Anda di halaman 1dari 12

Sitti Rosyidah. Fakultas Teknik, Jurusan Arsitektur Universitas Haluoleo.

Sutriani, Fakultas Teknik, Jurusan


Arsitektur Universitas Islam Negeri Makassar. Volume 1 No. 2 Maret 2011. Unity Jurnal Arsitektur .ISSN
2086-5961
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan pola spasial dan karakteristik perumahan dan permukiman pada tepi
Danau Tempe dan menjelaskan faktor faktor penyebab dan yang mempengaruhinya.
Pendekatan secara deskriptif kualitatif dengan metode observasi, yakni mengobservasi keseluruhan area
pemukiman kemudian menentukan batas spasial kelompok rumah. Data dianalisis dengan referensi teori dan
kondisi yang memperkuat temuan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pola yang tercipta diantara rumah dan jalan adalah rumah
tumbuh mengelompok mengikuti jalan dengan orientasi rumah kejalan saling berhadapan dan kebelakang.
Pola rumah dengan sungai tumbuh memanjang atau linier mengikuti kondisi fisik lingkungan yang dibatasi oleh
sungai dan secara keseluruhan pola spasial perumahan dan permukiman di tepi danau membentuk pola
organis yang tumbuh semakain kebarat mendekati Danau Tempe. Faktor yang mempengaruhi pola tersebut
adalah alam (iklim), social lingkungan dan kondisi fisik lingkunganya.

Terdapat dua danau air tawar di Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Danau Tempe dan Danau
Sidenreng. Kedua Danau yang posisinya berhimpitan di tengah wilayah Provinsi Sulawesi Selatan
ini memiliki karakteristik yang sama, bersifat seperti rawa, meluap di musim penghujan dan
mengering di musim kemarau.
Maklum, hingga saat ini permukaan kedua danau tersebut terus mengalami ancaman sedimentasi
atau pendangkalan, terutama dari lumpur-lumpur yang setiap saat dibawa oleh puluhan sungai
besar dan kecil yang bermuara ke perut danau tersebut.
Jenis ikan
Danau Tempe yang kedalaman normalnya pernah mencapai 15 m, kondisinya kini sisa sekitar 8
meter. Bahkan pada musim kemarau, kedalaman tertinggi kurang dari 5 m.
Luas genangan normal Danau Tempe sekitar 20.000 ha. Akan tetapi akibat adanya sedimentasi, di
musim kemarau luas genangan menyusut hingga di bawah 1.000 ha. Sedangkan di musim
penghujan airnya meluap, menyatu dengan permukaan air Danau Sidenreng dengan luasan
melebihi 35.000 ha.

KASMIR
Bahkan dalam musim curah hujan cukup tinggi, luapan air Danau Tempe melebar hingga melebihi
luasan 40.000 ha, menggenangi tak hanya lahan pertanian tapi juga fasiltas umum berupa jalanan
dan wilayah pemukiman penduduk yang sudah terbilang berjauhan dari pesisir Danau Tempe
maupun Danau Sidenreng.
Dalam beberapa tahun belakangan, sejumlah pemukiman warga di tengah Kota Sengkang, ibukota
Kabupaten Wajo pun telah ikut digenangi luapan air Danau Tempe di musim penghujan. Demikian
pula dengan pemukiman warga di Kota Tanrutedong, ibukota Kecamatan Duapitue, Kabupaten
Sidenreng Rappang (Sidrap) harus pasrah menerima luapan air danau pada musim penghujan.
Luapan air Danau Tempe juga telah menjadi langganan tetap di musim penghujan menggenangi
Pasar Sentral Cabbenge serta pemukiman warga di Kecamatan Marioriwawo, Kabupaten Soppeng.
Berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah Provinsi Sulsel maupun pemerintah tiga kabupaten
yang bersentuhan dengan Danau Tempe dan Danau Sidenreng untuk mengatasi bahaya
pendangkalan yang terus mengancam kedua danau tersebut. Upaya terakhir yang dilakukan, mulai
tahun ini dibangun Bendung Gerak di wilayah Kabupaten Wajo.
Bendung ini dimaksudkan berfungsi sebagai pengendali air berasal dari semua sungai yang
bermuara ke Danau Tempe khususnya yang ada di Kabupaten Wajo. Melalui bendung tersebut
diharapkan kenormalan air danau dapat terjaga, tidak meluap di musim hujan atau mengering di
musim kemarau. Bendung ini akan menjadi alur semua air sungai yang tumpah ke Danau Tempe
dan Danau Sidenreng diarahkan ke Sungai Cenranae, sebagai satu-satunya saluran pembuangan
air danau yang bermuara ke Teluk Bone.
Selain itu, keberadaan Bendung Gerak yang merupakan bagian dari penjabaran Gerakan
Penyelamatan Danau Tempe yang dicanangkan Pemprov Sulsel beberapa waktu lalu, akan

