Anda di halaman 1dari 7

Paradoks Rezim Politik Lingkungan dan Penghancuran Masyarakat Adat Papua

indoprogress.com/2023/10/penghancuran-masyarakat-adat-papua/

23 Oktober 2023

1/7
2/7
Ilustrasi: illustruth

ISU lingkungan pada abad ke-21 ini sudah menjadi “tata bahasa baru” dan perhatian negara-negara dunia. Revolusi industri Eropa abad ke-18
menghasilkan perubahan besar berupa sistem pabrik. Seiring perkembangannya, produksi yang semula mengandalkan tenaga kerja manusia
dan makhluk hidup lain beralih pada tenaga mesin berbasis manufaktur lalu disusul dengan berbagai teknologi terbarukan. Kondisi ini
berdampak langsung pada iklim global yaitu munculnya gas rumah kaca (GRK). GRK terutama disebabkan oleh endapan gas pabrik seperti
karbon dioksida (C02), metana (CH4), dan nitrous oksida (N20) pada atmosfer sehingga menyebabkan panas laiknya di dalam rumah
berkaca.

3/7
Kekhawatiran masyarakat terhadap perubahan iklim ditandai dengan dibentuknya badan khusus di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
bernama UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) (Nugroho, 2004). Sidang pertama atau Conference of the Parties/COP1
diadakan di Berlin, Jerman, tahun 1995, juga dikenal dengan nama Mandat Berlin. Hasil pertemuan memberikan mandat kepada para pihak
agar segera meluncurkan serangkaian rencana pembicaraan untuk memperjelas komitmen negara-negara maju—daftarnya diberi nama
“Annex I”. Untuk keperluan menyusun perjanjian, dibentuk pula Ad-Hoc on Berlin Mandate (AGBM).

Setelah delapan kali bersidang, AGBM menghasilkan sebuah teks penting yang diajukan pada COP3 di Kyoto, Jepang, pada 1997. Hasilnya
adalah Protokol Kyoto. Protokol Kyoto merupakan landasan hukum negara-negara Annex-I untuk mengurangi gabungan emisi GRK paling
sedikit 5 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada 2008-2012.

Dalam pertemuan tersebut, negara berkembang tidak diwajibkan menurunkan emisi (Murdiyarso, 2003). Meski begitu, mereka tetap terlibat.
Pertimbangan ekonomi-politik adalah alasan yang paling mungkin untuk menjelaskan keadaan semacam ini. Kepentingan itu salah satunya
tercermin dalam mekanisme perdagangan karbon (emission carbon trading). Contohnya tidak lain adalah Indonesia. Meski tak mempunyai
obligasi dalam penurunan emisi, namun secara ekonomi-politik Indonesia berkepentingan untuk memanfaatkan kerangka kerja sama
semacam ini dengan sejumlah negara Annex I. Mekanismenya mampu mendatangkan profit melalui berbagai skema pendanaan hutan hujan
tropis.

COP3 menghasilkan tiga mekanisme penting pencegahan perubahan iklim. Pertama, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development
Mechanism, CDM); kedua, Joint Implementations (JI); dan terakhir adalah Emission Trading (ET). Dari semuanya, hanya CDM yang dianggap
dapat diterapkan di sejumlah negara berkembang. Tapi itu juga ternyata masih belum memberi manfaat langsung (Murdiyarso, 2003). Sebab
itu, sejumlah negara berkembang—termasuk Indonesia—sepakat untuk membahasnya pada COP13 yang diselenggarakan di Bali pada 2007.
Pertemuan itu menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) sebagai peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol
Kyoto.

COP terus bergulir dan terakhir adalah COP27 yang digelar pada 6-18 November 2022 di Mesir.

Dalam Nationally Determined Contribution (NDC), sebuah dokumen penting yang berisi komitmen perjanjian dan upaya tindak lanjut
pengurangan emisi karbon, disebutkan bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam penggunaan lahan demi
mengurangi emisi. Misalnya dengan memoratorium izin baru dan meningkatkan tata kelola hutan alam primer serta lahan gambut, juga
mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, memulihkan fungsi ekosistem, serta pengelolaan hutan yang berkelanjutan. NDC juga secara
eksplisit menjelaskan upaya-upaya perhutanan sosial melalui partisipasi aktif pemerintah daerah, swasta, usaha mikro, organisasi masyarakat
sipil, komunitas adat, dan perempuan baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan.

