Anda di halaman 1dari 8

Kerusakan Lingkungan Berupa Kebakaran Hutan

(Studi Kasus Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi)


Latar Belakang

Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sering mengalami
Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) dan hampir terjadi setiap tahunnya. Berdasarkan data
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, luas wilayah kebakaran hutan dan lahan
provinsi Jambi pada rentang tahun 2015–2020 adalah seluas 182195,51 Ha. Khusus pada
tahun 2019, luas karhutla di Provinsi Jambi mencapai 56593 Ha, dimana hampir 90% terjadi
pada lahan gambut. Berdasarkan luas areal yang terbakar , Provinsi Jambi menempati urutan
ke 9 dari 34 provinsi  (Kementerian Lingkungan Hidup dan Hutan, 2020).

Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi disebabkan oleh beberapa faktor salah
satunya ialah faktor manusia yang sengaja membakar hutan tersebut untuk membuka lahan
pertanian, mereka berfikir dengan membakar lahan dan hutan biaya yang dikeluarkan lebih
murah dan waktu yang relatif singkat. Faktor lain yang bisa menyebabkan kebakaran hutan
semakin parah dan tak terkendali ialah faktor cuaca terutama pada musim kemarau yang
terjadi di tahun 2015 dan 2019. Di tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan di berbagai
wilayah di Indonesia meluas, dimana waktu musim hujan mundur dari waktu yang
seharusnya dan menambah panjang musim kemarau atau yang disebut dengan fenomena El-
Nino. Fenomena ini ditandai dengan munculnya jumlah titik panas (hotspot) yang lebih
dominan terjadi di antara bulan Juli hingga Oktober (Septianingrum, 2018).

Kebakaran hutan dan lahan adalah bencana yang seringkali atau bisa dikatakan rutin
terjadi di Indonesia. Terlebih pada lahan gambut namun  berbeda dengan hutan dan lahan
diluar hutan gambut yang tidak mempunyai risiko kebakaran hutan dan lahan. Jambi
termasuk ke dalam salah satu provinsi yang berpotensi terjadinya bencana kebakaran hutan
dan lahan. Faktor yang menyebabkan terjadinya bencana kebakaran yaitu yang pertama,
disebabkan kelalaian manusia yang mempunyai kegiatan atau aktivitas di dalam hutan. 

Kebakaran hutan dan lahan di Muaro Jambi hampir setiap tahun terjadi, wilayah
kebakaran biasanya terjadi pada musim kemarau, di Muaro Jambi lahan yang paling luas
terbakar adalah lahan gambut. Mayoritas terjadi pada perusahaan perkebunan kelapa sawit
dan hutan tanaman industri yang berproduksi di atas lahan gambut. Motif kebakaran lahan
yang disebabkan aktivitas manusia tersebut atas pertimbangan aspek ekonomi, budaya dan
sosial. Aspek ekonomi yakni alasan yang dikemukakan bahwa pembukaan lahan dengan
membakar maupun merupakan cara yang paling mudah, murah serta lebih efektif. Aspek
budaya, dulu kebiasaan masyarakat Jambi juga membuka lahan dengan cara membakar, akan
tetapi api tidak sampai merambat, karena lahan gambut masih relatif basah dan tentunya pada
saat pembakaran juga dijaga dan pola yang dipakai masyarakat setempat tergolong rendah,
karena mereka menganggap bahwa jika terjadi kebakaran dan merambat ke lahan mereka
maka lahan akan menjadi luas tidak perlu mereka membuka lahan sendiri. Kabupaten Muaro
Jambi merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki hutan dan lahan gambut yang luas.
Luas lahan yang dimiliki Muaro Jambi mencapai 900.000 hektar di luar Kabupaten Tanjung
Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur. Pada instansi pemerintah bencana akibat kebakaran
hutan dan lahan di Muaro Jambi 90% disebabkan oleh ulah manusia. Faktor yang disebabkan
oleh manusia ini terjadi karena disengaja atau tidak disengaja. Hal ini merupakan faktor
utama terjadinya peristiwa kebakaran hutan dan lahan sekaligus yang melakukan upaya
pencegahan dan pengendalian.
a. Jenis Kerusakan Lingkungan

Kerusakan lingkungan dapat disebabkan 2 faktor yaitu ulah manusia yang tak
bertanggung jawab dan bencana alam. Kebakaran hutan di Muaro Jambi biasanya untuk
membuka lahan dan untuk menghemat biaya penebangan hutan. Kerusakan pada lahan yang
dibakar akan menurun kualitas tanahnya sehingga akan sulit untuk menanam tumbuhan lagi
dan akan menimbulkan asap yang tebal yang akan menyebar ke lingkungan masyarakat yang
akan berdampak pada kesehatan jika menghirup udaranya.

