Anda di halaman 1dari 18

Kerusakan Hutan Hujan Primer

Meningkat Sebesar 12% dari Tahun


2019 hingga Tahun 2020
oleh Mikaela Weisse (WRI) dan Elizabeth Goldman (WRI) - 01 April 2021

Penebangan ilegal di lahan adat amazon Pirititi. Kredit foto: Felipe


Werneck/Ibama
Tulisan ini sebelumnya dipublikasikan di Global Forest Review.
Data terbaru dari University of Maryland yang dapat diakses di Global Forest
Watch menunjukkan bahwa daerah tropis kehilangan 12,2 juta hektare
tutupan pohon pada tahun 2020.
Dari luas tersebut, 4,2 juta hektare di antaranya atau setara dengan luas
Belanda berada di dalam hutan primer tropis basah serta sangat penting bagi
penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati. Emisi karbon yang
dihasilkan akibat kehilangan hutan primer (2.64 Gt CO2) setara dengan emisi
tahunan yang dihasilkan oleh 570 juta mobil, lebih dari dua kali lipat jumlah
mobil di jalan raya di Amerika Serikat.
Apa yang dimaksud dengan kehilangan tutupan pohon?
Kehilangan tutupan pohon tidak sama dengan deforestasi. “Tutupan pohon”
dapat mengacu pada pepohonan di perkebunan dan juga hutan alami, dan
“kehilangan tutupan pohon” adalah lenyapnya kanopi pohon karena
manusia atau karena sebab alami, termasuk kebakaran. Penambahan
tutupan pohon tidak diperhitungkan pada data yang disajikan di sini
sehingga bukan merupakan indikasi perubahan bersih.
Akan tetapi, dengan berfokus pada kehilangan tutupan pohon dalam hutan
primer tropis basah yang tidak terganggu, kami dapat menyoroti beberapa
kawasan hutan paling kritis di dunia, di mana deforestasi mungkin memiliki
dampak jangka panjang dan seringkali bersifat permanen terhadap
penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati.
Kehilangan hutan primer pada tahun 2020 lebih tinggi 12% dibandingkan
tahun sebelumnya dan merupakan tahun kedua secara berturut-turut di mana
kehilangan hutan primer semakin parah di daerah tropis.
Tahun 2020 seharusnya akan menjadi tahun penting dalam perang melawan
deforestasi – tahun di mana
banyak perusahaan, negara dan organisasi internasional berkomitmen untuk
mengurangi separuh atau sepenuhnya menghentikan kehilangan hutan.
Kehilangan hutan tropis primer yang terus berlanjut menunjukkan bahwa
umat manusia telah gagal memenuhi target ini.
Apa dampak dari COVID-19 terhadap hutan dunia?
Data yang tersedia tidak mengungkapkan perubahan yang signifikan dan
sistematis dalam tren kehilangan hutan yang secara jelas terkait dengan
COVID-19. Walaupun demikian, pandemi COVID-19 dan kebijakan
lockdown yang diberlakukan telah mengakibatkan berbagai perubahan di
dunia yang mungkin akan berdampak terhadap hutan.
Salah satu dampak langsung adalah laporan tentang
peningkatan pembalakan liar di kawasan lindung, yang sebagian besar
tertutup bagi umum untuk sementara waktu dan membatasi kegiatan
penjaga hutan. Tren lain yang berkaitan dengan pandemi – seperti
banyaknya penduduk yang kembali ke daerah pedesaan, atau gangguan
terhadap rantai pasokan — akan berdampak terhadap hutan.
Yang lebih penting daripada dampak jangka pendek lockdown dan
pembatasan perjalanan adalah cara negara-negara akan memulihkan
perekonomian mereka setelah pandemi COVID-19. Beberapa negara telah
melonggarkan perlindungan lingkungan untuk kepentingan pemulihan
ekonomi. Pilihan yang diambil oleh negara-negara di dunia, apakah mereka
akan mengambil kesempatan untuk membangun kembali dengan cara yang
lebih melindungi hutan atau malah melakukan penebangan untuk tujuan
pemulihan ekonomi, akan memengaruhi tingkat kehilangan hutan di masa
depan.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, deforestasi yang didorong oleh
produksi komoditas menjadi penyebab utama kehilangan tutupan pohon (baik
di hutan primer maupun sekunder) di Amerika Latin dan Asia Tenggara.
Sementara itu, perladangan berpindah menjadi penyebab utama kehilangan
tutupan pohon di kawasan tropis Afrika. Selain itu, kebakaran dan dampak
terkait iklim lainnya terus memainkan peranan yang signifikan, baik di daerah
tropis maupun sekitarnya.
Penjelasan lebih lanjut tentang beberapa tren kehilangan hutan yang terjadi
pada tahun 2020:

Titik Terang bagi Hutan di Indonesia dan


Malaysia
Walaupun angka deforestasi global sangat mengkhawatirkan, perkembangan
di Asia Tenggara menawarkan titik terang.
Laju kehilangan hutan primer Indonesia menurun selama empat tahun
berturut-turut pada tahun 2020 dan Indonesia menjadi salah satu dari sedikit
negara yang berhasil mencapai hal ini. Untuk pertama kalinya, Indonesia juga
tidak lagi menjadi salah satu dari tiga negara teratas berdasarkan tingkat
kehilangan hutan primer sejak pengumpulan data dimulai.
Berbagai inisiatif nasional dan daerah tampaknya memiliki dampak jangka
panjang dalam mengurangi kehilangan hutan primer. Setelah kebakaran
hutan dan gambut skala besar pada tahun 2015, Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Indonesia meningkatkan upaya pemantauan dan
pencegahan kebakaran. Pemerintah untuk sementara waktu menghentikan
penerbitan izin baru untuk perkebunan kelapa sawit dan
memberlakukan moratorium permanen untuk konversi hutan primer dan
lahan gambut

Reformasi agraria dan perhutanan sosial telah mengurangi tekanan terhadap


hutan dengan mengentaskan kemiskinan dan mendorong tata guna lahan
yang berkelanjutan. Mandat Badan Restorasi Gambut, yang bertanggung
jawab untuk melindungi dan memulihkan lahan gambut yang kaya
karbon, diperpanjang pada tahun 2020 dan kini mencakup hutan mangrove
sebagai ekosistem penting untuk keanekaragaman hayati dan mengurangi
dampak cuaca ekstrem. Belum lama ini, banyak pemerintah daerah juga telah
menyatakan komitmen untuk menerapkan tata guna lahan berkelanjutan
yang didukung oleh peraturan untuk mengurangi deforestasi di masa depan.
Malaysia juga mengalami penurunan angka kehilangan hutan primer selama
empat tahun berturut-turut. Walaupun tren baru ini merupakan kabar baik,
Malaysia telah kehilangan hampir seperlima dari hutan primernya sejak tahun
2001 dan sepertiga dari hutan primernya sejak tahun1970-an. Tren
penurunan baru-baru ini dan aksi pemerintah sangat menjanjikan untuk
upaya pelestarian hutan yang tersisa. Malaysia menetapkan pembatasan
selama lima tahun untuk area perkebunan pada tahun 2019
dan berencana untuk memperkuat undang-undang kehutanan dengan
menaikkan denda dan hukuman penjara untuk pembalakan liar.
Selain inisiatif pemerintah untuk mengurangi kehilangan hutan primer di
Indonesia dan Malaysia, komitmen perusahaan di sektor pulp dan kertas serta
sektor kelapa sawit mungkin dapat mengurangi deforestasi. Komitmen Tanpa
Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi (NDPE) kini telah
diterapkan oleh lebih dari 80% industri pulp dan kertas di Indonesia dan 83%
dari kapasitas penyulingan minyak kelapa sawit di Indonesia dan Malaysia.
Roundtable on Sustainable Palm Oil memperketat persyaratan sertifikasi
berkelanjutan pada tahun 2018 dengan memasukkan larangan deforestasi
atau pembukaan lahan gambut.
Seperti apa data kehilangan Global Forest Watch jika
dibandingkan dengan data estimasi resmi dari Indonesia?
Data resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menunjukkan kehilangan hutan bruto tahunan sebesar 119.000
hektare pada bulan Juni 2019-Juli 2020 dan penurunan sebesar 75% dari
periode pelaporan 2018/2019 hingga 2019/2020. Walaupun selisihnya
tampak besar dibandingkan dengan 270.000 hektare dan penurunan
sebesar 17% yang dicapai pada tahun 2019-2020 yang dilaporkan oleh
University of Maryland (UMD), selisih ini dapat dijelaskan melalui
pembahasan perbedaan metodologi dan definisi antara kedua dataset
tersebut.
KLHK menggunakan persyaratan luas minimum 6,25 hektare, periode
pelaporan Juli hingga Juni, dan interpretasi visual citra satelit untuk
mengidentifikasi deforestasi. Data UMD mencakup kehilangan hutan lebih
besar dari 0,1 hektare; apabila kawasan dengan luas kurang dari 6,25 ha
dalam data UMD 2020 tidak diikutsertakan maka total kehilangan menjadi
123.000 hektare, lebih mendekati estimasi KLHK. Data UMD juga
menggunakan tahun kalender, sehingga data tersebut mencakup paruh
kedua tahun 2020, periode yang lebih kering dengan lonjakan kehilangan
hutan di akhir tahun.
Terakhir, perbedaan persentase penurunan juga diakibatkan oleh
perbedaan definisi. Statistik KLHK mencakup kehilangan hutan alam dan
hutan tanaman industri, sementara UMD hanya mencakup kehilangan
hutan primer, yang tingkatnya setara dengan kawasan hutan alam KLHK.
Sebagian besar penurunan dalam statistik KLHK terjadi di area
perkebunan. Dengan hanya menggunakan hutan alam, data KLHK
menunjukkan penurunan sebesar 38%, lebih dekat dengan penurunan
sebesar 17% dalam data UMD.