Sejumlah program dan strategi kunci hingga rencana tindak lanjut mitigasi dan litigasi perubahan iklim pun diutarakan pemerintah dalam NDC.
Salah satunya adalah membangun ketahanan ekonomi (economic resilience) melalui program pengurangan deforestasi dan degradasi hutan.
Tindak lanjutnya meliputi: (1) memperkuat implementasi upaya pengurangan deforestasi; (2) penggunaan berkelanjutan dari produk non-kayu
oleh masyarakat lokal dan adat; (3) identifikasi, pengembangan, dan implementasi praktik terbaik kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber
daya hutan; (4) menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk teknologi ramah lingkungan; dan (5) memfasilitasi, mengawasi,
menegakkan, dan mematuhi implementasi EFT.

Kebijakan lingkungan yang bertolak belakang

Berbagai aksi terkait pentingnya pengarusutamaan kebijakan yang prolingkungan telah dilakukan pada tingkat lokal, nasional, hingga
internasional. Di tingkat internasional, gerakan masif dikampanyekan oleh ratusan orang dewasa dan anak-anak usia sekolah melalui climate
strike action yang berlangsung di sejumlah negara. Pada level nasional, kita bisa menyebut banyak kelompok seperti Greenpeace Indonesia,
PUSAKA Bentala Rakyat, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Masih banyak lagi organisasi yang hirau terhadap problem
lingkungan hidup dan agraria di Indonesia.

Meski banyak yang bergerak, bukan berarti semua dapat diselesaikan dengan mudah. Tak banyak tuntutan-tuntutan yang dilayangkan
kelompok pelestarian lingkungan diselesaikan dengan political will yang kuat oleh pemerintah. Sebaliknya, gerakan-gerakan prolingkungan
justru dianggap mengganggu investasi dalam negeri.

Tidak heran jika kemudian kita justru akan takjub bukan main dalam arti negatif melihat “komitmen etis” Indonesia dalam rezim politik
lingkungan global seperti yang dijabarkan di atas. Takjub sebab itu semua umum diketahui jauh panggang dari api. Regulasi terkait lingkungan
hidup justru tumpang tindih dan bahkan bertolak belakang dengan komitmen-komitmen internasional yang serba bombastis itu.

Salah satunya lewat Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial. UU tersebut dianggap bermasalah dan cenderung melegitimasi praktik
deforestasi di Indonesia terutama di daerah-daerah otonomi baru (Riendy, 2021)—termasuk Papua. Pengaturan terkait clean and clear dalam
izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), misalnya, justru dikendalikan pemerintah pusat. Kebijakan itu termuat dalam pasal-pasal
karet yang terkesan mengabaikan resistansi masyarakat sipil dan komunitas adat. Lantas, bagaimana bisa terjamin tidak ada conflict of
interest antara pemerintah, korporasi, dan oligarki yang selama ini beroperasi di Indonesia dan terutama di Papua?

Bukankah sengketa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti vs Luhut Binsar Pandjaitan adalah pelajaran berharga sekaligus contoh paling
mengerikan bagaimana peliknya persoalan konsesi yang tak berpihak terhadap orang asli Papua sudah terjadi secara struktural? Ada pula
perjuangan suku Auyu di Boven Digoel yang tengah memperjuangkan keadilan hutan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura

4/7
setelah Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Papua mengeluarkan izin bagi perusahaan sawit PT Indo
Asiana Lestari (IAL) di tanah mereka. Izin itu tentu saja mengabaikan komunitas Auyu yang sejak dahulu hidup berdampingan dengan hutan.

