KERANGKA TEORITIS
2
Kemitraan Pemerintah Swasta disingkat KPS atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai
Public Private Partnership atau disingkat PPP atau P3 adalah suatu perjanjian kontrak
antara pemerintah, baik pusat ataupun daerah dengan mitra swasta. Melalui perjanjian
ini, keahlian dan aset dari kedua belah pihak (pemerintah dan swasta) dikerjasamakan
dalam menyediakan pelayanan kepada masyarakat. Dalam melakukan kerjasama ini
risiko dan manfaat potensial dalam menyediakan pelayanan ataupun fasilitas
dipilah/dibagi kepada pemerintah dan swasta.
PPP merupakan kemitraan Pemerintah - Swasta yang melibatkan investasi yang besar/
padat modal dimana sektor swasta membiayai, membangun, dan mengelola prasarana
dan sarana, sedangkan pemerintah sebagai mitra yang menangani pengaturan
pelayanan, dalam hal ini tetap sebagai pemilik asset dan pengendali pelaksanaan
kerjasama.
Ada banyak definisi PPP mulai dari pembukaan hubungan kegiatan umum negara
dengan kompetisi sektor swasta melalui kerjasama antara publik dan sektor swasta
untuk usaha investasi dalam pengadaan infrastruktur, contohnya jalan tol. Dalam
kerjasama tersebut melibatkan perusahaan swasta untuk tujuan tertentu, sedangkan
risiko ditanggung bersama-sama. Singkatnya, fitur kunci dari PPP dapat dicirikan
sebagai kemitraan antara sektor publik dan swasta yang biasanya melibatkan sektor
swasta untuk melakukan investasi proyek-proyek yang telah dilaksanakan dan dimiliki
oleh sektor publik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan kerjasama antara Pemerintah dan
Swasta antara lain adalah :
Dalam pemenuhan infrastruktur atau fasilitas publik, diperlukan investasi yang cukup
besar dan pengembalian investasi dalam jangka waktu yang relatif lama. Selain itu,
manajemen operasionalnya juga membutuhkan cost yang tinggi. Permasalahan inilah
yang menjadi kendala bagi kebanyakan negara-negara berkembang dalam pemenuhan
infrastruktur.
Apabila tidak ada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan tersebut di atas, maka
kerjasama dengan perusahaan swasta dipertimbangkan untuk tidak dilakukan karena
tidak ada manfaatnya bagi masyarakat dan pembangunan daerah. Akan tetapi realitanya,
banyak pemerintah daerah yang telah menerapkan konsep public private partnership
dalam penanganan sampah. Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai pertimbangan
diatas benar-benar terjadi dalam dinamika penanganan sampah di daerah-daerah.
Melalui gambar 2.2, dapat kita ketahui bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan
yang besar dalam melakukan penanganan sampah. Bentuk dari kewenangan pemerintah
daerah dalam hal penanganan sampah adalah kewenangan pemerintah daerah untuk
menyelenggarakan Public Private Partnership dalam penanganan sampah di daerahnya.
Penerapan public private partnership pada tahapan pengolahan dan pemrosesan akhir
sampah yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah menggunakan mekanisme kontrak
yang telah disediakan pemerintah pusat yaitu dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknik Tata Cara Kerjasama
Daerah. Penanganan sampah merupakan bagian dari pelayanan publik sehingga dalam
penyusunan kontrak kerjasama, pemerintah daerah dapat menggunakan salah satu dari
10 macam jenis kontrak yang telah disediakan dalam peraturan menteri dalam negeri
tersebut. Karena dalam penanganan sampah terdiri dari 5 tahapan yaitu pemilahan,
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir maka dapat
disimpulkan bahwa untuk penerapan konsep optimalisasi public private partnership
dalam hal pengumpulan dan pengangkutan sampah, pemerintah daerah juga dapat
menggunakan jenis-jenis kontrak yang ada pada peraturan menteri dalam negeri
tersebut. Berikut kami sajikan tabel jenis-jenis kontrak yang terdapat dalam
Permendagri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknik Tata Cara Kerjasama
Daerah :
Kecenderungan Kecenderungan
Setelah
kenaikan biaya kenaikan biaya Pemerintah
Melepas hak Apabila berakhir asset Melepas hak Melepas hak
Pengendalian sebagai sebagai sebagai
Hak monopoli monopoli, kinerja pemda tidak monopoli, monopoli,
pemda dampak dampak regulator
pemda hilang, kecenderungan keuangan BH punya nilai kenaikan harga, melepas
berkurang, pembangunan, pembangunan, sering
Kelemahan beban biaya tak
melepas sumber kenaikan biaya, buruk, ekonomis, penyelesaian sumber
BH hanya BH hanya konflik
pendapatan kerjasama BH menjadi penyelesaian pembebasan pendapatan
terduga apabila mengelola di mengelola di kepentingan
potensial pemda cenderung ke anggaran pembebasan lahan oleh potensial
hukum gagal tempat tempat dengan BH
proyek besar publik lahan oleh pemda milik pemda
ekonomis ekonomis patungan
pemda
tinggi tinggi
Keterangan : BU = Badan Usaha, BH = Badan Hukum, PAD = Pendapatan Asli Daerah
Pada dasarnya ada lima alternatif bentuk KPS yang dapat dikembangkan sesuai dengan
kondisi dan konteks proyek yang akan di-KPS-kan. Bentuk KPS yang umum digunakan
adalah:
Keberadaan sampah bagi satu pihak merupakan barang buangan, tapi bisa berupa benda
ekonomi (minimal sebagian) bagi pihak yang lain. Adanya potensi pemanfaatan sampah
sebagai benda ekonomi inilah yang memungkinkan adanya keterlibatan sektor swasta
dan/ atau masyarakat untuk terlibat dalam Sistem Pengelolaan Persampahan.
