PENDAHULUAN
1|Page
rel), telekomunikasi, listrik dan sektor air akan mencapai sekitar USD53 triliun lebih
selama periode 2010-2030. Pertumbuhan kebutuhan investasi per tahun akan mencapai
sekitar 2,5% dari GDP dunia, dan akan meningkat menjadi 3,5% dari PDB apabila
memperhitungkan kebutuhan investasi untuk pembangkit listrik dan energi lainnya seperti
minyak, gas dan batubara.
Bagaimana dengan Indonesia? Tampaknya peningkatan infrastruktur diperkirakan
menjadi komponen kunci dalam upaya pemerintah untuk menarik investasi yang lebih
besar bagi ekspansi dan daya saing ekonomi. Pembangunan infrastruktur merupakan
tantangan utama yang harus segera diatasi.
Secara umum, perkembangan infrastruktur Indonesia, dinilai jalan di tempat dan
tidak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi serta kemajuan di negara lain. Dalam Global
Competitiveness Report 2008-2009, Indonesia berada di urutan ke-86 dari 134 negara,
tertinggal dibandingkan Malaysia (23), Thailand (29), China (47), India (72), Sri Lanka (65)
dan Pakistan (85) (2). Kondisi infrastruktur secara umum diperkirakan belum akan banyak
berubah, kendati beberapa langkah terobosan sudah ditempuh. Diperkirakan listrik
merupakan infrastruktur yang akan lebih dulu pulih disusul dengan jalan raya, terutama
jalan tol, tetapi infrastruktur lain masih jauh tertinggal dengan negara lain. Telekomunikasi
mungkin yang paling mapan karena ditolong oleh teknologi seluler. Gambaran lebih buruk
terlihat pada infrastruktur yang terkait dengan masyarakat, seperti pengairan, sanitasi, air
bersih, dan angkutan umum massal, yang semestinya menjadi prioritas.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur masih
merupakan tantangan besar yang harus diatasi. Pemerintah terus berupaya menggenjot
pembangunan infrastruktur, namun banyak kendala yang dihadapi, mulai dari masalah
pendanaan hingga persoalan teknis di lapangan.
Dari sisi pendanaan, saat ini alokasi anggaran infrastruktur dalam postur APBN
masih di bawah standar yang ditetapkan. Alokasi anggaran infrastruktur dewasa ini baru
mencapai kurang lebih 2 persen terhadap PDB, sedangkan idelanya, menurut Asian
Development Bank (ADB), anggaran pembangunan infrastruktur di Indonesia minimal 5
persen dari PDB.
2|Page
gambaran
good
governance
proyek-proyek
pemerintah
yang
Melalui FGD diharapkan ada masukan terhadap hasil temuan dalam penelitian ini dari
pihak-pihak yang kompeten dalam bidangnya.
1.4 Sistimatika Penulisan Laporan
Laporan penelitian ini dibagi menjadi empat bagian, yakni bagian pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, tujuan dan metodologi penelitian. Bagian kedua merupakan
kajian teoritis yang berisi tentang skema pendanaan infrastruktur, konsep Good
Governance, pengalaman keberhasilan dan kegagalan proyek infrastruktur,
dan
4|Page
5|Page
BAB II
KAJIAN TEORITIS
David A Aschauer,., Is Publik Expenditure Productive?, Journal of Monetary Economics p. 177200, 1989
3 Berndt, E. R., and B. Hansson, Measuring the Contribution of Publik Infrastructure Capital in
Sweden, National Bureau of Economic Research Working Paper Number 3842, 1991
4 Morrison, C. J., And A. E. Schwartz, State Infrastructure and Productive Performance, National
Bureau of Economic Research Working Paper Number 3981, 1992
5 Norton, S. W., Transaction Costs, Telecommunications, and the Microeconomics of
Macroeconomic Growth, Economic Development and Cultural Change 40: 175-196, 1992
6
World Bank, World Development Report 1994: Infrastructure for Develoment, New York: Oxford
University Press, 1994
6|Page
2
ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat dengan pertumbuhan ketersediaan pelayanan
infrastruktur sebesar satu persen pula.
Selanjutnya penelitian-penelitian mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap
perekonomian dilakukan Canning7, Marianne Fay8, Roller dan Waverman9 , Calderon dan Serven10 )
serta Marianne Fay dan Tito Yepes11. Berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa investasi
infrastruktur berdampak signifikan dan positif terhadap perekonomian.
7|Page
private party receives compensation for performing the function, directly or indirectly, (c)
the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the
public facilities, land or other resources may be transferred or made available to the private
party.
Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip adil, terbuka,
Kontrak antara pemerintah dan pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu,
misalnya jasa perbaikan, pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka
pendek (1-3 tahun), dengan pemberian kompensasi/fee. Beberapa contoh Kontrak
Servis: (i) kontrak pembersihan jalan, (ii) pengumpulan dan pembuangan sampah,
(iii) pemeliharaan jalan, (iv) pengerukan kali, dan (v) jasa mobil derek.
b. Kontrak Manajemen
Pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu
infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang
lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee.
Beberapa contoh Kontrak Manajemen (i) perbaikan dan pemeliharaan jalan, (ii)
pembuangan dan pengurugan sampah (solid waste landfill), (iii) pengoperasian
instalasi pengolahan air (water treatment plant), (iv) pengelolaan fasilitas umum
(rumah sakit, stadion, dan olahraga, tempat parkir, sekolah).
c. Kontrak Sewa (Lease)
Kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa (fixed fee) untuk penggunaan
sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola, mengoperasikan, serta
memelihara, dengan menerima pembayaran dari para pengguna fasilitas (user
fees). Penyewa/pihak swasta menanggung risiko komersial. Masa kontrak
umumnya antara 5-15 tahun. Beberapa contoh Kontrak Sewa (lease): (i) taman
hiburan (entertainment center), (ii) terminal udara/bandara, dan (iii) armada bis
atau transportasi lainnya.
d. Kontrak Build-Operate-Transfer/BOT
BOT adalah kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special
purpose company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir,
pembiayaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi
bidang infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada
akhir masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 10 sampai 30 tahun.
Beberapa variasi dengan tema sama BT (Build and Transfer), BLT (Build-LeaseTransfer), BOO (Build-Own-Operate), BTO (Build-Transfer-Operate), CAO (Contract-
9|Page
suatu
aset
infrastruktur,
dan
memberikan
hak
untuk
10 | P a g e
2.
Foreign & Domestic Commercial Banks yang menyediakan pembiayaan utang untuk
proyek. Dimungkinkan untuk mengamankan semua pembiayaan utang dalam negeri
untuk proyek-proyek yang lebih kecil, namun proyek yang lebih besar mungkin
membutuhkan penggabungan pembiayaan dengan pemerintahan.
3.
State Infrastructure Fund, dalam kasus Indonesia secara resmi dikenal sebagai
Indonesia Infrastruktur Fund (IIF), didanai oleh Pemerintah Indonesia (melalui PT
Sarana Multi Infrastruktur), bank-bank pembangunan multilateral, International
Finance Corporation (IFC) dan Pemerintah Jerman untuk memberikan pembiayaan
dalam bentuk utang untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia..
4.
AIF untuk Pengembangan Infrastruktur di Asia Tenggara, dalam Majalah Media Keuangan, Vol. VI
No. 45/Mei/2011
11 | P a g e
13
Melalui SPV, modal yang telah terbentuk kemudian akan di-leverage. Pada tahap
selanjutnya,
apabila
SPV
sudah
mempunyai
tagihan
atas
proyek-proyek
level
moderat14.
Dalam
melakukan
pembiayaan
infrastruktur,
perbankan
Cost of Project yang relatif sangat besar sehingga memerlukan skema sindikasi/joint
financing;
Tenor kredit secara umum berjangka panjang sehingga memiliki tingkat risiko yang
tinggi;
Kebutuhan self-financing yang besar, sehingga hanya investor tertentu yang mampu
memenuhi persyaratan tersebut;
12 | P a g e
Agus Dwiyanto. Mewujudkan Good Geovernance Melalui Pelayanan Publik, UGM Press. Yogyakarta.
2006
15
13 | P a g e
dengan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai moral yang menjiwai setiap
langkah governance.
Menurut UNDP16, prinsip-prinsip good governance adalah sebagai berikut:
Mengikutsertakan semua;
telah menetapkan agenda penciptaan tata kepemerintahan yang baik di Indonesia, agenda
tersebut setidaknya memiliki 5 (lima) sasaran, yaitu:17
Berkurangnya secara nyata praktik korupsi kolusi dan nepotisme di birokrasi, yang
dimulai dari jajaran pejabat paling atas;
16
17
14 | P a g e
contoh proyek yang sukses dikerjasamakan dengan swasta melalui PPP adalah program
jalan tol di Chile. Dalam periode 1993 sampai dengan 2001, pemerintah Chile memberikan
21 konsesi proyek jalan tol senilai US $ 5 miliar secara kompetitif. Dalam rangka untuk
menguji pasar dan mengurangi risiko yang dihadapi sektor swasta, pemerintah memulai
melelang proyek-proyek kecil. Lelang diikuti oleh 27 konsorsium dan lebih dari 40
perusahaan dalam negeri dan sepuluh negara asing. Proyek jalan tol yang dikerjasamakan
melalui konsep PPP ini dinilai sangat transparan dan kompetitif, meskipun pemerintah
hanya memberikan jaminan atas pendapatan minimum. Hasil survey kepuasan pengguna,
konsultasi dan para pemimpin daerah maupun pemerintah pusat dalam sebuah focus group
discussion menunjukkan bahwa tingkat kepuasan dengan menggunakan skala 1 sampai
dengan 7, para stakeholder merasa puas dengan memberikan nilai skala 6.