menormalkan danau sebagai sumber andalan penghasil ikan air tawar di Sulsel. Ribuan kepala
keluarga di Kabupaten Wajo, Sidrap, dan Soppeng, sejak puluhan tahun hingga saat ini masih
menggantungkan hidup dari hasil tangkapan ikan air tawar di kedua danau tersebut.
Termasuk untuk menjaga keasrian serta kelestarian lingkungan Danau Tempe dan Danau
Sidenreng. Selain keindahan danau dengan kehidupan masyarakat nelayan yang khas sebagai
obyek wisata memesona, kedua danau air tawar ini dapat dikembangkan menjadi wilayah penelitian
dan pengembangan jenis burung dan ikan air tawar.
Di kawasan Danau Tempe maupun Danau Sidenreng terdapat kehidupan berjenis unggas atau
burung-burung air tawar yang setiap tahun terlihat berkembang-biak di antara tanaman-tanaman air
di pesisir dan permukaan danau. Setiap tahun masyarakat dapat menyaksikan adanya pergerakan
kawanan burung datang dan meninggalkan wilayah danau entah terbang ke arah mana.
Sejak lama masyarakat nelayan di sekitar danau mengenal berbagai jenis ikan tawar yang hidup
dan berkembang biak secara alami. Hanya saja, seiring dengan adanya pendangkalan di perut
danau banyak species yang kini sudah langka ditemukan. Misalnya ikan piawang dan oseng yang
sering dibuat lawa yaitu ikan yang dimakan mentah setelah dagingnya dimatangkan dengan
perasan air jeruk nipis.
Lelaki Nelayan di pesisir Danau Tempe dan Danau Sidenreng sejak dulu menyukai Lawa sebagai
lauk ampuh pemacu gairah kelelakian. Sayangnya sejumlah jenis ikan untuk bahan baku lawa
tersebut sudah langka. Seperti langkanya sejenis iguana biawak bersirip dengan warna-warni
indah yang dahulu diakui nelayan danau merupakan binatang yang banyak hidup berkembang biak
di pesisir danau.
Tercemarnya air sungai dengan bahan-bahan kimia yang mengalir masuk ke perut danau,
diperkirakan banyak pihak sebagai pemusnah berbagai jenis species kehidupan fauna maupun flora
air tawar di Danau Tempe dan Danau Sidenreng. Termasuk menjadi bagian dari penyebab
berkurangnya populasi ikan danau dari tahun ke tahun.
Upaya restocking atau penebaran bibit ikan yang menjadi kegiatan rutin pemerintah provinsi
maupun kabupaten setiap tahun, tentu akan menjadi sia-sia belaka tanpa diiringi upaya
penetralisiran limbah bahan buangan berbahaya yang bebas masuk ke perut danau seperti yang
terjadi sampai saat ini.

