika gempa bumi mengguncang secara tiba-tiba, berikut ini 10 petunjuk
yang dapat dijadikan pegangan di manapun anda berada.
 Di dalam rumah
Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda
harus mengupayakan keselamatan diri anada dan keluarga anda. Masuklah
ke bawah meja untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan benda-benda. Jika
anda tidak sedang menyalakan kompor, maka matikan segera untuk
mencagah terjadinya kebakaran.
 Di sekolah
Berlindunglah di bawah kolong meja, lindungi kepala dengan tas
atau buku, jangan panik, jika gempa mereda keluarlah berurutan mulai dari
jarak yang terjauh ke pintu, carilah tempat lapang, jangan berdiri degat
gedung, tiang, dan pohon.
 Di luar rumah
Lindungi kepala anda dan hindari benda-denda berbahaya. Di
daerah perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa muncul dari
jatuhnya kaca-kaca.
 Di dalam lift
Jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau papan-papan
reklame. Lindungi kepala anda dengan menggunakan tangan, tas atau
apapun yang anda bawa.
 Di gedung, mall, bioskop, dan lantai dasar mall
Jangan menyebabkan kepanikan atau korban dari kepanikan. Ikuti
semua petunjuk dari petugas atau peran kebakaran. Jika anda merasakan
getaran gempa bumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah semua tombol.
Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan mengungsilah. Jika
anda terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan
interphone jika tersedia.
 Di kereta api
Berpeganglah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan
terjatuh seandainya kereta dihentikan secara mendadak. Bersikap tenanglah
mengikuti penjelasan dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap
informasi petugas kereta atau stasiun akan mengakibatkan kepanikan.
 Di dalam mobil
Saat terjadi gampa bumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda
mobil anda gundul. Anda akan kehilangan kontrol terhadap mobil dan susah
mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil anda di kiri jalan
dan berhentilah. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi
maka keluarlah dari mobil, biarkan mobil tak terkunci.
 Di gunung/ pantai
Ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah
langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai, bahayanya datang dari tsunami.
Jika anda merasakan getaran dan tanda-tanda tsunami tampak, cepatlah
mengungsi kedataran yang tinggi.
 Beri pertolongan
Sudah dapat diramalkan bahwa banyak orang akan cedera saat
terjadi gempa bumi besar. Karena petugas kesehatan dari rumah-rumah
sakit akan mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian, maka bersiaplah
memberikan pertolongan pertama kepada orang-orang yang berada di
sekitar anda.
 Dengarkan informasi
Saat gampa bumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya.
Untuk mencegah kepanikan, penting sekali setiap orang bersikap tenang
dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Anda dapat
memperoleh informasi yang benar dari pihak yang berwenang atau polisi.
Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak jelas.

Strategi mitigasi dan upaya pengurangan bencana gempa bumi


1. Harus dibangun dengan konstruksi tahan getaran/ gempa khususnya
di daerah rawan gempa.
2. Perkuatan bangunan dengan mengikuti standar kualitas bangunan.
3. Pembangunan fasilitas umum dengan standar kualitas yang tinggi.
4. Perkuatan bangunan-bangunan vital yang telah ada.
5. Rencanakan penempatan pemukiman untuk mengurangi tingkat
kepadatan hunian di daerah rawan gempa bumi.
6. Zonasi daerah rawan gempa bumi dan pengaturan penggunaan
lahan.
7. Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya
gempa bumi dan cara-cara penyelamatan diri jika terjadi gempa
bumi.
8. Ikut serta dalam pelatihan program upaya penyelamatan,
kewaspadaan masyarakat terhadap gempa bumi, pelatihan pemadam
kebakaran dan pertolongan pertama.
9. Persiaplah alat pemadam kebakaran, peralatan penggalian, dan
peralatan perlindungan masyarakat lainnya.
10. Rencana kontingensi/kedaruratan untuk melatih anggota keluarga
dalam menghadapi gempa bumi.
11. Pembetukan kelompok aksi penyelamatan bencana dengan pelatihan
pemadaman kebakaran dan pertolongan pertama.
Sumber: Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya
Mitigasinya di Indonesia, Set BAKORNAS PBP dan Gempa bumi dan
Tsunami, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,
Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral.

5.2.2. Tsunami
Tsunami berasal dari bahasa Jepang. “tsu” berarti pelabuhan, “nami” berarti
gelombang sehingga secara umum diartikan sebagai pasang laut yang besar di
pelabuhan. Tsunami dapat diartikan sebagai gelombang laut dengan periode
panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif dari dasar laut.
Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempa bumi tektonik, erupsi
vulkanik atau longsor. Kecepatan tsunami yang naik ke daratan ( run-up )
berkurang menjadi sekitar 25-100 Km/jam dan ketinggian air tsunami yang pernah
tercatat terjadi di Indonesia adalah 36 meter yang terjadi pada saat letusan gunung
api Krakatau tahun 1883.

Penyebab terjadinya tsunami


 Gempa bumi yang dengan dislokasi/ perpindahan masa tanah /batuan yang
sangat besar dibawah air (laut/danau)
 Tanah longsor di dalam laut.
 Letusan gunung api dibawah laut atau gunung api pulau.

Gejala dan peringatan dini


 Gelombang air laut datang secara mendadak dan berulang dengan energi
yang sangat kuat.
 Kejadian mendadak dan pada umunya di Indonesia didahului dengan gempa
bumi besar dan susut laut.
 Terdapat selang waktu antara waktu terjadinya gempa bumi sebagai sumber
tsunami dan waktu tiba tsunami di pantai mengingat kecepatan gelombang
gempa jauh lebih besar dibandingkan kecepatan tsunami.
 Metode pendugaan secara cepat dan akurat memerlukan teknologi tinggi.
 Di Indonesia pada umunya tsunami terjadi dalam waktu kurang dari 40
menit setelah terjadinya gempa bumi besar dibawah laut.
Adanya tsunami tidak bisa diramalkan dengan tepat kapan terjadinya, akan
tetapi kita bisa menerima peringatan akan terjadinya tsunami sehingga kita masih
ada waktu untuk menyelamatkan diri.

Penyelamatan diri saat terjadi tsunami


Sebesar apapun bahaya tsunami, gelombang ini tidak datang setiap saat. Janganlah
ancaman bencana alam ini mengurangi kenyamanan menikmati pantai dan lautan. Namun
jika berada di sekitar pantai, terasa ada guncangan gempa bumi, air laut dekat pantai surut
secara tiba-tiba sehingga dasar laut terlihat, segeralah lari menuju ke tempat yang tinggi
(perbukitan atau bangunan tinggi) sambil memberitahukan teman-teman yang lain.
Jika sedang berada di dalam perahu atau kapal di tengah laut serta mendengar
berita dari pantai telah terjadi tsunami, jangan mendekat ke pantai. Arahkan perahu ke laut.
Jika gelombang pertama telah datang dan surut kembali, jangan segera turun ke daerah
yang rendah. Biasanya gelombang berikutnya akan menerjang. Jika gelombang telah
benar-benar mereda, lakukan pertolongan pertama pada korban.

Strategi mitigasi dan upaya pengurangan bencana tsunami


1. Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap bahaya tsunami.
2. Pendidikan kepada masyarakat terutama yang tinggal di daerah pantai tentang
bahaya tsunami.
3. Pembangunan Tsunami Early Warning System (Sistem Peringatan Dini Tsunami).
4. Pembangunan tembok penahan tsunami pada garis pantai yang beresiko.
5. Penanaman mangrove serta tanaman lainnya sepanjang garis pantai untuk meredam
gaya air tsunami.
6. Pembangunan tempat-tempat evaluasi yang aman disekitar daerah pemukiman
yang cukup tinggi dan mudah dilalui untuk menghindari ketinggian tsunami.
7. Peningkatan pengetahuan masyarakat lokal khususnya yang tinggal di pinggir
pantai tentang pengenalan tanda-tanda tsunami cara-cara penyelamatan diri
terhadap bahaya tsunami.
8. Pembangunan rumah yang tahan terhadap bahaya tsunami.
9. Mengenali karakteristik dan tanda-tanda bahaya tsunami.
10. Memahami cara penyelamatan jika terlihat tanda-tanda akan terjadi tsunami.
11. Meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan dalam menghadapi tsunami.
12. Melaporkan secepatnya jika mengetahui tanda-tanda akan terjadinya tsunami
kepada petugas yang berwenang: Kepala Desa, Polisi, Stasiun Radio, SATLAK
Penanggulangan Bencana maupun institusi terkait.
13. Melengkapi diri dengan alat komunikasi.
Sumber: Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya Di
Indonesia. Set BAKORNAS PBP Dan Gempa Bumi Dan Tsunami. Pusat
Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi. Departemen Energi Dan
Sumberdaya Mineral.

