Anda di halaman 1dari 23

Kerjasama Pemerintah dan Swasta

Disusun Oleh:
1. Andito Nindyo Nurharyanto (05)
2. Mukhsin Navi Fakhrudin
(21)

Kelompok 15 - Kelas 7D
Program Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus
Tahun Pelajaran 2013/2014

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA


2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu fungsi kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah fungsi alokasi.
Fungsi alokasi dalam kebijakan publik adalah fungsi penyediaan barang publik atau proses
alokasi sumber daya untuk digunakan sebagai barang pribadi atau barang publik dan
bagaimana komposisi barang publik tersebut ditetapkan (Noor Fuad dkk.,2006). Sehingga
dapat diambil kesimpulan bahwa pemerintah mempunyai kewajiban dalam penyediaan
barang publik. Menurut Olive Holtman terdapat beberapa karakteristik yang dimiliki oleh
barang publik, antara lain sebagai berikut: (1) generally cannot choose customer;(2) roles
limited by legislation; (3) politics institutionalizes conflicts; (4) complex accountability;
(5) very open to security; (6) action must be justified; (7) objectives outputs difficult to
state/measure. Selain karakter tersebut, barang publik dicirikan dengan dua ciri khusus,
yaitu (1) Non excludability, yaitu orang yang membayar diharapkan dapat menikmati
barang itu tidak dapat dipisahkan dengan orang yang tidak membayar tetapi menikmati
juga barang tersebut; dan (2) Non Rivalry consumption, yaitu tidak ada ada persaingan
dalam penggunaannya.
Permasalahannya adalah pemerintah tidak memiliki kemampuan dalam menghasilkan
barang publik akan tetapi dituntut untuk menyediakan agar kesejahteraan masyarakat
dapat ditingkatkan. Selain itu karena keterbatasan pemerintah tidak tertutup kemungkinan
terjadinya goverment failure, dengan demikian memungkinkan adanya intervensi sektor
swasta dengan alasan sebagai berikut: (1) meningkatnya penduduk di perkotaan sementara
sumber keuangan pemerintah terbatas; (2) pelayanan yang diberikan oleh sektor swasta
dianggap lebih efisien; (3) banyak bidang pelayanan tidak ditangani pemerintah sehingga
sektor swasta dapat memenuhi kebutuhan yang belum ditangani pemerintah tanpa
mengambil alih tanggung jawab pemerintah; (4) akan terjadi persaingan dan mendorong
pendekatan bersifat kewiraswastaan dalam pembangunan nasional (Zainal Asikin,2013).
Oleh karena itulah perlu adanya pola kerjasama yang tepat yang dapat dilakukan oleh
pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk ikut berperan
dalam penyediaan barang publik tanpa mengambil alih peran pemerintah. Salah satu pola
kerjasama antara pemerintah dengan swasta yang telah banyak dilakukan di banyak negara
adalah pola Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
1

Skema KPS sendiri dapat diterapkan tidak hanya dalam penyediaan barang publik berupa
pembiayaan infrastruktur saja tetapi juga dapat digunakan dalam penyediaan pelayanan
publik lainnya seperti jasa atau yang bersifat sosial. Karena pada dasarnya skema KPS
sendiri adalah kerjasama yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta dengan pembagian
risiko dan sumber daya yang berimbang untuk percepatan pengadaan pelayanan publik
kepada masyarakat baik yang berupa infrastruktur, pelayanan, dan jasa. Saat ini skema
KPS lebih banyak digunakan sebagai alternatif sumber pembiayaan pembangunan
infrastruktur suatu negara.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) ?
2. Bagaimana bentuk KPS?
3. Bagaimanakah proyek KPS di Indonesia?
4. Bagaimanalah pembagian resiko dalam skema KPS?
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini hanya terbatas pada bentuk Kerjasama
Pemerintah Swasta secara umum dan contoh aplikasinya di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA


Secara internasional, Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) dikenal dengan sebutan
Public-Private Partnership. Terdapat beberapa definisi KPS menurut beberapa sumber
yaitu sebagai berikut:

William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, mendefinisikan KPS


sebagai an agreement or contract, between a public entity and a private party, under
which : (a) private party undertakes government function for specified period of time,
(b) the private party receives compensation for performing the function, directly or
indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the
function and, (d) the public facilities, land or other resources may be transferred or
made available to the private party.
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa KPS merupakan suatu kesepakatan atau
kontrak antara pemerintah dangan swasta dimana: pihak swasta mengambil fungsi
pemerintah selama waktu yang telah ditentukan; pihak swasta menerima kompensasi
untuk menjalankan fungsi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung; pihak
swasta terikat dengan resiko yang muncul dalam menjalankan fungsi tersebut; dan
fasilitas publik, tanah, atau sumber daya lain dapat digunakan atau disediakan oleh
pihak swasta.

The National Council for Public-Private Partnership (NCPPP) mendefinisikan publicprivate partnership sebagai perjanjian kontrak (kerjasama) antara agen-agen publik
(negara, negara bagian, daerah) dan sektor sektor swasta.
Melalui perjanjian kontrak kerjasama ini aset-aset dan keahlian kedua belah pihak
disumbangkan untuk melayani kepentingan umum dan fasilitas-fasilitas pihak
membagi risiko dan keuntungan pada setiap sektor yang dikerjasamakan. Pihak swasta
memainkan

peran

memperbaiki

(to

renovate),

membangun

(to

construct),

mengoperasikan (to operate), memelihara (to maintain) dan/atau mengelola sebagian


atau seluruh fasilitas atau sistem yang menyediakan pelayanan umum.
Model Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS) menggambarkan berbagai hubungan
yang mungkin antara pemerintah dengan swasta dalam konteks infrastruktur dan layanan
3