Menurut informasi rekan FB, Basri Andang dari Kabupaten Sidrap, saat ini Kasmir, salah seorang
nelayan pesisir Danau Sidenreng di Dusun Lasilottong Desa Mojong Kecamatan Watang SIdenreng,
Kabupaten Sidrap, sedang mengembangkan sejenis ikan danau yang bernilai ekonomis tinggi. Telah
dijajaki, jenis ikan ini sangat diminati di pasal lokal maupun untuk ekspor.
Dalam bahasa Bugis Sidrap, ikan tersebut disebut dengan nama Bale Lappuso. Atau secara umum
dikenal dengan nama ikan Betutu alias ikan Gabus Pemalas (Oxyeleotris marmorata). Ikan yang
pernah menjadi kekayaan alam Danau Sidenreng tersebut kini berupaya dikembangbiakkan kembali
melalui budidaya sistem keramba di pesisir danau.
Seperti jenis ikan Oseng dan Piawang, ikan Gabus Pemalas ini diakui oleh nelayan pesisir Danau
Sidenreng sebagai lauk yang cukup ampuh untuk pembangkit gairah kelelakian seseorang. Bahkan,
dagingnya yang putih serta empuk tak bertulang, disenangi para nelayan pesisir danau sejak dulu
lantaran diyakini berkhasiat membuat awet muda, dan berefek menghaluskan kulit.
Pengalaman yang kemudian diyakini nelayan setelah lama menyantap ikan Gabus Pemalas
tersebut, tak diragukan kebenarannya. Sebab ikan itu ternyata, berdasar kajian ilmiah banyak
mengandung vitamin B1, B2, B6 vitamin F, dan vitamin E yang dapat menghambat proses penuaan.
Kandungan protein yang mencapai 16 persen serta besarnya kandungan enzim serta hormon pada
ikan Gabus Pemalas, ada kaitan disebut sebagai ikan Pemacu Gairah oleh kalangan nelayan
pesisir Danau tempe dan Danau Sidenreng.
Kasmir bersama rekannya di Dusun Lasilottong Mojong saat ini sudah memiliki sekitar 500 ekor ikan
Gabus Pemalas yang dipelihara melalui sistem keramba. Bulan Pebruari 2011 ini direncanakan
akan ditambah menjadi 1500 ekor, melalui bibit ikan yang dicari di Danau Sidenreng. Suatu upaya
pelestarian ikan khas species danau yang patut dijempoli, dan bahkan perlu mendapat perhatian
bantuan pengembangan dari pemerintah.
Apalagi jenis ikan Gabus Pemalas tersebut, memang, kini memiliki nilai jual tinggi, termasuk di
pasaran internasional seperti di Malaysia dan China

Stimulus yang sama mungkin saja dipersepsikan berbeda bahkan berkebalikan oleh dua
orang, dalam waktu yang sama. Hal ini terjadi pada kawasan wisata di Bangsring, Kecamatan
Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur (Cahyaningrum, 2013). Pada tahun 1970-an,
kondisi laut di daerah Bangsring, di pinggir Selat Bali, sangat memprihatinkan. Terumbu karang
sebagai tempat berkembang biak ikan, telah rusak parah. Hal ini karena nelayan menggunakan
bom dan bahan kimia lainnya sebagai cara untuk menangkap ikan. Dampaknya adalah para
nelayan kesulitan menangkap ikan sehingga pendapatannya menurun. Salah seorang nelayan
telah menjadi pionir untuk menyelamatkan kawasan wisata itu dengan cara menanam terumbu
karang. Ia mempersepsikan bahwa terumbu karang harus dihidupkan kembali, sebagai salah
satu cara untuk menaikkan pendapatan dan strategi untuk menjaga lingkungan secara lebih
baik. Pionir itu bahkan bersedia menyumbangkan sebagain pendapatannya untuk kegiatan
restorasi lingkungan. Nelayan lain, mempersepsikan bahwa restorasi terumbu karang adalah
kegiatan yang menyita waktu sehingga pendapatannya berkurang.
Perbedaan persepsi tentang rusaknya terumbu karang, atau kondisi lingkungan hidup
buruk lainnya, telah menimbulkan perilaku yang berbeda juga. Satu perilaku lebih ke arah pro
lingkungan hidup, sedangkan perilaku lainnya tidak mempedulikan restorasi lingkungannya
bahkan justru merusaknya. Padahal di sisi lain restorasi lingkungan membutuhkan waktu jauh
lebih lama daripada waktu untuk merusaknya. Selain itu, situasi ekonomi keluarga tidak dapat
menunggu selesainya waktu restorasi lingkungan hidup. Oleh karena itu hampir semua orang
mempunyai persepsi untuk merusak lingkungan hidup demi mencukupi kebutuhan ekonomi.
Hanya segelintir orang saja yang mempunyai persepsi untuk merawat lingkungan hidupnya.
Perbedaan persepsi tentang kegawatan kondisi lingkungan hidup inilah yang sering menjadi
persoalan dalam masyarakat. Psikologi lingkungan dituntut untuk membantu menumbuhkan
persepsi pro lingkungan hidup di masyarakat.
Apa persepsi lingkungan hidup itu? Persepsi terhadap lingkungan hidup adalah cara-cara
individu memahami dan menerima stimulus lingkungan yang dihadapinya. Proses pemahaman
tersebut menjadi lebih mudah karena individu mengaitkan objek yang diamatinya dengan
pengalaman tertentu, dengan fungsi objek, dan dengan menciptakan makna-makna yang
terkandung dalam objek itu. Penciptaan makna-makna itu terkadang meluas, sesuai dengan
kebutuhan individu (Fisher, Bell, & Baum, 1984). Contoh dari persepsi itu ialah individu
mengamati sebuah pohon besar dengan batangnya yang besar dan daunnya rimbun. Persepsi
yang muncul adalah sebuah benda yang dapat menjadi peneduh yang menyenangkan, tempat
untuk pesta kebun, tempat untuk berpose bagi penganti yang senang dengan hal-hal yang
alami, atau bisa juga sebagai tempat yang mengerikan karena banyak hantunya. Pohon itu juga
bisa berfungsi penyumbang devisa negara dengan cara dijual, dan juga untuk kayu bakar.
Persoalan yang muncul dengan persepsi adalah manusia terlalu kreatif dalam
menciptakan persepsi berdasarkan manfaat. Dampaknya adalah keseimbangan ekologi
menjadi terguncang. Dampak yang segera muncul akibat terlalu kreatifnya manusia adalah

