Anda di halaman 1dari 7

MK.

Permasalahan Pembangunan
Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Diponegoro

Nama : Ayu Novita Sari


NIM : 21040122410007

Urbanisasi, Perubahan Iklim, dan Risiko Bencana


Implikasinya terhadap Ketahanan Kota

Urbanisasi dan Perubahan Iklim: Proses pertumbuhan dan perkembangan kota dikenal
dengan urbanisasi. Percepatan urbanisasi menjadikan lebih dari setengah populasi di dunia saat
ini tinggal di perkotaan (C. Xian et al., 2022). Proses urbanisasi ini menjadi dinamika kota yang
menyumbang terjadinya perubahan iklim, cepat atau lambat fenomena pengkotaan akan terus
terjadi, pertumbuhan pusat kota baru akan terus bertambah. Perkembangan kota yang cepat
berimplikasi dengan kebutuhan kendaraan bermotor untuk memudahkan masyarakat perkotaan
beraktivitas sehari-hari. Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC (2014),
sebanyak 60% emisi transportasi berasal dari penggunaan kendaraan bermotor, yang
berdampak terhadap fenomena perubahan iklim.

Daerah perkotaan berfungsi sebagai pusat kegiatan perekonomian, perkembangan


teknologi dan inovasi, proses urbanisasi ini mendukung respon yang lebih luas terhadap risiko
perubahan iklim (Mi, et al., 2019). Daerah perkotaan menyumbang gas emisi karbon dioksida
atau (CO2) dari hasil pembakaran bahan bakar batu bara yang dimanfaatkan sebagai sumber
daya industri dan transportasi. Jumlah penduduk dan permintaan kendaraan yang terus
meningkat di Indonesia menyebabkan konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia terus
meningkat (BRIN, 2018). Proses urbanisasi ini menyebabkan tutupan lahan di perkotaan
didominasi oleh lahan terbangun, hal tersebut berkaitan dengan perubahan lahan vegetasi di
perkotaan yang menyebabkan peningkatan suhu perkotaan. Menurut Arguseso et al, (2014)
urban heat island adalah salah satu pendorong yang memperburuk pemanasan global dan
perubahan iklim.

Saat ini perencanaan kota dihadapkan tantangan untuk menyediakan sarana dan
prasarana yang mendukung aktivitas perkotaan, dan mempertahankan kelestarian lingkungan
untuk meminimalisir risiko perubahan iklim. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dengan
menyediakan carbon-neutral infrastructure baik air, energi, makanan, sanitasi, dan struktur
bangunan, penyediaan carbon-neutral infrastructure memungkinkan pembangunan perkotaan
mencapai tujuan dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang ke 11, yaitu masyarakat
perkotaan yang berkelanjutan (C. Xian et al., 2022). Urbanisasi yang cepat dan perluasan kota
terus merambah, menyebabkan lebih banyak orang yang mengahadpi beragam risiko
perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut, gelombang panas, banjir, kekeringan, dan
tanah longsor.
“Diperkirakan pada tahun 2100 total pertumbuhan perkotaan di 10 negara Eropa akan
terkena peristiwa banjir pesisir yang dapat meningkat higga 104% akibat efek dari gabungan
dari kenaikan permukaan laut, pertumbuhan penduduk, dan urbanisasi.”
- Wolff et al., 2020.

Pertumbuhan perkotaan akibat migrasi perkotaan menambah lebih banyak tekanan


kebutuhan perumahan, penyediaan layanan dasar dan kebutuhan pembangunan sama-sama
meningkat bersamaan dengan adanya tantangan perubahan iklim. Kerentanan sosial ekonomi
yang disebabkan oleh urbanisasi yang cepat dan pertumbuhan ekonomi meningkatkan
sensitivitas dan melemahkan kapasitas adaptasi masyarakat dalam menanggapi risiko
perubahan iklim (Garschagen, 2015). Ancaman ini diperkuat oleh pendapat (Glasser, 2020
dalam IPCC, 2021) bahwa consensus perubahan iklim menjadi ancaman utama pada saat ini,
dalam beberapa decade mendatang bencana akibat perubahan iklim seperti kenaikan
permukaan laut, musim kemarau, dan banjir akan lebih sering terjadi, oleh karena itu adanya
gangguan pada ekosistem dan sumber daya air akan membahayakan kesejahteraan penduduk
dan menyebabkan perpindahan hingga kerusuhan.

