Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KERJASAMA PEMERINTAH DENGAN PIHAK SWASTA

Disusun Oleh :

DEWI SAFITRI S.

60800120031

T. PWK B

JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

TAHUN 2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bergulirnya orde reformasi pada tahun 1998 yang ditandai dengan berakhirnya orde

baru membuat perubahan disegala sektor kehidupan di Indonesia. Dampak yang timbul sangat

mempengaruhi kehidupan bernegara khususnya dibidang pemerintahan. Semangat reformasi

juga mendorong daerah untuk menuntut pelimpahan kewenangan yang lebih besar

dibandingkan dengan periode sebelumnya yang lebih dikenal dengan otonomi daerah.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan

pengganti UU No. 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah

daerah untuk mengatur dan mengelola sendiri urusan daerah menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat

melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat serta peningkatan

daya saing daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dapat mengembangkan

kerjasama melalui program kemitraan baik dengan pemerintah daerah lainnya atau dengan

pihak swasta dan pihak ketiga. Kerjasama dengan pemerintah daerah lain terutama daerah

sekitarnya yang berbatasan langsung merupakan kewajiban yang diamanatkan undang-undang

yang pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerjasama yang diatur dengan

keputusan bersama.

Didalam usaha pemerintah daerah untuk pemerataan dalam otonomi daerah,

pembangunan terus meningkat dengan cepat. Hal ini tentunya tidak mungkin dipenuhi hanya

oleh pemerintah, terutama karena keterbatasan dana. Karena itu keikutsertaan sektor swasta

dalam pembangunan melalui pola kemitraan sangat membantu usaha menanggapi permintaan

jasa khususnya bidang infrastruktur. Sebagai salah satu contohnya Frisian Flag Indonesia

2
melakukan penjajakan kerja sama usaha peningkatan gizi bagi masyarakat Nusa Tenggara

Timur (NTT) dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT.

Dari uraian diatas maka, penulis akan membahas permasalahan tentang kerjasama

pemerintah-swasta (KPS), secara khusus penulis akan membahas tentang kerjasama

pemerintah-swasta dalam pembangunan infrastruktur.

Permintaan terhadap pelayanan infrastruktur seperti jalan, pelabuhan, bandara udara,

telekomunikasi, dan air bersih meningkat dengan pesat seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

Untuk memenuhi permintaan jasa infrastruktur yang meningkat dengan cepat ini tidak mungkin

dipenuhi hanya oleh pemerintah, terutama karena keterbatasan dana. Kontribusi PAD yang

kecil terhadap total pendapatan, besaran belanja pegawai yang pasti dan semakin menigkat

turut membuat pihak pemerintah mengalami kesulitan dalam meningkatkan pelayanan kepada

masyarakat khususnya dalam hal infrastruktur. Karena itu keikutsertaan sektor swasta dalam

pembangunan infrastruktur melalui pola kemitraan sangat membantu usaha menanggapai

permintaan jasa infrastruktur tersebut. Kerangka peraturan sebagai payung hukum

implementasi KPS bidang infrastruktur di Indonesia menggunakan Perpres 67/2005 yang

kemudian direvisi melalui Perpres 13/2010 dan Perpres 56/2011 tentang Kerjasama Pemerintah

Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur. Ini merupakan peraturan pemilihan

badan usaha pembangunan infrastruktur yang kompetitif, terbuka, dan transparan. Kerjasama

Pemerintah dan Swasta (Public Private Partnership/PPP) akan digunakan sebagai alternatif

sumber pembiayaan pada kegiatan pemberian layanan dengan karakteristik layak secara

keuangan dan memberikan dampak ekonomi tinggi dan memerlukan dukungan dan jaminan

pemerintah yang minimum. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) merupakan kerjasama

pemerintah dengan swasta dalam penyediaan infrastruktur yang meliputi: desain dan

konstruksi, peningkatan kapasitas/rehabilitasi, operasional dan pemeliharaan dalam rangka

memberikan pelayanan. Pengembangan KPS di Indonesia utamanya didasari oleh keterbatasan

3
sumber pendanaan yang bisa dialokasikan oleh pemerintah. Berdasarkan latar belakang

diataslah maka penulis mengambil judul makalah “Kerjasama pemerintah-swasta (KPS)

dalam pembangunan infrastuktur”.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini

adalah: Bagaimana cara pemerintah melaksanakan pembangunan dalam infrastruktur melalui

kemitraan dengan pihak swasta?