penggundulan hutan, banjir, serta keanekaragaman flora dan fauna turun. Kalau melihat
dampak yang mengerikan itu, maka sebenarnya bukan persepsi manusia yang terlalu kreatif,
tetapi persepsi manusia yang terlalu serakah. Manusia ingin memanfaatkan semua isi bumi
secepat-cepatnya tanpa memikirkan kebutuhan makhluk lainnya.
Bagaimana cara menjelaskan persepsi dalam bentuk skema? Berikut adalah skema
persepsi yang dikemukakan oleh Paul A. Bell dan kawan-kawan (dalam Sarwono, 1995).

Gambar 1. Skema persepsi


Gambar 1 menunjukkan bahwa individu menghadapi/mengamati dan ingin memahami
suatu objek fisik yang ada di lingkungannya. Objek fisik itu mempunyai sifat-sifat tertentu
misalnya pohon besar mempunyai sifat daunnya banyak dan batang kayunya besar (nyaman
untuk berteduh), buahnya banyak, enak dimakan dan tempat bergantung buah mudah
dijangkau (pohon itu memang menyenangkan). Individu juga mempunyai sifat, pengalaman,
pengetahuan, dan ketrampilan tertentu. Misalnya individu itu bersifat penyabar, pengalamannya
luas dan ia sering berada di tempat-tempat konservasi hutan karena profesi pekerjaannya. Ia
juga mempunyai ketrampilan merawat pohon karena semenjak kecil ia dilatih orangtuanya
untuk peduli pada lingkungan hidupnya. Oleh karena itu ia berpengalaman dalam bidang
konservasi hutan.
Kini, ia berhadapan dengan situasi baru yang mana banyak pohon besar tumbuh di
sekelilingnya. Untuk memahami lingkungan barunya, ia melakukan persepsi. Apabila
lingkungan barunya tersebut dipersepsikan hampir sama dengan tempat kerjanya yang lama,
maka penyesuaian dirinya berlangsung cepat dan mulus. Hal ini karena lingkungan barunya
tersebut dipersepsikan masih dalam batas-batas optimal. Dampaknya adalah keadaan individu
tetap kosntan dan stabil, atau disebut sebagai homeostatis. Dalam situasi homeostatis, individu
akan merasa nyaman dan ia akan berusaha untuk mempertahankan situasi itu.
Apabila situasi baru yang dihadapi individu ternyata sangat berbeda dengan situasi-situasi
yang pernah dialaminya (misalnya pohon yang dihadapinya terlalu besar), maka individu
mungkin akan mempersepsikan bahwa situasi baru itu di luar batas optimal. Menghadapi pohon