5.2.3. Letusan Gunung Api


Persiapan dalam menghadapi letusan gunung api
 Mengenali daerah setempat dalam menentukan tempat yang aman untuk
mengungsi.
 Membuat perencanaan penanganan bencana.
 Mempersiapkan pengungsian jika diperlukan.
 Mempersiapkan kebutuhan dasar

Jika terjadi letusan gunung api


 Hindari daerah rawan bencana seperti lereng gunung, lembah dan daerah
aliran lahar.
 Ditempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan dan awan panas. Persiapkan
diri untuk kemungkinan bencana susulan.
 Kenakan pakaian yang bisa melindungi tubuh seperti: baju lengan panjang,
celana panjang, topi dan lainnya.
 Jangan memakai lensa kontak
 Pakai masker atau kain untuk menutupi mulut dan hidung.
 Saat turunnya awan panas usahakan untuk menutup wajah dengan kedua
belah tangan.

Setelah terjadi letusan gunung api


 Jauhi wilayah yang terkena hujan abu.
 Bersihkan atap dari timbunan abu. Karena beratnya, bisa merusak atau
meruntuhkan atap bangunan.
 Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu sebeb bisa
merusak mesin.

Mitigasi bencana gunung api


Upaya memperkecil jumlah korban jiwa dan kerugian harta benda akibat
letusan gunung api, tindakan yang perlu dilakukan:
1. Pemantauan, aktivitas gunung api dipantau selama 24 jam menggunakan alat
pencatat gempa (seismograf). Data harian hasil pemantauan dilaporkan ke kantor
Direktor Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG) di Bandung
dengan menggunakan radio komunikasi SSB. Petugas pos pengamatan Gunung
api menyampaikan laporan bulanan ke pemda setempat.
2. Tanggap Darurat, tindakan yang dilakukan oleh Direktor Vulkanologi ketika
terjadi peningkatan aktivitas gunung api, antara lain mengevaluasi laporan dan
data, membentuk tim Tanggap Darurat, mengirimkan tim ke lokasi, melakukan
pemeriksaan secara terpadu.
3. Pemetaan, Peta Kawasan Rawan Bencana Gunung api dapat menjelaskan jenis dan
sifat bahaya gunung api, daerah rawan bencana, arah penyelamatan diri, lokasi
pengungsian, dan pos penanggulangan bencana.
4. Penyelidikan gunung api menggunakan metoda Geologi, Geofisika, dan Geokimia.
Hasil penyelidikan ditampilkan dalam bentuk buku, peta dan dokumen lainnya.
5. Sosialisasi petugas melakukan sosialisasi kepada Pemerintah Daerah serta
masyarakat terutama yang tinggal di sekitar gunung api. Bentuk sosialisasi dapat
berupa pengiriman informasi kepada Pemda dan penyuluhan langsung kepada
masyarakat.
5.2.4. Tanah Longsor
Longsoran merupakan salah satu jenis gerakan massa tanah atau batuan, ataupun
percampuran keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan
tanah atau batuan penyusun lereng tersebut. Tanah longsor terjadi karena ada gangguan
kestabilan pada tanah/batuan penyusun penyebab yang berupa:
 Faktor pengontrolan gangguan kestabilan lereng.
 Proses pemicu longsoran.
Gangguan kestabilan lereng ini dikontrol oleh kondisi morfologi (terutama kemiringan
lereng), kondisi batuan ataupun tanah penyusun lereng dan kondisi hidrologi atau tata air
pada lereng. Meskipun suatu lereng rentang atau berpotensi untuk longsor, karena kondisi
kemiringan lereng, batuan/tanah dan tata airnya, namun lereng tersebut belum akan
longsor atau terganggu kestabilannya tanpa dipicu oleh proses pemicu. Proses pemicu
longsoran dapat berupa:
 Peningkatan kandung air dalam lereng, sehingga terjadi akumulasi air yang
merenggangkan ikatan antar butir tanah dan akhirnya mendorong butir-butir tanah
untuk longsor. Peningkatan kandungan air ini sering disebabkan oleh meresapnya
air hujan, air kolam/selokan yang bocor atau air sawah kedalam lereng.
 Getaran pada lereng akibat gempa bumi ataupun ledakan, penggalian, getaran
alat/kendaraan. Gempa bumi pada tanah pasir dengan kandungan air sering
mengakibatkan liquefaction (tanah kehilangan kekuatan geser dan gaya dukung,
yang diiringi dengan penggenangan tanah oleh air dari bawah tanah).
 Peningkatan beban yang melampaui daya dukung tanah atau kuat geser tanah.
Beban yang berlebihan ini dapat berupa beban bangunan ataupun pohon-pohon
yang terlalu rimbun dan rapat yang ditanam pada lereng lebih curam dari 40 derajat
 Pemotongan kaki lereng secara sembarangan yang mengakibatkan lereng
kehilangan gaya penyangga.

Strategi dan upaya pennanggulangan bencana tanah longsor


1. Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan pemukiman dan fasilitas
utama lainnya.
2. Mengurangi tingkat keterjalan lereng.
3. Meningkatkan/memperbaiki dan memelihara drainase baik air permukaan maupun
air tanah. (Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng, menghindari
air meresap ke dalam lereng atau menguras air dari dalam lereng ke luar lereng.
Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau meresapkan air ke
dalam tanah).
4. Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling.
5. Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada teras-teras diaga
jangan sampai menjadi jalan meresapkan air ke dalam tanah).
6. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam
yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih 40 derajat atau
sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diseling-seling dengan
tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).
7. Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat.
8. Melakukan pemadatan tanah disekitar perumahan.
9. Pengenalan daerah rawan longsor.
10. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
11. Penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air masuk secara cepat kedalam
tanah.
12. Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk menghindari bahaya liquefaction
(infeksi cairan).
13. Utilitas yang ada didalam tanah harus bersifat fleksibel
14. Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.

5.2.5. Banjir
Banjir adalah dimana suatu daerah dalam keadaan tergenang oleh air dalam
jumlah yang begitu besar. Sedangkan banjir bandang adalah banjir yang datang secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh karena tersumbatnya sungai maupun karena
pengundulan hutan disepanjang sungai sehingga merusak rumah-rumah penduduk
maupun menimbulkan korban jiwa.
Bencana banjir hampir setiap musim penghujan melanda Indonesia. Berdasarkan
nilai kerugian dan frekuensi kejadian bencana banjir terlihat adanya peningkatan yang
cukup berarti. Kejadian bencana banjir tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor alam
berupa curagh hujan yang diatas normal dan adanya pasang naik air laut. Disamping itu
faktor ulah manusia juga berperan penting seperti penggunaan lahan yang tidak tepat
(pemukiman di daerah bantaran sungai, di daerah resapan, penggundulan hutan, dan
sebagainya), pembuangan sampah ke dalam sungai, pembangunan pemukiman di
daerah dataran banjir, dan sebagainya.

Kenali penyebab banjir


 Curah hujan tinggi.
 Permukaan tanah lebih rendah dibandingkan muka air laut.
 Terletak pada suatu sekungan yang dikelilingi perbukitan dengan pengaliran air
keluar sempit.
 Banyak pemukiman yang dibangun pada dataran sepanjang sungai.
 Aliran sungai tidak lancar akibat banyaknya samapah serta bangunan di pinggir
sungai.
 Kurangnya tutupan lahan di daerah hulu sungai.