Mengembangkan Kemajuan Indonesia dan


Malaysia
Walaupun ada alasan untuk merayakan penurunan kehilangan hutan primer,
Indonesia dan Malaysia harus melakukan lebih banyak upaya untuk
melanjutkan dan memperkuat kebijakan yang ada untuk memastikan bahwa
tren ini terus berlanjut, termasuk memperpanjang moratorium izin
perkebunan kelapa sawit yang akan berakhir pada tahun 2021. Kondisi iklim
dan pasar regional mungkin turut berkontribusi mengurangi tekanan pada
hutan – tapi kondisi ini dapat berubah dan, tanpa langkah yang tepat, dapat
menghilangkan kemajuan yang telah dicapai.
Cuaca basah di tahun 2020 turut mencegah penyebaran kebakaran tak
terkendali di tahun-tahun di mana cuaca kering. Harga minyak sawit mentah,
yang berhubungan dengan lonjakan kehilangan hutan di Indonesia pada
tahun 2009 dan 2012 kembali naik ke tingkat yang sama seperti tahun
2012 setelah sempat menurun. Upaya pemantauan kebakaran dan komitmen
NDPE akan berperan penting dalam mencegah peningkatan kehilangan hutan
primer di masa depan ketika kondisi iklim dan pasar berubah.
Penanggulangan pandemi virus COVID-19 juga dapat berdampak negatif
terhadap hutan di Indonesia. Akibat COVID-19, Indonesia mempercepat dan
mengesahkan UU Cipta Kerja untuk mendorong penciptaan lapangan kerja
dan pertumbuhan ekonomi dengan pelonggaran UU Lingkungan Hidup yang
dapat merusak hutan. Indonesia juga meluncurkan program food estate untuk
mengatasi krisis pangan yang berpotensi terjadi akibat dari pandemi, program
ini dikecualikan dari moratorium hutan dan mengancam lahan gambut dan
hutan lindung di Kalimantan Tengah melalui pembukaan lahan pertanian
baru untuk beras dan tanaman pokok lainnya.
Sayangnya, tren penurunan kehilangan hutan primer di Indonesia dan
Malaysia tidak terjadi di negara-negara Asia Tenggara
lainnya. Kamboja, Laos dan Myanmar terus mengalami kehilangan hutan
primer pada tingkat yang sama atau lebih tinggi.