yang sangat besar membuatnya stress, sehingga ia berusaha untuk mengatasi stress tersebut
(coping behavior). Apabila usaha individu mengatasi stress itu sukses maka ia telah melakukan
adaptasi (penyesuaian diri, mengubah diri agar sesuai dengan lingkungan) atau melakukan
adjustment (mengubah lingkungan agar sesuai dengan dirinya). Contoh perilaku adaptasi itu
antara lain menjadikan pohon besar itu sebagai rumahnya karena batang pohon tu ada lubang
besarnya. Dampaknya individu menjadi nyaman berhadapan dengan pohon besar. Contoh
perilaku adjutment yaitu menggergaji ranting-ranting dahan agar tidak terlalu rimbun sehingga
situasi di sekeliling menjadi lebih terang, meskipun ia tidak perlu menebang pojon itu. Apabila
pengalaman berhasil mengatasi stress ini terjadi berulang-ulang, maka toleransi individu
terhadap kegagalan menjadi rendah. Ia berusaha keras agar terus berhasil. Individu juga
mengembangkan kemampuan untuk menghadapi stimulus-stimulus baru. Adjustment ini
merupakan tanda bahwa manusia tidak mau begitu saja tunduk pada gejala-gejala alam.
Apabila usaha individu dalam mengatasi stress ternyata gagal dan bila kegagalan itu
berulang kali terjadi, maka situasi itu merupakan kondisi bagi individu meyakinkan dirinya
bahwa ia memang orang yang tidak mampu. Istilah dalam psikologi yaitu learned
helplessness atau rasa tidak berdaya. Rasa tidak berdaya itu merupakan hasil belajar (Myers,
1994). Ini adalah salah satu bentuk dari gangguan mental serius. Sebagai ilustrasi, individu
berusaha untuk menggergaji pohon besar (stimulus) itu karena pohon itu menghalanginya. Oleh
karena gergaji yang dimilikinya hanya kecil saja, maka usaha memotong pohon besar itu gagal.
Kegagalan terus-menerus untuk menggusur pohon besar itu, membuat individu percaya bahwa
ia memang dilahirkan dengan kemampuan yang rendah dalam mengatasi hambatan lingkungan
hidup.
Dalam pembahasan tentang persepsi terhadap lingkungan hidup, hal yang paling penting
adalah coping behavior atau usaha-usaha individu untuk mengatasi stress akibat situasi
lingkungan hidup tidak nyaman. Pengetahuan tentang perilaku pengatasan stress ini penting
untuk berbagi pengalaman, sehingga kita semua mampu berpikir alternatif ketika menghadapi
kesuntukan akibat situasi lingkunga hidup di sekeliling tidak nyaman. Berikut adalah contohcontoh perilaku mengatasi stress pada lingkungan yang tidak nyaman.

Menunggu lampu merah di jalan pada siang hari yang terik dengan kendaraan sepeda
motor adalah situasi yang sangat tidak nyaman. Upaya yang dapat dilakukan antara lain
berteduh di balik bayangan bis besar, berteduh di pohon dekat lampu merah, dan
membayangkan minuman segar di rumah yang segera akan dihabiskan. Tiga perilaku yang
tidak disarankan antara lain membuka telepon genggam karena perilaku semacam ini sangat
rawan kejahatan, merokok karena abu rokok membahayakan keselamatan pengendara sepeda
motor yang ada di dekatnya, dan membunyikan klakson terus-menerus karena hal itu membuat
kebisingan dan menjengkelkan pengendara lainnya.

Menghadiri kuliah wajib pada siang hari, perut lapar, mata pelajaran tidak menarik, dan
dosennya juga menjemukan. Alternatif perilaku antara lain membuat gambar kartun sebagai
ilustrasi tulisan di blog / media massa, dan mempersiapkan materi pelajaran lain yang lebih
menarik. Tentu saja perilaku tersebut sifatnya personal, dan perlu adanya antisipasi sebelum
kuliah berlangsung. Adanya antisipasi maka individu dapat menyiapkan materi yang menarik
yang akan diselesaikan pada saat pelajaran yang membosankan itu berlangsung. Perilaku yang
tidak disarankan adalah membuka telepon genggam, karena perilaku itu tidak sopan dilakukan
pada saat kuliah berlangsung. Bahkan mungkin saja dosen akan marah / tersinggung bila
mahasiswa lebih memperhatikan isi telepon genggam daripada isi kuliah. Akan lebih sopan bila
mahasiswa meminta ijin keluar ruangan untuk keperluan menelepon. Alternatif lain dalam
menghadapi dosen yang menjemukan adalah dengan mempersepsikan bahwa keberadaan
dosen merupakan lahan untuk eksperimen perubahan perilaku (Shinta, 2012)

