Anda di halaman 1dari 21

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI

BANTARAN SUNGAI KALI PEPE


(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tesis ini menganalisis implementasi kebijakan program penataan

permukiman di bantaran sungai Kali1 Pepe di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan

Banjarsari. Kebijakan ini bertujuan untuk menata permukiman kumuh yang

terdapat di sepanjang bantaran Kali Pepe. Kawasan bantaran sungai yang

seharusnya bersih dari permukiman, ternyata sudah menjadi kawasan permukiman

bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kondisi yang demikian menyebabkan

terjadinya penurunan kualitas lingkungan dan permukiman. Selain itu berimbas

juga kepada sungai Kali Pepe yang terkena dampak pencemaran lingkungan dan

penurunan kualitas air sungai. Kondisi yang demikian membuat Pemerintah Kota

Surakarta (Solo) harus mengeluarkan kebijakan penataan permukiman kumuh di

bantaran sungai Kali Pepe.

Menjadi menarik kemudian untuk menyusun kajian ilmiah untuk

menghasilkan analisis rinci bagaimanakah implementasi program penataan

permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan

Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta dan faktor-faktor apa

sajakah yang mempengaruhi dalam proses pelaksanaan implementasi kebijakan

tersebut. Penataan permukiman kumuh di bantaran Kali Pepe sangat

membutuhkan perhatian semua kalangan dan sinergitas antar aktor dalam rangka
1
Yang dimaksud dengan Kali secara prinsip mempunyai pengertian yang sama dengan sungai.
Istilah kali merupakan sebutan kearifan lokal peninggalan kerajaan, misalnya Kali Pepe, Kali
Jenes dan lain sebagainya.

1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

mengawal implementasinya. Apalagi permasalahan tentang permukiman kumuh

sedang menjadi program prioritas penanganan mulai dari pemerintah pusat hingga

pemerintah daerah, kota maupun kabupaten. Pemerintah pusat pun menargetkan

kawasan permukiman kumuh menjadi 0 (nol) persen pada tahun 2019.

Perkembangan perumahan dan permukiman di Indonesia khususnya di

perkotaan tidak terlepas dari adanya pertumbuhan penduduk dan perkembangan

kegiatan di kota. Pertumbuhan penduduk diperkotaan dipengaruhi oleh dua faktor

yaitu faktor pertumbuhan alami dan urbanisasi. Pesatnya perkembangan penduduk

tersebut tidak selalu diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota, sehingga

berakibat pada munculnya perumahan dan pemukiman kumuh.

Hasil identifikasi di Indonesia oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya

Kementerian Pekerjaan Umum diketahui kawasan kumuh yang ada di Indonesia

sekitar 38.000 hektar yang tersebar di 2.883 kawasan dan di 415 kabupaten/kota

di seluruh Indonesia2. Dari 415 kabupaten/kota tersebut, sebanyak 129

kabupaten/kota telah menetapkan kawasan permukiman kumuh di wilayahnya

dengan surat keputusan walikota/bupati sebagai syarat mendapatkan program

pemerintah melalui APBN. Saat ini masih ada 12% kawasan kumuh, sedangkan

pada tahun 2015 lebih dari 33 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di

permukiman kumuh.

2
Andreas Suhono, Dirjen Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum, disampaikan Kamis 28 Mei
2015 dalam acara National Urban Forum di Jakarta.
(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/05/28/np21j8-ada-38-ribu-hektare-kawasan-
kumuh-seindonesia, diakses tanggal 15 Juli 2015)

2
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Seperti yang terjadi pada kota-kota besar pada umumnya, Kota Surakarta

sebagai kota besar dengan perkembangannya yang sangat pesat juga tidak terlepas

dari permasalahan perumahan dan permukiman kumuh. Kawasan kumuh di Kota

Surakarta mencapai 465 hektar. Kawasan permukiman kumuh itu tersebar di lima

kecamatan di Kota Surakarta yang memiliki luas wilayah 4.404 hektar. Hal itu

berarti di Kota Solo hampir 10% terdiri dari kawasan kumuh. Data kawasan itu

sesuai dengan SK Walikota Solo No.032/97.C/1/2014 tanggal 12 Desember 2014

tentang Kawasan Permukiman Kumuh Kota Solo. Kawasan kumuh ini dilihat dari

ketidakaturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas

bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Di lahan 465

hektar tersebut ada berbagai sarana yang tidak memenuhi kriteria, seperti jalan

lingkungan, drainase lingkungan, penyediaan air bersih dan lainnya. Anggaran

untuk mengatasi kawasan kumuh mengandalkan APBD karena Kota Solo baru

mempunyai SK Walikota tentang Penetapan Kawasan Kumuh, dan belum

memiliki Perda yang menetapkan dan mengatur tentang kawasan kumuh.