Sementara itu contoh proyek jalan tol yang gagal dikerjasamakan melalui PPP
terjadi di Mexico. Dalam periode 1987 sampai dengan 1995, pemerintah Mexico
menenderkan 52 proyek jalan tol (diantaranya 25 ditenderkan secara kompetitif). Pada
akhir 1995, 34 proyek telah mencapai financial close dengan nilai investasi mencapai
US$9,9 miliar. Swasta dengan penawaran masa konsesi terpendek memenangkan tender
dengan maksimum masa konsesi 15 tahun, namun hal ini menyebakan tarif tol sangat
tinggi. Pemegang konsesi juga diwajibkan membuat jalan pararel yang bebas biaya. Biaya
jalan tol rata-rata meningkat dari US$ 0.02/km menjadi US$ 0,17 setelah masa konsensi.
Biaya konstruksi berjalan rata-rata mencapai 25 persen, sedangkan pendapatan aktual
rata-rata sekitar 30 persen, jauh di bawah perkiraan. Akibatnya hanya 5 proyek yang
memenuhi atau melampaui target. Akibat kegagalan ini Pemerintah Mexico mengambil alih
23 proyek dan membayar hutang kepada Bank Mexico sekitar US$5 miliar dan perusahaan
konstruksi sekitar US$2,6 miliar.
Pelajaran yang dapat dimabil dari kasus di Chile dan Mexico adalah keberhasilan
proyek yang dikerjasamakan melalui PPP di Chile dikarenakan beberapa faktor, yakni (i)
Vickram Cuttaree, Successes and Failures of PPP Projects, The World Bank Europe & Central Asia
Region, 2008
18
15 | P a g e
proses pengadaan yang transparan, (ii) fokus pada menciptakan kesadaran masyarakat
(tolling culture), dan (iii) pengalaman pemerintah dalam mengembangkan program dan
selalu melakukan penyesuaian.
Sedangkan kegagalan proyek pemerintah di Mexico disebabkan antara lain (i)
kombinasi jangka waktu konsesi dengan rendahnya lalu lintas penggunaan tol
menyebabkan biaya tol menjadi mahal, (ii) keberadaan jalan pararel yang bebas biaya
memberikan kontribusi terhadap kesulitan keuangan pemegang konsesi, (iii) situasi
diperburuk oleh krisis Tequila, dan (iv) program mengakibatkan pemerintah harus
membail-out secara besar-besaran.
Beberapa pengalaman internasional lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi
penyebab kegagalan proyek pemerintah yang dikerjasamakan dengan swasta adalah (i)
miskinnya kerangka hukum dan lemahnya penegakan hukum, (ii) lemahnya kapasitas
kelembagaan dan strategi PPP, (iii) estimasi biaya dan pendapatan yang tidak realistis, (iv)
kurangnya analisis keuangan dan ekonomi secara menyeluruh, (v) pembagian risiko antara
pemerintah dan swasta yang kurang tepat, (vi) pelelangan proyek yang kurang kompetitif,
dan (vi) adanya resistensi dari publik (kemampuan untuk membayar tidak pernah
dianalisis).
Beberapa contoh proyek pemerintah yang mengalami kegagalan akibat tidak
adanya good governance antara lain adalah: Pertama, proyek jalan tol di Hungary sebagai
akibat tidak dianalisisnya kemampuan masyarakat. Jalan tol untuk pertama kali
ditenderkan dan diimplementasikan Pemerintah Hungary di Eropa Tengah dan Timur.
Pembangunan jalan tol selesai pada tahun 1995 sesuai jadwal dan sesuai dengan anggaran.
Namun proyek ini gagal, karena volume lalu lintas 40 persen lebih rendah daripada yang
diestimasikan. Tarif tol yang sangat tinggi diduga sebagai penyebabnya. Akibatnya,
pemegang konsesi tidak mampu membayar hutang dan akhirnya pemerintah harus
mengambil alih konsesi dengan biaya tinggi.
Kedua, kasus sistem Air di Cochabamba, Bolivia juga merupakan contoh kegagalan
proyek pemerintah. Pada bulan Oktober 1998, terjadi protes dari masyarakat yang
berujung dengan kekerasan. Sembilan tentara Bolivia tewas, ratusan orang terluka dan
beberapa pemimpin lokal ditangkap. Akhirnya, Aguas del Tunari mengumumkan bahwa
16 | P a g e
konsorsium menarik diri dari proyek. Struktur harga air minum diubah dan
mengakibatkan adanya kenaikan hingga mencapai US$20 dalam setiap tagihan air untuk
setiap pelanggan kelompok rumah tangga. Bahkan banyak dari rumah tangga yang harus
membayar sampai US$100/bulan. Kegagalan ini mengakibatkan pemerintah Bolivia
memprivatisasi sistem air di Cochabamba pada tahun 1999 dengan memberikan konsesi
40 tahun untuk sebuah konsorsium internasional yang disebut Aguas del Tunari.
Ketiga, kasus jalan tol di Thailand. Pada tahun 1989, Don Muang Tollway tender
untuk membangun jalan layang dengan masa konsesi 25-tahun dari Dinas Bina Marga
Thailand dengan nilai proyek mencapai US$407.000.000. Don Muang Tollway menghadapi
beberapa masalah karena tidak terpenuhinya pra-konstruksi. Salah satu penyebabnya
adalah kalah bersaing dengan jalan bukan tol, sehingga volume lalu lintas dan pendapatan
jauh dari perkiraan. Pada Oktober 1996 perusahaan tollway tidak bisa lagi membayar
hutangnya dan pemerintah tidak memiliki pilihan kecuali mengambil alih beberapa
pinjaman Don Muang Tollway.
Keempat, tertundanya proyek pemerintah akibat tidak adanya kerangka hukum
yang kuat untuk PPP untuk menentukan aturan main sektor swasta dan mengurangi risiko
proyek. Kasus ini terjadi pada proyek Poland A1 Toll Motorway. Perjanjian konsesi proyek
ini tidak dapat ditandatangani karena bagian terpenting dari perundang-undangan yang
mengatur PPP hilang. Akibatnya dilakukan beberapa kali renegosiasi dan penyesuaian.
Perjanjian pengusahaan baru ditandatangani pada Agustus 2004, 7 tahun setelah
dimulainya negosiasi. Spesifikasi proyek secara signifikan berubah dan konstruksi dibagi
menjadi dua proyek, tidak seperti rencana semula satu proyek. Pada Agustus 1997,
Perusahaan Angkutan Gdansk memperoleh konsesi untuk membiayai, membangun dan
mengoperasikan bagian dari sesi A1 Autostrada dari Gdansk sampai ke Torun.
Kelima, kegagalan proyek pemerintah akibat kurangnya penataan kelembagaan,
dukungan teknis dan diterapkannya checks and balances yang tepat. Hal ini terjadi pada
proyek pemerintahan Portugal pada pertengahan 1990. Sebagai akibat kurangnya
pengalaman dengan proyek-proyek PPP, proyek pemerintah Portugal mengalami
penundaan dan kewajiban pemerintah terkait dengan proyek yang dikerjasamakan dengan
swasta melalui skema PPP mencapai 10 persen dari PDB. Lemahnya kapasitas sektor
17 | P a g e
publik dalam mentransfer risiko untuk sektor swasta dan keterlambatan dalam
memberikan persetujuan pemerintah atas tanah penting dan aspek lingkungan.
Keenam, pengadaan yang tidak kompetitif memberikan posisi yang kuat untuk
negosiasi dan dapat menyebabkan penundaan yang panjang dan biaya pemerintah yang
berlebihan. Hal ini terjadi pada proyek Bulgaria Trakia Motorway. Pemerintah Bulgaria
memberikan konsesi tanpa penawaran yang kompetitif untuk pembiayaan, merehabilitasi,
membangun, dan mengoperasikan Bulgaria Trakia Motorway, bagian dari sebuah jalan
raya A1 pada tahun 2004. Partai-partai oposisi menyerang proyek tersebut atas dasar
kurangnya transparansi, tingginya kontribusi pemerintah dan harga konstruksi. Pemenang
konsesi diminta untuk meningkatkan biaya konstruksi, namun kendala hukum dan tidak
adanya jaminan tanggungan dari pemerintah atas risiko apabila volume lalu lintas lebih
rendah menyebabkan penundaan proyek. Akibatnya, pembicaraan dengan pemegang
konsesi gagal pada bulan November 2006 dan kesepakatan masalah keuangan belum
disepakati.