Menunggu dosen yang mempunyai hobi terlambat pada kampus yang kumuh dan kotor.
Upaya mengatasi stress antara lain segera menghubungi bagian tata usaha untuk memastikan
bahwa dosen datang untuk memberikan kuliah. Sambil duduk menanti kedatangannya,
mahasiswa dapat segera menyiapkan materi pelajaran yang kira-kira akan diberikan, meringkas
materi pelajaran yang terdahulu, dan merancang pertanyaan-pertanyaan yang akan
dikemukakan pada saat kuliah nanti. Perilaku yang tidak disarankan adalah menambah
kekumuhan kampus, karena halaman kampus bukan merupakan tong sampah yang besar.
Mungkin masih banyak situasi lingkungan hidup yang tidak menyenangkan, dan kita
harus berkutat dengan situasi itu. Persoalan yang penting adalah bagaimana memunculkan
kreativitas perilaku untuk mengatasi situasi yang tidak nyaman itu. Perilaku yang dipilih
hendaknya tidak melanggar peraturan, tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain, bahkan
menginspirasi orang lain untuk lebih peduli pada lingkungan hidup/ lingkungan sosial.
Diskusi tentang persepsi terhadap lingkungan sekeliling, tentu menimbulkan pertanyaan
mengapa persepsi orang-orang bisa berbeda-beda padahal stimulus yang dihadapinya sama.
Perbedaan persepsi ini terjadi karena ada lima faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan
persepsi yaitu budaya, status sosial ekonomi, usia, agama, dan interaksi antara peran gender,
desa/kota, dan suku (Sarwono, 1995).
Budaya kuat peranannya dalam mempengaruhi persepsi masyarakat. Sebagai contoh,
suku-suku Afrika primitif terbiasa dengan lingkungan alamiah yang mana banyak benda-benda
alamiah yang sifatnya melingkar-lingkar. Dampaknya adalah mereka tidak terpengaruh oleh
gejala ilusi Muller-Lyer. Hal ini berbeda dengan masyarakat perkotaan yang terbiasa dengan
benda-benda yang bentuknya kotak-kotak dan garis. Dampaknya masyarakat perkotaan
terpengaruh oleh gejala ilusi Muller-Lyer (Fisher et al., 1984; Sarwono, 1995).
Persepsi juga dipengaruhi oleh status sosial ekonomi (Sarwono, 1995). Penduduk yang
kurang beruntung keadaan ekonominya cenderung menggunakan air sungai Cikundul di Cianjur
Jawa Barat untuk kebutuhan mandi, mencuci dan memasak. Penduduk yang lebih beruntung
status sosial ekonomi, sebaliknya, mengambil air sungai Cikundul langsung dari sumbernya

dengan menggunakan pipa (Nurlia, 2006). Penelitian di Danau Tempe, sebaliknya, justru
menunjukkan hasil bahwa faktor status sosial ekonomi dan pendidikan tidak mempengaruhi
terbentuknya persepsi tentang perlunya konservasi danau (Dewi & Iwanuddin, 2005).
Usia juga berpengaruh terhadap pembentukan persepsi. Anak-anak mempersepsikan
seterika listrik dan pisau sebagai mainan, sedangkan orangtuanya mempersepsikan bendabenda itu berbahaya (Sarwono, 1995). Pada penelitian lain justru ditemukan bahwa usia tidak
mempengaruhi persepsi untuk konservasi danau. Penduduk usia muda dan tua di sekitar
Danau Tempe sama saja persepsinya tentang konservasi Danau Tempe di Sulawesi Selatan.
Tidak ada anggota masyarakat yang tergerak untuk melakukan konservasi Danau Tempe,
meskipun mereka mengetahui kerusakan danau dan manfaat danau dalam kehidupan seharihari (Dewi & Iwanuddin, 2005).
Agama juga berpengaruh terhadap terbentuknya persepsi terhdap lingkungan. Di
pesantren, warga perempuan cenderung duduk terpisah dengan warga laki-laki walaupun tidak
ada tulisan atau petunjuk tentang pemisahan tempat duduk ini (Sarwono, 1995). Di Bali,
penduduk beragama Hindu didorong untuk peduli dengan konervasi lingkungan hidup, karena
konservasi merupakan salah satu bentuk dari ibadah (Sridanti, 2012).
Interaksi peran gender, lokasi tempat tinggal (desa / kota), suku berpengaruh terhadap
terbentuknya persepsi. Hal ini terlihat pada Tabel di bawah ini:
Tabel 1. Persepsi tentang jumlah anak yang diinginkan
Suku

Desa
Perempuan

Jawa
Sunda
Minang
Batak
Tionghoa

Kota
Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

1,82
1,66
2,33
3,25

2,93
3,10
3,33
4,16

1,15
1,48
1,40
1,53

3,57
2,82
3,27
3,60

--

--

0,93

2,84

Sumber: Ancok, 1988 dalam Sarwono, 1995.


