Anda di halaman 1dari 26

BAB

KERANGKA TEORITIS
2

2.1 Tinjauan Umum Tentang Public Private Partnership (PPP) / Kerjasama


Pemerintah Swasta (KPS)

2.1.1 Pengenalan PPP

Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan infrastruktur diakui


secara luas. Namun, dalam menghadapi penurunan pengeluaran publik yang ada
disebagian besar industri dan negara-negara berkembang dalam beberapa dekade
terakhir, pemerintah memerlukan dana untuk membiayai baru dan memelihara
infrastruktur yang ada untuk dukungan pertumbuhan ekonomi jangka-panjang.
Kebutuhan untuk menemukan cara-cara alternatif infrastruktur mempromosikan skema
pembiayaan mendukung kerjasama antara publik dan swasta bidang dalam
menyediakan barang publik. Kerjasama ini berbentuk Public Private Partnership (PPP)
atau sering disebut Kemitraan Pemerintah Swasta (KPS) dilakukan, di mana prinsip-
prinsip fungsi perusahaan swasta diimplementasikan dalam administrasi publik.

Kemitraan Pemerintah Swasta disingkat KPS atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai
Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah suatu perjanjian kontrak
antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian
ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan
dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini
risiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas
dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-1


Gambar 2.1 Skema Kemitraan PPP

PPP merupakan kemitraan Pemerintah - Swasta yang melibatkan investasi yang besar/
padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana
dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan
pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksanaan
kerjasama.

Ada banyak definisi PPP mulai dari pembukaan hubungan kegiatan umum negara
dengan kompetisi sektor swasta melalui kerjasama antara publik dan sektor swasta
untuk usaha investasi dalam pengadaan infrastruktur, contohnya jalan tol. Dalam
kerjasama tersebut melibatkan perusahaan swasta untuk tujuan tertentu, sedangkan
risiko ditanggung bersama-sama. Singkatnya, fitur kunci dari PPP dapat dicirikan
sebagai kemitraan antara sektor publik dan swasta yang biasanya melibatkan sektor
swasta untuk melakukan investasi proyek-proyek yang telah dilaksanakan dan dimiliki
oleh sektor publik.

Tujuan partisipasi sektor swasta dibidang infrastruktur adalah :


1. Mencari modal swasta untuk menjembatani modal pembiayaan yang besar
dibutuhkan investasi infrastruktur pelayanan umum.
2. Memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dan sarana pelayanan.
3. Mengimpor alih teknologi.
4. Memperluas dan mengembangkan layanan bagi pelanggan.
5. Meningkatkan efisiensi operasi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah dan
Swasta antara lain adalah :

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-2


1. Penting bagi semua pihak untuk saling memahami, misi, fungsi dan tugas, hak,
kewajiban masing-masing sebagai pelaku pembangunan.
2. Melakukan persepsi dalam negoisasi kegiatan kemitraan, sangat diperlukan
keterbuakaan, komitmen dari para pelaku pembangunan dengan dicapainya
hasil yang saling menguntungkan.
3. Perlunya keterlibatan langsung seluruh pihak, terutama Pemerintah Daerah,
DPRD, masyarakat, karyawan dll.
4. Keberadaan dan akses data yang relevan, mudah, benar dan konsisten.
5. Dukungan yang jelas dan benar kepada pemberi keputusan baik tingkat Pusat,
Propinsi ataupun Daerah (Kabupaten/ Kota).
6. Kriteria persyaratan lelang/ negoisasi yang jelas, transparan dan konsisten.
7. Struktur dan tugas Tim Negoisasi yang jelas dan kemampuan dalam penguasaan
materi bidang Hukum, Teknis dan Keuangan.

Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup
besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu,
manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah
yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan
infrastruktur.

Namun kendala keterbatasan pembiayaan dari Pemerintah tersebut dapat diselesaikan


melalui pendekatan pola kerjasama yang bersifat Public Private Partnership yang
membawa manfaat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kerjasama tersebut.
Pendekatan baru untuk dapat mengurangi masalah ini melibatkan peran-peran
stakeholder. Public-private partnership merupakan salah satu cara untuk
mengkolaborasikan peran-peran tersebut. Hal tersebut tentunya dapat diupayakan
secara komprehensif dengan memobilisasi pendekatan pembiayaan investasi dari
swasta melalui PPP, yang akan didukung oleh peraturan dan aturan yang ada. Sekalipun
nantinya swasta akan memperoleh kesempatan bekerjasama dalam pembangunan
infrastruktur yang merupakan utilitas umum perlu dikendalikan oleh Pemerintah, maka
rambu-rambu bagi penyelenggaraan kerjasama pun perlu diatur agar tidak merugikan
kedua belah pihak, serta tidak mengurangi hak-hak penguasaan Pemerintah dalam
penyelenggaraan kepentingan bagi harkat hidup orang banyak.

Public-private partnership dapat digambarkan pada sebuah spektrum dan kemungkinan


hubungan-hubungan antara publik dan sektor swasta untuk bekerjasama dalam

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-3


pembangunan. Keuntungan yang dapat diperoleh pada hubungan ini adalah inovasi,
kemudahan keuangan, kemampuan pada ilmu teknologi, kemampuan pada pengaturan
efisiensi, semangat kewirausahaan, yang dikombinasikan dengan tanggung jawab sosial,
kepedulian pada lingkungan, dan pengetahuan dan budaya lokal.

Pelaksanaan PPP dilakukan diantaranya berdasarkan prinsip: adil, terbuka, transparan,


dan bersaing. Dengan adanya pengadaan yang mengedepankan transparansi dan
persaingan, manfaat yang dapat diraih adalah :

1. Meningkatkan penerimaan publik terhadap proyek PPP;


2. Mendorong kesanggupan lembaga keuangan untuk menyediakan pembiayaan
tanpa sovereign guarantees;
3. Mengurangi risiko kegagalan proyek;
4. Dapat membantu tertariknya bidders yang sangat berpengalaman dan
berkualitas tinggi;
5. Mencegah aparat pemerintah dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;

Tujuan pelaksanaan PPP adalah untuk :

1. Mencukupi kebutuhan pendanaaan secara berkelanjutan melalui pengerahan


dana swasta;
2. Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan
sehat;
3. Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan
infrastruktur serta
4. Mendorong dipakainya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima,
atau dalam hal tertentu mempertimbangkan daya beli pengguna.