Indonesia merupakan negara dengan garis pantai terpanjang ke dua setelah Kanada,
perubahan iklim yang lambat namun pasti akan terasa dampaknya di Indonesia. Menurut
Climate Resilient and Inclusive Cities – CRIC (2022) sepuluh kota pesisir di Indonesia
berjuang untuk menghadapi risiko terkait multi-hazzard akibat perubahan iklim, diantaranya
adalah Kota Pekanbaru, Pangkalpinang, Bandar Lampung, Cirebon, Mataram, Kupang,
Banjarmasin, Samarinda, Gorontalo, dan Ternate. Secara umum, wilayah-wilayah pesisir
mengalami risiko dan kerentanan lebih dibandingkan dengan wilayah dataran rendah,
pegunungan yang tidak memiliki garis pantai (Wiwandari, 2022). Kota-kota tersebut dihadapi
oleh dua tantangan yaitu percepatan urbanisasi dan beradaptasi dengan perubahan iklim (P.
Gaborit, 2022). Bencana yang dihadapi adalah kekeringan, badai, banjir, gelombang tinggi,
dan pencemaran air. Dapat dilihat pada Gambar 1. Sepuluh kota pesisir di Indonesia yang
menghadapi risiko multi-hazzard:

Gambar 1. Sepuluh Kota Pesisir di Indonesia menghadapi risiko multi-hazzard


Sumber: P. Gaborit, 2022
Kondisi fisik alam di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, Indonesia sangat
rentan berdampak perubahan iklim, terjadinya penurunan permukaan tanah di kota pesisir di
Indonesia yang terus terjadi, diperparah dengan pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang
cepat. Kondisi ini muncul dan memicu konflik dari segi sosial ekonomi. Perlunya adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim karena kerentanan di wilayah pesisir sangat rentan. Implikasinya
terhadap strategi penanggulangan bencana tidak cukup hanya mengurangi, menanggapi, dan
pulih dari bencana dampak dari perubahan iklim, perlu diketahui tingkat keterpaparan dan
respon ketahanan lokal yang ada. Menurut P. Gaborit, (2022) penduduk di daerah pesisir yang
tinggal di permukaman informal termasuk penduduk miskin, lebih terpapar langsung adanya
bahaya perubahan iklim.

Risiko Bencana: Risiko adalah akibat, dampak, bahaya, atau konsekunsi yang sedang
terjadi akibat sebuah proses yang sedang berjalan. Fenomena urbanisasi dan perubahan iklim
ini menjadi bahaya nyata yang akan menimbulkan risiko bagi penduduk perkotaan, seperti
kehilangan mata pencaharian, kerusakan infrastruktur, kehilangan rumah tempat tingga,
kerugian harta benda hingga kehilangan nyawa. Daerah perkotaan diharuskan untuk
merencanakan implementasi yang rinci untuk mengintegrasikan mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim ke dalam rencana tata ruang. Penanggulangan bencana ini diharapkan dapat
mengembangkan kapasitas adaptif terhadap peningkatan curah hujan dan permukaan air laut,
Adapun prinsip penanggulangan bencana menurut UNISDR, (2004) dalam Glasser, (2020),
yaitu pencegahan bencana, kesiapsiagaan, respon, dan pemullihan. Pemerintah kota dan
pemangku kepentingan lainnya turut mengembangkan mekanisme yang diperlukan untuk
memberikan ketahanan yang lebih kuat untuk mengahadapi bencana akibat perubahan iklim.

