1. UMUM
1.1 Infrastruktur Umum dan Pihak Badan Usaha
diinginkan oleh masyarakat namun tidak atau kurang layak secara finansial sehingga
pemerintah harus membiayai pembangunannya. Pendekatan ini memang merupakan
sikap politik pemerintah untuk memajukan perkeretaapian di Indonesia dan tidak
harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kelayakan finansial dan aspek
komersial.
Model Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) modern awalnya berasal dari
Amerika Serikat, yaitu kerjasama pendanaan antara pihak pemerintah dan pihak
Badan Usaha untuk program pendidikan, dan berkembang di tahun 1950 pendanaan
untuk utilitas dan tahun 1960 untuk pembaharuan perkotaan. Perkembangan
berikutnya KPBU digunakan dalam sektor sukarela (nir-laba) seperti pendanaan
pemerintah untuk penelitian dan pengembangan pihak Badan Usaha di bidang
teknologi. Di dunia internasional, KPBU digunakan berkenaan dengan kerjasama
pemerintah, lembaga bantuan dan inisiatif Badan Usaha untuk memerangi penyakit
seperti AIDS dan malaria, mengenalkan perbaikan metode pertanian, atau
mempertimbangkan secara umum pengembangan ekonomi. Semuanya ini
menggambarkan sebagai KPBU ‘berdasarkan kebijakan’ atau ‘berdasarkan program’.
KPBU memiliki beberapa kata kunci, yaitu sebuah kontrak jangka panjang (kontrak)
antara pihak pemerintah dan pihak Badan Usaha; untuk perancangan, konstruksi,
pendanaan, dan operasi infrastruktur umum (fasilitas) oleh pihak Badan Usaha; pihak
Badan Usaha mempunyai hak pembayaran dari pengguna sampai masa berakhir
kontrak KPBU dalam penggoperasian fasilitas, pembayaran tersebut bisa diperoleh
dari pihak pemerintah atau pihak masyarakat umum sebagai pengguna fasilitas; dan
fasilitas akan berpindah kepemilikan dari pihak Badan Usaha ke pemerintah pada
akhir Kontrak KPBU.
KPBU meliputi suatu kontrak antara pihak pemerintah (sebagai pemegang otoritas
pelayanan masyarakat) dan pihak Badan Usaha, yang mana pihak Badan Usaha
menyediakan pelayanan atau proyek kemasyarakatan dan menanggung risiko
keuangan, teknis dan operasional dalam proyek. Dalam beberapa jenis KPBU, biaya
penggunaan pelayanan ditanggung hanya oleh pengguna pelayanan dan tidak oleh
pembayar pajak. Pada jenis lain (khususnya private finance initiative), modal
investasi ditanggung oleh pihak Badan Usaha berdasarkan kontrak dengan pemerintah
dan biaya pelayanan ditanggung seluruhnya atau sebagian oleh pemerintah.
Proyek KPBU dikatakan berhasil adalah bila pihak Badan Usaha/investor tertarik
untuk menginvestasikan dananya pada proyek KPBU tersebut. Menurut Perrot (2010)
dalam buku Private Sector Participation in Light Rail – Light Metro Transit
Initiatives, ada empat faktor pokok yang harus dipertimbangkan dalam
pengembangan kerangka proses KPBU dan perjanjian KPBU, yaitu Government
commitment to PPP agenda, Well-prepared PPP model and clear tender process,
Regulatory and legal framework, dan Fair risk allocation. Ke empat faktor pokok
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1. Langkah awal adalah komitmen pemerintah
terhadap agenda KPBU, yang memberikan jaminan kepada penyandang dana sampai
berakhirnya proyek KPBU tersebut. Skim perkeretaapian merupakan bagian integral
dari kebijakan transportasi pemerintah dan akan mensyaratkan dukungan tertentu
terhadap pengadaan investor untuk mengambil seluruh atau sebagian dari skim
perkeretaapian. Penyokong dari program KPBU adalah konsep alokasi risiko yang
adil, maksudnya adalah risiko-risiko dialokasikan ke semua pihak adalah terbaik, bisa
4
dikelola, dan bisa diterima. Kerangka kerja hukum dan perundangan menjadi penting
karena beberapa kesepakatan KPBU yang akan dikembangkan.
Government commitment to
PPP agenda
Government commitment to the
PPP project and procurement
scheme, as well as financial
support, is vital for success of the
LRMT project.
Model KPBU bermacam-macam mulai dari jangka pendek dan sederhana seperti
kontrak manajemen (dengan atau tanpa persyaratan investasi) hingga jangka panjang
dan sangat kompleks seperti BOT. Keanekaragaman model KPBU terutama
ditentukan oleh kepemilikan aset, tanggung jawab investasi, perkiraan risiko-risiko,
dan durasi kontrak. Model KPBU dapat diklasifikasikan dalam lima kategori utama,
yaitu Kontrak Suplai dan Manajemen, Turnkey Project, Sewa (Lease), Konsesi, dan
Kepemilikan Aset oleh Badan Usaha (ADB, 2008; Gehlot, 2008).
6
Kontrak Manajemen adalah rencana kontrak untuk sebagian atau seluruh manajemen
pemerintah oleh pihak Badan Usaha. Kontrak manajemen mengijinkan kemampuan
pihak Badan Usaha untuk merancang dan mengirimkan pelayanan, pengendalian
operasional, pengelolaan tenaga kerja dan pengadaan perlengkapan. Bagaimanapun,
pemerintah tetap memegang kepemilikan dari fasilitas dan perlengkapannya. Pihak
Badan Usaha bertanggungjawab terhadap hal-hal tertentu dan tidak menanggung
risiko. Pihak Badan Usaha dibayar untuk mengelola dan mengoperasikan pelayanan.
Umumnya, pembayaran didasarkan pada kinerja dan dengan durasi kontrak yang
pendek sekitar dua sampai lima tahun. Tetapi durasi yang lebih lama dapat dilakukan
untuk pengopersian yang kompleks seperti pelabuhan dan bandara. Beberapa turunan
kontrak manajemen meliputi kontrak pengadaan dan pelayanan, manajemen
pemeliharaan, dan manajemen operasional.