Seandainya sudah ada Perda tentang kawasan kumuh, mungkin bisa lebih mudah

dalam mencari dan mendapatkan bantuan dari pusat (APBN) dalam usaha

pengentasan kawasan kumuh tersebut.

Permukiman kumuh di Kota Surakarta biasanya dihuni oleh masyarakat

miskin yang tidak mampu mengakses perumahan yang layak. Ketidakmampuan

masyarakat miskin dalam mengakses permukiman yang layak tersebut, dan

ketidakmampuan negara/pemerintah daerah menyediakan permukiman yang

terjangkau dan layak huni menjadikan mereka memilih untuk bermukim pada

3
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

lingkungan permukiman yang kumuh dengan sarana dan prasarana dasar kurang

memadai, bahkan menempati lahan yang bukan menjadi haknya/ilegal. Angka

kemiskinan di Kota Solo menurut Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan

atau TKPK Kota Solo masih tinggi, yakni mencapai 133.600 jiwa atau 24 persen

dari sekitar 563.659 penduduk di kota ini.

Tabel. 1.1
Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin
Kota Surakarta Tahun 2013

Laki-laki Perempuan L+P


Kecamatan
n (jiwa) % n (jiwa) % n (jiwa) %
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
Laweyan 49.787 17,87 51.537 18,08 101.324 17,98
Serengan 26.681 9,58 27.653 9,70 54.334 9,64
Pasarkliwon 42.651 15,31 42.958 15,07 85.609 15,19
Jebres 71.456 25,64 72.539 25,45 143.995 25,55
Banjarsari 88.069 31,61 90.328 31,69 178.397 31,65
Kota 278.644 100,00 285.015 100,00 563.659 100,00
Sumber :Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2013,diolah

Tabel 1.2
Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk
Kota Surakarta Tahun 2013
Jumlah
Luas Wilayah Kepadatan
Kecamatan Penduduk
(Km2) Penduduk
n (jiwa)
(1) (2) (3) (4)
Laweyan 101.324 8,64 11.727
Serengan 54.334 3,19 17.033
Pasar Kliwon 85.609 4,82 17.761
Jebres 143.995 12,58 11.446
Banjarsari 178.397 14,81 12.046
TOTAL 563.659 44,04 12.799
Sumber :Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta,Tahun 2013,diolah

4
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel 1.3
Angka Pertambahan Penduduk Kota Surakarta Tahun 2013
Pddk Tahun 2012 Pddk Tahun 2013 Angka
Kecamatan Pertambahan
n (jiwa) % n (jiwa) % Penduduk

(1) (2) (3) (4) (5) (6)

Laweyan 97.056 17,79 101.324 17,98 4,30

Serengan 52.998 9,71 54.334 9,64 2,49

Pasar Kliwon 83.353 15,28 85.609 15,19 2,67

Jebres 139.101 25,49 143.995 25,55 3,46

Banjarsari 173.145 31,73 178.397 31,65 2,99

Total 545.653 100 563.659 100,00 3,25

Sumber :Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Surakarta, Tahun 2013, diolah

Angka pertumbuhan penduduk Kota Surakarta termasuk tinggi. Angka

pertumbuhan penduduk ini dihitung berdasarkan data hasil SIAK (Sistem

Informasi Administrasi dan Kependudukan). Apabila pertumbuhan penduduk

tidak terkendali, maka implikasi dari hal tersebut adalah munculnya berbagai

masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan, pertumbuhan daerah kumuh,

kriminalitas dan lain sebagainya. Perlu diketahui bahwa pertambahan penduduk

Kota Surakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk

Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 yang hanya 0,37 persen per tahun dan secara

nasional yaitu sebesar 1,49 persen (BPS)3.

Jika dilihat menurut kecamatan, pertambahan penduduk tertinggi di

Kecamatan Laweyan yaitu 4,30 persen, diikuti Kecamatan Jebres yaitu 3,46

persen, Kecamatan Banjarsari 2,99 persen, dan Kecamatan Pasarkliwon 2,67

persen. Sedangkan Kecamatan Serengan angka pertambahan penduduknya


3
Sumber : http://dispendukcapil.surakarta.go.id/20XIV/index.php

5
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

paling kecil yaitu 2,49 persen. Pertumbuhan penduduk Kota Surakarta yang tinggi

itu diduga bukan disebabkan tingkat kelahiran yang cukup tinggi saja, tapi juga

disebabkan faktor migrasi masuk. Dengan adanya program e-KTP, penduduk

perbatasan yang tercatat tidak domisili memilih untuk mejadi penduduk Kota

Surakarta karena adanya fasilitas sosial dari Pemerintah Kota Surakarta seperti

jaminan kesehatan (Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Surakarta/PKMS) dan

bantuan pendidikan (Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta/BPMKS).