Gambar 2. Risiko Perubahan Iklim


Sumber: Simpson,. et al (2021)
Mekanisme yang dilakukan pemerintah dengan mengintegrasikan tata ruang dan
penanggulangan bencana bertujuan untuk meningkatkan dan memperkuat ketahanan perkotaan
yang didapatkan dari kapasitas masyarakat merespon dan beradaptasi dari teknan dan krisis
dari perubahan iklim. Adapun krisis dan tekanan yang terjadi adalah ketidakamanan atau
serangan, penurunan perekonomian, permasalahan sosial, dan ekosistem yang menurun
(Gabroit, 2021). Ketahanan iklim sendiri didefinsikan sebagai kapasitas masyarakat dan sistem
berkolaborasi untuk mempertahankan dan meningkatkan peluang yang mencakup
kesejahteraan masyarakat, meskipun ada gangguan lingkungan, ekonomi, sosial, dan politik
akibat perubahan iklim (Tyler et al, 2016).

Ketahanan: Meskipun ketahan bukanlah hal baru, karena konsep ketahan ekologis pertama
kali diperkenalkan oleh Holling (1973), namun seringkali definisi dan penerapannya belum
jelas untuk mentransfer sebuh konsep ketahanan yang nyata untuk pengambilan keputusan
dalam perubahan iklim. Gabungan dari tantangan ekonomi dan lingkungan inilah menjadi
sebuah ketahanan perubahan iklim (Ramaswami, 2020). Menurut Wiwandari., et al, (2021)
ketahanan mencakup suatu sistem yang mengalami gangguan akibat dampak perubahan iklim,
gangguan itu terjadi karena bencana yang ditimbulkan oleh perubahan iklim memiliki tingkat
risiko dan kerentanan yang tinggi. Relevansi ketahanan kota yang berketahanan iklim dinilai
relevan dengan banyaknya gangguan yang terjadi, ketahanan kota berkaitan dengan kapasitas
perkotaan dalam hal bertahan menghadapi gangguan, bahaya, atau tekanan untuk menyediakan
aksesbilitas layanan yang penting untuk penduduk, yang paling utama bagi masyarakat yang
tidak mampu bertahan dalam tekanan (Abdrabo & A. Hasaan, 2015 dalam Wiwandari, 2021).

Ketahanan Iklim Perkotaan: Merencanakan kota yang tangguh dengan meningkatkan


kapasitas masyarakat untuk mengatasi, beradaptasi, dan bertransformasi dalam menghadapi
bencana perubahan iklim. Dalam praktiknya bertransformasi tidak sepenuhnya mengalami
perubahan yang cepat, namun menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim dengan
menciptakan sistem baru, ketika sistem yang sudah ada tidak dapat dipertahankan, praktik
ketahanan bertujuan untuk tidak mepertahankan identitas sistem tetapi lebih teaptnya
memperbaiki (Khazai et al., 2015, Orleans Reed et al., 2013). Manajemen risiko dan ketahanan
iklim perkotaan tidak bisa mengandalkan strategi konvensional, untuk membantu masyarakat
beradaptasi dengan perubahan iklim harus ada pendekatan yang menghasilkan perubahan skala
besar, mendalam, dan mengakar dalam masyarakat perkotaan dan menghasilkan dampak
jangka panjang (Wilson et al., 2020). Untuk meningkatkan kapasitas ketahanan yang
transformatif dalam jangka panjang dalam mengatasi risiko perubahan iklim, tertuang pada
Gambar 3. berikut:
Gambar 3. Pengambilan Keputusan Pemicu Transformasi Perubahan Iklim
Sumber: Bene et al, 2014

