Bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di wilayah Indonesia terutama di wilayah Sumatera termasuk Provinsi Jambi, merupakan bencana yang umumnya terjadi pada saat musim kemarau. Meskipun hampir seluruh kasus kebakaran hutan lebih disebabkan oleh faktor manusia, kekeringan pada periode musim kemarau memicu meluasnya kebakaran hutan dan lahan (BNPB, 2021). Pandapotan (2022) menguraikan kebakaran dapat meluas lebih cepat pada saat musim kemarau karena dipicu oleh suhu udara tinggi, kelembapan rendah, serta jarang terjadi hujan. Kecepatan angin yang lemah pada lapisan dekat permukaan namun kencang pada lapisan di atasnya turut memperparah penyebaran asap, dimana asap yang terangkat naik akan terbawa oleh angin menuju wilayah lain. Menurut BNPB (2018), sebagian besar (80-90) % kejadian bencana di Indonesia terkait dengan bencana hidrometeorologi yang erat kaitannya dengan perubahan sumber daya alam dan lingkungan. Kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), serta asap akibat karhutla menjadi bencana yang terjadi pada musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan merupakan jenis bencana dan permasalahan lingkungan hidup yang selalu rutin berulang setiap tahunnya, termasuk di wilayah Provinsi Jambi. Bahkan, berbagai literatur menunjukkan intensitas bencana ini semakin tinggi dengan dampak yang semakin luas sejak 18 tahun terakhir dimana dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tahun 2015 dan 2019 merupakan tahun kejadian bencana karhutla terparah. Berdasarkan catatan KLHK pada tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi seluas 115.634,34 hektar dan tahun 2019 seluas 56.593,00 hektar. Bank Dunia (2016) menyebutkan bahwa karhutla yang menyebabkan bencana asap menjadi salah satu catastrophe sepanjang 2015. Bencana asap 2015 merupakan yang terburuk karena beberapa parameter, seperti jumlah korban, durasi kejadian, kerugian ekonomi, dan dampak yang luas terhadap kesehatan dan lingkungan maupun pendidikan. Dampak asap dari karhutla 2015 menyebabkan 19 orang meninggal dunia dan 500 ribu jiwa diantaranya mengalami infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Penderita ISPA terbanyak terdapat di Provinsi Jambi yang mencapai 15 ribu jiwa (BNPB, 2015). Pada tahun 2019 masih melekat dibenak kita sekolah diliburkan karena kualitas udara dalam kategori membahayakan kesehatan akibat kabut asap yang sangat pekat. Pemerintah Kota Jambi mengeluarkan maklumat nomor 180/1799/HKU/2019 tentang antisipasi dampak kabut asap, masyarakat dihimbau untuk mengurangi aktifitas di luar ruangan, dan diharapkan menggunakan masker jika berada diluar ruangan, siswa TK/PAUD diliburkan serta pengurangan jam belajar pada siswa SD dan SMP. Pada sisi transportasi udara terjadi penundaan hingga pembatalan jadwal pemberangkatan pesawat udara karena visibility (jarak pandang mendatar) yang sangat rendah. Tingginya resiko dan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan mendorong perlunya berbagai upaya serius untuk melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Kecepatan informasi terkait analisis dan prediksi sebaran asap juga dibutuhkan pemerintah, para stakeholder dan masyarakat guna langkah awal penanggulangan bencana terhadap daerah terdampak. Polutan yang dihasilkan dari karhutla mengakibatkan kerugian yang serius, baik pada sektor kesehatan, pendidikan, transportasi, dan ekonomi. Menurut Wangsa (2022) proses terjadinya penyebaran polutan tergolong kompleks yang mana sebaran polutan tersebut dipengaruhi oleh kontur permukaan, kondisi meteorologi dan keadaan sumber pencemar. Indonesia secara geografi dan geologi terletak pada wilayah yang rawan terhadap bencana alam dan bencana yang dipicu oleh perilaku manusia yang merusak alam. Perubahan lingkungan erat kaitannya dengan deforestasi yang disebabkan oleh eksploitasi sumber daya alam (hutan) dan alih fungsi lahan yang sering kali dilakukan secara berlebihan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, kegiatan ekonomi dan penduduk yang jumlahnya terus meningkat. Kegiatan logging dan konservasi hutan untuk pengembangan perkebunan berskala besar (seperti kelapa sawit dan karet) telah dilakukan secara besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, peningkatan jumlah penduduk juga berkolerasi dengan peningkatan kebutuhan akan lahan untuk permukiman, kegiatan pertanian, dan perkebunan, pembangunan industri, infrastruktur, sarana dan prasarana, lain untuk mendukung kehidupan dan penghidupan. Perubahan lingkungan yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan tingginya angka deforestasi dan kerusakan sumber daya alam serta degradasi lingkungan. Konservasi hutan untuk dijadikan perkebunan sawit dan HTI (Hutan Tanaman Industri) serta kegiatan pembangunan lainnya yang terjadi di wilayah hulu, tengah, dan hilir seringkali menyebabkan terjadinya permasalahan lingkungan, terutama ketika kegiatan tersebut dilakukan secara berlebihan. Kondisi ini berimplikasi pada bencana, khususnya bencana ekologis. (Yusuf, dkk. 2019) Merujuk pada Abdurrahim, dkk (2020) dikatakan bahwa karhutla sering dikaitkan dengan bencana ekologis dikarenakan bencana ini erat hubungannya dengan kebijakan dan program pemanfaatan sumber daya alam/hutan. Kondisi ekosistem, seperti lahan gambut, sangat rawan terhadap bencana kebakaran. Ketika hutan gambut dikonversi menjadi kebun kelapa sawit dalam wilayah yang sangat luas, pengolahan lahan biasanya dilakukan dengan cara membakar. Pembakaran seringkali memicu karhutla dengan kabut asap yang sangat pekat sampai melebihi standar kesehatan. Asap karhutla tahun 2015 yang terjadi di beberapa Provinsi salah satunya Jambi tidak hanya berdampak pada penduduk di Provinsi ini melainkan batas-batas Provinsi . Karhutla yang terjadi di Pulau Sumatera dampaknya bahkan melintasi batas negara (transboundary haze), dirasakan sampai ke negara Singapura dan Malaysia. Kabut asap akibat karhutla terjadi lagi pada musim kemarau 2019 dimana dampaknya juga sangat masif sampai ke Singapura dan Malaysia. Upaya untuk merespons perubahan lingkungan dan bencana sangat dipengaruhi oleh kemampuan (kapasitas) penduduk dalam menghadapi dan/atau mengantisipasi ancaman. Kemampuan mencakup pengetahuan dan pemahaman, keterampilan, sikap, nilai-nilai, hubungan, perilaku, motivasi, sumber daya, dan kondisi-kondisi yang memungkinkan setiap individu, organisasi, dan jaringan kerja melakukan fungsi-fungsi mereka untuk mencapai tujuan (Milen, 2004). Mitigasi merupakan upaya untuk menguragi resiko suatu bahaya atau ancaman di masa depan. Menurut UU No. 4 Tahun 2007, mitigasi adalah serangkaian usaha untuk mengurangi resiko bencana melalui pembangunan fisik, peningkatan kesadaran, dan kemampuan dalam menhadapi ancaman bencana. Tujuan mitigasi adalah untuk meminimalisasi resiko, termasuk korban jiwa, harta benda, dan kerusakan sumber daya alam. Mitigasi dilakukan sebelum terjadi bencana, baik karena faktor alam maupun karena faktor non-alam yang dipengaruhi oleh perilaku manuasia yang tidak ramah lingkungan. Selain mitigasi, upaya pengurangan resiko dan dampak perubahan lingkungan dan bencana juga dipengaruhi oleh kemampuan penduduk dalam beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Adaptasi ialah upaya penyesuaian agar kegiatan sosial ekonomi dapat tetap berkelanjutan. Adaptasi juga merupakan suatu strategi untuk menyesuaikan diri dalam merespons perubahan lingkungan dan sosial yang terjadi disekitarnya (Marfai, 2012). Tindakan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak dari sebaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan harus terus dilakukan, mengingat makin seringnya kejadian bencana ini dalam beberapa dekade terakhir. Salah satu tindakan pencegahan adalah analisis dan prediksi terkait sebaran asap wilayah terdampak. Dengan mengetahui kemana arah dan distribusi sebaran asapnya maka masyarakat dan pemerintah dapat mengambil langkah strategis untuk adaptasi. Instruksi Presiden RI nomor 3 tahun 2020 tentang penanggulangan kebakaran hutan dan lahan menyatakan bahwa BMKG ditugaskan untuk proaktif memberikan informasi persebaran asap dan titik panas. Prediksi terhadap sebaran distribusi asap akibat karhuta yang cepat dan tepat dibutuhkan oleh masyarakat dan stakeholder terkait. Untuk prediksi sebaran asap yang digunakan selama ini hanya berbentuk garis trayektori, tanpa diikuti dengan prediksi sebaran secara spasialnya. Salah satu pemodelan sebaran udara yang direkomendasikan oleh United States Environmental Protection Agency (EPA) adalah AERMOD. AERMOD merupakan model spasial kualitas udara yang mampu memprediksi hingga 10 sumber atau lebih (sumber titik, luas atau volume). Model ini menggunakan teori Planetary Boundary Layer atau PBL untuk menghitung sebaran yang dipengaruhi oleh pemanasan, permukaan dan gesekan (Nugroho, 2011). Metode lain yang dapat digunakan selain pemodelan yaitu penginderaan jauh atau remote sensing. Karakteristik data satelit penginderaan jauh yang memiliki cakupan luas, perolehan data yang konsisten, near-real time dan biaya yang relatif murah sangat mudah diimplementasikan di Indonesia. Berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dapat diketahui bahwa analisis areal kebakaran hutan dan lahan dengan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua pendekatan yaitu secara digital maupun interpretasi visual (Suwarsono, 2012). Pada penelitian kali ini, analisis areal terdampak kabut asap menggunakan pendekatan interpretasi visual dengan menggunakan analisis semi otomatis citra satelit Himawari-8. Dalam Panjaitan (2015) dikatakan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mempermudah manusia untuk memantau penyebaran asap akibat kebakaran hutan dan lahan salah satunya dengan memanfaatkan satelit cuaca Himawari-8. Proses analisis data mengunakan data satelit adalah metode yang cepat, tepat dan akurat, sehingga prosesnya tidak memakan waktu yang lama. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi areal dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan data citra Satelit Himawari-8 dan memodelkan sebaran asap dengan AERMOD pada tahun 2015 dan tahun 2019. Diharapkan dengan adanya identifikasi areal dampak kabut asap ini, dapat menjadi gambaran dan alat bantu untuk pengambilan kebijakan upaya penanggulangan atau mitigasi bencana kebakaran hutan dan lahan dengan cepat. 1.2 Rumusan Masalah Asap dari dampak kebakaran hutan dan lahan sangatlah merugikan, baik dibidang kesehatan, lingkungan, sosial, transportasi, pendidikan, dan ekonomi. Masih rendahnya analisis terhadap dampak bencana kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi dengan penginderaan jauh serta belum adanya pemodelan distribusi asap secara cepat efektif dan efisien membuat penulis tertarik untuk meneliti. Adapun yang menjadi pertanyan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sebaran asap pada kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019 dengan menggunakan citra satelit Himawari-8 ? 2. Bagaimanakah perbandingan secara visual luasan sebaran asap dari citra satelit Himawari-8 pada tahun 2015 dan 2019? 3. Bagaimanakah sebaran asap yang dimodelkan oleh AERMOD di Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi sebaran asap di wilayah Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019 dengan menggunakan citra satelit Himawari-8. 2. Membandingkan secara visual luasan sebaran asap di Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019. 3. Memodelkan sebaran asap di Provinsi Jambi pada tahun 2015 dan 2019.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah Daerah Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi pemerintah Provinsi Jambi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan terhadap permasalahan kebakaran hutan dan lahan. 2. Bagi BMKG Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan inovasi dan informasi terkait distribusi asap di Provinsi Jambi. 3. Bagi Akademisi Memberikan kontribusi terhadap perkembangan pengetahuan dan menambah sumbangan pikiran serta sebagai masukan kepada peneliti lain yang ingin mengembangkan penelitian ini secara mendalam.