Bisa dicatat bahwa jika aset dilimpahkan ke pihak Badan Usaha di bawah perjanjian
sewa dibatasi pada pemanfaatan terhadap fungsi dan pelayanan tertentu, nilai aset
bergantung pada potensi penerimaannya. Jika aset dilimpahkan ke pihak Badan Usaha
tanpa pembatasan penggunaan, nilai aset dikaitkan dengan penggunaan optimum dari
aset dan penerimaan yang dapat ditimbulkan.
Yang dimaksud dengan Konsesi adalah dikenal juga dengan model ‘pengguna
membayar (user pays)’ yang mana pihak Badan Usaha (Pemegang Konsesi) diijinkan
mengambil pembayaran pelayanan dari masyarakat umum yang menggunakan
fasilitas. Pemegang Konsesi mendapatkan hak tertentu untuk membangun dan
mengoperasikan selama waktu yang disepakati (masa konsesi, antara 5 – 50 tahun).
Penilaian dan analisis risiko dan ketidakpastian adalah suatu prasyarat untuk
penentuan masa konsesi. Simulasi Monte Carlo adalah alat yang berguna untuk
mengukur ketidakpastian dan mempertimbangkan risiko konstruksi dan ekonomi,
meliputi biaya pengembangan proyek, waktu penyelesaian proyek, permintaan pasar
dan harga pelayanan proyek, biaya operasi dan pemeliharaan, besar diskonto, dan
besar inflasi (Zhang, 2006). Contohnya adalah pembayaran tol untuk penggunaan
jembatan, terowongan atau jalan. Tol yang diperoleh Pemegang Konsesi untuk biaya
pembangunan dan pengoperasian fasilitas yang biasa berakhir hingga masa konsesi.
Konsesi berkembang di Inggris pada abad ke-18 dan awal ke-19. Investor Badan
Usaha meminjamkan uangnya kepada para pemegang otoritas yang memperoleh
kepercayaan memperbaiki jalan-jalan dan membayar kembali pinjaman ini dari tol
yang dikenakan bagi pengguna fasilitas. Banyak jembatan-jembatan London didanai
oleh pihak Badan Usaha dengan kepercayaan yang sama hingga pertengahan abad ke-
19, dan pada akhir abad ke-19 Jembatan Broklyn di New York dibangun dengan dana
9
dari pihak Badan Usaha. Di Perancis, konstruksi kanal-kanal dengan modal pihak
Badan Usaha dimulai pada abad ke-17.
Peranan pemerintah dalam Konsesi adalah menetapkan kerangka kerja operasi dengan
Pemegang Konsesi (umumnya menurut Hukum Konsesi umum atau Konsesi tertentu)
dan mengatur secara rinci persyaratan untuk konstruksi dan operasi fasilitas
(umumnya melalui Perjanjian Konsesi yang disepakati antara Pemerintah dan
Pemegang Konsesi). Pihak pemerintah juga bisa membayar ke Pemegang Konsesi
sesuai dengan perjanjian untuk kondisi tertentu. Biasanya pembayaran oleh
pemerintah bisa dibutuhkan untuk membuat suatu proyek layak komersial dan/atau
mengurangi risiko komersial yang ditanggung oleh pihak Badan Usaha, dimana pihak
Badan Usaha tidak cukup percaya di awal masa konsesi. Ada dua jenis kontrak
konsesi, yaitu Franchise dan Build-Operate-Transfer (BOT).
Shareholders
Lenders Authority
Equity Return on
Contribution Investment
Concession
Debt Debt Fee
Servicing
Offtake
Purchase
Project Tariff Offtake
Operator Company Purchaser
Operation
Fees
Construction
Contractor Input Supplier
Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di bawah kontrak
KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau badan usaha
milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, memelihara, dan
mentransfer fasilitas KPBU (Delmon, 2005). Melalui Project Company, risiko-risiko
yang dinyatakan dalam perjanjian akan dilimpahkan ke subkontaktor. Pendanaan
untuk biaya modal proyek melalui pemegang saham dan hutang proyek dikelola oleh
Project Company.
Bentuk partisipasi kepemilikan aset oleh Badan Usaha, pihak Badan Usaha
bertanggungjawab untuk merancang, konstruksi, dan mengoperasikan fasilitas
infrastruktur. Dalam beberapa kasus pemerintah bisa melepaskan hak kepemilikan
aset ke pihak Badan Usaha. Ini beralasan bahwa oleh penggabungan perancangan,
13
Pada model Private Finance Initiative (PFI), pihak Badan Usaha sama dengan model
BOO membangun, memiliki dan mengoperasikan fasilitas. Akan tetapi, pemerintah
(tidak sama dengan pengguna dalam model BOO) membeli pelayanan dari pihak
Badan Usaha melalui perjanjian jangka panjang. Proyek PFI menanggung langsung
obligasi keuangan terhadap pemerintah dalam beberapa kejadian. Pada model PFI,
kepemilikan aset pada akhir periode kontrak belum tentu bisa dilimpahkan ke
pemerintah.
Model ini diumumkan pertama kali di Inggris pada tahun 1992 dengan tujuan
membawa dana masyarakat ke dalam infrastruktur umum. Model PFI
memperkenalkan konsep pembayaran oleh pemerintah. Pembayaran pada awalnya
dari pemerintah masih didasarkan pada penggunaan oleh pengemudi, melalui yang
dikatakan sebagai ‘Shadows Tolls’, misalnya jadwal pembayaran tetap oleh
pemerintah per pengemudi/km.
14
Pengembangan model PFI adalah penggunaan kontrak PFI untuk keterlibatan fasilitas
umum dimana risiko tidak dapat dipindahkan ke pihak Badan Usaha, seperti sekolah
dan rumah sakit. Dalam kasus-kasus ini struktur kontrak masih didasarkan pada PPA,
investor pihak Badan Usaha dibayar oleh pemerintah.
Gambar 2.4 memperlihatkan model PFI untuk proyek sekolah dan ada kemiripan
dengan PPA. Elemen-elemen kunci dalam struktur ini Project Company, A Design
and Build (D&B) Contract, A Soft Facilities Maintenace (FM) Contract, A Hard
Facilities Maintenance (FM) Contract, A Project Agreement, Arus uang setelah biaya
operasional.
Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di bawah kontrak
KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau badan usaha
milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas
KPBU. Melalui Project Company, risiko-risiko yang dinyatakan dalam perjanjian
15
A Project Agreement (nama standar untuk jenis kontrak PPP) dengan pemerintah.
Pihak Badan Usaha mendapat pembayaran dari pemerintah didasarkan pada
penggunaan fasilitas oleh masyarakat. Arus uang (yang diperoleh dari pembayaran
pemerintah) setelah biaya operasional, diutamakan untuk pembayaran FM Contract,
pertama-tama untuk hutang, dan kemudian membayar kepada investor melalui
distributor.
Pada bentuk ini Badan Usaha benar-benar membeli hak kepada perusahaan pemegang
hak. Akan tetapi, Badan Usaha kemungkinan diharuskan menerapkan pengelolaan
sesuai dengan perusahaan pemegang hak. Privatisasi yang sebenarnya meliputi
pelimpahan secara sah dari pemerintah ke Badan Usaha. Ini bisa terjadi apakah
melalui penjualan hak atau pemberian ijin penggunaan hak. Pelepasan aset
infrastruktur yang ada sangat tidak umum dilakukan. Akan tetapi, ada beberapa
contoh pelepasan hak sebagian.
PPA berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1980-an, merupakan bentuk kontrak
KPBU modern. PPA mulai setelah tahun 1987 Private Utility Regulatory Policies Act
(PURPA) yang mendorong listrik dapat dijual. PPA masuk ke Eropa awal tahun 1990,
dengan Badan Usahanisasi industri listrik Inggris. Ini mendorong pemisahan antara
perusahaan-perusahaan Badan Usaha yang meliputi dalam pembangkit energi dan
distribusi, dan pengembangan proyek energi untuk meningkatkan kompetisi dalam
16
pembangkit energi. Aspek utama dari PPA adalah investor dalam Project Company
yang membangun dan mengoperasikan stasiun energi. Project Company bertanggung
jawab terhadap kinerja operasi stasiun tenaga dan hanya menerima risiko terhadap
penyelesaian stasiun energi untuk waktu dan dana. Project Company tidak menerima
risiko pemakaian.
Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di bawah kontrak
KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau badan usaha
milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas
KPBU. Melalui Project Company, risiko-risiko yang dinyatakan dalam perjanjian
akan dilimpahkan ke subkontaktor, seperti biaya modal produksi dan biaya operasinya
(selain dari biaya bahan bakar). Pendanaan untuk biaya modal proyek melalui
pemegang saham dan hutang proyek dikelola oleh Project Company.
Menurut ADB (2008), KPBU dapat dibedakan bergantung pada sifat pengadaan,
alokasi risiko yang diinginkan, dan persyaratan investasi. Kontrak KPBU digolongkan
menjadi 5 kategori. Perbedaan dari 5 kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Badan Usaha kepemilikan infrastruktur bisa sepenuhnya dipegang oleh Badan Usaha,
dan pada kondisi tertentu bisa diserahkan ke pemerintah kepemilikannya.
Tabel 2.2 Perbedaan Bentuk Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha menurut
Asian Development Bank
No. Bentuk Karakteristik Durasi
KPBU
1 Service Kontrak sederhana antara, pihak Badan Usaha tidak 1–3
Contract mengoperasikan aset pemerintah tetapi hanya tahun
menyediakan pelayanan tertentu.
2 Management Pihak Badan Usaha mengoperasikan aset pemerintah, 3–5
Contract menerima biaya manajemen, jika ada pembagian risiko tahun
akan ada insentif pembagian keuntungan.
3 Lease Pihak Badan Usaha mengoperasikan aset pemerintah 8 – 15
dan menanggung risiko operasional. Pihak Badan Usaha tahun
19
Proyek Badan
Proyek Pemerintah
Usaha
Jenis Kontrak Pengadaan Pihak Franchise Design – Build – Build – Transfer – Build – Operate – Build – Own –
Pemerintah Finance – Operate Operate (BTO)** Transfer (BOT)*** Operate (BOO)
(DBFO)*
Konstruksi Pemerintah Pemerintah Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha
Operasi Pemerintah Pemerintah Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha
Kepemilikan Pemerintah Pemerintah Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha selama Badan Usaha
selama masa masa kontrak,
konstruksi, kemudian
kemudian Pemerintah
Pemerintah
Siapa yang bayar? Pemerintah Pengguna Pemerintah atau Pemerintah atau Pemerintah atau Badan Usaha
Pengguna Pengguna Pengguna diambil alih
Pemerintah
Siapa yang n/a Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha
dibayar?
* dikenal juga sebagai Design – Construct – Manage – Finance (DCMF) atau Design – Build – Finance – Maintain (DBFM)
** dikenal juga sebagai Build – Transfer – Lease (BTL), Build – Lease – Operate – Transfer (BLOT), atau Build – Lease – Transfer (BLT)
*** dikenal juga sebagai Build – Own – Operate – Transfer (BOOT)
Sumber: Yescombe, 2007
21
22
Sampai saat ini belum ada laporan standar untuk proyek KPBU. EIC merekomendasikan
bahwa laporan standar mengambil laporan ekonomi umum kontrak konsesi. Metode
laporan untuk depresiasi dan biaya pendanaan harus dihubungkan dengan profile arus
penerimaan.
Pandangan Badan Usaha sebagai pemegang konsesi mengambil peran dan implementasi
dari operasi proyek. Peranan ini sangat penting dalam penanganan yang efisien dari
pelayanan masyarakat tertentu sejak pemegang konsesi mengambil alih tanggung jawab
otoritas. Pihak Badan Usaha memegang tanggung jawab untuk implementasi dan operasi
pelayana masyarakat melalui perusahaan konsesi. Perusahaan konsesi sebaiknya berbagi
tanggung jawab melalui kontraktor, pemberi pelayanan, dan penyedia.
