Anda di halaman 1dari 11

Pengawahutanan[1], penghilangan hutan, penggundulan hutan, atau deforestasi adalah kegiatan

penebangan hutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk
penggunaan nir-hutan (non-forest use)[2], yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.

Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua pohonnya di
suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas (temperate mesic climate),
penebangan semua pohon—sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan
(sustainable forestry)—tepatnya disebut sebagai 'panen permudaan' (harvest regeneration).[3] Di daerah
tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami
maupun akibat manusia.[4] Selain itu, akibat dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami,
termasuk hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang
terjadi secara alami.[5][6]

Pengawahutanan dapat terjadi karena pelbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat
digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat dialihgunakan
sebagai padang rumput untuk ternak, perkebunan untuk barang dagangan (commodity), atau untuk permukiman
(settlement). Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali (reforestation) yang cukup dapat merusak
lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati dan kegersangan (aridity). Penebangan juga
berdampak buruk terhadap penyitaan hayati (biosequestration) karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang
telah ditebang habis biasanya mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.

Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed value),
kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan beberapa alasan
yang memungkinkan terjadinya pengawahutanan secara besar-besaran. Banyak negara di dunia mengalami
pengawahutanan terus-menerus, baik secara alami maupun akibat manusia. Pengawahutanan dapat
menyebabkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan (desertification), dan ketersingkiran penduduk
semula. Perubahan tersebut juga pernah terjadi pada masa lalu dan dapat dibuktikan melalui penelitian rekaman
sisa purba (fossil record).[5]

Akan tetapi, angka pengawahutanan bersih sudah tidak lagi meningkat di antara negara-negara dengan PDB per
kapita yang sedikitnya AS$4.600.[7][8]

Penyebab
Banyak pengawahutanan pada masa kini terjadi karena penyelewengan kuasa pemerintahan (political
corruption) di kalangan lembaga pemerintah,[9][10] ketidakadilan dalam pembagian kekayaan (wealth) dan
kekuasaan,[11] pertumbuhan penduduk[12] dan ledakan penduduk (overpopulation),[13][14] maupun pengkotaan
(urbanization).[15] Kesejagatan (globalization) seringkali dipandang sebagai akar penyebab lain yang
mengakibatkan pengawahutanan,[16][17] meskipun ada pula dampak baik dari kesejagatan (datangnya tenaga
kerja, modal, barang dagangan dan gagasan baru) yang telah menggalakkan pemulihan hutan setempat.[18]

Pada tahun 2000, Perhimpunan Pangan dan Pertanian (FAO) menemukan bahwa "peran keberubahan
penduduk (population dynamics) dalam keadaan setempat dapat berubah-ubah dari sangat berpengaruh hingga
tidak berpengaruh sama sekali," dan pengawahutanan dapat terjadi karena "tekanan penduduk dan kemandekan
keadaan ekonomi (stagnating economic conditions), masyarakat maupun teknologi."[12]

Terjadinya kemerosotan lingkungan alam hutan (forest ecosystem) juga dapat berakar dari dorongan-
dorongan ekonomi yang menonjolkan keuntungan pengalihgunaan hutan daripada pelestarian hutan.[19] Banyak
kegunaan hutan yang penting tidak ada pasaran, maka dari itu, tidak ada nilai ekonomi yang bermanfaat bagi
para pemilik hutan atau masyarakat yang bergantung pada hutan untuk kesejahteraan mereka.[19] Dari sudut
pandang negara berkembang, hilangnya manfaat hutan (sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau cagar
keanekaragaman hayati (biodiversity reserve)), ketika sebagian besar sisa pohonnya dikirim ke negara-negara
maju, merupakan hal yang tidak adil karena tidak ada imbalan yang cukup untuk jasa tersebut. Negara-negara
berkembang merasa beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, telah mendapatkan banyak manfaat dengan
menebang hutannya sendiri berabad-abad yang lalu, dan adalah hal yang munafik apabila negara-negara maju
tidak membiarkan negara-negara berkembang dengan kesempatan yang sama: bahwa negara miskin tidak harus
menanggung biaya pelestarian karena negara kayalah yang telah menciptakan masalahnya.[20]

Para pakar tidak sepakat bahwa pembalakan (logging) besar-besaran bagi perdagangan memainkan peran
penting bagi pengawahutanan sejagat (global deforestation).[21][22] Beberapa pakar berpendapat bahwa orang
miskin lebih cenderung menebangi hutan karena mereka tidak punya jalan keluar yang lain. Ada juga yang
berpendapat bahwa masyarakat miskin tidak mampu membayar bahan dan tenaga kerja yang diperlukan untuk
menebang hutan.[21] Hasil dari salah satu pengkajian pengawahutanan menyatakan bahwa hanya 8%
penebangan hutan beriklim panas terjadi karena peningkatan jumlah penduduk oleh angka kesuburan yang
tinggi (high fertility rate).[23]

Saat ini, kita sedang berada di tengah-tengah upaya global terbesar dalam sejarah untuk menghentikan
deforestasi hutan tropis, yang didorong oleh pentingnya hutan tropis dalam upaya menangani perubahan iklim.
Ada sebuah dimensi baru yang menarik dalam upaya global ini, yaitu pengumuman ratusan perusahaan
mengenai niat mereka untuk mewujudkan pengadaan komoditas yang “bebas deforestasi” terkait apa yang
mereka impor dari negara-negara hutan tropis[i].

Sayangnya, kemajuan yang dicapai tidaklah secepat yang diharapkan; akibatnya, peluang kita untuk
menghindarkan perubahan iklim yang membawa bencana menjadi semakin kecil[ii],[iii].