2.1.2 Konsep PPP

Konsep Public Private Partnership / Kerjasama Pemerintah-Swasta diselenggarakan oleh


pemerintah daerah dan pihak swasta. Pihak swasta dalam konsep kerjasama ini
merupakan suatu bagian dari badan hukum. Konsep Public Private Partnership dapat
diterapkan pada sektor persampahan karena penanganan sampah merupakan bagian
dari pelayanan publik.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-4


Dalam hal pemenuhan hak masyarakat atas lingkungan yang baik melalui pelayanan
publik sektor persampahan, pemerintah daerah tidak dapat dengan sembarangan
menerapkan konsep tersebut untuk penyediaan pelayanan publik. Untuk pelayanan
publik khususnya sektor penanganan sampah, pelaksanaan konsep tersebut
memerlukan berbagai pertimbangan. Berbagai pertimbangan tersebut diantaranya:

1) Penanganan sampah secara maksimal tidak dapat disediakan oleh pemerintah


daerah karena pemerintah daerah terkendala dengan sumberdaya keuangan
daerah atau keahlian.
2) Pelibatan swasta diyakini dapat meningkatkan kualitas penanganan sampah
atau/dan mempercepat pembangunan daerah serta dapat meningkatkan
pendapatan asli daerah dibandingkan bila ditangani sendiri oleh pemerintah
daerah.
3) Ada dukungan dari masyarakat atas keterlibatan swasta dalam penanganan
permasalahanan sampah di suatu daerah.
4) Keluaran dari penanganan sampah tersebut dapat terukur dan terhitung tarifnya,
sehingga biaya penyediaan penanganan sampah tersebut dapat tertutupi dari
pemasukan tarif.
5) Ada pihak swasta yang sudah mempunyai “rekam jejak” baik dalam bekerjasama
dengan pemerintah daerah.
6) Ada peluang terjadinya kompetisi sehat dari pihak swasta yang terjun dalam
sektor penanganan sampah.
7) Tidak ada peraturan yang melarang pihak swasta untuk terlibat dalam
penanganan sampah

Apabila tidak ada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan tersebut di atas, maka
kerjasama dengan perusahaan swasta dipertimbangkan untuk tidak dilakukan karena
tidak ada manfaatnya bagi masyarakat dan pembangunan daerah. Akan tetapi realitanya,
banyak pemerintah daerah yang telah menerapkan konsep public private partnership
dalam penanganan sampah. Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai pertimbangan
diatas benar-benar terjadi dalam dinamika penanganan sampah di daerah-daerah.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-5


Gambar 2.2. Skematik kondisi aktual Public Private Partnership dalam berbagai tahapan
penanganan sampah di derah

Melalui gambar 2.2, dapat kita ketahui bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan
yang besar dalam melakukan penanganan sampah. Bentuk dari kewenangan pemerintah
daerah dalam hal penanganan sampah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan Public Private Partnership dalam penanganan sampah di daerahnya.

Penerapan public private partnership pada tahapan pengolahan dan pemrosesan akhir
sampah yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah menggunakan mekanisme kontrak
yang telah disediakan pemerintah pusat yaitu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknik Tata Cara Kerjasama
Daerah. Penanganan sampah merupakan bagian dari pelayanan publik sehingga dalam
penyusunan kontrak kerjasama, pemerintah daerah dapat menggunakan salah satu dari
10 macam jenis kontrak yang telah disediakan dalam peraturan menteri dalam negeri
tersebut. Karena dalam penanganan sampah terdiri dari 5 tahapan yaitu pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir maka dapat
disimpulkan bahwa untuk penerapan konsep optimalisasi public private partnership
dalam hal pengumpulan dan pengangkutan sampah, pemerintah daerah juga dapat
menggunakan jenis-jenis kontrak yang ada pada peraturan menteri dalam negeri
tersebut. Berikut kami sajikan tabel jenis-jenis kontrak yang terdapat dalam
Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknik Tata Cara Kerjasama
Daerah :

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-6


Tabel 2.1
Jenis-jenis Kontrak Berdasarkan Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah

Kontrak Pelayanan Rehabilitasi


Kontrak Bangun Bangun
Operasional/ Bangun Bangun Serah Rehabilitasi
Kelola Sewa Konsesi Sewa Tambah Patungan
Pemeliharaan Guna Serah Guna Kelola Serah
Serah Kelola Serah
BH diberi Pemda dan
Pemda kepada Persewaan Pendanaan BH diberi hak
BH diberi hak BU mempunyai hak BU
Pemda kepada BU untuk infrastruktur infrastruktur kontrak untuk BH diberi hak
tanggung hak mendanai, tanggung membentuk
Cara BU untuk mengoperasikan dari BH ke oleh BU ke menambah kontrak untuk
jawab untuk mengelola, jawab untuk BH patungan
Kerjasama mengoperasikan sarana/ Pemda dalam
menyediakan menarik iuran
pemda
menyediaka
fasilitas publik menambah
dalam
fasilitas publik prasarana jangka waktu dikembalikan ke sesuai waktu fasilitas publik
infrastruktur infrastruktur n bentuk
pemda tertentu BU perjanjian
infrastruktur perseroan
Objek pelayanan pelayanan Infrastruktur Pelayanan Pelayanan Pelayanan Pelayanan Pelayanan Pelayanan
pelayanan publik
Kerjasama publik publik terintegrasi umum umum umum umum umum publik

Sektor publik Pemda dapat


Infrastruktur Infrastruktur BH patungan
Pemda tidak berteknologi, mengalihkan pengurangan pengurangan
Efisiensi, hemat beban pemda lebih tersedia lebih tersedia, lebih luwe
mengelarkan anggaran publik dana untuk dana dana
biaya, dalam bagi masyarakat, penghematan dalam dunia
modal tapi dapat minimal, pembayaran operasional operasional
kerjasama, pemeliharaan berkurangnya biaya dan usaha,
Kelebihan luwes, selisih sarana dan anggaran pemda, partisipasi
hanya ijin, asset yang utang, fasilitas publik, fasilitas publik,
pemda
pemenuhan dibangun tetap infrastruktur resiko atas resiko atas
kepemilikan prasarana merangsang masayarakat mendapat
infrastruktur di milik pemda, berteknologi fasilitas fasilitas
tidak ada berkurang investasi dalam tambahan
daerah. pemerataan terpenuhi di ditanggung BH ditanggung BH
pembangunan pembangunan PAD
pembangunan. daerah.