Kota Surakarta dilewati oleh Sungai Bengawan Solo dan beberapa anak

sungai yang melintasi Kota Surakarta dapat menjadi potensi fungsi drainase utama

Kota Surakarta. Namun, dengan semakin berkembangnya kota telah menyebabkan

fungsi sungai telah mengalami perubahan yaitu munculnya permukiman kumuh

pada bantaran sungai. Kondisi ini lambat laun akan mengganggu fungsi sungai

sebagai area resapan. Salah satu anak sungai yang melintasi Kota Surakarta adalah

Kali Pepe. Aliran Kali Pepe sepanjang kurang lebih 5 kilometer, diantaranya

melewati Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari,

Surakarta. Kondisi Kali Pepe masih terkesan kumuh, lantaran banyak sampah

yang mengapung. Kendala lain, banyak warga Kelurahan Setabelan dan Keprabon

yang sudah menempati sempadan sungai sejak puluhan tahun lamanya. Tak

sedikit yang berjualan dan lainnya hingga mengakibatkan pendangkalan sungai,

sedimentasi, pencemaran limbah dari rumah tangga dan home industry. Kondisi

ini mencemari keindahan Kali Pepe yang dulunya asri, cantik bahkan pernah

menjadi jalur perdagangan vital di Pasar Gede, kini itu hanya menjadi cerita lama

yang indah, karena keindahan itu kini lambat laun berubah menjadi aliran sampah

6
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang menyeramkan. Melihat kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut akhir-

akhir ini semakin digalakkan tindakan nyata untuk mengembalikan Kali Pepe

seperti sediakala.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penataan

Ruang dalam Pasal 5 ayat 2 disebutkan penataan ruang berdasar fungsi utama

kawasan meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Dalam hal

ini, bantaran sungai termasuk dalam kawasan lindung. Perencanaan tata ruang

kota pemukiman kumuh di bantaran Sungai Kali Pepe diatur dalam: 1) Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Tata Ruang; 2) Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman; 3) Inpres Nomor 5 Tahun 1990

tentang Pedoman Pelaksanaan Peremajaan Pemukiman Kumuh di atas Tanah

Negara; 4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 63/PRT/1993 tentang

Garis Sempadan Sungai; 5) Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 35

Tahun 1995 tentang Program Kali Bersih; dan (6) Peraturan Daerah Kota

Surakarta Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Surakarta Tahun 2011-2031.

Kemiskinan seringkali dianggap sebagai salah satu penyebab

kemerosotan lingkungan dan berdampak negatif pada pembangunan. Kelurahan

Keprabon mempunyai angka kemiskinan sebesar 19% dan Kelurahan Setabelan

sebesar 22% yang lebih besar dari angka kemiskinan rata-rata kecamatan yang

sebesar 16%4. Kemerosotan daya dukung lingkungan seringkali dipicu oleh

muncul dan berkembangnya permukiman kumuh yang tidak sehat. Permukiman

4
Sumber : http://solokotakita.org/kelurahan/

7
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kawasan di bantaran sungai merupakan permukiman padat yang menempati lahan

di tepi sungai sehingga seringkali terjadi pengotoran sungai, yang pada akhirnya

dapat menimbulkan banjir. Disamping itu permukiman kawasan di bantaran

sungai menempati batas lahan yang semestinya tidak boleh didirikan bangunan.

Disisi lain, penghuni yang termasuk kategori miskin yang sering disebut

masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) telah berpuluh tahun menempati lokasi

tersebut. Hal ini merupakan indikasi bahwa kegiatan hidup dari penghuni telah

berjalan dengan baik. Hanya lokasinya saja yang perlu dibenahi. Atas dasar

kondisi tersebut dicoba untuk menata ulang permukiman di bantaran sungai,

sehingga tidak lagi menyalahi aturan dan kondisi yang ada diharapkan tidak

menjadi kumuh lagi.

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dalam definisi UU. No 1

tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman adalah adalah

masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat

dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah. Kalimat ini secara tersurat

menunjukkan bahwa rumah yang ditawarkan di pasar perumahan formal tidak

dapat dijangkau oleh mereka sehingga mereka harus memenuhi kebutuhan

rumahnya secara swadaya (self-help) atau melalui pasar perumahan informal.