Di satu sisi, kita memenangkan pertempuran, namun tampaknya akan kalah dalam peperangan. Di dua negara
dengan tingkat deforestasi yang sangat tinggi, yakni Indonesia dan Brasil, luas hutan yang hilang akibat
ekspansi kelapa sawit dan kedelai telah berkurang. Akan tetapi, laju hilangnya hutan justru tetap atau cenderung
meningkat (Gambar 1). Deforestasi di wilayah Amazon Brasil pada tahun 2017 terhitung 64% lebih rendah
dibandingkan rata-rata deforestasi dari tahun 1996 hingga 2005. Namun, titik terendah telah dicapai pada tahun
2012 dan sejak saat itu deforestasi kembali merangkak naik hingga saat ini. Di Indonesia, deforestasi belum
memperlihatkan kecenderungan menurun, baik di tingkat nasional maupun di wilayah Kalimantan.

Sebagaimana telah disimpulkan sebelumnya[iv], penyesuaian strategi sangatlah dibutuhkan. Tujuan untuk
menghentikan dan memutarbalik laju deforestasi harus dirajut ke dalam agenda dan narasi yang lebih luas, yang
dapat memenangkan suara bagi para pemimpin bernyali yang mendukung pembangunan berkelanjutan di
wilayah-wilayah hutan tropis. Strategi tersebut haruslah juga memberikan pengakuan dan ganjaran positif untuk
para petani, komunitas, dan bisnis yang tengah beralih ke sistem produksi yang berkelanjutan di tingkat tapak.
Yang terakhir, strategi tersebut harus dapat menjawab kemunduran anti-lingkungan di berbagai sektor pertanian
di negara-negara hutan tropis, yang paling terkenal misalnya Frente Parlamentar da Agropecuaria (Bancada
Ruralista), blok politik terkuat di parlemen Brasil. Ketiga hal ini tentunya saling terkait satu sama lain. Esai ini
memfokuskan diri pada aksi pemerintah yang seringkali terlupakan.

Kami akan mengawali esai ini dengan satu peringatan: jumlah pemimpin politik yang telah berkomitmen untuk
mendorong yurisdiksi hutan tropis mereka menuju keberlanjutan dan pembangunan hijau masih relatif kecil.
Strategi mereka pun masih cukup rapuh. Salah satu asumsi esai ini adalah apabila para pemimpin politik ini
berhasil, yang lain akan mengikuti jejak mereka.

Strategi apa saja yang telah berhasil memperlambat deforestasi?

Kisah sukses terbesar di dunia dalam menurunkan deforestasi datang dari wilayah Amazon Brasil, di mana
deforestasi berhasil ditekan hingga 60-80% di bawah rata-rata historis sejak tahun 2009 (Gambar 1). Penurunan
ini bukanlah disebabkan oleh habisnya hutan di Amazon. Delapan puluh persen hutan di wilayah tersebut masih
berdiri tegak. Pemerintah Brasil mengembangkan sistem kinerja yurisdiksional untuk mencapai penurunan
deforestasi ini[v]. Pemerintah menetapkan target penurunan deforestasi sebesar 80% hingga tahun 2020 untuk
seluruh wilayah Amazon Brasil. Pemerintah juga mengembangkan berbagai insentif untuk mewujudkan target
tersebut. Dan lagi, mereka memonitor, melaporkan, dan memverifikasi kemajuan pencapaian target penurunan
deforestasi melalui sistem yang dapat diandalkan dan transparan. Strategi ini memang masih jauh dari
sempurna. Strategi ini sangat menitikberatkan hukuman dan kurang memberikan insentif, yang menjadi salah
satu alasan kembali meningkatnya deforestasi (Gambar 1)[vi]. Berbagai intervensi rantai pasok seperti
Moratorium Kedelai Brasil telah menyumbang pada keberhasilan program dan kebijakan-kebijakan pemerintah
nasional maupun negara-negara bagian di Brasil, namun bukanlah alasan utama yang menyebabkan turunnya
deforestasiiii.

Kisah sukses Brasil menunjukkan bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi tingkat deforestasi adalah
keputusan yang dibuat oleh jutaan orang yang tinggal atau bekerja di hutan tropis – menebang hutan atau tidak.
Berbagai peraturan, kawasan lindung, serta tata ruang dapat – dan di berbagai wilayah memang secara nyata –
mempengaruhi keputusan ini. Ketersediaan dana publik untuk pertanian dan kehutanan dapat menentukan jenis-
jenis aktivitas yang dapat dikerjakan secara finansial. Insentif fiskal, termasuk pajak dan kebijakan
perdagangan, dapat mendorong jenis penggunaan lahan tertentu dibandingkan yang lainnya. Lokasi dan kualitas
infrastruktur transportasi dan energi seringkali dipengaruhi oleh pemerintah, jika tidak dikendalikan
sepenuhnya. Pemerintah juga biasanya merupakan pemegang tunggal kekuasaan penegakan hukum dan aksi
militer.

Kesemua alat yang memiliki kuasa besar ini dapat digunakan untuk “menebang habis pohon” atau digerakkan
untuk membangun model-model pembangunan yang “berkelanjutan”. Pilihan ini adalah inti dari tantangan
deforestasi hutan tropis. Bagaimana caranya agar lebih banyak lagi pemimpin politik dan pemerintah di wilayah
hutan tropis mau memilih jalan menuju keberlanjutan?