Ketujuh, guncangan terhadap kondisi makro ekonomi dapat menciptakan situasi
yang tak terduga bagi pemerintah yang berakibat tidak dapat terpenuhinya kewajiban yang
diatur dalam kontrak di PPP. Pengalaman ini terjadi pada proyek Argentina Water System.
Setelah krisis ekonomi 2001, banyak konsesi proyek yang dinegosiasi ulang. Beberapa
bahkan dihentikan dan tanggung jawab untuk penyediaan layanan dikembalikan
pemerintah, seperti yang terjadi di Buenos Aires. Ketika mencabut konsesi pada Maret
2006, pemerintah berpendapat bahwa Aguas Argentinas tidak mematuhi kewajiban untuk
melakukan ekspansi dan meningkatkan kualitas. Sementara itu Aguas Argentinas
berargumen bahwa pembekuan tarif pada saat Peso didepresiasi 2001 secara substansial
mengakibatkan nilai riil dari pendapatan menurun. Akibatnya perusahaan sulit untuk
mencapai target.
kemampuan
kualitas
pelayanan
keuangan
pemerintah
infrastruktur
dan
menyebabkan
tertundanya
semakin
pembangunan
infrastruktur baru. Kondisi jaringan infrastruktur seperti ini pada akhirnya akan
meningkatkan biaya pengguna (user costs) yang sangat besar, menghambat mobilitas
ekonomi, meningkatkan harga barang serta mempersulit upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Menghadapi kondisi di atas, maka salah satu langkah yang ditempuh pemerintah
adalah dengan mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dalam pembangunan dan
pengelolaan infrastruktur. Namun upaya pemerintah ini menghadapi beberapa kendala,
diantaranya adalah: Pertama, investasi swasta asing masih belum meningkat, padahal
sebagian besar proyek kemitraan mengandalkan pinjaman asing. Kedua, sumber dana
pembangunan infrastruktur dari perbankan sangat terbatas karena ketidakcocokan antara
jangka waktu penyelesaian dan pengembalian proyek dengan jangka waktu pinjaman yang
diberikan. Pada umumnya proyek infrastruktur memerlukan waktu antara 15-30 tahun
untuk melunasi investasinya, sedangkan perbankan umumnya tidak tertarik mendanai
proyek-proyek berjangka panjang.
Kondisi sebagaimana diuraikan di atas tidak hanya dialami oleh Indonesia, akan
tetapi hampir semua negara dewasa ini tengah menghadapi tantangan dalam mencari
pendanaan di tengah krisis global. Upaya untuk mengakses sumber-sumber pendanaan
untuk membiayai kebutuhan infrastruktur akan lebih efisien dan memiliki nilai tambah
apabila ada kerjasama regional yang intensif.
Setidaknya terdapat tiga keuntungan dari adanya dari kerjasama regional, yakni19:
(i) dana yang terkumpul akan lebih besar, (ii) proyek tertentu yang melintasi batas-batas
nasional memerlukan kerjasama dan koordinasi antar satu atau lebih negara; (iii)
kegagalan dalam mengatasi kemacetan infrastruktur lintas batas yang akan menghambat
pengembangan dan intensifikasi jaringan pasokan regional dapat memicu perdagangan
dan pertumbuhan pendapatan di wilayah.
Menyadari beberapa keuntungan dari adanya kerjasama regional untuk pembiayaan
infrastruktur di atas, negara-negara di kawasan Afrika pada tahun 2001 membentuk The
http://www.dfid.gov.uk/work-with-us/funding-opportunities/countries-and-regions/eaif/
diakses 27 Februari 2013
21 http://www.menaif.com/ diakses 27 Februari 2013
20 | P a g e
20
dapat
disekuritisasi
untuk
meningkatkan
likuiditas
sehingga
akan
meningkatkan pula kapasitas pinjamannya. Dengan demikian, SPV tersebut akan dapat
melakukan mobilisasi dana dengan tingkat yang lebih tinggi.
21 | P a g e
Bab III
Analisis dan Pembahasan
3.1
Daniel Kaufman, Aart Kraay, & Pablo Zoido-Lobatn, Agregating Governance Indicators, the
World Bank, 1818 H Street N.W. Washington, DC 20433, 2009.
23 Angka 0 menunjukkan kondisi paling buruk dan 100 paling baik.
22 | P a g e
22
Indikator yang perlu mendapatkan perhatian utama adalah rule of law, karena cenderung stagnan
dalam satu decade. Indikator control of corruption mengalami peningkatan, namun turun dalam dua
tahun terakhir. Indikator political stability & absence of violence cenderung naik, namun turun
dalam setahun terakhir. Pada saat rule of law turun, control of corruption cenderung turun. Dua
indikator ini punya konvergensi menarik. Political stability & absense of violence terlihat masih
buruk. Stabilitas politik memang lebih baik dibanding satu dekade lalu. Namun yang perlu
digarisbawahi, negara yang jelas-jelas punya kekuasaan belum mampu melindungi warga negara
dari kekerasan. Faktor ini mungkin menjadipenyebab indikator ini selalu berada diranking yang
paling bawah.
24
Brazil, Rusia, India dan china adalah negara-negara yang memiliki kemiripan dengan Indonesia,
baik dari sisi jumlah penduduk maupun tingkat Pendapatan Domestik Bruto
25
23 | P a g e
Dari sisi indikator rule of law, India, Brazil, dan China relatif lebih baik dibandingkan
dengan Indonesia dan Russia. Brazil dan India memiliki rule of law yang paling baik
dibanding tiga negara lainnya. China berada pada posisi medium, sedangkan yang paling
buruk adalah Indonesia dan Russia.
Gambar 4: Governance Indicator: Control of Corruption
24 | P a g e
Indikator control of corruption Brazil berada pada posisi terbaik. Sedangkan India, China
dan Indonesia cenderung berada pada posisi medium dan Russia adalah yang terburuk dalam
pemberantasan korupsi. Sebagai perbandingan, berdasarkan data corruption perception index
dari Transparency International26, tahun 2011 Russia berada pada ranking ke-143 dengan skor
2,4, Indonesia berada pada ranking ke-100 dengan skor 3,0, India pada ranking ke-95 dengan
skor 3,1, China pada ranking ke-75 dengan skor 3,6, dan Brazil berada pada ranking ke-73
dengan skor 3,8.
Gambar 5: Governance Indicator: Voice & Accountability
Brazil dan India memiliki kebebasan berpendapat yang cukup baik. Hal ini tercermin pada
indikator voice & accountability. Di samping itu, partisipasi publik di kedua negara ini juga lebih
baik, dan kebebasan media yang lebih terjamin. Sedangkan Indonesia berada di bawah Brazil
dan India. Rusia merupakan negara terburuk dalam indikator voice & accountability yang jauh
berada di bawah Indonesia dan China.
Gambar 6: Governance Indicator: Government Effectiveness
25 | P a g e
China, Brazil, dan India memiliki Government effectiveness jauh lebih baik dibandingkan
Indonesia dan Russia. Kontrol pemerintah pusat yang kuat dan sistem politik yang stabil
menyebabkan China memiliki tingkat efektivitas yang cukup bagus . Sementara itu, Indonesia
yang merupakan negara kepulauan dan Russia dengan daratan terluas di dunia, memiliki tingkat
efektifitas pemerintahan yang rendah. Ada dugaan kondisi alam berdampak pada efektivitas
institusi pemerintahan.
Gambar 7: Governance Indicator: Regulatory Quality
Selanjutnya, indikator regulatory quality Brazil berada pada ranking terbaik dibanding
empat negara lainnya, sedangkan China berada di bawah posisi Brazil. Sementara itu, Indonesia,
India, dan Russia, berada pada ranking bawah.
3.1.2 Good Governance Proyek Infrastruktur
Pemerintah telah memiliki perencanaan pembangunan proyek-proyek infrastruktur
strategis, baik berupa jalan tol, rel kereta api, armada kapal dan pelabuhan laut bertaraf
26 | P a g e
Klaus Schwab, The Global Competitiveness Report 2011-2012, World Economic Forum, Geneva,
Switzerland 2011
27
27 | P a g e
menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure, dan (4) risiko proyek yang
dianggap terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta. Sementara itu, menurut Infrastructure
Summit tahun 2005, secara umum isu good governance di Indonesia mencakup
inkonsistensi implementasi peraturan, ketidaktransparanan, dan korupsi.