1.3 Tujuan

Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah

untuk “menjelaskan dan menganalisis Kerjasama pemerintah-swasta(KPS) didalam

pembangunan infrastruktur guna meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di

suatu daerah.”

1.4 Manfaat

Apabila pembaca bisa menganalisa dan mengerti hubungan pemerintah-swasta dalam

pembangunan ekonomi maka, pembaca akan mendapatkan suatu gambaran yang dimana

gambaran itu akan bisa berguna sebagai evaluasi pemereintah.

4
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pola Kemitraan Daerah

Jika mengacu pada teori barang publik, maka pada dasarnya pelayanan public

merupakan tanggungjawab pemerintah dalam menyediakannya, sedangkan untuk barang privat

sektor swastalah yang menyediakan. Namun dalam kenyataannya terdapat beberapa barang

campuran, yaitu barang semi publik (quasi public goods) dan semi privat (quasi private goods).

Pelayanan publik meliputi penyediaan barang public murni, semi publik, dan semi privat.

Untuk kategori barang campuran ini, baik sector publik maupun swasta dapat sama-sama

menyediakan. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik,

pemerintah daerah dapat melakukan program kemitraan dengan sector swasta (public private

partnership) atau bisa juga bekerjasama dengan sektor ketiga yaitu dengan organisasi nonprofit

dan LSM (Mardiasmo, 2002 dalam Mahmudi, 2007). Kemitraan Pemerintah-Swasta (Public

Private Partnership) merupakan suatu model kemitraan yang didasarkan pada rerangka

penyedia terbaik (Best Sourcing). Dengan rerangka Best Sourcing tersebut pemerintah dapat

mendorong sektor swasta untuk terlibat dalam memberikan pelayanan publik tertentu yang

mana hal itu akan lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan (value for money)

dan memberikan win-win solution baik bagi pemerintah maupun pihak swasta. Bentuk

kerjasama pemerintah dengan swasta bisa berupa kontrak kerja, tender penyediaan barang atau

jasa, atau bisa juga berupa Business Process Outsourcing (OECD, 1997, Sciulli, 1998 dalam

Mahmudi, 2007). Model kemitraan yang dapat diadopsi antara lain:

1. Kontrak pelayanan (service contract)

2. Kontrak pengelolaan (management contract)

3. Kontrak sewa (lease contract)

4. Bangun-kelola-alih milik (Build, Operate and Transfer)

5
5. Bangun-kelola-miliki-alih milik (Build, Operate, Own, and Transfer)

6. Konsesi (concession)

2.2 Konsep dan Model Kerjasama Kemitraan Strategis

Pengembangan kerjasama kemitraan strategis khususnya disektor publik pada dasarnya

banyak terinspirasi oleh adanya perubahan paradigma administrasi publik sebagaimana

disampaikan oleh David Osborne dan Peter Plastrik dalam Mustopadidjaja, AR (2003) yaitu

konsep mewirausahakan birokrasi melalui 5 strategi (5 core strategies, 5Cs) yaitu:

a. Strategi Inti (Centre Strategy), yakni menata kembali secara jelas mengenai tujuan,

peran, dan arah organisasi;

b. Strategi Konsekuensi (Consequency Strategy), yakni strategi yang mendorong

persaingan sehat guna meningkatkan motivasi dan kinerja pegawai;

c. Strategi pelanggan (Customer Strategi), yaitu memusatkan perhatian untuk

bertanggung jawab terhadap pelanggan. Organisasi harus menang dalam persaingan

dan memberikan kepastian mutu bagi pelanggan;

d. Strategi Kendali (Control Strategy), yaitu merubah lokasi dan bentuk kendali di dalam

organisasi. Kendali dialihkan kepada lapisan organisasi paling bawah, yaitu

pelaksanaan atau masyarakat. Kendali organisasi dibentuk berdasarkan visi, dan misi

yang telah ditentukan.

e. Strategi Budaya (Cultural Strategy), yakni merubah budaya kerja organisasi yang

terdiri dari unsur-unsur kebiasaan, emosi dan psikologi, sehingga pandangan

masyarakat terhadap budaya organisasi publik inipun berubah (tidak lagi memandang

rendah).

