Anda di halaman 1dari 12

KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH

“PUBLIC - PRIVATE PARTNERSHIP (PPP)”

OLEH :

KELOMPOK 4

OLIVIA SEPTIANA 1410531018


ANNISA FIKRI SOFIA 1410531024
RAUDHATUL MARDHIAH P. 1410531028

JURUSAN AKUNTANSI - FAKULTAS EKONOMI


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu hal yang sangat penting untuk dapat memenuhi tuntutan kebutuhan
masyarakat adalah dengan tersedianya sarana dan infrastruktur publik yang memadai.
Tuntutan terhadap pelayanan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandar udara,
telekomunikasi dan air bersih meningkat dengan pesat seiring dengan pertumbuhan
ekonomi. Dalam memenuhi tuntutan tersebut, pemerintah seringkali dihadapkan pada
keterbatasan sumberdaya oleh pemerintah, baik finansial maupun sumber daya
manusianya (SDM). Kontribusi PAD yang kecil terhadap total pendapatan, besaran
belanja pegawai yang pasti dan semakin meningkat turut membuat pihak pemerintah
mengalami kesulitan dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya
dalam hal infrastruktur.
Ditengah-tengah keterbatasan yang ada maka, dibutuhkan kerjasama dengan
melibatkan pihak swasta dalam satu ikatan hubungan kerjasama atau kemitraan.
Kerjasama yang baik antara sektor publik dan swasta di formulasikan ke dalam
kemitraan sektor publik dan swasta yang dikenal dengan istilah Public Private
Partnerships (PPP). Kerjasama dalam hubungan kemitraan kini menjadi satu veriabel
penting, dalam upayah pemerintah mewujudkan partisipasi swasta untuk mendorong
kerjasama disektor sarana dan prasarana publik.
Pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta juga diatur dalam Keppres No.7 tahun
1998. Pada tahun 2005 pemerintah mendefinisikan ulang substansi pelaksanaan
Kerjasama Pemerintah (KPS) dengan Perpres No 67 tahun 2005 yang menggantikan
Keppres No.7 tahun 1998, dan disusul dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.38 tahun 2006 tentang manajemen resiko dalam proyek infrastruktur. Selanjutnya,
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) diatur dalam Perpres No. 67 tahun 2005 mengatur
tentang prinsip, jenis, identifikasi dan proses pengadaan, tarif dan resiko, perjanjian dan
ijin pengusahaan.
Dalam kesetaraan kemitraan memerlukan pula pemahaman yang kuat terhadap hak
dan tanggung jawab serta peran masing-masing pihak, baik dari pihak pemerintah
maupun pihak dari swasta. Kesetaraan akan dapat terjalin dengan baik maka, peran
tanggung jawab masing-masing pelaku saling mengerti dan mengetahui secara jelas
tangung jawabnya, dimana pemerintah sebagai penyusun regulasi dan memiliki aset
dijadikan sebagai sumberdaya yang dapat memberikan manfaat baik untuk masyarakat
maupun juga untuk pemerintah. Kemudian pihak swasta yang juga memiliki
sumberdaya yang dimiliki, akan semakin tertata pengelolaannya dengan baik yang
kemudian akan menjadi maksimal untuk mendatangkan profit (keuntungan) untuknya
dan juga memberikan dampak yang postif terhadap kepentingan publik.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
a. Apa pengertian dan konsep dari Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public
Private Partnership/PPP) ?
b. Apa saja jenis-jenis dari PPP?
c. Bagaimana praktik PPP di Indonesia?

