Anda di halaman 1dari 6

I.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luas hutan di Indonesia setiap tahunnya berkurang, penurunan ini
ditunjukkan oleh meningkatnya laju deforestasi yang terjadi di Indonesia. Menurut
KLHK (2018), deforestasi Indonesia tahun 2016-2017 sebesar 0,48 juta ha (didalam
dan diluar kawasan hutan), berdasarkan tipe hutan, deforestasi tertinggi terjadi
hutan sekunder yaitu sebesar 0,45 juta ha (92,9%), yang terdiri dari 278,6 ribu ha
terjadi didalam kawasan hutan, sisanya sebesar 167,2 ribu ha terjadi di area
penggunaan lain (APL).
Salah satu permasalahan lingkungan utama terkait degradasi hutan tropis
adalah kebakaran hutan. Kebakaran hutan telah diidentifikasi sebagai salah satu isu
lingkungan utama yang memiliki dampak terhadap keanekaragaman hayati dan
iklim global jangka panjang (Ganjam et al. 2015). Secara global, luas hutan yang
terbakar sebesar lebih dari 350 juta ha pada tahun 2000 (FAO, 2003). Beberapa
tahun terakhir ini, kekeringan yang berkepanjangan disertai dengan penggunaan
hutan tropis yang intensif telah mengakibatkan peningkatan kebakaran hutan
dan lahan (FAO, 2007).
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia telah terjadi sejak tahun
1997 hingga saat ini, dan terjadi hampir setiap tahun. Pada tahun 2015 terjadi
karhutla yang telah membakar hutan dan lahan seluas 2,61 juta ha (BNPB, 2016).
Meski Indonesia dilanda la nina, pada tahun 2016 karhutla tetap terjadi kebakaran
hutan dan lahan seluas 14.604,84 ha (KLHK, 2016). Pada tahun 2015 merupakan
salah satu kebakaran terbesar di Indonesia pasca kebakaran pada tahun 1997/1998.
Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
bahwa peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia telah
dikategorikan sebagai bencana karena telah mengganggu dan mengancam
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang mengakibatkan kerugian materi,
kerusakan harta benda bahkan korban jiwa.
Peristiwa kebakaran hutan dan lahan merupakan permasalahan serius yang
hingga saat ini sulit untuk diatasi. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terus
terjadi pada tahun 2016 bahkan hingga pertengahan tahun 2017. Dampak kebakaran
telah menimbulkan potensi kerugian yang tidak bisa dihitung secara finansial

1
berupa hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya habitat hidup satwa liar, hingga
perubahan ekosistem dan lingkungan. Pada tahun 2015 telah mengakibatkan
kerugian finansial hingga Rp 221 triliun atau setara Rp 16,1 miliar dolar AS (The
Word Bank, 2016). Dampak dari kebakaran hutan dan lahan memberikan kerugian
bagi lingkungan, sosial dan ekonomi. Bahkan persoalan kebakaran di Indonesia
telah mengakibatkan persoalan asap bagi negara tetangga khususnya diwilayah
Asia Tenggara (Heil, Langmann, & Aldrian, 2007 dalam Budiningsih, 2017).
Dampak dari kebakaran hutan telah banyak mengakibatkan berkurangnya
luasan hutan, berubahnya tutupan lahan, rusaknya ekosistem, hingga musnahnya
flora dan fauna yang ada di hutan. Menurut Nadyanti (2016), bahwa kebakaran
hutan yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh masyarakat yang membuka lahan
untuk dijadikan lahan pertanian maupun perkebunan.
Salah satu kawasan terbesar di Indonesia yang mengalami kebakaran hutan
dan lahan yaitu Provinsi Jambi dengan luas kebakaran yang terjadi yaitu 115.634,34
ha, selain tahun 2015 yaitu pada tahun 2019 juga merupakan salah satu kebakaran
hutan dan lahan terbesar di Provinsi Jambi yaitu 56.593,00 ha (Direktorat PKHL
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, 2019). KPHP Unit IX Tebo
Barat salah satu kawasan di Provinsi Jambi yang mengalami kebakaran hutan dan
lahan.
KPHP Unit IX Tebo Barat merupakan salah satu penyumbang asap pada
tahun 2015 dengan kebakaran hutan dan lahan seluas 17.335,51 ha ditambah lagi
pada tahun 2016 seluas 927,52 ha (Sinpasdok KPH, 2016). Penyebab kebakaran
hutan diduga karena pembukaan lahan untuk perkebunan sawit, pembangunan
industri kayu yang tidak diikuti dengan pembangunan hutan tanaman, besarnya
kesempatan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha untuk melakukan
konvensi lahan menjadi perkebunan monokultur skala besar seperti perkebunan
kayu dan perkebunan sawit.
Tingginya resiko dan kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan mendorong
perlunya berbagai upaya serius untuk melakukan tindakan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Salah satu upaya penanggulangan
pada saat dan pasca kebakaran hutan dan lahan juga dapat dilakukan dengan
teknologi penginderaan jauh. Menurut Jaya (2010) dalam Amalia (2013),

