Disusun oleh:
1. Ayesha Al Zahra Shofa
2. Chantika Putri Sagen
3. Nadya Fuad
SOSIOLOGI
SMANEGERI 1 SAMARINDA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan karya ilmiah tentang
“ANALISIS DAMPAK KEBAKARAN HUTAN YANG TERJADI DI RIAU
PADA INDONESIA DAN NEGARA SEKITARNYA.”.
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah turut memberikan kontribusi dalam penyusunan karya ilmiah ini. Tentunya,
tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,
baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki karya ilmiah ini.
Kami berharap semoga karya ilmiah yang kami susun ini memberikan
manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.
Penulis
ii
ANALISIS DAMPAK KEBAKARAN HUTAN YANG TERJADI
DI RIAU PADA INDONESIA DAN NEGARA SEKITARNYA
ABSTRAK
Kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia semakin mendapatkan
perhatian Internasional dan harus segera ditindaklanjuti. Kebakaran hutan dan
lahan tersebut tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara asal tempat
terjadinya kebakaran, namun juga perdampak terhadap negara lain berupa
pencemaran asap lintas batas Negara terhadap Malaysia dan Singapura. dengan
kejadian pencemaran asap lintas batas yang menyebabkan terganggunya
lingkungan negara lain merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip –
prinsip hukum Internasional, khususnya yang mengatur tentang hukum
lingkungan Internasional Dalam pencemaran lintas batas negara akibat dari
kebakaran hutan ini dikarenkan Indonesia telah melakukan kelalaian dalam rangka
pengelolaan hutan dan ini merupakan kegagalan dalam menerapkan standar
langkah – langkah pengelolaan hutan dan pencegahan terhadap kebakaran hutan
hingga menimbulkan pencemaran udara hingga keluar batas yurisdiksinya.
iii
DAFTAR ISI
iv
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan adalah bencana alam yang sering terjadi di
Indonesia, terutama pada musim kemarau. Kebakaran ini menyebabkan kerusakan
lingkungan yang sangat besar, kerugian ekonomi, dan masalah sosial. Secara
ekologis, penurunan luas hutan dan degradasi lahan akibat kebakaran
menimbulkan risiko dan ketidakpastian dalam pemulihan kondisi ekosistem,
hilangnya nilai penggunaan kayu dan hutan non-kayu di masa depan dan
hilangnya nilai yang diharapkan dari keanekaragaman hayati yang saat ini belum
dimanfaatkan (Bahruni et al., 2007).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan
disebabkan oleh berbagai faktor lingkungan seperti iklim, kondisi penutupan
lahan, jenis tanah, dan faktor lingkungan bio-fisik lainnya; faktor sosial ekonomi
dan faktor kebijakan yang dapat meningkatkan interaksi manusia dengan hutan
dan lahan (Tarigan, 2015, Ruchiat, 2001). Menurut Ekadinata dan Dewi (2011)
jumlah kegiatan konversi penggunaan lahan yang disebabkan oleh kondisi sosial
ekonomi masyarakat dan kebijakan kepemilikan lahan adalah penyebab utama
dari tingginya jumlah kebakaran hutan di Indonesia. Oleh karena itu perlu untuk
mereformasi kebijakan kehutanan dan pengaturan penggunaan lahan berbasis
penggunaan lahan (Barber dan Schweithelm, 2000), terutama dalam ekosistem
yang sangat rentan seperti lahan gambut.
Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi baik di dalam maupun di luar
kawasan hutan, di tanah mineral dan gambut (Saharjo, 1997; Page et al., 2002;
Syaufina 2008). Kebakaran yang terjadi di lahan gambut lebih sulit diatasi karena
api dapat menyebar melalui biomassa di atas tanah dan di lapisan gambut di
bawah permukaan (Sumantri 2007). Proses membara di lahan gambut ini sulit
diketahui penyebarannya secara visual (Rein et al., 2008). Kondisi gambut kering
akibat pembukaan lahan dan kanal/parit dapat menyebabkan lahan gambut mudah
1
terbakar, terutama di musim kemarau yang panjang (Jaenicke et al. 2010). Terkait
Dinamika Lingkungan Indonesia, Juli 2019, p 67-84 p-ISSN 2356-2226 e-ISSN
2655-8114 Volume 6, Nomor 2 Dinamika Lingkungan Indonesia 68 hal ini,
Provinsi Riau menjadi salah satu daerah yang perlu mendapat perhatian khusus
karena memiliki luas lahan gambut 3,867,413 ha atau 43,61% dari total luas
(Kementerian Pertanian, 2011).
Karena karakteristik lingkungan yang berbeda di setiap wilayah mengarah
pada kebutuhan akan penelitian yang dapat menjadi rujukan dalam pengendalian
kebakaran yang efektif dan efisien di Provinsi Riau, kami sebagai penulis
menjadi terdorong untuk menganalisis lebih dalam mengenai kebakaran hutan ini
mulai dari latar belakang terjadinya kebakaran hutan, faktor-faktor yang
melatarbelakangi, dampak terhadap negara-negara, serta upaya yang dilakukan
pemerintah agar bencana ini tidak terulang kembali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan beberapa
masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Mengapa kebakaran hutan tersebut dapat terjadi?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan tersebut?