b. Penyebab Kerusakan Lingkungan

Cuaca dan iklim sangat berkaitan dengan erat dengan peristiwa kebakaran hutan dan
lahan. Cuaca dan iklim berperan menentukan mudah tidaknya hutan terbakar, mempengaruhi
proses penyalaan dan penjalaran api, dan menentukan lama waktu Dan kapan terjadinya
kebakaran (Chandler, 1983). Parameter utama dari cuaca yang menjadi penyebab kebakaran
adalah curah hujan, suhu, dan Kelembaban (Thoha, 2001). Kebakaran sangat rawan terjadi
pada siang hari dengan suhu berkisar 30–35 C, kelembaban berkisar 70–80 %, dan kadar air
bahan bakar < 30% (Saharjo, 1997).

Kasus karhutla ini sangat sulit dihindari karena lahan-lahan yang terbakar di Provinsi
Jambi didominasi oleh lahan gambut. Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar
gambut itu sifatnya menyerap dan menahan air secara maksimal, seperti spons. Namun, saat
kemarau dan mengering gambut sangat mudah terbakar dan mengakibatkan asap hitam tebal.
Dan jika sudah terbakar, api di lahan gambut menjadi sulit dipadamkan bahkan hingga
berbulan bulan lamanya, biasanya dapat mati total setelah adanya hujan yang cukup intensif
sehingga kebakaran dapat berlangsung pada waktu yang lama dan mudah untuk meluas.
Kebakaran di dukung oleh faktor luar seperti pemanasan global, kemarau Jangka panjang
memberikan kondisi ideal untuk terjadinya Kebakaran hutan  dan  lahan  (Syarif dkk,  2019).

c. Kerugian Lingkungan

WWF-Indonesia, organisasi non pemerintah internasional yang menangani masalah


konservasi dan lingkungan, menyatakan bahwa Karhutla 2019 di Indonesia sudah seharusnya
dinyatakan darurat, mengingat dampak dari bencana ini sudah menyebabkan kerugian bagi
rakyat dan bangsa Indonesia.

Pasalnya, kebakaran hutan menyebabkan berbagai kerugian untuk masyarakat


Indonesia, mulai dari gangguan kesehatan, sosial, ekologi, ekonomi dan juga reputasi.
kerugian ekologi dan lingkungan, seperti hilangnya habitat tempat keanekaragaman hayati
flora dan fauna berada dan rusaknya ekosistem penting yang memberikan jasa lingkungan
berupa udara dan air bersih beserta makanan dan obat-obatan. Hilangnya atau berkurangnya
hutan sebagai penyerap gas karbon dioksida yang berbahaya bagi manusia dan menghasilkan
gas oksigen yang sangat diperlukan manusia, serta kebakaran hutan menyebabkan 
kurangnya  tempat resapan air, hutan merupakan daerah penahan dan area resapan air yang
efektif, dan kebakaran hutan akan mengakibatkan adanya erosi, hal ini dikarenakan akar-akar
dari pepohonan dan vegetasi hutan hujan membantu menahan tanah. Saat pepohonan ini
hilang, maka tidak akan ada lagi penahan apapun yang melindungi permukaan tanah dan
tanah pun akan cepat terbawa hanyut oleh air hujan. Proses terbawa hanyutnya tanah ini
dikenal dengan erosi. (Kompas, 2019).

d. Karakteristik Lingkungan

Karakteristik atau kualitas lingkungan akibat dari kebakaran hutan, yaitu


mempengaruhi sifat tanah dan kerusakan nanah, hasil analisa statistik menunjukkan bahwa
kebakaran lahan berpengaruh nyata adalah C-organik, bulk density, dan total
mikroorganisme, serta berpengaruh sangat nyata untuk parameter pH dan respirasi. Pada
tanah gambut yang terbakar terjadi peningkatan pH tanah secara sangat nyata sebesar 2,42
(58.60 %), penurunan C organik tanah gambut secara nyata sebesar 25.99 % (53,71%),
penurunan total  mikroorganisme secara nyata sebesar 56.00 x 10 6 spk (95.73%) dan
penurunan respirasi secara nyata sebesar 15.33 mgC-CO2/kg tanah/ hari (69.85%).
Pembakaran tanah gambut telah memperbaiki meningkatkan pH tanah (mendekati pH netral
7), dan kesuburan tanah gambut. Peningkatan kesuburan tanah diakibatkan abu sisa
pembakaran dari biomassa dan hilangnya tanah  gambut setebal 10-20 cm dan tanah gambut
yang mengering setebal 10-20 cm. Tanah yang subur yang memiliki pH tanah mendekati
netral (pH 6.5-7.5) (Binkley 1987, Hardjowigeno 2003).

