Anda di halaman 1dari 43

1

1. UMUM
1.1 Infrastruktur Umum dan Pihak Badan Usaha

Infrastruktur umum didefinisikan sebagai fasilitas yang diperlukan untuk fungsi


ekonomi dan masyarakat. Ini berarti infrastruktur umum mendukung kegiatan
ekonomi dan sosial. Infrastruktur umum dapat dibagi menjadi infrastruktur ekonomi
dan infrastruktur sosial. Infrastruktur ekonomi adalah infrastruktur yang dimanfaatkan
untuk kegiatan ekonomi hari ke hari, seperti fasilitas transportasi dan jaringan utilitas
(untuk air bersih, air kotor, listrik, dsb. Sedangkan, infrastruktur sosial adalah
infrastruktur yang dimanfaatkan untuk struktur masyarakat, seperti sekolah, rumah
sakit, perpustakaan, penjara, dsb.

Pembiayaan infrastruktur perkeretaapian menurut Australia Indonesia Partnership


(2010), ada dua pendekatan, yaitu teknokratik dan politis. Teknokratik, yakni
pendekatan dengan melihat semua kaedah-kaedah ekonomi dan finansial serta
kelayakan dari pembangunan transportasi dan fokus kepada proyek yang bersifat
komersial (ship follows the trade). Politis, yakni pendekatan top-down yang bersifat
instruktif dengan alasan politis, antara lain untuk meratakan pembangunan, mengubah
ketidakseimbangan moda transportasi, penghematan energi, kelestarian lingkungan,
dan pengembangan wilayah. Pendekatan ini untuk proyek yang bersifat pelayanan
dasar, tidak komersial, dan merupakan kewajiban pemerintah untuk membangunnya
(trade follows the ship).

Kedua pendekatan ini dapat dipergunakan untuk membangun perkeretaapian


Indonesia ke depan. Pendekatan pertama dapat dipergunakan untuk potensi ekonomi
yang sudah ada seperti angkutan batubara di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur,
dan di Kalimantan Tengah, angkutan penumpang perkotaan seperti Jabodetabek dan
kota-kota besar lain di Jawa, serta angkutan komoditi lainnya di Jawa dan Sumatera.
Pendekatan pertama ini sedapat mungkin dilakukan dengan pola pembiayaan
Kerjasama pemerintah dengan Badan Usaha, KPBU (public-private partnership, PPP)
atau oleh Badan Usaha murni (private financing initiative, PFI), walaupun masih tetap
diperlukan peran pemerintah khususnya dalam hal pembebasan tanah, insentif fiskal
dan non fiskal, serta jaminan stabilitas peraturan dan politik. Pendekatan kedua
dipergunakan untuk proyek-proyek kereta api yang secara ekonomi politik sangat
2

diinginkan oleh masyarakat namun tidak atau kurang layak secara finansial sehingga
pemerintah harus membiayai pembangunannya. Pendekatan ini memang merupakan
sikap politik pemerintah untuk memajukan perkeretaapian di Indonesia dan tidak
harus mempertimbangkan secara sungguh-sungguh kelayakan finansial dan aspek
komersial.

1.2 Kerjasama Pemerintah Badan Usaha

Model Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU) modern awalnya berasal dari
Amerika Serikat, yaitu kerjasama pendanaan antara pihak pemerintah dan pihak
Badan Usaha untuk program pendidikan, dan berkembang di tahun 1950 pendanaan
untuk utilitas dan tahun 1960 untuk pembaharuan perkotaan. Perkembangan
berikutnya KPBU digunakan dalam sektor sukarela (nir-laba) seperti pendanaan
pemerintah untuk penelitian dan pengembangan pihak Badan Usaha di bidang
teknologi. Di dunia internasional, KPBU digunakan berkenaan dengan kerjasama
pemerintah, lembaga bantuan dan inisiatif Badan Usaha untuk memerangi penyakit
seperti AIDS dan malaria, mengenalkan perbaikan metode pertanian, atau
mempertimbangkan secara umum pengembangan ekonomi. Semuanya ini
menggambarkan sebagai KPBU ‘berdasarkan kebijakan’ atau ‘berdasarkan program’.

Menurut Public Private Partnership, Kanada (www.pppcouncil.ca), KPBU


didefinisikan sebagai perjanjian kerjasama antara pemerintah dan pihak Badan
Usaha, yang dibangun berdasarkan keahlian setiap pihak, untuk tujuan menyediakan
kebutuhan-kebutuhan publik. Kerjasama tersebut ditandai dengan pembagian
investasi, tanggung jawab risiko dan imbalan antara mitra. Sedangkan menurut
Campanile (2007) dan NCPPP (www.ncppp.org), KPBU adalah suatu perjanjian
kontrak antara pemerintah dan pihak Badan Usaha. Melalui perjanjian ini,
kemampuan dan modal dari setiap pihak (pemerintah dan Badan Usaha) dibagikan
dalam penyediaan jasa atau fasilitas untuk pengguna masyarakat umum. Setiap pihak
bersama-sama membagi potensi risiko dan imbalan dalam penyediaan jasa dan atau
fasilitas. Australia menyebutkan KPBU sebagai PFP (Private Finance Project) yang
didefinisikan sebagai seuatu bentuk yang sangat spesifik dari KPBU yang meliputi
penciptaan aset melalui pihak Badan Usaha pada sektor pendanaan, pemilikan dan
pengendalian untuk suatu periode konsesi, biasanya jangka panjang (Ball, 2011).
3

KPBU memiliki beberapa kata kunci, yaitu sebuah kontrak jangka panjang (kontrak)
antara pihak pemerintah dan pihak Badan Usaha; untuk perancangan, konstruksi,
pendanaan, dan operasi infrastruktur umum (fasilitas) oleh pihak Badan Usaha; pihak
Badan Usaha mempunyai hak pembayaran dari pengguna sampai masa berakhir
kontrak KPBU dalam penggoperasian fasilitas, pembayaran tersebut bisa diperoleh
dari pihak pemerintah atau pihak masyarakat umum sebagai pengguna fasilitas; dan
fasilitas akan berpindah kepemilikan dari pihak Badan Usaha ke pemerintah pada
akhir Kontrak KPBU.

KPBU meliputi suatu kontrak antara pihak pemerintah (sebagai pemegang otoritas
pelayanan masyarakat) dan pihak Badan Usaha, yang mana pihak Badan Usaha
menyediakan pelayanan atau proyek kemasyarakatan dan menanggung risiko
keuangan, teknis dan operasional dalam proyek. Dalam beberapa jenis KPBU, biaya
penggunaan pelayanan ditanggung hanya oleh pengguna pelayanan dan tidak oleh
pembayar pajak. Pada jenis lain (khususnya private finance initiative), modal
investasi ditanggung oleh pihak Badan Usaha berdasarkan kontrak dengan pemerintah
dan biaya pelayanan ditanggung seluruhnya atau sebagian oleh pemerintah.

Proyek KPBU dikatakan berhasil adalah bila pihak Badan Usaha/investor tertarik
untuk menginvestasikan dananya pada proyek KPBU tersebut. Menurut Perrot (2010)
dalam buku Private Sector Participation in Light Rail – Light Metro Transit
Initiatives, ada empat faktor pokok yang harus dipertimbangkan dalam
pengembangan kerangka proses KPBU dan perjanjian KPBU, yaitu Government
commitment to PPP agenda, Well-prepared PPP model and clear tender process,
Regulatory and legal framework, dan Fair risk allocation. Ke empat faktor pokok
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.1. Langkah awal adalah komitmen pemerintah
terhadap agenda KPBU, yang memberikan jaminan kepada penyandang dana sampai
berakhirnya proyek KPBU tersebut. Skim perkeretaapian merupakan bagian integral
dari kebijakan transportasi pemerintah dan akan mensyaratkan dukungan tertentu
terhadap pengadaan investor untuk mengambil seluruh atau sebagian dari skim
perkeretaapian. Penyokong dari program KPBU adalah konsep alokasi risiko yang
adil, maksudnya adalah risiko-risiko dialokasikan ke semua pihak adalah terbaik, bisa
4

dikelola, dan bisa diterima. Kerangka kerja hukum dan perundangan menjadi penting
karena beberapa kesepakatan KPBU yang akan dikembangkan.

Government commitment to
PPP agenda
Government commitment to the
PPP project and procurement
scheme, as well as financial
support, is vital for success of the
LRMT project.

Well-prepared PPP model and Fair risk allocation


clear tender process Risk should be allocated to the party
Careful selection of the PPP model best able (and willing) to manage
is recommended, as is private and control it. Inappropriate
sector involvement at a very early allocation by the grantor and
stage of the process through acceptance by the developer may
consultation with potential private lead ti higher project costs or even
sector parties. failure of projects.
Regulatory and legal framework
An adequate regulatory framework
is necessary to transfer public
sector responsibilities to the
private sector, as is a legal
framework to grant required
security international developers
and lenders

Sumber: Perrot, 2010


Gambar 2.1 Empat Faktor Dasar Kerangka Kerja Kerjasama Pemerintah dengan
Badan Usaha

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan KPBU menurut Zhang (2005), pada


pengembangan infrastruktur dikategorikan menjadi 5 aspek yaitu kelangsungan
ekonomi (economic viability), alokasi risiko yang tepat lewat rencana kontrak yang
nyata (appropriate risk allocation via reliable contractual arrangements), paket
keuangan (sound financial package), lingkungan investasi yang menguntungkan
(favorable investement environment), konsorsium pemegang konsesi secara teknis
kuat (reliable concessionaire consortium with strong technical strength). Zhang
menurunkan faktor-faktor tersebut ke dalam sub-sub faktor dan melakukan survei
terhadap para industrialis dan akademisi. Hasil respon dari sektor industri dan
akademisi dan dilakukan perankingan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

1.3 Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha atau Pengadaan Pemerintah

Pengadaan fasilitas oleh pemerintah (pengadaan pemerintah) menggunakan dana dari


penerimaan pajak atau pinjaman masyarakat. Bentuk pengadaan pemerintah (dikenal
5

sebagai rancang-tawar-bangun), dimana otoritas pemerintah menetapkan spesifikasi


dan rancangan fasilitas, memanggil untuk penawaran berdasarkan rancangan rinci,
dan pembayaran untuk konstruksi fasilitas kepada kontraktor Badan Usaha. Otoritas
Pemerintah harus mendanai penuh biaya konstruksi serta biaya operasi dan
pemeliharaan. Kontraktor tidak bertanggung jawab untuk kinerja jangka panjang dari
fasilitas setelah (relatif pendek) konstruksi – periode surat perintah kerja berakhir.

Dalam KPBU, otoritas pemerintah menetapkan persyaratan dalam bentuk ‘output’.


Pihak Badan Usaha merancang, mendanai, membangun dan mengoperasikan fasilitas
untuk jangka waktu panjang. Pihak Badan Usaha menerima pembayaran (biaya
pelayanan) selama masa Kontrak KPBU (rerata 25 tahun) berdasarkan perjanjian
awal. Biaya pelayanan yang diterima oleh pihak Badan Usaha diperuntukan untuk
pembayaran kembali biaya pendanaan dan memberikan pengembalian kepada
investor.

Pendekatan KPBU memiliki risiko-risiko yang dapat dikelompokkan dalam beberapa


kategori utama berikut project-related risks, government-related risks, client-related
risks, design-related risks, contractor-related risks, consultant-related risks, dan
market-related risks (Shen, 2006). Pada dasarnya risiko-risiko tersebut di atas
dilimpahkan dari pihak otoritas pemerintah kepada pihak Badan Usaha, dengan
perkataan lain adanya pembagian risiko antara pemerintah dan pihak Badan Usaha
(Ball, 2011; Grimsey, 2002) Hal ini dapat dilakukan bila semua biaya risiko yang
dikeluarkan dapat digantikan dari pendapatan yang diterima oleh pihak Badan Usaha.