Penataan permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe diperlukan

dalam upaya mewujudkan peningkatan tingkat kesehatan dan kesejahteraan serta

rumah yang layak huni. Permukiman kumuh di sepanjang bantaran sungai Kali

Pepe mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan pada kawasan daerah aliran

sungai dan kesemrawutan tata ruang. Kondisi demikian diperlukan kebijakan dan

8
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

program untuk mengatasi permasalahan permukiman kumuh di Kota Surakarta

tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, tidak bisa dilimpahkan hanya

kepada pemerintah daerah atau diurus oleh masyarakat yang tinggal di

permukiman kumuh itu sendiri. Diperlukan kerjasama/kolaborasi antar

stakeholder untuk mengatasi permasalahan yang sangat kompleks ini. Dikatakan

kompleks dikarenakan permasalahan permukiman kumuh ini memerlukan solusi

yang komprehensif, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan

penanganannya nanti setelah masyarakat yang tinggal di permukiman kumuh

menempati tempat tinggal yang baru hasil dari penataan permukiman kumuh di

bantaran sungai/Kali Pepe.

Salah satu prinsip penting governance adalah membangun jejaring

kemitraan/kolaboratif (networking) yang sinergis antara pemerintah, pelaku usaha,

dan masyarakat. Pendekatan kolaboratif dalam penyediaan perumahan bagi

Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), khususnya yang tinggal di

permukiman bantaran sungai, memberi hasil yang lebih dapat menjamin atau

membuka akses bagi kaum marjinal kepada sumber-sumber daya kunci

pembangunan perumahan yang dibutuhkan. Salah satu faktor penting dari

penerapan pendekatan kolaboratif di dalam mendorong keberpihakan bagi kaum

marjinal adalah partisipasi publik untuk mengelola sumber daya kunci

pembangunan secara transparan dan akuntabel. Pendekatan kolaboratif lebih

sensitif pada keadaan masyarakat berpenghasilan rendah yang selama ini

termarjinalkan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya tipologi rumah tinggal yang

9
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dibangun sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat calon pengguna (end user)

pada waktu tertentu5.

Visi Pemkot Surakarta “Waras, Wasis, Wareg, Mapan, Papan” (Sehat

Jasmani dan Rohani, Pandai, Kenyang dalam Berbagai Hal, Mapan/Stabil

Berperilaku Baik, Hunian/Tempat Tinggal yang Layak) atau yang sering disingkat

dengan 3WMP diimplementasikan dengan cara yang sangat khas sesuai

kebiasaan, budaya dan tata susila masyarakat Kota Surakarta yang masih

memegang teguh adat serta kebudayaannya. Semua program dan kegiatan tersebut

selain didasarkan atas peraturan yang dibuat selaras, juga selalu mengajak

masyarakat untuk bersama-sama didalam perencanaan, pembangunan dan

pemeliharaan. Program penataan permukiman kumuh bantaran sungai Kali Pepe

pun dilakukan dengan proses yang mempersuasi berbagai pihak sehingga dicapai

kesepakatan yang melegakan. Kondisi tersebut tidak lepas dari figur pimpinan

baik pimpinan tertinggi, para birokrat, organisasi kemasyarakatan dan NGO/LSM,

serta tokoh masyarakat yang dekat dengan warga.

Tujuan penataan ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan

dan penghidupan, harkat, derajat, dan martabat masyarakat penghuni permukiman

kumuh terutama golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah melalui

fasilitasi penyediaan perumahan layak dan terjangkau dalam lingkungan

permukiman yang sehat dan teratur; serta mewujudkan kawasan permukiman

yang ditata secara lebih baik sesuai dengan peruntukan dan fungsi sebagaimana

ditetapkan dalam rencana tata ruang kota. Disamping itu melalui kebijakan ini
5
Asnawi Manaf. 2013. Pendekatan Kolaboratif Dalam Pembangunan Formal Bagi Masyarakat
Marjinal: Sebuah Renungan Bagi Program KPR-FLPP. Disampaikan dalam Seminar Nasional
Dalam Rangka Hari Habitat Dunia 2013. Oktober 2013. Jakarta.

10
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

diharapkan mampu mondorong penggunaan dan pemanfaatan lahan yang efisien

melalui penerapan tata lingkungan permukiman sehingga memudahkan upaya

penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman yang diperlukan serta

dalam rangka mengurangi kesenjangan sosial antar kawasan permukiman di

daerah perkotaan.

Peran pemerintah dalam pembangunan harus mulai dikurangi.

Pemerintah berperan sebatas pada dimensi regulasi, fasilitasi, dan mediasi.