Papua memang contoh konkret bagaimana tidak sesuainya komitmen dan kebijakan lingkungan di Indonesia. Gambar dari NASA di atas
adalah kondisi faktual di Papua pada 2002 hingga 2019, yang berubah sebab terjadi penebangan hutan di sepanjang Sungai Digul dekat
Banamepe, sebuah kawasan yang dibuka antara 2011 dan 2016. Masih mengutip NASA, peta ini menunjukkan hutan hujan dataran rendah
dan hutan rawa dibersihkan untuk beberapa perkebunan skala besar.

Menurut Gaveau et al (2021), perkebunan sawit dan jalan di Papua masif dibangun setelah 2011 dan mencapai puncak pada 2015-2016.
Dengan memanfaatkan data satelit, mereka menemukan bahwa sejak 2001 sampai 2019, hutan tua Papua telah dibuka untuk beragam
keperluan. Misalnya perkebunan industri yang berkembang seluas 0,23 juta hektare (setara 28% dari hutan yang hilang) menjadi total 0,28
juta hektare pada 2019 (97% kelapa sawit dan 3% pulp). Sementara jalan Trans-Papua, proyek investasi nasional sepanjang 4.000 km,
meningkat sejauh 1.554 km. Mereka menemukan memang korelasi positif antara ekspansi jalan dan perkebunan.

Sebanyak 82 persen wilayah Boven Digoel bahkan kini telah dikuasai oleh perusahan kayu, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan perkebunan
sawit. Di sana banyak perusahan sawit yang beroperasi. Salah satunya adalah PT Megakarya Jaya Raya yang telah membuka lahan sawit
seluas 40 km persegi. Tentu saja itu bukan sekadar angka apalagi ruang kosong. Hutan Digoel adalah ruang hidup bagi lima suku besar:
Auyu, Muyu, Mandobo, Koroway, dan Kombay. Hutan di Boven Digoel merupakan bagian dari satu kesatuan kawasan hutan hujan tropis di
Papua yang memiliki fungsi vital sosio-ekologis. Perusahan sawit juga telah memicu kekisruhan dengan penduduk lokal sebab mereka
kehilangan area untuk bertani karet dan akhirnya menjadi buruh sawit.

Kondisi ini bertolak belakang dengan moratorium alih fungsi hutan untuk perkebunan dan pertambangan yang dicanangkan oleh Presiden
Joko Widodo. Juga kontraproduktif dengan komitmen Indonesia seperti yang tertuang dalam Perpres No. 62 tahun 2013 tentang Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan dan Lahan Gambut. Perpres tersebut merupakan wujud komitmen pemerintah
untuk mengimplementasikan sejumlah konvensi internasional terkait perubahan iklim global yang telah diratifikasi dan ikut mendorong
partisipasi masyarakat adat sebagai pilar penting dalam upaya pelestarian dan konservasi hutan melalui sejumlah skema.

Dibunuh dengan sawit dan beras

Laut berisi ikan segar dijaring untuk membeli kaleng berisi ikan

5/7
Panen kasbi dari kebun untuk keripik singkong dalam kemasan

Demi sejajar dalam pola sakitnya pangan, bayangkan jika lida saja bisa alami penjajahan

Penggalan puisi yang pernah dilantunkan musisi asal Papua Epo D’Fenomeno di ibu kota di atas mengingatkan saya pada kehidupan orang
Marind, penduduk asli Merauke, yang kini berhadapan dengan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Bagi orang
Marind, MIFEE tak ubahnya tik dema yang akan memusnahkan mereka (Savitri, 2013), Tik dema atau donovanosis adalah penyakit menular
seksual yang disebabkan oleh infeksi bakteri menahun yang melanda orang Marind sejak ekspansi kolonialisme Belanda pada 1902 di
Merauke (Richens, 2022).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Kabupaten Merauke (kini termasuk Provinsi Papua Selatan) adalah penghasil tanaman padi terbesar di
Provinsi Papua. Tahun 2022, panennya mencapai 219.044,44 ton di lahan seluas 54.612,25 hektare atau setara 4,01 ton per hektare. Distrik
Jagebob dan Distrik Kurik berada di tingkat pertama dalam hal luas produksi dan jumlah panen padi sejak 2021. Dua distrik itu adalah basis
permukiman para transmigran yang datang sejak 1960-an. Sementara tanaman perkebunan yang banyak dihasilkan Kabupaten Merauke
adalah sawit dengan produksi sebanyak 170.461.419,08 ton dan luas tanam seluas 87.860,96 hektare. Ulilin merupakan kecamatan dengan
luas tanam terluas, yaitu 53.133,02 hektare.