Tidak seperti kelihatannya, jawabannya ternyata sangat sederhana: dengan membingkai tantangan deforestasi
hutan tropis sedemikian rupa hingga dapat memenangkan suara para pemilih.

Keberhasilan politik para pemimpin pemerintahan dalam sistem politik demokratis ditentukan oleh pemilih dan
kepentingan-kepentingan khusus. Di berbagai belahan dunia, penduduk biasanya memberikan suara bagi
kandidat dan partai politik yang mereka percaya akan mewakili serta memperjuangkan kepentingan mereka
sebaik-baiknya. Hal ini tidaklah berbeda di wilayah hutan tropis.

Salah satu tantangan terbesar hari ini adalah kenyataan bahwa sebagian besar pemilih di wilayah-wilayah hutan
tropis percaya bahwa kondisi mereka akan lebih baik dengan adanya lebih banyak deforestasi, bukan
sebaliknya. Bukti ilmiah yang sangat kuat, yang menunjukkan pentingnya peran hutan tropis bagi kestabilan
iklim global dan regional, pengendalian banjir, penyerapan air, konservasi lahan, penyerbukan, dan banyak jasa
lingkungan lain yang akan menjadikan kehidupan penduduk wilayah hutan tropis lebih baik, tampak kurang
meyakinkan dan kurang “nyata” dibandingkan dengan pemikiran sederhana yang diketahui dengan sangat baik
oleh siapapun yang memiliki atau hendak membeli lahan: nilai lahan hutan lebih murah dibandingkan dengan
lahan yang sudah dibuka.

Mari kita ambil contoh sederhana tentang karbondikoksida, gas rumah kaca yang terpenting. Nilai karbon hutan
tropis sangatlah besar, namun belum dihitung secara moneter, dan akibatnya, hutan tropis yang masih berdiri
tegak tidak dapat bersaing dengan baik dengan berbagai manfaat ekonomi yang bisa didapatkan dari konversi
hutan menjadi perkebunan atau produksi hewan ternak. Sekitar ~300 ton karbon (1.100 ton CO2e) yang
tersimpan dalam satu hektar hutan Amazon bernilai $33.000 dalam hal kerugiaan ekonomi global akibat
perubahan iklim yang dapat dihindarkan[vii]. Sebagai perbandingan, satu hektar lahan Amazon yang diubah
menjadi padang penggembalaan dengan satu ekor sapi di dalamnya bernilai sekitar $500; nilai satu hektar hutan
jauh lebih kecil.
Pertanian dan peternakan hanyalah satu dari sekian kepentingan ekonomi yang ingin membuka wilayah hutan
tropis untuk kepentingan pembangunan. Apapun jenis sumber daya yang ingin mereka keruk: lahan, kayu,
mineral, ataupun hidrokarbon, lobi yang mengiklankan “deforestasi = pembangunan” sangat meluas dan kuat,
dan mereka sangat aktif di waktu-waktu pemilihan untuk mendorong pemerintah agar memperjuangkan
kepentingan mereka.

Jadi, apabila agenda pembangunan berkelanjutan – dan hutan tropis – harus bersaing dengan propaganda yang
disuntikkan ke rumah-rumah pemilih oleh berbagai lobi “tebang hutan” ditambah pengaruh penting lobi-lobi ini
terhadap para pemimpin politik, apakah masih ada harapan?

Ya.

Membangun kasus untuk tindakan pemerintah: empat langkah

Di bawah ini adalah empat langkah yang dapat dilakukan untuk mengakhiri deforestasi hutan tropis. Berbagai
perubahan ini tengah berlangsung dan telah menjadi bagian dari paradigma baru yang tengah berkembang
terkait pelestarian hutan tropis dan pembangunan berkelanjutan yang inklusif, yang dikenal dengan istilah
“keberlanjutan yurisdiksional”, yang kami uraikan dalam publikasi baru kami, “bacaan awal untuk para
praktisi”

1. Untuk masyarakat internasional: temukan sebuah narasi strategi untuk mengakhiri deforestasi tropis
yang dapat memenangkan suara di wilayah-wilayah hutan tropis

Slogan salah satu faksi bisa jadi menjauhkan faksi yang lain.

“Deforestasi nol” telah menjadi slogan internasional untuk mengatasi deforestasi hutan tropis. Kami adalah
kontributor awal yang turut mempromosikan slogan ini melalui artikel kami yang berjudul “Akhir dari
deforestasi di wilayah Amazon”[viii].

Sejak saat itu, kami belajar bahwa frase “deforestasi nol” dapat mengalienasi pihak-pihak yang dapat dijadikan
sekutu penting. Untuk mewujudkan “deforestasi nol,” kita mungkin butuh cara lain untuk menyebutnya.

Bagi para petani Brasil yang berorientasi pada konservasi, yang telah menjaga hutan di lahan pertanian mereka
lebih dari apa yang diwajibkan hukum, “deforestasi nol” berarti nilai lahan pertanian mereka lebih rendah
dibandingkan lahan pertanian tetangga-tetangga mereka yang menebang hutan lebih banyak dari yang
diizinkan, biasanya tanpa konsekuensi negatif apapun.

Bagi para rumah tangga dan komunitas yang tinggal di wilayah hutan tropis di berbagai belahan dunia, yang
bergantung pada pertanian tebang-bakar untuk bertahan hidup, istilah “deforestasi nol” bisa berarti pengucilan
dari pasar, marjinalisasi ekonomi, dan naiknya risiko kehabisan bahan pangan.