Pandangan yang mengemuka dalam Infrastructure Summit tahun 2005 di atas
sejalan dengan hasil penelitian Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur khususnya yang menggunakan
skema public private partnership mengalami banyak hambatan (bottleneck), yang pada
umumnya terjadi pada tahap penyiapan proyek, disebabkan antara lain oleh penyusunan
Feasibility Study (FS) yang terburu-buru, kurangnya konsultasi publik, lemahnya
koordinasi antar instansi, adanya kepentingan politik pimpinan daerah, lambatnya
penerbitan ijin prinsip dan adanya hambatan regulasi (Daftar Negatif Investasi, prioritisasi
penggunaan sumber daya air, Kawasan Pemangkuan Hutan, ijin penetapan lokasi bandara,
dan Ijin Prinsip Persetujuan Pembangunan Jalan Tol).28
Tabel 2: Beberapa Contoh Proyek Infrastruktur dan
Permasalahan yang Dihadapi
No
1
2
3
Proyek
Jalan Tol Jakarta outer
ring road west 2
(JORR W-2)
Tol Bogor-CiawiSukabumi
Water Treatment
Plant and Distribution
of Cimahi Municipal
Water Supply29
Proyek Maros
Regency Water
Permasalahan
Warga mengancam tidak memberikan lahannya untuk proyek
pemerintah, karena proses penetapan harga dilakukan secara
sepihak oleh panitia pengadaan tanah (P2T) Jakarta Selatan.
Hambatan pembebasan lahan
Pembuatan feasibility study terburu-buru, sehingga proyek
dinyatakan gagal dan tidak layak, karena debit air terlalu kecil
Tidak diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air. Fasilitas intake
dan pipa transmisi yang sudah dibangun dengan nilai sebesar +
Praptono Djunedi, dkk. Kajian Hukum atas Komitmen Pemerintah dalam Pembangunan
Infrastruktur dengan Skema Kerjasama Pemerintah Swasta 2012.
29
Proyek Water Treatment Plant and Distribution of Cimahi Municipal Water Supply tercantum
dalam PPP Book Tahun 2010-2014 sebagai potential project. Pada tahun 2011 telah dilakukan PreFeasibility Study oleh Bappenas, akan tetapi proyek tersebut tidak layak karena debit air yang
terlalu kecil. Akibatnya, sejak 2010 proyek ini tidak mengalami kemajuan apapun, sehingga sesuai
Peraturan Menteri PPN No.3/2009, proyek ini dikeluarkan dari PPP Book mulai tahun 2012.
28 | P a g e
28
5
6
Supply (Sulawesi
Selatan)30
Proyek Terminal
Terpadu Karya Jaya
Palembang31
Fast Track Program
(FTP) Tahap I32
Bandara Internasional
Kualanamu
10
Tol Semarang-Solo
Proyek Maros Regency Water Supply tidak bisa dilanjutkan pembangunannya karena tidak
diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air (SIPA), sehingga fasilitas intake dan pipa transmisi yang
sudah dibangun dengan nilai sebesar + Rp12 miliar menjadi tidak dapat dimanfaatkan
31
Proyek Terminal Terpadu Karya Jaya Palembang, yang masuk dalam PPP Book sebagai potential
project, ternyata masuk dalam Daftar Negatif Investasi
32
Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara 10.000 MW Tahap I seharusnya selesai
seluruhnya pada tahun 2013. Namun menurut PLN diperkirakan secara keseluruhan selesai pada
2014. Saat ini proyek 10.000 MW Tahap I yang sudah beroperasi sampai akhir 2012 mencapai
4.510 MW, Tahun 2013 baru akan masuk sebanyak 2.428 MW karena sampai saat ini masih dalam
tahap commissioning atau uji coba, dan tahap konstruksi tahun ini sebanyak 2.919 MW.
29 | P a g e
30
Hasil penelitian yang dilakukan OECD33 juga mendukung temuan di atas. Menurut
OECD sejak era Reformasi pada tahun 1999, Indonesia telah meraih kemajuan pesat dalam
menerapkan unsur-unsur pokok demokrasi modern, mulai dari pemilihan umum terbuka
hingga kebebasan media. Proses desentralisasi yang dicirikan sebagai big bang telah
mentransformasi
pemerintah
Indonesia
menjadi
salah
satu
pemerintah
paling
Regulasi
Indonesia
Memperkuat
Koordinasi
dan
Sebagai konsekuensi atas tingginya risiko yang dihadapi oleh swasta, pemerintah
menyediakan jaminan untuk proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui
skema public private partnership. Namun perlu disadari bahwa pemberian jaminan ini
menimbulkan adanya kewajiban kontinjensi terhadap APBN34. Sementara itu, potensi
kegagalan proyek-proyek infrastruktur sebagai akibat kurangnya good governance juga
akan berdampak pada keuangan negara35. Beberapa contoh kelemahan proyek-proyek
infrastruktur sebagaimana dipaparkan dalam Tabel di atas berpotensi akan membebani
keuangan negara dalam jangka panjang.
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa masalah utama penyebab
terhambatnya proyek-proyek infrastruktur bukanlah masalah pendanaan, namun lebih ke
masalah good governance. Menurut hasil penelitian Syahrir Ika36, investor tidak berminat
karena proyek tidak feasible secara ekonomi, atau investor sudah bersedia berpartisipasi,
namun terkendala masalah regulasi, kurangnya konsultasi publik ataupun kurangnya
koordinasi antar instansi menyebabkan proyek yang feasible terkendala pelaksanaannya.
Sementara itu, kunci keberhasilan dalam penerapan good governance adalah adanya
pembagian tugas dan pertanggung jawaban yang jelas antara semua pihak yang terlibat
dalam kemitraan37. Untuk itu, salah satu kerangka untuk memperbaiki permasalahan
transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan independensi, pemerintah perlu
memetakan prinsip-prinsip: (i) responsible, yaitu dengan menetapkan siapa yang
Dalam kerangka program pembangunan infrastruktur melalui mekanisme Public Private
Partnership, Pemerintah menyiapkan tiga fasilitas keuangan berupa Dana Tanah (The Land Funds),
Dana Infrastruktur (The Infrastructure Funds), dan Dana Penjaminan (The Guarantee Fund). Dana
tanah yang terdiri atas Dana Land Revolving, Land Capping, dan Land Acquisition dikelola oleh
Kementerian Pekerjaan Umum. Sementara Dana Infrastruktur dikelola oleh PT Sarana Multi
Infrastruktur dan PT Indonesia Infrastructure Finance. Kedua perusahaan di atas didirikan dengan
tujuan membantu investor memperoleh pembiayaan domestik baik dalam bentuk pinjaman
maupun penyertaan modal. Sebagai tindak lanjut pembiayaan pada proyek KPS, Pemerintah juga
mendirikan Guarantee Fund dengan nama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII).
35 Pemerintah sebaiknya belajar dari pengalaman keberhasilan dan kegagalan berbagai proyek
yang dikerjasamakan dengan swasta melalui skema public private partnership di berbagai negara
seperti si Chili, Mexico, Hungary, Bolivia, Thailand, Portugal, Bulgaria dan Argentina.
36
Syahrir Ika, dkk, Prospek dan Tantangan Infrastruktur 2013, dalam bulletin IFT Edisi kuartal IV
2012.
37 Richardus Eko Indrajit, Ragam Model Bisnis Kemitraan Pemerintah-Swasta Sebuah Kunci Sukses
Pengembangan E-Government Di Indonesia, Prosiding Konferensi Nasional Teknologi Informasi &
Komunikasi untuk Indonesia 3-4 Mei 2006, Aula Barat & Timur Institut Teknologi Bandung.
31 | P a g e
34
bertanggung jawab secara langsung terhadap eksekusi program atau proyek yang ada;
(ii) accountable dengan menetapkan lembaga pelaksana yang akuntabel dalam membuat
keputusan dan mengawasi kinerja proyek; (iii) consulted, yaitu penetapan lembaga tempat
berkonsultasi dalam setiap penyelenggaraan sebuah inisiatif agar tidak bertentangan
dengan regulasi yang berlaku, yang dalam hal ini bisa beraneka ragam jenisnya, seperti
pemerintah pusat, pemerintah daerah, legislatif, kementrian terkait, dan lain sebagainya;
dan (iv) informed, yaitu pihak yang harus diberikan informasi terkait dengan perencanaan
dan pengembangan sejumlah inisiatif tertentu, misalnya: publik, media, dan lain
sebagainya.
Good governance di atas dimaksudkan agar proyek lebih bankable, bukan saja untuk
mendapatkan pendanaan dari perbankan, namun juga dalam konteks lembaga keuangan
non bank. Sebagai implementasinya, pemerintah bahkan pernah menyampaikan kepada
APEC38 perlunya memperbaiki kondisi public private partnership dalam rangka persiapan
akan kebutuhan kelembagaan keuangan di luar perbankan. Persiapan kelembagaan
berkisar dari lingkungan yang lebih luas peraturan dan hukum untuk masalah persiapan
proyek tertentu. Indonesia mengusulkan pengembangan kerangka kerja untuk menilai
apakah anggota ekonomi APEC memiliki lembaga-lembaga dan praktik di negaranya untuk
memberikan proyek-proyek infrastruktur yang bankable.
Isu lain terkait dengan public private partnership adalah regulatory environment,
coordination dan project selection. Dalam konteks regulatory environment, investor melihat
perlunya peraturan yang jelas terkait dengan masa proyek. Hal ini tidak hanya dalam
lingkup peraturan terkait investasi, namun juga sektor, khususnya yang berkaitan dengan
hak atas tanah dan kepemilikan.