Mengenali dan memperhitungkan dampak dari perubahan iklim menjadi penting dalam
perencanaa, ketahanan iklim perkotaan merupakan proses yang kompleks dan banyak factor
yang mempengaruhinya, salah satunya pengambilan keputusan mencakup tiga elemen yaitu,
pendekatan proaktif, perencanaan partisipatif, dan pemanfaatan informasi perubahan iklim.
Strategi pendekatan proktif berupaya untuk meminalisir risiko dari paparan kerentanan
perubahan iklim di perkotaan. Pendekatan proaktif dinilai tidak perlu menunggu peristiwa
eksternal untuk merespon, tetapi mengantisipasi peluang yang akan menganggu sistem dan
membawa perubahan skala besar (Novalia & Malekpour, 2020). Dalam proses perencanaan
penataan ruang dikenal dengan istilah evaluasi, jika dikaitkan dengan ketahanan iklim
perkotaan, pendekatan proaktif merupakan kegiatan evaluasi ex-ante untuk mengurangi risiko
yang ada (risiko korektif), dan menghindari risiko baru yang menjadikan peningkatan risiko di
masa depan (risiko prospektif) (Mehyar & Surminski, 2021). Contoh dalam pengurangan risiko
korektif adalah membangun tanggul banjir dengan sumber daya yang ada, sedangkan contoh
dari risiko prospektif adalah menerapkan perencanaan smart city dengan mengatur
infrastruktur dan populasi tidak berada di didaerah yang terpapar, sehingga tidak akan
meningkatan risiko yang lebih tinggi di daerah yang terpapar.

Proses partisipasi masyarakat menciptakan ketahanan masyarakat terhadap bencana,


kapasitas masyarakat dalam mengelola bencana menentukan keberlanjutan penghidupan
masyarakat, menciptakan ketahanan di level komunitas merupakan satu komponen manajemen
risiko bencana (Mega & Rizkiana, 2021). Sesuai pendapatan (KLHK et al., 2017 dalam
Wiwandari, 2021) proses partisipatif untuk membangunan ketahanan pada level komunitas
merupakan kunci untuk membangun ketahanan kota. Salah satu bentuk partisipatif untuk
ketahanan iklim perkotaan adalah pembuatan biopori yang dilakukan secara partisipatif di
Kelurahan Manyaran, Kota Semarang. Bentuk kolaborasi aktiv dari seluruh kelompok usia,
jenis kelamin, disablitas, melibatkan seluruh lapisan masyarakat bergerak untuk mensikapi
adanya bencana banjir, dan mengurangi risiko bencana.

Menurut Agung Pangarso, (2021) ada beberapa aspek atau kriteria dari perwujudkan
kota dengan ketahanan iklim, diantaranya yaitu (1) Pengorganisasian kota yang memiliki
ketahanan kota pada tahap awal akan melibatkan multi stakeholder, keterpaduan produk
perencanaan dengan rencana penanggulangan bencana harus saling terintegrasi; (2) Kajian
risiko bencana pada saat terjadi dan di masa mendatang, scenario proaktif dengan
mengidentifikasi bahaya yang paling mungkin dan kemungkinan terburuk akan terjadi masa
mendatang. (3) Penguatan kapasitas dari segi pendanaan, implikasinya terhadap kebutuhan
pembiayaan yang diperlukan untuk ketahanan perkotaan; (4) Pengembangan kota, pengaturan
tata guna lahan, dan rancang kota yang rendah dari risiko bencana, perlunya arah pembangunan
memperhatikan fungsi kawasan yang rendah ririko terhadap bencana; (5) Perlindungan jasa
ekosistem seperti penampungan dan serapan air, vegetasi perkotaan, penanaman mangrove dan
lainnya, untuk mengantisipasi peristiwa perubahan iklim dan perkembangan kota infrastruktur
hijau dan biru diperlukan untuk menjamin fungsi jasa ekosistem, contoh dari infrastruktur biru
adalah daerah aliran sungai, lahan basah, embung atau tampungan air permukaan, dan kolam
retensi; (6) Menguatkan kapasitas kelembagaan dan masyarakat yang berketahanan,
peningkatan kelembagaan dalam perencanaan ketahanan iklim perkotaan dapat mengurangi
risiko bencana melalui beberapa program seperti pengembangan informasi kebencanaan,
pelatihan, sistem teknologi untuk menjaring informasi dan komunikasi; yang terakhir, (7)
Peningkatan ketahanan infrastruktur, beberapa jenis infrastruktur besar yang menjadi
penggerak perekonomian seperti tol, bandar udara, jalur rel kereta api, rumah sakit, air bersih
dan lainnya perlu dipersiapkan dengan baik untuk merespon adanya bencana, dengan
berkembangnya teknologi informasi dan ilmu pengetahuan perlu dikembangkan sistem
peringatan dini untuk meminimalisir risiko.