Brasil Berada pada Tingkat Paling Tinggi


dalam Peringkat Kehilangan Hutan Primer,
Akibat Kebakaran dan Penggundulan
Hutan
Brasil kembali menduduki peringkat teratas dari segi kehilangan hutan primer
tahunan dengan total kehilangan 1,7 juta hektare pada tahun 2020, lebih dari
tiga kali lipat jumlah kehilangan hutan di negara peringkat berikutnya.
Kehilangan hutan primer di Brasil meningkat 25% pada tahun 2020
dibandingkan tahun sebelumnya.

Sebagian besar kehilangan hutan primer basah di negara tersebut terjadi di


Amazon Brasil, yang meningkat 15% dari tahun lalu, dengan total 1,5 juta
hektare. Ini sesuai dengan tren yang tercermin pada data pemerintah, yang
secara khusus melacak penggundulan hutan berskala besar di Amazon
(dapatkan informasi lebih lanjut tentang perbedaan antara kedua sumber data
ini di sini). Pembukaan lahan baru banyak ditemukan di ujung selatan dan
timur Amazon (dikenal sebagai “busur deforestasi”) dan di sepanjang jalan
raya yang membelah hutan hujan Amazon, beberapa di antaranya bahkan
dijadwalkan untuk perluasan dan pengerasan jalan di masa mendatang.
Data tersebut juga menunjukkan beberapa bekas kebakaran. Amazon Brasil
bahkan mengalami lebih banyak kebakaran pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tahun 2019. Kondisi ini memprihatinkan karena kebakaran besar
jarang terjadi secara alami di hutan tropis basah seperti Amazon.

Pada tahun 2019, sebagian besar kebakaran tersebut terjadi di daerah yang
sudah ditebang, di mana para petani menyiapkan lahan untuk pertanian dan
penggembalaan ternak. Akan tetapi, sebagian besar kebakaran di dalam
hutan pada tahun 2020 diakibatkan oleh api yang dinyalakan oleh manusia
dan menjadi tidak terkendali karena cuaca yang kering.

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kebakaran hutan di Amazon
terkadang melebihi emisi yang dihasilkan dari penggundulan hutan. Para
ilmuwan merasa khawatir bahwa kebakaran dan emisi terkait dapat
meningkat di masa depan karena perubahan iklim dan deforestasi membuat
hutan semakin kering dan lebih rentan terhadap kebakaran. Akumulasi
dampak ini berpotensi mengubah Amazon menjadi sabana.
Tingkat deforestasi dan kebakaran di Amazon tetap tinggi walaupun
ada larangan pembakaran selama puncak musim dan penugasan militer untuk
mengurangi deforestasi ilegal. Penugasan tersebut dijadwalkan
akan berakhir pada tanggal 30 April 2021 dan tanggung jawab atas tugas
tersebut akan dikembalikan ke lembaga penegak hukum federal yang
mengalami pemotongan anggaran pada tahun 2021. Amazon bukanlah satu-
satunya bioma di Brasil yang mengalami peningkatan kehilangan hutan
primer basah pada tahun 2020. Walaupun hanya setara dengan sebagian kecil
dari total kehilangan hutan di Brasil, tingkat kehilangan hutan primer di
Pantanal, lahan basah tropis terbesar di dunia, meningkat 16 kali lipat pada
tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya.
Lonjakan ini terjadi karena adanya tingkat kebakaran yang memecahkan
rekor. Seperti halnya di Amazon, sebagian besar kebakaran yang terjadi di
Pantanal pada tahun 2020 berasal dari kegiatan pembukaan lahan oleh
masyarakat, tetapi kegiatan tersebut menjadi tidak terkendali pada tahun
2020 karena terjadinya kekeringan paling parah sejak tahun 1970-an.
Deforestasi di bagian-bagian lain Amerika Selatan mungkin
turut berkontribusi terhadap kekeringan di Pantanal dan perubahan
iklim kemungkinan akan membuat peristiwa ekstrem lebih sering terjadi.
Para pakar memperkirakan bahwa sekitar 30% area Pantanal terbakar pada
tahun 2020, termasuk beberapa kawasan lindung. Beberapa wilayah adat
terbakar, sehingga beberapa suku, seperti Guató tidak memiliki akses
terhadap bahan pangan atau air bersih. Kebakaran juga berdampak sangat
buruk terhadap keanekaragaman hayati, di mana ribuan hewan terbunuh atau
terluka akibat kebakaran, termasuk jaguar dan spesies rentan lainnya.
Walaupun dampak jangka panjang yang ditimbulkan masih belum diketahui
dengan jelas, kebakaran pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya
ini mungkin membuat beberapa wilayah di Pantanal tidak bisa pulih hingga
beberapa dekade mendatang.