lainnya. Model lain yang juga sering digunakan untuk menjelaskan bentuk kegiatan
kerjasama pemerintah dengan swasta adalah partisipasi sektor swasta (PSP) dan
privatisasi. Meskipun demikian dari tiga model yang paling sering digunakan untuk
menjelaskan bentuk kerjasama pemerintah dengan swasta tersebut, terdapat perbedaan
yang mendasar dari ketiga model tersebut.
a. Kerjasama Pemerintah dan Swasta
Dalam skema KPS, menawarkan sebuah kerangka kerja dimana pihak swasta ikut
dilibatkan dan peran pemerintah untuk memastikan kepentingan sosial dapat terpenuhi,
dan agenda reformasi serta investasi publik tercapai.
Sebuah kemitraan KPS yang baik mendistribusikan tugas, kewajiban, dan resiko antara
publik dan swasta sebagai pemangku kepentingan secara optimal. Para pemangku
kepentingan tersebut dari pihak pemerintah antara lain lembaga negara, kementerian,
pemerintah daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan untuk
pihak swasta dapat dibebaskan bersifat lokal maupun internasional termasuk investor
dengan keahlian teknis atau pembiayaan yang relevan dengan proyek dan peraturan
yang berlaku. Selain itu dapat juga melibatkan dari unsur masyarakat seperti lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan/atau organisasi berbasis masyarakat yang mewakili
kepentingan dari masyarakat yang terkena dampak secara langsung dari proyek KPS.
KPS yang efektif mengakui bahwa sektor publik dan swasta memiliki keunggulan
masing-masing. Kontribusi pemerintah dalam skema KPS dapat berupa modal untuk
investasi, dukungan fiskal, atau kontribusi lain yang mendukung kemitraan. Pemerintah
juga memberikan tanggung jawab sosial, kesadaran lingkungan, pengetahuan lokal, dan
kemampuan untuk memobilisasi dukungan politik. Peran sektor swasta dalam KPS
adalah memanfaatkan keahlian yang dimiliki dalam manajemen, operasional, dan
inovasi untuk menjalankan bisnis secara efisien. Pihak swasta juga dapat berkontribusi
dalam modal investasi tergantung pada bentuk kontrak yang telah disepakati.
Struktur KPS harus dirancang untuk mengalokasikan resiko kepada mitra yang
dianggap paling mampu mengelola risiko tersebut sehingga diharapkan dapat
meminimalkan biaya sekaligus meningkatkan kinerja.
b. Partisipasi Sektor Privat (Private Sector Participation)
Partisipasi Sektor Privat (PSP) adalah salah satu pola kerjasama publik dan swasta yang
mirip dengan KPS. Namun dalam PSP lebih menekankan kepada pengalihan kewajiban
pemerintah dalam sektor publik kepada pihak swasta daripada kesempatan kemitraan.
4

Pada pertengahan hingga akhir 1990-an, ada perlambatan dalam kerjasama publik dan
swasta di sektor infrastruktur, yang sebagian besar dipicu oleh reaksi sosial terhadap
pola kerja sama yang lebih menguntungkan swasta dibandingkan sektor publik dalam
penyediaan layanan infrastruktur jasa di negara-negara berkembang. Pada tingkat
tertentu, kritik sosial yang muncul berakar pada kebingungan publik dalam
membedakan PSP dengan privatisasi. Beberapa skema PSP dianggap terlalu ambisius
dengan agenda sosial yang berlebihan, sehingga menyebabkan kekhawatiran publik
terhadap skema tersebut. Analisis kritis terhadap pengalaman PSP telah memunculkan
desain dari sebuah generasi baru transaksi kerjasama publik dan swasta, yang sekarang
lebih dikenal dengan KPS.
c. Privatisasi
Privatisasi dapat diartikan penjualan saham atau kepemilikan dari sebuah perusahaan
atau penjualan atas operasional suatu aset atau layanan yang dimiliki oleh sektor
publik. Privatisasi secara umum dapat diterima secara luas pada sektor yang secara
tradisional dianggap bukan sebagai fasilitas publik seperti manufaktur, kostruksi, dsb.
Ketika privatisasi terjadi pada sektor infrastuktur atau sektor utilitas, biasanya akan
disertai dengan pengaturan regulasi sektor-sektor tersebut secara spesifik untuk
mempertimbangkan masalah sosial dan kekhawatiran yang mungkin terjadi terkait
dengan privatisasi sektor-sektor tersebut, dan kelanjutan operasi dari penggunaan aset
tersebut untuk pelayanan publik.
Dalam buku PPP Handbook (ADB,2006) terdapat tiga kebutuhan utama yang memotivasi
pemerintah untuk berpartisipasi dalam skema KPS khususnya infrastruktur yaitu:
1. Menarik investasi modal swasta (sering baik menambah sumber daya publik atau
membebaskan mereka untuk kebutuhan publik lainnya);
2 Meningkatkan efisiensi dan penggunakan sumber daya yang tersedia secara efektif; dan
3. Mereformasi sektor publik melalui realokasi peran, insentif, dan akuntabilitas.

Berikut ini adalah paparan dari tiga kebutuhan utama yang menjadi dasar pemerintah
untuk berpartisipasi dalam skema KPS
1. Mobilisasi Modal Swasta
Pemerintah menghadapi kebutuhan yang terus meningkat untuk mencari pembiayaan yang
memadai untuk mengembangkan dan memelihara infrastruktur yang dibutuhkan untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi. Pemerintah ditantang oleh tuntutan peningkatan
urbanisasi, kebutuhan peremajaan infrastruktur, kebutuhan untuk memperluas jaringan
infrstruktur, dan mencapai daerah yang sebelumnya belum terlayani oleh infrastruktur
yang memadai. Selain itu, layanan infrastruktur yang diberikan seringkali operasinya
mengalami defisit, yang kemudian ditutupi pemerintah melalui subsidi, sehingga
membutuhkan tambahan modal dari sumber daya publik.
Ditambah dengan kemampuan terbatasnya anggaran yang dimiliki