Partisipasi pihak Badan Usaha akan bergantung pada hasil penilaian ini. Utamanya, mitra
Badan Usaha menghendaki terpenuhnya sejumlah kondisi yang ada, yaitu kerangka
hukum yang stabil dan transparan; bebas hambatan diskriminasi (distorsi pasar, beban
pajak yang merugikan, persyaratan kualifikasi yang bersifat membedakan, pembatasan
gerak modal dan investasi asing, pilihan lokal dalam komposisi tenaga kerja); prosedur
untuk seleksi yang operasional, rinci, transparan, dan tidak diskiminatif; identifikasi dan
alokasi risiko-risiko antar mitra dinyatakan secara jelas; ketegasan kelangsungan finansial
proyek yang meliputi estimasi lalu lintas yang wajar, tarif pengguna yang dapat diterima,
dana pemerintah; ketetapan jaminan kompensasi dari pemerintah dan pinalti pihak Badan
23
Usaha yang tercantum dalam kontrak; lembaga sistem penyelesaian perselisihan yang
cepat berdasarkan pada mekanisme arbitrase internasional.
Keberhasilan proyek KPBU bergantung pada penilaian seksama dan objektif dari
parameter ekonomi, finansial dan teknis dalam kerangka transparan dan proses tender
kompetitif. Salah satu kendala yang dihadapi proyek KPBU infrastruktur, sehingga tidak
dapat terselenggara sebagaimana yang diharapkan, adalah gagalnya proyek mencapai
financial closure dengan pihak kreditor. Investor tidak dapat memenuhi pembiayaan yang
besar dari modal ekuitas sendiri, investor harus mendapatkan utang (debt) dari pihak lain,
umumnya dari pihak perbankan. Banyak faktor yang mempengaruhi terhadap atraktivitas
proyek untuk dapat didanai dengan utang. Menurut Pusat Kajian (2009), ada 53 faktor
yang berpengaruh dan dikelompokkan menjadi 6 kategori, yang meliputi kontraktual
proyek, konstruksi dan operasi, daya saing proyek, kredibilitas pihak mitra, kerangka
peraturan perundangan, dan kelayakan proyek didanani dengan utang. Secara rinci faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Faktor Berpengaruh pada Atraktivitas Proyek Didanai Dengan Utang
No. Faktor Berpengaruh
A. Kontraktual Proyek
A.1 Kontrak Proyek KPBU memberikan jaminan kepada kreditor menyangkut berbagai hal terkait
dengan kontrak (misal, bila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak)
A.2 Adanya trustee atau offshore untuk cross-border debt
A.3 Adanya kontrol yang ketat terhadap cashflow
A.4 Proyek KPBU memiliki long-term concession atau offtake agreement yang menjamin predictable
revenues yang mampu meng-cover fixed payments dan variable costs
A.5 Pendapatan Proyek KPBU sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar, laju inflasi, dan risiko pasar
(market risk)
A.6 Proyek KPBU memiliki kontrak pasokan (supply contract) yang memadai
A.7 Proyek KPBU mengalami ketidaksesuaian biaya/pendapatan (cost/revenue mismatch) yang
signifikan
A.8 Tarif yang dikenakan ke konsumen (direct fee payment) sangat sensitif secara politis
A.9 Kontrak KPBU mudah diterminasi (dibatalkan) sepihak
A.10 Kontrak KPBU menjelaskan secara detail tentang persyaratan yang harus dipenuhi saat
perselisihan sedang diselesaikan
A.11 Kontrak Proyek KPBU didesain secara memadai, tidak terjadi ambigu, konsisten, dan tidak samar
(vague)
A.12 Pemerintah memberikan dukungan (support) yang nyata ke Proyek KPBU
A.13 Adanya klausul step-in yang jelas bagi pihak kreditor saat Proyek KPBU melakukan wanprestasi
pembayaran utang yang mengakibatkan Proyek KPBU harus dinyatakan bangkrut
A.14 Tersedianya formulasi tarif yang jelas dan tegas dalam Kontrak KPBU
24
Tabel 2.4 Faktor Berpengaruh pada Atraktivitas Proyek Didanai Dengan Utang (lanjutan)
No. Faktor Berpengaruh
A.15 Tarif harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum dikenakan kepada pengguna meski sudah
diatur dalam Kontrak
A.16 Identifikasi dan alokasi risiko dalam kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha
dinyatakan dengan jelas
B. Konstruksi dan Operasi
B.1 Proyek KPBU dilengkapi dengan detailed engineering design (DED) yang memadai
B.2 Proyek KPBU memiliki fixed-price contract dengan kontraktor yang ditunjuk
B.3 Proyek KPBU memiliki jadwal penyelesaian proyek yang jelas
B.4 Kontrak mengatur secara tegas pasal-pasal bilamana kontraktor melakukan wanprestasi yang
menyebabkan proyek KPBU mengalami keterlambatan (liquidated damage clauses)
B.5 Masalah pengadaan lahan yang belum diselesaikan
B.6 Isu perijinan Proyek KPBU yang sangat kompleks
B.7 Pengalaman kontraktor yang ditunjuk oleh Sponsor Proyek KPBU
B.8 Adanya jaminan penyelesaian (completion guarantee) dari Sponsor Proyek
B.9 Proyek KPBU menggunakan teknologi baru yang belum terbuki (unproven technology)
A.10 Kontrak KPBU menjelaskan secara detail tentang persyaratan yang harus dipenuhi saat
perselisihan sedang diselesaikan
A.11 Kontrak Proyek KPBU didesain secara memadai, tidak terjadi ambigu, konsisten, dan tidak samar
(vague)
A.12 Pemerintah memberikan dukungan (support) yang nyata ke Proyek KPBU
A.13 Adanya klausul step-in yang jelas bagi pihak kreditor saat Proyek KPBU melakukan wanprestasi
pembayaran utang yang mengakibatkan Proyek KPBU harus dinyatakan bangkrut
A.14 Tersedianya formulasi tarif yang jelas dan tegas dalam Kontrak KPBU
A.15 Tarif harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum dikenakan kepada pengguna meski sudah
diatur dalam Kontrak
A.16 Identifikasi dan alokasi risiko dalam kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha
dinyatakan dengan jelas
B. Konstruksi dan Operasi
B.1 Proyek KPBU dilengkapi dengan detailed engineering design (DED) yang memadai
B.2 Proyek KPBU memiliki fixed-price contract dengan kontraktor yang ditunjuk
B.3 Proyek KPBU memiliki jadwal penyelesaian proyek yang jelas
B.4 Kontrak mengatur secara tegas pasal-pasal bilamana kontraktor melakukan wanprestasi yang