Tindakan untuk mengurangi dampak banjir


 Penataan daerah aliran sungai secara terpadu dan sesuai fungsi lahan.
 Pembangunan sistem pemantauan dan peringatan dini pada bagian sungai yang
sering menimbulkan banjir.
 Tidak membangun rumah dan pemukiman di bantaran sungai serta daerah banjir.
 Tidak membuang sampah ke dalam sungai. Mengadakan Program Pengerukan
sungai.
 Pemasangan pompa untuk daerah yang lebih rendah dari permukaan laut.
 Program penghijauan daerah hulu sungai harus selalu dilaksanakan serta
mengurangi aktifitas di bagian sungai rawan banjir.

Yang harus dilakukan sebelum banjir

Ditingkat warga
 Bersama aparat terkait dan pengurus RT/RW terdekat bersihkan lingkungan sekitar
anda, terutama pada saluran air atau selokan dari timbunan sampah.
 Tentukan lokasi Posko Banjir yang tepat untuk mengungsi lengkap dengan fasilitas
dapur umum dan MCK, berikut pasokan air bersih melalui koordinasi dengan
aparat terkait, bersama pengurus RT/RW di lingkungan Anda.
 Bersama pengurus RT/RW di lingkungan Anda, segera bentuk tim penanggulangan
banjir di tingkat warga, seperti pengangkatan Penanggung Jawab Posko Banjir.
 Koordinasikan melalui RT/RW, Dewan Kelurahan setempat, dan LSM untuk
pengadaan tali, tambang, perahu karet, dan pelampung guna evaluasi.
 Pastikan pula peralatan komunikasi telah siap pakai, guna memudahkan mencari
informasi, meminta bantuan atau melakukan konfirmasi.

Di tingkat keluarga
 Simak informasi terkini melalui TV, radio atau peringatan Tim Warga tentang
curah hujan dan posisi air pada pintu air.
 Lengkapi dengan peralatan keselamatan seperti: radio baterai, senter, korek gas dan
lilin, selimut, tikar, jas hujan, ban karet bila ada.
 Siapkan bahan makanan mudah saji seperti mie instan, ikan asin, beras, makanan
bayi, gula, kopi, teh, dan persediaan air bersih.
 Siapkan obat-obatan darurat seperti: oralit, anti diare, anti influenza.
 Amankan dokumen penting seperti: akte kelahiran, kartu keluarga, buku tabungan,
sertifikat dan benda-benda berharga dari jangkauan air dan tangan jahil.

Yang harus dilakukan saat banjir


 Matikan aliran listrik di dalam rumah atau hubungi PLN untuk mematikan aliran
listrik di wilayah yang terkena bencana.
 Mengungsi ke daerah aman sedini mungkin saat genangan air masih
memungkinkan untuk diseberangi.
 Hindari berjalan di dekat saluran air untuk menghindari terseret arus banjir. Segera
mengamankan barang-barang berharga ketempat yang lebih tinggi.
 Jika air terus meninggi hubungi instansi yang terkait dengan penanggulangan
bencana seperti Kantor Kepala Desa, Lurah, ataupun Camat.

Yang harus dilakukan setelah banjir


 Secepatnya membersihkan rumah, dimana lantai pada umumnya tertutup lumpur
dan gunakan antiseptik untuk membunuh kuman penyakit.
 Cari dan siapkan air bersih untuk menghindari terjangkitnya penyakit diare yang
sering berjangkit setelah kejadian banjir.
 Waspada terhadap kemungkinan binatang berbisa seperti ular dan lipan, atau
binatang penyebar penyakit seperti tikus, kecoa, lalat, dan nyamuk.
 Usahakan selalu waspada apabila kemungkinan terjadi banjir susulan.

5.2.6. Kekeringan
Kekeringan akan berdampak pada kesehatan manusia, tanaman serta hewan.
Kekeringan menyebabkan pepohonan akan mati dan tanah menjadi gundul yang pada
musim hujan menjadi mudah tererosi dan banjir. Dampak dari bahaya kekeringan
mengakibatkan bencana berupa berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman
pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencarihan, banyak orang kelaparan
dan mati, sehingga berdampak terjadinya urbanisasi

Gejala Terjadinya Kekeringan


1. Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan dibawah normal
dalam satu musim. Pengukuran kekeringan Meteorologi merupakan indikasi
pertama adanya bencana kekeringan.
2. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air
sungai, waduk, danau dan air tanah. Kekeringan Hidrologis bukan merupakan
indikasi awal adanya kekeringan.
3. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengan tanah
(kandungan air di dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas
menyebabkan tanaman menjadi kering dan mengering.

Strategi mitigasi dan upaya penguranagn bencana


1. Penyusunan peraturan pemerintah tentang pengaturan sistem pengiriman data
iklim dari daerah ke pusat pengolahan data.
2. Penyusunan PERDA untuk menetapkan skala prioritas penggunaan air dengan
memperhatikan historical right dan azas keadilan.
3. Pembentukan pokja dan posko kekeringan pada tingkat pusat dan daerah.
4. Penyediaan anggaran khusus untuk pengembangan/ perbaikan jaringan
pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan kekeringan.
5. Pengembangan/ perbaikan jaringan pengamatan iklim pada daerah-daerah rawan
kekeringan.
6. Memberikan sistem reward dan punishment bagi masyarakat yang melakukan
upaya konservasi dan rehabilitasi sumberdaya air dan hutan/lahan.
Sumber: Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di
Indonesia, SetBakornas PBP.

5.2.7. Angin Topan


Angin Topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120
km/jam atau lebih sering terjadi di wilayah tropis diantara garis balik utara dan
selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan dengan khatulistiwa.
Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan dalam suatu sistem cuaca.
Angin paling kencang yang terjadi di daerah tropis ini umumnya berpusat dengan
radius ratusan kilometer disekitar daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan
kecepatan sekitar 20 Km/jam. Di Inndonesia dikenal dengan sebutan angin badai.

Strategi mitigasi dan upaya pengurangan bencana


1. Membuat struktur bangunan yang memenuhi syarat teknis untuk mampu bertahan
terhadap gaya angin.
2. Perlukan penerapan aturan standar bangunan yang memperhitungkan beban angin
khususnya di daerah yang rawan angin topan.
3. Penempatan lokasi pembangunan fasilitas yang penting pada daerah yang
terlindung dari serangan angin topan.
4. Penghijauan di bagian atas arah angin untuk meredam gaya angin.
5. Pembuatan bangunan umum yang cukup luas yang dapat digunakan sebagai
tempat penampungan sementara bagi orang maupun barang saat terjadi seranagan
angin topan.
6. Pengamanan/ perkuatan bagian-bagian yang mudah diterbangkan angin yang dapat
membahayakan diri atau orang lain disekitarnya.
7. Kesiapsiagaan dalam menghadapi angin topan, mengetahui bagaimana cara
penyelamatan diri.
8. Pengamanan barang-barang disekitar rumah agar terkait/dibangun secara kuat
sehingga tidak diterbangkan angin.
9. Untuk para nelayan, supaya menambatkan atau mengikat kuat kapal-kapalnya.

5.2.8. Gelombang Pasang


Gelombang pasang adalah gelombang air laut yang melebihi batas normal dan
dapat menimbulkan bahaya baik di lautan, maupun di darat terutama daerah pinggir
pantai. Umumnya gelombang pasang terjadi karena adanya angin kencang/topan,
perubahan cuaca yang sangat cepat, dan karena ada pengaruh dari gravitasi bulan
maupun matahari. Kecepatan gelombang pasang sekitar 10-100 Km/jam.
Gelombang pasang sangat berbahaya bagi kapal-kapal yang sedang berlayar
pada suatu wilayah yang dapat menenggelamkan kapal-kapal tersebut. Jika terjadi
gelombang pasang dilaut akan menyebabkan tersapunya daerah pinggir pantai atau
disebut dengan abrasi.