2
penginderaan jauh dapat memperbaharui data perubahan yang terjadi begitu cepat
sehingga dapat mendeteksi perubahan hutan. Teknologi penginderaan jarak jauh
dapat digunakan untuk skala yang luas sehingga waktu yang diperlukan lebih
efisien dengan hasil yang relatif akurat.
Data penginderaan jauh bisa digunakan untuk mengindentifikasi kebakaran
hutan dan lahan dengan memperoleh titik panas dari berbagai sensor, salah satunya
sensor MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer). Titik panas
selama ini dijadikan sebagai indikator kejadian kebakaran, meskipun tidak
selamanya titik panas yang terekam dalam citra satelit menunjukkan terjadinya
kebakaran. Namun secara kualitas biasanya jumlah titik panas yang bergerombol,
disertai asap dan terpantau terjadi berulang menunjukkan adanya kejadian
kebakaran di suatu wilayah (Lapan, 2016). Dengan demikian data titik panas hingga
saat ini masih digunakan sebagai cara paling efektif dalam memantau kebakaran
untuk wilayah luas secara cepat (near real time). Teknologi penginderaan jauh
melalui kemampuan temporal satelit sumberdaya alam, dapat digunakan sebagai
informasi acuan penanganan kebakaran hutan dan lahan, yang mana selama ini
tindakan hanya dilakukan pada saat terjadinya kebakaran saja, tetapi kurang ada
pencegahan pra maupun pasca kejadian.
Karakteristik data satelit penginderaan jauh yang memiliki cakupan luas,
perolehan data yang konsisten, dan biaya yang relatif murah sangat mudah
diimplementasikan di Indonesia. Identifikasi tutupan lahan dapat dilakukan dengan
bantuan Citra Landsat. Kaitan penyebaran titik panas serta kebakaran hutan dan
lahan dengan perubahan tutupan lahan dapat menghasilkan data yang dapat
dijadikan acuan pengelolaan sumber daya alam hayati serta pemantauan kebakaran
hutan dan lahan di suatu wilayah.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis perubahan kelas tutupan lahan
sebelum kebakaran dan sesudah kebakaran di KPHP Unit IX Tebo Barat. Tutupan
lahan sebelum kebakaran hutan menggunakan Citra Landsat satu tahun sebelum
kejadian kebakaran yaitu citra landsat tahun 2014, tahun kejadian kebakaran hutan
yaitu tahun 2015 dan tahun 2016, tutupan lahan sesudah kebakaran hutan
menggunakan citra landsat tiga tahun setelah kejadian kebakaran hutan yaitu citra
landsat tahun 2019. Selama jangka waktu tiga tahun tersebut dapat terlihat secara

3
jelas perubahan tutupan lahan yang terjadi akibat kebakaran hutan. Dengan adanya
penelitian ini, diharapkan dapat menjadi gambaran dan alat bantu untuk
pengambilan kebijakan upaya penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan
dengan cepat terutama untuk KPHP Unit IX Tebo Barat. Proses analisis data
menggunakan data satelit adalah metode yang cepat, tepat dan akurat, sehingga
prosesnya tidak memakan waktu yang lama. Akan tetapi proses ini masih
terkendala beberapa hal, salah satunya cakupan awan.
Berdasarakan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terkait identifikasi perubahan kelas tutupan lahan sebelum kebakaran dan sesudah
kebakaran di KPHP Unit IX Tebo Barat yang mana penelitian ini diharapkan
mampu memberikan informasi teliti untuk cakupan wilayah luas dalam kegiatan
pemantauan kebakaran hutan dan lahan.

1.2 Rumusan Masalah


KPHP Unit IX Tebo Barat Kabupaten Tebo Provinsi Jambi merupakan salah
satu kawasan yang telah terjadi kebakaran hutan pada tahun 2015 dan tahun 2016.
Kebakaran hutan sering terjadi karena adanya kegiatan alih fungsi lahan oleh
masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian maupun lahan perkebunan. Dampak
dari kebakaran hutan tersebut telah mengakibatkan berkurangnya luas hutan dan
berubahnya tutupan lahan di kawasan KPHP Unit IX Tebo Barat.
Dari uraian di atas, maka didapat pertanyaan penelitian yaitu bagaimana
perubahan kelas tutupan lahan sebelum dan sesudah kebakaran di KPHP Unit IX
Tebo Barat tahun 2014 sampai tahun 2019 ?

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis perubahan kelas tutupan
lahan sebelum kebakaran dan sesudah kebakaran di KPHP Unit IX Tebo Barat
tahun 2014 sampai tahun 2019.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan data acuan bagi KPHP
Unit IX Tebo Barat, serta juga memberikan data dan informasi terbaru mengenai

4
perkembangan perubahan kelas tutupan lahan akibat kebakaran hutan dan lahan di
KPHP Unit IX Tebo Barat.

1.5 Kerangka Pemikiran


Kebakaran terjadi baik di kawasan hutan, perkebunan ataupun areal
penggunaan lainnya. Kebakaran tersebut berdampak kerugian pada aspek
lingkungan, sosial dan ekonomi. Penelitian ini menganalisis perubahan tutupan
lahan, menggunakan data citra landsat selama kurun waktu lima tahun dari tahun
2014 sampai tahun 2019. Data terkait sebaran areal bekas kebakaran hutan dan
lahan bertujuan untuk mengidentifikasi areal bekas kebakaran hutan dan lahan.
Data yang diperoleh akan dianalisis kemudian dijelaskan secara deskriptif. Secara
umum kerangka penelitian disajikan dalam bentuk bagan alir pada Gambar 1.

5
KPHP Unit IX Tebo Barat

Permasalahan terhadap
KPHP Unit IX Tebo Barat

Kebakaran hutan
dan lahan

Potensi perubahan tutupan


lahan

Sebelum kebakaran Sesudah kebakaran

Citra satelit dan SIG

Analisis perubahan tutupan lahan


sebelum dan sesudah kebakaran

Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

Anda mungkin juga menyukai