Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah Indonesia terutama di
wilayah Sumatera termasuk Provinsi Jambi, merupakan bencana yang umumnya terjadi pada
saat musim kemarau. Meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh
faktor manusia, kekeringan pada periode musim kemarau memicu meluasnya kebakaran
hutan dan lahan (BNPB, 2021). Pandapotan (2022) menguraikan kebakaran dapat meluas
lebih cepat pada saat musim kemarau karena dipicu oleh suhu udara tinggi, kelembapan
rendah, serta jarang terjadi hujan. Kecepatan angin yang lemah pada lapisan dekat permukaan
namun kencang pada lapisan di atasnya turut memperparah penyebaran asap, dimana asap
yang terangkat naik akan terbawa oleh angin menuju wilayah lain.
Menurut BNPB (2018), sebagian besar (80-90) % kejadian bencana di Indonesia terkait
dengan bencana hidrometeorologi yang erat kaitannya dengan perubahan sumber daya alam
dan lingkungan. Kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta asap akibat karhutla
menjadi bencana yang terjadi pada musim kemarau.
Kebakaran hutan dan lahan merupakan jenis bencana dan permasalahan lingkungan
hidup yang selalu rutin berulang setiap tahunnya, termasuk di wilayah Provinsi Jambi.
Bahkan, berbagai literatur menunjukkan intensitas bencana ini semakin tinggi dengan
dampak yang semakin luas sejak 18 tahun terakhir dimana dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, tahun 2015 dan 2019 merupakan tahun kejadian bencana karhutla terparah.
Berdasarkan catatan KLHK pada tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi
seluas 115.634,34 hektar dan tahun 2019 seluas 56.593,00 hektar.
Bank Dunia (2016) menyebutkan bahwa karhutla yang menyebabkan bencana asap
menjadi salah satu catastrophe sepanjang 2015. Bencana asap 2015 merupakan yang terburuk
karena beberapa parameter, seperti jumlah korban, durasi kejadian, kerugian ekonomi, dan
dampak yang luas terhadap kesehatan dan lingkungan maupun pendidikan. Dampak asap dari
karhutla 2015 menyebabkan 19 orang meninggal dunia dan 500 ribu jiwa diantaranya
mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penderita ISPA terbanyak terdapat di
Provinsi Jambi yang mencapai 15 ribu jiwa (BNPB, 2015).
Pada tahun 2019 masih melekat dibenak kita sekolah diliburkan karena kualitas udara
dalam kategori membahayakan kesehatan akibat kabut asap yang sangat pekat. Pemerintah
Kota Jambi mengeluarkan maklumat nomor 180/1799/HKU/2019 tentang antisipasi dampak
kabut asap, masyarakat dihimbau untuk mengurangi aktifitas di luar ruangan, dan diharapkan
menggunakan masker jika berada diluar ruangan, siswa TK/PAUD diliburkan serta
pengurangan jam belajar pada siswa SD dan SMP. Pada sisi transportasi udara terjadi
penundaan hingga pembatalan jadwal pemberangkatan pesawat udara karena visibility (jarak
pandang mendatar) yang sangat rendah. Tingginya resiko dan kerugian akibat kebakaran
hutan dan lahan mendorong perlunya berbagai upaya serius untuk melakukan tindakan
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
Kecepatan informasi terkait analisis dan prediksi sebaran asap juga dibutuhkan
pemerintah, para stakeholder dan masyarakat guna langkah awal penanggulangan bencana
terhadap daerah terdampak. Polutan yang dihasilkan dari karhutla mengakibatkan kerugian
yang serius, baik pada sektor kesehatan, pendidikan, transportasi, dan ekonomi. Menurut
Wangsa (2022) proses terjadinya penyebaran polutan tergolong kompleks yang mana sebaran
polutan tersebut dipengaruhi oleh kontur permukaan, kondisi meteorologi dan keadaan
sumber pencemar.
Indonesia secara geografi dan geologi terletak pada wilayah yang rawan terhadap
bencana alam dan bencana yang dipicu oleh perilaku manusia yang merusak alam. Perubahan
lingkungan erat kaitannya dengan deforestasi yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya
alam (hutan) dan alih fungsi lahan yang sering kali dilakukan secara berlebihan untuk
memenuhi kebutuhan pembangunan, kegiatan ekonomi dan penduduk yang jumlahnya terus
meningkat. Kegiatan logging dan konservasi hutan untuk pengembangan perkebunan
berskala besar (seperti kelapa sawit dan karet) telah dilakukan secara besar-besaran di
berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk juga berkolerasi
dengan peningkatan kebutuhan akan lahan untuk permukiman, kegiatan pertanian, dan
perkebunan, pembangunan industri, infrastruktur, sarana dan prasarana, lain untuk
mendukung kehidupan dan penghidupan. Perubahan lingkungan yang tidak dikelola dengan
baik akan menyebabkan tingginya angka deforestasi dan kerusakan sumber daya alam serta
degradasi lingkungan. Konservasi hutan untuk dijadikan perkebunan sawit dan HTI (Hutan
Tanaman Industri) serta kegiatan pembangunan lainnya yang terjadi di wilayah hulu, tengah,
dan hilir seringkali menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan, terutama ketika
kegiatan tersebut dilakukan secara berlebihan. Kondisi ini berimplikasi pada bencana,
khususnya bencana ekologis. (Yusuf, dkk. 2019)
Merujuk pada Abdurrahim, dkk (2020) dikatakan bahwa karhutla sering dikaitkan
dengan bencana ekologis dikarenakan bencana ini erat hubungannya dengan kebijakan dan
program pemanfaatan sumber daya alam/hutan. Kondisi ekosistem, seperti lahan gambut,
sangat rawan terhadap bencana kebakaran. Ketika hutan gambut dikonversi menjadi kebun
kelapa sawit dalam wilayah yang sangat luas, pengolahan lahan biasanya dilakukan dengan
cara membakar. Pembakaran seringkali memicu karhutla dengan kabut asap yang sangat
pekat sampai melebihi standar kesehatan. Asap karhutla tahun 2015 yang terjadi di beberapa
Provinsi salah satunya Jambi tidak hanya berdampak pada penduduk di Provinsi ini
melainkan batas-batas Provinsi . Karhutla yang terjadi di Pulau Sumatera dampaknya bahkan
melintasi batas negara (transboundary haze), dirasakan sampai ke negara Singapura dan
Malaysia. Kabut asap akibat karhutla terjadi lagi pada musim kemarau 2019 dimana
dampaknya juga sangat masif sampai ke Singapura dan Malaysia.
Upaya untuk merespons perubahan lingkungan dan bencana sangat dipengaruhi oleh
kemampuan (kapasitas) penduduk dalam menghadapi dan/atau mengantisipasi ancaman.
Kemampuan mencakup pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap, nilai-nilai,
hubungan, perilaku, motivasi, sumber daya, dan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap
individu, organisasi, dan jaringan kerja melakukan fungsi-fungsi mereka untuk mencapai
tujuan (Milen, 2004).
Mitigasi merupakan upaya untuk menguragi resiko suatu bahaya atau ancaman di masa
depan. Menurut UU No. 4 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian usaha untuk mengurangi
resiko bencana melalui pembangunan fisik, peningkatan kesadaran, dan kemampuan dalam
menhadapi ancaman bencana. Tujuan mitigasi adalah untuk meminimalisasi resiko, termasuk
korban jiwa, harta benda, dan kerusakan sumber daya alam. Mitigasi dilakukan sebelum
terjadi bencana, baik karena faktor alam maupun karena faktor non-alam yang dipengaruhi
oleh perilaku manuasia yang tidak ramah lingkungan.
Selain mitigasi, upaya pengurangan resiko dan dampak perubahan lingkungan dan
bencana juga dipengaruhi oleh kemampuan penduduk dalam beradaptasi terhadap perubahan
yang terjadi. Adaptasi ialah upaya penyesuaian agar kegiatan sosial ekonomi dapat tetap
berkelanjutan. Adaptasi juga merupakan suatu strategi untuk menyesuaikan diri dalam
merespons perubahan lingkungan dan sosial yang terjadi disekitarnya (Marfai, 2012).
Tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak dari sebaran asap akibat kebakaran
hutan dan lahan harus terus dilakukan, mengingat makin seringnya kejadian bencana ini
dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu tindakan pencegahan adalah analisis dan prediksi
terkait sebaran asap wilayah terdampak. Dengan mengetahui kemana arah dan distribusi
sebaran asapnya maka masyarakat dan pemerintah dapat mengambil langkah strategis untuk
adaptasi.
Instruksi Presiden RI nomor 3 tahun 2020 tentang penanggulangan kebakaran hutan dan
lahan menyatakan bahwa BMKG ditugaskan untuk proaktif memberikan informasi
persebaran asap dan titik panas. Prediksi terhadap sebaran distribusi asap akibat karhuta yang
cepat dan tepat dibutuhkan oleh masyarakat dan stakeholder terkait. Untuk prediksi sebaran
asap yang digunakan selama ini hanya berbentuk garis trayektori, tanpa diikuti dengan
prediksi sebaran secara spasialnya.
Salah satu pemodelan sebaran udara yang direkomendasikan oleh United States
Environmental Protection Agency (EPA) adalah AERMOD. AERMOD merupakan model
spasial kualitas udara yang mampu memprediksi hingga 10 sumber atau lebih (sumber titik,
luas atau volume). Model ini menggunakan teori Planetary Boundary Layer atau PBL untuk
menghitung sebaran yang dipengaruhi oleh pemanasan, permukaan dan gesekan (Nugroho,
2011).
Metode lain yang dapat digunakan selain pemodelan yaitu penginderaan jauh atau
remote sensing. Karakteristik data satelit penginderaan jauh yang memiliki cakupan luas,
perolehan data yang konsisten, near-real time dan biaya yang relatif murah sangat mudah
diimplementasikan di Indonesia. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dapat
diketahui bahwa analisis areal kebakaran hutan dan lahan dengan pemanfaatan teknologi
penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara digital maupun
interpretasi visual (Suwarsono, 2012).
Pada penelitian kali ini, analisis areal terdampak kabut asap menggunakan pendekatan
interpretasi visual dengan menggunakan analisis semi otomatis citra satelit Himawari-8.
Dalam Panjaitan (2015) dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
mempermudah manusia untuk memantau penyebaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan
salah satunya dengan memanfaatkan satelit cuaca Himawari-8. Proses analisis data
mengunakan data satelit adalah metode yang cepat, tepat dan akurat, sehingga prosesnya
tidak memakan waktu yang lama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi areal dampak kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan data citra Satelit Himawari-8 dan
memodelkan sebaran asap dengan AERMOD pada tahun 2015 dan tahun 2019. Diharapkan
dengan adanya identifikasi areal dampak kabut asap ini, dapat menjadi gambaran dan alat
bantu untuk pengambilan kebijakan upaya penanggulangan atau mitigasi bencana kebakaran
hutan dan lahan dengan cepat.
1.2 Rumusan Masalah
Asap dari dampak kebakaran hutan dan lahan sangatlah merugikan, baik dibidang
kesehatan, lingkungan, sosial, transportasi, pendidikan, dan ekonomi. Masih rendahnya
analisis terhadap dampak bencana kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi dengan
penginderaan jauh serta belum adanya pemodelan distribusi asap secara cepat efektif dan
efisien membuat penulis tertarik untuk meneliti. Adapun yang menjadi pertanyan penelitian
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sebaran asap pada kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi pada
tahun 2015 dan 2019 dengan menggunakan citra satelit Himawari-8 ?
2. Bagaimanakah perbandingan secara visual luasan sebaran asap dari citra satelit
Himawari-8 pada tahun 2015 dan 2019?
3. Bagaimanakah sebaran asap yang dimodelkan oleh AERMOD di Provinsi Jambi pada
tahun 2015 dan 2019?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah:
1. Mengidentifikasi sebaran asap di wilayah Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019
dengan menggunakan citra satelit Himawari-8.
2. Membandingkan secara visual luasan sebaran asap di Provinsi Jambi pada tahun 2015
dan 2019.
3. Memodelkan sebaran asap di Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


Adapun manfaat dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah Daerah
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi pemerintah Provinsi Jambi
dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terhadap permasalahan kebakaran hutan
dan lahan.
2. Bagi BMKG
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inovasi dan informasi terkait
distribusi asap di Provinsi Jambi.
3. Bagi Akademisi
Memberikan kontribusi terhadap perkembangan pengetahuan dan menambah
sumbangan pikiran serta sebagai masukan kepada peneliti lain yang ingin
mengembangkan penelitian ini secara mendalam.

Anda mungkin juga menyukai