Anda di halaman 1dari 9

Pendahuluan

Keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah merupakan fenomena yang menarik


perhatian dalam konteks tata kelola pemerintahan dan ekonomi modern. Peran swasta dalam
sektor publik telah menjadi topik diskusi yang hangat dan kontroversial, mengingat dampak
yang mungkin timbul terhadap efisiensi, akuntabilitas, dan transparansi pemerintahan. Dalam
era globalisasi dan kompleksitas tugas pemerintah, keterlibatan swasta dapat membawa
manfaat tertentu, namun juga menimbulkan tantangan yang perlu diatasi.

Keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah mencakup berbagai bentuk kolaborasi, mulai
dari kemitraan publik-swasta dalam penyediaan layanan publik hingga penunjukan individu
dari sektor swasta ke dalam posisi strategis di dalam pemerintahan. Tujuan utama dari
keterlibatan ini adalah meningkatkan efisiensi, inovasi, dan kapasitas dalam menyediakan
layanan publik, sekaligus mengurangi beban fiskal yang harus ditanggung oleh pemerintah.

Namun, ada pro dan kontra terkait dengan keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah. Di
satu sisi, para pendukung berargumen bahwa swasta memiliki pengalaman dalam
pengelolaan bisnis yang efisien dan inovatif, serta dapat membawa teknologi mutakhir ke
sektor publik. Keterlibatan swasta juga dapat memicu persaingan sehat, mendorong
peningkatan kualitas layanan, dan mengurangi birokrasi yang berlebihan.

Di sisi lain, kritikus menyoroti potensi konflik kepentingan, kurangnya akuntabilitas publik,
dan risiko korupsi yang mungkin muncul akibat keterlibatan swasta dalam urusan
pemerintahan. Keuntungan finansial swasta juga bisa menjadi faktor yang memengaruhi
pengambilan keputusan di pemerintahan, mungkin tidak selalu sejalan dengan kepentingan
publik.

Dalam konteks global, berbagai negara telah mengadopsi pendekatan yang berbeda terhadap
keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah. Beberapa negara lebih cenderung membuka
pintu lebar bagi swasta dalam berbagai sektor, sementara yang lain lebih hati-hati dan selektif
dalam kolaborasi semacam itu. Pendekatan yang tepat harus mempertimbangkan konteks
sosial, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing negara.

Dalam tugas ini, kita akan menjelajahi lebih dalam tentang dinamika, manfaat, tantangan,
serta contoh konkret dari keterlibatan swasta dalam birokrasi pemerintah. Melalui
pemahaman yang lebih mendalam tentang topik ini, diharapkan kita dapat merumuskan
pandangan yang lebih komprehensif terkait implikasi dan arah perkembangan keterlibatan
swasta dalam birokrasi pemerintah di masa depan.
otonomi daerah telah membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk
mengembangkan kebijakan lokal secara bijaksana. Namun implementasi kebijakan
tersebut belum maksimal diterapkan karena keberadaan daerah-daerah otonom
baru tidak diiringi dengan kapasitas sumber daya manusia dan finansial yang
memadai. Dengan demikian banyak terjadi keterlambatan dalam pembangunan
terutama pembangunan infrastruktur.

Oleh karena itu pemerintah daerah perlu mencari solusi atas persoalan tersebut
dengan melibatkan berbagai stakeholder terkait dalam pelaksanaan pembangunan,
misalnya pihak swasta, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, dan Non
Governmental Organisation (NGO), serta dan lain-lain. Keterlibatan berbagai pihak
ini memiliki peran penting untuk membantu pemerintah mengingat tidak semua
aktivitas pembangunan mampu dikerjakan oleh pemerintah sendiri terutama dalam
hal ketersediaan skill SDM dan finansial sehingga perlu keterlibatan pihak swasta.
Bentuk kerjasama yang melibatkan pihak swasta ini dikenal dengan public private
partnership (PPP).

Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, PPP


adalah an agreement or contract, between a public entity and a private party,
under which : (a) the private party undertakes government function for a specified
period of time, (b) the private party receives compensation for performing the
function, directly or indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from
performing the function and, (d) the public facilities, land or other resources may
be transferred or made available to the private party.

PPP ini merupakan hubungan kerjasama pemerintah dengan publik dalam


pelaksanaan pembangunan melalui investasi dengan melibatkan pemerintah, pihak
swasta, masyarakat, dan NGO. Masing-masing pihak memiliki peran dan fungsi
dalam pelaksanaan pembangunan. Peran dan fungsi permerintah sebagai suatu
institusi resmi dituntut untuk lebih transparan, akuntabel, responsif, efektif dan
efisien dalam penciptaan good governance. Tentunya dalam hal ini tidak terlepas
dari fungsi pengawasan pemerintah terhadap sektor swasta yang terlibat dalam
pelaksanaan pembangunan.

Lebih lanjut ada tiga hal yang mendorong pemerintah untuk melakukan kerjasama
pemerintah dan swasta (PPP) karena masalah keterbatasan dana, efisiensi dan
efektivitas pemerintahan, dan pertanggungjawaban pemerintah kepada
masyarakat. Sebagai suatu daerah yang baru berkembang tentunya pemerintah
daerah tidak dapat mengandalkan sumber daya yang ada (keuangan dan SDM).
Disini pemerintah daerah butuh menarik pihak swasta untuk melakukan investasi
tidak hanya dalam bentuk dana tetapi juga peningkatan skill SDMnya untuk
membangun dan memelihara infrastruktur yang belum dan sudah tersedia dalam
rangka menyejahterakan masyarakat.

Namun dalam pelaksanaan pembangunan yang melibatkan PPP ini dapat


memberikan dampak positif dan negatif. Dampak positif dari PPP yakni adanya
pembagian risiko antara pihak pemerintah dan swasta, penghematan biaya,
perbaikan tingkat pelayanan, dan multiplier effect (manfaat ekonomi yang lebih luas
misalnya penciptaan lapangan kerja, pengurangan tingkat kriminalitas, peningkatan
pendapatan). Sementara dampak negatif dari PPP apabila tidak tepat sasaran justru
terjadi penambahan biaya, adanya situasi politik nasional yang tidak stabil turut
mempengaruhi proses PPP misalnya tertundanya pelaksanaan proyek kegiatan,
pelayanan yang kurang prima, terjadi bias dalam proses seleksi proyek kegiatan
misalnya penentuan pemenang tender, hilangnya kontrol pemerintah dalam proses
pelaksanaan kegiatan, dan sebagainya.

Oleh karena itu untuk menghindari dampak-dampak negatif yang akan muncul maka
dalam proses PPP haruslah mengikuti payung hukum yang jelas baik mengenai
pembagian insentif dan tanggung jawab masing-masing pihak. Dengan demikian
harus ada perjanjian kontrak yang jelas mengenai peran dan tanggung jawab
masing-masing pihak dimana ada ketentuan pembagian risiko dan timbal balik
finansial yang didapat oleh pihak-pihak yang terlibat.

Bentuk PPP

Keterlibatan pihak swasta yang mampu menyediakan keuangan dan tenaga ahli
setidaknya membantu fungsi pemerintah sebagai motor pelaksana pembangunan.
Selain itu melalui PPP juga menciptakan sistem pemerintahan yang bersih karena
dalam hal ini pemerintah juga bisa melaksanakan fungsi kontrol terhadap sektor
swasta yang terlibat. Namun perlu diingat, hubungan yang terjalin antara
pemerintah dan sektor swasta haruslah memiliki hubungan yang saling
menguntungkan dan harus diikat dalam suatu kontrak untuk jangka waktu tertentu.
Disinilah peran dan fungsi pemerintah untuk mengontrol pelaksanaan
pembangunan diperlukan. Sebagaimana kita sadari bahwa sudah jelas dengan
adanya keterlibatan pihak swasta adalah untuk meraih keuntungan sebagai
konsekuensi dalam pembangunan. Namun keuntungan yang didapat oleh pihak
swasta ini sudah seharusnya tidak merugikan pembangunan. Oleh karena itu
perlunya adanya pengawasan dari pemerintah dan pembatasan waktu.