pemerintah,

memberikan tekanan untuk mendorong adanya mobilisasi modal sektor swasta agar dapat
dimanfaatkan dalam investasi infrastruktur sektor publik. Melalui skema KPS yang
terencana dan terstruktur dengan baik, dapat memberikan peluang untuk memobilisasi
sumber daya sektor swasta, yang sebelumnya belum dimanfaatkan dan memberikan
kesempatan berinvestasi bagi sektor swasta baik itu dari lokal, regional, maupun
internasional.
Sementara tujuan dari sektor swasta memasuki skema KPS ini adalah kesempatan
mendapatkan keuntungan dari kemampuan dan pengalaman dalam mengelola bisnis
(utilitas khususnya). Sektor swasta mencari kompensasi untuk layanannya melalui biaya
atas jasa yang telah diberikan, sehingga diharapkan mendapat pengembalian yang sesuai
dari modal yang telah diinvestasikan.
2. KPS sebagai alat untuk efisiensi
Efisiensi penggunaan sumber daya publik yang sifatnya langka merupakan tantangan
penting bagi pemerintah dimana banyak pemerintahan di negara lain yang gagal.
Alasannya sektor publik hanya memiliki sedikit insentif atau bahkan tidak ada insentif
sama sekali pada penerapan efisiensi yang terstruktur dalam organisasi dan operasinya.
Sehingga diharapkan dalam pembangunan dan pengoperasian infrastruktur dapat berjalan
secara efisien. Pemberian insentif pada sektor publik sulit dilakukan meskipun tidak
mustahil. Seperti yang ditunjukkan oleh Singapura bagaimana dedikasi pemerintahannya

dalam mengembangkan efisiensi dalam skala yang luas dengan tetap menjaga layanan
publik yang sifatnya penting tetap dalam domain publik.

KPS memungkinkan pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan operasional kepada


operator swasta yang lebih efisien dan mempertahankan serta meningkatkan fokus pada
kewajiban inti sektor publik serta regulasi dan supervisi. Implementasi yang tepat pada
skema ini akan menghasilkan agregat pengeluaran kas yang lebih rendah pada pelayanan
pemerintah, layanan yang lebih murah dan lebih baik kepada pelanggannya. Hal ini harus
terus dipertahankan meskipun pemerintah melanjutkan untuk menanggung sebagian
investasi atau biaya operasionalnya karena anggaran yang dapat ditanggung oleh
pemerintah kemungkinan telah dibebani target tertentu, terbatas, dan disusun berdasarkan
strategi keuangan yang menyeluruh dan rasional.
3. KPS sebagai katalis reformasi pengelolaa sektor publik yang lebih luas
KPS dapat dilihat oleh pemerintah sebagai katalis untuk memicu wacana yang lebih luas
dan komitmen untuk agenda reformasi pengelolaan sektor publik, dimana KPS sebagai
salah satu satu komponen. Masalah utama yang ada selalu berfokus pada restrukturisasi
7

dan klarifikasi peran dalam sektor publik. Secara khusus, ada kebutuhan untuk menguji
kembali dan realokasi peran pembuat kebijakan, regulator, dan operator, terutama untuk
memobilisasi modal dan mencapai efisiensi, seperti diuraikan di atas. Sebuah program
reformasi

yang

mencakup

KPS

didalamnya

memberikan

kesempatan

untuk

mempertimbangkan kembali pembagian peran sektor publik untuk menghilangkan potensi


konflik dan untuk mempertimbangkan entitas swasta sebagai sektor yang memungkinkan
ikut berperanserta.
Menerapkan skema KPS tertentu seringkali memaksa langkah-langkah konkrit reformasi
untuk mendukung alokasi baru dari peran sektor publik seperti bagian hukum dan
pembentukan sebuah badan pengawas yang terpisah. Pada intinya, pemeriksaan ulang dari
pengaturan regulasi dan kebijakan penting untuk keberhasilan proyek KPS.
B. BENTUK KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA
KPS dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk. Beberapa bentuk metode kerjasama
tersebut diantaranya adalah Build-Own-Operate (BOO), Build-Own-Transfer (BOT),
Operate and Maintain, Lease- Develop-Operate (LDO). Di Indonesia sendri tidak ada
batasan khusus tentang bentuk pelaksanaan KPS dalam suatu proyek, meskipun demikian
bentuk metode kerjasama yang digunakan tersebut harus dapat menfasilitasi pengalihan
risiko-risiko tertentu kepada pihak yang dinilai paling baik dalam proses pengelolaannya.
Pendekatan alternatif yang telah dianjurkan untuk Indonesia sebagaimana yang telah
dilakukan oleh Inter-American Development Bank adalah sebagai berikut:
1. Harus diberikan ruang lingkup yang luas mengenai cara pelaksanaan proyek yang
seluruhnya dikuasi publik menjadi seluruhnya oleh swasta.
2. Parameter yang dapat mempengaruhi keberhasilan harus dapat diidentifikasi. Ini
termasuk diantaranya faktor sosial, kelembagaan, teknis dan ekonomi.
3. Sejumlah metode pelaksanaan dievaluasi secara kualitatifyang relatif untuk
menentukan metode mana yang paling menjanjikan.
4. Mekanisme pengurangan risiko harus dapat dipertimbangkan sehingga dapat
mengubah atau memperbaiki kelayakan suatu metode pelaksanaan.
5. Metode-metode pelaksanaan yang paling baik kemudian dievaluasi secara kuantitatif
dengan menggunakan model finansial untuk menentukan metode mana yang
mempunyai nilai bersih saat ini (Net Present Value) dalam batasan return yang paling
tinggi.