Sedangkan peran-peran lain sebaiknya lebih banyak dimainkan oleh pelaku usaha

(pasar, privat sector) dan masyarakat (civil society). Pelayanan publik, didalam

praktik penyelenggaraannya seyogyanya dilakukan oleh pemerintah, pelaku usaha

(pasar, privat sector) dan masyarakat (civil society) itu sendiri. Dalam konteks

inilah, regulasi dalam arti pembuatan aturan main (rule of the game) baik berupa

Perda maupun Perwali yang bersifat pro publik, pro poor, pro lingkungan dan

partisipatif perlu diwujudkan dalam pemerintahan. Untuk hal itu, perlu dibuka

seluas-luasnya ruang publik (public sphere) untuk membicarakan berbagai

rencana regulasi yang menyangkut kepentingan publik. Dan untuk

mewujudkannya diperlukan sinergitas (working together, atas dasar kecintaan

sepenuh hati dan pemahaman yang sama dan tepat terhadap visi yang ingin

diwujudkan) antara elit dan massa.

11
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel 1.4
Persebaran Permukiman Kota Surakarta Tahun 2011
Jumlah Rumah
No Kecamatan
di Bantaran Sungai
1. Banjarsari 722
2. Jebres 513
3. Laweyan 124
4. Pasar Kliwon 397
5. Serengan -
JUMLAH 1.756
Sumber : Surakarta Dalam Angka 2011, BPS

Tabel 1.5
Persebaran Konstruksi Rumah Permukiman Kota Surakarta Tahun 2011
Konstruksi Rumah
Kecamatan Jumlah
Permanen Bukan Permanen
Banjarsari 27.302 5.981 33.193
Jebres 24.638 2.182 26.820
Laweyan 24.851 191 25.042
Pasar Kliwon 17.679 1.783 19.462
Serengan 6.814 1.220 8.034
JUMLAH 101.284 11.357 112.551
Sumber : Surakarta Dalam Angka 2011, BPS (RTRW Kota Surakarta, 2011-2031)

Permasalahan permukiman Kota Surakarta 6:

a. Masih tingginya angka kemiskinan dan penduduk yang tinggal pada rumah

tidak layak huni. Berdasarkan data pada tahun 2012 terdapat sebanyak 14.217

rumah tidak layak huni di Kota Surakarta.

6
Disampaikan dalam Seminar Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Kawasan
Permukiman Kota Surakarta oleh Bappeda Kota Surakarta, tanggal 16 Juli 2014.

12
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel 1.6
Jumlah Rumah dan RTLH Kota Surakarta Tahun 2012
JUMLAH RUMAH JUMLAH RTLH TAHUN
KECAMATAN
TAHUN 2012 (UNIT) 2012 (UNIT)
BANJARSARI 34.981 2.449
JEBRES 29.248 3.241
LAWEYAN 18.611 1.591
PASAR KLIWON 16.139 2.742
SERENGAN 9.862 4.194
TOTAL 108.841 14.217
Sumber : Solokotakita, 2013, hasil Workshop RP3KP 2013.

b. Kawasan permukiman dengan kepadatan penduduk tinggi, dengan

keterbatasan sarana prasarana pendukung.

c. Tumbuhnya kawasan permukiman ilegal (squatter) yang cenderung kumuh,

terutama di kawasan bantaran sungai maupun pada tanah milik negara.

d. Kepadatan bangunan yang tinggi menyebabkan kurangnya ruang terbuka

hijau.

Dalam Seminar Pembangunan dan Pengembangan Perumahan Kawasan

Permukiman Kota Surakarta oleh Bappeda Kota Surakarta, tanggal 16 Juli

2014 juga disampaikan tentang analisis kekurangan rumah (backlog) Kota

Surakarta sebanyak 22.398 unit dengan rincian : Kecamatan Banjarsari

sebanyak 5.241 unit, Kecamatan Jebres sebanyak 3.741 unit, Kecamatan

Laweyan sebanyak 5.015 unit, Kecamatan Pasar Kliwon sebanyak 3.898 unit

dan Kecamatan Serengan sebanyak 4.503 unit. Jumlah backlog ini akan

berdampak pada jumlah kebutuhan rumah dan luasan lahan yang dibutuhkan,

sementara ketersediaan lahan di Kota Surakarta sangat terbatas. Perlu

diperhatikan juga untuk menjaga ruang terbuka hijau tetap dipertahankan demi

kelestarian lingkungan permukiman Kota Surakarta.

13
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Salah satu sasaran pengembangan perumahan dan penataan permukiman

kumuh di Kota Surakarta adalah permukiman kumuh di sepanjang bantaran

Kali Pepe. Berbagai permasalahan yang sudah disebutkan diatas menjadi

alasan pentingnya penataan permukiman kumuh di bantaran Kali Pepe

tersebut.

Implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh yang

dilaksanakan oleh Pemkot Solo dinilai berhasil oleh pemerintah pusat,

sehingga Pemkot Solo berhak menerima penghargaan dalam Inovasi

Manajemen Perkotaan (IMP) tahun 2014. Pemkot Solo mendapatkan tiga

penghargaan sekaligus yakni juara I pemanfaatan ruang, juara II penataan

pasar tradisional, dan juara III penataan kawasan kumuh.

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Alasan pemilihan Kampung Pringgading RT 3 RW 7 Kelurahan

Setabelan dan Kampung Kusumodiningratan RT 6 RW 5 Kelurahan Keprabon

menjadi lokasi studi kasus penataan permukiman kumuh di bantaran sungai Kali

Pepe tidak lepas dari perbedaan latar belakang yang mendasari pelaksanaan

penataan permukiman dan juga perbedaan dalam proses

pelaksanaan/implementasi program penataan permukiman kumuh di kedua lokasi

tersebut. Kedua daerah tersebut juga diharapkan menjadi pilot project bagi

penataan di sepanjang bantaran Kali Pepe selanjutnya yang melintasi beberapa

Kelurahan lainnya. Apabila implementasi penataan kawasan permukiman kumuh

di kedua Kelurahan ini berjalan dengan baik, diharapkan Kelurahan lain yang

14
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

akan menjadi sasaran penataan selanjutnya dapat berjalan lebih lancar dalam

implementasinya.

Penataan permukiman di bantaran Kali Pepe di Kampung Pringgading

RT 3 RW 7 Kelurahan Setabelan dilatarbelakangi oleh status tanah yang ditempati

oleh masyarakat yang semula adalah hak milik Mangkunegaran yang pada

perjalanannya akhirnya menjadi hak atas tanah bagi masyarakat yang telah

menghuni selama puluhan tahun yang ditindaklanjuti dengan penataan

permukiman kumuh menjadi permukiman yang layak huni dan lebih sehat.

Penataan permukiman di bantaran Kali Pepe di Kampung

Kusumodiningratan RT 6 RW 5 Kelurahan Keprabon dilakukan lebih dikarenakan

keinginan Pemkot Surakarta untuk menata dan menjadikan kawasan permukiman

yang ditempati oleh masyarakat penghuni permukiman kumuh di Kampung

Keprabon menjadi permukiman yang layak huni dan lebih sehat tanpa harus

merelokasi tempat tinggal mereka ke tempat yang baru dan memfasilitasi

pekerjaan mereka dengan membuatkan ruang untuk usaha yang juga dilengkapi

ruang pertemuan warga, ruang inventaris warga dan ruang terbuka hijau untuk

publik.

Dalam mengimplementasikan kebijakan penataan tersebut, sangat

diperlukan kehati-hatian dalam setiap tindakan dan tahapan proses yang dilakukan

oleh Pemkot Solo. Karakteristik masyarakat di bantaran sungai yang sangat

sensitif terhadap setiap kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan dan

kelangsungan kehidupan mereka, sangat menjadi perhatian Pemkot Solo dalam

melaksanakan setiap tahapan implementasi kebijakan tersebut. Bagaimana

15
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh dilaksanakan tanpa

mengakibatkan gejolak dan masalah serta perlawanan dari masyarakat sasaran

penerima dampak kebijakan dan seperti apakah proses dan tahapan implementasi

kebijakan penataan serta faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi

kebijakan tersebut sangat menarik untuk dikaji secara ilmiah dan melalui analisis

yang lebih rinci.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan rumusan masalah pokok :

Bagaimana kinerja implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh

di bantaran sungai Kali Pepe dalam rangka mengentaskan kawasan kumuh

di Kota Surakarta dilakukan tanpa ada gejolak? (Studi Kasus di Kelurahan

Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta).

Rumusan masalah pokok tersebut akan dijawab melalui pertanyaan penelitian

sebagai berikut :

1. Bagaimana implementasi program penataan permukiman kumuh di bantaran

sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan

Banjarsari Kota Surakarta?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh dalam implementasi program

penataan permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan

Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta?

16
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.3. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Mengidentifikasi implementasi program penataan permukiman kumuh di

bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon

Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam program penataan

permukiman kumuh di bantaran sungai Kali Pepe di Kelurahan Setabelan dan

Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta.