Tabel 1 menunjukkan bahwa laki-laki lebih suka mempunyai anak banyak dibanding
perempuan. Kecuali laki-laki Jawa dan Tionghoa, laki-laki suku Sunda, Minang, Batak di desa
lebih suka mempunyaia naka banyak daripada laki-laki kota. Mengapa terjadi perbedaan
persepsi tentang jumlah anak yang diharapkan antara perempuan dan laki-laki, antara
penduduk desa dan kota, antara suku Jawa dengan suku-suku lainnya?
Orang desa lebih suka mempunyai anak banyak daripada orang kota, mungkin karena
manfaat ekonomi. Orangtua di desa dapat memanfaatkan anak-anaknya sebagai tenaga kerja
di sawah. Orangtua di kota, cenderung menilai anak sebagai sektor yang membutuhkan biaya
sangat banyak, misalnya untuk biaya pendidikan. Perempuan lebih suka anak sedikit daripada
laki-laki mungkin karena perempuan merasa terbebani oleh tugas rumah tangga yang hampir
selalu dibebankan pada perempuan daripada laki-laki (Siregar, 2003).

Sekali lagi perlu ditekankan dalam tulisan ini bahwa persepsi terhadap lingkungan hidup
penting, sebagai salah satu dasar bagi munculnya perilaku yang lebih pro terhadap pelestarian
lingkungan hidup. Meskipun demikian, persepsi tidak selalu berkorelasi dengan perilaku. Hal ini
tercermin dari penelitian di Danau Tempe yang mana penduduk sekitar danau sudah menyadari
pentingnya konservasi danau, namun jarang ada penduduk yang bersedia terlibat dengan suka
rela melakukan konservasi danau (Dewi & Iwanuddin, 2005). Mungkin kita semua perlu berkaca
pada Ikhwan Arief, Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Samudera Bakti Desa Bangsring
Banyuwangi (Cahyaningrum, 2013). Ikhwan Arief bersedia mengkonservasi terumbu karang,
bahkan dengan dana dari kantongnya sendiri. Kita semua hendaknya perlu merenung bahwa
bumi seisinya ini adalah titipan anak cucu kita. Kita sebagai orangtua yang bertanggung jawab,
wajib mengembalikan bumi ini seisinya kepada anak cucu kita dalam kondisi yang jauh lebih
baik