1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian dan konsep dari Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(Public Private Partnership/PPP)
b. Untuk mengetahui jenis-jenis PPP
c. Untuk mengetahui praktik PPP di Indonesia
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan Konsep Kerjasama Pemerintah dan Swasta (Public Private
Partnership/PPP)
Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, pengertian
PPP adalah
”an agreement or contract, between a public entity and a private party, under which :
(a) private party undertakes government function for specified period of time, (b) the
private party receives compensation for performing the function, directly or
indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the
function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or
made available to the private party.”
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa karakteristik dalam
PPP diantaranya adanya persetujuan antara pihak pemerintah dengan pihak swasta,
pihak swasta menjalankan fungsi nya dalam pemanfaatan aset dalam jangka waktu
tertentu, kedua belah pihak menerima kompensasi secara langsung maupun tidak
langsung, dan pihak swasta bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkan pada saat
pelaksanaan kerjasama. Melalui persetujuan ini, keahlian dan aset dari kedua belah
pihak (pemerintah dan swasta) bekerjasama dalam menyediakan pelayanan kepada
masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini risiko dan manfaat potensial dalam
menyediakan pelayanan ataupun fasilitas dipilah/dibagi kepada pemerintah dan
swasta.
Konsep PPPs dapat dijadikan sebagai alternatif penyediaan infrastruktur.
Publik Private Partnership dapat memunculkan hubungan antara publik dan private
untuk bekerjasama dalam pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada
hubungan ini adalah inovasi, kemudahan keuangan, kemampuan teknologi, dan
pengaturan efisiensi.
Dengan diterapkannya prinsip PPP tentunya dapat mengubah sudut pandang
dalam pengelolaan BMN saat ini dimana BMN yang idle apabila dikelola secara
profesional dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negara sebagai pemilik
BMN. Banyak sekali sektor yang bias didayagunakan atau dimanfaatkan dalam
konsep PPP. Selain proyek infrastruktur ada pula proyek-proyek noninfrastruktur
yang dapat dimanfaatkan dengan konsep PPP. DJKN yang merupakan institusi yang
bertanggung jawab dalam pengelolaan aset negara tentunya harus melihat ini sebagai
suatu peluang yang sangat menguntungkan dari sisi penerimaan negara.
Melalui skema pemanfaatan dengan KSP yang telah didukung oleh perangkat
hukum PP nomor 27 tahun 2014 serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor
78/PMK.06/2014 tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara sudah menjadi suatu
keharusan bagi DJKN dalam memaksimalkan penerimaan negara melalui KSP.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan Prinsip PPP sejalan dengan
bentuk Pemanfaatan KSP yang termaktub dalam PP Nomor 27 tahun 2014 tentang
Pengelolaan BMN/D, hal ini dapat kita lihat bahwasanya KSP sebenarnya adalah
salah satu bentuk dari konsep PPP. DJKN sebagai organisasi yang berkembang harus
memiliki paradigma baru dalam mengelola aset yang menjadi tanggung jawabnya.
Paradigma baru yang dimaksud adalah paradigma dalam memandang potensi
penerimaan negara apabila suatu aset akan dimanfaatkan dengan bentuk KSP. Sebagai
satu institusi yang sedang melakukan transformasi, DJKN harus menentukan
benchmarking guna menganalisis dan membandingkan proses bisnis yang telah
dikerjakan dengan proses bisnis yang sama yang telah dilakukan di negara lain untuk
kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap hasil proses tersebut.
Berikut beberapa negara yang dapat dijadikan benchmarking DJKN dalam
pelaksanaan prinsip PPP:
No. Negara Alasan memilih PPP
1. Amerika Serikat Meningkatkan efisiensi operasional
2. Inggris Meningkatkan persaingan
3. Korea Selatan Mengakses teknologi baru yang sudah terbukti
4. India Menciptakan lapangan kerja
5. Thailand Menyediakan layanan yang belum tersedia
6 Filiphina Mewujudkan pengadaan yang transparan
7. Afrika Selatan Menggalakkan penambahan penanaman modal
Sumber: Parente, 2006
Berdasarkan tabel di atas terlihat beberapa alasan tiap negara dalam
menjalankan prinsip PPP. Satu yang dapat disimpulkan dari beberapa alasan tiap
negara diatas adalah setiap negara memiliki satu tujuan yang sama yaitu
mengoptimalkan potensi penerimaan negara. Thailand memiliki alasan memilih PPP
karena ingin menyediakan sektor-sektor pelayanan publik yang sebelumnya belum
disediakan oleh pemerintah. Hal tersebut memberikan satu contoh dimana melalui
prinsip PPP, Thailand dapat mengoptimalkan penerimaan negara yang sebelumnya
tidak dapat disediakan oleh sektor publik.
Ada beberapa kelebihan PPP yang menurut penulis membuat beberapa negara
menjadikannya sebagai salah satu prinsip yang digunakan dalam pengelolaan aset
negara diantaranya adalah:
1. PPP menghasilkan penerimaan negara;
2. PPP membuat modal investasi pemerintah terhadap suatu proyek menjadi
lebih rendah;
3. PPP dapat mengoptimalkan penggunaan aset idle;
4. PPP dapat menciptakan pelayanan publik yang sebelumnya belum dapat
dipenuhi oleh pemerintah.