Karakteristik terjadinya gelombang pasang


1. Angin kencang
2. Terjadinya badai di tengah laut dan menyebabkan terjadinya gelombang pasang
di pinggir pantai.
3. Perubahan cuaca yang tiba-tiba menjadi gelap.

Tips penangnan bencana


1. Pemberitahuan dini kepada masyarakat dari hasil prakiraan cuaca melalui radio
maupun alat komunikasi.
2. Bila sedang berlayar di tengah laut, usahakan menghindari daerah laut yang
sedang dilanda cuaca buruk.
3. Membuat/ merencanakan pengungsian apabila terjadi gelombang pasang di
pinggir pantai.
4. Membuat infrastruktur pemecah ombak untuk mengurangi energi gelombang
yang datang terutama di daerah pantai yang bergelombang besar.
5. Tetap tenang jika terjadi gelombang pasang di tengah laut maupun di pinggir
pantai.
5.2.9. Kegagalan Teknologi
Kegagalan Teknologi adalah semua kejadian bencana yang diakibatkan oleh
kesalahan desain, pengorperasian, kelalaian dan kesengajaan manusia dalam
penggunaan teknologi dan /atau industri.

Penyebab terjadinya kegagalan teknologi


1. Kebakaran.
2. Kegagalan/kesalahan desain keselamatan pabrik/teknologi.
3. Kesalahan prosedur pengoperasian pabrik/teknologi.
4. Kerusakan komponen.
5. Kebocoran reaktor nuklir.
6. Kecelakaan transportasi (darah, laut, udara).
7. Sabotase atau pembakaran akibat kerusuhan.
8. Dampak ikutan dari bencana alam (gempa bumi, banir, dan sebagainya).
Kegagalan teknologi dapat menyebabkan pencemaran (udara, air, dan tanah),
korban jiwa, kerusakan bangunan, dan kerusakan lainnya. Bencana Kegagalan
teknologi pada skala yang besar akan dapat mengancam kestabilan ekologi secara
global.

Gejala dan peringatan dini


 Kejadian sangat cepat (dalam hitungan detik atau jam) dan secara tiba-tiba.
 Desain pabrik/industri harus dilengkapi dengan sistem monitoring dan sistem
peringatan akan bahaya kebakaran, kerusakan komponen/peralatan dan
terjadinya kondisi bahaya lainnya.
 Pelepasan bahasa-bahasa pencemar yang berbahaya pada umumnya tidak
terlalu cepat sehingga memungkinkan untuk memberikan peringatan dan
evaluasi pekerja dan masyarakat sekitarnya.
 Ledakan pabrik dalam beberapa kasus dapat diantipasi.

Tips penanganan dan upaya pengurangan bencana


1. Krangi atau hilangkan bahaya yang telah diindetifikasikan
2. Tingkatkan ketahanan terhadap kebakaran dengan menggunakan meterial
bangunan ataupun peralatan yang tahan api.
3. Bangunan daerah penyangga atau penghalang api serta penyebaran asap/pengurai
asep.
4. Tingkatkan fungsi sistem deteksi dan peringatan dini.
5. Perencanaan kesiapsiagaan dalam peningkatan kemampuan pemadaman
kebakaran dan penanggulangan asap, tanggap darurat dan evakuasi bagi pegawai
serta penduduk di sekitar.
6. Sosialisasikan rencana penyelamatan kepada pegawai dan masyarakat sekitarnya
bekerja sama dengan instansi terkait.
7. Tingkatkan Kemampuan pertahanan sipil dan otoritas kedaruratan.
8. Batasi dan kurangi kapasitas penampungan bahan-bahan kimia yang berbahaya
dan mudah terbakar.
9. Tingkatkan standar keselamatan di pabrik dan desain peralatan.
10. Antisipasi kemungkinan bahaya dalam desain pabrik.
11. Buat prosedur operasi penyelamatan jika terjadi kecelakaan teknologi.
12. Pindahkan bahan/material yang berbahaya dan beracun.
13. Secara proaktif melakukan monitoring tingkat pencemaran sehingga standar
keselamatan tidak terlampaui.
14. Persiapan rencana evakuasi penduduk ke tempat aman.

Sumber: Panduan Pengenalan Karakteristik Bancana dan Upaya Mitigasinya di


Indonesia, Set BAKORNAS PBP.

5.2.10. Bencana Kebakaran


Kebakaran merupakan salah satu bencana yang sangat sering terjadi khususnya
di daerah perkotaan padat penduduk. Kebakaran adalah api yang tidak terkendali yang
meluas dan menyebabkan kerusakan dan korban jiwa.
Pada dasarnya kebakaran adalah proses kimia yaitu reaksi antara bahan bakar
(fuel) dengan oksigen dari udara atas bantuan sumber panas (heat). Ketika unsur api
tersebut sering juga disebut segitiga api (fire triangle). Oleh karena itu, bencana
kebakaran selalu melibatkan bahan mudah terbakar dalam jumlah yang besar baik
berbentuk bahan padat seperti kayu, kertas atau kain, atau bahan cair seperti bahan
bakar dan bahan kimia.
Kebakaran dapat mengakibatkan bencana karena akan memusnahkan segala
harta benda bahkan karena akan memusnahkan segala harta benda bahkan dapat
menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang besar.
Untuk mencegah bahaya kebakaran, maka upaya yang perlu dilakukan adalah
melakukan tahapan pra kebakaran, kebakaran dan pasca kebakaran sebagai berikut.

a. Pra kebakaran
Melakukan upaya pencegahan kebakaran melalui pendekatan teknis, manuasi
ataupun administratif misalnya:
 Rancangan bangun fasilitas dengan mempertimbangkan bahaya kebakaran
misalnya jarak aman antar bangunan, penggunaan bahan bangunan yang baik
dan tahan kebakaran, pembangunan instalasi atau pabrik yang mengelola
bahan mudah terbakar dan meledak dengan persyaratan teknis yang sesuai.
 Pembinaan kesadaran mengenai bahaya kebakaran di tengah masyarakat,
seperti tidak merokok disembarang tempat, menjauhkan bahan bakar dari
sumber api dan upaya lainnya.
 Penyediaan sarana pemadam kebakaran yang memadai di setiap tempat
mengandung risiko kebakaran tinggi, misalnya gedung bertingkat, pabrik dan
kilang minyak. Termasuk sarana adalah alat peringatan dini (fire detector), dan
alarm.
 Persyaratan teknis instalasi listrik dan peralatan listrik seperti syarat
pemasangan, persyaratan material dan peralatan dan pengawasannya.
 Pengelolaan bahan yang mudah terbakar dengan cara yang aman dan
memenuhi persyaratan yang berlaku, misalnya bahan bakar minyak, kayu,
kertas dan bahan lainnya.
 Mencegah menjalankan cara kerta yang dapat mengundang bencana kebakaran
misalnya peladangan berpindah, pembakaran saat pembersihkan lahan,
pembalakan liar dan lainnya yang bisa memicu terjadinya kebakaran hutan.

b. Saat kebakaran
Disaat kebakaran yang perlu disiapkan adalah kemampuan untuk
memadamkan kebakaran dan melakukan kebakaran dan melakukan penyelamatan
korban dan harta benda.
Setiap daerah, kwasan atau instalasi harus memiliki sistem pemadam
kebakaran dan organisasi kebakaran yang baik. Adanya tim tanggap darurat akan
berperan mengurangi dampak kebakaran sebelum petugas kebakaran datang di
tempat kejadian.
Disamping itu, penggunakan sarana kebakaran otomatis juga dianjurkan
untuk tempat-tampat mengandung risiko kebakaran tinggi.

c. Pasca Kebakaran
Setelah kebakaran terjadi, perlu dilakukan pemulihan dan rehabilitasi dampak
kebakaran. Jika kebakaran mengakibatkan banyak warga masyarakat kehilangan
tempat tinggal atau rumahnya, maka diperlukan langkah rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca kebakaran.

