Keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah mencakup berbagai bentuk kolaborasi, mulai
dari kemitraan publik-swasta dalam penyediaan layanan publik hingga penunjukan individu
dari sektor swasta ke dalam posisi strategis di dalam pemerintahan. Tujuan utama dari
keterlibatan ini adalah meningkatkan efisiensi, inovasi, dan kapasitas dalam menyediakan
layanan publik, sekaligus mengurangi beban fiskal yang harus ditanggung oleh pemerintah.
Namun, ada pro dan kontra terkait dengan keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah. Di
satu sisi, para pendukung berargumen bahwa swasta memiliki pengalaman dalam
pengelolaan bisnis yang efisien dan inovatif, serta dapat membawa teknologi mutakhir ke
sektor publik. Keterlibatan swasta juga dapat memicu persaingan sehat, mendorong
peningkatan kualitas layanan, dan mengurangi birokrasi yang berlebihan.
Di sisi lain, kritikus menyoroti potensi konflik kepentingan, kurangnya akuntabilitas publik,
dan risiko korupsi yang mungkin muncul akibat keterlibatan swasta dalam urusan
pemerintahan. Keuntungan finansial swasta juga bisa menjadi faktor yang memengaruhi
pengambilan keputusan di pemerintahan, mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan
publik.
Dalam konteks global, berbagai negara telah mengadopsi pendekatan yang berbeda terhadap
keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah. Beberapa negara lebih cenderung membuka
pintu lebar bagi swasta dalam berbagai sektor, sementara yang lain lebih hati-hati dan selektif
dalam kolaborasi semacam itu. Pendekatan yang tepat harus mempertimbangkan konteks
sosial, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing negara.
Dalam tugas ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang dinamika, manfaat, tantangan,
serta contoh konkret dari keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah. Melalui
pemahaman yang lebih mendalam tentang topik ini, diharapkan kita dapat merumuskan
pandangan yang lebih komprehensif terkait implikasi dan arah perkembangan keterlibatan
swasta dalam birokrasi pemerintah di masa depan.
otonomi daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan kebijakan lokal secara bijaksana. Namun implementasi kebijakan
tersebut belum maksimal diterapkan karena keberadaan daerah-daerah otonom
baru tidak diiringi dengan kapasitas sumber daya manusia dan finansial yang
memadai. Dengan demikian banyak terjadi keterlambatan dalam pembangunan
terutama pembangunan infrastruktur.
Oleh karena itu pemerintah daerah perlu mencari solusi atas persoalan tersebut
dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait dalam pelaksanaan pembangunan,
misalnya pihak swasta, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan Non
Governmental Organisation (NGO), serta dan lain-lain. Keterlibatan berbagai pihak
ini memiliki peran penting untuk membantu pemerintah mengingat tidak semua
aktivitas pembangunan mampu dikerjakan oleh pemerintah sendiri terutama dalam
hal ketersediaan skill SDM dan finansial sehingga perlu keterlibatan pihak swasta.
Bentuk kerjasama yang melibatkan pihak swasta ini dikenal dengan public private
partnership (PPP).
Lebih lanjut ada tiga hal yang mendorong pemerintah untuk melakukan kerjasama
pemerintah dan swasta (PPP) karena masalah keterbatasan dana, efisiensi dan
efektivitas pemerintahan, dan pertanggungjawaban pemerintah kepada
masyarakat. Sebagai suatu daerah yang baru berkembang tentunya pemerintah
daerah tidak dapat mengandalkan sumber daya yang ada (keuangan dan SDM).
Disini pemerintah daerah butuh menarik pihak swasta untuk melakukan investasi
tidak hanya dalam bentuk dana tetapi juga peningkatan skill SDMnya untuk
membangun dan memelihara infrastruktur yang belum dan sudah tersedia dalam
rangka menyejahterakan masyarakat.