Bagi pemerintah dan pemimpin politik di berbagai wilayah hutan tropis, dukungan terhadap “deforestasi nol”
dapat dilihat konstituen mereka sebagai tindakan mengalah pada tekanan internasional dengan melepaskan
peluang mewujudkan kemakmuran yang bisa didapatkan dari “pembukaan lahan” – kemakmuran yang telah
dinikmati oleh negara-negara industri di wilayah mereka sendiri.

Narasi terkuat untuk memenangkan suara di wilayah hutan tropis bagi para pemimpin politik yang memiliki
keinginan untuk memperlambat, mengakhiri, dan pada akhirnya membalikkan deforestasi sangatlah sederhana
pada tingkatan tertentu: “Kita akan memiliki lebih banyak pekerjaan, peluang pendidikan yang lebih besar,
kemakmuran ekonomi yang lebih tinggi, layanan kesehatan yang lebih baik, keadilan sosial, udara dan air yang
lebih bersih melalui ekonomi hijau yang dapat memulihkan lahan, hutan, dan perikanan.”
Narasi ini bukanlah sekadar impian atau omong kosong belaka. Narasi ini telah digunakan. Sebagai contoh,
pada tahun 1998, Gubernur Jorge Viana meluncurkan konsep “Florestania (Kewarganegaraan Hutan)” di
Negara Bagian Acre di Amazon Brasil, yang kemudian dimodifikasi dan dikembangkan lebih jauh oleh dua
pemerintah setelahnya, termasuk saudara laki-laki Jorge, Tião, yang saat ini menjabat sebagai Gubernur[ix].
Sebagian besar pemilih Acre percaya bahwa kondisi mereka menjadi lebih baik di jalur pembangunan hijau ini
dibandingkan alternatifnya, meskipun pemilihan pada bulan Oktober 2018 nanti mendatangkan tantangan baru.
Para penduduk dan kelompok bisnis Acre kini terhubung dengan Peru melalui jalan bebas hambatan
Interoceanic. Mereka membanggakan fakta bahwa negara bagian mereka hampir bebas sama sekali dari buta
huruf, bahwa layanan kesehatan mereka telah membaik, PDB mereka meningkat, anak-anak sekolah mereka
mencapai hasil lebih baik dalam ujian, dan komunitas hutan mereka mendapatkan penghasilan yang lebih baik.
Kesuksesan negara bagian mereka dalam memperlambat deforestasi telah berhasil dirajut ke dalam visi
pembangunan hijau yang lebih besar.

Dan sektor-sektor perkebunan raksasa utama di negara bagian Mato Grosso di Amazon Brasil menemukan
bahwa upaya untuk menyepakati definisi bersama mengenai keberhasilan mengatasi deforestasi di tingkat
negara bagian, menghasilkan lebih banyak bahan pangan, dan mendukung petani skala kecil dapat diwujudkan
hanya dalam beberapa bulan saja. Tidak adanya definisi keberhasilan yang disepakati bersama, secara
mengejutkan, adalah penghalang penting bagi kemajuan di tingkat tapak. Jika tujuan Mato Grosso tercapai,
yakni strategi “Produksi, Konservasi, dan Inklusi” (PCI), yang baru mulai menarik investasi, negara bagian ini
akan mencapai deforestasi nol pada tahun 2030, menghindarkan lepasnya 6 miliar ton karbondioksida ke
atmosfer. Viabilitas politik dari pertaruhan Gubernur Pedro Taques terkait PCI ini akan terlihat pada pemilihan
bulan Oktober mendatang.

Di Peru, “Koalisi Publik-Privat bagi Pembangunan Pedesaan Rendah Emisi” diluncurkan di departemen San
Martín bulan Agustus lalu, dengan melibatkan lebih dari 45 organisasi bisnis, serikat petani, pemerintah daerah,
dan organisasi non-pemerintah. Koalisi ini berkomitmen untuk mengatasi deforestasi hutan tropis sembari
meningkatkan produksi pertanian dan pengakuan atas hak-hak masyarakat hutan.

2. Untuk sektor bisnis yang telah memiliki komitmen keberlanjutan: bergeraklah dari ikrar “deforestasi nol”
unilateral menuju kemitraan dengan pemerintah daerah dan sektor pertanian

Merebaknya ikrar dan rencana implementasi “deforestasi nol” membawa peluang untuk mendorong penurunan
deforestasi hutan tropis skala besar, tapi membawa risiko yang juga tak kalah besar, sebagaimana kami ulas
dalam publikasi tahun 2016 berjudul “Membuat ikrar deforestasi perusahaan berjalan” yang baru-baru ini
dilaporkan. Agar berbagai ikrar ini berdampak positif terhadap hutan tropis sekaligus menyediakan kapital yang
dibutuhkan oleh para pemimpin politik progresif untuk mewujudkan tujuan-tujuan keberlanjutan mereka,
kemitraan kolaboratif dengan pemerintah daerah dan sektor-sektor pertanian di wilayah-wilayah penghasil
komoditas perkebunan sangatlah dibutuhkan.

Di tahap-tahap awal kolaborasi, pertemuan di antara gubernur dan pemimpin bisnis yang menghasilkan foto,
berita utama, dan narasi “keberlanjutan-sama-dengan-peluang-baru” dapat berkontribusi pada kapital politik ini.
Seiring dengan berjalannya waktu, photo ops harus menampilkan pula fitur-fitur mengenai kemitraan aktual
yang telah berhasil dan berbagai manfaat yang didapatkan negara bagian atau penduduk provinsi dari
kemitraan-kemitraan ini.