menyebabkan proyek KPBU mengalami keterlambatan (liquidated damage clauses)
B.5 Masalah pengadaan lahan yang belum diselesaikan
B.6 Isu perijinan Proyek KPBU yang sangat kompleks
B.7 Pengalaman kontraktor yang ditunjuk oleh Sponsor Proyek KPBU
B.8 Adanya jaminan penyelesaian (completion guarantee) dari Sponsor Proyek
B.9 Proyek KPBU menggunakan teknologi baru yang belum terbuki (unproven technology)
B.10 Proyek KPBU memiliki kontrak operasi/pemeliharaan yang memadai, termasuk pasal-pasal
bilamana operator tidak mampu menyediakan kualitas layanan sebagaimana ditentukan dalam
kontrak
B.11 Penganggaran dan penjadwalan Proyek KPBU yang masuk akal (reasonable)
B.12 Adanya independent engineer (IE) yang qualified untuk memberikan penilaian kinerja Proyek
KPBU secara objektif
B.13 Kontrak Konstruksi yang memadai
B.14 Pemilihan negara tempat legal jurisdiction bila terjadi perselisihan (dispute)
25
Tabel 2.4 Faktor Berpengaruh pada Atraktivitas Proyek Didanai Dengan Utang (lanjutan)
No. Faktor Berpengaruh
B.15 Tersedia trustee arrangement
C. Daya Saing Proyek (Competitiveness)
C.1 Proyek KPBU memiliki biaya produksi yang relatif rendahi bila dibandingkan terhadap proyek-
proyek lain sejenis
C.2 Proyek KPBU memiliki competitive advantages dari sisi lokasi, teknologi, dan know-how
C.3 Volume permintaan (demand) yang menentukan pendapatan (revenue) tidak meragukan
C.4 Perkiraan pasar jangka panjang (long-term market outlook) yang tidak meragukan
D. Kredibilitas Pihak Mitra (Counterparty)
D.1 Pihak Mitra (counterparty), termasuk mitra dari Sponsor, pembiayaan, dan servis sangat kredibel
D.2 Adanya jaminan pembayaran utang (debt payment guarantee) dari Pihak Mitra
D.3 Adanya jaminan pendapatan (revenue guarantee) dari Pihak Mitra
D.4 Bila Pemerintah menjadi Pihak Mitra, keseriusan dan ketaatan Pemerintah dalam melaksanakan
kewajiban kontraktual tidak diragukan
E. Kerangka Peraturan Perundangan (Legal and Regulatory Framework)
E.1 Secara umum, terdapat kerangka peraturan perundangan yang komprehensif
E.2 Intervensi Pemerintah yang besar dalam penyelenggaraan Proyek KPBU
E.3 Terdapat kesinambungan (sustainability) kebijakan pemerintah yang baru; pergantian
kepemerintahan berarti tidak terjadi pergantian kebijakan yang signifikan
E.4 Kesinkronan peraturan pusat dengan peraturan-peraturan daerah
F. Kelayakan Proyek Didanai (Bankability)
F.1 Adanya intercreditor arrangement (bila Proyek KPBU didanai oleh banyak kreditor)
F.2 Dokumentasi pendanaan yang memadai
F.3 Ketersediaan model finansial (financial model) yang memadai dan tidak terjadi konflik dengan
dokumentasi Proyek KPBU
F.4 Dengan jumlah modal (ekuitas), Proyek KPBU dianggap memiliki Minimum DSCR (debt service
coverage ratio) yang memenuhi persyaratan
F.5 Dengan jumlah modal (ekuitas), Proyek KPBU dianggap memiliki Average DSCR (debt service
coverage ratio) yang memenuhi persyaratan
F.6 Suku bunga, inflasi dan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kemampuan Proyek KPBU
membayar kewajiban utang
F.7 Adanya fleksibilitas finansial
F.8 Adanya batasan tentang subordinated debt (junior debt)
F.9 Subordinated debt holder memiliki enforceable rights sebagaimana layaknya senior creditor
F.10 Adanya duration mismatch di mana pendanaan proyek-proyek infrastruktur pada umumnya
berjangka panjang (long-term) sementara sumber pembiayaan perbankan berjangka pendek (short-
term)
Sumber: Pusat Kajian Kerjasama dan Pelayanan Jasa Transportasi, 2009
Proyek kerja sama dapat diprakarsai oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah atau
Badan Usaha. Proyek kerja sama yang diprakarsai oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah mempertimbangkan paling kurang sebagai berikut kesesuaian dengan rencana
pembangunan jangka menengah nasional/daerah dan rencana strategis sektor
infrastruktur, kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, keterkaitan
antar sektor infrastruktur dan antar wilayah, dan analisa biaya dan manfaat sosial proyek
kerja sama yang diprakarsai oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah harus disertai
dengan pra studi kelayakan, rencana bentuk kerjasama, rencana pembiayaan proyek dan
sumber dananya, dan rencana penawaran kerjasama yang mencakup jadwal, proses dan
cara penilaian. Proyek kerja sama yang diprakarsai oleh badan usaha harus memenuhi
kriteria sebagai berikut tidak termasuk dalam rencana induk pada sektor yang
bersangkutan, terintegrasikan secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang
bersangkutan, layak secara ekonomi dan finansial, dan tidak memerlukan dukungan
pemerintah yang berbentuk kontribusi fiskal. Proyek kerja sama yang diprakarsai oleh
badan usaha wajib dilengkapi dengan studi kelayakan, rencana bentuk kerjasama, rencana
pembiayaan proyek dan sumber dananya, dan rencana penawaran kerjasama yang
mencakup jadwal, proses dan cara penilaian. Proyek kerja sama atas prakarsa badan
usaha yang diterima oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah akan diberi
kompensasi berupa pemberian tambahan nilai paling banyak 10% dari nilai tender
pemrakarsa, pemberian hak untuk melakukan penawaran oleh Badan Usaha pemrakarsa
terhadap penawar terbaik (right to match) sesuai dengan hasil penilaian dalam proses
pelelangan, pembelian prakarsa proyek kerjasama termasuk hak kekayaan intelektual
yang menyertainya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah atau oleh pemenang
tender atas biaya yang telah dikeluarkan oleh badan usaha pemrakarsa. Badan usaha
pemrakarsa yang mendapat kompensasi berupa pemberian tambahan nilai dan pemberian
hak untuk melakukan penawaran wajib mengikut penawaran, sedangkan untuk yang
berupa pembelian prakarsa proyek kerja sama tidak diperkenankan mengikuti penawaran.