Dalam konteks coordination, adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan
dan kurangnya kapasitas dari pemerintah daerah menciptakan hambatan lain pada
investasi infrastruktur. Untuk itu perlu adanya pembagian kewenangan yang jelas atas
berbagai jenis investasi infrastruktur. Selain itu, ada kebutuhan terkait kesiapan fisik lokal,
38APEC
termasuk bank tanah dan peraturan yang jelas dalam mengakuisisi lahan. Di kementerian
dan lembaga tingkat nasional, pembagian tanggung jawab dan koordinasi juga penting.
Misalnya, ada kebutuhan unit public private partnership yang memiliki kewenangan untuk
mengkoordinasikan proyek-proyek di seluruh kementerian.
Project selection atau pemilihan proyek tergantung pada prioritas pemerintah dan
pada tingkat apa dapat mendukung pasar. Untuk itu pemerintah dan swasta juga perlu
menyadari isu sektor yang spesifik. Sektor yang berbeda (air, energi, transportasi)
mungkin memiliki dinamika yang berbeda dan oleh karena itu, struktur proyek mungkin
berbeda. Pertanyaan yang penting adalah apakah kebutuhan sektor yang spesifik tersebut
cukup menarik bagi kalangan investor swasta untuk berinvestasi?
Terakhir, terkait dengan project preparation, salah satu perhatian adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi. Seharusnya sebelum ditenderkan,
proyek harus dilengkapi dengan dukungan fasilitas yang terdiri dari berbagai layanan
infrastruktur seperti: pengacara, pemodal dan lain sebagainya yang diperlukan dalam
memperlancar transaksi. Apabila berbagai fasilitas yang diperlukan dalam transaksi telah
dikembangkan sebelum investor masuk, maka periode proyek dapat diperpendek.
Tusk Advisory (2011)39, sebuah lembaga konsultan, mengembangkan PPP
Pentagram. Fungsi dari PPP Pentagram adalah untuk membantu Pemerintah menciptakan
daya tarik dalam penyediaan infrastruktur melalui penyusunan pendekatan yang disiplin
dan menyeluruh (holistik) dalam penyediaan program dan proyek infrastruktur. Metode
ini membantu
Pembebasan Lahan untuk Kepentingan Umum. Adanya RUU Pembebasan Lahan untuk
Kepentingan Umum sangat penting dalam perkembangan PPP ke depannya. Keberanian
legislatif lah yang menjadi penentu saat ini. Menurut Jeffrey Delmon (2009)40, menciptakan
lingkungan yang kondusif dan dukungan politik kepada PPP menjadi penentu dalam
berjalannya skema PPP di suatu negara.
Komponen kedua adalah
Wibisono, Andri., Jeff Delmon and Hongjoo Hahm. 2011. Unlocking the Public-Private
Partnerships Deadlock in Indonesia, The World Bank Office Jakarta, May 2011.
34 | P a g e
41
Infrastruktur), yang diketuai oleh Menko Perekonomian. Sedangkan unit kerja PPP justru
berada dibawah Bappenas. Hal ini dipersulit oleh kenyataan bahwa Bappenas tidak
memiliki kekuatan fiskal untuk memberikan penawaran bankable dari pemerintah (Tusk,
2011)42.
Komponen keempat, correct PPP model & optimal risk sharing. Pada awalnya,
Indonesia terlalu terpaku pada skema Build-Operate-Transfer(BOT), dengan harapan
dukungan pemerintah pada setiap proyeknya dapat diminimalisir. Akan tetapi, hal ini
justru menyebabkan penawaran proyek PPP mengalami kegagalan, karena swasta tidak
cukup yakin untuk mengikuti proyek infrastruktur tanpa dukungan pemerintah. Indonesia
bisa belajar dari kegagalan proyek monorail Jakarta. Kegagalan proyek tersebut
disebabkan oleh (saat itu) belum adanya skema penjaminan dan dukungan fiskal yang
memadai bagi proyek PPP. Sehingga, perusahaan pemenang tender kesulitan untuk
mendapatkan pembiayaan. Skema PPP tidak berarti pemerintah dapat melepas
dukungannya begitu saja. Dukungan pemerintah tetap dibutuhkan dalam pengembangan
skema PPP.
Menghadapi lemahnya good governance proyek-proyek infrastruktur, maka dalam
rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek infrastruktur yang
dikerjasamakan melalui public private partnership, perlu dibentuk public private
partnership unit. Hal serupa telah banyak dilakukan oleh berbagai negara seperti Jamaica,
Philippine, Australia, Afrika Selatan, Korea, Portugal, Banglades, Inggris, dan lain-lainnya43.
Public private partnership Unit harus didesain sesuai dengan permasalahan yang ada,
sehingga dapat mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang
dikerjasamakan melalui public private partnership.
Dengan mengacu pada laporan World Bank, secara umum struktur PPP Unit adalah
sebagai berikut:
Gambar 8: Government Function, Failures, and Roles of public private partnership Unit
Tusk-Advisory, 2011. Gaining traction in infrastructure delivery: Introducing the PPP
PENTAGRAM. Proceedings of the PPPs in Emerging Markets Conference, (PEMC 11)
42
43
Lihat lampiran
35 | P a g e
Public Private Partnership Unit dapat berkontribusi bagi keberhasilan proyekproyek infrastruktur apabila unit ini dirancang secara spesifik untuk memperbaiki
kegagalan pemerintahan dalam menjalankan public private partnership. Unit ini nantinya
akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh pemerintah, melakukan analisis
keuangan proyek public private partnership, dan harus memenuhi standar umum maupun
kebijakan khusus pemerintahan seperti transparan, pengadaan yang kompetitif, kebijakan
fiskal yang prudent, serta complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
Indonesia dapat banyak belajar dari Afrika Selatan dan Belanda dalam mendirikan public
private partnership unit, karena permasalahan yang dihadapi kedua negara ini hampir
sama. Menurut Wibisono, Delmon & Hahm (2011)44, public private partnership lead agency
di Afrika Selatan dan Belanda berada di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki
kekuatan fiskal sehingga skema PPP dapat berjalan dengan baik.
Wibisono, Andri., Jeff Delmon and Hongjoo Hahm. 2011. Unlocking the Public-Private
Partnerships Deadlock in Indonesia, The World Bank Office Jakarta, May 2011.
44
36 | P a g e
Public private partnership unit nantinya lebih difokuskan pada memberikan advice
kepada kementerian keuangan terkait public private partnership, membantu pemerintah
dalam memperkuat kualitas public private partnership di masa yang akan datang dan
mereview proposal proyek-proyek infrastruktur bersama dengan kementerian/lembaga
terkait. Dengan demikian fungsi public private partnership unit difokuskan pada technical
assistance, quality control, dan policy formulation.
3.2 Pengembangan Pendanaan ASEAN Infrastructure Fund
ASEAN Infrastructure Fund (AIF) adalah perusahaan pembiayaan swasta yang
dimiliki oleh negara-negara ASEAN dan Asian Development Bank (ADB) yang berdomisili
di Malaysia. AIF didirikan dengan tujuan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan
infrastruktur di kawasan ASEAN dalam rangka meningkatkan konektivitas ASEAN.
Modal awal AIF ditetapkan sebesar USD485,20 juta yang merupakan iuran dari
negara-negara anggota dan ADB sebagai share holder dan Administratur AIF. Penyertaan
modal dibayar dalam tiga tahap (tranches) yang dimulai dari tahun 2012 hingga 2014.
Malaysia dan ADB adalah sebagai shareholder terbesar yakni masing-masing sebesar 30,92
persen, sedangkan Indonesia menduduki peringkat kedua dengan share sebesar 24,73
persen.
Tabel 3: Modal AIF Berdasarkan Negara Anggota(USD Million)
No
Negara
Jumlah
Persentase
Brunai
10
2,06
Cambodia
0,1
0,02
Indonesia
120
24,73
Laos
0,1
0,02
Malaysia
150
30,92
Phillipines
15
3,09
Thailand
15
3,09
Singapore
15
3,09
Viet Nam
10
2,06
37 | P a g e
10
ADB
Total
150
30,92
485,20
100,00
Sumber: AIF
Modal dasar AIF masih jauh dari kebutuhan pendanaan infrastruktur negara-negara
anggota. Berdasarkan estimasi Goh Ching Yin45 (2008) dan Nangia46, (2008), kebutuhan
pendanaan infrastruktur negara-negara ASEAN antara 2006 sampai dengan 2015 untuk
new capacity mencapai USD 395,6 juta dan untuk maintenance mencapai USD 200,5 juta
atau total kebutuhan pendanaan infrastruktur mencapai 596,1 juta. Dari total kebutuhan
pendanaan, diperkirakan sampai saat ini baru terpenuhi sebesar 20 persen.47
Tabel 4: Projected Infrastructure Requirements in ASEAN 20062015 (US$ billion)
Salah satu alternatif peningkatkan likuiditas dan kapasitas pinjaman AIF yang
dipertimbangkan untuk ditempuh adalah melalui penerbitan obligasi48.