Untuk mendukung maksimalnya proses KSP antara pemerintah dengan pihak


swasta maka DJKN sebagai manajer aset harus berusaha menciptakan iklim serta
perangkat peraturan yang market friendly. DJKN sebagai salah satu institusi yang
satu-satunya memegang peranan dalam pengelolaan kekayaan negara harus memiliki
kualitas seperti itu. Perbaikan proses bisnis DJKN terutama dalam hal pengelolaan
kekayaan negara harus segera dilakukan. Bila proses KSP dapat dimaksimalkan,
bukan tidak mungkin DJKN sebagai pengelola kekayaan negara dapat menjadi salah
satu institusi penghasil utama penerimaan negara. Potensi pemanfaatan melalui KSP
sangat besar, mengingat belum sepenuhnya Kementerian/Lembaga memiliki
awareness terhadap potensi ini.

2.2. Jenis-Jenis Public-Private Partnership (PPP)


a. Kontrak Servis (Service Contract)
Kontrak Servis (Service Contract) merupakan kontrak antara pemerintah dan
pihak swasta untuk melaksanakan tugas tertentu, misalnya jasa perbaikan,
pemeliharaan atau jasa lainnya, umumnya dalam jangka pendek (1-3 tahun),
dengan pemberian kompensasi/fee.
b. Kontrak Manajemen (Management Contract)
Kontrak Manajemen (Management Contract) adalah kontrak kerjasama dimana
pemerintah menyerahkan seluruh pengelolaan (operation & maintenance) suatu
infrastruktur atau jasa pelayanan umum kepada pihak swasta, dalam masa yang
lebih panjang (umumnya 3-8 tahun), biasanya dengan kompensasi tetap/fixed fee.
c. Kontrak Sewa (lease)
Kontrak Sewa (lease) adalah kontrak dimana pihak swasta membayar uang sewa
(fixed fee) untuk penggunaan sementara suatu fasilitas umum, dan mengelola,
mengoperasikan, serta memelihara, dengan menerima pembayaran dari para
pengguna fasilitas (user fees). Penyewa/pihak swasta menanggung resiko
komersial. Masa kontrak umumnya antara 8-25 tahun.
d. Konsesi (Consession)
Konsesi (Consession) adalah wujud kerjasama dimana Pemerintah memberikan
tidak saja tanggung jawab pengelolaan, tetapi juga aset dan investasi baru.
Konsesi adalah pengembangan dari leasing. Dalam hal ini, pihak privat tidak
hanya menyewa aset tapi juga dapat mengembangkan aset baru. Resiko kerugian
semua ditanggung oleh privat. Konsesi tepat dilakukan jika investasi skala besar
diperlukan untuk pengembangan atau perbaikan pelayanan. Masa kontraknya 25-
30 tahun.
e. Build Operate Transfer (BOT) dan Build Operate Operation (BOO)
Build Operate Transfer (BOT) dan Build Operate Operation (BOO) adalah
kontrak antara instansi pemerintah dan badan usaha/swasta (special purpose
company), dimana badan usaha bertanggung jawab atas desain akhir, pembiayaan,
konstruksi, operasi dan pemeliharaan(O&M) sebuah proyek investasi bidang
infrastruktur selama beberapa tahun; biasanya dengan transfer aset pada akhir
masa kontrak. Umumnya, masa kontrak berlaku antara 20 sampai 30 tahun.
Perbedaan BOT dan BOO adalah jika BOT setelah masa kontrak habis aset akan
dikembalikan ke pemerintah dan jika BOO setelah masa kontrak habis tidak
dikembalikan ke pemerintah
f. Divestasi
Divestasi merupakan penjualan aset atau saham atau pengambilalihan manajemen
dimana pemerintah tetap berperan sebagai fungsi regulasi dan kontrol sedangkan
pembangunan, pengelolaan, dan maintenance sudah ditanggung oleh privat.