Pembakaran tanah gambut meningkatkan bulk density sebesar 0.10 g/cm3 (37.04%).
Kebakaran tanah gambut menyebabkan tanah gambut menjadi padat. Tanah gambut terbakar
menyebabkan kerusakan struktur tanah, matinya flora dan fauna, matinya dan penurunan
mikroorganisme tanah. Tanah gambut yang mengalami kerusakan akibat kebakaran bersifat
mengkerut dan kemampuan tanah dalam menyimpan air dan hara tidak akan kembali (bersifat
irreversible) (Soepardi 1983, Buringh 1983, Hardjowigeno 2003).

Hasil analisa tanah menunjukkan bahwa memang pada tanah terbakar telah terjadi
kerusakan lingkungan hidup karena telah memenuhi kriteria baku kerusakan lingkungan
hidup (PP Nomor 4 tahun 2001) untuk parameter yaitu pH tanah, C-organik, bulk density,
porositas, kadar air, total mikroorganisme, dan respirasi.

e. Dampak Kerusakan Lingkungan

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bersama Kementerian


Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Mandala Agni, dan Masyarakat Peduli Api
memberikan informasi terkait dampak kebakaran lahan dan hutan (karhutla), yaitu berupa
tersebarnya asap dan emisi gas Karbondioksida dan gas-gas lain ke udara juga akan
berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim. Kebakaran hutan mengakibatkan
hutan menjadi gundul, sehingga tidak mampu lagi menampung cadangan air di saat musim
hujan, hal ini dapat menyebabkan tanah longsor ataupun banjir. Selain itu, kebakaran hutan
dan lahan juga mengakibatkan berkurangnya sumber air bersih dan bencana kekeringan,
karena tidak ada lagi pohon untuk menampung cadangan air.
f. Dampak Aktivitas Antropologi Terhadap Ekosistem

Dampak dari kebakaran hutan telah menimbulkan kerusakan yang serius terhadap
ekosistem. Kebakaran hutan mengganggu suksesi secara alami dan evolusi ekosistem hutan.
Kebakaran mengubah vegetasi sesuai dengan sifat kebakaran yang terjadi, menjadi sistem
mozaik yang terdiri dari beberapa tahapan. Hutan yang terbakar menjadi terbuka sehingga
merangsang pertumbuhan gulma dan berbagai spesies baru serta mengganggu keseimbangan
ekologi. Dampak yang sangat menonjol yaitu hilangnya habitat satwa beserta satwanya.
Hutan yang merupakan habitat asli para satwa habis terbakar. Hal ini menyebabkan satwa
kehilangan habitat aslinya. Tidak hanya habitatnya, namun sebagian dari mereka juga ikut
terbakar didalamnya. Seperti hewan reptil yang tidak cukup kencang berlari, ikut terbakar
bersama pohon dan ranting-ranting. Namun seperti sebagian gajah dan hewan mamalia
lainnya, dapat berlari keluar hutan dan berujung dengan kehilangan habitat aslinya.

g. Dampak Kesehatan
Bencana kebakaran hutan menyebabkan polutan udara yang dapat menimbulkan
berbagai macam penyakit dan membahayakan kesehatan manusia. Debu serta partikel yang
berukuran sangat kecil dan lainnya penyebab utama sumber penyakit. Seperti infeksi saluran
pernafasan, iritasi kulit, sesak nafas, iritasi mata, bronkitis, serta gangguan jarak pandang
mata akibat pekatnya kabut asap yang dihasilkan. Hal ini juga sangat berpotensi
berkembangnya ISPA. Selain itu dampak pada kesehatan yang dihasilkan oleh bencana
kebakaran hutan dan lahan ini adalah racun Dioksin, yang dapat mengakibatkan kanker dan
kemandulan pada wanita.
h. Upaya Mengatasi Kerusakan Lingkungan
Mayoritas masyarakat Jambi masih banyak yang kurang kesadarannya untuk
mengatasi masalah lingkungan sekitar. Saat musim kemarau, masyarakat Jambi masih sering
membakar sampah. 