Proses kerjasama yang terjalin antara pemerintah dan pihak swasta dapat dilakukan
dalam beberapa cara yaitu melalui service contract, management contract, lease
contract, concession, BOT (Build Operation Transfer), Joint Venture
Agreement, dan Community Based Provision. Namun dalam proses kerjasama yang
dilakukan ini terdapat beberapa keunggulan dan kelemahannya.

Service contract merupakan kerjasama pemerintah dengan pihak swasta untuk


melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam jangka waktu satu sampai dengan tiga
tahun. Pihak swasta memiliki posisi sebagai pemilik asset dan penanggung jawab
risiko keuangan secara penuh. Di dalam proses ini tidak terlalu membutuhkan
komitmen politik, biaya recovery, regulasi dan informasi dasar. Sementara kapasitas
pemerintah pun dikategorikan sedang (tidakmemerlukan skill khusus). Contohnya
pengumpulan dan pembuangan sampah, pengerukan kali, penarikan dan
pengumpulan tagihan air, perawatan pipa air, kesemuanya ini dapat dimitrakan
kepada pihak swasta.

Selanjutnya adalah management contract. Kerjasama ini tidak jauh berbeda


dengan service contract. Namun yang membedakannya adalah kerjasama ini
dilakukan pada tingkatan operasional manajemen dan maintenance dengan jangka
waktu tiga sampai dengan delapan tahun. Posisi pihak swasta adalah sebagai
pemilik asset, investor, dan bertanggung jawab atas risiko finansial dalam batasan
minimal. Di dalam proses seleksi hanya ada satu kali kompetisi dan tidak ada
pembaharuan perjanjian. Keunggulan dari management contract adanya
keterlibatan pihak swasta yang lebih kuat. Namun kelemahannya manajemen tidak
memiliki pengawasan yang kuat secara menyeluruh (meliputi keuangan, kebijakan
pegawai,dan sebagainya). Contohnya tidak jauh berbeda dengan service
contract seperti pengelolaan fasilitas umum (rumah sakit, sekolah, tempat parkir).

Lease contract yaitu kerjasama pemerintah yang pihak swasta dalam jangka waktu
sepuluh sampai dengan lima belas tahun dimana tanggung jawab manajemen,
operasional dan pembaharuan kontrak lebih spesifik. Pemilik modal adalah sektor
publik (pemerintah) namun pihak swasta turut menanggung risiko keuangan (risiko
menengah). Kelemahannya akan menimbulkan potensi konflik antara pihak swasta
sebagai operator pelaksana dan sektor publik (pemerintah) sebagai pemilik modal.
Contohnya pengelolaan taman hiburan, bandara, dan armada bis, dan sebagainya.

Concession merupakan kerjasama yang melibatkan pemerintah/publik dan swasta


sebagai pemilik modal dalam jangka waktu 20 sampai dengan 30 tahun. Posisi pihak
swasta sebagai penanggung jawab operasional, pemodal, memelihara,dan
menanggung risiko secara penuh. Keunggulannya pihak swasta mendapatkan
kompensasi penuh. Di sisi lain sektor publik/pemerintah mendapatkan manfaat
peningkatan efisiensi operasional dan komersial dalam investasi dan pengembangan
SDMnya. Namun untuk mengembangkan investasi dan infrastruktur dalam jangka
waktu yang lama perlu komitmen politik, regulasi, kapasitas pemerintah, recovery
cost, dan analisis kemampuan yang tinggi. Contohnya PPP yang
bersifat comncession adalah pembangunan jalan tol, pelabuhan laut dan udara,
rumah sakit, stadion olahraga, dan sebagainya.