Penetrasi yang memengaruhi pangan lokal orang Marind ini sebetulnya bukan perihal baru. Sejak Belanda menduduki Papua, Merauke
menjadi salah satu wilayah yang dipersiapkan sebagai basis proyek agrikultur terbesar pada 1947. Belanda mendatangkan para peneliti serta
teknologi pertanian untuk melakukan riset-riset yang mendukung proyek tersebut. Hasilnya, tanaman padi “memiliki potensi” untuk
dikembangkan di daerah Kurik. Belanda juga merencanakan pembangunan sawah seluas 12.000 hektare, terbentang dari Serapu hingga
Nasai, termasuk rencana peternakan sapi.

Di Indonesia, praktik monokultur di pertanian dan perkebunan berikut dampak kerusakan ekosistem alamnya, paling tidak, telah berlangsung
sejak kebijakan Revolusi Hijau di masa Orde Baru. Inilah kebijakan yang memorak-porandakan basis pertanian dan perkebunan rakyat di
berbagai daerah, tak pelak Papua sejak 1960-an. Revolusi Hijau menjadi cikal bakal rezim untuk “meningkatkan” produktivitas hasil pangan
dengan teknologi pertanian modern. Dengan demikian, produksi pangan lokal yang semula bersandar pada alat produksi tradisional
digantikan dengan barang modern—dengan tujuan optimalisasi (W. B. Nugroho, 2018). Logika industri semacam ini yang disebut Jason W.
Moore sebagai paket reformasi yang dirancang untuk mencegah tujuan politik revolusioner dari banyak gerakan petani dan buruh—reformasi
agraria yang menyeluruh. Karena itu, dalam implementasinya, Revolusi Hijau sering kali menjadi program yang otoriter (Patel & Moore, 2018).

Cara inilah yang kini tampak direpetisi oleh pemerintah melalui beragam program dan skema bercorak neo-kolonial. Padi yang bukan pangan
lokal orang Marind justru diklaim sebagai komoditas unggulan Merauke, melampaui sagu, pisang, keladi, dan pangan lokal lainnya.

Upaya untuk menggantikan pangan lokal orang Marind terus digenjot tanpa ampun. Dalam acara bertajuk Budidaya dan Hilirisasi Produk Hasil
Perkebunan, tahun 2022, Sulaeman L. Hamzah, anggota DPR dapil Papua, mengatakan: Kalau Merauke dan tiga kabupaten lainnya di
selatan Papua (Mappi, Asmat, dan Boven Digoel) punya potensi untuk didorong menjadi sentra industri perkebunan. Sulaeman menyebut,
komoditas unggulan selain padi perlu dianggap sebagai salah satu brand daerah. Komoditas yang dia maksud adalah sagu, makanan pokok
orang Papua. Katanya, karena Indonesia memiliki luas hutan sagu terbesar (mencapai 5,6 juta hektare, sementara total hutan sagu di dunia
seluas 6,5 juta hektare) dan Papua sendiri memiliki 4 juta hektare hutan sagu dan terbesar berada di Kabupaten Mappi, maka produksi
didorong menggunakan mesin. Jika diterapkan, maka produksi sagu orang Marind yang bersifat komunal dan bersandar pada pengetahuan
adat rentan tercerabut. Orang Marind tak lagi bakal bersentuhan langsung dengan sagu dan pengetahuan terkait produksi sagu berikut narasi
adat di baliknya juga ikut berubah.