1.4 Jenis-jenis Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha

Model KPBU bermacam-macam mulai dari jangka pendek dan sederhana seperti
kontrak manajemen (dengan atau tanpa persyaratan investasi) hingga jangka panjang
dan sangat kompleks seperti BOT. Keanekaragaman model KPBU terutama
ditentukan oleh kepemilikan aset, tanggung jawab investasi, perkiraan risiko-risiko,
dan durasi kontrak. Model KPBU dapat diklasifikasikan dalam lima kategori utama,
yaitu Kontrak Suplai dan Manajemen, Turnkey Project, Sewa (Lease), Konsesi, dan
Kepemilikan Aset oleh Badan Usaha (ADB, 2008; Gehlot, 2008).
6

Tabel 2.1 Ringkasan Respon Terhadap Faktor-faktor Keberhasilan


Ranking
Sub-Faktor Keberhasilan
Akademisi Industri Seluruh
Economic viability 1 1 1
Long-term demand for the product/services offered by the project 1 1 1
Sufficient profitability of the project to attract investors 2 3 2
Long-term cash flow that is attractive to lenders 3 2 3
Limited competition from the other projects 4 5 5
Long-term avaiability of various suppliers needed for the normal operation 5 4 4
of the project
Appropriate risk allocation via reliable contractual arrangement 2 2 2
Concession agreement 1 1 1
Shareholder agreement 2 9 7
Supply agreement 3 5 4
Offtake agreement 3 6 5
Loan agreement 4 3 2
Design and construct contract 5 7 6
Operation agreement 5 4 4
Guaranteea/support/comfort letters 6 2 3
Insurance agreement 7 8 8
Sound financial package 3 3 3
Sound financial analysis 1 3 2
Appropriate toll/tarif levels and suitable ajustment formula 2 1 1
Abilities to deal with fluctuations in interst/exchange rates 3 2 3
Sources and structure of main debt and standby facilities 4 4 4
Investment, payment, and drawdown schedules 5 5 6
Long-term debt financing that minimizes refinancing risk 6 4 5
Stable currencies of debts and equity finance 7 6 7
High equity/debt ratio 8 9 10
Fixed and low interest rate financing 9 7 8
Low financial charges 10 8 9
Favorable investment environment 4 5 5
Stable political system 1 3 1
The project is well suited for privatization 2 6 5
Favorable economic system 3 5 4
Government support 3 1 2
Predictable risk scenarios 4 4 6
Promising economy/economic growth 4 10 9
Predicable and reasonable legal framework 5 2 3
Predictable currency exchange risk 6 11 10
The project is in public interest 6 7 7
Adequate local financial market 7 8 8
Supportive and understanding community 8 9 11
Reliable concessionaire consortium with strong technical strength 5 4 4
Good relationship with host goverment authorities 1 2 2
Strong and capable project team 2 1 1
Effective project organization structure 3 4 4
Leading role by a key enterprise or entrepreneur 3 3 3
Sound technical solution 4 6 5
Cost-effective technical solution 5 5 5
Public safety and health considerations 6 9 6
Partenering skills 7 8 7
Rich experience in international PPP project management 8 10 9
Low environmental impact 9 7 8
Multidisciplinary participants 10 11 10
Innovative technical solution 11 12 11
Sumber: Zhang, 2005, dikompilasi kembali
7

Kontrak Manajemen adalah rencana kontrak untuk sebagian atau seluruh manajemen
pemerintah oleh pihak Badan Usaha. Kontrak manajemen mengijinkan kemampuan
pihak Badan Usaha untuk merancang dan mengirimkan pelayanan, pengendalian
operasional, pengelolaan tenaga kerja dan pengadaan perlengkapan. Bagaimanapun,
pemerintah tetap memegang kepemilikan dari fasilitas dan perlengkapannya. Pihak
Badan Usaha bertanggungjawab terhadap hal-hal tertentu dan tidak menanggung
risiko. Pihak Badan Usaha dibayar untuk mengelola dan mengoperasikan pelayanan.
Umumnya, pembayaran didasarkan pada kinerja dan dengan durasi kontrak yang
pendek sekitar dua sampai lima tahun. Tetapi durasi yang lebih lama dapat dilakukan
untuk pengopersian yang kompleks seperti pelabuhan dan bandara. Beberapa turunan
kontrak manajemen meliputi kontrak pengadaan dan pelayanan, manajemen
pemeliharaan, dan manajemen operasional.

Turnkey Project adalah suatu model pengadaan pemerintah untuk fasilitas


infrastruktur. Umumnya, kontraktor Badan Usaha diseleksi melalui proses pelelangan.
Kontraktor Badan Usaha merancang dan membangun fasilitas untuk upah tetap, tarif,
atau biaya total, yang merupakan salah satu kriteria utama dalam penseleksian
pemenang lelang. Kontraktor memperkirakan risiko-risiko yang masuk dalam
perancangan dan konstruksi. Skala investasi oleh pihak Badan Usaha umumnya
rendah dan untuk jangka waktu pendek. Model partisipasi Badan Usaha ini dikenal
juga sebagai Design-Build (rancang-bangun).

Sewa adalah suatu perjanjian tertulis yang mana pemilik infrastruktur/fasilitas


mengijinkan penyewa untuk menggunakan infrastruktur/fasilitas selama periode
waktu tertentu. Dalam kategori ini penyewa bertanggungjawab untuk mengoperasikan
dan memelihara fasilitas dan pelayanan infrastruktur, tetapi umumnya operator tidak
diharuskan membuat investasi yang besar. Akan tetapi, model ini sering diterapkan
dalam kombinasi dengan model lainnya seperti bangun-rehabilitasi-operasi-transfer.
Dalam beberapa kasus, periode kontrak umumnya lama dan pihak Badan Usaha
disyaratkan untuk berinvestasi.

Pelanggan/pengguna fasilitas membayar sejumlah uang atas penggunaan fasilitas


kepada operator. Hasil dari pembayaran tersebut dikumpulkan untuk operator
membayar sewa ke penanggungjawab kontrak. Operator menyewa infrastruktur dan
8

perlengkapan dari pemerintah untuk periode waktu yang disepakati. Umumnya,


pemerintah mengambil tanggungjawab untuk investasi dan menanggung risiko
investasi. Risiko operasional dilimpahkan ke operator. Akan tetapi, beberapa aset bisa
dilimpahkan untuk periode lebih lama daripada umur ekonomi aset. Fasilitas tidak
bergerak dan tanah disewakan lebih lama daripada aset bergerak. Tanah yang
dimanfaatkan oleh penyewa biasanya dilimpahkan kembali untuk periode waktu 15 –
30 tahun.

Bisa dicatat bahwa jika aset dilimpahkan ke pihak Badan Usaha di bawah perjanjian
sewa dibatasi pada pemanfaatan terhadap fungsi dan pelayanan tertentu, nilai aset
bergantung pada potensi penerimaannya. Jika aset dilimpahkan ke pihak Badan Usaha
tanpa pembatasan penggunaan, nilai aset dikaitkan dengan penggunaan optimum dari
aset dan penerimaan yang dapat ditimbulkan.

Yang dimaksud dengan Konsesi adalah dikenal juga dengan model ‘pengguna
membayar (user pays)’ yang mana pihak Badan Usaha (Pemegang Konsesi) diijinkan
mengambil pembayaran pelayanan dari masyarakat umum yang menggunakan
fasilitas. Pemegang Konsesi mendapatkan hak tertentu untuk membangun dan
mengoperasikan selama waktu yang disepakati (masa konsesi, antara 5 – 50 tahun).
Penilaian dan analisis risiko dan ketidakpastian adalah suatu prasyarat untuk
penentuan masa konsesi. Simulasi Monte Carlo adalah alat yang berguna untuk
mengukur ketidakpastian dan mempertimbangkan risiko konstruksi dan ekonomi,
meliputi biaya pengembangan proyek, waktu penyelesaian proyek, permintaan pasar
dan harga pelayanan proyek, biaya operasi dan pemeliharaan, besar diskonto, dan
besar inflasi (Zhang, 2006). Contohnya adalah pembayaran tol untuk penggunaan
jembatan, terowongan atau jalan. Tol yang diperoleh Pemegang Konsesi untuk biaya
pembangunan dan pengoperasian fasilitas yang biasa berakhir hingga masa konsesi.

Konsesi berkembang di Inggris pada abad ke-18 dan awal ke-19. Investor Badan
Usaha meminjamkan uangnya kepada para pemegang otoritas yang memperoleh
kepercayaan memperbaiki jalan-jalan dan membayar kembali pinjaman ini dari tol
yang dikenakan bagi pengguna fasilitas. Banyak jembatan-jembatan London didanai
oleh pihak Badan Usaha dengan kepercayaan yang sama hingga pertengahan abad ke-
19, dan pada akhir abad ke-19 Jembatan Broklyn di New York dibangun dengan dana
9

dari pihak Badan Usaha. Di Perancis, konstruksi kanal-kanal dengan modal pihak
Badan Usaha dimulai pada abad ke-17.

Peranan pemerintah dalam Konsesi adalah menetapkan kerangka kerja operasi dengan
Pemegang Konsesi (umumnya menurut Hukum Konsesi umum atau Konsesi tertentu)
dan mengatur secara rinci persyaratan untuk konstruksi dan operasi fasilitas
(umumnya melalui Perjanjian Konsesi yang disepakati antara Pemerintah dan
Pemegang Konsesi). Pihak pemerintah juga bisa membayar ke Pemegang Konsesi
sesuai dengan perjanjian untuk kondisi tertentu. Biasanya pembayaran oleh
pemerintah bisa dibutuhkan untuk membuat suatu proyek layak komersial dan/atau
mengurangi risiko komersial yang ditanggung oleh pihak Badan Usaha, dimana pihak
Badan Usaha tidak cukup percaya di awal masa konsesi. Ada dua jenis kontrak
konsesi, yaitu Franchise dan Build-Operate-Transfer (BOT).

Menurut suatu perjanjian franchise, pemegang konsesi menyediakan pelayanan yang


sesuai dengan disyaratkan oleh pemilik franchising. Pihak Badan Usaha menanggung
risiko komersial dan dimungkinkan untuk berinvestasi. Bentuk partisipasi Badan
Usaha ini berkembang dalam penyediaan pelayanan bus dan jalan rel perkotaan.
Franchise dapat juga digunakan untuk rute atau kelompok rute di wilayah yang
bersinggungan.

Ada beberapa varian dari Build-Operate-Transfer (BOT) antara lain Build-Transfer-


Operate (BTO), Build-Rehabilitate-Operate-Transfer (BROT), dan Build-Lease-
Transfer (BLT). Pemegang Konsesi melakukan investasi dan mengoperasikan fasilitas
untuk periode waktu yang tetap dan kepemilikan kembali pada pemerintah. Dalam
model ini, risiko investasi dan operasi pada hakekatnya dapat dilimpahkan kepada
pemegang konsesi dan pemerintah tetap mengendalikan kebijakan dan dapat
mengalokasikan risiko-risiko ke pihak-pihak yang cocok menanggung atau
memindahkan dari mereka.