Build Operate Transfer (BOT) merupakan kejasama PPP yang investasi dan
komponen utamanya adalah peningkatan pelayanan publik dengan jangka waktu 10
sampai dengan 30 tahun. Posisi pihak swasta sebagai penanggung jawab operasi,
pemelihara, pemodal, dan penanggung jawab risiko serta pihak swasta juga akan
mendapatkan imbalan sesuai dengan parameter produksinya. Sistem ini efektif
untuk mengembangkan kapasitas SDM, namun kelemahannya untuk meningkatkan
efisiensi operasional membutuhkan jaminan sehingga diperlukan analisis
kemampuan, kapasitas pemerintah, komitmen politik, regulasi yang tinggi
dan recovery cost yang bervariasi. Contohnya pembangunan jalan tol, pelabuhan
udara dan laut, pembangkit listrik, dan sebagainya. Contoh ini tidak jauh berbeda
dengan lease contract.
Joint Venture Agreement adalah PPP dimana investasi dan risikonya ditanggung
bersama antara pemerintah dan pihak swasta. Disini tidak ada batasan waktu hanya
berdasarkan kesepakatan saja. Kerjasama ini melibatkan berbagai pihak mulai dari
pemerintah, non pemerintah, swasta, dan sebagainya atau stakeholder terkait.
Masing-masing pihak saling berkontribusi. Kunggulan dari joint venture dapat
saling berbagi dalam menyumbangkan sumber daya yang ada (finansial dan
SDMnya). Namun kelemahannya ada peluang penyalahgunaan investasi dimana
pemerintah memberikan subsidi kepada pihak swasta atau pihak lainnya dalam
pelaksanaan kerjasama tersebut yang seharusnya dihindari.

Community Based Provision (CBP) merupakan kerjasama


perorangan/keluarga/perusahaan kecil merupakan kerjasama
perorangan/keluarga/perusahaan kecil yang merepresentasikan kepentingan
tertentu dengan menegosiasikannya kepada pemerintah dan NGO. Posisi NGO
sebagai mediator antara masyarakat (perorangan/keluarga/perusahaan) dengan
pemerintah. Contohnya pengelolaan bank sampah di lingjkungan tertentu (RT, RW
atau kompleks perumahan) yang bertujuan untuk mendaur ulang sampah demi
kelestarian lingkungan dan memanfaatkannya sebagai tujuan ekonomi.

Berdasarkan beberapa jenis PPP yang telah dijelaskan tersebut maka dari beberapa
keunggulan dan kelemahan yang dimilikinya tidak dapat ditentukan jenis PPP yang
tepat. Kesemuanya ini tergantung pada jenis kegiatan atau proyek, manfaat
kegiatannya, jangka waktu pembangunannya hingga baru bisa ditentukan jenis PPP
yang dibutuhkan.

Keunggulan dan Kelemahan PPP dalam Pembangunan Infrastruktur di


Indonesia

PPP dapat dikatakan merupakan suatu alternatif atas persoalan pembangunan


infrastruktur di Indonesia, terutama bagi daerah-daerah otonom baru untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah daerah yang memiliki dana
terbatas dan kapasitas SDM yang kurang memadai dapat tetap melakukan
pembangunan infrastruktur daerahnya melalui kerjasama dengan pihak swasta.
Sebagai contoh dalam proyek pembangunan jalan tol dibutuhkan dana yang besar.
Sementara pemerintah daerah memiliki kemampuan keuangan yang terbatas ,maka
proyek tersebut dapat dimitrakan kepada pihak swasta untuk mengerjakannya.
Pemerintah membuat dan menetapkan kerangka kerjanya sementara pihak swasta
sebagai pemodal dan pelaksana proyek tersebut. Atas biaya dan modal yang telah
dikeluarkan oleh pihak swasta maka pengguna jalan tol dibebani biaya untuk
penggunaan fasilitasnya. Fee yang diterima pihak swasta tentunya memiliki jangka
waktu tertentu berdasarkan perjanjian “concession” tersebut. Pada batas waktu
perjanjian maka hasil proyek tersebut menjadi milik pemerintah. Berdasarkan contoh
ini semua pihak sama-sama diuntungkan dalam proses PPP.