Sumber sampah sendiri bisa berbagai macam. Sumber sampah yang akan dibahas dalam
kajian ini adalah perumahan (domestik), pasar, daerah komersial (kawasan perkantoran
dan perdagangan) dan fasilitas umum termasuk jalan umum. Gambar 2.3 menunjukkan
model alur penanganan sampah yang pada umumnya berlaku dalam Sistem Pengelolaan
Persampahan di berbagai kota di Indonesia.
S Bak
TPS
u Sampah
m Publik house
PERUMAHAN
b
BAK SAMPAH
e PASAR Bak
Sampah
r
TPA
S Bak
Sampah CONTAINER
a City
KOMESIAL
m
p
a Tong
Sampah
h
JALAN / FASILITAS
UMUM
Badan Usaha
1. Pembangunan atau penyediaan serta pemeliharaan sarana dan prasarana fisik (infra
struktur) sistem sanitasi persampahan. Yang termasuk prasarana fisik antara lain
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) berupa lahan, bak sampah, transfer depo atau
container dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sedangkan kelengkapan sarana
fisik antara lain adalah:
a. Gerobak pengumpul sampah atau alat angkut sejenis dari sumber sampah ke TPS
b. Dump Truck
c. Armroll
d. Compactor
e. Buldozer
f. Wheel loader
g. Excavator
h. Truck
i. Container
j. Timbangan sampah di TPA
k. Dan lain-lain.
2. Pelaksanaan pekerjaan (operasional) sistem pengelolaan persampahan sehari-hari
yaitu:
a. Pengumpulan dan pengangkutan sampah dari sumber sampah ke TPS/ transfer
depo
b. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA
c. Penanganan sampah di TPA.
Dari rangkaian aktivitas di atas, peluang yang paling mungkin adanya partsisipasi Sektor
Swasta dan Lembaga Non Pemerintah terdapat pada bagian pelaksanaan pekerjaan
operasional. Untuk lebih jelas, modalitas yang dapat digunakan untuk menggalang
partsisipasi Sektor Swasta dan Lembaga Non Pemerintah tersebut dituangkan dalam
tabel berikut.
Definisi sampah menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, diartikan sebagai barang-
barang buangan atau kotoran (seperti daun-daun kering, kertas-kertas kotor dan
sebagainya) atau barang yang tidak berharga, hina dan sebagainya (Poerwardarminta,
1976).
Sedangkan, sampah menurut kamus istilah lingkungan sampah adalah bahan yang tidak
mempunyai nilai atau tidak berharga untuk maksud biasa atau utama dalam pembikinan
atau pemakaian barang rusak atau bercacat dalam pembikinan manufaktur atau materi
berkelebihan atau ditolak atau buangan. (Kamus Istilah Lingkungan, 1994).
Pendapat lain mengatakan bahwa sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau
dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki
nilai ekonomis. (Istilah Lingkungan untuk Manajemen, Ecolink, 1996).
Sedangkan Peraturan Daerah Kota Medan No. 8 tahun 2002 tentang Retribusi Pelayanan
Kebersihan memberikan pengertian bahwa sampah adalah sisa-sisa dari suatu benda
berupa benda padat, benda cair yang tidak berfungsi lagi, baik yang berasal dari rumah
tangga, bangunan dan termasuk yang ada di jalan umum.
Berbagai definisi di atas memberikan pengertian bahwa sampah adalah sesuatu hasil
buangan yang tidak bermanfaat sebagai akibat dari aktifitas manusia, dan cenderung
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan apabila tidak dikelola dengan benar.