Oleh karena itu untuk menghindari dampak-dampak negatif yang akan muncul maka
dalam proses PPP haruslah mengikuti payung hukum yang jelas baik mengenai
pembagian insentif dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan demikian
harus ada perjanjian kontrak yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak dimana ada ketentuan pembagian risiko dan timbal balik
finansial yang didapat oleh pihak-pihak yang terlibat.
Bentuk PPP
Keterlibatan pihak swasta yang mampu menyediakan keuangan dan tenaga ahli
setidaknya membantu fungsi pemerintah sebagai motor pelaksana pembangunan.
Selain itu melalui PPP juga menciptakan sistem pemerintahan yang bersih karena
dalam hal ini pemerintah juga bisa melaksanakan fungsi kontrol terhadap sektor
swasta yang terlibat. Namun perlu diingat, hubungan yang terjalin antara
pemerintah dan sektor swasta haruslah memiliki hubungan yang saling
menguntungkan dan harus diikat dalam suatu kontrak untuk jangka waktu tertentu.
Disinilah peran dan fungsi pemerintah untuk mengontrol pelaksanaan
pembangunan diperlukan. Sebagaimana kita sadari bahwa sudah jelas dengan
adanya keterlibatan pihak swasta adalah untuk meraih keuntungan sebagai
konsekuensi dalam pembangunan. Namun keuntungan yang didapat oleh pihak
swasta ini sudah seharusnya tidak merugikan pembangunan. Oleh karena itu
perlunya adanya pengawasan dari pemerintah dan pembatasan waktu.
Proses kerjasama yang terjalin antara pemerintah dan pihak swasta dapat dilakukan
dalam beberapa cara yaitu melalui service contract, management contract, lease
contract, concession, BOT (Build Operation Transfer), Joint Venture
Agreement, dan Community Based Provision. Namun dalam proses kerjasama yang
dilakukan ini terdapat beberapa keunggulan dan kelemahannya.
Lease contract yaitu kerjasama pemerintah yang pihak swasta dalam jangka waktu
sepuluh sampai dengan lima belas tahun dimana tanggung jawab manajemen,
operasional dan pembaharuan kontrak lebih spesifik. Pemilik modal adalah sektor
publik (pemerintah) namun pihak swasta turut menanggung risiko keuangan (risiko
menengah). Kelemahannya akan menimbulkan potensi konflik antara pihak swasta
sebagai operator pelaksana dan sektor publik (pemerintah) sebagai pemilik modal.
Contohnya pengelolaan taman hiburan, bandara, dan armada bis, dan sebagainya.
Build Operate Transfer (BOT) merupakan kejasama PPP yang investasi dan
komponen utamanya adalah peningkatan pelayanan publik dengan jangka waktu 10
sampai dengan 30 tahun. Posisi pihak swasta sebagai penanggung jawab operasi,
pemelihara, pemodal, dan penanggung jawab risiko serta pihak swasta juga akan
mendapatkan imbalan sesuai dengan parameter produksinya. Sistem ini efektif
untuk mengembangkan kapasitas SDM, namun kelemahannya untuk meningkatkan
efisiensi operasional membutuhkan jaminan sehingga diperlukan analisis
kemampuan, kapasitas pemerintah, komitmen politik, regulasi yang tinggi
dan recovery cost yang bervariasi. Contohnya pembangunan jalan tol, pelabuhan
udara dan laut, pembangkit listrik, dan sebagainya. Contoh ini tidak jauh berbeda
dengan lease contract.
Joint Venture Agreement adalah PPP dimana investasi dan risikonya ditanggung
bersama antara pemerintah dan pihak swasta. Disini tidak ada batasan waktu hanya
berdasarkan kesepakatan saja. Kerjasama ini melibatkan berbagai pihak mulai dari
pemerintah, non pemerintah, swasta, dan sebagainya atau stakeholder terkait.
