Anda di halaman 1dari 3

1.

Kolaboratif

a. Kolaborasi pemerintahan (Collaborative Governance)


Irawan (2017) mengungkapkan bahwa “ Collaborative governance “sebagai sebuah proses yang
melibatkan norma bersama dan interaksi saling menguntungkan antar aktor governance.
Collaborative governance mencakup kemitraan institusi pemerintah untuk pelayanan publik.
b. Proses Yang Harus Dilalui Dalam Menjalin Kolaborasi
1) Trust building :membangun kepercayaan dengan stakeholder mitra kolaborasi
2) Face tof face Dialogue: melakukan negosiasi dan baik dan bersungguh-sungguh;
3) Komitmen terhadap proses: pengakuan saling ketergantungan; sharing ownership dalam
proses; serta keterbukaan terkait keuntungan bersama;
4) Pemahaman bersama : berkaitan dengan kejelasan misi, definisi terkait permasalahan serta
mengidentifikasi nilai bersama dan
5) Menetapkan outcome antara.
c. Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Dalam Kolaborasi Antar Lembaga Pemerintah
1) Kepercayaan,
2) Pembagian kekuasaan,
3) Gaya kepemimpinan,
4) Strategi manajemen dan
5) Formalisasi pada pencapaian kolaborasi yang efisien efektif antara entitas publik
d. Faktor Yang Dapat Menghambat Kolaborasi Antar Organisasi Pemerintah
1) Ketidakjelasan batasan masalah karena perbedaan pemahaman dalam kesepakatan
kolaborasi.
2) Dasar hukum kolaborasi juga tidak jelas.
e. Whole of Government (WoG);
sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upaya-upaya kolaboratif
pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas guna
mencapai tujuan- tujuan pembangunan kebijakan,
f. Keuntungan Whole of Government (WoG);
1) Outcomes-focused
Berfokus pada outcome yang tidak dapat dicapai oleh K/L sektoral secara masing-masing.
2) Boundary-spanning
Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan satu instansi, tetapi lintas instansi
3) Enabling
WoG membuat pemerintah lebih mampu menangani tantangan kebijakan yang kompleks
4) Strengthening prevention
WoG mendorong pencegahan terhadap masalah yang mungkin berkembang lebih jauh
g. Tantangan WoG
1) Kapasitas SDM dan institusi
Kapasitas SDM dan institusi-institusi yang terlibat dalam WoG tidaklah sama. Perbedaan
kapasitas ini bisa menjadi kendala serius ketika pendekatan WoG, misalnya, mendorong
terjadinya merger atau akuisisi kelembagaan, di mana terjadi penggabungan SDM dengan
kualifikasi yang berbeda.
2) Nilai dan budaya organisasi
Seperti halnya kapasitas SDM dan institusi, nilai dan budaya organisasi pun menjadi kendala
manakala terjadi upaya kolaborasi sampai dengan penyatuan kelembagaan
3) Kepemimpinan
Kepemimpinan menjadi salah satu kunci penting dalam pelaksanaan WoG. Kepemimpinan
yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang mampu mengakomodasi perubahan nilai dan
budaya organisasi serta meramu SDM yang tersedia guna mencapai tujuan yang diharapkan.
h. WoG Berdasarkan Jenis
1) Pelayanan yang bersifat adminisitratif
Pelayanan publik yang menghasilkan berbagai produk dokumen resmi yang dibutuhkan
warga masyarakat
2) Pelayanan jasa
Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan warga masyarakat,
seperti pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, perhubungan, dan lainnya
3) Pelayanan barang
Pelayanan yang menghasilkan jenis barang yang dibutuhkan warga massyarakat, seperti
misalnya jalan, perumahan, jaringan telepon, listrik, air bersih, dan seterusnya
4) Pelayanan regulatif
Pelayanan melalui penegakan hukuman dan peraturan perundang- undangan, maupun
kebijakan publik yang mengatur sendi-sendi kehidupan masyarakat

STUDI KASUS CORE VALUE ASN “KOLABORATIF”

Sistem/ prosedur pelayanan publik yang berbelit-belit, ketidakpastian waktu dan biaya
mengakibatkan pelayanan di Indonesia identik dengan high –cosy economy (ekonomi biaya tinggi).
Begitu banyaknya permasalahan dalam pelayanan publik yang diselenggarakan pemerintah, maka
sangat perlu dilakukan suatu perubahan atau reformasi melalui perbaikan pelayanan publik. Mal
pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam
memberikan pelayanan untuk kemudahan kepada masyarakat.  Mal Pelayanan Publik (Mpp) adalah
generasi ketiga yang lebih progresif memadukan pelayanan dari Pemerintah pusat, daerah, BUMD
maupun swasta.
Pembahasan
a. Permasalahan Pada Studi Kasus
1. Masyarakat merasa sistem/ prosedur pelayanan publik berbelit-belit, ketidakpastian waktu
dan biaya mengakibatkan pelayanan di Indonesia identic dengan high –cosy economy
(ekonomi biaya tinggi).
2. Untuk mengakses pelayanan publik cukup menyita waktu karena harus berpindah dari satu
kantor layanan ke kantor layanan yang lain.
b. Penyelesaian
1. Dibentuknya mall pelayanan publik sebagai bentuk kolaborasi antar institusi pemerintahan
dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Seperti pada mall pelayanan publik Magetan
tergabung instansi antara lain DPMPTSP, Dispenduk, BPKAD,Imigrasi, Samsat, PDAM, Bank
jatim, Taspen, ATR/BPN, BPJS Kesehatan, PT POS dll semua itu diharapkan dapat memberikan
kemudahan, kecepatan, keterjangkauan keamanan dan kenyamanan pelayanan kepada
masyarakat.
2. Pada penyelenggaraan mall pelayanan publik terkandung nilai-nilai kolaborasi seperti
memberikan kesempatan pada berbagai pihak instansi pemerintah untuk berkontribusi,
terbuka dalam kerjasama dengan berbagai pihak untuk menghasilkan nilai tambah berupa
layanan publik yang lebih mudah dan menggerakkan berbagai sumber daya yang ada dari
berbagai pihak untuk mencapai tujuan bersama.
3. Diselenggarakannya mall pelayanan publik sesuai dengan pendekatan Whole of Government
(WoG), karena mall pelayanan publik menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintahan
dari keseluruhan sektor (DPMPTSP, Dispenduk, BPKAD,Imigrasi, Samsat, PDAM, Bank jatim,
Taspen, ATR/BPN, BPJS Kesehatan, PT POS) dalam ruang lingkup koordinasi guna mencapai
tujuan memberikan pelayanan publik yang lebih mudah dan efisien.

Anda mungkin juga menyukai