Kebakaran yang terjadi di lahan gambut lumayan luas sehingga sepanjang 2017-2018
BRG fokus kepada restorasi gambut. Dibangun 434 sekat kanal di gambut Muaro Jambi,
Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat, untuk menjaga gambut tetap basah.
Namun, upaya ini belum menunjukkan hasil maksimal karena kebakaran terus terjadi di
Jambi. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jambi juga sudah
mengadakan sosialisasi kepada masyarakat desa agar tidak membuka lahan dengan cara
membakar, terlebih saat musim kemarau curah hujan rendah.

i. Keterkaitan Kerusakan Lingkungan dengan Kondisi dan Budaya Lingkungan


Kebiasaan masyarakat membakar sampah masih banyak ditemukan di Jambi karena
dengan cara membakar dianggap praktis dan mudah dilakukan. Membakar menyumbang
hingga 40% dari total polutan yang mengotori udara. Salah satu zat beracun yang terlepas ke
udara adalah NOx atau Nitrogen oksida yang dapat menyebabkan kabut asap. Jadi, kabut
asap yang terjadi karena kebakaran hutan diperparah dengan kebiasaan masyarakat yang suka
membakar sampah.
Untuk membersihkan lahan hutan menjadi lahan siap tanam, pengusaha atau
masyarakat masih memiliki pola pikir bahwa sistem tebas dan bakar (slash and burn) adalah
cara yang paling efektif dan relatif murah, tanpa memikirkan dampaknya terhadap
lingkungan. Pola pikir itu masih ada sampai sekarang karena hampir setiap tahun kebakaran
hutan itu terjadi.
Kebakaran hutan juga bisa terjadi karena aktivitas dari Suku Anak Dalam yang
melakukan aktivitas perladangan setiap tahun. Salah satu nya adalah Bekor atau membakar
akar-akar, tanaman perdu, belukar, dan pohon. Namun, aktivitas perladangan Suku Anak
Dalam tidak terlalu berdampak kepada kerusakan lingkungan karena penggunaan sumber
daya hutannya akan berotasi menjadi hutan kembali. Sisa-sisa pembakaran dicampur pada
lahan yang akan digunakan untuk berladang, dengan cara mencangkul lahan. Hal ini
bertujuan mengganti pupuk kimia yang dapat membuat unsur hara semakin menurun.
Pemilihan tanaman yang dijadikan tumpang sari pun memiliki nilai keseimbangan, karena
merupakan kombinasi tanaman yang mempunyai perakaran yang relatif dalam dan perakaran
yang relatif dangkal (Sinaga & Rustaman, 2016).

j. Daya Dukung dan Daya Tampung

1. Daya Dukung
Berkurangnya tutupan hutan primer (forest cover) dan terjadinya deforestasi
menyebabkan berkurangnya fungsi hutan sebagai penahan air. Akibatnya, daya dukung hutan
menjadi berkurang.

2. Daya Tampung
Adanya kebakaran hutan yang terlampaui mengakibatkan penurunan mutu lingkungan
dari kehidupan sehari-hari, dan hilangnya biodiversity hingga tumbuhan endemik. Sehingga
membuat daya tampung lingkungan sebagai fungsi hutan menurun.

k. Potensi Konflik Lingkungan dan Sosial

Kebakaran hutan merupakan ancaman potensial bagi upaya pembangunan


berkelanjutan. Perlu digarisbawahi, bahwa kebakaran hutan merupakan masalah multi dan
lintas sektoral. Kebijakan yang dibuat dan diputuskan harus disinkronisasikan dengan
kebijakan-kebijakan di sektor lainnya. Contoh yang paling mudah adalah kebijakan dalam hal
tata-guna lahan. Selama masyarakat yang tinggal di suatu kawasan dan sejak lama mengelola
lahan di kawasan tersebut tidak memiliki hak dan dengan demikian mempunyai ‘rasa
memiliki’ atas lahan yang dikelolanya, maka selama itupula segala usaha-usaha pencegahan
dan pemadaman kebakaran di lahan tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Beberapa
contoh konflik lingkungan dan sosial yang terjadi akibat kebakaran hutan di Jambi dan juga
solusinya sebagai berikut (Supriyanto et al., 2018).
No Lokasi Stakeholder Inti Konflik Resolusi Konflik
Berkonflik

1. Provinsi Masyarakat dari Pemanfaatan lahan Mempertegas penegakan


Jambi kelompok – (termasuk hukum dalam pemberian sanksi
kelompok penyiapannya) dan dan hukuman sebagai ‘shock
tertentu (baik sumberdaya yang therapy’ untuk mencegah para
individu memarjinalisasi pelaku pembakaran (dan calon
maupun /mengorbankan pelaku) sesuai dengan
perusahaan) dan masalah kelestarian ketentuan peraturan perundang-
Pemerintah lingkungan undangan.
Jambi
 