Konsep kontrak BOT (Build-Operate-Transfer) pertama kali dikembangkan di Turki,


ini juga diterapkan di pembangkit energi, tetapi dengan perbedaan utama bahwa
pembeli dari energi adalah pemerintah. Pada akhir kontrak kepemilikan stasiun energi
berpindah dari investor ke pemerintah. Model yang lebih singkat adalah kontrak BTO
10

(Build-Transfer-Operate), dimana kepemilikan dipindahkan ke pemerintah saat


penyelesaian konstruksi. Selain itu kontrak DBFO (Design-Build-Finance-Operate),
dimana kepemilikan fasilitas yang sah tetap dipegang oleh pemerintah melalui
kontrak, sedangkan pihak Badan Usaha semata-mata pada hak-hak kontrak untuk
mengoperasikan fasilitas dan menerima pendapatan. Vancouver, Kanada menerapkan
KPBU dengan model DBFO untuk pengembangan Urban Public Transit
Infrastructure (Siemiatycki, 2006). Di negara-negara sedang berkembang kontrak
BOT, BTO, dan DBFO menyediakan suatu cara untuk mengatasi keterbatasan dana
untuk menbiayai investasi lebih efisien, tanpa melepaskan kontrol. Menurut Delmon
(2005) bentuk model pendanaan proyek BOT dapat dilihat pada Gambar 2.2. Elemen-
elemen kunci yang terlibat dalam proyek BOT adalah Authority, Project Company,
Shareholders, Lenders, Operator, Construction Contractor, Input Supplier, dan
Offtake Purchaser. Setiap elemen memiliki kepentingan, tingkat kepuasan dan suber
daya yang berbeda.

Shareholders

Lenders Authority
Equity Return on
Contribution Investment

Concession
Debt Debt Fee
Servicing
Offtake
Purchase
Project Tariff Offtake
Operator Company Purchaser
Operation
Fees

Construction Input Through-put


Contract Price Supply Input Supply
Price Price

Construction
Contractor Input Supplier

Sumber: Delmon. 2005


Gambar 2.2 Pendanaan Proyek untuk Proyek Build-Operate-Transfer

Authority dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah yang memegang


peraturan. Pemerintah akan mendelegasikan ke suatu agensi yang disebut sebagai
grantor. Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di
bawah kontrak KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau
11

badan usaha milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, memelihara,


dan mentransfer fasilitas KPBU. Lenders meliputi kombinasi dari pihak peminjam
komersial Badan Usaha bersama-sama dengan agensi pemberi pinjaman, dan
organisasi keuangan bilateral dan multilateral. Operator adalah pihak yang akan
mengoperasikan dan memelihara proyek sampai periode tertentu, dari konstruksi
selesai seluruhnya atau sebagian seksi saja hingga akhir masa konsesi. Construction
Contractor adalah pihak yang melakukan perjanjian dengan project company untuk
merancang, membangun, menguji, dan mempersiapkan proyek. Input Supplier adalah
pihak yang menyediakan masukan sehingga tingkat produktivitas proyek dapat
tercapai. Offtake Purchaser adalah pihak yang membeli atau menggunakan keluaran
dari proyek untuk membagi risiko pasar dari project company dan lender. Dalam
perjanjian offtake purchase diwajibkan membayar untuk jumlah minimum dari
keluaran proyek. Offtake purchaser bisa juga adalah grantor atau pemerintah.

Gambar 2.3 memperlihatkan kontrak utama dan pendanaan pembangunan konsesi


jalan. Elemen-elemen kunci dalam struktur ini Project Company, Pendanaan, A
Design and Build (D&B) Contract, An Operating Contract, A Maintenance Contract,
A Concession Agreement, Arus uang setelah biaya operasi.
12

Sumber: Yescombe, 2007


Gambar 2.3 Pendanaan Proyek untuk Konsesi Jalan

Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di bawah kontrak
KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau badan usaha
milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, memelihara, dan
mentransfer fasilitas KPBU (Delmon, 2005). Melalui Project Company, risiko-risiko
yang dinyatakan dalam perjanjian akan dilimpahkan ke subkontaktor. Pendanaan
untuk biaya modal proyek melalui pemegang saham dan hutang proyek dikelola oleh
Project Company.

Subkontraktor yang ada di bawah Project Company melaksanakan kegiatan


perancangan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan dan di bawah kontrak dengan
Project Company. A Design and Build (D&B) Contract adalah kontrak dimana
kontraktor setuju merancang dan membangun jalan seluruhnya dan pekerjaan yang
berkaitan terhadap persyaratan spesifikasi, pada harga dan jadwal tetap. An Operating
Contract adalah kontrak dimana perusahaan operasional tol menyediakan pelayanan
pemungutan tol, perbaikan kecil, manajemen kecelakaan, dan sebagainya. A
Maintenance Contract adalah kontrak dimana perusahaan pemeliharaan menyediakan
pelayanan pemeliharaan jalan.

A Concession Agreement (nama standar untuk jenis kontrak KPBU) dengan


pemerintah, yang mengijinkan pungutan tol dari para pengguna jalan, umumnya tidak
termasuk beberapa pembayaran oleh atau ke pemerintah. Akan tetapi pihak
pemerintah dimungkinkan memberikan kontribusi modal/investasi awal sehingga
dapat mengurangi masa konsesi. Arus uang (yang diperoleh dari pengguna atau
pungutan tol) setelah biaya operasi, diutamakan untuk pembayaran kontrak operasi
dan pemeliharaan, pertama-tama untuk pembayaran hutang dan kemudian
pembayaran terhadap investor melalui distributor.

Bentuk partisipasi kepemilikan aset oleh Badan Usaha, pihak Badan Usaha
bertanggungjawab untuk merancang, konstruksi, dan mengoperasikan fasilitas
infrastruktur. Dalam beberapa kasus pemerintah bisa melepaskan hak kepemilikan
aset ke pihak Badan Usaha. Ini beralasan bahwa oleh penggabungan perancangan,
13

konstruksi, dan operasi pelayanan infrastruktur dalam satu kontrak memberikan


keuntungan yang dapat dicapai dengan adanya sinergisitas. Dibandingkan dengan
model pengadaan pemerintah umumnya, dimana aspek perancangan, konstruksi, dan
operasi biasanya terpisah. Bentuk perjanjian kontrak ini mengurangi risiko biaya
selama masa perancangan dan konstruksi berlangsung atau pemilihan teknologi yang
tidak efisien. Keuntungan utama pemerintah adalah rendahnya biaya perancangan dan
konstruksi yang harus ditanggung, pelimpahan risiko tertentu ke pihak Badan Usaha
dan perancangan, konstruksi dan operasi proyek yang lebih baik. Ada tiga model
utama dari bentuk partisipasi ini, yaitu Build-Own-Operate (BOO), Private Finance
Initiative, Pelepasan Hak dengan Lisensi atau Penjualan.

KPBU pertama kali dikembangkan adalah kontrak BOO (Build-Own-Operate) antara


pihak Badan Usaha, yang mana pemilik sebagai investornya, tetapi menjadi lebih jelas
bahwa struktur yang sama dapat digunakan untuk pengembangan proyek pemerintah.
Varian lain dari model ini adalah Design-Build-Finance-Operate (DBFO), dimana
pihak Badan Usaha merancang, membangun, mendanai, dan mengoperasikan fasilitas,
dan menjual produk/pelayanan ke pengguna atau yang memanfaatkan fasilitas.

Pada model Private Finance Initiative (PFI), pihak Badan Usaha sama dengan model
BOO membangun, memiliki dan mengoperasikan fasilitas. Akan tetapi, pemerintah
(tidak sama dengan pengguna dalam model BOO) membeli pelayanan dari pihak
Badan Usaha melalui perjanjian jangka panjang. Proyek PFI menanggung langsung
obligasi keuangan terhadap pemerintah dalam beberapa kejadian. Pada model PFI,
kepemilikan aset pada akhir periode kontrak belum tentu bisa dilimpahkan ke
pemerintah.

Model ini diumumkan pertama kali di Inggris pada tahun 1992 dengan tujuan
membawa dana masyarakat ke dalam infrastruktur umum. Model PFI
memperkenalkan konsep pembayaran oleh pemerintah. Pembayaran pada awalnya
dari pemerintah masih didasarkan pada penggunaan oleh pengemudi, melalui yang
dikatakan sebagai ‘Shadows Tolls’, misalnya jadwal pembayaran tetap oleh
pemerintah per pengemudi/km.
14

Pengembangan model PFI adalah penggunaan kontrak PFI untuk keterlibatan fasilitas
umum dimana risiko tidak dapat dipindahkan ke pihak Badan Usaha, seperti sekolah
dan rumah sakit. Dalam kasus-kasus ini struktur kontrak masih didasarkan pada PPA,
investor pihak Badan Usaha dibayar oleh pemerintah.

Gambar 2.4 memperlihatkan model PFI untuk proyek sekolah dan ada kemiripan
dengan PPA. Elemen-elemen kunci dalam struktur ini Project Company, A Design
and Build (D&B) Contract, A Soft Facilities Maintenace (FM) Contract, A Hard
Facilities Maintenance (FM) Contract, A Project Agreement, Arus uang setelah biaya
operasional.

Sumber: Yescombe, 2007

Gambar 2.4 Proyek Pendanaan untuk Private Finance Initiative Model

Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di bawah kontrak
KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau badan usaha
milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas
KPBU. Melalui Project Company, risiko-risiko yang dinyatakan dalam perjanjian
15

akan dilimpahkan ke subkontaktor. Pendanaan untuk biaya modal proyek melalui


pemegang saham dan hutang proyek dikelola oleh Project Company.

Subkontraktor yang ada di bawah Project Company melaksanakan kegiatan


perancangan, konstruksi, pemeliharaan pelayanan dan pemeliharaan gedung, dan di
bawah kontrak dengan Project Company. A Design and Build (D&B) Contract adalah
kontrak dimana kontraktor setuju merancang dan membangun sekolah seluruhnya dan
pekerjaan yang berkaitan terhadap persyaratan spesifikasi, pada harga dan jadwal
tetap. A Soft Facilities Maintenace (FM) Contract adalah kontrak dimana perusahaan
pelayanan menyediakan pelayanan seperti keamanan, kebersihan, dan katering untuk
sekolah. A Hard Facilities Maintenance (FM) Contract adalah kontrak perusahaan
pemeliharaan menyediakan pelayanan pemeliharaan gedung.

A Project Agreement (nama standar untuk jenis kontrak PPP) dengan pemerintah.
Pihak Badan Usaha mendapat pembayaran dari pemerintah didasarkan pada
penggunaan fasilitas oleh masyarakat. Arus uang (yang diperoleh dari pembayaran
pemerintah) setelah biaya operasional, diutamakan untuk pembayaran FM Contract,
pertama-tama untuk hutang, dan kemudian membayar kepada investor melalui
distributor.

Pada bentuk ini Badan Usaha benar-benar membeli hak kepada perusahaan pemegang
hak. Akan tetapi, Badan Usaha kemungkinan diharuskan menerapkan pengelolaan
sesuai dengan perusahaan pemegang hak. Privatisasi yang sebenarnya meliputi
pelimpahan secara sah dari pemerintah ke Badan Usaha. Ini bisa terjadi apakah
melalui penjualan hak atau pemberian ijin penggunaan hak. Pelepasan aset
infrastruktur yang ada sangat tidak umum dilakukan. Akan tetapi, ada beberapa
contoh pelepasan hak sebagian.

PPA berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1980-an, merupakan bentuk kontrak
KPBU modern. PPA mulai setelah tahun 1987 Private Utility Regulatory Policies Act
(PURPA) yang mendorong listrik dapat dijual. PPA masuk ke Eropa awal tahun 1990,
dengan Badan Usahanisasi industri listrik Inggris. Ini mendorong pemisahan antara
perusahaan-perusahaan Badan Usaha yang meliputi dalam pembangkit energi dan
distribusi, dan pengembangan proyek energi untuk meningkatkan kompetisi dalam
16

pembangkit energi. Aspek utama dari PPA adalah investor dalam Project Company
yang membangun dan mengoperasikan stasiun energi. Project Company bertanggung
jawab terhadap kinerja operasi stasiun tenaga dan hanya menerima risiko terhadap
penyelesaian stasiun energi untuk waktu dan dana. Project Company tidak menerima
risiko pemakaian.