Menurut NCPPP (National Council for Public-Private Partnerships) dalam situs


http://www.ncppp.org, terdapat beberapa metode atau skema pengelolaan KPS antara lain
sebagai berikut :
a. Build-Operate-Transfer (BOT) atau Build-Transfer-Operate (BTO)
Bentuk ini merupakan bentuk KPS dimana pihak swasta membangun fasilitas sesuai
dengan perjanjian tertentu dengan pemerintah, mengoperasikan selama periode
tertentu berdasarkan kontrak, dan kemudian mengembalikan fasilitas tersebut kepada
pemerintah. Pada banyak kasus yang lain, swasta menyediakan sebagian atau seluruh
dana pembiayaan pembangunannya sehingga pada periode kontrak harus sesuai
dengan perhitungan dalam pengembalian investasi melalui pengguna fasilitas tersebut.
Pada akhir kontrak, pihak pemerintah dapat mengevaluasi kembali tanggung jawab
pengoperasian, memperpanjang masa kontrak dengan pihak yang sama, atau mencari
pihak (swasta) baru sebagai mitra untuk mengoperasikan atau memelihara. BTO
hampir sama dengan BOT. Perbedaannya terletak pada waktu pengembalian atau
penyerahan fasilitas. skema BOT dari pihak swasta mengembalikan kepada setelah
mengelola dalam jangka waktu tertentu, sebaliknya, pada BTO, pihak swasta
menyerahkan fasilitas kepada pemerintah segera setelah proyek pembangunan selesai
dan selanjutnya operasionalnya akan dilakukan oleh pemerintah.
Skema BOT adalah salah satu skema KPS yang paling banyak diterapkan di Indonesia
salah satu contoh adalah kerjasama antara pemerintah dengan Konsorsium J-Power,
Ithocu dan Adaro dalam pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Jawa Tengah 21000 MW dengan skema BOT yang mempunyai masa konsesi selama
25 tahun.
b. Build-Own-Operate (BOO)
BOO merupakan bentuk KPS dimana kontraktor swasta membangun dan
mengoperasikan fasilitas tanpa harus mengembalikan kepemilikan kepada pemerintah.
Dengan kata lain, dari pemerintah menyerahkan hak dan tanggungjawabnya atas suatu
prasarana publik kepada pihak swasta untuk membiayai, membangun, memiliki dan
mengoperasikan suatu prasarana publik baru tersebut selama-lamanya. Transaksi BOO
dapat berstatus bebas pajak sebagai insentifnya apabila semua persyaratan
perpajakannya terpenuhi.
c. Buy-Build-Operate (BBO)
BBO merupakan sebuah bentuk penjualan aset yang mencakup proses rehabilitasi atau
pengembangan dari fasilitas yang sudah ada. Pemerintah menjual aset kepada swasta
9

dan swasta kemudian melakukan upaya peningkatan yang dibutuhkan, fasilitas


tersebut untuk menghasilkan keuntungan dengan mekanisme yang menguntungkan
pula.
d. Contract Services
Operations and Maintanance
Sektor publik dalam hal ini pemerintah melakukan kontrak/perjanjian kerjasama
dengan swasta untuk menyediakan dan/atau memelihara jasa atau layanan tertentu.
Kewenangan operasional dan pemeliharaan diberikan kepada swasta, sedangkan
pemerintah mempertahankan kepemilikan dan seluruh manajemen serta sistem layanan
umum tersebut.
Operations, Maintanance, Management
Pemerintah melakukan kontak kerjasama dengan swasta untuk mengoperasikan,
memelihara, dan mengelola fasilitas atau untuk meningkatkan sistem pelayanan.
Berdasarkan kontrak/perjanjian ini, pemerintah mempertahankan kepemilikan tetapi
pihak swasta boleh menginvestasikan modalnya pada fasilitas atau sistem tersebut.
Swasta manapun sangat berhati-hati dalam memperhitungkan investasi pada setiap
kerjasama dengan operasional yang efisien dan tabungan selama waktu kontrak.
Dengan kontrak yang rata-rata cukup lama, pihak swasta memiliki kesempatan besar
untuk memperoleh keuntungan dan pengembalian yang sesuai. Pemerintah di Amerika
Serikat biasanya menggunakan bentuk kerjasama ini untuk pelayanan perawatan
sampah cair.
e. Design-Build (DB)
DB merupakan bentuk kerjasama dimana pihak swasta menyediakan desain dan
membangun sesuai desain proyek yang memenuhi persyaratan yang telah disepakti
dan dengan target kinerja yang ditetapkan oleh pemerintah. Bentuk kerjasama ini dapat
menghemat waktu, dana, jaminan yang lebih jelas, dan membebankan risiko tambahan
kepada swasta. Selain itu skema ini juga dapat mengurangi konflik karena pembagian
tanggung jawab yang lebih jelas dan sederhana.
f. Design-Build-Maintain (DBM)
Bentuk DBM merupakan bentuk kerjasama yang hampir sama dengan DB dengan
perbedaan pada pemeliharaan fasilitasnya selama beberapa waktu yang menjadi
tanggung jawab pihak swasta. Keuntungan yang didapat juga hampir sama dengan DB
dengan risiko selama pemeliharaan dibebankan kepada pihak swasta ditambah dengan
garansi selama periode pemeliharaan yang juga ditanggung oleh pihak swasta.

10

g. Design-Build-Operate (DBO)
DBO merupakan bentuk kerjasama dimana terdapat kontrak pemerintah dan swasta
untuk mendesain dan membangun infrastruktur sesuai standar kinerja yang ditetapkan
pemerintah, setelah dibangun kemudian dioperasikan oleh pihak swasta. Apabila masa
kontrak telah selesai, aset tersebut dikembalikan kepada pemerintah.
h. Concession
Konsesi memberikan peluang tanggung jawab yang lebih besar kepada swasta tidak
hanya untuk mengoperasikan dan memelihara aset tersebut namun juga berinvestasi.
Kepemilikan aset masih berada ditangan pemerintah, tetapi keseluruhan hak guna akan
berada ditangan swasta hingga berakhirnya kontrak (biasanya 25 30 tahun). Konsesi,
biasanya ditawarkan melalui lelang dengan penawaran terendah akan keluar sebagai
pemenang. Konsesi diatur dengan kontrak yang mencakup kondisi seperti target
kinerja (kualitas), standar kinerja, perjanjian investasi modal, mekanisme penyelarasan
tarif, dan penyelesaian arbritase atau potensi terjadinya perselisihan. Keuntungan
bentuk konsesi adalah seluruh pengelolaan dan investasi dilakukan oleh swasta untuk
tujuan efisiensi. Konsesi sesuai untuk menarik investasi pihak swasta dalam skala
besar.
i. Enhanced Use Leasing (EUL)
EUL merupakan model KPS untuk pengelolaan aset-aset pada Departemen Urusan
Veteran (Veterans Affairs-VA) di Amerika Serikat yang meliputi beberapa perjanjian
sewa-menyewa (seperti lease develop-operate, build-develop-operate). EUL juga
memungkinkan pada departemen ini mengontrol sewa properti dalam jangka panjang
denganpihak swasta atau instansi pemerintah untuk keperluan di luar Departemen
Urusan Veteran.
j. Lease-Develop-Operate (LDO) atau Build-Develop-Operate (BDO)
LDO atau BDO merupakan bentuk kerjasama dimana swasta menyewa atau membeli
prasarana publik dari pemerintah, dan mengembangkannya serta melengkapinya,
kemudian mengoperasikan berdasarkan kontrak dalam waktu tertentu. Selama kontrak
berlangsung, pihak swasta dapat mengembangkan prasarana yang ada dan
mengoperasikannya sesuai dengan perjanjian kontrak.
k. Lease/Purchase
Bentuk kerjasama ini terjadi ketika pemerintah membuat kontrak dengan swasta untuk
merancang dan membiayai serta membangun prasarana publik, tetapi setelah selesai
dibangun prasarana tersebut menjadi milik pemerintah. Lalu pihak swasta tersebut
11