Berdasarkan atas dasar sifat biologis-kimianya sampah dapat dibedakan antara lain
(Slamet, 2000) :
a) Sampah yang dapat membusuk, seperti sisa makanan, daun, sampah kebun,
pertanian atau lebih dikenal dengan istilah sampah organik.
b) Sampah yang tidak membusuk, seperti kertas, plastik, karet, gelas, logam yang
lebih dikenal dengan istilah sampah anorganik.
c) Sampah yang berupa debu/abu.
d) Sampah yang berbahaya terhadap kesehatan seperti sampah yang berasal dari
industri yang mengandung zat-zat kimia maupun fisika berbahaya.
Komposisi dan jenis sampah memegang peranan penting dalam sistem pengelolaan
sampah, sehingga diharapkan produsen sampah mampu membedakan sampah yang
diproduksinya sesuai dengan jenis sampahnya.
Tabel 2.3 . Tahapan Penanganan Sampah Menurut Permendagri No 33/ 2010 tentang
Pedoman Pengelolaan Sampah
Penanganan Sampah Konsep
Pemilahan (pasal 5) Memilah sampah rumah tangga sesuai dengan
jenis sampah dengan menyediakan fasilitas
tempat sampah organik dan anorganik di
setiap kawasan.
Pengumpulan (pasal 6) Pemindahan sampah dari tempat sampah
rumah tangga ke TPS sampai ke TPA dengan
menjamin terpisahnya sampah dengan jenis
sampah.
Pengangkutan (pasal 7) - Sampah rumah tangga ke TPS tanggung
jawab RT/RW.
- Dari TPS ke TPA tanggung jawab
pemerintah daerah.
- Sampah kawasan permukiman, kawasan
komersial, kawasan industry, dan kawasan
2. Aspek Pembiayaan
Aspek ini merupakan komponen sumber dalam arti supaya sistem mempunyai
kinerja yang baik. Sub sistem ini diatur dengan struktur pembiayaan dalam bentuk
anggaran serta alternatif sumber pendanaan.
3. Aspek Pengaturan
Aspek ini merupakan komponen yang menjaga pola / dinamika sistem agar dapat
mencapai sasaran secara efektif. Umumnya kompleksitas permasalahan justru
diredam oleh penerbitan peraturan yang mengatur seluruh komponen yang secara
umum dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu :
Untuk mengurangi resiko atau ketidakpastian dalam penanaman suatu investasi dalam
hal ini pengelolaan persampahan di Kota Medan, sebaiknya dilakukan kajian terhadap
faktor yang berpengaruh terhadap kelayakan suatu kegiatan, dapat dilakukan
a. Faktor Ekonomi
1) Net Present Value (NPV) artinya selisih antara Present Value dari
investasi dengan nilai sekarang dari penerimaan – penerimaan kas
bersih (aliran kas operasional maupun aliran kas terminal) di masa
yang akan datang. Untuk menghitung nilai sekarang perlu ditentukan
tingkat bunga yang relevan.
NPV merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan
social opportunity cost of capital sebagai diskon faktor.
Rumus:
n
NPV =∑ NB i (1+i)−n
i=1
atau
n
NB i
NPV =∑ n
i=1 (1+i )
atau
n n
NPV =∑ Bi−C i =∑ N Bi
i=1 i=1
Dimana:
NB = Net benefit = Benefit – Cost
C = Biaya investasi + Biaya operasi
= Benefit yang telah didiskon
= Cost yang telah didiskon
i = diskon faktor
n = tahun (waktu
Kriteria:
NPV > 0 (nol) → usaha/proyek layak (feasible) untuk dilaksanakan
NPV < 0 (nol) → usaha/proyek tidak layak (feasible) untuk dilaksanakan
NPV = 0 (nol) → usaha/proyek berada dalam keadaan BEP dimana
TR=TC dalam bentuk present value.
NPV 1
( NPV 1 −NPV 2 ) (
IRR=i1 + i2 −i 1 )
Nilai B/C net yang lebih kecil dari satu menunjukkan investasi yang
buruk. Hal ini menggambarkan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh
pemakai jalan lebih kecil daripada investasi yang diberikan pada
penanganan jalan.
6) Analisis Sensitivitas
Skenario kenaikan pendapatan (Optimist) dan skenario penurunan
pendapatan disebut juga dengan Analisis Sensitivitas. Analisis
Tabel 2.4
Penerapan Konsep Public Private Partnership dalam Penanganan Sampah di Berbagai
Daerah di Indonesia
Dari tabel tersebut, dapat kita ketahui bahwa dalam penerapan konsep Public Private
Partnership / Kerjasama Pemerintah Swasta, pemerintah daerah cenderung
memanfaatkan konsep ini pada tahapan pengolahan dan pemrosesan akhir saja.