5.2.11. Tumpahan dan Bocoran B3


Bencana industri lainnya yang juga sering terjadi adalah bencana bahan kimia
berbahaya dan beracun. Penggunaan bahan kimia B3 semakin meningkat sejalan
dengan meningkatkan kebutuhan manusia yang didukung pula oleh tumbuhnya
berbagai industri yang mengolah atau menghasilkan bahan kimia berbahaya dan
beracun.
Bencana dapat terjadi jika bahan berbahaya ini lolos ke lingkungan sekitarnya
dan mengakibatkan bahaya bagi mahluk hidup dan lingkungan. Dalam kasus Bhopal
misalnya, terjadi bocoran gas beracun jenis Methyl Iso Canate yang mengakibatkan
ribuan korban tewas. Hal serupa dapat terjadi di tempat lain, khususnya di
lingkungan tempat produksi dan penyimpanan bahan berbahaya.
Tumpahan dan Bocoran B3 ini mengandung berbagai potensi bahaya antara
lain dampak pencemaran lingkungan dan cedera pada mahluk hidup. Bahan Kimia
berbahay yang bocor dan kemudian masuk ke lingkungan dapat menimbulkan
dampak berantai seperti pencemaran dan kebakaran.

Langkah pengendalian yang perlu dilakukan antara lain:


a. Menetapkan persyaratan yang ketat dalam pembangunan dan pengoperasian
industri yang menggunakan atau menghasilkan B3.
b. Mewajibkan dibentuknya tim tanggap darurat disetiap fasilitas yang mengelola
B3.
c. Persyaratan batas aman anatara industry B3 dengan pemukiman atau kegiatan
masyarakat lainnya.
d. Menyiapkan peralatan dan sarana menghadapi bahan B3 sesuai dengan sifat dan
sejenisnya masing-masing.

5.2.12. Pencemaran/Polusi
Salah satu bencana teknologi yang sering terjadi adalah pencemaran atau
polusi, khusunya jika menyangkut bahan berbahaya dan beracun seperti minyak
mentah seperti yang terjadi di Alaska karena bocornya kapal tangker Exxon Valdez
dan di selat Malaka dari kapal Showa Maru.
Indonesia negara yang rawan dengan bencana pencemaran khususnya yang
terjadi di laut. Salah satu faktor adalah karena posisi Indonesia yang berada di tengah
jalur pelayanan minyak mentah dari Timur Tengah ke Asia dan China.
Untuk itu, Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi bencana
tumpahan minyak skala besar yang dapat terjadi di perairan Indonesia.
Untuk mengatasi bencana tumpahan minyak dilaut, dewasa ini sudah
dikembangkan berbagai kerjasama baik internasional maupun regional untuk saling
bantu dalam menghadapi tumpahan minyak. Salah satu upaya adalah dengan
membentuk MARPOL (Marine Pollution).

5.2.13. Bencana Konstruksi


Bencana juga dapat berasal dari kegagalan konstruksi, misalnya kasus waduk
Situ Gintung yang jebol sehingga memusnahkan area sekitarnya.
Untuk mengatasi hal ini, perlu pengawasan yang ketat terhadap semua
produk konstruksi yang berisiko tinggi. Harus ditetapkan standar teknis minimal, dan
sistem pengawasannya.

5.3. Bencana Industri

SEKTOR Industri merupakan kegiatan yang rawan bencana sehingga perlu dan wajib
menerapkan manajemen bencana dengan baik. Sektor industri dapat sebagai sumber
timbulnya bencana, misalnya akibat kebocoran gas beracun, tumpahan minyak, kebakaran
dan peledakan. Dilain pihak, sektor industri juga rawan dampak bencana dari luar,
misalnya bencana gempa, angin ribut atau petir. Banyak kasus bencana industri akibat
sumber dari alam, misalnya kasus kebakaran tangki Cilacap yang disebabkan sambaran
petir.
Berdasarkan potensi bahayanya, sektor industri perlu menerapkan manajemen
bencana dengan beberapa alasan sebagai berikut.
 Sektor industri menimbun bahan, material yang berbahaya seperti mudah terbakar
dan meledak sehingga jika terjadi gangguan dapat berakibat fatal.
 Sektor industri juga melakukan berbagai kegiatan berbahaya yang berpontensi
menimbulkan bencana seperti proses kimia, pabrikasi atau pengangkutan bahan
berbahaya dan beracun.

5.3.1. Dasar Hukum


Penerapan manajemen bencana di sektor industri merupakan persyaratan yang
tercantum dalam berbagai perundangan misalnya:
o Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pada Pasal 3
tentang syarat-syarat keselamatan kerja yang mencakup pencegahan kecelakaan,
kebakaran, peledakan, dan penyelamatan dalam keadaan darurat.
o Kepmenaker No. 186/Men/1999 tentang Penanggulangan Kebakaran di tempat
kerja yang mensyarakatkan adanya unit penanggulanagn kebakaran.
o Undang-undang No. 13 tahun 2007 tentang Ketenaga kerjaan Pasal 87 yang
mewajibkan setiap perusahaan menerapkan sistem manajemen K3. Di dalam
menerapkan sistem manajemen K3, misalnya SMK3 Depnaker atau OHSAS
18001, salah satu elemennya adalah Tanggap Darurat atau Manajemen Bencana.

5.3.2. persyaratan Manajemen Bencana


Sistem manajemen bencana di dalam industri merupakan bagian dari program K3
yang berkaitan dengan insiden dan program lingkungan hidup yang berkaitan dengan
bencana lingkungan. Di dalam sistem manajemen K3, misalnya SMK3 sesuai dengan
Kepmenaker No. 05 tahun 2006 dan OHSA 18001, perusahaan harus menerapkan
manajemen tanggap darurat di lingkungan organisasinya.
Sistem Manajemen K3 OHSAS 18001 memasukkan aspek tanggap darurat sebagai
salah satu persyaratan pelaksanaan K3 yang mencakup sebagai berikut:
 Organisasi harus menetapkan, menjalankan dna memelihara prosedur:
 Untuk mengidentifikasi potensi situasi darurat;
 Untuk merespon situasi darurat tersebut.
Persyaratan ini mewajibkan dilakukannya Analisa Risiko Bencana
(Disaster Risk Assessment) untuk setiap kegiatan industri.
 Organisasi harus tanggap terhadap situasi darurat sebenarnya dan mencegah atau
menekan konsekuensi K3 yang ditimbulkannya.
Klausul ini mensyaratkan adanya sistem tanggap darurat untuk setiap
kondisi yang dapat terjadi dalam perusahaan dengan sasaran untuk menekan
atau mengurangi dampak dari semua bencana.
 Dalam merancang tanggap darurat, organisasi harus mempertimbangkan
keprluan pihak berkepentingan lainnya misalnya layanan darurat atau tetangga
berdekatan
Persyaratan OHSA 18001 ini juga mengkaitkan program tnggap darurat dengan
aspek pelindungan terhadap komuniti atau masyarakat berdekatan dengan
kegiatan industri. Dalam keadaan darurat, bencana dapat membawa dampak
terhadap masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Bencana kebakaran,
ledakan atau bocoran gas beracun dapat berimbas dan menjalar ke lingkungan
sekitarnya.
Masyarakat dapat jadi korban cedera atau menimbulkan kepanikan.
 Organisasi harus juga secara berkala menguji prosedurnya untuk tanggap
terhadap situasi darurat, dan jika memungkinkan dengan melibatkan pihak
terkait yang relevan.
Klausul ini berkaitan dengan salah satu elemen sistem manajemen
bencana yaitu pelatihan dan pembinaan. Tujuannya untuk memastikan bahwa
semua unsur yang terkait dengan manajemen bencana dalam perusahaan sudah
paham dan trampil dalam menanggulangi setiap kejadian situasi darurat.
Klausul ini berkaitan dengan tinjau ulang atau audit manajemen bencana
yang wajib dilakukan secara berkala.
Berdasarkan persyaratan tersebut, setiap perusahaan, khususnya
lingkungan industri berisiko tinggi wajib menerapkan manajemen bencana yang
baik.