Berbagai kemitraan di atas tidak memerlukan dana dalam jumlah besar. Sebagai contoh, kemitraan Unilever
dengan Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah, Indonesia, yang diperantarai oleh sebuah
lembaga penelitian non-profit, INOBU, telah membantu memetakan ribuan petani sawit skala kecil dengan
investasi yang tidak terlalu besar, yang memungkinkan para petani ini untuk ikut serta dalam ekonomi formal
dan mengakses program pertanian dari pemerintah. Salah satu kelompok petani ini baru saja menerima
sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan di bawah RSPO dan menjual sertifikasi RSPO mereka, yang kemudian
menghasilkan suntikan kapital yang signifikan. Manfaat keberlanjutan yang dapat dilihat mulai dirasakan oleh
semakin banyak penduduk Kabupaten Kotawaringin Barat.

Bermitra dengan pemerintah di wilayah hutan tropis kini semakin mudah. Peluang untuk bermitra dengan
pemerintah di wilayah hutan tropis yang juga anggota satuan tugas Gubernur untuk Iklim dan Hutan (GCF)
dapat dilihat di platform GCFImpact.org, yang dilengkapi dengan volume produksi lebih dari enam puluh
tanaman perkebunan dan kehutanan serta berbagai kebijakan, program, ikrar, dan inovasi lain yang dijalankan
pemerintah. Pada akhir tahun ini, “Dana Inovasi GCF” akan diluncurkan oleh Sekretariat GCF berkolaborasi
dengan UNDP dan Pemerintah Norwegia, yang akan menyediakan pendanaan krusial bagi pemerintah anggota
GCF untuk mempertajam dan menjalankan berbagai strategi pertumbuhan hijau serta sebagai wadah bagi
kelompok bisnis untuk memberikan donasi kepada wilayah-wilayah dari mana mereka mengadakan barang
guna menunjukkan komitmen keberlanjutan mereka.

3. Untuk pemerintah wilayah hutan tropis: ciptakan kejelasan pengaturan dan efisiensi administratif yang
dapat menarik investor dan mitra dagang

Sinyalemen pasar dari para pembeli komoditas saja tidaklah cukup untuk mendorong peralihan menuju
pembangunan berkelanjutan. Untuk memenangkan suara guna mendukung pelestarian hutan tropis, diperlukan
bukti yang dapat dilihat bahwa jalan menuju keberlanjutan adalah juga jalan menuju kemakmuran, pendidikan,
dan layanan kesehatan yang lebih baik. Di berbagai wilayah hutan tropis, hal ini berarti pengerahan kreativitas
dan kekuatan perekonomian hijau untuk menciptakan usaha-usaha baru yang menciptakan kemakmuran dan
pekerjaan dengan cara yang menguatkan kemajuan.

Tapi, bagaimana pengaruh deforestasi terhadap investasi hijau?

Para investor hijau menghindari wilayah hutan tropis di mana terdapat risiko tinggi dikaitkannya mereka dengan
meluasnya deforestasi, merebaknya kebakaran hutan, pelanggaran hak asasi manusia, pekerja paksa, atau
ekstraksi mineral yang merusak. Mereka juga menghindari wilayah-wilayah dengan birokrasi yang menyulitkan
atau korup.

Di sisi lain, para investor hijau tertarik pada wilayah dan proyek-proyek dengan risiko rendah, efisiensi tinggi,
dan potensi balik-modal yang tinggi. Mereka tertarik pada wilayah-wilayah dengan pemerintahan yang kuat,
yang berkomitmen pada pelestarian lingkungan hidup, keadilan sosial, dan transparansi. Mereka tertarik pada
wilayah-wilayah di mana insentif fiskal dan administratif berpihak pada pendirian usaha-usaha baru yang
berkelanjutan. Mereka mengharapkan aturan yang jelas dan penegakan yang adil dari aturan-aturan tersebut.
Mereka ingin dapat bercerita tentang harapan dan optimisme terkait dampak investasi mereka.

4. Untuk NGO dan Donor: jangan lupakan insentif

Sangatlah sulit menjadi petani, pengelola hutan, atau nelayan yang berkomitmen terhadap praktik-praktik
produksi yang berkelanjutan di wilayah-wilayah di mana deforestasi tropis sedang berlangsung secara aktif.
Pertama, mereka harus menghadapi tantangan dan hambatan birokrasi regional. Mematuhi peraturan pemerintah
yang rumit seringkali sulit dan memakan biaya; produsen yang mematuhi peraturan dapat menjadi sasaran
hukuman agen pemerintah yang mengharapkan suap. Tekanan pihak luar dapat menghadirkan hambatan lain.
Ketika definisi internasional mengenai sistem produksi yang “berkelanjutan” terlalu mahal untuk dijalankan
atau dicapai, atau terlalu berisiko jika Anda adalah petani hutan miskin pinggiran yang bergantung pada metode
tebang-bakar, banyak produsen akhirnya memilih jalan dengan hambatan yang paling sedikit: praktik-praktik
yang tidak berkelanjutan.

Strategi hutan tropis yang positif dan dapat memenangkan suara menjawab tantangan utama ini melalui dua
cara. Pertama, strategi tersebut akan mencari solusi regional skala besar untuk mengatasi deforestasi yang
menyediakan jalan yang dapat ditempuh oleh rumah tangga dan komunitas yang menjalankan metode tebang-
bakar untuk dapat melampaui kebergantungan mereka terhadap deforestasi. Strategi tersebut akan memberikan
pengakuan dan penghargaan pada produsen yang telah menjalankan langkah-langkah berani untuk mematuhi
hukum (yang gagal dilakukan Moratorium Kedelai Brasil 2006). Strategi ini akan berusaha menjawab situasi
para aktor yang ada saat ini untuk mengembangkan mekanisme yang sesuai dengan budaya mereka untuk
menggerakkan mereka menuju pengelolaan yang mempertahankan hutan dan memulihkan lahan. Keberhasilan
Brasil dalam memperlambat deforestasi Amazon dicapai dengan membuat petani merasa takut – takut akan
dikucilkan dari pasar dan pendanaan, didenda, atau dipenjarakan (lihat ulasan dalam Scienceiii). Langkah
selanjutnya haruslah membangun rasa bangga petani.