2.3. Manfaat Public-Private Partnership (PPP)


a. Penghematan biaya
b. Pembagian risiko (risk sharing)
c. Perbaikan atau mempertahankan tingkat pelayanan
d. Peningkatan pendapatan dari layanan
e. Pelaksanaan yang lebih efisien
f. Manfaat ekonomi yang lebih luas (efek pengganda, penciptaan lapangan kerja)

2.4. Resiko Public-Private Partnership (PPP)


a. Hilangnya kontrol pemerintah
b. Penambahan biaya (jika tidak tepat penetapan tarif dan biaya sosial lain)
c. Risiko finansial berupa arus kas dalam pelaksanaan
d. Risiko politis berupa instabilitas
e. Tingkat akuntabilitas yang tidak bisa diterima
f. Pelayanan yang kurang prima
g. Ketidakmampuan memanfaatkan kompetisi yang disediakan
h. Berkurangnya kualitas/efisiensi pelayanan
i. Bias dalam proses seleksi

2.5. Praktik Public-Private Partnership (PPP)


Percepatan pembangunan infrastruktur dengan memperbesar peran swasta dan
investor asing hingga saat ini masih belum terlaksana dengan baik. Proyek
pembangkitan tenaga listrik 10.000 MW masih kesulitan dijual kepada investor asing
maupun lokal karena tidak adanya jaminan seperti yang diharapkan calon investor.
Belum adanya kepastian jaminan pemerintah ketika harga pembebasan lahan
melonjak atau jika proyek tertunda karena berlarutnya pembebasan lahan merupakan
persoalan jalan tol yang belum terselesaikan.
Infrastruktur di sektor lain juga masih tersendat. Belum adanya undang-
undang pelayaran, perkeretaapian, penerbangan, dan lalu lintas angkutan jalan yang
memasukkan klausul kemitraan menjadi hambatan kemitraan. Hal itu karena dalam
kebijakan undang-undang yang ada, ada ketentuan bahwa pihak yang melaksanakan
proyek adalah badan usaha yang ditunjuk pemerintah, seperti PT Kereta Api
Indonesia, Pelindo di sektor laut, dan Angkasa Pura di sektor bandara. Peraturan ini
masih belum dicabut sehingga mengkhawatirkan investor.
Beberapa pola kemitraan yang telah dijalin tidak seluruhnya memberikan hasil
seperti yang diharapkan, misalnya kemitraan dalam pengelolaan sampah, tempat
pelelangan ikan, pemotongan hewan, dll. Sedangkan, dalam konteks proyek
pengusahaan jalan tol, misalnya, harga lahan yang jauh di atas perkiraan dan proses
yang panjang merupakan bentuk ketidakpastian nilai dan waktu pada proyek tersebut.
Akibatnya, biaya yang dibutuhkan membengkak, yang menyebabkan proyek tidak
feasible sehingga kurang menarik minat swasta. Masalah traffic atas ruas tol yang
ditawarkan juga dapat menjadi isu yang dapat memengaruhi keputusan investor untuk
masuk.
Pada dasarnya terdapat dua tipe ruas jalan tol. Pertama, yang layak secara
finansial dalam arti menjanjikan keuntungan bagi pengelolanya. Tipe ini biasanya
berada di wilayah yang aktivitas ekonominya telah berkembang pesat. Kedua, tipe
jalan tol yang layak secara ekonomis yang ditujukan untuk pengembangan
wilayah/daerah. Traffic pada ruas jalan tol tipe pertama dapat terpenuhi dan lebih
diminati oleh investor.
Masalah lainnya adalah belum jelasnya blue print sistem jaringan jalan tol
nasional serta konsistensi dalam implementasinya. Jika suatu wilayah sudah
ditetapkan pemerintah pusat sebagai bagian ruas jalan tol, maka semestinya sejak saat
itu tidak boleh ada transaksi di atas lahan tersebut. Pemerintah daerah harus
memasukkan ruas tersebut dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi dan
Kabupaten/Kota. Pada kenyataannya masih dijumpai terjadi pengalihan hak
kepemilikan lahan maupun pendirian berbagai bentuk bangunan di atas lahan yang
telah ditetapkan sebagai ruas jalan tol.
Berbagai masalah ini dapat mengakibatkan keengganan para investor untuk
terlibat dalam proyek infrastruktur. Karena itu para investor meminta berbagai macam
jaminan pemerintah seperti finansial, comfort letter, atau government guarantee
karena terkait dengan kepentingan lenders guna keamanan dan kepastian
pengembalian atas dana yang telah diinvestasikan pada proyek infrastruktur.