Kecenderungan Kecenderungan
Setelah
kenaikan biaya kenaikan biaya Pemerintah
Melepas hak Apabila berakhir asset Melepas hak Melepas hak
Pengendalian sebagai sebagai sebagai
Hak monopoli monopoli, kinerja pemda tidak monopoli, monopoli,
pemda dampak dampak regulator
pemda hilang, kecenderungan keuangan BH punya nilai kenaikan harga, melepas
berkurang, pembangunan, pembangunan, sering
Kelemahan beban biaya tak
melepas sumber kenaikan biaya, buruk, ekonomis, penyelesaian sumber
BH hanya BH hanya konflik
pendapatan kerjasama BH menjadi penyelesaian pembebasan pendapatan
terduga apabila mengelola di mengelola di kepentingan
potensial pemda cenderung ke anggaran pembebasan lahan oleh potensial
hukum gagal tempat tempat dengan BH
proyek besar publik lahan oleh pemda milik pemda
ekonomis ekonomis patungan
pemda
tinggi tinggi
Keterangan : BU = Badan Usaha, BH = Badan Hukum, PAD = Pendapatan Asli Daerah

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-7


2.1.3 Modalitas/Bentuk-Bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)

Pada dasarnya ada lima alternatif bentuk KPS yang dapat dikembangkan sesuai dengan
kondisi dan konteks proyek yang akan di-KPS-kan. Bentuk KPS yang umum digunakan
adalah:

1) Kontrak Pelayanan (Service Contract)


Kontrak pelayanan adalah perjanjian kerjasama antara pemerintah dengan mitra
swasta dan/ atau masyarakat yang paling sederhana dan terbatas. Kesepakatan
yang dicapai antara lain menyatakan bahwa pihak swasta setuju untuk
melaksankan fungsi pelayanan yang terbatas dengan harga dan jangka waktu
tertentu.

2) Kontrak Sewa (Lease Contract)


Kontrak sewa adalah perjanjian kerjasama dimana pihak swasta menyewa suatu
sistem dari infrastruktur atau peralatan dari pemerintah yang ada. Pihak swasta
mengoperasikan sistem tersebut dan menjual jasa ke pelanggan dan menarik biaya
dari layanan tersebut. Pihak swasta membayar sewa ke pemerintah dengan harga
yang lebih besar dari biaya akuisisi dan pembiayaan aset yang disewakan.

3) Kontrak Kelola (Management Contract)


Kontrak manajemen adalah perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta dan
atau masyarakat dengan harga tertentu. Ada kesepakatan antara pemerintah dan
swasta bahwa pihak swasta setuju untuk melaksanakan manajemen perusahaan
infrastruktur sarana pemerintah yang berupa pengoperasian dan atau
pemeliharaan sebagian atau seluruh bagian fasilitas atau pelayanan untuk jangka
waktu tertentu.

4) Build Operate Transfer (BOT)


Kerjasama ini dimulai pada saat pemerintah dan pihak swasta sepakat bahwa pihak
swasta akan menyediakan layanan dengan membangun suatu fasilitas baru atau
meningkatkan atau merehabilitasi fasilitas yang ada, dan selanjutnya dioperasikan
dan dikembalikan pada waktu tertentu kepada pemerintah.

5) Kontrak Konsesi (Concession Contract)


Kontrak konsesi merupakan kontrak dengan mendapatkan ijin untuk membangun
dan menginvestasikan fasilitas infrastuktur tertentu, dimana pihak swasta akan
mengoperasikan fasilitas tersebut serta mendapatkan pembayaran secara langsung

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-8


dari pengguna layanan tersebut. Di akhir periode konsesi, pihak swasta akan
menyerahkan seluruh fasilitas infrastruktur kepada Pemerintah.
Berdasarkan bentuk kerjasama yang umum digunakan diatas, alternatif skema
kerjasama pengelolaan persampahan Kota Medan yang coba untuk dikaji adalah kontrak
pelayanan(service contract), kontrak pengelolaan (management contract) dan kontrak
konsesi(consession contract). Pemilihan ketiga alternatif skema tersebut berdasarkan
bentuk yang paling kotras diantara ketiga jenis alternatif skema kerjasama tersebut.

2.1.4 Peluang KPS (Kerjasama Pemerintah Swasta) Dalam Sub-Sektor


Persampahan

Keberadaan sampah bagi satu pihak merupakan barang buangan, tapi bisa berupa benda
ekonomi (minimal sebagian) bagi pihak yang lain. Adanya potensi pemanfaatan sampah
sebagai benda ekonomi inilah yang memungkinkan adanya keterlibatan sektor swasta
dan/ atau masyarakat untuk terlibat dalam Sistem Pengelolaan Persampahan.

Sumber sampah sendiri bisa berbagai macam. Sumber sampah yang akan dibahas dalam
kajian ini adalah perumahan (domestik), pasar, daerah komersial (kawasan perkantoran
dan perdagangan) dan fasilitas umum termasuk jalan umum. Gambar 2.3 menunjukkan
model alur penanganan sampah yang pada umumnya berlaku dalam Sistem Pengelolaan
Persampahan di berbagai kota di Indonesia.

RW / Kelurahan/ Dinas Pasar/ Dinas


Pertamanan/ Badan Usaha
Badan Usaha

S Bak
TPS
u Sampah

m Publik house
PERUMAHAN

b
BAK SAMPAH
e PASAR Bak
Sampah
r
TPA
S Bak
Sampah CONTAINER
a City
KOMESIAL

m
p
a Tong
Sampah
h
JALAN / FASILITAS
UMUM
Badan Usaha

Gambar 2.3. Diagram Penanganan Sampah

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-9


Berdasarkan gambar di atas, ada dua kelompok aktivitas yang harus dilakukan agar
terselenggara Sistem Pengelolaan Persampahan yang utuh. Kedua kelompok aktivitas
tersebut adalah:

1. Pembangunan atau penyediaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana fisik (infra
struktur) sistem sanitasi persampahan. Yang termasuk prasarana fisik antara lain
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) berupa lahan, bak sampah, transfer depo atau
container dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sedangkan kelengkapan sarana
fisik antara lain adalah:
a. Gerobak pengumpul sampah atau alat angkut sejenis dari sumber sampah ke TPS
b. Dump Truck
c. Armroll
d. Compactor
e. Buldozer
f. Wheel loader
g. Excavator
h. Truck
i. Container
j. Timbangan sampah di TPA
k. Dan lain-lain.
2. Pelaksanaan pekerjaan (operasional) sistem pengelolaan persampahan sehari-hari
yaitu:
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah dari sumber sampah ke TPS/ transfer
depo
b. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA
c. Penanganan sampah di TPA.