Faktor penting lainnya yang memungkinkan model kontrak PPA dikembangkan


adalah teknik pendanaan yang dikenal sebagai ‘pendanaan proyek’, yang
menyediakan dana yang dibutuhkan untuk beberapa proyek. Aspek penting dari
pendanaan proyek adalah melewatkan risiko tersebut dari Project Company ke Sub-
kontraktor. Gambar 2.5 memperlihatkan bagaimana pemindahan risiko. (Tanda panah
menunjukkan arah dari arus uang).

Sumber: Yescombe, 2007

Gambar 2.5 Pendanaan Proyek untuk Power Purchase Agreement

Komponen utama dari struktur ini Project Company, An Engineering, Procurement


and Construction (EPC) Contract, A Fuel-Supply Contract, An Operation and
Maintenance (O&M) Contract.
17

Project Company adalah perusahaan yang menjadi mitra pemerintah di bawah kontrak
KPBU. Perusahaan ini milik badan usaha (investor Badan Usaha atau badan usaha
milik pemerintah) yang akan membangun, mengoperasikan, dan memelihara fasilitas
KPBU. Melalui Project Company, risiko-risiko yang dinyatakan dalam perjanjian
akan dilimpahkan ke subkontaktor, seperti biaya modal produksi dan biaya operasinya
(selain dari biaya bahan bakar). Pendanaan untuk biaya modal proyek melalui
pemegang saham dan hutang proyek dikelola oleh Project Company.

Subkontraktor yang ada di bawah Project Company melaksanakan kegiatan rekayasa,


pengadaan, konstruksi, penyediaan bahan bakar, operasi, dan pemeliharaan dan di
bawah kontrak dengan Project Company. An Engineering, Procurement and
Construction (EPC) Contract adalah kontrak dimana kontraktor setuju menyerahkan
stasiun energi sesuai dengan spesifikasi yang disyaratkan, harga tetap dan sesuai
jadwal. A Fuel-Supply Contract adalah kontrak dimana kontraktor setuju
menyediakan bahan bakar untuk turbin stasiun energi. An Operation and
Maintenance (O&M) Contract adalah kontrak dimana kontraktor setuju
mengoperasikan dan memelihara pembangkit sesuai kepentingan Project Company.

Project Company melakukan PPA dengan perusahaan distribusi listrik. Perusahaan


distribusi listrik membeli listrik dengan pembayaran berdasarkan pada biaya
ketersediaan dan pemakaian. Kelebihan arus uang (hasil dari pembayaran dari
perusahaan distribusi listrik) setelah pembayaran bahan bakar dan biaya operasi yang
digunakan, pertama-tama untuk pembayaran pinjaman dan bunga ke pemberi
pinjaman, dan kemudian mengembalikan investasi kepada investor.

Menurut ADB (2008), KPBU dapat dibedakan bergantung pada sifat pengadaan,
alokasi risiko yang diinginkan, dan persyaratan investasi. Kontrak KPBU digolongkan
menjadi 5 kategori. Perbedaan dari 5 kategori tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.3 memperlihatkan ringkasan model-model penyediaan infrastruktur umum


dari proyek pemerintah sampai dengan proyek Badan Usaha. Pada proyek pemerintah
sepenuhnya kepemilikan infrastruktur adalah pemerintah sedangkan pada proyek
18

Badan Usaha kepemilikan infrastruktur bisa sepenuhnya dipegang oleh Badan Usaha,
dan pada kondisi tertentu bisa diserahkan ke pemerintah kepemilikannya.

1.5 Prasyarat Umum Rencana Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha

Kepercayaan pemerintah semakin meningkat pada pihak Badan Usaha untuk


pendanaan dan pengembangan proyek-proyek infrastruktur. Pada saat yang sama,
proyek KPBU bisa meningkatkan kepentingan pemerintah bahwa kepentingan pihak
Badan Usaha bisa berbeda dengan kepentingan pemerintah pada hal-hal tertentu.
Tugas pemerintah adalah membangun partisipasi Badan Usaha untuk mendukung
kepentingan pemerintah sementara mendapatkan manfaat dari investasi Badan Usaha.
Beberapa prasyarat yang harus dipenuhi dalam rencana proyek KPBU, yaitu
pandangan dari pihak pemerintah dan pandangan dari pihak Badan Usaha.

Pandangan pemerintah/pemerintah daerah terhadap pendekatan KPBU sebagai


pemecahan masalah pendanaan terbaik ketika dana pemerintah tidak cukup atau tidak
tersedia untuk implementasi kebutuhan-kebutuhan proyek infrastruktur. Konsep
KPBU menyediakan dana dari pihak Badan Usaha dan pemindahan risiko yang
berhubungan dengan implementasi dan operasi suatu proyek ke pihak Badan Usaha.
Tujuan keseluruhan dari proyek KPBU adalah menyediakan pelayanan yang terus
ditingkatkan dan dipercaya kepada pelanggan. Pencapaian keberhasilan dari tujuan ini
didasarkan pada pemerintah memiliki pandangan yang jelas dan realistik pada sasaran
proyek berdasarkan analisis risiko yang tepat dan pada pembagian risiko dan manfaat
secara adil antara pemerintah dan pihak Badan Usaha.

Tabel 2.2 Perbedaan Bentuk Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha menurut
Asian Development Bank
No. Bentuk Karakteristik Durasi
KPBU
1 Service Kontrak sederhana antara, pihak Badan Usaha tidak 1–3
Contract mengoperasikan aset pemerintah tetapi hanya tahun
menyediakan pelayanan tertentu.
2 Management Pihak Badan Usaha mengoperasikan aset pemerintah, 3–5
Contract menerima biaya manajemen, jika ada pembagian risiko tahun
akan ada insentif pembagian keuntungan.
3 Lease Pihak Badan Usaha mengoperasikan aset pemerintah 8 – 15
dan menanggung risiko operasional. Pihak Badan Usaha tahun
19

membayar biaya sewa dan mendapatkan pendapatan


dari penggunaan aset.
4 DBO/BOT Investasi pihak Badan Usaha meliputi konstruksi dan 20 – 30
operasi sampai masa berakhirnya KPBU, kemudian aset tahun
dikembalikan kepada pemerintah. Sedangkan risiko
permintaan dapat dibagi antara pihak pemerintah dan
Badan Usaha, tetapi risiko operasi dan keuangan
ditanggung oleh pihak Badan Usaha.
5 Concession Pemindahan jumlah maksimum risiko (seperti 20 – 30
permintaan, operasi, investasi/keuangan) kepada pihak tahun
Badan Usaha dengan menukarkan sejumlah bentuk ijin
operasi secara eksklusif.
20

Tabel 2.3 Ringkasan Model Penyediaan Infrastruktur

Proyek Badan
Proyek Pemerintah
Usaha

Kerjasama Pemerintah – Badan Usaha

Jenis Kontrak Pengadaan Pihak Franchise Design – Build – Build – Transfer – Build – Operate – Build – Own –
Pemerintah Finance – Operate Operate (BTO)** Transfer (BOT)*** Operate (BOO)
(DBFO)*

Konstruksi Pemerintah Pemerintah Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha

Operasi Pemerintah Pemerintah Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha

Kepemilikan Pemerintah Pemerintah Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha selama Badan Usaha
selama masa masa kontrak,
konstruksi, kemudian
kemudian Pemerintah
Pemerintah

Siapa yang bayar? Pemerintah Pengguna Pemerintah atau Pemerintah atau Pemerintah atau Badan Usaha
Pengguna Pengguna Pengguna diambil alih
Pemerintah

Siapa yang n/a Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha Badan Usaha
dibayar?
* dikenal juga sebagai Design – Construct – Manage – Finance (DCMF) atau Design – Build – Finance – Maintain (DBFM)
** dikenal juga sebagai Build – Transfer – Lease (BTL), Build – Lease – Operate – Transfer (BLOT), atau Build – Lease – Transfer (BLT)
*** dikenal juga sebagai Build – Own – Operate – Transfer (BOOT)
Sumber: Yescombe, 2007
21
22

Untuk meningkatkan proyek KPBU, pemerintah menetapkan Penanggung Jawab KPBU


Khusus. Penanggung Jawab ini ditetapkan oleh hukum dan mendapatkan legitimasi
darinya. Ada tiga fungsi dari Penanggung Jawab, yaitu pertama, harus bertindak sebagai
otoritas pengatur agar menjamin efektifitas implementasi kebijakan KPBU. Serta bebas
dari Administrasi Pusat dan Kementrian (Keuangan, dan menurut proyeknya,
Transportasi, Energi, Pendidikan dan sebagainya). Kedua, bertindak sebagai penasihat
terhadap otoritas apakah pusat atau daerah. Ketiga, memiliki pendekatan pro-aktif dan
campur tangan dalam perancangan dan implementasi pemecahan keuangan.

Sampai saat ini belum ada laporan standar untuk proyek KPBU. EIC merekomendasikan
bahwa laporan standar mengambil laporan ekonomi umum kontrak konsesi. Metode
laporan untuk depresiasi dan biaya pendanaan harus dihubungkan dengan profile arus
penerimaan.

Pandangan Badan Usaha sebagai pemegang konsesi mengambil peran dan implementasi
dari operasi proyek. Peranan ini sangat penting dalam penanganan yang efisien dari
pelayanan masyarakat tertentu sejak pemegang konsesi mengambil alih tanggung jawab
otoritas. Pihak Badan Usaha memegang tanggung jawab untuk implementasi dan operasi
pelayana masyarakat melalui perusahaan konsesi. Perusahaan konsesi sebaiknya berbagi
tanggung jawab melalui kontraktor, pemberi pelayanan, dan penyedia.

Partisipasi pihak Badan Usaha akan bergantung pada hasil penilaian ini. Utamanya, mitra
Badan Usaha menghendaki terpenuhnya sejumlah kondisi yang ada, yaitu kerangka
hukum yang stabil dan transparan; bebas hambatan diskriminasi (distorsi pasar, beban
pajak yang merugikan, persyaratan kualifikasi yang bersifat membedakan, pembatasan
gerak modal dan investasi asing, pilihan lokal dalam komposisi tenaga kerja); prosedur
untuk seleksi yang operasional, rinci, transparan, dan tidak diskiminatif; identifikasi dan
alokasi risiko-risiko antar mitra dinyatakan secara jelas; ketegasan kelangsungan finansial
proyek yang meliputi estimasi lalu lintas yang wajar, tarif pengguna yang dapat diterima,
dana pemerintah; ketetapan jaminan kompensasi dari pemerintah dan pinalti pihak Badan
23

Usaha yang tercantum dalam kontrak; lembaga sistem penyelesaian perselisihan yang
cepat berdasarkan pada mekanisme arbitrase internasional.