Penerbitan
obligasi dapat ditempuh melalui: pertama, obligasi yang dijamin dengan seluruh aset AIF.
Jenis obligasi ini, sekarang tengah diwacanakan oleh AIF. Kedua, penerbitan obligasi
melalui project bond guna untuk mendanai proyek-proyek infrastruktur.
Menurut
Beder49,
penghimpunan
dana
dalam
persaingan
pasar
(market
belikan di pasar sekunder. Likuiditas akan sangat dipengaruhi oleh jumlah investor dan
standarisasi struktur obligasi.
Isu lain terkait dengan project bond adalah masalah peraturan di bidang
infrastruktur. Hasil penelitian Larrain (2011)51 menunjukkan bahwa isu tersebut antara
lain terkait dengan: pertama, allocation of projects yang berkenaan dengan masalah lelang.
Penawar menawarkan biaya yang paling murah, akan tetapi pemenang tender akan
menawar setelah memenangkan proyek. Kedua, fiscal guarantees.
Projects financial
outcomes sangat tergantung pada kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, fiscal guarantees
biasanya akan ditawarkan oleh pemenang tender (misalnya minimum traffic). Ketiga,
extension of concession. Apabila kondisi dari sisi financial kurang menguntungkan, maka
concession yang merupakan bagian dari guarantee pemerintah dapat di-extend. Keempat,
natural monopoly, di manaproyek-proyek berskala besar secara alami akan menjadi
monopoli. Untuk itu, hal ini perlu mendapatkan perhatian karena konsumen mungkin
menderita kerugian apabila terjadi penyalahgunaan.
Meperhatikan persyaratan dan risiko dalam menerbitkan project bond untuk public
private partnership, maka terdapat beberapa langkah yang harus dipersiapkan apabila AIF
akan menggunakan sumber-sumber pendanaan dari negara-negara anggota ASEAN:
pertama, mendorong penyatuan (convergence) kebijakan pasar keuangan dan pasar modal
sertamempercepat perbaikan infrastruktur di pasar keuangan. Pertumbuhan pembiayaan
infrastruktur terkait erat dengan perkembangan pasar modal regional. Hal ini disebabkan
karena pemain regional, termasuk perusahaan konstruksi, perbankan, dan operator
infrastruktur dapat memainkan peran utama dalam proyek-proyek masa depan. Selain itu,
perusahaan regional akan lebih berperan karena mereka lebih tahu struktur penawaran.
Kedua, adanya mismatching risk antara profil investasi dalam infrastruktur yang
bersifat jangka panjang dengan pinjaman yang bersifat jangka pendek akan menghambat
Guillermo Larrain, Financing Infrastructure through Bond Markets: Lessons from Latin America.,
Presentation prepared for the Africa Bond Markets Conference IFC -World Bank SIDA Nairobi,
November 7 and 8, 2011.
51
40 | P a g e
investasi di bidang infrastruktur. Untuk itu instrumen seperti dana pensiun dan obligasi
dapat meminimalkan risiko ketidakcocokan ini.
Ketiga, dari sisi financial pemerintah harus (i)memperbaiki kerangka peraturan
terkait dengan tax framework yang merupakan peran pemerintah, (ii) memperluas opsi
penerbitan yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, (iii) merampingkan
proses penawaran yang merupakan peranan regulator di bidang keuangan, (iv)
memperbaiki kerangka efficient benchmark yield curve, dan (v) memperluas basis investor
baik dari kalangan negara-negara anggota AIF maupun di luar AIF52.
Disamping itu, yang tidak kalah pentingnya adalah isu berkenaan dengan jangka
waktu project bond. Hasil penelitian yang dilakukan Ngugi (2011)53 menunjukkan bahwa
periode kepemilikan project bond akan mempengaruhi penyerapannya. Investor yang rasional
skeptis akan menunda konsumsi uang untuk jangka waktu yang lama dan lebih senang
berinvestasi dalam instrument yang berjangka pendek.
3.2.2 Perluasan Pendanaan AIF Melalui ASEAN Plus Three
Salah satu langkah alternatif lain yang dapat ditempuh adalah dengan mengundangnegara-negara mitra ASEAN,54 khususnya melalui ASEAN Plus Three untuk bergabung
dengan AIF. Terdapat beberapa faktor yang menjadi pertimbangan perlunya perluasan
pendanaan AIF dengan Jepang, China dan Republik Korea, diantaranya adalah:
Disamping memanfaatkan pasar modal kawasan ASEAN, AIF juga dapat mengakses ke pasar
modal di kawasan Asia. Menurut hasil kajian United Nation-ESCAP, pada tahun 2000-2003 surplus
tabungan di negara-negara Asia diperkirakan rata-rata mencapai US$200 miliar per tahun.
Sementara itu menurut Market Pulse FX penerbitan Foreign currency bond di wilayah Asia pada
akhir 2012 diperkirakan mencapai US$130 milyar. Secara historis, kurangnya instrumen keuangan
yang cukup likuid menyebabkan surplus tersebut banyak keluar dari kawasan Asia. Project bond
dari AIF diharapkan akan menjadi instrument keuangan yang likuid , sehingga potensi surplus
tabungan di kawasan Asia dapat dimanfaatkan secara optimal.
53 Daniel Mugo Ngugi, The effect of regulation on infrastructure bonds uptake in Kenya, School of
Business, University of Nairobi, 2011.
54 Setidaknya terdapat empat mitra ASEAN, yakni: Pertama mitra wicara penuh yang terdiri dari
Amerika Serikat, Australia, China, India, Jepang, Kanada, Republik Korea, Rusia, Selandia Baru, Uni
Eropa dan PBB. Kedua, East Asia Summit yang terdiri dari sepuluh angggota ASEAN, Australia,
India, Jepang, Republik Korea dan Selandia Baru. Mulai 2011, Amerika Serikat dan Rusia resmi
bergabung. Ketiga, mitra wicara sektoral, yakni Pakistan, dan keempat ASEAN mempunyai
kerangka kerjasama dengan Jepang, China dan Republik Korea melalui ASEAN Plus Three.
41 | P a g e
52
Pertama, Jepang merupakan salah satu negara dengan tingkat ekonomi yang sangat
baik di kawasan Asia55. Untuk itu, peranan Jepang dalam kerjasama di bidang ekonomi
dengan ASEAN sangat diharapkan lebih besar.
42 | P a g e
Beijing-ASEAN. Kedua belah pihak juga telah mengidentifikasi lima bidang utama
kerjasama: pertanian, teknologi informasi dan komunikasi, pengembangan sumber daya
manusia, pembangunan sungai Mekong, dan investasi bersama.
Dalam KTT ASEAN ke-8 di Phnom Penh, Kamboja, pada bulan November 2002,
China dan ASEAN menandatangani the Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation. Apabila hal ini diimplementasikan, akan merupakan pasar umum bagi 1,7
miliar orang, dengan produk domestik bruto gabungan (PDB) sebesar US $ 1,5-2 milyar.
Kedua belah pihak berusaha membangun kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu
10 tahun, pertama dengan ASEAN asli-6 pada tahun 2010, diikuti oleh seluruh ASEAN-10
pada tahun 201558.
Ketiga, kemitraan ASEAN dengan Republik Korea berjalan dengan lancar seperti
yang dikatakan oleh Presiden Republik Korea, Lee Myung Bak pada tahun 2009 bahwa
perdagangan ASEAN-Republik Korea telah tumbuh 11 kali lipat dalam dua dekade terakhir
menjadi senilai US$ 90,2 miliar tahun lalu. Angka tersebut bahkan diperkirakan akan
meningkat menjadi US$ 150 miliar pada 2015.
Terdapat potensi besar bahwa Jepang, Republik Korea dan China akan sangat
tertarik untuk berpartisipasi dalam investasi di AIF, karena secara finansial, ketiganya
mampu memenuhi kebutuhan pembangunan infrastruktur di ASEAN. Setidaknya hal ini
dapat dilihat dari besaran cadangan devisa dan rata-rata outstanding cadangan perbankan
di bank sentral (lihat Tabel 5). Disamping itu, juga telah terjalin hubungan baik antara
ASEAN dengan ketiga negara tersebut. Namun demikian, dalam konteks perluasan
pendanaan AIF ke ketiga negara tersebut perlu dilakukan pemetaan dampak positif dan
negatifnya.
Tabel 5: Average Oustanding Reserves Requirement pada Bank Sentral dan Cadangan
Devisa Jepang, China dan Republik Korea
John Wong and Sarah Chan, China-ASEAN Free Trade Agreement: Shaping Future Economic
Relations, Asian Survey, Vol. 43, No. 3, May/June 2003, hal. 507-526; Thitapha
Wattanapruttipaisan, ASEAN-China Free Trade Area: Advantages, Challenges, and Implications for
the Newer ASEAN Member Countries, ASEAN Economic Bulletin, Vol. 20, No. 1, April 2003, hal. 3138; James Laurenceson, Economic Integration between China and the ASEAN-5, ASEAN Economic
Bulletin, Vol. 20, No. 2, August 2003, hal. 103-111.
