TUGAS AKHIR
Diajukan oleh :
JURUSAN GEOGRAFI
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana yang sering terjadi Indonesia,
terutama pada saat musim kemarau. Di Asia Tenggara, kebakaran hutan dan lahan
telah menjadi permasalahan umum serta telah menghancurkan kawasan hutan yang
luas sejak beberapa dekade terakhir (Hafni, 2017) . Kebakaran ini juga menyebabkan
kerusakan pada tutupan lahan, kerugian ekonomi, dan masalah sosial (Yusuf dkk,
2019). Secara ekologis, penurunan luas hutan dan degradasi lahan dapat
menimbulkan resiko dan ketidakpastian dalam pemulihan kondisi ekosistem. Hal ini,
termasuk di Provinsi Jambi, tidaklah menjadi suatu fenomena baru sebab kebakaran
hutan dan lahan gabut disana sering terjadi beberapa tahun belakangan. Pada Agustus
2016, Provinsi Jambi juga sudah menetapkan status siaga darurat kebakaran hutan
serta lahan, perihal ini dicoba buat meminimalkan kebakaran yang menimbulkan
kabut asap. Disaat itu telah terdapat 20 kasus pembukaan lahan dengan cara
membakar, untuk mendukung penetapan status siaga darurat itu satuan tugas( Satgas)
sudah mendirikan posko pusat musibah karhutla, ialah di zona Lapangan terbang
Sultan Thaha yang lama, tercantum pendirian posko di tiap kecamatan di Provinsi
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di tahun 2016 di Provinsi jambi,
berdampak terhadap aliran dan kualitas air serta terhadap kesehatan manusia. ketika
kebakaran hutan diikuti dengan hujan lebat, maka jumlah abu, tanah, dan unsur hara
lainnya yang ikut terbawa ke dalam sistem aliran sungai akan meningkat secara
dramatis (Ariez dan Alfath, 2016). Hal ini tentunya dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran, karena endapan yang masuk ke dalam aliran sungai tersebut dapat
mencemari air. Terhirupnya asap yang kemudian masuk dalam sistem pernafasan
manusia tentu akan berdampak negatif pada paru-paru, kesehatan mata dan bagian
tubuh lainnya.
salah satu kawasan yang berada di Provinsi Jambi yang berpotensi mengalami
kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahunnya. Menurut data yang dirilis oleh
Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi pada tahun 2014 tercatat sebanyak
173 titik api (Hotspot) untuk Kabupetan Muaro Jambi (BLHD, 2014). Namun, terjadi
penurunan sebaran titik api pada tahun 2016 berdasarkan data dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tercatat sebanyak 46 titik api (KLHK,
2016) dengan luas kebakaran hutan dan lahan yang bersumber dari Badan Nasional
Ha untuk kelas sedang dan 51.190 Ha untuk kelas tinggi (BNPB, 2016).
Penginderaan jauh bisa dimanfaatkan untuk memetakan wilayah terbakar
Ratio( NBR). Data yang diambil pada riset ini ialah data saat sebelum serta setelah
kebakaran hutan, data titik hotspot serta data batas wilayah administrasi. Informasi
tersebut diolah menggunakan aplikasi SNAP untuk memastikan nilai NBR serta
dNBR. Berikutnya akan diklasifikasi jadi 7 kelas untuk mendapatkan daerah yang
terbakar. Hasil peta daerah yang terbakar nantinya juga menentukan luas wilayah
yang bekas kebakaran hutan dan lahan. Riset ini pula juga menggunakan pengujian
akurasi wilayah yang dibakar bersumber pada distribusi titik hotspot. Dengan
menggunakan produk penginderaan jauh dapat menghemat waktu, biaya dan tempat
ke lapangan untuk menghitung luas sebaran bekas kebakaran hutan dan lahan
tersebut.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka pada penelitian ini akan mengangkat riset
disekitar
2) Bagaimana tutupan lahan sebelum dan sesudah kebakaran hutan dan lahan di
Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi tahun 2019 dan 2021 ?
dan lahan di Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi tahun 2019
dan 2021.
1.5 Manfaat Penelitian
Dengan penelitian ini, penulis dapat memberikan manfaat dalam berbagai aspek
dan lahan.
2. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai acuan rehabilitas hutan atau lahan
4. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan penegak hukum terhadap tindak
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Bencana Hidrometeorologi
Kekeringan menjadi salah satu faktor terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Frekuensi bencana terkait iklim dan cuaca di Indonesia terus meningkat dalam 20
selama tahun 2002 sampai 2019, sebanyak 92,1% bencana di Indonesia disebabkan
2015 sebanyak 78,9% hingga di tahun 2020 presentasenya menurun menjadi 77%.
Kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global di duga menjadi pemicu terjadinya
Bencana kebakaran hutan dan lahan yang semakin marak terjadi di Indonesia
khususnya di negara tropis. Berdasarkan data dari BNPB bentang alam kawasan
gambut di Provinsi Jambi berkisar 621.000 ha dan luas hutan 2.107.779 ha, serta luas
hutan rawa gambut di Pulau Sumatera 7,4%nya terletak di Provinsi Jambi sedangkan
luas wilayah kabupaten Muaro Jambi berkisar 526,4 ha. Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) menyampaikan kerugian akibat dari kebakaran hutan dan lahan gambut di
Provinsi Jambi mencapai Rp.145 triliun dalam kurun waktu tahun 2019 (Humam dkk,
2020). Sebaran lahan gambut terdapat pada berbagai kabupaten yang berada di
kawasan hilir serta bagian gugus pantai timur Sumatera yaitu terdiri dari Kabupaten
Tanjung Jabung Timur (46%), Kabupaten Muaro Jambi (30%) dan Kabupaten
Tanjung Jabung Barat (20%) (Oktiana dkk, 2017). Untuk itu perlu dilakukannya
merebalitas hutan dan lahan baik dari pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.
Kebakaran hutan dan lahan terjadi disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu
faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami antara lain oleh pengaruh El-Nino yang
2014). Dampak pada kesehatan yaitu timbulnya asap yang mengganggu kesehatan
masyarakat terutama masyarakat miskin, lanjut usia, ibu hamil dan anak balita seperti
infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma bronkial, bronkitis, pneumonia, iritasi
mata dan kulit. Dampak sosial yaitu hilangnya mata pencaharian, rasa keamanan dan
keharmonisan masyarakat lokal (Kantor Meneg L.H., 1998). Dampak dari ekonomi
Titik Panas (hotspot) adalah indikator kebakaran hutan yang mendeteksi suatu
lokasi yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan suhu disekitarnya
untuk mendeteksi hotspot atau titik adalah Satelit NOAA, Suomi NPP, Terra/Aqua
Menurut (Giglio dkk., 2003) hotspot merupakan hasil dekteksi kebakaran hutan
dan lahan pada ukuran tertentu (misal 1 km x 1 km) yang kemungkinan terbakar pada
saat satelit melintas pada kondisi relatif bebas awan dengan menggunakan algoritma
semakin banyak titik hotspot, semakin banyak pula potensi kejadian kebakaran lahan
disuatu wilayah. Walaupun tidak selalu semakin banyak dan berulangnya titik panas
(hotspot) pada suatu wilayah semakin banyak pula potensi kejadian kebakaran
(KLHK, 2016). Namun titik panas (hospot) memang dapat digunakan untuk
5. Penginderaan Jauh
mengenai sutau objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh
menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan objek yang akan dikaji (Lillesand
dkk, 2015). Salah satunya digunakan untuk mendeteksi luas bekas kebakaran hutan
dengan pemotretan foto udara untuk mendeteksi bekas kebakaran diantaranya dari
segi harga, periode ulang terhadap perekaman daerah yang sama, pemilihan spectrum
spectral (spectral band) yang dapat diatur sesuai dengan tujuan pengguna
efisien waktu dan tempat dalam menghitung luas sebaran bekas kebakaran.