Pengembangan wilayah tidak hanya terkait dengan upaya memaksimalkan potensi aspek fisik wilayah, tetapi
mampu mempertimbangkan potensi ekonomi, sosial dan budaya. Salah satu kawasan potensial di Provinsi
Sulawesi Selatan adalah kawasan Danau Tempe. Secara administratif wilayahnya di 3 kabupaten, yaitu
Kabupaten Wajo (54.6%), Kabupaten Sidrap (34.6%) dan Kabupaten Soppeng (10.7%) yang terdiri dari 11
kecamatan dan 125 desa/kelurahan. Selain memiliki potensi perikanan darat yang cukup besar, kawasan ini
juga memiliki potensi pengembangan sektor pertanian lahan pangan dan hortikultura. Kondisi sosial-budaya
masyarakat setempat menjadi hal yang menarik untuk dijadikan dasar dalam pengembangan kawasan.
Masyarakat lokal di kawasan tersebut memiliki sistem sosial dan kearifan lokal dalam memanfaatkan potensi
sumberdaya alam dan berkaitan erat dengan perkembangan peradaban etnis Bugis dengan berbagai
peninggalan budaya. Oleh karena itu, pemerintah Kabupaten Wajo menetapkan kawasan Danau Tempe
sebagai Kawasan Strategis untuk Kepentingan Sosial Budaya, Pemerintah Kabupaten Soppeng menetapkan
sebagai kawasan pariwisata dan Pemerintah Kabupaten Sidrap menetapkan sebagai kawasan pariwisata
budaya. Untuk mengembangkan kawasan Danau Tempe diperlukan kajian terkait aspek ekonomi, aspek sosial,
serta aspek kebijakan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan bentuk
kearifan lokal masyarakat di kawasan Danau Tempe yang dapat dipertimbangkan dalam pengembangan
kawasan, menganalisis komoditi pertanian yang menjadi komoditi unggulan di kawasan tersebut,
mengidentifikasi tingkat perkembangan desa/kelurahan di kawasan Danau Tempe, menganalisis prinsip-prinsip
kearifan lokal yang diakomodasi dalam rencana tata ruang wilayah dan menyusun arahan pengembangan
kawasan Danau Tempe dengan mempertimbangkan kearifan lokal. Metode penelitian yang digunakan untuk
menjawab pertanyaan penelitian yaitu Analisis Deskriptif-Kualitatif untuk mendeskripsikan kearifan lokal yang
dimiliki oleh masyarakat setempat, Analisis Nilai Penting dan Nilai Strategis untuk menentukan kelompok
pengembangan dari sumberdaya budaya di Kawasan Danau Tempe. Analisis LQ-SSA digunakan untuk
menganalisis komoditi unggulan, Analisis Skalogram untuk mengetahui tingkat perkembangan wilayah, Analisis
Isi untuk mengetahui sejauh mana prinsip-prinsip kearifan lokal diakomodasi dalam rencana tata ruang, dan
kompilasi dari beberapa anlisis untuk menentukan arahan pengembangan. Terdapat 7 komunitas tradisional
yang memiliki kekhasan dari aspek kearifan lokal, sehingga dapat dipertimbangkan dalam pengembangan
kawasan Danau Tempe yaitu; (1) komunitas nelayan pakkaja, (2) komunitas kepercayaan bugis kuno To
Lotang, (3) komunitas paggalung dengan tradisi pertanian tradisional, (4) komunitas pattenung yang
memproduksi tenun, (5) komunitas pallanro dengan kemampuan membuat senjata tradisional, (6) komunitas
Baalawiyah dengan perpaduan tradisi Bugis dan ajaran Islam serta (7) komunitas To Lise yang memiliki
kemampuan dalam kesusateraan. Kecamatan Tempe, Tellu Limpoe, Marioriawa dan Donri-donri memiliki
budaya dan kearifan lokal yang lebih beragam dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Komoditi unggulan
pertanian di kawasan Danau Tempe berdasarkan data tahun 2002 dan 2012 menunjukkan lebih dominan pada
subsektor perikanan dan peternakan. Komoditi unggulan pertanian tanaman pangan (padi dan jagung),
perkebunan (murbei), peternakan dan perikanan berkaitan dengan pengembangan ekonomi berbasis kearifan
lokal. Komunitas lokal memiliki tradisi yang khas dalam pengembangan komoditi pertanian tersebut. Sebagian
besar perdesaan di kawasan Danau Tempe mempunyai tingkat perkembangan yang rendah. Sekitar 13.6%
masuk dalam kategori hirarki I, 23.2% masuk dalam kategori hirarki II dan 63.2% masuk dalam hirarki III.
Desa/kelurahan yang teridentifikasi dengan hirarki I dapat diarahkan sebagai pusat pelayanan kawasan yaitu di
Kecamatan Maritengngae dan Tempe yang memiliki desa dengan hirarki I yang tinggi. Dokumen RTRW pada
ketiga kabupaten telah mengakomodir prinsip kearifan lokal. Aspek asimilasi merupakan aspek yang paling

dominan diakomodasi dalam RTRW ketiga kabupaten sedangkan Kabupaten Sidrap merupakan kabupaten
yang paling menonjol mengakomodasi aspek kearifan lokal dibandingkan dengan kabupaten lainya. Arahan
pengembangan kawasan Danau Tempe perlu mempertimbangkan potensi sosial budaya yang bersumber dari
aspek-aspek kearifan lokal yang dimiliki oleh 7 komunitas lokal. Pertimbangan tersebut diaplikasikan dalam
kebijakan penataan ruang, pengembangan usaha pertanian dan ekonomi kreatif, pengembangan permukiman,
pengembangan pusat pelayanan serta pengembangan pariwisata dan desa-desa budaya berbasis pada
perlindungan kebudayaan dan cagar situs budaya.

Akhir-akhir ini di Kecamatan Belawa Kabupaten Wajo sebagian masyarakatnya yang bermukin di pesisir danau
Tempe maupun warga dari liar Belawa melakukan penangkapan burung denganmemakai alat dari kaleng susu
atau sejenisnya dan di beri kipas atau dinamo mobil2lan, kalau alat ini di gunakan maka burung akan
diam ditempat (terhipnotis) karena ketakutan lalu kemudian dengan gampang ditangkap Ini sangat membuat kita
prihatin dan perlu perhatian dari pemerintah ,tokoh masyarakat dan warga lain yang peduli akan lingkungan kalau
tidak anak cucu kita kelak tidak akan melihat lagi burung yg namanya lawase, cawiwi (belibis) dll, secara langsung
penangkapan massal ini juga menggangu ekosistem di danau itu sendiri karena ada mata rantai kehidupan yang
terputus . saatnya kita peduli makhluk hidup untuk masa depan dan menjaganya dari kepunahan. (ikmb)

Anda mungkin juga menyukai