Keberhasilan proyek KPBU bergantung pada penilaian seksama dan objektif dari
parameter ekonomi, finansial dan teknis dalam kerangka transparan dan proses tender
kompetitif. Salah satu kendala yang dihadapi proyek KPBU infrastruktur, sehingga tidak
dapat terselenggara sebagaimana yang diharapkan, adalah gagalnya proyek mencapai
financial closure dengan pihak kreditor. Investor tidak dapat memenuhi pembiayaan yang
besar dari modal ekuitas sendiri, investor harus mendapatkan utang (debt) dari pihak lain,
umumnya dari pihak perbankan. Banyak faktor yang mempengaruhi terhadap atraktivitas
proyek untuk dapat didanai dengan utang. Menurut Pusat Kajian (2009), ada 53 faktor
yang berpengaruh dan dikelompokkan menjadi 6 kategori, yang meliputi kontraktual
proyek, konstruksi dan operasi, daya saing proyek, kredibilitas pihak mitra, kerangka
peraturan perundangan, dan kelayakan proyek didanani dengan utang. Secara rinci faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Faktor Berpengaruh pada Atraktivitas Proyek Didanai Dengan Utang
No. Faktor Berpengaruh
A. Kontraktual Proyek
A.1 Kontrak Proyek KPBU memberikan jaminan kepada kreditor menyangkut berbagai hal terkait
dengan kontrak (misal, bila terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak)
A.2 Adanya trustee atau offshore untuk cross-border debt
A.3 Adanya kontrol yang ketat terhadap cashflow
A.4 Proyek KPBU memiliki long-term concession atau offtake agreement yang menjamin predictable
revenues yang mampu meng-cover fixed payments dan variable costs
A.5 Pendapatan Proyek KPBU sensitif terhadap fluktuasi nilai tukar, laju inflasi, dan risiko pasar
(market risk)
A.6 Proyek KPBU memiliki kontrak pasokan (supply contract) yang memadai
A.7 Proyek KPBU mengalami ketidaksesuaian biaya/pendapatan (cost/revenue mismatch) yang
signifikan
A.8 Tarif yang dikenakan ke konsumen (direct fee payment) sangat sensitif secara politis
A.9 Kontrak KPBU mudah diterminasi (dibatalkan) sepihak
A.10 Kontrak KPBU menjelaskan secara detail tentang persyaratan yang harus dipenuhi saat
perselisihan sedang diselesaikan
A.11 Kontrak Proyek KPBU didesain secara memadai, tidak terjadi ambigu, konsisten, dan tidak samar
(vague)
A.12 Pemerintah memberikan dukungan (support) yang nyata ke Proyek KPBU
A.13 Adanya klausul step-in yang jelas bagi pihak kreditor saat Proyek KPBU melakukan wanprestasi
pembayaran utang yang mengakibatkan Proyek KPBU harus dinyatakan bangkrut
A.14 Tersedianya formulasi tarif yang jelas dan tegas dalam Kontrak KPBU
24

Tabel 2.4 Faktor Berpengaruh pada Atraktivitas Proyek Didanai Dengan Utang (lanjutan)
No. Faktor Berpengaruh
A.15 Tarif harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum dikenakan kepada pengguna meski sudah
diatur dalam Kontrak
A.16 Identifikasi dan alokasi risiko dalam kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha
dinyatakan dengan jelas
B. Konstruksi dan Operasi
B.1 Proyek KPBU dilengkapi dengan detailed engineering design (DED) yang memadai
B.2 Proyek KPBU memiliki fixed-price contract dengan kontraktor yang ditunjuk
B.3 Proyek KPBU memiliki jadwal penyelesaian proyek yang jelas
B.4 Kontrak mengatur secara tegas pasal-pasal bilamana kontraktor melakukan wanprestasi yang
menyebabkan proyek KPBU mengalami keterlambatan (liquidated damage clauses)
B.5 Masalah pengadaan lahan yang belum diselesaikan
B.6 Isu perijinan Proyek KPBU yang sangat kompleks
B.7 Pengalaman kontraktor yang ditunjuk oleh Sponsor Proyek KPBU
B.8 Adanya jaminan penyelesaian (completion guarantee) dari Sponsor Proyek
B.9 Proyek KPBU menggunakan teknologi baru yang belum terbuki (unproven technology)
A.10 Kontrak KPBU menjelaskan secara detail tentang persyaratan yang harus dipenuhi saat
perselisihan sedang diselesaikan
A.11 Kontrak Proyek KPBU didesain secara memadai, tidak terjadi ambigu, konsisten, dan tidak samar
(vague)
A.12 Pemerintah memberikan dukungan (support) yang nyata ke Proyek KPBU
A.13 Adanya klausul step-in yang jelas bagi pihak kreditor saat Proyek KPBU melakukan wanprestasi
pembayaran utang yang mengakibatkan Proyek KPBU harus dinyatakan bangkrut
A.14 Tersedianya formulasi tarif yang jelas dan tegas dalam Kontrak KPBU
A.15 Tarif harus mendapat persetujuan Pemerintah sebelum dikenakan kepada pengguna meski sudah
diatur dalam Kontrak
A.16 Identifikasi dan alokasi risiko dalam kontrak kerjasama antara Pemerintah dan Badan Usaha
dinyatakan dengan jelas
B. Konstruksi dan Operasi
B.1 Proyek KPBU dilengkapi dengan detailed engineering design (DED) yang memadai
B.2 Proyek KPBU memiliki fixed-price contract dengan kontraktor yang ditunjuk
B.3 Proyek KPBU memiliki jadwal penyelesaian proyek yang jelas
B.4 Kontrak mengatur secara tegas pasal-pasal bilamana kontraktor melakukan wanprestasi yang
menyebabkan proyek KPBU mengalami keterlambatan (liquidated damage clauses)
B.5 Masalah pengadaan lahan yang belum diselesaikan
B.6 Isu perijinan Proyek KPBU yang sangat kompleks
B.7 Pengalaman kontraktor yang ditunjuk oleh Sponsor Proyek KPBU
B.8 Adanya jaminan penyelesaian (completion guarantee) dari Sponsor Proyek
B.9 Proyek KPBU menggunakan teknologi baru yang belum terbuki (unproven technology)
B.10 Proyek KPBU memiliki kontrak operasi/pemeliharaan yang memadai, termasuk pasal-pasal
bilamana operator tidak mampu menyediakan kualitas layanan sebagaimana ditentukan dalam
kontrak
B.11 Penganggaran dan penjadwalan Proyek KPBU yang masuk akal (reasonable)
B.12 Adanya independent engineer (IE) yang qualified untuk memberikan penilaian kinerja Proyek
KPBU secara objektif
B.13 Kontrak Konstruksi yang memadai
B.14 Pemilihan negara tempat legal jurisdiction bila terjadi perselisihan (dispute)
25

Tabel 2.4 Faktor Berpengaruh pada Atraktivitas Proyek Didanai Dengan Utang (lanjutan)
No. Faktor Berpengaruh
B.15 Tersedia trustee arrangement
C. Daya Saing Proyek (Competitiveness)
C.1 Proyek KPBU memiliki biaya produksi yang relatif rendahi bila dibandingkan terhadap proyek-
proyek lain sejenis
C.2 Proyek KPBU memiliki competitive advantages dari sisi lokasi, teknologi, dan know-how
C.3 Volume permintaan (demand) yang menentukan pendapatan (revenue) tidak meragukan
C.4 Perkiraan pasar jangka panjang (long-term market outlook) yang tidak meragukan
D. Kredibilitas Pihak Mitra (Counterparty)
D.1 Pihak Mitra (counterparty), termasuk mitra dari Sponsor, pembiayaan, dan servis sangat kredibel
D.2 Adanya jaminan pembayaran utang (debt payment guarantee) dari Pihak Mitra
D.3 Adanya jaminan pendapatan (revenue guarantee) dari Pihak Mitra
D.4 Bila Pemerintah menjadi Pihak Mitra, keseriusan dan ketaatan Pemerintah dalam melaksanakan
kewajiban kontraktual tidak diragukan
E. Kerangka Peraturan Perundangan (Legal and Regulatory Framework)
E.1 Secara umum, terdapat kerangka peraturan perundangan yang komprehensif
E.2 Intervensi Pemerintah yang besar dalam penyelenggaraan Proyek KPBU
E.3 Terdapat kesinambungan (sustainability) kebijakan pemerintah yang baru; pergantian
kepemerintahan berarti tidak terjadi pergantian kebijakan yang signifikan
E.4 Kesinkronan peraturan pusat dengan peraturan-peraturan daerah
F. Kelayakan Proyek Didanai (Bankability)
F.1 Adanya intercreditor arrangement (bila Proyek KPBU didanai oleh banyak kreditor)
F.2 Dokumentasi pendanaan yang memadai
F.3 Ketersediaan model finansial (financial model) yang memadai dan tidak terjadi konflik dengan
dokumentasi Proyek KPBU
F.4 Dengan jumlah modal (ekuitas), Proyek KPBU dianggap memiliki Minimum DSCR (debt service
coverage ratio) yang memenuhi persyaratan
F.5 Dengan jumlah modal (ekuitas), Proyek KPBU dianggap memiliki Average DSCR (debt service
coverage ratio) yang memenuhi persyaratan
F.6 Suku bunga, inflasi dan nilai tukar sangat berpengaruh terhadap kemampuan Proyek KPBU
membayar kewajiban utang
F.7 Adanya fleksibilitas finansial
F.8 Adanya batasan tentang subordinated debt (junior debt)
F.9 Subordinated debt holder memiliki enforceable rights sebagaimana layaknya senior creditor
F.10 Adanya duration mismatch di mana pendanaan proyek-proyek infrastruktur pada umumnya
berjangka panjang (long-term) sementara sumber pembiayaan perbankan berjangka pendek (short-
term)
Sumber: Pusat Kajian Kerjasama dan Pelayanan Jasa Transportasi, 2009

1.6 Kelayakan Finansial Proyek KPBU

Kajian kelayakan suatu proyek infrastruktur transportasi merupakan tahapan yang


penting untuk proyek tersebut dapat dilanjutkan atau tidak. Ruang lingkup kajian
kelayakan meliputi aspek teknis, ekonomi, finansial, lingkungan, teknologi, sosial budaya
dan sebagainya.
26

Proyek infrastruktur transportasi dapat dilaksanakan dengan kerjasama pihak Badan


Usaha harus memenuhi salah satu kriteria yaitu layak secara finansial. Ini berkaitan
dengan pihak Badan Usaha yang berorientasi mendapatkan keuntungan secara finansial
dari kerjasama tersebut. Ukuran-ukuran yang dapat digunakan dalam kelayakan finansial
tersebut adalah Net Present Value (NPV) adalah teknik ini menggunakan faktor bunga
untuk memperlihatkan nilai biaya dan pendapatan saat ini sebagai konversi dari waktu
yang akan datang, Benefit Cost Ratio (BCR) adalah perbandingan antara pendapatan
terhadap biaya, Internal Rate of Return (IRR) adalah besarnya bunga untuk mendapatkan
pendapatan saat ini sama dengan biaya saat ini (dengan kata lain NPV = 0), dan Payback
Periode adalah lamanya waktu dari awal proyek sampai dimana pendapatan bersih dapat
mengembalikan biaya investasi modal.
27

2 PELAKSANAAN KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN BADAN USAHA DI


INDONESIA
2.1 Aspek Hukum Tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha di
Indonesia

Infrastruktur transportasi dapat dikatakan sebagai pemicu untuk pertumbuhan ekonomi di


samping infrastruktur lainnya (seperti energi, air bersih). Umumnya infrastruktur
transportasi bersifat padat modal, sehingga penyelenggaraan infrastruktur tersebut (baik
prasarana, sarana, operasional, dan pemeliharaan) wajib dilaksanakan oleh pemerintah
dan atau pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan belanja. Permasalahan yang
dihadapi adalah keterbatasan anggaran untuk pembiayaan penyelenggaraan tersebut,
sedangkan di sisi lain percepatan pembangunan ekonomi tidak dapat ditunda-tunda. Di
pihak lain, yaitu Badan Usaha, ada dana yang sangat besar yang dapat dimanfaatkan
untuk melaksanakan penyelenggaran infrastruktur transportasi. Pemanfaatan dana Badan
Usaha ini, pemerintah harus memberikan jaminan kepastian hukum dan keamanan bagi
pihak Badan Usaha.

Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) di Indonesia diatur dalam


perundangan-undangan, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2009 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan
Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dapat
bekerjasama dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan bertindak selaku
penanggung jawab Proyek Kerjasama.

Tujuan dilakukan proyek kerjasama antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah


dengan Badan Usaha adalah mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan
dalam Penyediaan Infrastruktur melalui pengerahan dana Badan Usaha; meningkatkan
kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat; meningkatkan
28

kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam Penyediaan Infrastruktur; mendorong


digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal-hal
tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna.