6. Sentinel-2
diluncurkan pada tanggal 23 Juni 2015 di Guiana Space Centre, Kourou, French
Guyana, menggunakan kendaraan peluncur Vega. Satelit ini merupakan salah satu
dari dua satelit pada Program Copernicus yang telah diluncurkan dari total
yang merupakan satelit radar pada tanggal 3 April 2014, dan segera menyusul
kemudian yaitu Satelit Sentinel-2B pada tahun 2017 mendatang (ESA, 2015)
radiometrik sehingga mempunyai kualitas gambar yang jauh lebih baik daripada
Landsat 8 pada umumnya (Kawamuna, 2017). Spesifikasi ini sangat membantu dalam
Panjang Resolusi
Sentinel-2 Band Gelombang Spasial
(mm) (m)
Band 1 - Coastal aerosol 0,443 60
Band 2 - Blue 0,490 10
Band 3 - Green 0,560 10
Band 4 - Red 0,665 10
Band 5 - Vegetation Red Edge 0,705 20
Band 6 - Vegetation Red Edge 0,740 20
Band 7 - Vegetation Red Edge 0,783 20
Band 8 - NIR 0,842 10
Band 8A - Vegetation Red Edge 0,865 20
Band 9 - Water vapour 0,945 60
Band 10 - SWIR - Cirrus 1,375 60
Band 11 – SWIR 1,610 20
Band 12 – SWIR 2,190 20
(Sumber : ESA, 2015)
B. Penelitian Relevan
METODE PENELITIAN
kuantitatif dapat digunakan untuk sebaran luas kebakaran, permasalahan yang sudah
jelas teramati, terukur, serta untuk menguji hipotesis (Sugiyono, 2012). Data
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Alat
d. QGIS 3.4.15
2. Bahan
1. Data Primer
2. Data Sekunder
Data hotspot yang digunakan adalah data hotspot VIIRS (Visible infrared
Imaging Radiometer Suite) bulanan selama kurun waktu Januari 2015 hingga
Desember 2015 dan Januari 2021 hingga September 2021. Data hotpot VIIRS ini
seperti awan, suhu permukaan laut, warna laut, angin kutub, vegetasi, aerosol, api,
salju, es, dan lainnya (LAPAN, 2021). Satelit Suomi NPP memiliki resolusi spatial
Agustus 2019 hingga November 2019 dan Februari 2021 hingga Maret 2021,
dengan resolusi spatial 20 meter. Dalam satu kasus kebakaran diperlukan 1 (lembar)
scene citra sebelum terjadinya kebakaran hutan dan 1 (lembar) scene citra setelah
Untuk pemetaan sebaran bekas kebakaran hutan dan lahan menggunakan citra
pemotongan citra. Kemudian untuk mendapatkan hasil peta bekas kebakaran hutan
Menggunakan panjang gelombang Near Infrared (NIR) yaitu band 8A dan Shortwave
Infrared (SWIR) band 12. Menurut (Coops dkk, 2006) menyatakan citra yang
digunakan pada kondisi sebelum kebakaran akan memiliki nilai pita NIR yang tinggi
dan nilai SWIR sangat rendah dan sebaliknya jika citra yang digunakan sesudah
kebakaran maka akan memiliki nilai pit NIR yang rendah sedangkan pita SWIR akan
bernilai tinggi. Persamaan yang digunakan pada metode Normalized Burn Ratio
NBR = (3.5.1)
Keterangan :
pada kejadian kebakaran hutan dan lahan(Coops dkk, 2006). Penerapan metode
dNBR memerlukan citra satelit sebelum daerah terbakar dan setelah daerah tersebut
terbakar. Nilai dNBR yang tinggi menunjukkan tingkat kerusakan yang parah dan
nilai dNBR yang rendah menunjukkan tingkat pertumbuhan vegetasi yang tinggi
Keterangan :
menggunakan citra Sentinel-2, melewati beberapa proses dimulai dari cloud masking
dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu interpretasi manual dan interpretasi digital.
Salah satu teknik interpretasi manual dengan cara komposit citra dengan band 4,3,2.
Komposit citra untuk mendapatkan warna merah (red), hijau (green), dan biru (blue)
komposit citra dengan band 4,3,2 pada citra sebelum dan sesudah kebakaran hutan
dan lahan.
menentukan suatu objek di permukaan bumi. Analisis digital dapat dilakukan melalui
pengenalakan pola spektral dengan bantuan komputer (Lillesand dkk, 2015). Dasar
interpretasi ini berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektral dan pengembilan
c. Pengujian akurasi
dari penelitian yang dilakukan (Fibyana, 2020). Pengujian akurasi pada penelitian ini
dengan overall accuracy menggunakan jumlah data valid dan jumlah data
keseluruhan. Jumlah data valid merupakan jumlah data area terbakar yang memiliki
kesamaan dengan titik hotspot sedangkan jumlah data keseluruhan merupakan jumlah
data hasil akhir area bekas kebakaran hutan dan lahan. Persamaan pengujian akurasi
Keterangan :
kembali pasca kebakaran yang rendah, tidak terbakar, rendah, sedang - rendah,
sedang - tinggi, tinggi. Sebelum melakukan uji akurasi di perlukan data sampel
N = Z2(p)(q)/E2 (3.5.4)
Keterangan :
N = Jumlah sampel
10%, maka :
N= = 36
DESKRIPSI WILAYAH
A. Kondisi Fisik
dan 1030‟0” sampai 200‟0” LS serta memiliki luas ± 71,38 Km2 (BPS, 2020).
B. Kondisi Kendudukan
Ariez, Billy & Alfath, D. (2016) Rekomendasi Kebijakan Untuk Mencegah dan
Mengatasi Kebakaran Hutan di Provinsi Jambi. Edited by A. Lanae. Jakarta.
BLHD (2014) BUKU DATA STATUS LINGKUNGAN HIDUP DAERAH PROVINSI
JAMBI TAHUN 2014. Jambi.
BNPB (2016) Risiko bencana indonesia. Jakarta.
BNPB (2020) Indeks Resiko Bencana Indonesia (IRBI) Tahun 2020. Edited by R.
Yunus. Jakarta.
Boulghobra, N. (2016) „Integrated Surveying for the Archaeological‟, 11(2), pp. 39–
50. doi: 10.21163/GT.
BPS (2020) Kecamatan Kumpeh Ulu Dalam Angka 2020, Majalah Geografi
Indonesia. Jambi: CV. Green Creative. doi: 10.22146/mgi.35166.
Danoedoro, P. (2011) „Pengolahan Citra digital Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh‟, Analysis.
European Space Agency (2015) SENTINEL-2 User Handbook.
European Space Agency (2017) „TRAINING KIT – HAZA02 BURNED AREA
MAPPING WITH SENTINEL-2 using SNAP Table of Contents‟, https://rus-
copernicus.eu/portal/wp-
content/uploads/library/education/training/HAZA02_BurnedArea_Portugal.pdf
, 2(June).
Fernández-Manso, A., Fernández-Manso, O. and Quintano, C. (2016) „SENTINEL-
2A red-edge spectral indices suitability for discriminating burn severity‟,
International Journal of Applied Earth Observation and Geoinformation,
50(August), pp. 170–175. doi: 10.1016/j.jag.2016.03.005.
Fibyana, V. (2020) Pemetaan Area Terbakar Dengan Metode Burn Ratio (NBR)
Menggunakan Data Landsat 8 Oli/TIRS di Kota Palangkaraya. Universitas
Jember.
Giglio, L. et al. (2003) „An Enhanced Contextual Fire Detection Algorithm for
MODIS‟, 87, pp. 273–282. doi: 10.1016/S0034-4257(03)00184-6.
Hafni, D. A. F. (2017) Estimasi Luas Kebakaran dan Emisi Karbon Akibat
Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Institut Pertanian Bogor.
Humam, A. et al. (2020) „Identifikasi Daerah Kerawanan Kebakaran Hutan dan
Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh di
Kawasan Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi‟, Jurnal Geosains dan Remote
Sensing, 1(1), pp. 32–42. doi: 10.23960/jgrs.2020.v1i1.14.
Indonesia, K. M. N. L. H. R. (1998) „Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia
(Dampak, Faktor dan Evaluasi) Jilid 1‟, in. Jakarta.
Kawamuna, A. (2017) Analisis Kesehatan Hutan Mangrove Berdasarkan Metode
Klasifikasi NVDI Pada Citra Sentinel-2 (Studi Kasus : Teluk Pangpang Kab.
Banyuwangi). Semarang.
KLHK (2016) ANALISIS DATA TITIK PANAS ( HOTSPOT ) DAN AREAL
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN TAHUN 2016. Jakarta.
LAPAN (2021) „NPP - V I I RS Citra Satelit Resolusi Rendah‟. Available at:
https://inderaja-
catalog.lapan.go.id/application_data/default/pages/about_NPP_VIIRS.html.
Lillesand, T.M, Kiefer, R.W, dan Chipman, J. . (2015) Remote Sensing and Image
Interpretation. 7th Edition, Photogrammetric Engineering & Remote Sensing.
doi: 10.14358/pers.81.8.615.
McCoy, R. M. (2005) Field Methods in Remote Sensing. 72 Spring Street, New York,
NY 10012: The Guilford Press.
Nicholas C. Coops, Michael A. Wulder, and J. C. W. (2006) „Identifying and
describing forest disturbance and spatial pattern: Data selection issues and
methodological implications‟, pp. 31–61.
Oktiana, C., Tjahjono, H., & S. (2017) „Hubungan Tingkat Pengetahuan Konservasi
Lahan Gambut Dengan Tingkat Partisipasi Petani Dalam Upaya Pencegahan
Kebakaran Lahan Gambut Di Desa Gambut Jaya Kecamatan Sungai Gelam
Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2017‟, Geo-Image, 6(2), pp. 108–114. doi:
10.15294/geoimage.v6i2.19024.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/Menhut-II/2009. (2009) „tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan‟, pp. 1–21.
Qodriyatun, S. N. (2013) „Bencana Hidrometeorologi dan Upaya Adatasi Perubahan
Iklim‟, V(10), pp. 9–12.
Rasyid, F. (2014) „Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan‟, (4), pp. 47–59.
Sugiyono (2012) Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Tacconi, L. (2003) Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan.
Yusuf, A. et al. (2019) „Analisis Kebakaran Hutan Dan Lahan di Provinsi Riau‟,
Dinamika Lingkungan Indonesia, 6(2), p. 67. doi: 10.31258/dli.6.2.p.67-84.