Urbanisasi, perubahan iklim, dan risiko bencana menjadi hal yang sangat penting
untuk saat ini, ketiga hal tersebut memberi kontribusi masing-masing yang berdampak pada
keberlangsungan kehidupan masyarakat perkotaan. Perkotaan di Indonesia terus menerus
berkembang sejalan dengan pertumbuhan penduduk, namun apakah daya tampung dan daya
dukung suatu perkotaan akan memperparah dampak dari perubahan iklim. Ketahanan
perkotaan dapat meminimalisir risiko yang ditimbulkan dengan cara menghadapi berbagai
gangguan, upaya yang dilakukan untuk mencapai ketahanan perkotaan diantaranya sudah
dijelaskan diatas, keterpaduan pembangunan perkotaan dengan prinsip pembangunan yang
berkelanjutan dan praktik-praktik ketahanan kota diharapkan akan meminimalisir dari risiko
bencana yang terjadi.

REFERENSI

Abdrabo, M.A. & A.Hassaan, M. (2015), “An integrated framework for urban resilience to
climate change – Case study: Sea level rise impacts on the Nile Delta coastal urban
areas”, Urban Climate, Vol. 14 No. 4, pp. 554–565.
Argueso, D., et al. (2014). Temperature Response to Future Urbanization and Climate Cahnge.
Climate Dynamics 42.
Gabrorit, Pascaline., et al. (2022). Climate Adaptation to Multi-Hazard Climate Related risks
in Ten Indonesian Cities: Ambitions and challenges. Climate Risk Management 37
(2022) 100453. Tersedia di https://doi.org/10.1016/j.crm.2022.100453.
IPCC. (2014). Transport, Climate Change 2014: Mitigation of Climate Change. Contribution
of Working Group III to the Fifth Assesment Report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change. https://doi.org/10.1007/978-3-319-12457-5_15.
Mehyar, Sara., et al. (2022). Supporting Urban Adaptation to Climate Change: What role can
resilience measurement tools play?. Urban Climate Volume 41. Tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.uclim.2021.101047.
Mi, Z., et al. (2019). Cities: The Core of Climate Change Mitigation. Journal of Clener
Production.
Novalia and Malekpour. (2020). Theorising the role of crisis for transformative adaptation.
Environ. Sci. Pol., 112 (2020), pp. 361-370
S. Mehryar, S. Surminski. (2020) The Role of National Laws in Managing Flood Risk and
Increasing Future Flood Resilience. Grantham Research Institute on Climate Change
and the Environment, London School of Economics.
Wiwnandari, dkk. (2021). Ketahanan Iklim Perkotaan: Konsep, Praktik, Instrumen, dan Tata
Kelola. Yayasan Inisiatif Perubahan Iklim dan Lingkungan Perkotaan: Semarang.
Wolff., et al. (2020). Future Urban Development Exaverbates Coastal Exposure in the
Mediterranean. Sci. Rep. 10, 1-11.
Xian, Chaofan., et al. (2022). The Evaluation of Greenhouse Gas Emissions from Sewage
Treatment with Urbanization: Understanding the opportunities and challenges for
climate change mitigation in China’s low-carbon pilot city, Shenzhen. Science of The
Total Environment Volume 855. Tersedia di
https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2022.158629.

Anda mungkin juga menyukai