Proyek kerja sama dapat diprakarsai oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah atau
Badan Usaha. Proyek kerja sama yang diprakarsai oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah mempertimbangkan paling kurang sebagai berikut kesesuaian dengan rencana
pembangunan jangka menengah nasional/daerah dan rencana strategis sektor
infrastruktur, kesesuaian lokasi proyek dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, keterkaitan
antar sektor infrastruktur dan antar wilayah, dan analisa biaya dan manfaat sosial proyek
kerja sama yang diprakarsai oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah harus disertai
dengan pra studi kelayakan, rencana bentuk kerjasama, rencana pembiayaan proyek dan
sumber dananya, dan rencana penawaran kerjasama yang mencakup jadwal, proses dan
cara penilaian. Proyek kerja sama yang diprakarsai oleh badan usaha harus memenuhi
kriteria sebagai berikut tidak termasuk dalam rencana induk pada sektor yang
bersangkutan, terintegrasikan secara teknis dengan rencana induk pada sektor yang
bersangkutan, layak secara ekonomi dan finansial, dan tidak memerlukan dukungan
pemerintah yang berbentuk kontribusi fiskal. Proyek kerja sama yang diprakarsai oleh
badan usaha wajib dilengkapi dengan studi kelayakan, rencana bentuk kerjasama, rencana
pembiayaan proyek dan sumber dananya, dan rencana penawaran kerjasama yang
mencakup jadwal, proses dan cara penilaian. Proyek kerja sama atas prakarsa badan
usaha yang diterima oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah akan diberi
kompensasi berupa pemberian tambahan nilai paling banyak 10% dari nilai tender
pemrakarsa, pemberian hak untuk melakukan penawaran oleh Badan Usaha pemrakarsa
terhadap penawar terbaik (right to match) sesuai dengan hasil penilaian dalam proses
pelelangan, pembelian prakarsa proyek kerjasama termasuk hak kekayaan intelektual
yang menyertainya oleh Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah atau oleh pemenang
tender atas biaya yang telah dikeluarkan oleh badan usaha pemrakarsa. Badan usaha
pemrakarsa yang mendapat kompensasi berupa pemberian tambahan nilai dan pemberian
hak untuk melakukan penawaran wajib mengikut penawaran, sedangkan untuk yang
berupa pembelian prakarsa proyek kerja sama tidak diperkenankan mengikuti penawaran.
29

Prinsip-prinsip kerjasama penyediaan infrastruktur antara Menteri/Kepala


Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha menurut Peraturan Presiden Republik
Indonesia No. 67 Tahun 2005 Pasal 6 adalah adil (berarti seluruh Badan Usaha yang ikut
serta dalam proses pengadaan harus memperoleh perlakuan yang sama), terbuka (berarti
seluruh proses pengadaan bersifat terbuka bagi Badan Usaha yang memenuhi kualifikasi
yang dipersyaratkan), transparan (berarti semua ketentuan dan informasi yang berkaitan
dengan Penyediaan Infrastruktur, termasuk syarat teknis administrasi pemilihan, tata cara
evaluasi, dan penetapan Badan Usaha bersifat terbuka bagi seluruh Badan Usaha serta
masyarakat umumnya), bersaing (berarti pemilihan Badan Usaha dilakukan melalui
proses pelelangan. Dalam hal ini kelengkapan administrasi untuk proses kerjasama
menjadi salah satu syarat berjalannya suatu kerjasama antara pemerintah dan Badan
Usaha), bertanggungjawab (berarti hasil pemilihan Badan Usaha harus dapat
dipertanggungjawabkan), saling menguntungkan (berarti Kerjasama dengan Badan Usaha
dalam penyediaan infrastruktur dilakukan berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang
seimbang sehingga memberi keuntungan bagi kedua belah pihak dan masyarakat dengan
memperhitungkan kebutuhan dasar masyarakat), saling membutuhkan (berarti Kerjasama
dengan Badan Usaha dalam penyediaan Infrastruktur dilakukan berdasarkan ketentuan
dan persyaratan yang mempertimbangkan kebutuhan kedua belah pihak), dan saling
mendukung; berarti Kerjasama dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
dilakukan dengan semangat saling mengisi bagi kedua belah pihak).

Mekanisme KPBU di Indonesia melibatkan beberapa komponen, yaitu Menteri


Keuangan, Unit Pengelola Risiko Fiskal, Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI),
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK), Unit Manajemen Pelaksanaan Perjanjian
Kerjasama, Badan Usaha, Konsultan, Lembaga Keuangan Multilateral. Mekanisme
tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.3.

Menteri Keuangan adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
keuangan dan kekayaan negara. Unit Pengelola Risiko Fiskal adalah salah satu unit di
lingkungan Badan Kebijakan Fiskal yang mempunyai tugas melaksanakan perumusan
30

rekomendasi, analisis, evaluasi, dan pengelolaan risiko ekonomi global, BUMN, dan
dukungan pemerintah. Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI) adalah Badan
Usaha yang didirikan oleh pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan
Penjaminan Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk
Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur.
Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) adalah Menteri/Kepala Lembaga/Kepala
Daerah, atau BUMN/BUMD dalam hal berdasarkan peraturan perundang-undangan,
penyediaan infrastruktur diselenggarakan atau dilaksanakan BUMN/BUMD. Unit
Manajemen Pelaksanaan Perjanjian Kerjasama adalah suatu unit yang dibentuk oleh
PJPK dengan tugas menyiapkan dan menyusun rencana serta melaksanakan manajemen
pelaksanaan Perjanjian Kerjasama. Badan Usaha adalah badan usaha sebagaimana
dimaksudkan dalam Peraturan Perundang-undangan tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur, badan usaha Badan Usaha yang
berbentuk perseroaan terbatas, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), dan Koperasi. Konsultan adalah suatu lembaga di luar pemerintahan
(independen) yang membantu PJPK dalam perencanaan, penyiapan, transaksi Proyek
Kerjasama serta pengawasan dan pengendalian Perjanjian Kerjasama. Lembaga
Keuangan Multilateral adalah lembaga keuangan yang dibentuk dari beberapa negara.

2.2 Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha di Indonesia

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2007, pihak investor Badan Usaha didorong untuk lebih
luas berperan dalam penyelenggaraan perkeretaapian. Peran pihak Badan Usaha dapat
dengan cara menyediakan dana untuk penyelenggaraan perkeretaapian atau kemampuan
dalam mengelola secara komersial untuk mengembangkan skope dan kualitas pelayanan
kereta api. Menurut Australia Indonesia Partnership (2010) dalam Railway Master Plan
Study Consolidated Report: Draft Final National Railway Master Plan, secara garis besar
ada tiga pengembangan yang perlu dipertimbangkan, yaitu perbaikan jalan rel yang saat
ini di bawah pengelolaan PT Kereta Api (Persero), meliputi jalur Jawa, Sumatera Utara,
dan Sumatera Barat, jalur rel baru yang diharapkan terutama untuk pengembangan
31

tambang baru di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, jalan rel sub-nasional konsisten
dengan kebutuhan lokal dan kebijakan konstitusi daripada peralihan perubahan
pemerintahan.

Investasi pihak Badan Usaha dalam PT Kereta Api (Persero) untuk jalur utama Jawa dan
Sumatera dapat diterima, tetapi sedikitnya 51% saham dimiliki oleh pemerintah melalui
investasi modal langsung. Dengan adanya pemisahan infrastruktur, PT Kereta Api
(Persero) hanya menjadi operator jalan rel. Kementrian Badan Usaha Milik Negara harus
mempertimbangkan status PT Kereta Api (Persero) dan melimpahkan kepemilikan utama
ke pihak Badan Usaha.

Pihak Badan Usaha secara langsung tertarik terhadap penyelenggaraan perkeretaapian


untuk mengembangkan pertambangan. Hal ini disebabkan pertimbangan pengembangan
kapasitas transportasi lebih efisien untuk ekploitasi sumber daya. Eksploitasi sumber
daya saat ini adalah batu bara. Untuk masa yang akan datang diharapkan potensi investasi
pihak Badan Usaha dalam sektor jalan rel untuk proyek pengembangan mineral lainnya
dan proyek lainnya seperti sektor kayu, perkebunan, pertanian.

Proyek jalan rel sub-nasional menawarkan beberapa potensi kesempatan untuk pihak
Badan Usaha berperan serta dalam pendanaan. Proyek jalan rel sub-nasional dapat berupa
pengembangan jalan rel perkotaan atau yang bersifat komuter. Infrastruktur mungkin
sekali seluruhnya didanai oleh pemerintah, sedangkan operasi jalan rel bisa dikontrakkan
atau dikonsesikan ke pihak Badan Usaha. Dukungan kesepakatan PSO (Public Service
Obligation) dan biaya yang diperkirakan, akan memberikan iklim yang baik untuk
berinvestasi sarana kereta api dan aset lainnya oleh pihak Badan Usaha.

2.3 Struktur Kelembagaan

Lembaga-lembaga yang terlibat dalam KPBU terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu
Lembaga Regulasi Pemerintah dan Operator Jalan Rel. Lembaga Regulasi Pemerintah
32

terdiri dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Service Contracting, Chartering,


Licensing, Pengatur Ekonomi.

Direktorat Jenderal Perkeretaapian bertanggungjawab untuk untuk infrastruktur jalan rel


nasional saat ini, juga bertanggungjawab untuk menetapkan standar dan peraturan
keselamatan. Direktorat ini melaksanakan tanggungjawabnya untuk pemeliharaan
infrastruktur yang ada melalui tender untuk operasi, pemeliharaan, dan pekerjaan
pembaruan yang diperlukan untuk memelihara kondisi infrastruktur dan
mengoperasikannya. Service Contracting merupakan suatu unit di bawah Direktorat
Jenderal Perkeretaapian yang dibentuk berdasarkan kontrak untuk pelayanan yang tidak
memiliki hak kepemilikan, tetapi menyediakan pelayanan masyarakat. Unit ini akan
melaksanakan tender untuk pelayanan rel dan akan mengembangkan model kontrak dan
prosedur kontrak untuk digunakan oleh pemerintahan daerah. Saat ini belum jelas
lembaga yang bertanggungjawab untuk menyewa jalan rel baru, bisa jadi suatu unit di
bawah Departemen Perhubungan. Agen penyewa ini akan diwajibkan bekerja sama
dengan BAPPENAS, Departemen Komunikasi, dan Departemen Keuangan (jika dana
pemerintah terlibat). Lisensi operator dapat dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Perkeretaapian atau oleh agen pemerintah lainnya yang terlibat dalam transportasi.
Lisensi akan menetapkan syarat-syarat keamanan, pelatihan, keuangan, dan pengalaman.
Lisensi akan mewajibkan proses pembaruan berdasarkan waktu dan pemegang lisensi
akan diwajibkan untuk terus menerus memenuhi kerangka lisensi. Pengatur Ekonomi
adalah suatu agen yang terpisah dari departemen yang terlibat dalam transportasi jalan
rel. Agen ini mempunyai kewenangan untuk memaksa keputusan ekonomi dan
mengembangan standar laporan biaya dan penerimaan untuk jalan rel. Operator Jalan Rel
terdiri dari PT Kereta Api (Persero), Operator Jalan Rel Lainnya, Perusahaan Penyewa
Perlengkapan (Equipment Leasing Companies), Single Purpose Private Railways, dan
Multi Purpose Private Railways.