Dari rangkaian aktivitas di atas, peluang yang paling mungkin adanya partsisipasi Sektor
Swasta dan Lembaga Non Pemerintah terdapat pada bagian pelaksanaan pekerjaan
operasional. Untuk lebih jelas, modalitas yang dapat digunakan untuk menggalang
partsisipasi Sektor Swasta dan Lembaga Non Pemerintah tersebut dituangkan dalam
tabel berikut.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-10


Tabel 2.2. Peluang Partisipasi Sektor Swasta dan Lembaga Non Pemerintah dalam
Pengelolaan Sampah

No. Segmen Aktivitas Modalitas Kerjasama

1. Pengumpulan dan pengangkutan  Pengadaan barang umum/ jasa oleh


sampah dari sumbernya sampah ke pemerintah (Keppres 80) apabila
TPS/ transfer depo pekerjaan merupakan bagian dari
tanggung jawab publik/ pemerintah,
misalnya pengumpulan dan
pengangkutan sampah yang berasal
dari area publik
 Fasilitasi peralatan kepada
masyarakat dan sektor swasta untuk
pengumpulan dan pengangkutan
sampah yang berasal dari area
permukiman
 Pengembangan kapasitas kader
masyarakat dan sektor swasta yang
mengelola persampahan
2. Pengangkutan sampah dari TPS ke  Pengadaan barang umum/ jasa oleh
TPA pemerintah (Keppres 80)

3. Penanganan sampah di TPA  KPS yang diatur oleh Perpres 67


tentang Kerjasama Pemerintah
dengan badan usaha dalam
penyediaan infrastruktur
4. Penanganan seluruh rangkaian  KPS yang diatur oleh Perpres 67
segmen kegiatan penanganan
sampah perkotaan (mulai dari
pengumpulan sampai dengan
pengolahan di TPA) oleh swasta

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-11


2.2 Tinjauan Umum Tentang Pengelolaan Persampahan

2.2.1 Defenisi Sampah

Definisi sampah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, diartikan sebagai barang-
barang buangan atau kotoran (seperti daun-daun kering, kertas-kertas kotor dan
sebagainya) atau barang yang tidak berharga, hina dan sebagainya (Poerwardarminta,
1976).

Sedangkan, sampah menurut kamus istilah lingkungan sampah adalah bahan yang tidak
mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan
atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi
berkelebihan atau ditolak atau buangan. (Kamus Istilah Lingkungan, 1994).

Pendapat lain mengatakan bahwa sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau
dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki
nilai ekonomis. (Istilah Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink, 1996).

Sedangkan Peraturan Daerah Kota Medan No. 8 tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan
Kebersihan memberikan pengertian bahwa sampah adalah sisa-sisa dari suatu benda
berupa benda padat, benda cair yang tidak berfungsi lagi, baik yang berasal dari rumah
tangga, bangunan dan termasuk yang ada di jalan umum.

Berbagai definisi di atas memberikan pengertian bahwa sampah adalah sesuatu hasil
buangan yang tidak bermanfaat sebagai akibat dari aktifitas manusia, dan cenderung
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan apabila tidak dikelola dengan benar.
Berdasarkan atas dasar sifat biologis-kimianya sampah dapat dibedakan antara lain
(Slamet, 2000) :

a) Sampah yang dapat membusuk, seperti sisa makanan, daun, sampah kebun,
pertanian atau lebih dikenal dengan istilah sampah organik.
b) Sampah yang tidak membusuk, seperti kertas, plastik, karet, gelas, logam yang
lebih dikenal dengan istilah sampah anorganik.
c) Sampah yang berupa debu/abu.
d) Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan seperti sampah yang berasal dari
industri yang mengandung zat-zat kimia maupun fisika berbahaya.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-12


Sedangkan jika dilihat berdasarkan sumber-sumber sampah, Tasrial (1998)
menguraikan bahwa sampah dapat berasal dari:
a. Pemukiman
Umumnya sampah rumah tangga berupa sisa dari pengolahan makanan,
perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain, sampah
kebun/halaman, dan lain-lain.
b. Pertanian dan Perkebunan
Sampah dari kegiatan pertanian tergolong bahan organik, seperti jerami dan
sejenisnya. Sebagian besar sampah yang dihasilkan selama musim panen dibakar
atau dimanfaatkan untuk pupuk. Untuk sampah bahan kimia seperti pestisida dan
pupuk buatan perlu perlakuan khusus agar tidak mencemari lingkungan. Sampah
pertanian lainnya adalah lembaran plastik penutup tempat tumbuh-tumbuhan yang
berfungsi untuk mengurangi penguapan dan penghambat pertumbuhan gulma,
namun plastik ini bisa didaur ulang.
c. Sisa Bangunan dan Konstruksi Gedung
Sampah yang berasal dari kegiatan pembangunan dan pemugaran gedung, ini bisa
berupa bahan organik maupun anorganik. Sampah Organik, misalnya: kayu, bambu,
triplek. Sampah Anorganik, misalnya: semen, pasir, spesi, batu bata, ubin, besi dan
baja, kaca, dan kaleng.
d. Perdagangan dan Perkantoran
Sampah yang berasal dari daerah perdagangan seperti: toko, pasar tradisional,
warung, pasar swalayan ini terdiri dari kardus, pembungkus, kertas, dan bahan
organik, termasuk didalamnya sampah makanan dan restoran. Sampah yang berasal
dari lembaga pendidikan, kantor pemerintah dan swasta biasanya terdiri dari kertas,
alat tulis-menulis (bolpoint, pensil, spidol, dll), toner foto copy, pita printer, kotak
tinta printer, baterai, bahan kimia dari laboratorium, pita mesin ketik, klise film,
komputer rusak, dan lain-lain. Baterai bekas serta limbah bahan kimia harus
dikumpulkan secara terpisah dan harus memperoleh perlakuan khusus karena
berbahaya dan beracun.
e. Industri
Sampah ini berasal dari seluruh rangkaian proses produksi (bahan-bahan kimia
serpihan/potongan bahan), perlakuan dan pengemasan produk (kertas, kayu, plastik,
kain/lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan). Sampah industri berupa

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-13


bahan kimia yang seringkali beracun juga memerlukan perlakuan khusus sebelum
dibuang.