3. Menjadikan lesson learned praktek implementasi kebijakan penataan

permukiman kumuh di bantaran sungai.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat bagi berbagai pihak yang

terkait dan memiliki minat terhadap kajian tentang inovasi, partisipasi dan good

governance dalam sebuah kebijakan dan program pemerintahan dalam

pembangunan permukiman masyarakat di bantaran sungai dalam konteks

governance dan sinergi antar aktor pembangunan, lebih khususnya kepada :

1. Akademis, sebagai bahan masukan yang bermanfaat untuk mengembangkan

ilmu administrasi publik, terutama yang terkait dengan kajian mengenai

konsep governance dengan mensinergikan peran antara pemerintah, swasta

dan masyarakat dalam proses pencapaian kebijakan pemerintah yang

berkaitan dengan kepentingan publik.

17
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Pemerintah, penelitian ini bisa menjadi dokumen ilmiah tertulis yang bisa

digunakan sebagai salah satu dokumentasi program pembangunan

permukiman di bantaran sungai dan memberikan masukan dalam

pelaksanaan kebijakan yang mensinergikan antar aktor dan juga sebagai

lesson learned praktek implementasi kebijakan penataan permukiman kumuh

di bantaran sungai;

3. Masyarakat, memberikan gambaran umum tentang sebuah kebijakan dan

program pembangunan yang lebih memberikan porsi kepada masyarakat

sebagai pelaku utama dalam pelaksanaannya, tidak lagi hanya sebagi objek

atau kelompok sasaran dari sebuah kebijakan dan program pembangunan;

4. Swasta, organisasi masyarakat/komunitas, lembaga swadaya masyarakat;

memberikan gambaran umum dan contoh tindakan serta kegiatan yang bisa

mereka lakukan dalam membantu pelaksanaan kebijakan pemerintah dan

menjadi bagian dalam sinergisitas antar aktor dalam pembangunan.

18
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.5. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian terdahulu mengenai implementasi kebijakan permukiman

kumuh di Indonesia secara khusus antara lain sebagaimana tercantum dalam tabel

1.7 di bawah ini :

Tabel 1.7
Penelitian Terdahulu

Peneliti
Bentuk Judul Penelitian Hasil Penelitian
(Tahun)
Suryadi Tugas Implementasi Kebijakan a. Implementasi kebijakan
Lambali Akhir Permukiman Kumuh di dilaksanakan oleh masing-masing
(1997) Kotamadya Dati II instansi yang ada di Kotamadya
Ujung Pandang Dati II Ujung Pandang;
b. Pengaruh implementasi kebijakan
permukiman kumuh di Kotamadya
Dati II Ujung Pandang
dipengaruhi oleh faktor
komunikasi, sumber daya,
disposisi dan struktur birokrasi;
c. Faktor utama yang mempengaruhi
implementasi kebijakan
permukiman kumuh di Kotamadya
Dati II Ujung Pandang, yaitu :
 Faktor yang muncul dan
dimiliki masyarakat itu sendiri
seperti faktor budaya, sosial
dan ekonomi dan faktor
pendidikan
 Faktor yang datang dari
pemerintah dalam hal ini
adalah struktur birokrasi.
Zaini Musthofa Tugas Evaluasi Pelaksanaan - Relokasi yang dilakukan di
(2011) Akhir Program Relokasi Kelurahan Pucangsawit sudah sangat
Permukiman Kumuh berhasil dalam mencapai tujuan yang
(Studi Kasus : Program ditetapkan.
Relokasi Permukiman di - Relokasi juga berhasil dalam
Kelurahan Puacangsawit memberikan perubahan fisik
Kecamatan Jebres Kota permukiman yang lebih baik.
Surakarta) - Pada aspek ekonomi, relokasi
menimbulkan dampak yang buruk
terhadap kondisi ekonomi
masyarakat dan tidak berhasil dalam
meningkatkan ekonomi masyarakat.
- Pada aspek sosial, relokasi dinilai
berhasil dalam mempertahankan
kondisi sosial dan cenderung
mengalami peningkatan.