29
Menteri Keuangan adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
keuangan dan kekayaan negara. Unit Pengelola Risiko Fiskal adalah salah satu unit di
lingkungan Badan Kebijakan Fiskal yang mempunyai tugas melaksanakan perumusan
30
rekomendasi, analisis, evaluasi, dan pengelolaan risiko ekonomi global, BUMN, dan
dukungan pemerintah. Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) adalah Badan
Usaha yang didirikan oleh pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan
Penjaminan Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk
Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) adalah Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah, atau BUMN/BUMD dalam hal berdasarkan peraturan perundang-undangan,
penyediaan infrastruktur diselenggarakan atau dilaksanakan BUMN/BUMD. Unit
Manajemen Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama adalah suatu unit yang dibentuk oleh
PJPK dengan tugas menyiapkan dan menyusun rencana serta melaksanakan manajemen
pelaksanaan Perjanjian Kerjasama. Badan Usaha adalah badan usaha sebagaimana
dimaksudkan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, badan usaha Badan Usaha yang
berbentuk perseroaan terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), dan Koperasi. Konsultan adalah suatu lembaga di luar pemerintahan
(independen) yang membantu PJPK dalam perencanaan, penyiapan, transaksi Proyek
Kerjasama serta pengawasan dan pengendalian Perjanjian Kerjasama. Lembaga
Keuangan Multilateral adalah lembaga keuangan yang dibentuk dari beberapa negara.
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2007, pihak investor Badan Usaha didorong untuk lebih
luas berperan dalam penyelenggaraan perkeretaapian. Peran pihak Badan Usaha dapat
dengan cara menyediakan dana untuk penyelenggaraan perkeretaapian atau kemampuan
dalam mengelola secara komersial untuk mengembangkan skope dan kualitas pelayanan
kereta api. Menurut Australia Indonesia Partnership (2010) dalam Railway Master Plan
Study Consolidated Report: Draft Final National Railway Master Plan, secara garis besar
ada tiga pengembangan yang perlu dipertimbangkan, yaitu perbaikan jalan rel yang saat
ini di bawah pengelolaan PT Kereta Api (Persero), meliputi jalur Jawa, Sumatera Utara,
dan Sumatera Barat, jalur rel baru yang diharapkan terutama untuk pengembangan
31
tambang baru di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, jalan rel sub-nasional konsisten
dengan kebutuhan lokal dan kebijakan konstitusi daripada peralihan perubahan
pemerintahan.
Investasi pihak Badan Usaha dalam PT Kereta Api (Persero) untuk jalur utama Jawa dan
Sumatera dapat diterima, tetapi sedikitnya 51% saham dimiliki oleh pemerintah melalui
investasi modal langsung. Dengan adanya pemisahan infrastruktur, PT Kereta Api
(Persero) hanya menjadi operator jalan rel. Kementrian Badan Usaha Milik Negara harus
mempertimbangkan status PT Kereta Api (Persero) dan melimpahkan kepemilikan utama
ke pihak Badan Usaha.
Proyek jalan rel sub-nasional menawarkan beberapa potensi kesempatan untuk pihak
Badan Usaha berperan serta dalam pendanaan. Proyek jalan rel sub-nasional dapat berupa
pengembangan jalan rel perkotaan atau yang bersifat komuter. Infrastruktur mungkin
sekali seluruhnya didanai oleh pemerintah, sedangkan operasi jalan rel bisa dikontrakkan
atau dikonsesikan ke pihak Badan Usaha. Dukungan kesepakatan PSO (Public Service
Obligation) dan biaya yang diperkirakan, akan memberikan iklim yang baik untuk
berinvestasi sarana kereta api dan aset lainnya oleh pihak Badan Usaha.
Lembaga-lembaga yang terlibat dalam KPBU terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
Lembaga Regulasi Pemerintah dan Operator Jalan Rel. Lembaga Regulasi Pemerintah
32
Operator jalan rel terbesar adalah PT Kereta Api (Persero) yang memiliki lokomotif dan
gerbong, organisasi pemasaran, staf terlatih secara khusus dan luas dengan beberapa
kemampuan (enjiner, masinis, mesin, kepala stasiun, dll.). Dengan banyak kemampuan
33
ini melengkapi PT Kereta Api (Persero) dengan sejumlah strategi untuk bertumbuh.
Bagaimanapun, setelah periode transisi, PT Kereta Api (Persero) harus mengembangkan
struktur organisasi operasional yang baru, salah satunya dengan suatu unit bisnis
infrastruktur, dan paling sedikit sebagai unit bisnis operasi jalan rel. Unit ini bisa
memisahkan unit bisnis perancangan, konstruksi dan pemeliharaan infrastruktur untuk
menjual pelayanan ini ke operator Badan Usaha lainnya. Perusahaan operasi lainnya bisa
menyediakan pelayanan khusus, misalnya melayani kontainer antara water port dan dry
port atau lokasi lain, komunitas lokal bisa menyediakan pelayanan khusus untuk kereta
suburban, perusahaan tambang bisa membentuk perusahaan operasi jalan rel berlisensi
agar lebih ketat pelayanan kereta terintegrasi. Perusahaan Penyewa Perlengkapan bisa
lebih membuka pasar untuk perlengakapan jalan rel. Perusahaan penyewa tidak
mewajibkan lisensi khusus jika mereka mebeli gerbong yang memenuhi standar
pemerintah dan asosiasi industri dan menggunakan operator berlisensi untuk
menyediakan pelayanan pemeliharaan dan perbaikan.
Hukum Indonesia mengijinkan jalan rel dikelola oleh perusahaan rel Badan Usaha.