Komposisi dan jenis sampah memegang peranan penting dalam sistem pengelolaan
sampah, sehingga diharapkan produsen sampah mampu membedakan sampah yang
diproduksinya sesuai dengan jenis sampahnya.

Gambar 2.4 Proses Pembentukan Sampah

Faktor-faktor yang mempengaruhi sampah baik secara kuantitas maupun kualitasnya


adalah sebagai berikut:

i. Jumlah Penduduk : Peningkatan jumlah penduduk akan berpengaruh terhadap


jumlah sampah yang dihasilkan, akibatnya pengelolaan sampah akan berpacu
dengan laju pertambahan penduduk.
ii. Keadaan Sosial Penduduk : Semakin tinggi tingkat sosial ekonomi masyarakat,
maka akan semakin banyak pula jumlah sampahnya.
iii. Kemajuan Teknologi : Kemajuan teknologi akan menambah kuantitas maupun
kualitas sampah karena pemakaian bahan baku yang semakin beragam serta cara
pengepakan dan produk manufaktur yang semakin beragam pula. (Slamet, 2000)

2.2.2 Pengelolaan Sampah

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-14


Pengelolaan sampah menurut Pasal 1 butir (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
tentang Pengelolaan Sampah adalah “kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah”. Pengelolaan
sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas
manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas
keamanan, dan asas nilai ekonomi. Pengelolaan sampah juga semakin berkembang
sejalan dengan perkembangan jenis sampah yang akan dikelola. Beberapa cara
pengelolaan akhir sampah yang dilakukan masyarakat adalah :

i. Penimbunan : Sampah yang telah dikumpulkan pada penampungan sementara


diangkut kesuatu area tempat pembuangan sampah akhir (TPA), kemudian sampah
tersebut ditimbun dan diratakan. Penimbunan sampah seperti ini menimbulkan bau
busuk, tempat berkembangnya bibit penyakit, serta dapat mengakibatkan
terganggunya kualitas air tanah.
ii. Pengomposan : Sampah-sampah organik diolah dengan cara pengomposan. Ada
beberapa keuntungan dari sistem pengomposan antara lain : pupuk yang dihasilkan
bersifat ekologis/tidak merusak lingkungan, masyarakat dapat membuat sendiri,
serta tidak memerlukan peralatan dan instalasi yang mahal. (PPS IPB, 2003)
iii. Pembakaran Sampah : Pembakaran sampah dapat dilakukan pada tempat
pembuangan sampah sementara, atau pembakaran dilakukan dengan insenerator.
Proses insenerator ini mampu mereduksi limbah hingga 90%, meskipun panas yang
ditimbulkannya dapat digunakan sebagai sumber energi, namun penggunaannya
dapat menimbulkan pencemaran udara tersendiri.
iv. Penghancuran : Sampah yang telah dikumpulkan dipotong-potong menjadi ukuran
kecil-kecil sehingga volumenya bertambah kecil, penghancuran yang demikian akan
membantu proses pembusukan.
v. Pemanfaatan Ulang : Sampah-sampah yang telah dikumpulkan dipilih sesuai dengan
bahan pembuatnya seperti kertas, kaca, plastik, besi, karton, aluminium dan dijual
untuk dimanfaatkan kembali
vi. Dumping : Pengelolaan sampah secara dumping dengan menumpuk sampah pada
suatu area, pengelolaan yang demikian akan menimbulkan penurunan estetika
lingkungan. Jenis dumping yang lain dan sering dilakukan masyarakat dalam
mengelola sampah adalah dumping in water dimana sampah dibuang ke dalam badan
air misalnya sungai, laut, saluran air lainnya (Naria, 1996).

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-15


Pengelolaan sampah merupakan kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Pengelolaan
sampah adalah pengumpulan, pengangkutan, pemrosesan, pendaur-ulangan, atau
pembuangan dari material sampah. Kalimat ini biasanya mengacu pada material sampah
yg dihasilkan dari kegiatan manusia, dan biasanya dikelola untuk mengurangi
dampaknya terhadap kesehatan, lingkungan atau keindahan. Pengelolaan sampah juga
dilakukan untuk memulihkan sumber daya alam. Pengelolaan sampah bias melibatkan
zat padat, cair, gas, atau radioaktif dengan metoda dan keahlian khusus untuk masing
masing jenis zat. Metode pengelolaan sampah berbeda-beda tergantung banyak hal,
diantaranya tipe zat sampah, tanah yg digunakan untuk mengolah dan ketersediaan
area.

Terdapat beberapa konsep tentang pengelolaan sampah yang berbeda dalam


penggunaannya, antara negara-negara atau daerah. Beberapa yang paling umum,
banyak-konsep yang digunakan adalah:

Gambar 2.5 Hirarki Pengelolaan Sampah

 Hirarki Sampah - hirarki sampah merujuk kepada "3M" mengurangi sampah,


menggunakan kembali sampah dan daur ulang, yang mengklasifikasikan strategi
pengelolaan sampah sesuai dengan keinginan dari segi minimalisasi sampah.
Hirarki sampah tetap menjadi dasar dari sebagian besar strategi minimalisasi
sampah. Tujuan hirarki ini adalah untuk mengambil keuntungan maksimum dari
produk-produk praktis dan untuk menghasilkan limbah dalam jumlah minimum.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-16


 Perpanjangan tanggung jawab penghasil sampah / Extended Producer
Responsibility (EPR). (EPR) adalah suatu strategi yang dirancang untuk
mempromosikan integrasi semua biaya yang berkaitan dengan produk-produk
mereka di seluruh siklus (termasuk akhir-of-pembuangan biaya hidup) ke dalam
pasar harga produk. Tanggung jawab produser diperpanjang dimaksudkan
untuk menentukan akuntabilitas atas seluruh Lifecycle produk dan kemasan
yang diperkenalkan ke pasar. Ini berarti perusahaan yang manufaktur, impor
dan / atau menjual produk diminta untuk bertanggung jawab atas produk
mereka berguna setelah kehidupan serta selama manufaktur.
 Prinsip pengotor membayar - prinsip pengotor membayar adalah prinsip di
mana pihak pencemar membayar dampak akibatnya ke lingkungan. Sehubungan
dengan pengelolaan limbah, ini umumnya merujuk kepada penghasil sampah
untuk membayar sesuai dari pembuang.

Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,


pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang
sampah dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan penanganan sampah akan
dejelaskan dalam tabel dibawah ini :

Tabel 2.3 . Tahapan Penanganan Sampah Menurut Permendagri No 33/ 2010 tentang
Pedoman Pengelolaan Sampah
Penanganan Sampah Konsep
Pemilahan (pasal 5) Memilah sampah rumah tangga sesuai dengan
jenis sampah dengan menyediakan fasilitas
tempat sampah organik dan anorganik di
setiap kawasan.
Pengumpulan (pasal 6) Pemindahan sampah dari tempat sampah
rumah tangga ke TPS sampai ke TPA dengan
menjamin terpisahnya sampah dengan jenis
sampah.
Pengangkutan (pasal 7) - Sampah rumah tangga ke TPS tanggung
jawab RT/RW.
- Dari TPS ke TPA tanggung jawab
pemerintah daerah.
- Sampah kawasan permukiman, kawasan
komersial, kawasan industry, dan kawasan

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-17


Penanganan Sampah Konsep
khusus, dari sumber sampah sampai ke TPS
dan/atau dari TPS sampai ke TPA, menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah.
Pengolahan (pasal 8) Mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah yang dilaksanakan di TPS dan
di TPA dengan memanfaatkan teknologi yang
ramah lingkungan.
Pemrosesan Akhir (pasal 9) Dilakukan dengan pengembalian sampah
dan/atau residu hasil pengolahan ke media
lingkungan secara aman.
Keterangan : TPS : Tempat Pembuangan Sementara
TPA : Tempat Pembuangan Akhir
RT/RW : Rukun Tetangga/Rukun Warga

Sistem pengelolaan sampah terdiri dari aspek manajemen pengelolaan persampahan,


aspek pembiayaan, aspek pengaturan, aspek peran serta masyarakat, dan aspek teknik
oprasional.

1. Aspek Organisasi Dan Manajemen


Aspek ini mempunyai peranan pokok: menggerakan, mengaktifkan dan
mengarahkan sistem manajemen persampahan kota.Sub sistem ini meliputi
bentuk serta pola organisasi dan komponen pelengkapnya, yakni persoalan serta
system manajemen. Struktur manajemen meliputi perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian untuk jenjang strategis, teknik maupun operasional

2. Aspek Pembiayaan
Aspek ini merupakan komponen sumber dalam arti supaya sistem mempunyai
kinerja yang baik. Sub sistem ini diatur dengan struktur pembiayaan dalam bentuk
anggaran serta alternatif sumber pendanaan.

3. Aspek Pengaturan
Aspek ini merupakan komponen yang menjaga pola / dinamika sistem agar dapat
mencapai sasaran secara efektif. Umumnya kompleksitas permasalahan justru
diredam oleh penerbitan peraturan yang mengatur seluruh komponen yang secara
umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-18


a) Sebagai landasan pendirian instansi pengelola (Dinas Perusahaan Daerah dan
lainnya)
b) Sebagai landasan pemberlakuan struktur tarif
c) Sebagai landasan ketertiban umum (masyarakat) dalam pengelolaan
Persampahan.

4. Aspek Peran Serta Masyarakat


Dalam kondisi keterbatasan kemampuan sistem, yakni penyediaan kapasitas kerja
maupun pendanaan, maka salah satu alternatif adalah peran serta masyarakat.
Untuk itu diperlukan upaya untuk menumbuhkan peran masyarakat dalam
pengelolaan sampah dengan membentuk program yang dilaksanakan secara
terarah, intensif, dan berorientasi kepada penyebarluasan pengetahuan,
penanaman kesadaran, peneguhan sikap dan pembentukan perilaku.

5. Aspek Teknik Operasional


Aspek ini merupakan komponen yang paling dekat dengan obyek pengelolaan
sampah. Aspek ini terdiri dari perangkat keras, misalnya : sarana pewadahan,
pengumpulan, pengangkutan dan pembuangan akhir. Disini permasalahan yang
timbul pada umumnya berkisar pada perbedaan yang jauh antara kebutuhan dan
kapasitas operasi yang dapat disediakan oleh sistem.
Tchobanolous dkk. (1993), berdasarkan 6 komponen utama dalam system
pengelolaan sampah terpadu, maka teknik operasional persampahan terdiri dari :
a) penentuan/perhitungan jumlah timbulan sampah
b) penanganan dan pengolahan sampah di sumbernya
c) pengumpulan sampah
d) pemisahan, proses pengolahan dan perubahan sampah
e) pemindahan dan pengangkutan sampah
f) pengolahan akhir sampah.

2.3 Tinjauan Kelayakan Ekonomi

Untuk mengurangi resiko atau ketidakpastian dalam penanaman suatu investasi dalam
hal ini pengelolaan persampahan di Kota Medan, sebaiknya dilakukan kajian terhadap
faktor yang berpengaruh terhadap kelayakan suatu kegiatan, dapat dilakukan

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-19


pengembangan kriteria dari masing – masing faktor tersebut. (Umar, 2001) antara lain
seperti :

a. Faktor Ekonomi
1) Net Present Value (NPV) artinya selisih antara Present Value dari
investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan – penerimaan kas
bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa
yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan
tingkat bunga yang relevan.
NPV merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan
social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor.
Rumus:
n
NPV =∑ NB i (1+i)−n
i=1
atau
n
NB i
NPV =∑ n
i=1 (1+i )
atau
n n
NPV =∑ Bi−C i =∑ N Bi
i=1 i=1
Dimana:
NB = Net benefit = Benefit – Cost
C = Biaya investasi + Biaya operasi
= Benefit yang telah didiskon
= Cost yang telah didiskon
i = diskon faktor
n = tahun (waktu

Kriteria:
NPV > 0 (nol) → usaha/proyek layak (feasible) untuk dilaksanakan
NPV < 0 (nol) → usaha/proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan
NPV = 0 (nol) → usaha/proyek berada dalam keadaan BEP dimana
TR=TC dalam bentuk present value.

Untuk menghitung NPV diperlukan data tentang perkiraan biaya


investasi, biaya operasi, dan pemeliharaan serta perkiraan benefit dari
proyek yang direncanakan.