Kebakaran yang terjadi di lahan basah Pantanal pada tahun 2019. Kebakaran terus terjadi
pada tahun 2020 hingga menimbulkan lonjakan besar kehilangan hutan di Pantanal. Foto
oleh Chico Ribiero/Governo Mato Grosso.

Bolivia, Kolombia, dan Peru Mengalami


Kehilangan Hutan yang Tinggi
Kondisi hutan di daerah-daerah lain di Amerika Selatan tidak jauh lebih baik.
Meskipun tingkat kehilangan hutan primer sedikit menurun dari tahun
sebelumnya, Bolivia kini menempati peringkat ketiga negara dengan tingkat
kehilangan hutan primer tropis basah paling tinggi pada tahun 2020 dan
melampaui Indonesia untuk pertama kalinya. Sama seperti pada tahun 2019,
kebakaran hutan merupakan penyebab utamanya. Secara khusus, kebakaran
juga terjadi di beberapa kawasan lindung, termasuk Taman Nasional Noel
Kempff Mercado. Seperti Brasil, sebagian besar kebakaran di Bolivia
kemungkinan besar berawal dari pembakaran untuk pembukaan lahan oleh
masyarakat, yang kemudian tidak terkendali karena kekeringan dan cuaca
panas. Pertanian skala besar juga berpengaruh terhadap hutan, termasuk
pembukaan banyak lahan baru di Santa Cruz.
Sementara itu, tingkat kehilangan hutan primer di Kolombia meningkat pada
tahun 2020 setelah sempat menurun pada tahun sebelumnya.

Kolombia memiliki tingkat kehilangan hutan primer yang tinggi setelah


perjanjian damai antara pemerintah dan Angkatan Bersenjata Revolusioner
Kolombia (FARC) di tahun 2016 menyebabkan kekosongan kekuasaan pada
kawasan hutan yang sebelumnya dikuasai pemerintah. Data tahun
2019 memberikan secercah harapan bahwa Kolombia mungkin sudah berhasil
menghambat tingkat kehilangan hutan primer, tetapi sayangnya tingkat
kehilangan pada tahun 2020 kembali naik ke tingkat yang sama seperti pada
tahun 2017 dan 2018. Sementara itu, pemerintah Kolombia telah secara
terbuka meningkatkan ambisi terkait deforestasi, menetapkan target bebas
deforestasi pada tahun 2030 sebagai bagian dari komitmennya untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 51% dalam periode yang sama.
Deforestasi terus terjadi di dalam hutan hujan Amazon Kolombia,
serta beberapa kawasan lindung seperti Taman Nasional Chiribiquete,
Tinigua, dan Sierra de la Macarena. Kelompok bersenjata telah mengambil
alih beberapa kawasan lindung Kolombia. Para staf terpaksa meninggalkan 10
taman nasional pada bulan Februari 2020 karena ancaman terhadap
keselamatan mereka.
Peru, menempati peringkat kelima dalam tingkat kehilangan hutan tropis,
ojuga mengalami peningkatan kehilangan hutan pada tahun 2020. Sebagian
besar dari kehilangan hutan yang terjadi sepertinya diakibatkan oleh
pembukaan lahan skala lebih kecil, kemungkinan besar untuk pertanian dan
penggembalaan ternak. Data tersebut juga menunjukkan sejumlah jalur
penebangan baru di hutan hujan Amazon Peru pada tahun 2020. Secara
historis, negara ini memiliki tingkat pembalakan liar yang tinggi.
Penambangan emas sebelumnya juga menjadi faktor pendorong utama
deforestasi di bagian selatan Peru, tetapi tampaknya melambat pada tahun
2019 dan 2020 berkat intervensi pemerintah.