Terkait dengan kerjasama kemitraan strategis terdapat beberapa konsep dan model yang

telah dikembangkan antara lain adalah : (1) kerjasama antar daerah Propinsi dan

6
Kabupaten/Kota dengan pihak ketiga; (2) kerjasama kemitraan strategis; (3) kerjasama

kemitraan dalam bentuk aliansi strategis; dan (4) kerjasama kemitraan terpadu (KKT).

2.3 Konsep dan Model Kerjasama Antar Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota

dengan Pihak Ketiga

Upaya-upaya pengembangan otonomi daerah yang bertumpu pada potensi dan

kapasitas daerah dilakukan melalui berbagai kajian otonomi daerah, dan identifikasi

kewenangan daerah. Langkah-langkah ini diarahkan untuk mengurangi kesenjangan yang ada

dalam rangka mengoptimalkan potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Peningkatan

potensi dan kapasitas daerah perlu dilakukan melalui kerjasama kemitraan lintas sector yang

bertujuan menciptakan iklim yang kondusif antar Pemerintah Daerah dengan memanfaatkan

peluang nasional, regional dan global guna kepentingan daerah dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat konstitusi Negara Undang-

undang Dasar 1945.

Sebagai landasan dalam rangka mewujudkan peningkatan potensi dan kapasitas daerah

untuk kesejahteraan masyarakat daerah melalui pengembangan kerjasama antar daerah,

BUMD, swasta dan masyarakat telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah, Pasal 195 dan 196 yang menyatakan bahwa : (1) Dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain

yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, senergi dan

saling menguntungkan; (2) Kerjasama dimaksud dapat diwujudkan dalam bentuk badan kerja

sama antar daerah yang diatur dengan keputusan bersama; (3) Dalam penyediaan pelayanan

publik, daerah dapat bekerja sama dengan pihak ketiga; (4) Kerja sama antar daerah dan

kerjasama dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah harus mendapatkan

persetujuan DPRD.

7
Selanjutnya Pasal 196 UU 32 tahun 2004 menyatakan bahwa : (1) Pelaksanaan urusan

pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dikelola bersama oleh daerah terkait;

(2) Untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama

dengan daerah sekitarnya untuk kepentingan masyarakat; (3) Untuk pengelolaan kerjasama

dalam pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah dan untuk

menciptakan efisiensi dalam pengelolaan pelayanan publik daerah dapat membentuk badan

kerja sama.

Terkait dengan pengembangan kerjasama antara pemerintah daerah, BUMD dan pihak

ketiga, sebenarnya sudah diatur sejak tahun 1986, yaitu sejak dikeluarkannya

PERMENDAGRI Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyertaan Modal Daerah, dimana terdapat 5

bentuk Kerjasama antara pemerintah dengan swasta, yaitu:

1) Kerjasama bagi hasil usaha,

2) Kerjasama produksi,

3) Kerjasama manajemen,

4) Kerjasama bagi tempat usaha, dan

5) Kerjasama bagi keuntungan.

Dengan dikeluarkannya Permendagri tersebut, maka daerah mempunyai peluang untuk

membangun kerjasama antar daerah pemerintah daerah dengan pihak swasta, swastanisasi dan

keterlibatan sector swasta dalam kegiatan pemerintahan dan kegiatan yang dikembangkan

pemerintah daerah, membeli saham dalam suatu perusahaan perseroan terbatas yang ada (PT),

mendirikan perusahaan perseroan terbatas (PT), mengadakan kontrak manajemen, kontrak

produksi, kontrak bagi hasil dan kontrak pembagian lokasi bisnis.

Sebagai tindak lanjut Kepmendagri No. 3 tahun 1986, Menteri Dalam Negeri lebih

lanjut mengeluarkan PERMENDAGRI No. 4 Tahun 1990, tentang pedoman bagi kerjasama

antara perusahaan-perusahaan pemerintah daerah (BUMD) dengan pihak ketiga (sektor

8
swasta), untuk : 1) membentuk perusahaan patungan, operasi bersama, saham keuntungan

bersama, pengeluaran bersama, saham produksi bersama; 2) mengadakan negosiasi kontrak

manajemen, kontrak produksi, pembagian kontrak produksi, dan pembagian kontrak lapangan;

3) membeli saham-saham dari perusahaan perseroan terbatas lainnya; 4) menetapkan hak

penjualan, penggunaan dan distribusi; 5) menjual saham, obligasi, menyebarkan saham; 6)

mendapatkan bantuan teknis dan bantuan asing.

Bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara pemerintah daerah dengan

pihak ketiga (swasta), The Kian Wie (1992) dalam Mahmudi 2007, dalam dialog kemitraan

dan keterkaitan antara usaha besar dan kecil, menyatakan bahwa “ agar pelaksanaan kerjasama

kemitraan dapat berkelanjutan (sustainable) antara satu pihak dengan pihak lain, maka harus

berdasarkan pada tiga azas Kerjasama yaitu: (1) saling membutuhkan dengan unsur: motivasi

hubungan kerjasama, jenis/ bidang kerjasama dan sistem pengelolaan kerjasama; (2) saling

memperkuat dengan unsur: jenis dan syarat kerjasama, dampak dari kerjasama; (3) saling

menguntungkan dengan unsur: pengembangan aspek ekonomi dan kesejahteraan,

pengembangan aspek cultural.

Bentuk-bentuk kerjasama yang bersifat kemitraan strategis antara Pemerintah Daerah

dengan pihak ketiga yang selama ini telah dikembangkan antara lain :

a. Kerjasama Bangun-Kelola-Sewa-Serah (Build, Operate, Lease-hold and Transfer/

BOLT). Merupakan bentuk Kerjasama antara Pemerintah Daerah dan Pihak Kedua

yang memberikan hak kepada pihak kedua untuk membangun suatu infrastuktur atau

bangunan di atas tanah yang dimiliki Pemerintah Daerah kemudian mengelolanya

dengan menyewakan kepada pihak lain. Sebagai imbalan Pemerintah Daerah menerima

bagian dari hasil sewa dengan jumlah yang disepakati bersama pihak kedua.

b. Kerjasama Bangun-Serah-Sewa (Build, Transfer and Leasehold = BTL). Dalam

kerjasama ini pihak kedua membangun infrastruktur di atas tanah Pemerintah Daerah,

9
dan setelah selesai ia menyerahkannya kepada Pemerintah Daerah. Bentuk Kerjasama

yang belum banyak dilakukan oleh pemerintah pusat maupun Daerah ini dapat

dilakukan untuk membangun infrastruktur berupa hotel, convention hall, dsb.

c. Kerjasama Bangun-Sewa-Serah (Build, Rent and Transfer = BRT). Bentuk Kerjasama

ini hampir sama dengan BTL, bedanya hanyalah dalam BRT pihak kedua dapat

mengelola dan mengoperasikan bangunan atau infrastruktur yang telah dibangunnya

dengan cara menyewa kepada Pemerintah, yang diperhitungkan dari biaya

pembangunan.

d. Kerjasama Bangun-Kelola-Alih Milik (Built, Operate, and Transfer = BOT). Pihak

kedua membangun dan mengoperasikan suatu fasilitas infrastruktur yang kemudian

dipindah tangankan kepada pemerintah daerah setelah masa konsesi habis.

e. Kerjasama Bangun-Guna-Milik (Build Own Operate = BOO). Tidak seperti pada

pendekatan BOT, perusahaan swasta yang memenangkan konsensi proyek BOO tetap

memiliki hak terhadap proyek tersebut setelah masa konsensi usai. Bentuk kerjasama

ini biasanya dilakukan terhadap obyek yang output-nya berkaitan dengan hajat hidup

orang banyak misalnya listrik, gas dan sebagainya.