2) Internal Rate Return (IRR) menunjukkan besarnya keuntungan yang


akan didapat dibandingkan dengan rate bunga yang berlaku, artinya,

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-20


apabila IRR lebih kecil dari bunga bank yang berlaku, lebih baik
investasi yang akan ditanam dalam proyek disimpan dalam Bank
karena lebih memberikan keuntungan. Apabila sama dengan nol berarti
keuntungan proyek akan sama dengan apabila kita menyimpan
investasi ke dalam bank. Sedangkan bila nilai IRR yang dihasilkan
tersebut lebih besar dari tingkat bunga yang disyaratkan berarti lebih
baik menjalankan proyek tersebut dibandingkan bila kita
menyimpannya di bank.
IRR adalah suatu tingkat discount rate yang menghasilkan NPV = 0 (nol).
Jika IRR > SOCC maka proyek dikatakan layak
IRR = SOCC berarti proyek pada BEP
IRR < SOCC dikatakan bahwa proyek tidak layak.
Rumus :

NPV 1
( NPV 1 −NPV 2 ) (
IRR=i1 + i2 −i 1 )

dimana: i1 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV1


i2 = tingkat discount rate yang menghasilkan NPV2

3) Benefit Cost Ratio (BCR)


Benefit Cost Ratio adalah Perbandingan antara Present Value Benefit
dibagi dengan Present Value Cost. Hasil BCR dari suatu proyek
dikatakan layak secara finansial bila nilai BCR adalah lebih besar dari 1.
Nilai ini dilakukan berdasarkan nilai sekarang, yaitu dengan
membandingkan selisih manfaat dengan biaya yang lebih besar dari nol
dan selisih manfaat dan biaya yang lebih kecil dari nol. Persamaan
umum untuk metoda ini adalah sebagai berikut :

Nilai B/C net yang lebih kecil dari satu menunjukkan investasi yang
buruk. Hal ini menggambarkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh
pemakai jalan lebih kecil daripada investasi yang diberikan pada
penanganan jalan.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-21


4) Analisis Payback Period
Payback Period adalah jangka waktu yang diperlukan untuk membayar
kembali (mengembalikan) semua biaya-biaya Investasi yang telah
dikeluarkan dalam investasi suatu proyek. Persamaan untuk analisa ini
adalah :

5) Analisis Break Even Point


Beak even adalah Suatu keadaan dimana seluruh penerimaan (Total
Revenue, TR) hanya mampu menutup seluruh pengeluaran (Total Cost,
TC), atau dengan kata lain bahwa Break Even akan terjadi keadaan
dimana Total Revenue = Total Cost atau TR = TC.
Asumsi yang digunakan adalah :
 Harga Jual tidak berubah
 Seluruh biaya dapat dibagi kedalam biaya tetap dan biaya variabel
 Biaya variabel bersifat proporsional
Dalam unit Rumus BEP adalah sebagai berikut :

6) Analisis Sensitivitas
Skenario kenaikan pendapatan (Optimist) dan skenario penurunan
pendapatan disebut juga dengan Analisis Sensitivitas. Analisis

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-22


sensitivitas dilakukan untuk menguji apakah suatu usaha tetap layak
dijalankan pada tingkat harga tertentu dengan menaikkan biaya secara
periodik. Semakin tinggi sesitivitas suatu usaha maka akan semakin
mudah usaha tersenut jatuh. Kelayakan dihitung dengan menggunakan
NPV, Benefit Rasio dan IRR.
2.4 Perbandingan Kerjasama Pengelolaan Persampahan Daerah

Perwujudan KPS (Kerjasama Pemerintah-Swasta) sebenarnya telah dilakukan oleh


pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah. Namun pengelolaan sampah yang
menggunakan mekanisme KPS saat ini hanya sebatas pengelolaan sampah pada tahap
pengolahan dan pemrosesan akhir saja seperti yang telah dilakukan di daerah Jakarta,
Surakarta, Batam dan lain sebagainya. Akan tetapi pada tahapan pemilahan,
pengumpulan dan pengangkutan sampah, KPS masih belum di terapkan secara optimal.
Dinamika penerapan konsep public private partnership dalam penanganan sampah di
berbagai daerah di Indonesia akan dijelaskan lebih lanjut dalam tabel berikut :

Tabel 2.4
Penerapan Konsep Public Private Partnership dalam Penanganan Sampah di Berbagai
Daerah di Indonesia

Daerah Tahap Penanganan Bentuk Public Private Partnership


Surakarta Proses Akhir Pengelolaan Solid Waste Final Disposal and
Treatment Facility
Bekasi Pengolahan dan Pemrosesan Pengelolaan program LFG (Landfill Gas)
Akhir Flaring System
Depok Pengolahan dan Pemrosesan Membangun tempat penampungan
Akhir sementara atau Intermediate Treatment
Facility (ITF) di atas lahan seluas 10 ha.
Jakarta Pengolahan dan Pemrosesan Pembangunan tempat penampungan
Akhir sementara atau Intermediate Treatment
Facility Sunter dengan pola kerjasama
adalah Build-Operate-Transfer (BOT)
Bandung, Pengolahan Sampah Pengelolaan Proyek TPA Legok Nangka di
Cimahi Nagreg
Batam Pengangkutan, Pengolahan Pemkot memberi waktu 25 tahun kepada
dan Pemrosesan Akhir PT. Surya Sejahtera untuk mengelola
sampah di Batam

Dari tabel tersebut, dapat kita ketahui bahwa dalam penerapan konsep Public Private
Partnership / Kerjasama Pemerintah Swasta, pemerintah daerah cenderung
memanfaatkan konsep ini pada tahapan pengolahan dan pemrosesan akhir saja.
Walaupun penerapan konsep tersebut telah dilakukan pada tahap pengolahan dan

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-23


pemrosesan akhir, namun masih terdapat berbagai permasalahan penanganan sampah
di daerah yang terbukti dengan masih banyaknya sampah yang belum terangkut,
berbagai demonstrasi dan juga dari hasil pemeringkatan lembaga internasional terkait
kualitas kebersihan Indonesia. Jadi dapat disimpulkan bahwa penanganan sampah yang
telah dilakukan oleh pemerintah daerah dengan menggunakan Public Private
Partnership / Kerjasama Pemerintah Swasta sampai saat ini masih belum dapat
memenuhi hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik.