Namun penerapan PPP di Indonesia juga masih lemah karena regulasi yang saling
tumpang tindih sehingga menyulitkan pihak swasta untuk melakukan investasi,
prosedur birokrasi yang masih berbelit-belit, perencanaan tata ruang wilayah dan
daerah yang belum tertata dengan baik, desain perencanaan teknis yang tidak
matang sehingga menyulitkan pihak swasta dalam proses pengerjaan. Salah satu
contoh dalam pembangunan jalan tol sering terjadi perbaikan akibat proses
perencanaan yang tidak matang. Dengan demikian dalam proses PPP maka perlu
kesiapan dan kematangan dari pemerintah atau pemerintah daerah untuk
menyiapkan regulasi dan kerangka kerja yang matang sehingga dalam proses
pelaksanaan kegiatan tersebut dapat terealisasi secara maksimal dan memberikan
keuntungan kepada berbagai pihak terkait. (Nyimas Latifah Letty Aziz)

Penerapan Konsep Public Private Partnership (PPP) Dan Konsep New Public Management (NPM)
Dalam Meningkatkan Pemanfaatan Aset Negara
Oleh Guntur Priadi
Pelaksana Sekretariat DJKN
Pegawai Tugas Belajar Diploma IV Akuntansi Alih Program
Politeknik Keuangan Negara-STAN