menyewa prasarana tersebut kepada pemerintah untuk dioperasikan dalam periode


waktu tersebut sesuai dengan perjanjian. Berdasarkan perjanjian ini pengoperasian
fasilitas dapat dilakukan oleh kedua belah pihak (pemerintah-swasta) selama masa
sewa. Lease/purchase sudah digunakan pada General Service Administration pada
pembangunan gedung kantor pemerintah negara bagian dan pembangun gedunggedung penjara di Amerika Serikat.
l. Sale/Leaseback
Sale/leaseback merupakan bentuk kerjasama pengaturan keuangan dimana pemilik
fasilitas menjual kepada pihak lain, dan setelah itu menyewa kembali dari pemilik baru
tersebut. Baik pemerintah maupun swasta dibolehkan ikut masuk didalam pengaturan
sale/leaseback meskipun dengan banyak pertimbangan. Inovasi penggunaan bentuk
kerjasama ini adalah penjualan fasilitas umum kepada sektor public atau perusahaan
swasta dengan pertimbangan pembatasan kewajiban dari pemerintah. Berdasarkan dari
kesepakatan tersebut, pemerintah yang menjual fasilitas menyewanya kembali dan
melanjutkan pengoperasiannya.
m.Tax-Exempt Lease
Turnkey merupakan bentuk kerjasama dimana pemerintah membiayai suatu proyek dan
pihak swasta melaksanakan perancangan, pembangunan dan pengoperasian dalam
waktu yang telah disepakati bersama. Persyaratan standard dan untuk Kinerja
ditetapkan oleh pemerintah dan kepemilikan tetap ditangan pemerintah.
Bentuk-bentuk kerjasama PPP tersebut dapat dibedakan antara satu dengan yang lainnya
dengan kriteria-kriteria sebagai berikut :
1. Kepemilikan aset.
Kepemilikan aset merupakan hak atas kepemilikan terhadap aset yang dikerjasamakan,
apakah aset itu berada ditangan pemerintah atau swasta, selama jangka waktu tertentu.
Semakin besar keterlibatan pihak swasta dalam kepemilikan aset maka akan semakin
menarik minat mereka bekerjasama/berinvestasi. Kepemilikan aset dapat dibedakan
apakah menjadi milik pemerintah, milik swasta, atau milik pemerintah dan swasta
(kepemilikan bersama).
2. Operasional dan pengelolaan aset
Operasional dan pengelolaan aset merupakan kriteria yang mengindentifikasikan
pendelegasian tanggung jawab untuk mengelola asetyang dikerjasamakan selama kurun
waktu tertentu. Pihak yang mengelola berpeluang untuk memperoleh pendapatan dari

12

aset kerjasama. Operasionaldan kepemilikan aset dapat dibedakan menjadi tanggung


jawab pemerintah,swasta, atau tanggung jawab bersama.
3. Investasi modal atau penanam modal
Investasi modal merupakan kriteria berkaitan dengan siapa yang akanmenanamkan
modal tersebut pada aset yang akan dikerjasamakan. Investasi modal dapat dibedakan
menjadi investasi pemerintah, swasta, atau investasidengan modal bersama.
4. Risiko-risiko yang akan terjadi
Risiko komersial merupakan kriteria yang berhubungan siapa yang akan dibebani
dengan risiko-risiko komersial tersebut yang nanti akan muncul selama pembangunan
dan pengelolaan aset yang dikerjasamakan. Risiko komersial yang akan terjadi dapat
dibebankan kepada pemerintah, swasta,atau menjadi beban bersama.
5. Durasi kerjasama
Durasi kerjasama merupakan kriteria yang berkaitan dengan jangka waktu kerjasama
yang disepakati. Semakin lama jangka waktu kerjasama akan memberikan peluang
yang lebih besar bagi pengembalian. Durasi kerjasama dapat dibedakan menjadi jangka
pendek, jangka menengah, atau jangka panjang.
C. KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA DI INDONESIA
a. Peraturan Kerjasama Pemerintah dan Swasta di Indonesia
Skema KPS bukan hal yang baru di Indonesia. Tercatat sejak tahun 1998 Pemerintah telah
mengeluarkan regulasi mengenai kerja sama pemerintah dan swasta yaitu Keputusan
Presiden Nomor 7 Tahun 1998 Tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta
dalam Pembangunan dan/atau pengelolaan Infrastruktur akan tetapi terhambat oleh krisis
ekonomi pada waktu itu. Baru kemudian pada tahun 2005 Pemerintah berupaya
mendukung skema KPS dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur dan
telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2013.
Sesuai dengan amanat Perpres No. 13/2010 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Perpres Nomor 66 Tahun 2013 tersebut, sebagai usaha penjaminan Infrastruktur oleh
Pemerintah dilaksanakan oleh Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur (BUPI). Untuk
melaksanakan peran BUPI maka pada tahun 2009 melalui PP No. 35/2009 mengenai
penyertaan modal Negara untuk Pendirian Badan Usaha Milik Negara di Bidang
Penjaminan Infrastruktur, pemerintah mendirikan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia
(Persero) atau biasa disebut dengan PT PII.
Tujuan utama pendirian PT PII adalah:
13