Ketika para produsen yang mematuhi hukum dan berorientasi pada keberlanjutan melihat bahwa upaya-upaya
mereka diakui, bahwa ada manfaat yang dapat mereka lihat dari praktik-praktik produksi yang berkelanjutan
dan pelestarian hutan, dan ketika mereka melihat bahwa komunitas dan wilayah mereka semakin makmur
dengan pendidikan dan layanan kesehatan yang lebih baik dengan adanya agenda keberlanjutan, mereka akan
terus menempuh jalan tersebut. Dan yang lain akan mengikuti jejak mereka.

Kesimpulan

Hutan tropis dapat menghasilkan seperempat dari penurunan emisi yang dibutuhkan pada tahun 2030 untuk
menghindarkan perubahan iklim yang membawa bencanai. Untuk mewujudkan potensi ini, sangat dibutuhkan
penyesuaian berbagai strategi yang ada saat ini untuk memperlambat dan pada akhirnya membalikkan tingkat
deforestasi. Deforestasi hutan tropis harus dirajut ke dalam visi pembangunan yang lebih luas, yang dapat
menjadi sumber kebanggaan regional dan diakui secara luas sebagai jalan terbaik menuju kemakmuran,
pertumbuhan ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Hal ini harus menjadi bagian dari visi yang dapat
memenangkan suara dalam pemilihan.

Deforestasi: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan Pencegahan


April 2, 2019 Oleh Ananda Rizky Septyan

Hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan, tidak dapat dipisahkan sebagai sumber kehidupan
makhluk hidup, termasuk manusia. Rusaknya hutan dapat memutus rantai kehidupan dan sewaktu-waktu akan
mendatangkan bencana serta kerugian. Kerusakan hutan dengan seluruh komponen biofisiknya pun secara tidak
langsung telah berkontribusi dalam peningkatan pemanasan global.

Salah satu isu lingkungan yang menjadi perhatian banyak pihak selama empat dekade terakhir adalah
deforestasi. Dampak negatif dari deforestasi mengundang sejumlah masalah lainnya, termasuk perubahan iklim.
Ancaman yang menakutkan memaksa manusia untuk berpikir menahan laju deforestasi dan degradasi hutan
serta pemanasan global.

1. Pengertian Deforestasi
Hutan merupakan ekosistem kompleks yang mempunyai pengaruh terhadap hampir setiap spesies yang ada di
bumi. Hilangnya tutupan hutan akan menyebabkan bencana skala lokal maupun dunia. Hilangnya tutupan hutan
sering disebut dengan istilah deforestasi. Pengertian deforestasi masih menjadi perbincangan karena hal ini akan
dijadikan sebagai perhitungan dalam mencatat data luasan hutan.

Dalam perspektif ilmu kehutanan, deforestasi dimaknai sebagai situasi hilangnya tutupan hutan beserta
atributnya yang berimplikasi pada hilangnya struktur dan fungsi hutan itu sendiri.

Pemaknaan ini diperkuat oleh definisi deforestasi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia No. P.30/Menhut II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan (REDD) yang dengan tegas menyebutkan bahwa deforestasi adalah perubahan secara
permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), deforestasi diartikan sebagai penebangan hutan. Deforestasi
terjadi ketika areal hutan ditebang habis dan diganti dengan bentuk penggunaan lahan lainnya. Istilah lain
deforestasi adalah penggundulan hutan yang biasanya dilakukan untuk mengubah fungsi lahan menjadi fungsi
lain, seperti pertanian, peternakan, atau permukiman. Deforestasi sendiri akan mengurangi tutupan tajuk hingga
batas ambang minimum yaitu 10% dalam waktu jangka panjang atau pendek.

2. Deforestasi di Dunia
Saat ini sekitar tiga puluh persen daratan di permukaan bumi masih ditutupi oleh hutan. Namun penyempitan
luas hutan terjadi pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Deforestasi di dunia diperkirakan setiap tahun
mencapai dua belas hingga lima belas juta hektare hutan lenyap dari muka bumi.

Keadaan ini setara dengan hilangnya hutan seluas 36 kali luas lapangan sepak bola setiap menit atau setara
dengan 18,7 juta are. Bila hal tersebut dibiarkan dalam jangka waktu kurang dari seratus tahun, hutan akan
hilang dari bumi.

Deforestasi dapat terjadi baik di hutan temperate maupun di hutan hujan tropis. Negara-negara yang memiliki
hutan tropis tercatat mengalami deforestasi signifikan. Deforestasi di dunia yang paling mengkhawatirkan
terjadi di hutan hujan tropis.

Hutan hujan tropis memiliki fungsi penting sebagai penyangga kehidupan di bumi yang kaya dengan
keanekaragaman hayati serta menjadi penyimpan cadangan biomassa karbon paling. Namun hutan hujan tropis
tidak dapat menjalankan fungsinya jika luasannya semakin menyempit.