Bagi orang Marind, makanan hutan mengungkapkan identitas budaya dan wilayah serta menegaskan hubungan intim dengan leluhur, juga
hutan yang hidup. Pola makan semacam ini secara rutin dianggap terbelakang secara budaya, evolusioner, dan minim nutrisi oleh negara dan
aktor perusahaan yang bercokol di Merauke (Chao, 2022). Logika “industri” dan “kecepatan” memang kerap dipakai pemerintah untuk
menggaungkan praktik pertanian dan perkebunan modern di Merauke sembari mengaburkan efek destruktifnya. Praktik semacam itu kerap
diselubungi dengan jargon seperti kemajuan, lumbung pangan dunia, dan seterusnya.

Pada masa sebelum menguatnya dominasi beras, orang Papua masih bisa bertahan hidup dengan pangan lokal ketika paceklik menyerang.
Situasi itu hampir tak lagi ada sekarang. Untuk membayangkan diet nasi dan kembali ke pangan lokal saja mungkin terlalu jauh. Hal ini kini
dialami warga Kampung Anggai, Kabupaten Boven Digoel. Bonevasius Hamnagi, seorang kepala marga, dengan raut sedih berkisah bahwa
hasil alam seperti kayu, rotan, dan sagu yang Tuhan berikan rusak seketika. “Kami sedih kalau hutan jatuh [dirusak] begitu saja. Sebab kalau
bukan kita, berarti anak cucu, cece, ke depan [yang akan kesusahan],” katanya dalam video yang dirilis The Gecko Project.

Tanah Papua bukan tanah tak bertuan. Hampir seluruh tanah adalah tanah komunal, yang artinya dimiliki oleh komunitas adat (marga)
tertentu. Namun, negara dan korporasi kerap mereduksinya menjadi objek garapan yang secara gampang dikelola melalui beragam program
dan skema atas nama kesejahteraan. Salah satu skema selain MIFEE yang menjadi jualan internasional di rezim perdagangan karbon adalah
perhutanan sosial. Skema ini kemudian mengatur soal klasterisasi hutan (PP 23/2021): hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman
rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan meski implementasinya tak pernah merasakan trickle down effect. Salah satu penyebabnya
karena terlalu banyak anak tangga birokrasi yang mesti ditempuh oleh masyarakat adat di Papua.

Pada saat yang sama, hutan terus dibabat tanpa ampun. Rusa dan babi hutan lari berhamburan hingga burung kakaktua jatuh dan mati sebab
kehabisan tenaga mencari pepohonan yang menjadi rumahnya.

6/7
Referensi:

Chao, S. (2022). Gastrocolonialism: The intersections of race, food, and development in West Papua. The International Journal of Human
Rights, 26(5), 811–832. https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1968378

Gaveau, D. L. A., Santos, L., Locatelli, B., Salim, M. A., Husnayaen, H., Meijaard, E., Heatubun, C., & Sheil, D. (2021). Forest loss in
Indonesian New Guinea: Trends, drivers, and outlook (p. 2021.02.13.431006). bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2021.02.13.431006

Murdiyarso, D. (2003). Protokol Kyoto: Implikasinya bagi negara berkembang. Penerbit Buku Kompas.

Nugroho, H. (2004). Ratifikasi Protokol Kyoto, Mekanisme Pembangunan Bersih dan Pengembangan Sektor Energi Indonesia: Catatan
Strategis.

Nugroho, W. B. (2018). SOCIAL CONSTRUCTION OF GREEN REVOLUTION IN THE ORDE BARU. SOCA: Jurnal Sosial Ekonomi
Pertanian, 54–62. https://doi.org/10.24843/SOCA.2018.v12.i01.p04

Patel, R., & Moore, J. W. (2018). A history of the world in seven cheap things: A guide to capitalism, nature, and the future of the planet.
University of California Press.

Richens, J. (2022). Tik Merauke An Epidemic Like No Other. Melbourne University Publishing.

Riendy, Y. (2021). Dampak Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Otonomi Daerah Ditinjau Dari Pasal 26 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pamulang Law Review, 4(1), Article 1. https://doi.org/10.32493/palrev.v4i1.12794

Savitri, L. A. (2013). Korporasi & politik perampasan tanah (Cetakan pertama). Insist Press.

Ferdinando Septy Yokit, sedang belajar di Pascasarjana Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

7/7

Anda mungkin juga menyukai