5.3.3. Penerapan Manajemen Bencana dalam Industri


Manajemen bencana dalam industri disesuaikan dengan karakteristik industri
serta jenis kegiatannya, termasuk juga mempertimbangkan lingkungan dan lokasi
industri.
Secara umum, tanggap darurat dalam industri meliputi potensi bencana sebagai
berikut.
1. Kebakaran dan peledakan
2. Penermaran lingkungan
3. Kecelakaan kerja
4. Kegagalan tenaga
5. Gangguan operasi
6. Bocoran gas atau bahan beracun
7. Bencana alam (banjir, gempa bumi, angin topan, petir, gunung api, tanah longsor,
dan lainnya)
8. Gangguan sosial
9. Kriminal (teror bom atau gangguan keamanan)
Masing-masing bencana ini harus diidentifikasi untuk menentukan risikonya.
Setiap perusahaan akan memiliki tingkat kerentanan bencana yang berbeda-beda
sehingga harus disesuaikan program manajemennya masing-masing.
Berdasarkan identifikasi bencana tersebut selanjutnya dapat disusun pre-
planning atau skenario keadaan darurat untuk berbagai kondisi, fasilitas atau peralatan.
Berikut ini merupakan salah satu contoh Lembar Analisa Skenario Keadaan
Darurat (Emergency Scenario Analysis Sheet).
Lembar Analisa Skenario Keadaan Darurat
(Emergency Scenario Analysis Sheet)

Lokasi Tanggal
Unit/Lokasi Skenario No.
Jenis Tanggap Darurat:
Kebakaran Ledakan
Tumpahan Minyak Bocoran Gas
Bencana Alam Lain-lain

A Uraian Skenario

B Penyebab

Perkiraan Lama dan Besarnya


C

Dampak Terhadap Operasional Perusahaan


D

E Konsekuensi

F Komentar
Selanjutnya perusahaan dapat mengembangkan sistem atau prosedur tanggap
darurat di lingkungan masing-masing yang membuat antara lain :
1. Jenis keadaan darurat
2. Struktur organisasi penanganan
3. Jalur komando
4. Tugas dan tanggung jawab
5. Strategi penanganan setiap jenis keadaan darurat
6. Jalur komunikasi.
BAB
6

PROSES PENGEMBANGANN MANAJEMEN BENCANNA

6.1. Langkah Pengembangan


PENGEMBANGAN suatu sistem manajemen
bencana untuk suatu organisasi atau perusahaan dapat
dilakukan melalui beberapa tahap atau langkah-langkah.
Tugas yang perlu dilakukan untuk setiap langkah adalah sebagai
berikut.
Langkah 1: Menunjukan koordinator penanggulangan
Langkah pertama yang harus dilakukan jika ingin mengembangkan sistem tanggap
darurat adalah menetapkan atau menunjukkan koordinator tim.
Tanpa koordinator yang handal dan kompeten, tanggap darurat tidak akan berjalan
dengan baik. Terlebih jika diingat, bahwa koordinator ini harus bekerja dalam situasi yang
pelik dan mungkin kacau akibat bencana yang terjadi.
Seorang koordinator harus mampu mengkoordinir langkah-langkah penanggulangan
bencana dengan tenang dan sistematis sehingga tidak terjadi kekacauan.
Koordinator disesuaikan dengan lingkup dan skala organisasi manajemen bencana
yang akan dibentuk, misalnya tingkat nasional, wilayah, kota, atau peruashaan.
Untuk tingkat perusahaan, koordinator tim tanggap darurat mungkin salah seorang
manajer yang menangani operasi atau keselamatan kerja. Untuk tingkat wilayah, mungkin
salah seorang pimpinan daerah yang memilki tugas menangani bencana.

Langkah 2: Identifikasi dan evaluasi potensi bencana


Lakukan identifikasi semua potensi risiko bencana yang mungkin terjadi. Gunakan
matrik risiko atau metode identifikasi risiko bencana yang telah diuraikan sebelumnya.
Sesuaikan tehnik identifikasi dan analisa risiko dengan kebutuhan dan tingkat yang
diperlukan. Misalnya untuk mengukur tingkat kerentanan terhadap gempa atau berkaitan
dengan aspek geologis. Jika perlu, analisa risiko bencana harus melibatkan tenaga ahli
atau pakar di bidangnya masing-masing.
Dari hasil kajian ini, tentukan peringkat risiko untuk masing-masing kawasan atau
unit kegiatan yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan masukan dalam menetukan
strategi pengendaliannya.

Langkah 3 : Tentukan langkah pengendalian


Berdasarkan langkah ke dua diatas, tentukan program atau rencana pengencdalian
bencana (mitigasi) yang paling efektif dan efisien. Pengendalian dapat dilakukan baik
melalui pendekatan pengurangan kemungkinan (reduce likelihood) atau melalui
pendekatan pengurangan akibat bencana (reduce consequence). Pertimbangkan juga
menggunakan berbagia pendekatan seperti pendekatan teknis, manusia atau prosedur
sesuai dengan kondisi setempat.
Langkah 4: Tentukan sumberdaya yang diperlkan
Langkah berikutnya berkaitan dengan penyedian sumberdaya. Mulailah dengan
mengidentifikasi kebutuhan sumberdaya untuk menghadapi masing-masing bencana yang
sudah diidentifikasi diatas.
Lakukan pula inventarisasi apa saja sumberdaya yang usdah tersedi baik sumberdaya
manusia, perangkat keras, perangkat lunak dan lainnya sesuai dengan jeis bencana yang
ada.
Dari hasil tersebut, dapat diketaui apa saja sumberdaya yang perlu disiapkan dan
dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Perhatikan bahwa sumberdaya bukan berarti harus disediakan sekaligus dan tersdia
sepanjang waktu, karena bencana belum tahu dan tidak bisa diramalkan kapan terjadi.
Hal yang penting adalah adanya informasi mengenai ketersediaan sumberdaya.
Sebagai contoh, kebutuhan medis dapat dilakuakn dengan membangun kerjasama dengan
berbagai produsen obat-obatan yang dapat dihubungi setiap saat sesuai dengan kebutuhan.
Sumberdaya manusiapun dapat dikoordinasikan secara nasional atau regional, jika
informasi telah tersedia dengan lengkap. Sebagai contoh tim SAR suatu daerah dapat
dimanfaatkan dengan segera. Tim medis dari suatu perusahaan, daerah, wilayah atau
negara dapat dimobilisasi setiap saat jika sudah ada koordinasi dan data base-nya.

Langkah 5 : Kembangkan sasaran


Setelah rencana pengembangan dan sumberdaya ditetpkan,maka langkah berikutnya
adalah menetukan sasaran manajemen bencana. Setiap organisasi atau entitas, wajib
menetapkan sasarannya. Sebagai contoh, sasaran manajemen bencana untuk suatu daerah
adalah melindungi warga masyarakat yang berjumlah 150.000 orang agar terlindungi dari
bencana. Untuk tingkat perusahaan misalnya sasaran manajemen bencana untuk
menghindarrkan kerugian dan korban akibat kebocoran bahan kimia dan peledakan.