Data statistik menunjukkan, saat ini lima puluh persen tutupan hujan tropis di dunia telah hilang. Akibatnya
permukaan bumi yang diselimuti oleh hutan semakin berkurang dan menipis. Pada tahun 2016 saja sebanyak
73,4 juta are hilang akibat deforestasi.

3. Deforestasi di Indonesia
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, luas kawasan hutan Indonesia pada
2018 tercatat sekitar 125,9 juta hektare (ha) atau seluas 63,7 persen dari luas daratan Indonesia.

Dengan luasan tersebut, Indonesia menempati peringkat ke-3 negara yang memiliki hutan hujan tropis terluas
setelah Brasil dan Kongo. Namun sedikit yang menyadari bahwa kekayaan hutan Indonesia tidak hanya kayu.
Bagi industri farmasi, kerajinan, dan pariwisata, keanekaragaman flora dan fauna sangat bermanfaat untuk
dijadikan bahan baku maupun objek ilmu pengetahuan.

Deforestasi di Indonesia sering terjadi antara lain disebabkan adanya program-program pembangunan lahan
permukiman dan pertanian di areal transmigrasi yang mengharuskan untuk dilakukannya pembukaan hutan.
Selain itu, juga banyak terjadi alih fungsi hutan untuk kegiatan pertambangan dan perindustrian yang seringkali
hal ini memunculkan konflik baik antara masyarakat dengan pengusaha maupun antara pengusaha dengan
berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat angka deforestasi di Indonesia pada tahun 2016-2017
alami penurunan menjadi 496.370 hektare. Deforestasi periode sebelumnya, 2015-2016, sebesar 630.000 hektar.
Penurunan ini disebabkan adanya upaya perbaikan tata kelola kebijakan secara berlapis. Pencegahan kebakaran
hutan juga dilakukan demi menekan laju deforestasi akibat kebakaran hutan dan lahan.
4. Penyebab

Deforestasi dapat mengancam kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, bisa akibat makhluk hidup dan alam itu sendiri.

Secara umum, hilangnya tutupan lahan disebabkan kegiatan pengalihan fungsi hutan untuk keperluan lainnya.
Jumlah manusia yang semakin bertambah dapat menyebabkan diperlukannya lahan untuk permukiman. Saat ini,
luas permukiman yang dibangun harus dibarengi dengan pembangunan ruang terbuka hijau agar dapat
terjaganya fungsi sebagai sistem sirkulasi udara. Namun fungsi hutan yang kompleks tidak dengan mudah
digantikan dengan ruang terbuka hijau lainnya.

Populasi manusia yang semakin meningkat saat ini menyebabkan terjadinya permintaan terhadap pangan yang
semakin tinggi. Hal tersebut dapat dipenuhi dengan membuka lahan pertanian baru. Sebagai contohnya, Brasil
membuka kebun-kebun kedelai baru dan gula secara masif dengan melakukan penebangan pada tegakan-
tegakan hutan yang ada. Pengalih fungsian hutan sebagai kebun kelapa sawit (baca juga “Kebakaran Hutan dan
Kebun Kelapa Sawit“) juga menyebabkan hilangnya tutupan lahan.

Kebutuhan hidup manusia akan produk kayu pun dapat meningkatkan laju deforestasi. Faktor utama dalam
kejadian hilangnya tutupan hutan adalah kegiatan industri, terutama industri kayu. Pemanenan kayu dari pohon
sudah diatur untuk melakukan penanaman kembali setelahnya. Namun, adanya illegal logging yang terjadi
masih menjadi masalah serius. Penebangan liar secara besar-besaran masih terjadi di hutan hujan tropis,
khususnya Brasil, Kongo, dan Indonesia.

Kejadian alam juga dapat menyebabkan terjadinya deforestasi. Radiasi matahari yang tinggi dapat memicu
terjadinya kebakaran hutan dan lahan akibat gesekan daun-daun terhadap tanah kering di bawahnya.

Deforestasi akibat kebakaran hutan, saat ini lebih banyak dibandingkan deforestasi akibat pengalihan fungsi
pertanian dan illegal logging jika disatukan. Kerugian yang ditimbulkan juga sangat besar karena hilangnya
plasma nutfah dan mendatangkan ancaman langsung bagi manusia, seperti gangguan kesehatan, kehilangan
materi, dan jiwa.

Pembakaran masif oleh petani untuk membuka lahan yang akan digunakan untuk bertani juga dilakukan dengan
cara membakar hutan. Cara tersebut dipakai karena lebih cepat dan mudah jika dibandingkan dengan menebang
pohon. Akibat pembakaran tersebut, karbon akan semakin banyak dilepaskan ke udara. Tidak adanya hutan
sebagai pengikat karbon dapat mengakibatkan meningkatnya suhu dan berpengaruh terhadap iklim.

5. Dampak dari Deforestasi


Penggundulan hutan dan lahan dapat berdampak pada kehidupan di sekitar wilayah tersebut. Hutan menyimpan
berjuta keanekaragaman hayati, lebih dari delapan puluh persen keanekaragaman hayati di dunia dapat
ditemukan pada hutan hujan tropis. Hilangnya tutupan hutan hujan tropis juga dapat diartikan sebagai hilangnya
habitat asli satwa dan tumbuhan sehingga dapat mengancam hilangnya spesies atau kehidupan satwa dan
tumbuhan itu sendiri.