Pertimbangan mendasar kerjasama KPS adalah karena pemerintah setempat tidak


memiliki anggaran dan dana yang memadai mengingat biaya yang dibutuhkan untuk
pengelolaan sampah yang memenuhi standar dan ketentuan. Di lain pihak, minat swasta
sejauh ini cukup besar terhadap proyek pengolahan sampah karena adanya jaminan
investasi dan kepastian hukum. Proyek - proyek yang dilaksanakan dalam skema KPS
mendapat jaminan pemerintah dengan menggunakan skema penjaminan bersama
antara Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota dan PT Penjaminan Infrastruktur
Indonesia (Persero) sebagaimana dimandatkan dalam Perpres Nomor 78/2010 tentang
Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha yang
dilakukan melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur.

Sedangkan di sisi bisnis, proyek pengelolaan sampah ternyata merupakan peluang bisnis
yang cukup menggiurkan. Kendati dengan modal awal yang cukup besar, namun modal
tersebut dapat dipastikan akan kembali, bahkan menuai untung, sekalipun dalam
rentang waktu yang relatif lama. Berikut diuraikan proyek pengelolaan sampah yang
dilakukan dengan skema KPS.

a. Kota Batam

Sukses proyek pengelolaan KPS sampah salah satunya dialami Kota Batam. Sejak April
2009 pengelolaan sampah ditangani PT Surya Sejahtera. Pada awalnya, pengelolaan
sampah di Kota Batam dikendalikan Otorita Batam melalui Badan Pengelolaan
Kebersihan. Pada tahun 2000, penyelenggaraan pengelolaan sampah diambilalih oleh
Pemkot Batam.

Dengan adanya Perpres No. 56/2011 dan Perpres 13/2010 tentang Perubahan Perpres
67/2005 yang memungkinkan pengelolaan kebersihan dari hulu sampai hilir diberikan
kepada swasta, Pemkot Batam melakukan kajian. Dari analisis finansial pada proyek
fasilitas pengelolaan sampah serta sumber sumber pembiayaan yang ada di Kota Batam

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-24


maka untuk pelakasanaan pembangunan proyek tersebut diarahkan kepada prinsip
Konsesi. Dalam Konsesi, Pemerintah memberikan tanggung jawab dan pengelolaan
penuh kepada kontraktor (konsesioner) swasta untuk menyediakan pelayanan-
pelayanan infrastruktur dalam sesuatu area tertentu, termasuk dalam hal
pengoperasian, perawatan, pengumpulan dan manajemennya. Konsesioner bertanggung
jawab atas sebagian besar investasi yang digunakan untuk membangun, meningkatkan
kapasitas, atau memperluas sistem jaringan, dimana konsesioner mendapatkan
pendanaan atas investasi yang dikeluarkan berasal dari tarif yang dibayar oleh
konsumen. Sedangkan peran pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan standar
performance dan menjamin kepada konsesioner.

Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan
(provider) menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah
yang harus disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada
konsesioner untuk waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset
infrastruktur akan menjadi milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih
dari 25 tahun. Secara ekonomis, Pemkot dan pihak swasta akan sama-sama untung.

Setiap tahun anggaran pengelolaan sampah makin meningkat, sementara penerimaan


retribusi kebersihan tak mencukupi. Pemkot memberi waktu 25 tahun kepada PT Surya
Sejahtera untuk mengelola sampah di Batam. Adapun, investasi yang ditanamkan swasta
tersebut mencapai Rp 500 miliar.

Manfaat KPS kini dirasakan masyarakat dan Pemkot Batam. Lingkungan di Kota Batam
menjadi bersih. Selain itu Pemkot memperoleh profit sharing 5% dari retribusi tertagih
dari pelanggan serta pemasukan kas daerah sebesar Rp 5.000 per 1 ton sampah serta
profit 5% dari keuntungan hasil pemanfaatan sampah yang dikelola.

b. Kota Depok dan Bogor

Pembangunan TPPAS Nambo akan dilaksanakan dalam bentuk KPS dan saat ini telah
masuk kedalam proses tender. Proses Pengadaan akan dilakukan sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur dan peraturan-peraturan perubahannya. Ditargetkan,
Desember 2015 sudah ada pemenang tender dan awal tahun depan sudah tanda tangan
kontrak. Pemerintah provinsi Jawa Barat juga telah menandatangani perjanjian kerja

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-25


sama dengan PT Indocement Tunggal Perkasa yang akan memanfaatkan hasil akhir
pengolahan sampah TPPAS Nambo.

TPPAS Nambo di Desa Nambo dan Desa Lulut, Kecamatan Kelapanunggal, Kabupaten
Bogor menempati lahan seluas 55 hektare. Detail lahan yang digunakan yaitu 40 hektare
lahan hutan yang dikelola Perhutani Regional Jawa Barat-Banten dan sisanya tanah milik
Kabupaten Bogor. Fasilitas pengolahan sampah regional itu dirintis sejak tahun 2002.
Baru tahun 2013, pemerintah Jawa Barat mengantungi Surat Persetujuan Menteri
Kehutanan untuk pinjam pakai hutan Perhutani untuk lokasi pengelolaan sampah,
setelah sebelumnya mengantungi surat penetapan lokasi serta Amdal.

Pemerintah provinsi Jawa Barat dan Perhutani Regional Jawa Barat-Banten juga telah
menandatangani perjajian kerja sama penggunaan kawasan hutan untuk TPPAS
Regional Nambo. TPPAS Regional Nambo dipilih menggunakan teknologi Intermediate
Treatment Facility (ITF) yang hasil akhirnya berupa kompos dan refuse-derived fuel
(RDF), bahan alternatif pengganti batu bara. Teknologi ini akan mengolah minimal 1.500
ton sampah per hari dan Perkiraan nilai proyek adalah sebesar Rp 600. 204.271.000.

Sebagian lahan TPPAS Nambo juga disiapkan untuk pengolahan sampah menggunakan
teknologi sanitary landfill. Pemerintah pusat menggunakan dana Rp 86 miliar untuk
membangun jalan operasi dan pengolah air sampah untuk sanitary landifll. Pemerintah
Jawa Barat menurunkan dana Rp 9,8 miliar untuk melengkapi fasilitas pendukung
pengolah sampah, seperti jalan operasi dan pagar.

Studi Alternatif Skema Kerjasama Pengelolaan Persampahan Kota Medan II-26

Anda mungkin juga menyukai