f. Kerjasama Bangun-Serah (Build and Tranfer = BT). Dalam kerjasama ini Pemerintah

Daerah meminta kepada pihak kedua untuk membangun prasarana di atas tanah milik

Pemerintah Daerah. Pihak kedua membangun dan membiayai sampai dengan selesai,

dan setelah pembangunan selesai pihak kedua menyerahkan kepada Pemda. Sebagai

imbalannya Pemerintah Daerah membayar biaya prasarana ditambah bunga Bank.

g. Kerjasama Bangun-Serah-Kelola (Build transfer operate = BTO). Dalam pola ini,

pihak swasta membangun suatu fasilitas infrastruktur di atas tanah miliki Pemerintah

Daerah dan menyerahkan fasilitas tersebut kepada pemerintah setelah fasilitasnya

terbangun.

10
h. Kerjasama Rehabilitasi-Guna-Serah (Renovate, Operate and Transfer = ROT). Dalam

kerjasama ini pihak kedua menyediakan modal dan melakukan renovasi atas bangunan

atau fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah hingga nilainya meningkat.

Obyek kerjasama ini biasanya dapat dilakukan terhadap pembangunan hotel, pusat

perbelanjaan dsb.

i. Kerjasama Renovasi-Guna-Sewa-Serah (Renovate, Operate, Leashehold and Tranfer

= ROLT). Berbeda dengan bentuk Kerjasama ROT, Pihak kedua merenovasi bangunan

atau bentuk fasilitas lain yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah namun untuk

menggunakannya ia harus menyewa kepada Pemda.

j. Kerjasama Sewa-Tambah dan Guna (Contract, Add and Operate = CAO). Dalam

kerjasama ini pihak kedua menyewa dan menambah bangunan dan atau mening-katkan

kualitas bangunan dan mengelolanya. Nilai sewa bangunan setiap 2 tahun ditinjau

kembali. Jangka waktu kerjasama paling lama 10 tahun.

k. Kerjasama Bantuan teknis atau Dana. Dalam kerjasama ini Pemerintah Daerah meminta

bantuan berupa tenaga ahli/alih teknologi atau bantuan dana/pembiayaan dari pihak

kedua. Kerjasama ini dilakukan untuk bidang usaha yang memerlukan teknologi atau

managerial skill dan know how khusus yang tidak dimiliki oleh Pemerintah Daerah.

l. Kontrak Pelayanan (service contract). Dalam pola ini perusahaan swasta menangani

suatu pelayanan atau terhadap infrastruktur yang dimiliki pemerintah daerah. Contoh

yang dapat dilakukan oleh swasta melalui kontrak pelayanan ini adalah pengumpul-an

limbah sampah di kota-kota, pemeliharaan fasilitas air minum dan tenaga listrik,

tagihan air minum dan listrik.

11
BAB III

PEMBAHASAN

Untuk memahami dan melaksanakan kerjasama antara pihak pemerintah dan swasta

maka perlu dipahami mengenai prinsip dasar dalam KPS. Prinsip Dasar KPS antaralain :

Adanya pembagian risiko antara pemerintah dan swasta dengan memberi pengelolaan jenis

risiko kepada pihak yang dapat mengelolanya, Pembagian risiko ini ditetapkan dengan kontrak

di antara pihak dimana pihak swasta diikat untuk menyediakan layanan dan pengelolaanny a a

tau kombina si keduanya ,Pengembalian investasi dibayar melalui pendapatan proyek

(revenue) yang dibayar oleh pengguna (user charge), Kewajiban penyediaan layanan kepada

masyarakat tetap pada pemerintah, untuk itu bila swasta tidak dapat memenuhi pelayanan

(sesuai kontrak), pemerintah dapat mengambil alih. Pelaksanaan kerjasama antara pihak swasta

dan pemerintah tentunya harus memiliki tujuan yang pasti sehingga pelaksanaannya akan lebih

terarah dan akan memberikan manfaat yang maksimal. Tujuan pelaksanaan KPS yaitu :

Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan melalui pengerahan dana swasta,

Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat,

Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur,

Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima atau dal am hal

tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna. Manfaat Skema KPS:

Tersedianya alternatif berbagai sumber pembiayaan, Pelaksanaan penyediaan infr astruktur

lebih cepat, Berkurangnya beban (APBN/APBD) dan risiko pemerintah, Infrastruktur yang

dapat disediakan semakin banyak, Kinerja layanan masyarakat semakin baik, Akuntabilitas

dapat lebih ditingkatkan, Swasta menyumbangkan modal, teknologi, dan kemampuan

manajerial. Pola pikir masa lalu mengatakan bahwa infrastruktur harus dibangun menggunakan

anggaran Pemerintah sehingga pada kondisi anggaran Pemerintah yang terbatas, pola pikir

12
tersebut berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan infrastruktur yang memadai bagi

perekonomian yang berkembang pesat. Saat ini telah didorong pola pikir yang lebih maju

dalam penyediaan infrastruktur melalui model kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau

Public-Private Partnership (PPP). Dengan adanya KPS, maka Pemerintah dapat memfokuskan

diri untuk membangun infrastruktur yang tidak bersifat komersial namun sangat diperlukan

oleh masyarakat, seperti pembangunan infrastruktur perdesaan, jalan arteri, drainase, dan

sebagainya. Peran pemerintah adalah menyediakan perangkat aturan dan regulasi yang

memberi insentif bagi dunia usaha untuk memberikan layanan infrastruktur tersebut. Insentif

tersebut dapat berupa kebijakan (sistem maupun tarif) pajak, bea masuk, aturan

ketenagakerjaan, perizinan, pertanahan, dan lainnya, sesuai kesepakatan dengan dunia usaha.

Tidak semua kegiatan pemberian layanan di bidang infrastruktur melalui skema KPS

memberikan tingkat pengembalian yang wajar (cost recovery atau financially viable). Untuk

meningkatkan kelayakan finansial tersebut diperlukan campur tangan pemerintah berupa

pemberian dukungan pemerintah. Pemberian dukungan pemerintah pada saat ini dilakukan

dalam bentuk penyediaan lahan dan pembangunan sebagian konstruksi. Dalam rangka

menjamin efisiensi dan efektifitas dalam penyediaan infrastruktur, risiko dikelola berdasarkan

prinsip alokasi risiko antara pemerintah dan badan usaha secara memadai dengan

mengalokasikan risiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan risiko serta dilakukan

dengan memperhatikan prinsip pengelolaan dan pengendalian risiko keuangan dalam

APBN/APBD.

3.1 Upaya Pengembangan Mekanisme Kerjasama Pemerintah-Swasta

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa

pemerintah suatu daerah, khususnya daera otonomi sudah seharusnya lebih menekankan upaya

keterlibatan sector swasta didalam mengembangkan sarana prasarana, mengingat pemerintah

memiliki keterbatasan kemampuan, terutama keterbatasan sumber daya keuangan.

13
Keberhasilan kerjasama pemerintah-swasta hanya dapat diraih dengan adanya pengertian

antara pihak swasta dan pemerintah. Untuk mencapai hal tersebut, maka upaya awal yang harus

dilakukan pemerintah adalah dengan menarik perhatian (minat) pihak swasta untuk

berperanserta mengembangkan sarana prasarana kota. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:

1. Pemerintah mempromosikan sarana prasarana kota yang hendak dikerjasamakan

(pemerintah berinisiatif mengajukan usulan kegiatan).

a. Upaya promosi dapat dilakukan dengan lebih memfungsikan badan / kantor

yang memiliki akses dengan pihak swasta seperti Dinas Perindustrian dan

Perdagangan dan badan pemerintah lainnya.

b. Memanfaatkan event berskala local, regional atau nasional, seperti hut suatu

daerah, komodo sale, musrenbang, event promosi dan lainnya.

2. Pemerintah merespon sektor swasta yang berinisiatif mengajukan usulan kerjasama

pengembangan sarana prasarana daerah.

Kedua upaya tersebut perlu didukung dengan terlebih dahulu menyiapkan prosedur (panduan)

dasar, bagi pelaksana kerjasama penerintah-swasta.