19
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Yudha P. Jurnal Penguatan Kemampuan Keberhasilan penguatan sosial pada


Heston dan Sosial pada Penataan penataan daerah kumuh perkotaan
Ahmad Yusuf Kawasan Kumuh sangat bergantung pada peningkatan
(2013) Perkotaan (Studi Kasus kapasitas governansi pemerintah dan
Kelurahan Cigugur komunitas masyarakat.
Tengah Cimahi)
Natalia Riza Jurnal Model Kebijakan - Keberadaan Kampung Code Utara
Putri Ayodiya Permukiman Kampung yang berada di tepi Sungai Code
(2013) Code Utara di Tepi sangat menguntungkan sekaligus
Sungai Code merugikan yaitu di satu sisi
masyarakat dapat memenuhi
kebutuhan air baku dan
mendapatkan lokasi permukiman
yang strategis, tapi di sisi lain
ekologis sungai terancam
kualitasnya terus memburuk dan
masyarakat beresiko terkena
bencana banjir yang dapat datang
sewaktu-waktu.
- Dengan mempertimbangkan kondisi
permukiman dan kelembagaan yang
ada, maka kebijakan permukiman
Kampung Code Utara yang perlu
diambil adalah dengan permukiman
kembali (relokasi) yang dilakukan
dengan penyediaan lahan dan
pembangunan rusun.
- Relokasi dapat dilakukan di wilayah
perkotaan sesuai preferensi
bermukim masyarakat Kampung
Code Utara. Masyarakat Kampung
Code Utara harus dibina secara
sosial, ekonomi dan budaya agar
masyarakat berdaya di lokasi
permukiman baru.
Imam Wahyudi Jurnal Kemitraan Pemerintah - Kemitraan antara Pemerintah Daerah
dan Asnawi Daerah dengan dengan masyarakat dapat dilihat
Manaf Masyarakat dalam pada tahap perencanaan partisipatif,
(2013) Kegiatan Penataan dialog komunikasi yang dilakukan,
Lingkungan tinjauan perencanaan dan kebijakan
Permukiman Berbasis di skala kota, dan kegiatan
Masyarakat di Jawa channeling pada tahap
Tengah pembangunan.
- Dalam pelaksanaannya,
keberpihakan Pemerintah Daerah
menjadi kunci sukses dari kegiatan
penataan lingkungan berbasis
masyarakat ini.
- Intervensi kegiatan telah mampu
menata lingkungan permukiman
yang kumuh menjadi lingkungan
yang tertata dan juga merubah
perilaku masyarakat untuk hidup
bersih. Intervensi kegiatan penataan
ini dapat terbentuk didasari oleh

20
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PROGRAM PENATAAN KAWASAN PERMUKIMAN KUMUH DI
BANTARAN SUNGAI KALI PEPE
(Studi Kasus di Kelurahan Setabelan dan Kelurahan Keprabon Kecamatan Banjarsari Kota
Surakarta)
NUGROHO DWI SAPUTRO
Universitas Gadjah Mada, 2016 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

adanya kemitraan yang terjalin


antara Pemerintah Daerah dan
masyarakat.
Aya Ismaya Thesis Implementasi Program - Ada beberapa variabel yang
(2014) Penataan Bantaran mempengaruhi proses implementasi
Sungai di Kawasan penataan bantaran sungai di kawasan
Jalan Brigjen Katamso jalan Brigjen Katamso, diantaranya
Kabupaten Sintang adalah kondisi sumber daya yang
kurang berkualitas, karakteristik
agen pelaksana yang belum
menonjol, kurangnya
sikap/kecenderungan (disposition)
para pelaksana serta belum adanya
komunikasi antar organisasi dan
aktivitas pelaksana yang baik serta
kondisi lingkungan fisik, sosial dan
ekonomi kawasan bantaran sungai di
jalan Brigjen Katamso.
- Variabel lain yang mempengaruhi
proses implementasi seperti kondisi
tim kerja, koordinasi dan interaksi
para pelaksana, keterlibatan pihak
swasta, komitmen pemerintah dan
juga kesadaran masyarakat akan
pentingnya penataan ruang.
- Pemerintah Kabupaten Sintang
terutama Dinas Pekerjaan Umum
perlu meningkatkan sumber daya
terutama sumber daya manusia dan
harus mempunyai komitmen dalam
menyelesaikan masalah penataan
ruang.
Zaini Musthofa Tugas Evaluasi Pelaksanaan - Relokasi yang dilakukan di
(2011) Akhir Program Relokasi Kelurahan Pucangsawit sudah sangat
Permukiman Kumuh berhasil dalam mencapai tujuan yang
(Studi Kasus : Program ditetapkan.
Relokasi Permukiman di - Relokasi juga berhasil dalam
Kelurahan Puacangsawit memberikan perubahan fisik
Kecamatan Jebres Kota permukiman yang lebih baik.
Surakarta) - Pada aspek ekonomi, relokasi
menimbulkan dampak yang buruk
terhadap kondisi ekonomi
masyarakat dan tidak berhasil dalam
meningkatkan ekonomi masyarakat.
- Pada aspek sosial, relokasi dinilai
berhasil dalam mempertahankan
kondisi sosial dan cenderung
mengalami peningkatan.

21

Anda mungkin juga menyukai