43 | P a g e
58
Negara
Cadangan Devisa
Jepang
China
Republik Korea
Sisi positif dari perluasan pendanaan ini adalah sumber pendanaan AIF akan
menjadi semakin besar, sehingga funding cost diharapkan akan semakin murah dan adanya
diversifikasi risiko. Disamping itu diharapkan pula akan terjadi transfer of knowledge and
technology dari ketiga negara tersebut.
Sisi negatif masuknya Jepang, Republik Korea dan China dalam pendanaan AIF
adalah kemungkinan terdapat tied financing. Tied aid financing tentunya akan
membatasi kemungkinan procurement yang lebih efektif dan efisien. Tied aid financing
juga berpotensi terjadi dengan cara memasukkan konsultan/expert, khususnya Jepang
(Kimura & Todo, 2010)59. Sementara itu Republik Korea tidak terlalu seperti Jepang dalam
tying the financing. Masuknya Jepang, Republik Korea dan China juga berpotensi akan
berdampak pada manajemen pendanaan infrastruktur di ASEAN dari yang telah
direncanakan.
3.2.3 Partisipasi dari Swasta
Sumber pendanaan infrastruktur secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua,
yakni swasta dan pemerintah60. Swasta pada umumnya mendanai proyek-proyek melalui
korporasi, public private partnership project dan non public private partnership project.
Sedangkan pemerintah pada umumnya terkonsentrasi pada proyek infrastruktur tertentu
(by project) dan traditional procurement.
Kimura, Hidemi and Todo, Yasuyuki, 2010. Is Foreign Aid a Vanguard of Foreign Direct
Investment? A Gravity-Equation Approach. World Development 38(4) , 482-497.
60 Rien Wagenvoor, Carlo de Nicola and Andreas Kappele., Infrastructure finance in Europe:
Composition, evolution and crisis impact, EIB Paper, Volume 15 No1 2010.
44 | P a g e
59
Menurut Lynn Tho (2013)61 dalam pembangunan infrastruktur, sektor swasta dapat
berkontribusi melalui (i) memfasilitasi peningkatan konstruksi dan efisiensi operasional,
(ii) menyediakan akses ke sumber modal yang lebih luas, (iii) pelayanan infrastruktur
dengan akuntabilitas yang lebih baik, (iv) fokus pada asset delivery and service performance
over asset life , dan (v) alokasi risiko dan imbalan yang lebih baik.
Lembaga keuangan internasional yang mendanai proyek swasta sudah ada, antara
lain adalah International Finance Corporation (IFC) dan Multilateral Investment Guarantee
Agency (MIGA). IFC dan MIGA
global saving pada tahun 2013 diperkirakan mencapai USD17 triliun. Sementara itu
kebutuhan pendanaan infrastruktur dunia diperkirakan hanya mencapai 10 persen saja.
Kehadiran AIF yang khusus menangani pembiayaan infrastruktur, diharapkan akan
memobilisasi sumber dana jangka panjang untuk mendorong investasi dalam proyekproyek infrastruktur di kawasan ASEAN. Peran AIF sangat krusial karena akan menjadi
katalis yang menjembatani sumber dana jangka panjang dengan investasi dalam proyekproyek infrastruktur di ASEAN.
Permasalahannya, terdapat cara pandang yang berbeda antara pemerintah dan
swasta terhadap proyek infrastruktur. Bagi pemerintah, proyek-proyek infrastruktur yang
direncanakan dan dibiayai oleh lembaga pemerintah pada umumnya secara ekonomis
feasible, namun secara komersial tidak feasible. Proyek infrastruktur pada umumnya
dirancang untuk memberikan manfaat yang berkelanjutan pembangunan ekonomi.
64
46 | P a g e
Sementara itu, keputusan investasi yang dibuat oleh investor lebih mencerminkan
pertimbangan operasional yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup dalam
jangka panjang. Untuk itu investor mendorong adanya alokasi risiko yang lebih baik,
manajemen proyek, pengawasan dan akuntabilitas proyek secara keseluruhan.
Menurut Cobb (2010)65 dalam mengamankan komitment pembiayaan proyek, baik
dalam bentuk utang atau ekuitas, swasta akan menyertakan beberapa kriteria sebagai
berikut: (i) kredibilitas keuangan yang menyangkut antara lain kondisi politik yang akan
berdampak pada kelangsungan proyek yang disponsorinya, (ii) profesionalisme dan
kemampuan kinerja masa lalu, (iii) gambaran risiko proyek yang diusulkan, termasuk
risiko politik, risiko regulasi, risiko komersial, risiko mata uang, risiko lingkungan dan
faktor risiko lainnya, (iv) prakiraan dan derajat keyakinan berkaitan dengan proyek,
ketersediaan bahan baku atau persyaratan input, dan persyaratan penjualan produk, (v)
kelayakan, teknis desain dan operasi proyek, termasuk teknologi dan kebutuhan sumber
daya manusia, dan terakhir, dan (vi) memahami dan menerapkan kriteria ini adalah
langkah penting dalam menentukan potensi pembiayaan proyek untuk investasi
infrastruktur besar.
Pada intinya, sektor swasta akan menginvestasikan modalnya melalui kepemilikan
saham, apabila ada jaminan bahwa return yang akan diterima cukup menarik dan risiko
usaha sedapat mungkin diminimalisir. Untuk itu perlu adanya garansi dari AIF kepada para
calon investornya. Sebagai konsekuensinya, AIF juga mensyaratkan bahwa pemberian
pinjaman harus diikuti dengan garansi dari negara-negara anggota AIF66.
Menurut Lynn Tho (2013)67, untuk mendorong swasta berinvestasi di AIF, maka
persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota adalah: (i) proses pengadaan
Dr. J. Michaeil Cobb, Developing Public Private Infrastructur in Emerging Market, International
Development Consultans, LLC, Princeton, New Jersey, USA 2003-2010, diunduh dari
http://www.idcworld.com/finance.htm 11 April 2013.
66 AIF dapat belajar dari MENA, sebuah lembaga keuangan yang mendanai infrastruktur di Timur
Tengah dan Arika Utara. Mena disponsori oleh Fajr Capital, HSBC, dan Waha Capital. Masing-masing
sponsor berkomitmen menanam modal masing-masing USD50 juta atau lebih. Kini modal MENA
telah mencapai USD300 juta Pada dasarnya metode investasi yang dilakukan MENA adalah melalui
permodalan, memegang saham, pinjaman subordinasi, dan instrument ekuitas lainnya.
67 Lynn Tho, Impediments to Private Investment in Infrastructure APEC Workshop, Makassar,
Indonesia 22-23 April 2013
47 | P a g e
65
proyek harus transparan, (ii) pengadaan harus tepat waktu dengan pendekatan
pembiayaan, (iii) adanya standarisasi alokasi risiko dan kontrak, (iv) sumber daya yang
memadai untuk persiapan dan pengadaan proyek, (v) dibentuk tim pemerintah untuk
melakukan pengadaan, (v) sesuai dengan tingkat dukungan pemerintah dan proses
persetujuan, dan (vii) political will dari pemerintah68.
3.2.4 Penerbitan Hybrid Capital
Menurut Bank for International Settlement69, hybrid capital merupakan instrumen
permodalan yang menggabungkan karakteristik dari ekuitas dan karakteristik tertentu
dari utang. Masing-masing memiliki fitur tertentu yang dapat dipertimbangkan untuk
mempengaruhi kualitasnya sebagai modal. Instrumen ini memiliki kesamaan dengan
ekuitas, sehingga dapat dimasukkan sebagai modal pelengkap. Hybrid capital70 juga
didefinisikan bentuk utang yang dapat dikonversi menjadi ekuitas. Hybrid capital
mencakup berbagai instrumen, seperti saham preferen, yang bukan modal murni tetapi
secara tradisional telah diperhitungkan satu rasio modal inti bank.
Berdasarkan komponennya, terdapat tiga jenis hybrid capital, yakni: pertama terdiri
dalam bentuk modal saham disetor yang bersifat permanen (ditempatkan dan disetor
penuh saham biasa/saham biasa dan saham preferen perpetual non-kumulatif)
dan
disclosed reserve (alokasi saldo laba atau lainnya surplus, seperti misalnya premi, laba
ditahan, cadangan umum dan cadangan hukum). Kedua, hybrid capital dalam bentuk
undisclosed reserve, asset revaluation reserves, general provisions/general loan-loss reserves,
hybrid (debt/equity) capital instruments, dan subordinated debt. Ketiga, hybrid capital
dalam bentuk short-term subordinated debt.
Diskusi lebih lanjut berkenaan dengan model infrastructure fund dari perspektif investor dapat
dilihat pada Martin Lawrence dan Geofrey P. Stapledon, 2008, Infrastructure Funds: Creative Use
of Corporate Structure and Law But in Whose Interests? Geof Stapledon Law School University of
Melbourne Vic 3010 Australia
69 Basel Committee on Banking Supervision: International Convergence of Capital Measurement and
Capital Standards, Bank for International Settlements Press & Communications CH-4002 Basel,
Switzerland June 2006.