3.2 Prosedur (panduan) dasar pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta

Secara garis besar terdapat empat tahapan yang harus dilakukan pemerintah daerah

untuk tercapainya kesepakatan kerja sama antara pemerintah dan swasta, yaitu :

1. Persiapan proyek

2. Analisa pemilihan bentuk kerjasama pemerintah-swasta

3. Proses pelibatan partisipasi pihak swasta

4. Membuat hubungan kerja sama yang kuat dan berkelanjuta

3.2.1 Persiapan proyek

14
Merupakan tahapan awal dari rencana pelaksanaan kerjasama pemerintah-swasta.

Materi yang perlu dilakakukan pada tahapan ini adalah :

1. Identifikasi pelayanan sarana prasarana daerah : Apakah cukup baik atau buruk

dengan analisisnya yang terdiri dari :

a. Kepemilikan asset yang ada termasuk sarana prasarana daerah, modal dan tariff

b. Cukup pelayanan yang ada

c. Keadaan kepuasan konsumen secara menyeluruh

d. Perbandingan pendapatan dan biaya yang ada

2. Penentuan tujuan: adanya kejelasan tujuan yang hendak dicapai apakah perbaikan

pelayanan, perluasan cakupan ataupun peningkatan standar pelayanan.

3. Pembentukan tim pengkaji: apabila hasil identifikasi pelayanan dan penentuan

tujuan merekomendasikan perlunya keterlibatan pihak swasta, maka pemerintah

perlu membentuk tim pengkaji multidisiplin ilmu.

Tugas tim pengkaji adalah menilai kelayakan ususlan/proposal kerjasama yang

diajukan pihakswasta, baik dari segi teknologi yang akan digunakasn, struktur

pembiayaan, aspek social, politik, maupun hukum dan perundangan (aspek teknis,

non teknis maupun keuangan)

3.2.2 Analisa pemilihan bentuk kerjasama pemerintah-swasta

Pada tahapan ini, kegiatan yang harus dilakukan oleh pihak swasta, berupa :

a. Menilai kelayakan usulan / proposal kerjasama yang diajukan oleh pihak swasta,

berupa :

1. Penentuan model kerjasama pemerintah-swasta

2. Jangka waktu kerjasama

3. Keuntungan dan kerugian

4. Tariff dan kontribusi

15
5. Tantangan dan hambatan dalam kerjasama pemerintah-swasta

6. Aspek kelembagaan dan dasar hukum

Pemerintah sebagai provider harus cermat memilih system kerjasama apa yang akan

digunakan dengan segala pertimbangan. Salah satu pertimbangan adalah ketersediaan dana

yang ada pada pemerintah, artinya dengan dana yang ada, fasilitas apa yang dapat disediakan

dan seberapa besar jangkauan pelayanannya. Selain itu, pemerintah harus menetapkan pula

standar-standar performance yang harus disiapkan oleh swasta dalam penyediaannya.

b. Membuka dialog dengan beberapa patner swasta yang berminat bekerjasama serta

mengevaluasi setiap patner berdasarkan transparansi maupun efektifitas kerja.

c. Menentukan perlu atau tidaknya, keikutsertaan pihak ketiga sebagai katalis atau

fasilitator proyek pembangunan. Dimana peranan pihak ketiga adalah

meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan antara pemerintah dan swasta,

sehingga dapat menyelesaikan kemungkinan permasalahan yang timbul.

3.2.3 Proses Pengikutsertaan Pihak Swasta

Secara umum, terdapat dua prosedur pengikutsertaan pihak swasta yaitu :

1. Tender terbuka secara kompetitif

2. Negosiasi langsung

Apapun bentuk prosedur yang dipilih, proses ini harus dapat menjamin bahwa

keikutsertaan swasta dapat meningkatkan kondisi sarana prasarana suatu daerah dan

pelayanannya, menghasilkan suatu inovasi dan kreatifitas yang berharga serta terlepas dari

korupsi.