Perusahaan rel Badan Usaha bisa mengusulkan untuk membangun jalan rel untuk
melayani operasi pengangkutan tunggal, misalnya tambang atau perusahaan mineral. Ada
dua tipe perusahaan rel Badan Usaha, yaitu tipe dirancang untuk operasi komersial
tertentu (hanya untuk memenuhi kebutuhan memindahkan produk dari satu titik ke titik
lainnya). Produk tersebut misalnya batu bara atau mineral lainnya dari tambang ke
pelabuhan. Tipe ini tidak melayani masyarakat umum atau angkutan lainnya, dan
kenyataannya dilarang untuk melayani angkutan lainnya.
Beberapa operasi jalan rel menerima penambahan lalu lintas angkutan lainnya, untuk
membantu membiayai pengembalian biaya konstruksi dan biaya tetap lainnya. Jalan rel
seperti ini memiliki nilai ekonomi yang lebih baik dan lalu lintas lebih banyak dapat
diangkut. Dengan volume lalu lintas dari berbagai pengangkut, kemudian memberikan
kondisi lebih baik karena angkutan lainnya tersebut membantu untuk membayar biaya
investasi awal. Karakteristik ini dinamakan multi purpose railway.
34
3. RISIKO
3.1 Definisi Risiko
Risiko adalah sebuah ukuran dari probabilitas dan konsekuensi ketidaktercapaian suatu
tujuan proyek yang telah ditetapkan. Secara konsep, risiko dapat didefinisikan sebagai
fungsi dari ketidakpastian dan kerugian. Risiko meningkat seiring dengan ketidakpastian
dan kerugian (Kerzner, 1995).
Elemen lainnya dari risiko adalah penyebab risiko, yaitu bahaya dan usaha perlindungan.
Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut
Semakin besarnya bahaya akan semakin besar pula risiko yang harus ditanggung, tetapi
dengan semakin meningkatnya usaha perlindungan akan semakin kecil risiko yang harus
ditanggung. Impilkasi dari persamaan tersebut adalah bahwa manajemen proyek yang
baik akan disusun dengan mengidentifikasi bahaya dan mengijinkan usaha perlindungan
dikembangkan. Jika usaha perlindungan cukup tersedia akan mengurangi risiko sampai
ke tingkat yang dapat diterima.
Manajemen risiko adalah cara teratur dalam mengidentifikasi dan mengukur risiko dan
mengembangkan, memilih, dan mengelola pilihan-pilihan untuk menangani risiko-risiko
ini. Beberapa perangkat yang tersedia untuk membantu proyek dalam mengelola risiko di
wilayah teknis, memberikan sinyal bahaya yang bisa mengindikasi bahwa proyek sudah
berjalan di luar lajur, dan memprioritaskan tindakan-tindakan koreksi yang diperlukan
(Kerzner, 1995).
Pengambilan keputusan biasanya ditentukan dalam tiga kategori, yaitu kepastian, risiko,
dan ketidakpastian. Pengambilan keputusan atas dasar kepastian adalah kasus yang
terbaik dan termudah melakukannya. Dengan kepastian, diasumsikan bahwa seluruh
informasi yang dibutuhkan tersedia dan membantu dalam pengambilan keputusan yang
benar dan dapat memprediksi keluaran yang diharapkan dengan tingkat kepercayaan 100
persen. Potensi kegagalan proyek meningkat sejalan dengan kepastian, risiko, dan
ketidakpastian.
Pengambilan keputusan atas dasar risiko biasanya memiliki beberapa strategi dan setiap
strategi tidak bersifat yang dominan. Pada situasi nyata, keuntungan yang tinggi disertai
dengan risiko yang tinggi dan kehilangan probabilitas yang tinggi juga. Ketika tidak ada
strategi yang dominan, maka probabilitas harus diberikan pada kejadian setiap pilihan.
36
Menurut PMBOK, risiko adalah dampak total dari keluaran yang dapat digambarkan
dengan menetapkan batas kepercayaan (misalnya distribusi prababilitas). Distribusi
probabilitas ini diperoleh dari distribusi pengalaman yang didefinisikan dengan baik.
Perbedaaan antara risiko dan ketidakpastian adalah risiko ditujukan dengan probabilitas
sedangkan ketidakpastian memahami tentang probabilitas tidak ada. Sebagaimana
dengan pengambilan keputusan atas dasar risiko, pengambilan keputusan atas dasar
ketidakpastian juga tidak memiliki strategi yang dominan. Pengambil keputusan memiliki
empat kriteria dasar penyelesaian yang bergantung pada jenis proyek maupun toleransi
manajer proyek terhadap risiko, yaitu kriteria Hurweiz, kriteria Wald, kriteria Savage, dan
kriteria Laplace (Kerzner, 1995).
Kriteria pertama adalah kriteria Hurweiz, sering berhubungan dengan kriteria maksimaks.
Menurut kriteria Hurweiz, pengambil keputusan selalu optimis dan mencoba
memaksimumkan keuntungan dengan go-for-broke strategy. Kriteria maksimum
mengatakan bahwa pengambil keputusan akan selalu mengambil strategi yang
keuntungannya maksimum. Kriteria Hurweiz dapat diterapkan pada perusahaan besar
dengan aset yang kuat. Perusahaan kecil lebih tepat menggunakan kriteria Wald atau
kriteria maksimin. Pengambil keputusan memperhatikan terhadap berapa besar yang dia
dapat usahakan untuk kegagalan. Dalam kriteria ini, posisi pesimis diambil daripada
posisi optimis dengan pokok penting meminimumkan kegagalan maksimum. Kriteria
ketiga adalah kriteria Savage atau kriteria minimaks. Menurut kriteria ini, diasumsikan
bahwa manajer proyek adalah seorang yang mengalami kegagalan dalam mengambil
keputusan dan bersikap pesimis. Manajer proyek mencoba meminimumkan sikap pesimis
dari kegagalan yang maksimum. Kriteria keempat adalah kriteria Laplace. Kriteria ini
mencoba mengubah dari pengambilan keputusan berdasarkan ketidakpastian ke
pengambilan keputusan berdasarkan risiko. Kriteria Laplace membuat asumsi teoritis
berdasarkan statistik Bayesian, yang menyatakan bahwa jika probabilitas kondisi tidak
diketahui, harus diasumsikan bahwa setiap kondisi memiliki kemungkinan kejadian yang
sama.