Operator jalan rel terbesar adalah PT Kereta Api (Persero) yang memiliki lokomotif dan
gerbong, organisasi pemasaran, staf terlatih secara khusus dan luas dengan beberapa
kemampuan (enjiner, masinis, mesin, kepala stasiun, dll.). Dengan banyak kemampuan
33

ini melengkapi PT Kereta Api (Persero) dengan sejumlah strategi untuk bertumbuh.
Bagaimanapun, setelah periode transisi, PT Kereta Api (Persero) harus mengembangkan
struktur organisasi operasional yang baru, salah satunya dengan suatu unit bisnis
infrastruktur, dan paling sedikit sebagai unit bisnis operasi jalan rel. Unit ini bisa
memisahkan unit bisnis perancangan, konstruksi dan pemeliharaan infrastruktur untuk
menjual pelayanan ini ke operator Badan Usaha lainnya. Perusahaan operasi lainnya bisa
menyediakan pelayanan khusus, misalnya melayani kontainer antara water port dan dry
port atau lokasi lain, komunitas lokal bisa menyediakan pelayanan khusus untuk kereta
suburban, perusahaan tambang bisa membentuk perusahaan operasi jalan rel berlisensi
agar lebih ketat pelayanan kereta terintegrasi. Perusahaan Penyewa Perlengkapan bisa
lebih membuka pasar untuk perlengakapan jalan rel. Perusahaan penyewa tidak
mewajibkan lisensi khusus jika mereka mebeli gerbong yang memenuhi standar
pemerintah dan asosiasi industri dan menggunakan operator berlisensi untuk
menyediakan pelayanan pemeliharaan dan perbaikan.

Hukum Indonesia mengijinkan jalan rel dikelola oleh perusahaan rel Badan Usaha.
Perusahaan rel Badan Usaha bisa mengusulkan untuk membangun jalan rel untuk
melayani operasi pengangkutan tunggal, misalnya tambang atau perusahaan mineral. Ada
dua tipe perusahaan rel Badan Usaha, yaitu tipe dirancang untuk operasi komersial
tertentu (hanya untuk memenuhi kebutuhan memindahkan produk dari satu titik ke titik
lainnya). Produk tersebut misalnya batu bara atau mineral lainnya dari tambang ke
pelabuhan. Tipe ini tidak melayani masyarakat umum atau angkutan lainnya, dan
kenyataannya dilarang untuk melayani angkutan lainnya.

Beberapa operasi jalan rel menerima penambahan lalu lintas angkutan lainnya, untuk
membantu membiayai pengembalian biaya konstruksi dan biaya tetap lainnya. Jalan rel
seperti ini memiliki nilai ekonomi yang lebih baik dan lalu lintas lebih banyak dapat
diangkut. Dengan volume lalu lintas dari berbagai pengangkut, kemudian memberikan
kondisi lebih baik karena angkutan lainnya tersebut membantu untuk membayar biaya
investasi awal. Karakteristik ini dinamakan multi purpose railway.
34

3. RISIKO
3.1 Definisi Risiko

Risiko adalah sebuah ukuran dari probabilitas dan konsekuensi ketidaktercapaian suatu
tujuan proyek yang telah ditetapkan. Secara konsep, risiko dapat didefinisikan sebagai
fungsi dari ketidakpastian dan kerugian. Risiko meningkat seiring dengan ketidakpastian
dan kerugian (Kerzner, 1995).

Risiko = f(ketidakpastian, kerugian)

Memang, risiko tidak mudah diperkirakan, karena kemungkinan kegagalan dan


konsekuensi kegagalan biasanya bukan parameter-parameter yang terukur dan harus
diperkirakan secara statistik atau prosedur lainnya. Ketidakpastian dan kerugian harus
dipertimbangkan dalam analisis risiko. Prosedur analisis risiko berhubungan dengan
sesuatu yang sulit diketahui. Biasanya penilaian kualitatif dimungkinkan.

Elemen lainnya dari risiko adalah penyebab risiko, yaitu bahaya dan usaha perlindungan.
Secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut

Risiko = f(bahaya, usaha perlindungan)

Semakin besarnya bahaya akan semakin besar pula risiko yang harus ditanggung, tetapi
dengan semakin meningkatnya usaha perlindungan akan semakin kecil risiko yang harus
ditanggung. Impilkasi dari persamaan tersebut adalah bahwa manajemen proyek yang
baik akan disusun dengan mengidentifikasi bahaya dan mengijinkan usaha perlindungan
dikembangkan. Jika usaha perlindungan cukup tersedia akan mengurangi risiko sampai
ke tingkat yang dapat diterima.

3.2 Definisi Manajemen Risiko


35

Manajemen risiko adalah cara teratur dalam mengidentifikasi dan mengukur risiko dan
mengembangkan, memilih, dan mengelola pilihan-pilihan untuk menangani risiko-risiko
ini. Beberapa perangkat yang tersedia untuk membantu proyek dalam mengelola risiko di
wilayah teknis, memberikan sinyal bahaya yang bisa mengindikasi bahwa proyek sudah
berjalan di luar lajur, dan memprioritaskan tindakan-tindakan koreksi yang diperlukan
(Kerzner, 1995).

Menurut Project Management Institute Body of Knowledge (PMBOK) (Kerzner, 1995),


ada tiga definisi manajemen risiko. Definisi pertama menyatakan bahwa manajemen
risiko adalah proses formal yang mana faktor-faktor risiko diidentifikasi, diperkirakan
dan dilengkapi secara sistematis. Definisi kedua menyatakan bahwa manajemen risiko
adalah metode sistematik formal dari pengelolaan bahwa dititikberatkan pada identifikasi
dan pengendalian area atau kejadian-kejadian yang memiliki potensi penyebab perubahan
yang tidak dikehendaki. Sedangkan definisi ketiga, manajemen risiko, dalam konteks
proyek, didefinisikan sebagai seni dan sains dari identifikasi, analisis, dan respon
terhadap faktor-faktor risiko sepanjang waktu proyek dan kepentingan tujuan-tujuannya.

3.3 Kepastian, Risiko, dan Ketidakpastian

Pengambilan keputusan biasanya ditentukan dalam tiga kategori, yaitu kepastian, risiko,
dan ketidakpastian. Pengambilan keputusan atas dasar kepastian adalah kasus yang
terbaik dan termudah melakukannya. Dengan kepastian, diasumsikan bahwa seluruh
informasi yang dibutuhkan tersedia dan membantu dalam pengambilan keputusan yang
benar dan dapat memprediksi keluaran yang diharapkan dengan tingkat kepercayaan 100
persen. Potensi kegagalan proyek meningkat sejalan dengan kepastian, risiko, dan
ketidakpastian.

Pengambilan keputusan atas dasar risiko biasanya memiliki beberapa strategi dan setiap
strategi tidak bersifat yang dominan. Pada situasi nyata, keuntungan yang tinggi disertai
dengan risiko yang tinggi dan kehilangan probabilitas yang tinggi juga. Ketika tidak ada
strategi yang dominan, maka probabilitas harus diberikan pada kejadian setiap pilihan.
36

Menurut PMBOK, risiko adalah dampak total dari keluaran yang dapat digambarkan
dengan menetapkan batas kepercayaan (misalnya distribusi prababilitas). Distribusi
probabilitas ini diperoleh dari distribusi pengalaman yang didefinisikan dengan baik.

Perbedaaan antara risiko dan ketidakpastian adalah risiko ditujukan dengan probabilitas
sedangkan ketidakpastian memahami tentang probabilitas tidak ada. Sebagaimana
dengan pengambilan keputusan atas dasar risiko, pengambilan keputusan atas dasar
ketidakpastian juga tidak memiliki strategi yang dominan. Pengambil keputusan memiliki
empat kriteria dasar penyelesaian yang bergantung pada jenis proyek maupun toleransi
manajer proyek terhadap risiko, yaitu kriteria Hurweiz, kriteria Wald, kriteria Savage, dan
kriteria Laplace (Kerzner, 1995).

Kriteria pertama adalah kriteria Hurweiz, sering berhubungan dengan kriteria maksimaks.
Menurut kriteria Hurweiz, pengambil keputusan selalu optimis dan mencoba
memaksimumkan keuntungan dengan go-for-broke strategy. Kriteria maksimum
mengatakan bahwa pengambil keputusan akan selalu mengambil strategi yang
keuntungannya maksimum. Kriteria Hurweiz dapat diterapkan pada perusahaan besar
dengan aset yang kuat. Perusahaan kecil lebih tepat menggunakan kriteria Wald atau
kriteria maksimin. Pengambil keputusan memperhatikan terhadap berapa besar yang dia
dapat usahakan untuk kegagalan. Dalam kriteria ini, posisi pesimis diambil daripada
posisi optimis dengan pokok penting meminimumkan kegagalan maksimum. Kriteria
ketiga adalah kriteria Savage atau kriteria minimaks. Menurut kriteria ini, diasumsikan
bahwa manajer proyek adalah seorang yang mengalami kegagalan dalam mengambil
keputusan dan bersikap pesimis. Manajer proyek mencoba meminimumkan sikap pesimis
dari kegagalan yang maksimum. Kriteria keempat adalah kriteria Laplace. Kriteria ini
mencoba mengubah dari pengambilan keputusan berdasarkan ketidakpastian ke
pengambilan keputusan berdasarkan risiko. Kriteria Laplace membuat asumsi teoritis
berdasarkan statistik Bayesian, yang menyatakan bahwa jika probabilitas kondisi tidak
diketahui, harus diasumsikan bahwa setiap kondisi memiliki kemungkinan kejadian yang
sama.
37

3.4 Metodologi Manajemen Risiko

Strategi manajemen risiko ditetapkan pada awal proyek dan bahwa risiko ditujukan terus
menerus sepanjang waktu proyek. Manajemen risiko, menurut Kerzner (1995), meliputi
beberapa tindakan yang berkaitan dengan penilaian risiko, analisis risiko, penanganan
risiko, dan belajar pengalaman.

Penilaian risiko adalah proses pemeriksaan situasi dan identifikasi dan klasifikasi area
potensi risiko. Ini meliputi survei program, pelanggan, dan pengguna untuk perhatian dan
permasalahan. Kecermatan dalam mengidentifikasi akan menentukan efektifitas
manajemen risiko. Tidak seluruh risiko adalah risiko derajat tinggi yang akan
memberikan pengaruh kritis terhadap proyek. Akan tetapi, kumulatif dampak dari
kombinasi beberapa risiko derajat rendah dapat memberikan pengaruh yang besar.

Menurut Kerzner (1995), sejumlah derajat risiko selalu ada dalam wilayah proyek, teknis,
pengujian, logistik, produksi, dan rekayasa. Risiko proyek meliputi risiko pendanaan,
jadwal, hubungan kontrak, dan politik. Risiko teknis bisa meliputi risiko persyaratan
kinerja, tetapi juga bisa meliputi risiko-risiko dalam kelayakan suatu konsep perancangan
atau risiko yang berkaitan dengan penggunaan peralatan atau perangkat lunak. Risiko
produksi meliputi persoalan pengemasan, pembuatan, waktu pemesanan, dan
ketersediaan material. Risiko rekayasa meliputi persoalan kemampuan mendukung,
memelihara, mengoperasikan, dan melatih. Pemahaman risiko di dalam wilayah ini dan
lainnya disusun dari waktu ke waktu. Konsekuensinya, analisis risiko terus menerus
sepanjang seluruh fase proyek.