Sektor Pertanian Meningkatkan Kehilangan


Hutan di DAS Kongo
Tingkat kehilangan hutan primer di Gabon, Republik Demokratik
Kongo, Republik Afrika Tengah dan Guinea Khatulistiwa berfluktuasi dalam
beberapa tahun terakhir, tetapi kehilangan hutan meningkat secara signifikan
di Kamerun, hingga hampir dua kali lipat pada tahun 2020 dibandingkan
dengan tahun 2019. Peningkatan ini terutama didorong oleh perladangan
berpindah skala kecil di bagian selatan Republik Demokratik Kongo.

Walaupun faktor pendorong perluasan pertanian sulit diidentifikasi dengan


akurat, hal ini mungkin terkait dengan migrasi perkotaan-pedesaan terkait
dengan kehilangan pekerjaan akibat pandemi dan kenaikan harga komoditas,
khususnya kakao dan kelapa sawit.
Republik Demokratik Kongo (DRC) kehilangan 490.000 hektare hutan primer
pada tahun 2020, tingkat kehilangan tertinggi kedua di seluruh dunia setelah
Brasil. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, sebagian besar kehilangan
hutan terus terjadi karena perluasan perladangan berpindah skala kecil dan
pembakaran kayu, termasuk produksi arang.
Pemerintah DRC serta semua pemangku kepentingan lokal, nasional, dan
internasional masih perlu melakukan banyak hal agar dapat mengidentifikasi
akar penyebab kehilangan hutan dan meningkatkan kapasitas untuk
menemukan solusi. Kehilangan hutan primer di masa depan dapat dicegah
dengan memperbaiki praktik pertanian sehingga petani dapat memperoleh
hasil yang lebih tinggi di daerah yang sudah dibudidayakan alih-alih
mengubah hutan primer menjadi lahan pertanian. Restorasi kawasan yang
terdegradasi, praktik penebangan berkelanjutan, peraturan mengenai
pembakaran kayu dan akses ke energi bersih juga akan semakin mengurangi
tekanan terhadap hutan yang tersisa.
Apa Dampak Perubahan Iklim terhadap
Hutan?
Selain kehilangan hutan yang sebagian besar disebabkan oleh manusia di
negara-negara yang disebutkan di atas, hutan juga menghadapi banyak
gangguan terkait iklim pada tahun 2020, baik di hutan tropis primer basah
maupun jenis hutan lainnya. Kebakaran, yang dipicu oleh kekeringan
regional, telah mengakibatkan lonjakan kehilangan hutan di berbagai tempat
seperti Pantanal Brasil, Bolivia, Australia, dan Rusia.
Sementara itu, kehilangan tutupan pohon di Amerika Tengah dan Eropa
Tengah meningkat akibat badai dan serangga. Dinamika ini menggarisbawahi
hubungan dua arah antara hutan dan perubahan iklim – hutan tidak
hanya berdampak terhadap iklim melalui penyerapan karbon saat pohon
bertumbuh dan menghasilkan emisi karbon saat pohon ditebang, tetapi hutan
juga dapat mengalami dampak langsung akibat perubahan suhu dan pola
curah hujan.
Di Australia, kebakaran yang terjadi pada akhir tahun 2019 dan awal tahun
2020 meningkatkan kehilangan tutupan pohon hingga sembilan kali lipat
pada tahun 2020 dibandingkan dengan 2018. Cuaca ekstrem kemungkinan
menjadi faktor penyebab lonjakan tersebut dan perubahan iklim
kemungkinan akan semakin meningkatkan kerawanan terhadap kebakaran di
masa depan.
Rusia juga memiliki tingkat kehilangan tutupan pohon yang tinggi pada tahun
2020, sebagian besar karena kebakaran di Siberia. Siberia mengalami suhu
yang sangat tinggi pada musim semi dan musim panas tahun 2020,
kemungkinan besar karena perubahan iklim, yang membuat hutan mengalami
kekeringan dan menimbulkan kebakaran skala besar. Kebakaran juga
terjadi di lahan gambut kaya karbon yang biasanya membeku, sehingga
menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar yang belum pernah terjadi
sebelumnya dan akan memperburuk perubahan iklim.