Langkah 6: Kembangkan prosedure darurat bencana


Langkah berikutnya yang perlu dilakukan adalah menyusun prosedur untuk
manangani semua kondisi darurat atau bencana yang dapat terjadi. Susun prosedur untuk
bencana tsunami, bencana banjir, atau bencana industri termasuk kebakaran, pencemaran
dan lainnya. Setiap prosedur disusun secara bertingkat mulai dari tingkat manajemen
insiden, manajemen darurat dan manajemen krisis.
Pada tingkat manajemen insiden, prosedur disusun secara detil bagaimana tehnik
melakukan penanggulangan bencana, siapa yang bertanggung jawab dan apa saja sarana
yang diperlukan seperti garis komando dan tanggung jawab personil.
Prosedur ini harus dibuat tertulis dan selalu dikomunikasikan kepada semua pihak
terkait. Akan lebih baik, jika pembuatan prosedur ini melibatkan semua unsur yang akan
terlibat dalam penanggulangan bencana sehingga semuanya mengetahui tugas dan
tanggung jawabnya. Prosedur juga harus dibuat secara bertingkat.
Sebagai contoh untuk tingkat manajemen insiden dibuat prosedur yang bersifat
umum, dan selanjutnya dijabarkan lebih rinci menjadi prosedur masing-masing tim,
misalnya prosedur tim kebakaran, tim medis dan tim SAR. Prosedur ini akan menjadi
PROTAP (Prosedur Tetap) bagi masing-masing tim sehingga tidak ada keraguan atau
kesimpang siuran dalam mengahadapi bencana.

Langkah 7: Lakukan pelatihan


Langkah yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pelatihan dan pembinaan.
Tanpa adanya latihan, bagaimanapun baiknya suatu prosedur pasti tidak akan berjalan
sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakuakan latihan (drill) untuk
memastikan apakah prosedur tanggap bencana yang sudah disusun telah diketahui dan
dapat dijalankan. Latihan sekurangnya dilakukan setiap tahun yang meliputi semua
tingkat baik pada tingkat manajemen insiden, manajemen darurat dan manajemen krisis.

Langkah 8: Peliharaan dan tingkatkan sistem manajemen bencana


Berdasarakan hasil latihan dan pelaksanaan manajemen bencana dapat diketahui
kekurangan atau kelebihan yang ada. Untuk itu setiap selesai kejadian bencana atau
selesai suatu latihan, harus dilakukan evaluasi menyeluruh untuk mengetahui
kelemahannya.
Hasil kajian ini harus digunakan sebagai masukan untuk meningkatkan dan
memeliharaprosedur yang sudah ada.
Melalui langkah-langkah diatas, pengembangan sistem manajemen bencanaakan
dapat dilakukan secara terencana dan komprehensif .
6.2. Kelemahan dalam Manajemen Bencana

WALAU bagaimanapun baiknya prosedur dan sistem yang dibangun jika tidak dilakukan
dengan konsisten tentu tidak akan berhasil dengan baik. Oleh karena itu perlu
diperhatikan berbagai hal yang dapat mengganggu kelancaran dan keberhasilan
manajemen bencana.
Menurut penelitian Nasional Safety Council (Carl Griffith, National Safety Council
Utilities Division Manager) ada beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan sistem
manajemen bencana dalam suatu organisasi yaitu:
1. Kurangnya dukungan manajemen puncak
Manajemen bencana sering hanya menjadi retorika dan tidak didukung secara
politis dan teknis. Tanpa dukungan maajemen tentu program manajemen benacana
tidak akan berhasil baik.
2. Kurangny keterlibatkan dan dukungan pekerja dan masyarakat
Program manajemen bencana tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh semua
pihak, termasuk masyakat atau anggota pekerja yang akan menjadi subyek dalam
proses tanggap darurat.
3. Kurang atau tidak ada perencanaan
Manajemen bencana juga tidak dilengkapi dengan perencanaan yang baik sehingga
ketika terjadi becana semua prosedur berantakan.
4. Kurangnya pelatihan dan pendidikan
Tidak dilakukan pembinaan dan pelatihaaan yang diperlukan untuk masing-masing
bencana baik untuk tim penanggulangan maupun untuk anggota masyarakat yang
terkena bencana
5. Tidak ada penanggung jawab yang ditunjukan khusus untuk mengkoordinir sistem
tanggap darurat
Penanggung jawab tidak ditunjukan dan diberi wewenang yang jelas, sehingga
kesatuan komando dalam keadaan bencana tidak tercapai. Bencana harus ditangani
seperti peperangan dengan seorang jenderal yang bertanggung jawab penuh dan
memiliki otoritas tinggi.
6. Sistem tanggap darurat tidak dievaluasi atau disempurnakan secara berkala
Kebiasaan yang paling buruk adalah tidak pernah melakukan evaluasi, terutama
jika bencana tidak pernah datang, sehingga program bencana terlupakan.
7. Sistem komunikasi dan peringatan dini tidak memadai
Sebagai akibatnya ketika terjadi bencana semua pihak panik dan prosedur tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Tidak terintegrasi dengan prosedur operasi
misalnya untuk mematikan mesin atau pabrik.
8. Pekerja tidak dijelaskan mengenai tindakan atau langkah yang dilakukan jika
terjadi keadaan darurat.
Seluruh kelemahan diatas dapat teratasi jika selurh elemen tanggap darurat diatas
dijalankan dengan baik dan konsisten.

6.3. Kunci Keberhasilan

PENGEMBANGAN manajemen bencana memang tidak mudah memerlukan kerja keras


dan berkesinambungan.
Untuk mencapai eberhasilan dalam menerapkan dan mengembangkan manajemen
bencana diperlukan hal sebagai berikut.
a Dukungan manaejemen secara penuh dan konsisten yang ditunujukan secara nyata.
Manajemen bencana harus dianggap sebagai program strategis untuk memelihara
dan menjaga hasil pemabangunan atau proses produksi.
b Peran serta semua pihak yang ditunjukkan dengan porsinya masing-masing.
Semakin tinggi keterlibatan, semakin tinggi tingkat keterlibatan, semakin tinggi
keberhasilannya.
c Ketersediaan sumberdaya yang memadai untuk menangani bencana sesuai dengan
kondisi dan sifat masing-masing.
Lampiran 1

PROSEDUR PENANGGULANGAN KEADAAN


DARURAT GEDUNG BERTINGKAT

Prosedur Tanggap Darurat dibuat dan disusun mengenai KEWAJIBAN serta


TANGGUNG JAWAB yang harus dilaksanakan oleh setiap penghuni gedung.

1. Jika terdengar suara BEL Kebakaran, tetaplah tenang


d. Alarm Pertama
1). Hentikan semua kegiatan.
2). Segera Amankan dokumen penting, surat berharga dan barang-barang
lainnya.
3). Kunci lemara besi atau brankas.
4). Matikan semua peralatan listrik dan cabut hubungan listriknya.
5). Matikan api rokok.
6). Untuk mencegah meluasnya api dan asap, tutup semua pintu-pintu
kantor/ruangan tetapi jangan sekali-kali dikunci.
7). Siaga menunggu jika deringan bel alarm kedua.
8). Jika alarm kedua tidak berbunyi, berarti kebakaran telah dapat diatasi
dan tidak dilakukan evaluasi.

e. Alarm Kedua
1) Jika alarm kedua berbunyi, segera siaga dna berdiri di depan pintu
kantor/ruangannya masing-masing dan bersiap untuk menerima
instruksi/perintah lebih lanjut dari petugas peran kebakaran lantai.
2) Setelah menerima perintah dari petugas peran kebakaran lantai,
tinggalkan tempat secepatnya dengan teratur mengikuti petunjuk petugas
evakuasi.
3) Di bawah pimpinan petugas evakuasi, pekerja di lantai ganjil segera
turun menggunakan tangga darurat sebelah kanan dan lantai genap
melalui tangga darurat sebelah kiri menuju tempat berkumpul/berhimpun
yang telah ditentukan.
4) Jangan sekali-kali berhennti atau kembali untuk mengambil barang-
barang milk pribadi yang tertinggal.

2. Jika melihat atau mengetahui terjadinya kebakaran, tetaplah tenang.


1) Segera melaporkan kejadian ke petugas setempat atau Posko Security (Posko)
lengkap dengan lokasi kejadian
2) Segera menyembunyikan alarm kebakaran dengan memecahkan gelas manual
alrm/push button/break glass yang ada disetiap lantai
3) Berusaha memadamkan api dengan menggunakan APAR atau air dari hidran
kebakaran yang tersedia di setiap lantai. Bila sumber api diperkirakan dari
kebakaran listrik air dari hidran tidak boleh digunakan. Semua perlatan
bertenaga listrik harus diputuskan aliran listriknya.
4) Apabila api tidak dapat dikuasai, segera keluar dari ruangan dengan cepat.