Analisis risiko membutuhkan pelaksanaan analisis untuk menentukan probabilitas


kejadian-kejadian dan konsekuensi yang berhubungan dengan kejadiannya. Beberapa alat
yang ada membantu dalam analisis, seperti model jaringan jadwal dan model biaya.
Tujuan analisis risiko adalah menemukan penyebab, pengaruh, dan besarnya risiko yang
dirasa serta mengembangkan dan memeriksa pilihan alternatif. Tujuan akhir dari
manajemen risiko adalah mitigasi risiko, yang mana tindakan-tindakan merevisi apakah
38

jadwal, anggaran, biaya, atau kualitas proyek sehingga ketidakpastian proyek dikurangi
tanpa berdampak berarti pada tujuan proyek. Mitigasi risiko memerlukan analisis risiko
agar bisa menetapkan pengaruh pada proyek. Beberapa orang mempertimbangkan
analisis risiko dan analisis pengaruh sesuatu yang sama. Secara matematik dapat ditulis
sebagai berikut:

Pengaruh Risiko = Kemungkinan Risiko x Konsekuensi Risiko

Penanganan risiko meliputi teknik dan metode yang dikembangkan untuk mengurangi
atau mengendalikan risiko. Tidak ada manajemen risiko jika tidak ada ketetapan untuk
menangani risiko yang telah diidentifikasi dan dianalisis. Menurut Kerzner (1995)
teknik-teknik untuk mengurangi atau mengendalikan risiko ada lima kategori, yaitu
penghindaran (avoidance), pengurangan (reduction), asumsi (assumption), pemindahan
(transfer), dan pengetahuan dan penelitian (knowledge and research).

Penghindaran risiko (avoidance) adalah menghindari konsekuensi kegagalan yang


potensial dan/atau kemungkinannya. Dalam manajemen proyek, penghindaran risiko bisa
direfleksikan dalam pemilihan konsep sistem dan pemilihan kontraktor. Tidak seluruhnya
risiko dapat dihindari. Yang termasuk dalam pengurangan risiko (reduction) adalah
pencegahan risiko atau pengendalian risiko. Pengendalian risiko adalah proses terus
menerus untuk mengijinkan alternatif penyelesaian pada risiko rendah. Asumsi risiko
(assumption) adalah suatu pengakuan eksistensi risiko tetapi suatu keputusan menerima
konsekuensi jika kegagalan terjadi. Banyak proyek harus mengasumsikan beberapa
risiko. Pemindahan risiko (transfer) adalah suatu cara pengelakan oleh manajer proyek
memindahkan seluruh atau sebagian risiko ke pihak lain dengan beberapa bentuk kontrak.
Pilihan pemindahan risiko ke kontraktor meliputi kinerja produk, jaminan, insentif biaya,
pengikatan, dan kontrak. Pengetahuan dan penelitian (knowledge and research) sebagai
metode untuk penanganan risiko adalah proses terus menerus yang memungkinkan
partisipan melakukan pengurangan risiko melalui modifikasi probabiliti dan konsekuensi
melalui inisiasi awal aktivitas pengembangan, implementasi pengujian pengembangan
secara luas, dan pengembangan simulasi untuk memprediksi kinerja.
39

Belajar pengalaman meliputi metode untuk mendokumentasi pengalaman pada


manajemen risiko. Ini perlu karena manajer proyek dapat belajar dari kesalahan-
kesalahan yang lalu untuk mengambil keputusan masa yang akan datang. Pengalaman
adalah guru yang terbaik dalam identifikasi risiko dan pengurangan risiko.

3.5 Klasifikasi Risiko

Loosemore (2007) mengklasifikasikan risiko menjadi dua kelompok utama, yaitu risiko
umum (general risks) dan risiko proyek (project risks). Risiko umum tidak berhubungan
langsung dengan strategi proyek, tetapi dapat memberikan dampak yang signifikan
terhadap hasil akhir proyek. Ini ditimbulkan dari kejadian alam, politik, peraturan,
hukum, dan ekonomi di lingkungan makro umum sekitar proyek. Risiko proyek timbul
dari cara suatu proyek dikelola atau dari kejadian-kejadian dalam lingkungan mikro
sesaat. Risiko yang termasuk dalam kelompok ini seperti masalah tanah, kondisi cuaca,
masalah teknis yang berhubungan dengan perancangan, pabrikasi dan peralatan, masalah
material berhubungan dengan penyedia, masalah organisasi yang berhubungan dengan
sub-kontraktor, masalah tenaga kerja yang berhubungan dengan serikat pekerja, masalah
kontrak yang berhubungan dengan perjanjian kerja sama, dan masalah lingkungan yang
berhubungan polusi.

Proyek infrastruktur yang dikerjakan dengan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
(KPBU) perlu mempertimbangkan beberapa risiko yang berkaitan dengan proses
pengadaan KPBU. Menurut Loosemore (2007), risiko-risiko ini berpontensi
mempengaruhi proyek KPBU, yaitu risiko kridit (berhubungan dengan arus pembayaran
hutang obligasi), risiko konstruksi (yang berhubungan dengan periode penyelesaian
konstruksi), risiko penerimaan (yang berhubungan dengan arus penerimaan), risiko
operasi (yang berhubungan dengan pemeliharaan dan pepenggantian), dan risiko
keuangan dan hukum (yang berhubungan dengan kecukupan dan sensitifitas arus uang
terhadap pengembalian hutang). Sedangkan Grimsey and Lewis (2004) mengidentifikasi
enam risiko yang berhubungan dengan proyek KPBU, yaitu risiko umum (yang
40

berhubungan dengan tanggung jawab pemerintah yang menjamin bahwa konstruksi


sesuai dengan peraturan), risiko aset (yang berhubungan dengan biaya pemeliharaan yang
melebihi dari rencana akibat kerusakan oleh kejadian force majeur), risiko operasi (yang
berhubungan dengan ketidaksesuaian spesifikasi, biaya, atau waktu dengan kesepakatan),
risiko sponsor (yang berhubungan dengan ketidaksanggupan pemerintah
menyelenggarakan obligasi perjanjian atau menutupi kompensasi), risiko keuangan (yang
berhubungan dengan harga dan biaya meningkat, penarikan pemilik modal, dan diskonto
meningkat), dan risiko kegagalan (yang berhubungan dimana satu pihak tidak sanggup
menyelenggarakan obligasi perjanjian).

Berdasarkan Undang-Undang No 23 Tahun 2007 Pasal 17 penyelenggaraan


perkerataapian umum dibagi menjadi dua, yaitu penyelenggaraan prasarana kereta api
dan penyelenggaraan sarana kereta api. Kedua penyelenggaraan tersebut memiliki risiko-
risiko yang harus ditanggung oleh pihak penyelenggara. Menurut Pusat Kajian Kerjasama
dan Pelayanan Jasa Transportasi (2009) mengkategorikan risiko-risiko menjadi empat
kategori utama, yaitu risiko politik, risiko ekonomi makro, risiko operasional, dan risiko
keadaan kahar. Setiap kategori risiko utama didetilkan seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 3.1 Daftar Alokasi Risiko


Pihak I dan II
Pihak I Pihak II
(Pemerintah
No. Alokasi Risiko (Pemerintah (Badan
dan Badan
) Usaha)
Usaha)
A Kekuasaan
1. Politik √
2. Hukum
a. Perubahan Undang-Undang √
b. Perubahan Peraturan √
3. Konvertabilitas Repatriasi Valuta Asing √
B Ekonomi Makro
1. Pasar/Pendapatan √
a. Pembelian √
b. Harga/Tarif √
2. Kelalaian Mitra Kerja √
3. Kurs Mata Uang Asing √
4. Suku Bunga √
5. Pembiayaan Kembali √
6. Inflasi √
C Operasional
1. Pengembangan
41

a. Persaingan √
b. Pasar/Waktu √ √
c. Kelalaian/Cidera Janji (Sponsor) √
d. Kelayakan Proyek √
e. Lahan √
2. Penyelesaian √
a. Peningkatan Biaya √
b. Keterlambatan Penyelesaian
c. Perizinan
d. Teknologi √
e. Perancangan √ √
3. Pengoperasian √
a. Biaya Operasi √
b. Kelalaian Operator √
c. Pemasokan Bahan Baku
d. Perizinan
e. Teknologi √
f. Perancangan √
g. Lingkungan Hidup √
D Keadaan Kahar
1. Keadaan Kahar Alam √
2. Keadaan Kahar Politik √
Sumber: Pusat Kajian Kerjasama dan Pelayanan Jasa Transportasi, 2009

3.6 Perangkat Hukum di Indonesia

Perangkat hukum di Indonesia mengenai pelaksanaan dan pengelolaan risiko diatur oleh
Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek
Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Yang Dilakukan Melalui Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur dan Keputusan Menteri Keuangan No 260/PMK.011/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama
Pemerintah Dengan Badan Usaha.

Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2010 menyatakan bahwa penjaminan infrastruktur


diberikan terhadap risiko infrastruktur yang lebih mampu dikendalikan, dikelola atau
dicegah terjadinya, atau diserap oleh Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama (PJPK)
daripada Badan Usaha; bersumber dari Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama; dan atau
bersumber dari pemerintah selain Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama. Risiko
infrastruktur diusulkan oleh Penanggung Jawab Proyek Kerja Sama ke Badan Usaha
Penjaminan Infrastruktur yang dituangkan dalam Perjanjian Kerja Sama. Badan Usaha
42

Penjaminan Infrastruktur, yang selanjutnya disebut BUPI adalah Badan Usaha yang
didirikan oleh Pemerintah dan diberikan tugas khusus untuk melaksanakan Penjaminan
Infrastruktur serta telah diberikan modal berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun
2009.

Keputusan Menteri Keuangan No. 260/PMK.011/2010 Pasal 2, bentuk Penjaminan


Infrastruktur pada Proyek Kerjasama terdiri dari Penjaminan Pemerintah yang dilakukan
berdasarkan Perjanjian Penjaminan Pemerintah dan Penjaminan BUPI yang dilakukan
berdasarkan Perjanjian Penjaminan BUPI. Pasal 3 menyatakan bahwa Penjaminan
Infrastruktur pada Proyek Kerjasama dilakukan dengan cara, yaitu Penjaminan hanya
oleh BUPI (Penjaminan BUPI), yang dapat mencakup seluruh atau sebagian Risiko
Infrastruktur dalam satu Proyek Kerjasama atau Penjaminan BUPI bersama-sama dengan
Penjaminan Pemerintah untuk Risiko Infrastruktur yang berbeda dalam satu Proyek
Kerjasama (Penjaminan BUPI dengan Penjaminan Pemerintah), yang didasarkan pada
suatu pembagian Risiko Infrastruktur antara BUPI dengan Menteri Keuangan.

Penjaminan Infrastruktur dengan cara Penjaminan BUPI bersama-sama dengan


Penjaminan Pemerintah hanya dapat dilakukan dalam kondisi sebagai berikut: (1)
kekayaan yang dimiliki BUPI tidak mencukupi untuk melakukan penjaminan sesuai
Usulan Penjaminan, namun penjaminan tersebut berdasarkan evaluasi BUPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 Perpres 78/2010 perlu dilakukan demi tercapainya tujuan
Penjaminan Infrastruktur; (2) tidak terdapat kerjasama antara BUPI dengan lembaga
keuangan multilateral atau pihak lain, atau dalam hal terdapat kerja sama, fasilitas yang
tersedia di dalamnya tidak mencukupi, tidak memadai atau tidak sesuai untuk mendukung
pelaksanaaan Penjaminan Infrastruktur yang dapat mencakup seluruh atau sebagian
Risiko Infrastruktur dalam satu Proyek Kerjasama, atau (3) upaya untuk memenuhi
kecukupan kekayaan BUPI belum dapat dilakukan, sedangkan pengadaan Badan Usaha
dalam Proyek Kerja Sama yang diusulkan dalam Usulan Penjaminan sudah tidak dapat
ditunda lagi pelaksanaannya. Pasal 6 menyatakan bahwa dalam rangka melaksanakan
prinsip pengendalian dan pengelolaan risiko keuangan negara, seluruh rangkaian proses
43

Penjaminan Infrastruktur dilakukan melalui mekanisme satu pelaksana oleh BUPI


(Single Window Policy).

Anda mungkin juga menyukai