1. Menyediakan penjaminan untuk proyek KPS infrastruktur di Indonesia,


2. Meningkatkan kelayakan kredit (credit worthiness), terutama bankability dari proyek
KPS di mata investor/kreditor,
3. Meningkatkan tata kelola dan proses yang transparan dalam penyediaan penjaminan,
4. Meminimalkan kemungkinan kejutan langsung (sudden shock) terhadap Anggaran
Negara (APBN) dan memagari (ring-fencing) eksposur kewajiban kontinjensi
Pemerintah.
Selain itu Pemerintah Indonesia melalui PMK No.396/KMK.10/2009 membentuk PT
Multi Sarana Infrastruktur untuk mengelola sumber pembiayaan alternatif melalui skema
KPS dan membentuk Direktorat Pengembangan Kerjasama Pemerintah dan Swasta
sebagai komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjamin pengembangan dan pelaksanaan
KPS di Indonesia. Berikut ini adalah regulasi-regulasi terkait Kerjasama Pemerintah dan
Swasta yang telah dikeluarkan pemerintah dalam menjamin pelaksanaan KPS di
Indonesia:

Sumber: SUSTAINING PARTNERSHIP - Edisi Khusus Tahapan KPS 2011


b. Proyek KPS di Indonesia
Pemerintah Indonesia untuk tahun 2011 hingga 2014, menargetkan investasi di sektor
infrastruktur untuk pengembangan 6 (enam) koridor perekonomian di Indonesia dalam
rangka pelaksanaan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
14

Indonesia (MP3EI) mencapai Rp755 Triliun. Dana tersebut disediakan dalam bentuk
alokasi pemerintah sebesar Rp 544 triliun, dan untuk memenuhi kekurangan kebutuhan
dana sebesar Rp 211 triliun pemerintah menggunakana alternatif pendanaan melalui skema
Public Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS).
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 67 tahun 2005, jenis proyek infrastruktur
yang akan dan dapat dikerjasamakan dengan investor swasta meliputi :
a. Transportasi (pelabuhan laut, sungai atau danau, pelabuhan udara, jaringan rel dan
stasiun kereta api);
b. Jalan (jalan tol dan jembatan tol);
c. Pengairan (saluran pembawa air baku);
d. Air minum (bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi,
instalasi pengolahan air minum);
e. Air limbah (instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama)
serta sarana persampahan (pengangkut dan tempat pembuangan);
f. Telekomunikasi (jaringan telekomunikasi);
g. Ketenagalistrikan (pembangkit, transmisi, dan distribusi tenaga listrik);
h. Minyak dan gas bumi (pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi atau
distribusi migas).
Berdasarkan PPP Book tahun 2013 yang diterbitkan Direktorat Pengembangan Kerjasama
Pemerintah dan Swasta, Bappenas, pada tahun 2013. Terdapat data proyek KPS di
Indonesia sebagai berikut:
No
1

Sektor

Telah melalui
proses Tender

Proyek prioritas

Proyek
Potensial

Transportasi
a. Transportasi udara

b. Transportasi darat

c. Transportasi laut

d. Rel kereta api

Jalan

Air Minum

Air Limbah dan sampah

1
15

Listrik

Jumlah

21

14

13

Dari daftar proyek yang telah dilakukan tender tersebut terdiri dari 1 proyek transportasi
laut yang berupa proyek dermaga Tanah Ampo di Bali; 1 proyek rel kerata api di
Kalimantan Tengah yang akan digunakan sebagai sarana mengangkut batubara; 9 proyek
jalan tol yang tersebar di Jakarta dan Bali; 5 proyek pasokan air Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sulawesi Selatan; 2 proyek sanitasi dan sampah di Bandung dan Batam;
dan 3 proyek pembangkit listrik di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan.
Untuk proyek prioritas terdiri dari 1 proyek transportasi laut di Selat Sunda; 3 proyek rel
kereta di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta; 5 proyek jalan tol di Sulawesi Utara, Jakarta,
Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara; 2 proyek pasokan air di Jawa Barat dan Bali; 2
proyek sanitasi dan pengolahan sampah di Jawa Barat dan Jawa Tengah; dan 1 proyek
pembangkit listrik di Sulawesi Barat.
Sedangkan untuk proyek potensial terdiri dari 2 proyek transportasi udara berupa
pembangunan bandara di Kalimantan Timur dan Bali; 3 proyek transportasi darat berupa
pembangunan monorail di Sumatera Selatan dan pembangunan MRT di Surabaya dan
Bandung; 3 proyek transportasi laut berupa pembangunan dermaga di Kalimantan Timur,
Jawa Barat, dan Batam; 1 proyek rel kereta api untuk pengangkutan batubara di Muara
Enim; 3 proyek jalan tol di Jawa Barat dan Jawa Timur; dan 1 proyek pengelolaan saluran
air di Jakarta.
Beberapa proyek prospektif yang ditawarkan oleh pemerintah dalam PPP Book 2013
antara lain sebagai berikut:

No

Proyek

Lokasi

Pola Kerjasama

Biaya

1.

Jalur Kereta Bandara


Soekarno-Hatta dan Stasiun
Manggarai

Jakarta

Design-BuildOperate

US$2.57 Billion

2.

Integrasi Stasiun
Multifungsi Gedebage

Bandung,
Jawa Barat

Design-Build

US$133 Million

3.

Revitalisasi Stasiun Kereta


Yogyakarta dan Pedestarian
Malioboro

Yogyakarta

Build-OperateTransfer;
Contract Services

4.

Pembangunan Perkotaan
Terkonsolidasi

Banda
Aceh

Design-BuildOperate

Opsi 1:
US$732.78
million
Opsi 2
US$1.60 million

16

No

Proyek

Lokasi

5.

Pembangunan Infrastruktur
Selat Sunda

BantenLampung

6.

Jalan Tol Manado-Bitung

Sulawesi
Utara

7.

Jalan Tol Tanjung Priok

Jakarta

8.

Jalan Tol BalikpapanSamarinda

9.

Jalan Tol Kayu AgungPalembang-Betung

10.

Persediaan Air Pondok


Gede

11.

Persediaan air wilayah


selatan Bali

12.

Pengolahan limbah padat


dan pembuangan akhir

13.

Pengolahan limbah padat


dan pembuangan akhir

14.