3. Melaksanakan evakuasi
1) Jangan mengguanakan lift
2) Jangan panik
3) Berjalan dengan cepat dan teratur, tetapi tidak lari
4) Bagi yang berkantor di lantai ganjil, segera menujutangga darurat yang berada
sebelah kanan, dan bagi yang berkantor dilantai genap, segera menuju tangga
darurat sebelah kiri.
5) Ikuti petunjuk petugas peran kebakaran lantai
6) Berikan pertolongan kepada pengunjung yang kurang mengetahui seluk beluk
ruangan
7) Melepas sepatu hak tinggi
8) Mendahulukan pengunjung atau karyawan tenant yang cacat atau memilki
handicap lain
9) Bagi karyawan tenant, segera berkumpul di tempat berhimpun/ berkumpul
(sesuai dengan denah)
10) Jangan berhenti atau kembali ke lantai

4. Menempati kembali ke ruangan/lantai kantor


Instruksi untuk kembali tempat kerja akan diberikan oleh kordinator Tim
Darurat setempat setelah Petugas Securiti selesai mengadakan penyisisran
memeriksa seluruh Ruangan dan dinyatakan aman.

5. Organisai Peran kebakaran


Organisai tanggap darurat (OKD) adalah organisai dibentuk oleh pengelola
gedung, merupakan bagian yang sangat pentingdidalam rencana darurat.
OKD memilki tugas pokok mengembangkan potensi anggota peran
kebakaran dan menyelenggarakan pembinaan terhadap penghuni dan pengunjung
dalam kesiap siagaan menghadapi bahay kebakaran berdasarakan
emergencyprosedur yang disusun.
Fungsi utama OKD gedung adalah melaksanakan pemadam tingka awal dan
sedini mungkin serta mengurangidampak kebakaran sehingga bangunan, dan isi
serta penghuninya terhundar dari bencana yang lebih besar.
Disamping fungsi pemadam tingkat awal, OKD juga bertanggung jawab atas
terlaksananya pengevakuasian penghuni dari tempat bencana ke tempat aman yang
telah ditentukan, apabila upaya pemadam kebakaran tingkat awal gagal
pelaksaannya.
Untuk memberikan gambaran lebih luas tentang organisasi peran kebakaran,
susunan organisasi dan uraian tugas masing-masing peran adalah sebagai berikut.

1. Susunan Organisasi

Peran kebakaran ruangan terdiri dari:


a. Pengelola gedung
b. Unsur pimpinan
1) Pengelola gedung sebagai unsur Pimpinan Umum
2) Kepala Keamanan sebagai Kordinator Tim Kebakaran
3) Pengawas Tehnik sebagai koordinator kelompok teknisi
4) Komandon Pemadam Inti
c. Unsur staff
1) Petugas telepon
2) Operator radio
3) Petugas Sound system
4) Petugas evaluasi
d. Tim teknisi
1) Operator panel alarm
2) Operator lift dan escalator
3) Operator AC
4) Operator listrik
5) Operator genset
6) Operator pompa kebakaran
e. Tim security
1) Kelompok pemadam
2) Kelompok pengaman
3) Kelompok penolong/penyelamat/PPPK
Satuan tugas atau Satgas peran kebakaran akan segera berfungsi pada saat terjadi
bahaya kebakaran.

2. Uraian Tugas Pimpinan Umum Ruangan

a. Mengerti dan memahami mengenai keadaan geografi dan tata letak daerah
ruangan yang menjadi tanggung jawabnya, maupun mengenai ruangan secara
keseluruhan khususnya jalan-jalan keluar (emergency exit) untuk menyelamatkan
diri.
b. Memahami sepenuhnya tentang sistem pemadam kebakaran, perlatan deteksi
kebakaran, alarm, cara bekerja/penggunaannya dan lokasi alat pemadam di dalam
ruangan
c. Memahami sepenuhnya tentang cara pemadaman kebakaran dan memastikan
bahwa cara ini dapat diikuti dengan semestinya di area yang tanggung jawab
d. Memahami sepenuhnya tentang prosedur darurat yang harus dikuti saat keadaan
darurat.
e. Memberikan daftar yang up to date tentang personil dibawah tanggung jawabnya
dan berusaha memberikan pelatihan mengenai sistem usaha pencegahan bencana
dan evakuasi.
f. Bersama chief security, menentukan tempat berkumpul yang aman
g. Menguasai tata cara pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) dan
menyediakan kotak P3K sesuai standar.
3. Uraian Tugas Tim
a. Unsur pimpinan mempunyai tugas memberikan pengarahan/nasehat kepada tim
kebakaran
b. Koordinator tim kebakaran bertanggung jawab:
1) Menginventarisir secara berkelanjutan atas sarana fire protection dan
personil peran kebakaran
2) Melatih para pekerja
3) Menyusun prosedur tanggap darurat untuk mendukung operasi
penanggulangan kebakaran
4) Memimpin perasi pemadam tingkat awal dan penyelamatan jiwa.
c. Operator telepon mempunyai tugas : menerima dan mencatat laporan keadaan
darurat dan segera menghubungi komandan kebakaran
d. Operator sound system mempunyai tugas menyampaikan pengumuman atau
perintah komandan kebakaran seluruh ruangan
e. Operator kontrol pane mempunyai tugas:
1) Memonitor terus-menerus kontrol panel untuk mengetahui secara dini
kejadian kebakaran
2) Jika monitor kontrol panel menyala dan alarm berbunyi, segera
menghubungi posko lewat telepon/sound system untuk pengecekan situasi
3) Jika tidak diperoleh informasi dari ruangan yang terbakar segera menuju
ke lantai/zona tersebut untuk memeriksa kejadian yang sebenarnya dan
segera melaporkannya kepada komandan kebakaran.
4) Dalam hal terjadi false alarm, segera menemui komandan masing-masing
lantai untuk diberitahukan kepada seluruh penghuni di lantai tersebut.
f. Team Tejnisi
1) Operator Panel Alarm
a) Bila terjadi False alarm segera menentukan penyebab dan
memberitahukannya kepada petugas security.
b) Bila terjadi alarm sebagai pemberitahuan adanya kebakaran
agar segera melaporkannya kepada komandan kebakaran.
2) Operator lift/Eskalator
a) Lift tidak beroperasi dan kereta lift berada pada lantai dasar.
b) Eskalator tidak dioperasikan dan berfungsi sebagai tangga
darurat.
3) Operator AC. Sistem AC pada posisi tidak bekerja.
4) Operator Listrik. Siaga untuk mengoperasikan on atau off listrik
pada lantai tertentu, atau seluruh ruangan sesuai instruksi
komandan kebakaran
5) Operator Genset. Siaga untuk mengoperasikan Genset secara
manual bila sistem otomatis tidak dapat bekerja pada saat pasokan
listrik PLN terputus.
6) Operator Pompa Air. Siaga untuk mengoperasikan pompa
kebakaran secara manual bila sistem otomatis tidak bekerja
sehingga dapat menyediakan air untuk kebutuhan pamadanan
kebakaran.
7) Kelompok PPPK
a) Memberikan pertolongan kepada korban (sakit, cedera,
meninggal) setelah dievaluasi oleh petugas evaluasi.
b) Berusaha memanggil ambulan dan mengatur penggunaannya
c) Mengatur pengiriman orang sakit dan cedera ke rumah sakit
terdekat dengan menggunakan ambulan.

4. Telepon Hubungan Darurat


1 Polres
2 Polsek setempat
3 Dinas Pemadam Kebakaran
Pemda
4 Rumah Sakit
5 Ambulance
6 Property Manager
7 Chief Security
8 Chief Engineer
9 Posko Security

Anda mungkin juga menyukai