Walaupun penerapan konsep tersebut telah dilakukan pada tahap pengolahan dan
Sedangkan di sisi bisnis, proyek pengelolaan sampah ternyata merupakan peluang bisnis
yang cukup menggiurkan. Kendati dengan modal awal yang cukup besar, namun modal
tersebut dapat dipastikan akan kembali, bahkan menuai untung, sekalipun dalam
rentang waktu yang relatif lama. Berikut diuraikan proyek pengelolaan sampah yang
dilakukan dengan skema KPS.
a. Kota Batam
Sukses proyek pengelolaan KPS sampah salah satunya dialami Kota Batam. Sejak April
2009 pengelolaan sampah ditangani PT Surya Sejahtera. Pada awalnya, pengelolaan
sampah di Kota Batam dikendalikan Otorita Batam melalui Badan Pengelolaan
Kebersihan. Pada tahun 2000, penyelenggaraan pengelolaan sampah diambilalih oleh
Pemkot Batam.
Dengan adanya Perpres No. 56/2011 dan Perpres 13/2010 tentang Perubahan Perpres
67/2005 yang memungkinkan pengelolaan kebersihan dari hulu sampai hilir diberikan
kepada swasta, Pemkot Batam melakukan kajian. Dari analisis finansial pada proyek
fasilitas pengelolaan sampah serta sumber sumber pembiayaan yang ada di Kota Batam
Intinya, peran pemerintah telah bergeser dari yang dulunya penyedia pelayanan
(provider) menjadi pemberi aturan (regulator) atas harga yang dikenakan dan jumlah
yang harus disediakan. Aset-aset infrastruktur yang tetap dipercayakan kepada
konsesioner untuk waktu kontrak tertentu, tetapi setelah kontrak habis maka aset
infrastruktur akan menjadi milik pemerintah. Periode konsesi diberikan biasanya lebih
dari 25 tahun. Secara ekonomis, Pemkot dan pihak swasta akan sama-sama untung.
Manfaat KPS kini dirasakan masyarakat dan Pemkot Batam. Lingkungan di Kota Batam
menjadi bersih. Selain itu Pemkot memperoleh profit sharing 5% dari retribusi tertagih
dari pelanggan serta pemasukan kas daerah sebesar Rp 5.000 per 1 ton sampah serta
profit 5% dari keuntungan hasil pemanfaatan sampah yang dikelola.
Pembangunan TPPAS Nambo akan dilaksanakan dalam bentuk KPS dan saat ini telah
masuk kedalam proses tender. Proses Pengadaan akan dilakukan sesuai dengan
Peraturan Presiden No. 67/2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha
dalam Penyediaan Infrastruktur dan peraturan-peraturan perubahannya. Ditargetkan,
Desember 2015 sudah ada pemenang tender dan awal tahun depan sudah tanda tangan
kontrak. Pemerintah provinsi Jawa Barat juga telah menandatangani perjanjian kerja
TPPAS Nambo di Desa Nambo dan Desa Lulut, Kecamatan Kelapanunggal, Kabupaten
Bogor menempati lahan seluas 55 hektare. Detail lahan yang digunakan yaitu 40 hektare
lahan hutan yang dikelola Perhutani Regional Jawa Barat-Banten dan sisanya tanah milik
Kabupaten Bogor. Fasilitas pengolahan sampah regional itu dirintis sejak tahun 2002.
Baru tahun 2013, pemerintah Jawa Barat mengantungi Surat Persetujuan Menteri
Kehutanan untuk pinjam pakai hutan Perhutani untuk lokasi pengelolaan sampah,
setelah sebelumnya mengantungi surat penetapan lokasi serta Amdal.
Pemerintah provinsi Jawa Barat dan Perhutani Regional Jawa Barat-Banten juga telah
menandatangani perjajian kerja sama penggunaan kawasan hutan untuk TPPAS
Regional Nambo. TPPAS Regional Nambo dipilih menggunakan teknologi Intermediate
Treatment Facility (ITF) yang hasil akhirnya berupa kompos dan refuse-derived fuel
(RDF), bahan alternatif pengganti batu bara. Teknologi ini akan mengolah minimal 1.500
ton sampah per hari dan Perkiraan nilai proyek adalah sebesar Rp 600. 204.271.000.
Sebagian lahan TPPAS Nambo juga disiapkan untuk pengolahan sampah menggunakan
teknologi sanitary landfill. Pemerintah pusat menggunakan dana Rp 86 miliar untuk
membangun jalan operasi dan pengolah air sampah untuk sanitary landifll. Pemerintah
Jawa Barat menurunkan dana Rp 9,8 miliar untuk melengkapi fasilitas pendukung
pengolah sampah, seperti jalan operasi dan pagar.