37
Strategi manajemen risiko ditetapkan pada awal proyek dan bahwa risiko ditujukan terus
menerus sepanjang waktu proyek. Manajemen risiko, menurut Kerzner (1995), meliputi
beberapa tindakan yang berkaitan dengan penilaian risiko, analisis risiko, penanganan
risiko, dan belajar pengalaman.
Penilaian risiko adalah proses pemeriksaan situasi dan identifikasi dan klasifikasi area
potensi risiko. Ini meliputi survei program, pelanggan, dan pengguna untuk perhatian dan
permasalahan. Kecermatan dalam mengidentifikasi akan menentukan efektifitas
manajemen risiko. Tidak seluruh risiko adalah risiko derajat tinggi yang akan
memberikan pengaruh kritis terhadap proyek. Akan tetapi, kumulatif dampak dari
kombinasi beberapa risiko derajat rendah dapat memberikan pengaruh yang besar.
Menurut Kerzner (1995), sejumlah derajat risiko selalu ada dalam wilayah proyek, teknis,
pengujian, logistik, produksi, dan rekayasa. Risiko proyek meliputi risiko pendanaan,
jadwal, hubungan kontrak, dan politik. Risiko teknis bisa meliputi risiko persyaratan
kinerja, tetapi juga bisa meliputi risiko-risiko dalam kelayakan suatu konsep perancangan
atau risiko yang berkaitan dengan penggunaan peralatan atau perangkat lunak. Risiko
produksi meliputi persoalan pengemasan, pembuatan, waktu pemesanan, dan
ketersediaan material. Risiko rekayasa meliputi persoalan kemampuan mendukung,
memelihara, mengoperasikan, dan melatih. Pemahaman risiko di dalam wilayah ini dan
lainnya disusun dari waktu ke waktu. Konsekuensinya, analisis risiko terus menerus
sepanjang seluruh fase proyek.
jadwal, anggaran, biaya, atau kualitas proyek sehingga ketidakpastian proyek dikurangi
tanpa berdampak berarti pada tujuan proyek. Mitigasi risiko memerlukan analisis risiko
agar bisa menetapkan pengaruh pada proyek. Beberapa orang mempertimbangkan
analisis risiko dan analisis pengaruh sesuatu yang sama. Secara matematik dapat ditulis
sebagai berikut:
Penanganan risiko meliputi teknik dan metode yang dikembangkan untuk mengurangi
atau mengendalikan risiko. Tidak ada manajemen risiko jika tidak ada ketetapan untuk
menangani risiko yang telah diidentifikasi dan dianalisis. Menurut Kerzner (1995)
teknik-teknik untuk mengurangi atau mengendalikan risiko ada lima kategori, yaitu
penghindaran (avoidance), pengurangan (reduction), asumsi (assumption), pemindahan
(transfer), dan pengetahuan dan penelitian (knowledge and research).
Loosemore (2007) mengklasifikasikan risiko menjadi dua kelompok utama, yaitu risiko
umum (general risks) dan risiko proyek (project risks). Risiko umum tidak berhubungan
langsung dengan strategi proyek, tetapi dapat memberikan dampak yang signifikan
terhadap hasil akhir proyek. Ini ditimbulkan dari kejadian alam, politik, peraturan,
hukum, dan ekonomi di lingkungan makro umum sekitar proyek. Risiko proyek timbul
dari cara suatu proyek dikelola atau dari kejadian-kejadian dalam lingkungan mikro
sesaat. Risiko yang termasuk dalam kelompok ini seperti masalah tanah, kondisi cuaca,
masalah teknis yang berhubungan dengan perancangan, pabrikasi dan peralatan, masalah
material berhubungan dengan penyedia, masalah organisasi yang berhubungan dengan
sub-kontraktor, masalah tenaga kerja yang berhubungan dengan serikat pekerja, masalah
kontrak yang berhubungan dengan perjanjian kerja sama, dan masalah lingkungan yang
berhubungan polusi.
Proyek infrastruktur yang dikerjakan dengan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
(KPBU) perlu mempertimbangkan beberapa risiko yang berkaitan dengan proses
pengadaan KPBU. Menurut Loosemore (2007), risiko-risiko ini berpontensi
mempengaruhi proyek KPBU, yaitu risiko kridit (berhubungan dengan arus pembayaran
hutang obligasi), risiko konstruksi (yang berhubungan dengan periode penyelesaian
konstruksi), risiko penerimaan (yang berhubungan dengan arus penerimaan), risiko
operasi (yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pepenggantian), dan risiko
keuangan dan hukum (yang berhubungan dengan kecukupan dan sensitifitas arus uang
terhadap pengembalian hutang). Sedangkan Grimsey and Lewis (2004) mengidentifikasi
enam risiko yang berhubungan dengan proyek KPBU, yaitu risiko umum (yang
40
a. Persaingan √
b. Pasar/Waktu √ √
c. Kelalaian/Cidera Janji (Sponsor) √
d. Kelayakan Proyek √
e. Lahan √
2. Penyelesaian √
a. Peningkatan Biaya √
b. Keterlambatan Penyelesaian
c. Perizinan
d. Teknologi √
e. Perancangan √ √
3. Pengoperasian √
a. Biaya Operasi √
b. Kelalaian Operator √
c. Pemasokan Bahan Baku
d. Perizinan
e. Teknologi √
f. Perancangan √
g. Lingkungan Hidup √
D Keadaan Kahar
1. Keadaan Kahar Alam √
2. Keadaan Kahar Politik √
Sumber: Pusat Kajian Kerjasama dan Pelayanan Jasa Transportasi, 2009
Perangkat hukum di Indonesia mengenai pelaksanaan dan pengelolaan risiko diatur oleh
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek
Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Yang Dilakukan Melalui Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur dan Keputusan Menteri Keuangan No 260/PMK.011/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha.
Penjaminan Infrastruktur, yang selanjutnya disebut BUPI adalah Badan Usaha yang
didirikan oleh Pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan Penjaminan
Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun
2009.