Masing-masing pihak saling berkontribusi. Kunggulan dari joint venture dapat
saling berbagi dalam menyumbangkan sumber daya yang ada (finansial dan
SDMnya). Namun kelemahannya ada peluang penyalahgunaan investasi dimana
pemerintah memberikan subsidi kepada pihak swasta atau pihak lainnya dalam
pelaksanaan kerjasama tersebut yang seharusnya dihindari.
Berdasarkan beberapa jenis PPP yang telah dijelaskan tersebut maka dari beberapa
keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya tidak dapat ditentukan jenis PPP yang
tepat. Kesemuanya ini tergantung pada jenis kegiatan atau proyek, manfaat
kegiatannya, jangka waktu pembangunannya hingga baru bisa ditentukan jenis PPP
yang dibutuhkan.
Namun penerapan PPP di Indonesia juga masih lemah karena regulasi yang saling
tumpang tindih sehingga menyulitkan pihak swasta untuk melakukan investasi,
prosedur birokrasi yang masih berbelit-belit, perencanaan tata ruang wilayah dan
daerah yang belum tertata dengan baik, desain perencanaan teknis yang tidak
matang sehingga menyulitkan pihak swasta dalam proses pengerjaan. Salah satu
contoh dalam pembangunan jalan tol sering terjadi perbaikan akibat proses
perencanaan yang tidak matang. Dengan demikian dalam proses PPP maka perlu
kesiapan dan kematangan dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk
menyiapkan regulasi dan kerangka kerja yang matang sehingga dalam proses
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat terealisasi secara maksimal dan memberikan
keuntungan kepada berbagai pihak terkait. (Nyimas Latifah Letty Aziz)
Penerapan Konsep Public Private Partnership (PPP) Dan Konsep New Public Management (NPM)
Dalam Meningkatkan Pemanfaatan Aset Negara
Oleh Guntur Priadi
Pelaksana Sekretariat DJKN
Pegawai Tugas Belajar Diploma IV Akuntansi Alih Program
Politeknik Keuangan Negara-STAN
Skema pemanfaatan BMN berdasarkan PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D yang saat ini dikelola oleh
DJKN memiliki beberapa bentuk diantaranya sewa, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah/Bangun
Serah Guna (BGS/BSG), Pinjam Pakai, serta Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). KSP sangat mirip
konsepnya dengan konsep Public Private Partnership (PPP) yang di negara lain telah sering dilaksanakan karena PPP
dapat meningkatkan potensi penerimaan negara serta dapat memaksimalisasi potensi aset yang idle. Seiring dengan
perkembangan proses bisnis, DJKN perlu mempertimbangkan konsep PPP sebagai salah satu konsep pemanfaatan
aset yang menguntungkan. Mengingat perlunya perkembangan dari segi proses bisnis saat ini, DJKN harus didukung
juga dengan sistem manajemen yang lebih baik. Meningkatnya kapasitas, wewenang serta perluasan cakupan
pekerjaan menuntut DJKN menjadi institusi yang harus menerapkan pola manajemen yang efektif dan efisien.
Konsep New Public Management (NPM) yang merupakan inovasi manajemen pelayanan berbasis kepentingan
masyarakat memiliki satu opsi perubahan yang dapat digunakan DJKN dalam mendukung program TK Kementerian
Keuangan seiring dengan meningkatnya peran dan fungsi DJKN sebagai manajer aset.
A. Kondisi Pemanfaatan BMN
Sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014, pemanfaatan BMN adalah:
“Pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan/atau optimalisasi Barang Milik Negara/Daerah dengan
tidak mengubah status kepemilikan”
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa pemanfaatan memiliki ciri yaitu adanya usaha dalam
mendayagunakan BMN, BMN tersebut haruslah BMN yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
(idle), serta tidak mengubah status kepemilikan BMN tersebut.
Berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 juga dijelaskan bahwa bentuk-bentuk pemanfaatan
terdiri dari sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan (KSP), bangun guna serah/bangun serah guna (BSG/BGS),
dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). Sedangkan berdasarkan pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 2014 disebutkan bahwa Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) BMN/D dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan
daya guna dan hasil guna BMN/D dan/atau meningkatkan penerimaan negara/daerah. Berdasarkan perspektif yang
diutarakan pada PP 27 tahun 2014 terlihat bahwa terdapat potensi penerimaan negara yang berasal dari bentuk
pemanfaatan KSP. Namun beberapa Kementerian/Lembaga belum terlalu paham dengan konsep KSP sehingga
implementasinya belum sepopuler bentuk pemanfaatan lain seperti sewa.
Secara singkat, KSP dapat digambarkan sebagai bentuk pemanfaatan BMN yang melibatkan pihak swasta dalam
pengelolaan BMN idle. Pada dasarnya objek KSP merupakan bentuk pemanfaatan BMN idle yang menurut prinsip
HBU sebenarnya dapat dioptimalkan melebihi peruntukannya di masa sekarang. KSP melibatkan sektor swasta dalam
proses pengembangan/pembangunan BMN idle tersebut sehingga fungsinya dapat secara optimal dimanfaatkan.
B. Konsep Public Private Partnership (PPP)
Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPP adalah ”an agreement or
contract, between a public entity and a private party, under which : (a) private party undertakes government function
for specified period of time, (b) the private party receives compensation for performing the function, directly or
indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities,
land or other resources may be transferred or made available to the private party.”
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa karakteristik dalam PPP diantaranya adanya persetujuan antara
pihak pemerintah dengan pihak swasta, pihak swasta menjalankan fungsi nya dalam pemanfaatan aset dalam jangka
waktu tertentu, kedua belah pihak menerima kompensasi secara langsung maupun tidak langsung, dan pihak swasta
bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkan pada saat pelaksanaan kerjasama. Konsep PPP dapat menguntungkan
negara sebagai pemilik aset dikarenakan pihak swasta dapat menyediakan bantuan dana dalam pembangunan
infrastruktur dan menjalankan operasional apabila aset yang dijadikan objek telah selesai proses pembangunan.
Masing-masing pihak juga mendapatkan keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kerjasama ini.
Hal ini tentunya menguntungkan pemerintah sebagai pemilik aset serta sektor swasta itu sendiri.
Dengan diterapkannya prinsip PPP tentunya dapat mengubah sudut pandang dalam pengelolaan BMN saat ini dimana
BMN yang idle apabila dikelola secara profesional dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negara sebagai
pemilik BMN. Banyak sekali sektor yang bias didayagunakan atau dimanfaatkan dalam konsep PPP. Selain proyek
infrastruktur ada pula proyek-proyek noninfrastruktur yang dapat dimanfaatkan dengan konsep PPP. DJKN yang
merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan aset negara tentunya harus melihat ini sebagai suatu
peluang yang sangat menguntungkan dari sisi penerimaan negara. Melalui skema pemanfaatan dengan KSP yang telah
didukung oleh perangkat hukum PP nomor 27 tahun 2014 serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara sudah menjadi suatu keharusan bagi DJKN dalam memaksimalkan
penerimaan negara melalui KSP. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan Prinsip PPP sejalan dengan
bentuk Pemanfaatan KSP yang termaktub dalam PP Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D, hal ini dapat
kita lihat bahwasanya KSP sebenarnya adalah salah satu bentuk dari konsep PPP. DJKN sebagai organisasi yang
berkembang harus memiliki paradigma baru dalam mengelola aset yang menjadi tanggung jawabnya. Paradigma baru
yang dimaksud adalah paradigma dalam memandang potensi penerimaan negara apabila suatu aset akan dimanfaatkan
dengan bentuk KSP. Sebagai satu institusi yang sedang melakukan transformasi, DJKN harus menentukan
benchmarking guna menganalisis dan membandingkan proses bisnis yang telah dikerjakan dengan proses bisnis yang
sama yang telah dilakukan di negara lain untuk kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap hasil
proses tersebut. Berikut beberapa negara yang dapat dijadikan benchmarking DJKN dalam pelaksanaan prinsip PPP: