Anda di halaman 1dari 6

NAMA : PUTRI ALYA

NIM : 1906101010036

KELAS : 02

MATA KULIAH : PKL

PIDATO PRESIDEN

Perubahan iklim adalah ancaman besar bagi kemakmuran dan pembangunan global. Solidaritas,
kemitraan, kerjasama, kolaborasi global, merupakan kunci. Dengan potensi alam yang begitu
besar, Indonesia terus bekontribusi dalam penanganan perubahan iklim. Laju deforestasi turun
signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan juga turun 82 persen di tahun
2020.

Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare di 2024,
terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara tahun 2010 sampai
2019. Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia akan mencapai carbon net
sink, selambatnya tahun 2030.

Di sektor energi kami juga terus melangkah maju. Dengan pengembangan ekosistem mobil
listrik, pembangunan pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, pemanfaatan
energi baru terbarukan termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis clean
energy termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia, di Kalimantan Utara.

Tetapi hal itu tak cukup. Kami terutama negara yang mempunyai lahan luas yang hijau dan
berpotensi dihijaukan, serta negara yang memiliki laut luas yang potensial menyumbang karbon,
membutuhkan dukungan dan kontribusi dari internasional, dari negara-negara maju. Indonesia
akan terus memobilisasi pembiayaan iklim dan pembiayaan inovatif serta pembiayaan campuran,
obligasi hijau, dan sukuk hijau.
Penyediaan pendanaan iklim dengan pendanaan negara maju merupakan game changer dalam
aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Indonesia akan dapat
bekontribusi lebih cepat bagi net zero emissions dunia.

Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang
bisa diberikan? Ini butuh aksi, butuh implementasi secepatnya. Selain itu carbon
market dan carbon price harus menjadi bagian dari isu perubahan iklim. Ekosistem ekonomi
karbon yang transparan, berintegritas, inklusif, dan adil harus diciptakan.

Sebagai penutup di KTT ini, atas nama Forum Negara-negara Kepulauan dan Pulau Kecil (AIS),
Indonesia merasa terhormat bisa mensirkulasikan pernyataan bersama para pemimpin AIS
Forum. Sudah jadi komitmen AIS Forum untuk terus memajukan kerjasama kelautan dan
aksi iklim di UNFCCC.

TANGGAPAN GREENPEACE TERHADAP PIDATO PRESIDEN

1. Presiden Jokowi menyebutkan, laju deforestasi turun signifikan terendah dalam 20 tahun
terakhir.
Faktanya, deforestasi di Indonesia justru meningkat dari yang sebelumnya 2,45 juta ha
(2003-2011) menjadi 4,8 juta ha (2011-2019). Padahal Indonesia sudah berkomitmen
untuk menekan laju deforestasi. Tren penurunan deforestasi dalam rentang 2019-2021,
tidak lepas dari situasi sosial politik dan pandemi yang terjadi di Indonesia sehingga
aktivitas pembukaan lahan terhambat. Faktanya dari tahun 2002-2019, saat ini terdapat
deforestasi hampir 1,69 juta hektar dari konsesi HTI dan 2,77 juta hektar kebun sawit.
Selama hutan alam tersisa masih dibiarkan di dalam konsesi, deforestasi di masa depan
akan tetap tinggi. (Berdasarkan data dari Forest Watch Indonesia (FWI), defortasi di
Indonesia memang mengalami peningkatan dari sebelumnya 1,1 juta ha pertahun
pada periode 2009-2013, menjadi 1,47 juta ha pertahun periode 2013-2017. Dari
tahun 2017 hingga sekarang, defortasi memang menunjukkan tren penurunan, tapi
bukan karena intervensi dari pemerintah, melainkan karena sumber daya hutan
yang telah habis seperti di Sumatera dan Jawa).
2. Kebakaran hutan diklaim turun 82% di tahun 2020.
Padahal penurunan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) 2020 jika dibandingkan
2019 yang mencapai 296.942 hektar ini adalah angka kebakaran yang luasnya setara
dengan 4 kali luas DKI Jakarta. Penurunan ini juga disebabkan gangguan anomali
fenomena La Nina bukan sepenuhnya hasil upaya langsung pemerintah. Pemerintah tidak
boleh menganggap sepele angka tersebut, sebab ongkos sesungguhnya harus ditinjau dari
masalah kesehatan masyarakat, biaya penanggulangan, kerugian ekonomi, dan kerusakan
lingkungan yang sangat besar. (Menurut Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia
(FWI) Mufti Bahri, pernyataan oleh presiden Jokowi benar namun kurang adil
karena pada tahun 2019 itu terjadi El Nino yang menyebabkan kekeringan dan
kebakaran luas. Seharusnya dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Jika
dibandingkan dengan tahun 2017 maka mengalami peningkatan, dan jika
dibandingkan dengan 2020 mengalami sedikit penurunan).
3. Indonesia disebut telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar
sampai di 2024.
Indonesia memiliki ekosistem mangrove terluas di dunia yaitu 3.489.140,68 ha (tahun
2015) yaitu 23% dari ekosistem mangrove dunia.Namun lebih dari setengah dalam
kondisi rusak yaitu seluas 1.817.999,93 Ha. Rencana pemerintah untuk merestorasi hutan
mangrove seluas 600.000 ha di tahun 2024 terdengar sangat hebat, tetapi jika
dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai 1,8 juta
hektar, hal ini tidak ambisius mengingat hutan mangrove mempunyai fungsi ekologi yang
sangat vital bagi kawasan pesisir yang saat ini sedang menghadapi ancaman krisis iklim.
Selain itu, hal ini sepertinya bertolak belakang dengan kebijakan utama Pemerintah
Indonesia yang saat ini lebih mengutamakan laju investasi yang telah menyebabkan
masifnya pembangunan kawasan industri dan infrastruktur di kawasan pesisir. Kebijakan
utama ini akan mengorbankan dan merusak ekosistem mangrove yang masih ada, dan
juga akan menghambat laju pertumbuhan mangrove yang sedang direhabilitasi karena
rehabilitasi mangrove membutuhkan kondisi lingkungan yang baik. (Menurut Manager
Kampanye Pangan Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana menilai
target presiden RI itu sangat berlebihan bila merujuk pada kondisi di lapangan.
Pasalnya, keseriusan pada implementasinya belum terlihat sejauh ini. Beliau juga
menjelaskan salah satu kebijakan yang menunjukkan tidak adanya kesungguhan
pemerintah dalam rehabilitasi mangrove yaitu dengan adanya pasal 35 omnibus
law UU Cipta Kerja. Salah satu ketentuan pasal tersebut yaitu dihapusnya batas
minimun 30% kawasan hutan).
4. Presiden Jokowi menyebutkan, Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis
antara 2010-2019.
Capaian ini perlu dipertanyakan ulang mengingat terdapat peningkatan laju deforestasi
seperti yang disebutkan sebelumnya di atas. Padahal Indonesia sudah berkomitmen untuk
menekan laju deforestasi. Walaupun ada klaim penurunan laju deforestasi dari
pemerintah dalam 2 tahun terakhir, angka itu menjadi kurang berarti karena adanya
pergeseran area-area terdeforestasi dari wilayah barat ke wilayah timur (Papua). Nasib
komitmen moratorium sawit yang tidak jelas sampai saat ini menjadi sinyal perlunya
peningkatan target perbaikan tata kelola hutan. Hasil analisis Greenpeace Indonesia dan
The Tree Map menemukan seluas 3,12 juta ha perkebunan sawit ilegal dalam kawasan
hutan hingga akhir tahun 2019, setidaknya terdapat 600 perusahaan perkebunan di dalam
kawasan hutan, dan sekitar 90.200 ha perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan
konservasi. (Menurut Data Direktorat Jendral PDASHL menunjukkan luas lahan
kritis di Indonesia terus menurun. Tahun 2018, luas lahan kritis tercatat seluas
14,01 juta hektar. Sebelumnya oada tahun 2009 tercatat berada pada angka 30,1
juta hektar dan tahun 2014 seluas 27,2 juta hektar).
5. Pemerintah menyebutkan, sektor kehutanan dan lahan yang semula menyumbang 60%
emisi Indonesia akan mencapai carbon net sink pada 2030.
Sudah saatnya Indonesia untuk segera mengakhiri deforestasi, didukung oleh undang-
undang dan kebijakan yang ketat, yang mengakui hak atas tanah masyarakat adat,
melindungi hutan secara total, juga menghilangkan deforestasi melalui rantai pasokan
industri berbasis lahan. Masyarakat adat dan praktek pengelolaan berkelanjutan terhadap
sumberdaya alam adalah solusi untuk krisis iklim. Hak-hak masyarakat adat dan lokal
harus menjadi inti dari semua kebijakan perlindungan alam. (Benar, menurut paparan
Menteri Lingkungan Hidup dan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim
(DNPI) Rachmat Witoelar indonesia akan fokus pada sektor kehutanan, pertanian,
transportasi, bangunan, dan semen. Dari sektor ini, indonesia berpeluang
mengurangi gas rumah kaca sebesar 2,3 ton pada 2030).
6. Terkait sektor energi, pemerintah menjalankan pengembangan ekosistem mobil listrik.
Sektor kelistrikan Indonesia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil, khususnya
batu bara. Bauran energi batu bara pada kelistrikan saat ini mencapai 67% dan tetap
mendominasi hingga tahun 2030, yaitu sebesar 59%. Untuk itu, jika pengembangan
mobil listrik tersebut dilakukan dengan kondisi jaringan yang masih brown, maka tujuan
pengurangan emisi secara signifikan tidak akan tercapai karena hal tersebut sama saja
dengan memindahkan emisi dari sektor transportasi ke sektor pembangkitan listrik.
Selain itu, Indonesia juga dihadapkan dengan permasalahan oversupply listrik yang
mencapai 45% di Pulau Jawa-Bali dan 55% di Pulau Sumatera dan juga pembangunan
PLTU batu bara baru sebesar 12,5 Gigawatt di wilayah-wilayah tersebut. Apabila
ekosistem mobil listrik dibuat hanya untuk menyerap kelebihan pasokan listrik dari
energi kotor batu bara, maka Indonesia akan semakin jauh dari pencapaian target Paris
Agreement. (Menurut Union Of Concerned Scientists, mobil listrik ini belum tentu
sepenuhnya ramah lingkungan daripada mobil konvensional. Sampai batas tertentu
mobil listrik mungkin saja mobil listrik justru menghasilkan lebih banyak emisi
karbon dibandingkan mobil konvensional).
7. Pemanfaatan energi baru dan terbarukan termasuk biofuel.
Biofuel merupakan solusi semu bagi transisi energi, karena akan menaikkan laju
deforestrasi untuk pemenuhan produksi dan akan memperlebar penyelewengan
penggunaan dana pemulihan ekonomi kepada subsidi minyak bumi dan kegiatan
ekstensifikasi lahan bagi industri berbasis kelapa sawit atau biomassa (wood pellet, dsb).
Jika melihat dari program biodiesel pemerintah yang berbasis minyak sawit, biodiesel
yang level blending 30%, akan memerlukan 5,2 juta Ha di atas 16 juta Ha perkebunan
sawit yang sudah ada, jika menggunakan skenario tambahan blending 50% maka akan
ada penambahan 9 juta Ha pada tahun 2025 di atas perkebunan sawit yang sudah ada.
(Menurut Iqbal Damanik pengkampanye hutan, target biofel yang di Indonesia
pasti berfokus pada sawit, dan itu akan membutuhkan sekitar sembilan juta
perkebunan sawit baru. Menurutt laporan UNEP tahun 2007, sekitar 98 persen
hutan indonesia akan lenyap pada tahun 2022 akibat pembalakan legal dan ilegal).
8. Pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.
Presiden Jokowi di dalam pidatonya masih terjebak pada proyek-proyek rekor seperti
PLTS terbesar dan kawasan industri hijau terbesar. Indonesia seharusnya menempuh
transisi ke ekonomi hijau dalam bentuk perubahan kebijakan mendasar, dan
implementasinya seperti transisi energi secara masif dan cepat, untuk mencapai zero
emission di 2050. Hal ini menunjukkan Presiden Jokowi belum memiliki komitmen
serius dan masih menjadikan isu krisis iklim sebagai isu pinggiran dan solusinya sebagai
gimmick.
9. Carbon market dan carbon price harus menjadi bagian dari upaya penanganan isu
perubahan iklim.
Greenpeace secara tegas menolak rencana penyeimbangan karbon atau carbon offset,
karena kami berpandangan ini adalah solusi palsu bagi iklim, yang hanya akan
memindahkan tanggung jawab, dibanding penurunan emisi karbon secara langsung dan
masif yang harus dilakukan segera oleh industri ekstraktif. Sebaliknya, negara-negara di
dunia termasuk Indonesia juga harus melakukan perubahan mendasar untuk mencapai
zero emission yang sebenarnya melalui transisi hijau. (Menurut Direktur Eksekutif
Nasional Walhi Zenzi Suhadi, skema perdagangan karbon dan offset emisi tidak
lebih dari sekedar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta
menjadi skema greenwashing bagi koprasi perusak lingkungan. Sementara
perusahaan jasa profesional multinasional, PricewaterhouseCoopers atau PwC
dalam analisisnya bersama Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebut, penetapan
harga karbon global dapat mengurangi emisi dunia sebesar 12%. Dengan demikian,
carbon pricing dapat menjadi alat untuk mempercepat dekarbonasi).

Anda mungkin juga menyukai