Pembangkit Listrik Tenaga


Air Karama

Pola Kerjasama
Build-OperateTransfer; DesignBuild-OperateMaintenance
Design-BuildOperateMaintenance
Contract Service

Design-BuildKalimantan
OperateTimur
Maintenance
Design-BuildSumatera
OperateSelatan
Maintenance
Design-BuildBekasi,
OperateJawa Barat
Maintenance
Bali
Bogor&De
pok, Jawa
Barat
Surakarta,
Jawa
Tengah
Sulawesi
Barat

Biaya
US$25,000.00
million
US$353.00
million
US$612.50
million
US$1,2000.00
million
US$836.15
million
US$20.00
million

Design-BuildOperate

US$ 218.84
million

Contract Service

US$40.00
million

Design-BuildOperateMaintenance
Design-BuildOperateMaintenance

US$30.00
million
US$1,335.50
million

c. Kasus Pembangkit Listrik Tenaga Uap Paiton


Meskipun mempunyai keunggulan-keunggulan tertentu tidak semua proyek yang
menggunakan skema KPS selalu berhasil diterapkan. Salah satu contoh pelaksanaan KPS
yang tidak berhasil adalah Pembangkit Listrik Paiton di Indonesia pada tahun 1992 yang
menggunakan skema BOT yang bekerjasama dengan konsorsium Batu Hitam Perkasa,
Edison Mission Energy, Mitsui, dan General Electric. Kurangnya konsensus dituding
menjadi penyebabkan proyek ini tidak berlanjut. PLN secara finansial tidak independen
untuk memperluas kapasitas pembangkit listrik atau memperkuat jaringan distribusi.
Pembangkit listrik milik swasta yang waktu itu diperbolehkan lewat dukungan Keputusan
Presiden Nomor 37 Tahun 1992 tentang penyediaan listrik oleh swasta ikut memperburuk
17

permasalahan. PLN dipaksa membeli listrik dari Paiton sebesar 5-10 persen lebih tinggi
daripada pembangkit listrik sendiri. Sebagai akibatnya, pemerintah melalui PLN harus
mensubsidi Paiton, yang berarti mengesampingkan tujuan utama proses BOT.
Sementara itu listrik yang diterima PLN dari perusahaan swasta tidak seluruhnya dapat
dijual karena kesulitan dalam jaringan distribusi. Akhirnya, April 1995 saat Paiton
menandatangai paket pendanaan dari bank, PLN secara sepihak mengumumkan
pembatalan persetujuan pembayaran listrik dengan perusahaan konsesi, berarti secara
efektif menghapuskan seluruh persetujuan.
Harga jual listrik dari Proyek Paiton sangat tinggi, menunjukkan ketidakmampuan
pemerintah Indonesia untuk fokus memperoleh suplai listrik yang paling murah dan paling
efisien. Selain itu, Proyek Paiton dikacaukan oleh beberapa hal misalnya diharuskan
membangun infrastruktur tambahan, menggunakan kontraktor tertentu dan membeli
peralatan dari perusahaan yang telah disodorkan, sehingga tidak efisien dan menaikkan
biaya. Ditambah lagi, adanya dugaan mark up dalam pengadaan listrik swasta Paiton I di
Probolinggo terhadap capital cost sebesar 48 persen dari seluruh nilai proyek yang sebesar
Rp 7,015 triliun. Berdasarkan audit BPKP dan due diligence SNC-Lavalin menyatakan
ada mark up dan rekayasa besar-besaran pada sisi proses penyiapan listrik swasta dan
proses investasinya. Hal ini menyebabkan proses negosiasi konsesi dan pembiayaan
menjadi lebih sulit dan tidak efisien. Hasilnya adalah proyek yang seharusnya layak secara
komersil, berdasar prinsip BOT, tetapi justru listrik yang dihasilkan mempunyai harga
yang tinggi sehingga tidak kompetitif.
Mengutip analisis Handley (1997), kegagalan PPP / KPS disebabkan oleh kurangnya
konsensus di pihak pemerintah dan masyarakat atas andil pihak swasta pada umumnya
atau projek pada khususnya; ketidakmampuan pemerintah untuk tetap fokus pada tujuan
dasarnya atas andil pihak swasta; kecenderungan pemerintah untuk membuat persetujuan
dengan pihak swasta/sponsor tanpa studi yang mendalam atau transparan, proses lelang
yang tidak kompetitif; keinginan pemerintah untuk menyerap biaya dan risiko yang
seharusnya ditanggung oleh sektor privat/sponsor.
D. RESIKO DAN MITIGASI RESIKO DALAM SKEMA KPS
Setiap Proyek KPS memiliki karakteristik dan tingkat risiko yang berbeda satu sama lain.
Oleh karena itu penting bagi Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) untuk
melakukan analisis terhadap kemungkinan risiko yang terjadi dan langkah-langkah
mitigasinya. Sebagian besar dari investor yang akan berinvestasi khususnya di bidang
18

infrastruktur pasti akan menanyakan kepada PJPK apakah proyek tersebut akan
mendapatkan jaminan pemerintah atau tidak. Pemberian jaminan ini bagi Badan Usaha
Swasta akan lebih memberikan kenyamanan dan keyakinan dalam berinvestasi.
Alokasi risiko adalah pembagian risiko proyek kerjasama dengan prinsip dasar bahwa
risiko dibagi dan dibebankan kepada pihak yang paling mampu untuk mengendalikan
risiko tersebut. Alokasi risiko meliputi pembagian risiko proyek antara pihak Pemerintah
dan Badan Usaha Swasta berdasarkan prinsip alokasi risiko.
Risiko yang terkait dengan konstruksi dan operasi umumnya diserahkan kepada pihak
Badan Usaha Swasta, sementara risiko yang terkait dengan politik, kebijakan dan
peraturan diserahkan kepada pihak pemerintah sebagai pihak terbaik untuk mengelolanya.
Namun risiko pasar dapat ditanggung bersama antara pihak pemerintah dan swasta melalui
penyediaan jaminan pemerintah.
Mitigasi resiko bertujuan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya resiko terhadap
dampak yang ditimbulkannya. Pihak Pemerintah ataupun Badan Usaha Swasta harus
mempersiapkan mitigasi risiko dengan baik karena keduanya merupakan tanggung jawab
masing-masing resiko proyek. Khusus mitigasi resiko yang dibebankan kepada Badan
Usaha Swasta, PJPK harus memastikan bahwa pihak Badan Usaha Swasta mengambil
langkah-langkah mitigasi yang tepat dengan menggunakan biaya terendah dalam
melaksanakan proyek.
Pada tahap penyiapan proyek KPS, dalam membagi risiko perlu diperhatikan beberapa
prinsip berikut, yaitu:
1. Penentuan kewajiban PJPK dalam Perjanjian Kerjasama proyek KPS perlu memenuhi
prinsip Alokasi Risiko. Alokasi risiko yang optimal penting demi memaksimalkan
value for money.
2. Prinsip yang lazim diterapkan untuk alokasi risiko adalah bahwa risiko sebaiknya
dialokasikan kepada pihak yang relatif lebih mampu mengelolanya atau dikarenakan
memiliki biaya terendah untuk mengelola risiko tersebut. Jika prinsip ini diterapkan
dengan baik, diharapkan dapat menghasilkan premi risiko yang rendah dan biaya
proyek yang lebih rendah sehingga berdampak positif bagi pemangku kepentingan
proyek tersebut.
Contoh penerapan prinsip tersebut di investasi KPS adalah sebagai berikut:
1. Risiko yang berdasarkan pengalaman sulit untuk dikendalikan pemerintah agar
memenuhi asas efektivitas biaya, sebaiknya ditanggung pihak Badan Usaha Swasta.

19

2. Risiko yang berada di luar kendali kedua belah pihak, atau sama-sama dapat
dipengaruhi kedua belah pihak sebaiknya ditanggung bersama (kejadian kahar)
3. Risiko yang dapat dikelola pemerintah, karena posisinya lebih baik atau lebih mudah
mendapatkan informasi dibandingkan swasta (risiko peraturan atau legislasi)
sebaiknya ditanggung pemerintah
4. Risiko yang walaupun sudah ditransfer, tetap memberikan eksposur kepada pemerintah
atau PJPK (menghambat tersedianya layanan penting ke masyarakat), dimana jika
Badan Usaha gagal memenuhi kewajiban maka pemerintah dapat mengambil alih
proyek.

20

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Saat ini pola kerjasama pemerintah dan swasta menjadi salah satu alternatif yang ditempuh
oleh pemerintah Indonesia baik di tingkat pusat maupun daerah dalam penyediaan barang
publik. Salah satu manfaat dari skema KPS ini adalah dimana pemerintah dan swasta
dapat bersama-sama mengembangkan layanan publik dengan pembagian risiko, biaya, dan
sumber daya secara efektif dan efisien. Selain itu skema KPS juga mempunyai berbagai
pola kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam pengadaan barang publik yang dapat
disesuaikan dengan kebutuhannya dimana dalam pengadaan barang publik tersebut
mempunyai berbagai persyaratan teknis dan non-teknis yang tidak sama dan kebutuhan
lainnya yang harus dipenuhi.
Sebagai bentuk dukungan pemerintah dalam membangun kerjasama dengan pihak swasta,
pemerintah menerbitkan berbagai peraturan-peraturan yang dapat memberikan kepastian
hukum bagi pihak swasta dalam melaksanakan KPS. Pemerintah juga berusaha
memberikan dukungan penjaminan kerjasama dengan pembentukan PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (Persero) untuk penjaminan ifrastruktur dan PT Multi Sarana
Infrastruktur yang mengelola sumber pembiayaan alternatif dalam KPS.
Akan tetapi harus dicermati juga oleh pemerintah Indonesia dalam penerapan KPS agar
lebih berhati-hati dalam perjanjian KPS sehingga kegagalan yang dialami dalam KPS pada
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Paiton I tidak terulang kembali.
B. SARAN
Langkah pemerintah yang melibatkan swasta dalam pengadaan barang publik dengan pola
KPS diharapkan dapat lebih ditingkatkan di masa mendatang. Akan tetapi membutuhkan
dukungan yang lebih baik lagi dengan adanya kepastian hukum dengan regulasi yang
mengatur kedua belah pihak dan penegakan hukumnya untuk mencegah adanya potensi
kecurangan yang mungkin terjadi. Kemudian diharapkan ada terobosan dan inovasi dalam
hal alternatif pembiayaan proyek-proyek KPS. Selain itu diperlukan juga adanya kajian
21

yang mendalam terhadap proyek-proyek yang akan digulirkan oleh pemerintah sehingga
proyek-proyek pengadaan barang publik dengan KPS dapat saling menguntungkan dan
tentu saja bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur
Asian Development Bank. 2008. Public-Private Partnership (PPP) Handbook,
(Online),
(http://www.adb.org/sites/default/files/pub/2008/Public-PrivatePartnership.pdf)
Bappenas. 2011. Majalah SUSTAINING PARTNERSHIP edisi Khusus Tahapan KPS
2011,
(Online),(http://pkps.bappenas.go.id/attachments/article/955/NOVEMBER
%20Khusus_TAHAPAN%20KPS_INDONESIA_L.pdf)
Bappenas. 2013. PPP Book: Public Private Partnerships, Infrastructure Projects Plan
in Indonesia 2013, (Online), (http://pkps.bappenas.go.id/images/PPP_Book/PPP_
BOOK_2013.pdf)
Kemenko Bidang Perekonomian. 2010. Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS)
Panduan Bagi Investor Dalam Investasi di Bidang Infrastruktur,(Online),
(http://www.indii.co.id/upload_file/201005111816180.PPP%20guide_eng_LR.pdf)
National Council for Public-Private Partnership. Types of Partnerships, (Online),
(http://www.ncppp.org/ppp-basics/types-of-partnerships/)
Praptono Djunaedi. 2008. Implementasi Public-Private Partnership dan Dampaknya ke
APBN,(Online),
(http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian
%5Cartikel_PPP_prap.pdf)
Rakyat Merdeka Online. 2010. KPK Dan Kejagung Lupa Kasus Paiton I Probolinggo,
(Online),
(http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/06/21/96543/KPK-DanKejagung-Lupa-Kasus-Paiton-I-Probolinggo)

22

Anda mungkin juga menyukai