70 Patrick Jenkins, Banking Editor, Financial Times
48 | P a g e
68
Basel III: A global regulatory framework for more resilient banks and banking systems, Bank for
International Settlements Communications CH-4002 Basel, Switzerland, June 2011
71
49 | P a g e
Hybrid capital sepertinya juga menjadi salah satu pilihan pendanaan bagi industri
non keuangan. Sebagai contoh adalah penerbitan hybrid capital yang dilakukan oleh Dong,
sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang energy. Pada tahun 2013 Dong Energy
menerbitkan hybrid capital sebesar EUR500 juta dengan tenor 5 tahun dan upon 4,875%.
Gambar 10: Penerbitan hybrid capital oleh Dong Energy
Sebagai produk perbankan, dalam perspektif jangka panjang hybrid capital dapat
pula dipertimbangkan menjadi salah satu alternatif pengembangan permodalan bagi AIF.
Kelebihan dari instrument ini adalah tidak akan mendelusi kepemilikan saham negara
anggota AIF, karena penambahan permodalan berasal dari disclosed reserve, undisclosed
50 | P a g e
http://www.adb.org/sites/default/files/linked-docs/45097-001-reg-fa.pdf
Peiyi Yu and Bac Van Luu, Lessons from the Collapse in Hybrid Bank Capital Securities,
http://www.econ-pol.unisi.it/fineng/The_collapse_of_structured_bank_capital.pdf, diakses 29
Agustus 2013
51 | P a g e
73
Beberapa literatur yang dapat dijadikan referensi dalam menerbitkan hybrid capital
adalah study yang dilakukan oleh Benston, Irvine, Rosenfeld, dan Sinkey (2003)74 yang
menganalisis 105 isu hybrid capital oleh perbankan di Amerika Serikat dalam periode
1995-1997 dan mempelajari karakteristik emiten vs non-emiten. Mereka menemukan
bahwa emiten cenderung lebih besar, memiliki tarif pajak yang lebih tinggi, dana yang
tidak diasuransikan dan rasio ekuitas yang lebih rendah.
Terdapat korelasi antara penerbitan hybrid capital oleh lembaga keuangan dan
kebutuhan bailout pemerintah. Hasil penelitian DeYoung, et al (2001)75 menunjukkan
bahwa berdasarkan data tahun 1990, penerbitan hybrid capital di Amerika Serikat,
terutama dilakukan oleh perbankan dengan aset yang besar namun memiliki rasio
kecukupan modal yang rendah, dapat menekan harga saham. Kasus serupa juga terjadi
pada lembaga keuangan di Eropa pada era 2000.
3.3 Analisis Pilihan Sumber Pendanaan
Berdasarkan financial analysis yang dibuat oleh AIF dan ADB 76, total pinjaman yang
disetujui (baik yang dijamin maupun tidak dijamin) pada tahun 2012 mencapai USD300
juta dan pada tahun 2016 diharapkan menjadi USD439 juta. Sementara itu penarikan
kredit pada tahun 2012 diperkirakan mencapai USD 9 juta dan tahun 2026 meningkat
menjadi USD424 juta.
Gambar 11: Perkiraan Pendanaan dan Modal AIF 2012-2016
Benston, G. J., P. Irvine, J. Rosenfeld, and J. F. Sinkey, 2003, Bank Capital Structure, Regulatory
Capital, and Securities Innovations, Journal of Money, Credit and Banking.
75 DeYoung, Robert; Mark J. Flannery, William W. Lang, Sorin M. Sorescu (2001): The
Information Content of Bank Exam Ratings and Subordinated Debt Prices, Journal
of Money, Credit and Banking, Vol. 33, No. 4 (Nov., 2001).
76 http://www.adb.org/sites/default/files/linked-docs/45097-001-reg-fa.pdf
74
52 | P a g e
Dari sisi permodalan, AIF memperkirakan modal inti yang terdiri dari kontribusi
negara anggota, hybrid capital, dan cadangan (reserve) pada tahun 2012 akan mencapai
USD162 juta dan pada tahun 2026 mencapai USD1.614 juta.
Untuk memenuhi komitmen dalam menyalurkan dana, AIF akan melakukan
pinjaman. Diperkirakan outstanding utang AIF tahun 2016 sebesar USD120 juta dan tahun
2026 meningkat menjadi USD2.618 juta. Outstanding debt ini telah memperhitungkan
redemption setiap tahunnya.
Gambar 12: Perkiraan Outstanding Debt AIF 2012-2026
Mencermati perkiraan kredit, utang dan permodalan AIF di atas, maka langkah
selanjutnya setelah komitmen pendanaan dari negara-negara anggota terpenuhi adalah
penerbitan hybrid capital. Dana yang didapat dari hybrid capital sebaiknya tidak digunakan
53 | P a g e
untuk mendanai kredit, namun sebagai penguat permodalan sehingga AIF dapat
melakukan leverage untuk penerbitan utang baru sebagaimana direncanakan mencapai 1,5
kali dari modal.
Untuk menghindari dampak negatif dari penerbitan hybrid capital, sebaiknya
sumber pendanaan tidak diambil dari cadangan devisa. Hal ini disebabkan pendanaan
melalui cadangan devisa akan berdampak negatif terhadap stabilitas mata uang, terutama
Indonesia. Dengan cadangan devisa yang terus menipis akibat defisit balance of payment,
maka rupiah akan terus melemah.
Sementara itu pendanaan hybrid capital melalui mekanisme APBN juga akan
terkendala dengan pembahasan di Legislatif (DPR). Sebagaimana diketahui bahwa untuk
penambahan pendanaan AIF dari negara anggota, perlu mendapatkan persetujuan dari
DPR dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Alternatif terbaik, hybrid capital
sebaiknya dijual ke pasar atau ditawarkan ke pemerintah Jepang, Korea atau China. Namun
harus diakui penjualan hybrid capital ke negara lain akan berdampak pada hak suara
Indonesia di AIF.
Tahap berikutnya, dengan bertambahnya permodalan melalui hybrid capital, maka
AIF dapat melakukan penambahan pendanaan dengan tujuan meningkatkan kemampuan
dalam memberikan kredit kepada negara anggota. Sumber-pendanaan seperti melibatkan
Jepang, Korea, China atau negara-negara lainnya dan menjual bond ke lembaga keuangan
dapat menjadi alternatif sumber pendanaan. Namun prinsip yang terpenting adalah dicari
sumber pendanaan dengan cost of fund termurah, tersedia dalam jumlah yang memadai
dan dapat digunakan dalam jangka panjang, mengingat dana tersebut akan digunakan
untuk mendanai infrastruktur yang pada umumnya membutuhkan pendanaan dalam
jangka panjang (7-15 tahun).
54 | P a g e
BAB IV
Kesimpulan dan Rekomendasi
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal, yakni:
1. Dalam periode 1998 sampai dengan 2010, good governance Indonesia dilihat dari
enam indikator, yakni control of corruption, political stability & absence of violence,
voice accountability, regulatory quality, rule of law, dan government effectiveness, sejak
2004 terdapat tiga indikator dengan performance buruk, yaitu rule of law, control of
corruption, dan political stability. Tiga indikator ini lebih buruk dibanding dengan tiga
indikator lain: voice accountability (yang berubah menjadi lebih terbuka setelah
reformasi), government effectiveness (mengalami perbaikan dalam satu dekade), dan
regulatory quality (cenderung stagnan).
2. Terdapat empat permasalahan utama yang dihadapi dalam public private partnership
yaitu kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspons
dengan
baik
oleh
pasar,
faktor
pembebasan
tanah
yang
berlarut-larut,
2014 meliputi proyek Flood Management in Selected River Basins, proyek Integrated
Citarum Water Resources Management 2 dan Regional Road Development Project II.
4.2 Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek infrastruktur
yang dikerjasamakan melalui public private partnership, maka perlu dibentuk PPP Unit.
Unit ini harus didesain sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga dapat
mengatasi berbagai kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang dikerjasamakan
melalui PPP. Unit ini nantinya akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh
pemerintah, melakukan analisis keuangan proyek public private partnership, dan harus
memenuhi standar umum maupun kebijakan khusus dari pemerintahan seperti:
transparan dan pengadaan yang kompetitif, menjadikan bijaksana fiskal yang prudent,
dan complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
2. Dalam rangka meningkatkan pendanaan AIF, maka dapat ditempuh melalui berbagai
alternative, yakni:
a. Penerbitan Obligasi
Penerbitan obligasi dapat ditempuh melalui obligasi yang dijamin dengan seluruh
asset AIF dan penerbitan obligasi melalui project bond guna untuk mendanai
proyek-proyek infrastruktur. Apabila sumber -sumber pendanaan dari negaranegara anggota ASEAN, maka diperlukan (i) adanya penyatuan kebijakan pasar
keuangan dan pasar modal dan mempercepat perbaikan infrastruktur di pasar
keuangan.
57 | P a g e
58 | P a g e