Program Pemerintah

Pemerintah perlu memberikan insentif untuk memastikan semua proyek layak


dibiayai perbankan. Kalau ada yang tidak layak dibiayai bank (bankable) tetapi
dibutuhkan masyarakat, maka perlu ada insentif sehingga layak dilakukan dari sudut
pandang swasta. Insentif yang diberikan pemerintah dapat berupa dukungan finansial
dan nonfinansial. Insentif lain yang juga penting adalah kepastian hukum dan
kejelasan regulasi yang kondusif.
Pemerintah bersama DPR perlu segera mengesahkan paket Rancangan
Undang-Undang bidang transportasi. Paket RUU bidang transportasi terdiri dari RUU
Perkeretaapian, RUU Penerbangan, RUU Pelayaran dan RUU Lalu lintas dan
Angkutan Jalan.

Pemerintah juga perlu melakukan pembenahan regulasi untuk memperjelas


fungsi dan kewenangan regulator dan pelaku operasi. Pembenahan itu dilakukan
dengan penerbitan peraturan pemerintah tentang kerjasama pemerintah dengan badan
usaha dalam penyediaan infrastruktur, peraturan pemerintah tentang pengadaan lahan
bagi proyek-proyek untuk kepentingan umum, peluncuran paket kebijakan perbaikan
iklim investasi, serta percepatan pembangunan infrastruktur.
BAB III

PENUTUP

Kekurangan infrastruktur yang sangat mendesak saat ini dapat diatasi dengaan
mengundang investor asing menanamkan modalnya. Investor asing akan bersedia
menanamkan modalnya jika tidak ada hambatan untuk mengimplementasikannya. Untuk itu
model partisipasi dengan mitra swasta sangat diharapkan oleh pemerintah untuk membiayai
pembangunan infrastruktur nasional. Kemitraan tersebut dikenal sebagai Public Private
Partnership / PPP. Dan pemerintah suatu daerah sudah selayaknya lebih mengembangkan
konsep kerjasama pemerintah swasta untuk meningkatkan potensi pembangunan
dikarenakan:

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah khususnya keterbatasan sumber daya


keuangan untuk dapat mengola dengan optimal seluruh sarana prasarana yang
dibutuhkan masyarakat.
2. Masih banyak sarana prasarana daerah baik yang sudah dikelola maupun belum
dikelola, yang ketersediaan maupun tingkat pelayanan belum optimal sehingga perlu di
perhatikan khususnya melalui kerjasama dengan pihak swasta.
3. Dalam melakukan kerjasama dengan pihak swasta pemerintah daerah harus
memperhatikan prosedur dan bentuk kerjasama yang akan dijalankan demi membangun
daerahnya khususnya dibidang infrastruktur.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Kemitraan_pemerintah_swasta

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/2013/artikel/penerapan-konsep-public-private-partnership-
ppp-dan-konsep-new-public-management-npm-dalam-meningkatkan-pemanfaatan-aset-
negara

http://slideshare.net/antonirfanilham/pengembangan-kerjasam-pemerinta-swasta.html

Anda mungkin juga menyukai