2. Provinsi Pemerintah Terlalu banyak Meningkatkan peran UU dan


Jambi Jambi dan peraturan kebakaran optimalisasi dukungan
Pemerintah hutan dan lahan yang pemerintah pusat dalam
Pusat Indonesia peng- mengatasi bencana kebakaran
implemenasiannya hutan dan lahan 
tidak terkoordinir
dengan baik

3. Provinsi Masyarakat Usaha-usaha Optimalisasi peran kepala


Jambi Jambi dan penanganan kebakaran daerah dalam melibatkan NGO,
Pemerintah hutan dan lahan hanya masyarakat, dan perguruan
Jambi melalui pendekatan tinggi dalam pencegahan dan
kuratif dibandingkan pengendalian kebakaran hutan 
preventif

4. Provinsi Masyarakat Kurangnya data dan Meningkatkan peran


Jambi Jambi dan informasi yang akurat Pemerintah Jambi dalam
Pemerintah mengenai kebakaran melakukan tindakan
Jambi hutan dan lahan yang pencegahan,pengawasan,
terjadi legislasi, dan bugdeting dalam
dan pengendalian kebakaran
  hutan 

Kesimpulan
Provinsi Jambi merupakan daerah yang rawan mengalami Kebakaran Hutan dan
Lahan. Hal tersebut menempatkan provinsi Jambi pada urutan ke-9 dari 34 provinsi
berdasarkan total luas wilayah yang terbakar . Kerusakan lingkungan dapat disebabkan 2
faktor yaitu ulah manusia yang tak bertanggung jawab dan bencana alam. Kasus karhutla ini
sangat sulit dihindari karena lahan-lahan yang terbakar di Provinsi Jambi didominasi oleh
lahan gambut. Kebakaran hutan menyebabkan berbagai kerugian untuk masyarakat, mulai
dari gangguan kesehatan, sosial, ekologi, ekonomi dan juga reputasi, Kebakaran hutan
berdampak pada pemanasan global, perubahan iklim, hilangnya atau berkurangnya hutan
sebagai penyerap gas karbon dioksida yang berbahaya bagi manusia dan menghasilkan gas
oksigen yang sangat diperlukan manusia, kurangnya tempat resapan air, hilangnya habitat
satwa beserta satwanya dan menimbulkan berbagai macam penyakit dan membahayakan
kesehatan manusia. Kebiasaan masyarakat membakar sampah masih banyak ditemukan di
Jambi karena dengan cara membakar dianggap praktis dan mudah dilakukan. Adanya
aktivitas perladangan yang dilakukan Suku Anak Dalam bisa menjadi salah satu faktor
penyebab kebakaran hutan. Jika sudah terjadi deforestasi, maka daya dukung dan daya
tampung fungsi hutannya menurun.

Daftar Pustaka
Udiningsih, K. (2017). Implementasi Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan
Di Provinsi Sumatera Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 14(2), 165–186. 

Cahyono, S. A., P Warsito, S., Andayani, W., & H Darwanto, D. (2016). Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Kebakaran Hutan Di Indonesia Dan Implikasi Kebijakannya. Jurnal Sylva
Lestari, 3(1), 103. 

Handayani, L. (2020). ISSN ( online ): 2549-6158 ISSN ( print ): 2614-7467 ISSN ( print ):
2614-7467. 4(1), 16–20.

Humam dkk. (2020). Jurnal Geosains dan Remote Sensing (JGRS). Vol. 1 No. 1, 32 - 42

KHATIMAH, S. I. P. K., Harun, H., & Hartono, S. (2020). EVALUASI PENERAPAN


PERATURAN DAERAH NO TAHUN TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN MUARO JAMBI (Studi ….
http://repository.uinjambi.ac.id/3125/

Maranatha, E. I., & Kusmayadi, I. M. (2020). Konstruksi Pemberitaan Kebakaran Hutan dan
Lahan pada Tribun Jambi. Jurnal Kajian Jurnalisme, 3(2), 153. 

Sinaga, L. Y., & Rustaman, N. Y. (2015). Nilai-Nilai Kearifan Lokal Suku Anak Dalam
Provinsi Jambi terhadap Perladangan di Hutan Taman Nasional Bukit Duabelas sebagai
Sumber Belajar Biologi. Seminar Nasional XII Pendidikan Biologi FKIP UNS 2015, 761–
766.

Supriyanto, Syarifudin, Ardi. (2018). Analisis Kebijakan Pencegahan Dan Pengendalian


Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Jambi. Jurnal Pembangunan Berkelanjutan
ISSN: 2622-2310 (p); 2622-2302 (e), Volume 1. no (1) 2018

Anda mungkin juga menyukai