4 Mendirikan kerjasama yang kuat dan berkelanjutan

16
Kerjasama pemerintah-swasta yang kuat dan berkelanjutan, merupaka kunci bagi

pembangunan yang berkelanjutan. Berkenaan dengan hal tersebut, maka diperlukan kesiapan

berupa :

1. Komitmen sumber daya dari semua pihak.

2. Partisipasi dan transparansi : terakomodirnya kepentingan dari hamper semua

stakeholder khususnya untuk kaum miskin, dan harus dituangkan dalam proyek

pembangunan yang akan dilaksanakan.

3. Capacity building : kesiapan setiap stakeholder.

a. Konsumen akan dikenakan biaya sesuai dengan biaya yang disepakati bersama.

b. Sector privat meningkatkan kemampuan usaha

c. Pemerintah dengan menggunakan kerangka kerjanya meningkatkan

pemantauan untuk tingkat pelayanan yang telah disepakati.

4. Kesabaran : panjangnya proses negosiasi dan penyiapan proyek

5. Fleksibilitas : adanya system prosedur yang bersih untuk mengakomodir terjadinya

perubahan yang berdampak negatif, ketika kerjasama telah berjalan.

6. Tanggung jawab sosial : peningkatan pelayanan sarana prasarana suatu daerah

memiliki tujuan untuk membuat tingkat kehidupan penduduk akan lebih, khususnya

peningkatan tingkat kehidupan pada kaum miskin.

7. Tanggung jawab terhadap lingkungan : mekanisme investasi yang akan dilakukan,

harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat dan

pemerintah. Untuk itu diperlukan jaminan yang tercantum dalam seluruh perjanjian

kontrak kerjasama, berupa penggunaan system teknologi yang “eco-efisien”.

17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pemerintah suatu daerah sudah selayaknya lebih mngembangkan konsep kerjasama

Pemerintah-swasta (KPS) untuk meningkatkan potensi pembangunan, dikarenakan :

1. Keterbatasan kemampuan pemerintah daerah khususnya keterbatasan sumber daya

keuangan untuk dapat mengola dengan optimal seluruh sarana prasarana yang

dibutuhkan masyarakta.

2. Masih banyak sarana prasarana daerah baik yang sudah dikelola maupun belum

dikelola, yang ketersediaan maupun tingkat pelayanan belum optimal, sehingga

perlu di perhatikan khususnya melalui kerjasama dengan pihak swasta.

3. Dalam melakuka kerjasama dengan pihak swasta pemerintah daerah harus

memperhatikan prosedur dan bentuk kerjasama yang akan dijalankan demi

membangun daerahnya khususnya dibidang infrastruktur.

4.2 Saran

Sebagai langkah awal untuk mengembangkan konsep kerjasama Pemerintah-swasta,

maka perlu dilakukan kajian detail untuk mendapatkan gambaran yang sesungguhnya dari

potensi, peluang dan hambatan dari setiap upaya keterlibatan sector sasta dalam pengembangan

sarana prasarana perkotaan. Berdasarkan hasil kajian diharapkan diperoleh profil investasi,

sebagai masukan/bahan pertimbangan pemerintah suatu daerah berupa :

1. Evaluasi kondisi sarana prasarana yang ada di daerah.

2. Merumuskan kebijakan kerjasama pemerintah-swasta berupa :

18
a. Penentuan sarana prasarana daerah atau pelayanan public, yang hendak

dikembangkan melalui kemitraan dengan pihak swasta.

b. Penentuan skala prioritas pengembangan sarana prasarana daerah melalui

kerjasama pemerintah-swasta.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://slideshare.net/antonirfanilham/pengembangan-kerjasama-pemerintah-swasta.html

http://marsono-manajemenpublik.blogspot.com/2008/10/konsep-dan-model-kerjasama-

kemitraan.html

http://makalainet.blogspot.com/2013/10/kerjasama-antar-daerah.html

Mahmudi.2007.Kemitraan Pemerintah Daerah dan Efektivitas Pelayanan Publik. Jurnal

Kajian Bisnis dan ManajemenVol. 9 No. 1.Fakultas Ekonomi Universitas Islam

Indonesia

20

Anda mungkin juga menyukai