Skema pemanfaatan BMN berdasarkan PP 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D yang saat ini dikelola oleh
DJKN memiliki beberapa bentuk diantaranya sewa, Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), Bangun Guna Serah/Bangun
Serah Guna (BGS/BSG), Pinjam Pakai, serta Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). KSP sangat mirip
konsepnya dengan konsep Public Private Partnership (PPP) yang di negara lain telah sering dilaksanakan karena PPP
dapat meningkatkan potensi penerimaan negara serta dapat memaksimalisasi potensi aset yang idle. Seiring dengan
perkembangan proses bisnis, DJKN perlu mempertimbangkan konsep PPP sebagai salah satu konsep pemanfaatan
aset yang menguntungkan. Mengingat perlunya perkembangan dari segi proses bisnis saat ini, DJKN harus didukung
juga dengan sistem manajemen yang lebih baik. Meningkatnya kapasitas, wewenang serta perluasan cakupan
pekerjaan menuntut DJKN menjadi institusi yang harus menerapkan pola manajemen yang efektif dan efisien.
Konsep New Public Management (NPM) yang merupakan inovasi manajemen pelayanan berbasis kepentingan
masyarakat memiliki satu opsi perubahan yang dapat digunakan DJKN dalam mendukung program TK Kementerian
Keuangan seiring dengan meningkatnya peran dan fungsi DJKN sebagai manajer aset.
A. Kondisi Pemanfaatan BMN
Sesuai dengan Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014, pemanfaatan BMN adalah:
“Pendayagunaan Barang Milik Negara/Daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi
Kementerian/Lembaga/satuan kerja perangkat daerah dan/atau optimalisasi Barang Milik Negara/Daerah dengan
tidak mengubah status kepemilikan”
Berdasarkan pengertian tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa pemanfaatan memiliki ciri yaitu adanya usaha dalam
mendayagunakan BMN, BMN tersebut haruslah BMN yang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi
(idle), serta tidak mengubah status kepemilikan BMN tersebut.
Berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2014 juga dijelaskan bahwa bentuk-bentuk pemanfaatan
terdiri dari sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan (KSP), bangun guna serah/bangun serah guna (BSG/BGS),
dan Kerja Sama Penyediaan Infrastruktur (KSPI). Sedangkan berdasarkan pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 27
tahun 2014 disebutkan bahwa Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) BMN/D dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan
daya guna dan hasil guna BMN/D dan/atau meningkatkan penerimaan negara/daerah. Berdasarkan perspektif yang
diutarakan pada PP 27 tahun 2014 terlihat bahwa terdapat potensi penerimaan negara yang berasal dari bentuk
pemanfaatan KSP. Namun beberapa Kementerian/Lembaga belum terlalu paham dengan konsep KSP sehingga
implementasinya belum sepopuler bentuk pemanfaatan lain seperti sewa.
Secara singkat, KSP dapat digambarkan sebagai bentuk pemanfaatan BMN yang melibatkan pihak swasta dalam
pengelolaan BMN idle. Pada dasarnya objek KSP merupakan bentuk pemanfaatan BMN idle yang menurut prinsip
HBU sebenarnya dapat dioptimalkan melebihi peruntukannya di masa sekarang. KSP melibatkan sektor swasta dalam
proses pengembangan/pembangunan BMN idle tersebut sehingga fungsinya dapat secara optimal dimanfaatkan.
B. Konsep Public Private Partnership (PPP)
Menurut William J. Parente dari USAID Environmental Services Program, definisi PPP adalah ”an agreement or
contract, between a public entity and a private party, under which : (a) private party undertakes government function
for specified period of time, (b) the private party receives compensation for performing the function, directly or
indirectly, (c) the private party is liable for the risks arising from performing the function and, (d) the public facilities,
land or other resources may be transferred or made available to the private party.”
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diambil beberapa karakteristik dalam PPP diantaranya adanya persetujuan antara
pihak pemerintah dengan pihak swasta, pihak swasta menjalankan fungsi nya dalam pemanfaatan aset dalam jangka
waktu tertentu, kedua belah pihak menerima kompensasi secara langsung maupun tidak langsung, dan pihak swasta
bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkan pada saat pelaksanaan kerjasama. Konsep PPP dapat menguntungkan
negara sebagai pemilik aset dikarenakan pihak swasta dapat menyediakan bantuan dana dalam pembangunan
infrastruktur dan menjalankan operasional apabila aset yang dijadikan objek telah selesai proses pembangunan.
Masing-masing pihak juga mendapatkan keuntungan baik secara langsung maupun tidak langsung dari kerjasama ini.
Hal ini tentunya menguntungkan pemerintah sebagai pemilik aset serta sektor swasta itu sendiri.
Dengan diterapkannya prinsip PPP tentunya dapat mengubah sudut pandang dalam pengelolaan BMN saat ini dimana
BMN yang idle apabila dikelola secara profesional dapat memberikan keuntungan yang besar bagi negara sebagai
pemilik BMN. Banyak sekali sektor yang bias didayagunakan atau dimanfaatkan dalam konsep PPP. Selain proyek
infrastruktur ada pula proyek-proyek noninfrastruktur yang dapat dimanfaatkan dengan konsep PPP. DJKN yang
merupakan institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan aset negara tentunya harus melihat ini sebagai suatu
peluang yang sangat menguntungkan dari sisi penerimaan negara. Melalui skema pemanfaatan dengan KSP yang telah
didukung oleh perangkat hukum PP nomor 27 tahun 2014 serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.06/2014
tentang Pemanfaatan Barang Milik Negara sudah menjadi suatu keharusan bagi DJKN dalam memaksimalkan
penerimaan negara melalui KSP. Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat disimpulkan Prinsip PPP sejalan dengan
bentuk Pemanfaatan KSP yang termaktub dalam PP Nomor 27 tahun 2014 tentang Pengelolaan BMN/D, hal ini dapat
kita lihat bahwasanya KSP sebenarnya adalah salah satu bentuk dari konsep PPP. DJKN sebagai organisasi yang
berkembang harus memiliki paradigma baru dalam mengelola aset yang menjadi tanggung jawabnya. Paradigma baru
yang dimaksud adalah paradigma dalam memandang potensi penerimaan negara apabila suatu aset akan dimanfaatkan
dengan bentuk KSP. Sebagai satu institusi yang sedang melakukan transformasi, DJKN harus menentukan
benchmarking guna menganalisis dan membandingkan proses bisnis yang telah dikerjakan dengan proses bisnis yang
sama yang telah dilakukan di negara lain untuk kemudian dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap hasil
proses tersebut. Berikut beberapa negara yang dapat dijadikan benchmarking DJKN dalam pelaksanaan prinsip PPP:

No Negara Alasan Memilih PPP

1 Amerika Serikat Meningkatkan efisiensi operasional

2 Inggris Meningkatkan persaingan

3 Korea Selatan Mengakses teknologi baru yang sudah terbukti

4 India Menciptakan lapangan kerja

5 Thailand Menyediakan layanan yang belum tersedia

6 Filipina Mewujudkan pengadaan yang transparan

7 Afrika Selatan Menggalakkan penambahan penanaman modal

Sumber: Parente, 2006


Berdasarkan tabel di atas terlihat beberapa alasan tiap negara dalam menjalankan prinsip PPP. Satu yang dapat
disimpulkan dari beberapa alasan tiap negara diatas adalah setiap negara memiliki satu tujuan yang sama yaitu
mengoptimalkan potensi penerimaan negara. Thailand memiliki alasan memilih PPP karena ingin menyediakan
sektor-sektor pelayanan publik yang sebelumnya belum disediakan oleh pemerintah. Hal tersebut memberikan satu
contoh dimana melalui prinsip PPP, Thailand dapat mengoptimalkan penerimaan negara yang sebelumnya tidak dapat
disediakan oleh sektor publik.
Ada beberapa kelebihan PPP yang menurut penulis membuat beberapa negara menjadikannya sebagai salah satu
prinsip yang digunakan dalam pengelolaan aset negara diantaranya adalah:

1. PPP menghasilkan penerimaan negara;


2. PPP membuat modal investasi pemerintah terhadap suatu proyek menjadi lebih rendah;
3. PPP dapat mengoptimalkan penggunaan aset idle;
4. PPP dapat menciptakan pelayanan publik yang sebelumnya belum dapat dipenuhi oleh pemerintah.
Untuk mendukung maksimalnya proses KSP antara pemerintah dengan pihak swasta maka DJKN sebagai manajer
aset harus berusaha menciptakan iklim serta perangkat peraturan yang market friendly. DJKN sebagai salah satu
institusi yang satu-satunya memegang peranan dalam pengelolaan kekayaan negara harus memiliki kualitas seperti itu.
Perbaikan proses bisnis DJKN terutama dalam hal pengelolaan kekayaan negara harus segera dilakukan. Bila proses
KSP dapat dimaksimalkan, bukan tidak mungkin DJKN sebagai pengelola kekayaan negara dapat menjadi salah satu
institusi penghasil utama penerimaan negara. Potensi pemanfaatan melalui KSP sangat besar, mengingat belum
sepenuhnya Kementerian/Lembaga memiliki awareness terhadap potensi ini.
C. New Public Management (NPM) Sebagai Opsi Perbaikan Proses Bisnis
Setiap institusi di dunia tentunya memiliki karakteristik manajemen masing-masing yang dipercaya dapat memenuhi
segala kebutuhan dalam usaha mencapai tujuan institusi tersebut. Sama halnya dengan DJKN sebagai institusi yang
sedang berkembang yang berusaha meningkatkan kapasitasnya sebagai manajer aset dalam pengelolaan kekayaan
negara. Salah satu kunci yang menentukan apakah suatu institusi dapat mencapai tujuannya adalah sistem manajemen
yang tepat.
Konsep New Public Management (NPM) merupakan isu penting dalam reformasi sektor publik saat ini. Konsep NPM
juga memiliki keterkaitan dengan permasalahan manajemen kinerja sektor publik karena pengukuran kinerja menjadi
salah satu prinsip NPM yang utama. Perdebatan tentang kinerja administrasi publik di seluruh dunia selalu ditandai
dengan ketidakpuasan. Kecenderungan birokrasi pada masyarakat modern benar-benar dipandang memprihatinkan
dikarenakan terlalu berbelit-belit dan kurang memperhatikan kepentingan stakeholders sebagai unsur penting dalam
pelayanan.
New Public Management (NPM) mempunyai fokus yang kuat terhadap internal organisasi, dalam artian bahwa NPM
berusaha memperbaiki kinerja sektor publik dengan menggunakan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat.
Beberapa elemen utama dalam penerapan sistem administrasi publik model NPM meliputi desentralisasi kekuasaan
pelayanan publik termasuk outsourcing dan privatisasi; rasionalisasi, deregulasi, dan peningkatan kapasitas bagi staf
lembaga pemerintah; berorientasi pada hasil (kinerja); akuntabilitas pegawai berdasarkan kontrak kinerja; manajemen
bergaya dunia usaha; cost recovery; prinsip kewirausahaan (bonus kinerja), kompetisi penyediaan jasa publik; dan
budaya manajemen yang berorientasi pada pelanggan dan akuntabilitas publik berdasarkan kinerja (Politt and
Bouckaert, 2000).
Sehubungan dengan paradigma New Public Management (NPM), peran DJKN sebagai pemilik kebijakan sangat
dibutuhkan dalam penyediaan strategi, inovasi, serta terobosan dalam rangka menyediakan pelayanan yang berkualitas
guna mencapai pelayanan prima bagi masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu kualitas jasa yang
diberikan DJKN akan menjadi lebih tinggi seiring dengan peningkatan kualitas pelayanan publik yang diberikan.
Penerapan konsep NPM sangat sejalan dengan upaya DJKN dalam memperbaiki orientasi bisnis serta proses bisnis
yang berorientasi pada outcome. Penerapan konsep NPM akan sangat mempengaruhi lancar atau tidaknya penerapan
prinsip KSP dalam pengelolaan kekayaan negara. Penulis berpendapat bahwa apabila orientasi kebijakan DJKN telah
mengikuti konsep NPM dimana tujuan utamanya adalah pemangku kepentingan, maka akan ada banyak sekali mitra
dari sektor swasta yang akan mendukung atau tertarik ikut berpartisipasi dalam pemanfaatan kekayaan negara melalui
KSP. Kepercayaan stakeholders merupakan salah satu unsur penting dalam keberhasilan KSP. Pihak swasta akan
merasa “dilayani” secara profesional dan hal ini tentunya akan berimbas pada iklim kerjasama yang kondusif antara
DJKN sebagai perpanjangan tangan pemerintah Indonesia dengan pihak swasta. Apabila sinergi antara DJKN
(Pemerintah Indonesia) sebagai pemilik aset dengan pihak swasta sebagai mitra KSP telah tercipta, maka hal ini
merupakan satu keuntungan yang sangat baik bagi kedua belah pihak. Bagi DJKN (Pemerintah Indonesia)
keberhasilan penerapan konsep KSP akan berefek pada penerimaan negara yang tinggi. Perlu diperhatikan bahwa
konsep NPM bukan merupakan konsep yang tanpa cacat. Kerangka konsep NPM akan memiliki efek dimana
penyelenggara negara dalam hal ini DJKN bertanggung jawab terhadap pemenuhan jasa publik kepada stakeholders
yang mampu memberikan efek timbal balik yaitu keuntungan yang diharapkan mampu menambah potensi penerimaan
negara. Evaluasi performa pelayanan publik akan berubah dari pendekatan yang berorientasi proses menjadi
pendekatan yang sepenuhnya berorientasi kepada hasil/target kinerja. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa
meskipun prinsip NPM memiliki keunggulan dalam hal pelayanan kepada pemangku kepentingan yang menjadi satu-
satunya target yang harus dicapai namun penerapan prinsip NPM juga dapat memiliki potensi negatif terhadap
akuntabilitas karena dikhawatirkan para pimpinan lembaga/institusi pemerintah akan menghalalkan segala cara dalam
memenuhi target kinerja. Pengambilan hal-hal positif dalam prinsip NPM menjadi suatu keharusan yang harus
dilakukan oleh DJKN untuk melengkapi perannya sebagai manajer aset, prinsip kehati-hatian perlu menjadi hal utama
yang diterapkan dalam penerapan proses tersebut.

Anda mungkin juga menyukai