Siklus air yang sudah dijaga oleh hutan juga dapat terganggu akibat hilangnya tutupan lahan tersebut. Hujan
yang turun akan langsung mengenai tanah sehingga dengan mudah mengikis permukaan tanah. Hal tersebut
juga berpengaruh kepada air tanah. Hilangnya hutan mengakibatkan tidak dapatnya air untuk meresap ke tanah.
Air hujan yang turun akan langsung mengalir di permukaan dan menyebabkan erosi. Efek samping dari
terjadinya erosi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat pencucian tanah oleh air hujan yang terus menerus,
banjir akibat tanah yang tidak dapat meresap air, hingga tanah longsor.

Tanah longsor dapat terjadi akibat tidak adanya pengikat dalam tanah. Akar-akar tanaman dapat mengikat
struktur tanah menjadi tidak mudah lepas satu sama lain. Tidak adanya pengikat dalam tanah, ketika turun
hutan, air akan dengan mudah membawa partikel tanah terlebih lagi jika pada tanah yang miring. Tanah longsor
yang disebabkan deforestasi dapat merusak kualitas kehidupan. Contohnya, tanah longsor dapat mencemari
danau, menghancurkan tiang listrik, dan bendungan. Kerugian yang ditimbulkan akibat tanah longsor pun
tentunya sangat besar.

Dampak deforestasi jika dilihat dari segi ekonomi adalah hilangnya mata pencaharian masyarakat sekitar hutan.
Kegiatan agroforestry, berburu, meramu, mengumpulkan hasil hutan sangat diandalkan masyarakat sekitar
hutan. Hilangnya hutan menyebabkan hilang juga mata pencaharian masyarakat sekitar hutan.

Deforestasi yang terjadi pada hutan bakau atau mangrove dapat menyebabkan abrasi. Abrasi adalah pengikisan
yang disebabkan oleh ombak laut. Eksploitasi hutan mangrove secara liar dapat merugikan ekosistem pantai.
Gelombang yang diterima di daratan akibat hilangnya tutupan hutan mangrove akan menjadi tinggi karena tidak
ada mangrove yang berfungsi sebagai penahan ombak.

6. Pengaruh Deforestasi terhadap Perubahan Iklim


Deforestasi dapat menyebabkan perubahan iklim secara tidak langsung. Pemanasan global merupakan hal
utama dalam perubahan iklim. Pemanasan global terjadi akibat banyaknya jumlah gas rumah kaca di atmosfer.
Karbon dioksida (CO2) merupakan gas rumah kaca yang paling banyak dihasilkan dari sebagian besar kegiatan
manusia. Pada kasus deforestasi, emisi CO2 yang dikeluarkan menyumbangkan enam sampai tujuh belas persen
terhadap emisi global yang berarti angka ini berada pada peringkat kedua penyumbang CO2 terbesar setelah
pembakaran bahan bakar fosil.

Hutan sebagai penyimpan cadangan karbon terbesar dapat menyerap karbon dioksida berlebih diudara dan
mengonversinya menjadi oksigen melalui fotosintesis. Lebih dari dua ratus milyar ton karbon dapat disimpan di
hutan. Jumlah tersebut empat puluh kali lebih besar daripada jumlah karbon yang dihasilkan akibat pembakaran
fosil.

Terjadinya deforestasi sangat berpengaruh dalam perubahan iklim dengan kaitannya terhadap karbon yang ada
di udara. Jumlah karbon yang terlepas ke atmosfer dalam deforestasi tidak hanya disebabkan oleh lepasnya
karbon dari biomassa tumbuhan yang mati. Hal tersebut dapat mengurangi kemampuan bumi dalam menyerap
kembali karbon dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Selain itu, pada tanah gambut, apabila pohon di
atasnya hilang, maka tanah tersebut akan melepas karbon yang tersimpan di dalamnya.

7. Pencegahan dan Penanggulangan


Deforestasi yang semakin meningkat lajunya dapat dicegah dan dilakukan penanggulangan. Pencegahan
bertujuan agar tidak semakin meningkatnya laju deforestasi. Pencegahan dapat dilakukan dengan penebangan
sistem tebang pilih. Sistem tebang pilih dapat tetap menjaga keberlangsungan ekosistem hutan dan fungsinya
sebagai penyangga kehidupan. Sistem tebang pilih juga harus dilakukan penanaman kembali sehingga kegiatan
keduanya tidak menimbulkan kerugian.

Pencegahan deforestasi saat ini lebih banyak digaungkan oleh para pegiat konservasi. Hal ini dilakukan untuk
menekan laju hilangnya hutan sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca. Pencegahan juga dilakukan dengan
melindungi hutan-hutan yang ada dari ancaman berbagai proyek pembangunan yang tidak ramah terhadap
lingkungan.
Penanggulangan deforestasi, saat ini dilakukan dengan penanaman kembali dalam bentuk reboisasi atau
penhijauan. Reboisasi adalah penanaman kembali hutan di kawasan hutan, sedangkan penghijauan adalah
penanaman kembali hutan di kawasan non hutan (kawasan budidaya). Hutan gundul tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Oleh karena itu dilakukan penanaman kembali dengan harapan tumbuhnya hutan yang
baru sehingga dapat menjalankan fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan.

Deforestasi selalu diartikan sebagai penggundulan hutan untuk mengalihfungsikan menjadi pertanian,
peternakan, maupun permukiman. Deforestasi tidak akan menimbulkan kerugian selama dilakukannya
pemanfaatan kembali yang efektif. Namun, hal tersebut akan merugikan jika lahan kosong tersebut tidak
dilakukannya penanaman kembali sehingga menjadi gersang serta membahayakan saat musim hujan.

Itulah berbagai hal mengenai deforestasi, baik di Indonesia maupun di bumi ini. Mari selalu jaga bumi kita
dengan menjaga hutan kita.

Anda mungkin juga menyukai