Sebaliknya, jumlah kebakaran yang terjadi di Kanada pada tahun 2020


justru sangat sedikit, sehingga kehilangan tutupan pohon menurun sebesar
45% dibandingkan tahun 2019. Para pakar menyebutkan bahwa rendahnya
tingkat kebakaran diakibatkan oleh berbagai faktor, seperti cuaca yang lebih
dingin, lebih basah serta pembatasan penggunaan metode pembakaran dan
kendaraan off-road selama masa lockdown COVID-19.
Faktor alam lainnya juga turut berperan pada tahun 2020. Hutan
di Nikaragua mengalami kerusakan akibat Badai Eta dan Iota yang menerpa
wilayah tersebut pada bulan November 2020. Badai-badai tersebut
merupakan bagian dari musim badai paling aktif di Samudra Atlantik
sepanjang sejarah dan perubahan iklim akan berdampak terhadap intensitas
badai dan musim badai yang berlangsung lebih lama dari biasanya.
Terakhir, Eropa Tengah mengalami tingkat kehilangan tutupan pohon yang
belum pernah terjadi sebelumnya pada tahun 2020 dan tahun
sebelumnya, Jerman dan Republik Ceko mengalami peningkatan sebesar tiga
kali lipat dibandingkan dengan tahun 2018. Faktor penyebab utama dari
lonjakan ini adalah kerusakan oleh kumbang kulit kayu, yang menimbulkan
kerusakan yang khas pada pohon yang rentan akibat cuaca panas dan kering
akibat perubahan iklim.

Masa Depan Hutan Ditentukan oleh


Tindakan Yang Diambil Saat Ini
Data terbaru memperjelas bahwa kehilangan hutan terus terjadi dengan
kecepatan yang mengejutkan dan banyak target kehutanan untuk tahun 2020
gagal dicapai.
Situasinya semakin mendesak: dampak perubahan iklim sudah dirasakan,
spesies yang hilang tak terhitung jumlahnya karena krisis kepunahan, dan
pembukaan hutan yang terkait dengan perampasan lahan menimbulkan
dampak permanen terhadap hak, mata pencaharian, dan warisan budaya
masyarakat hutan.

Indonesia dan Malaysia membangkitkan optimisme, tetapi situasi di Brasil


dan negara-negara lainnya menunjukkan bahwa tingkat deforestasi yang
tinggi dapat kembali terjadi jika upaya perlindungan hutan tidak dapat
dipertahankan. Inisiatif untuk membangun kembali perekonomian setelah
pandemi COVID-19 memberikan peluang untuk menata kembali kebijakan
dan perekonomian dengan cara yang melindungi hutan sebelum terlambat.

Bahan pertanyaan

1. Apaitu ekosistem ? Apakah hutan merupakan ekosistem ? beri penjelasan

2. Di ekosistem hutan , komponen abiotik dan biotik apa saja didalamnya?

3. Apa itu deforestasi ?

4. Apa maksudnya kehilangann tutupan pohon ?

5. Indonesia apakah masuk peringkat 3 besar kehilangan hutan primer tahun 2020 ? Tuliskan 5
Peringkat besar yang kerusakan hutan primer tertinggi ?

6. apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, sehingga laju kerusakan hutan primer di Indonesia mulai
berkurang ?

7. Apa Hubungan kerusakan hutan dengan iklim global ?

8. Alasan apa yang menjadi penyebab laju kerusakan hutan di negara negara di dunia masih tinggi ?

Anda mungkin juga menyukai