3. Apa Dampak dan kerugian yang diakibatkan dari kebakaran hutan tersebut
terhadap Indonesia dan negara lain?
4. Bagaimana upaya pemerintah agar bencana ini tidak terulang kembali?
C. Tujuan Penelitian
Secara khusus, penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dampak dari kebakaran hutan di Riau dan upaya untuk
menanggulangi dampak tersebut agar kami dapat mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari serta dapat memberikan gambaran tentang faktor-
faktor yang secara signifikan mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan dan
lahan di Provinsi Riau, sehingga dapat memberikan masukan bagi Pemerintah
2
Daerah dan pihak terkait dalam menetapkan kebijakan dan peraturan tentang
pengelolaan hutan dan lahan dan pemanfaatan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Secara Teoritis
Memperkaya ilmu pegetahuan terutama dalam bidang kelingkungan dan
kewilayahan.
2. Manfaat Secara Praktis
Memberikan ide bagi warga sekitar daerah Riau mengenai upaya untuk
menanggulangi dampak kebakaran hutan.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan dibedakan dengan kebakaran lahan. Kebakaran hutan
yaitu kebakaran yang terjadi di dalam kawasan hutan, sedangkan kebakaran lahan
adalah kebakaran yang terjadi di luar kawasan hutan dan keduanya bisa terjadi
baik disengaja maupun tanpa sengaja (Hatta, 2008).
Kebakaran hutan ialah terbakarnya sesuatu yang menimbulkan bahaya
atau mendatangkan bencana. Kebakaran dapat terjadi karena pembakaran yang
tidak dikendalikan, karena proses spontan alami, atau karena kesengajaan. Proses
alami sebagai contohnya kilat yang menyambar pohon atau bangunan, letusan
gunung api yang menebarkan bongkahan bara api, dan gesekan antara ranting
tumbuhan kering yang mengandung minyak karena goyangan angin yang
menimbulkan panas atau percikan api (Notohadinegoro, 2006). Kebakaran yang
terjadinya akibat kesengajaan manusia dikarenakan oleh beberapa kegiatan,
seperti kegiatan ladang, perkebunan (PIR), Hutan Tanaman Industri (HTI),
penyiapan lahan untuk ternak sapi, dan sebagainya (Hatta, 2008).
Menurut Darwiati dan Tuheteru (2010) di Indonesia, kebakaran hutan dan
lahan hampir 99% diakibatkan oleh kegiatan manusia baik disengaja maupun
tidak (unsur kelalaian). Diantara angka persentase tersebut, kegiatan konversi
3
lahan menyumbang 34%, peladangan liar 25%, pertanian 17%, kecemburuan
sosial 14%, proyek transmigrasi 8%; sedangkan hanya 1% yang disebabkan oleh
alam. Faktor lain yang menjadi penyebab semakin hebatnya kebakaran hutan dan
lahan sehingga menjadi pemicu kebakaran adalah iklim yang ekstrim, sumber
energi berupa kayu, deposit batubara dan gambut.
2. Konflik
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) konflik adalah
percekcokan, perselisihan, dan pertentangan. Konflik sosial adalah pertentangan
antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Konflik
berasal dari kata kerja latin "configere". Artinya saling memukul. Secara
sosiologi, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau
lebih. Di mana salah satu pihak berusaha yang ingin menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya. Konflik sering kali berubah menjadi kekerasan
terutama ada upaya-upaya dengan pengelolaan konflik tidak dilaksanakan dengan
sungguh-sungguh oleh pihak yang berkaitan.Karena konflik selalu menjadi bagian
hidup manusia yang bersosial dan berpolitik serta menjadi pendorong dalam
dinamika dan perubahan sosial politik. Dalam kamus umum bahasa Indonesia
yang disusun Poerwadarminta (1976), konflik berati pertentangan atau
percekcokan. Pertentangan sendiri bisa muncul ke dalam bentuk pertentangan ide
maupun fisik antara dua belah pihak berseberangan.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, gagasan, dan lain
sebagainya. Dengan dibawa sertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial,
konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan sebagai
sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan
integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
4
BAB 2
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penulis menggunakan pendekatan kualitatif lebih tepatnya adalah
phenomenological research dimana peneliti melakukan pengumpulan data dengan
observasi partisipan untuk mengetahui fenomena esensial partisipan.
B. Objek Penelitian
Dalam melakukan suatu penelitian, objek penelitian merupakan hal
pertama yang harus diperhatikan. Dalam objek penelitian biasanya berisi rumusan
masalah yang akan dijadikan bahan penelitian untuk dicari solusi masalahnya.
Objek yang menjadi pilihan untuk dianalisis umumnya telah dikenal sebelumnya
di kalangan masyarakat meskipun hanya secara garis besar, dan tidak secara
mendalam. Penentuan objek hendaknya dipilih berdasarkan kedekatan emosional
dan intelektual. Dua hal tersebut penting karena akan berpengaruh terhadap aspek
subjektif dan objektif penulis.
Penulis menggunakan objek penelitian sekunder yang berarti data yang
diperoleh dari objek yang merupakan sumber sekunder atau sumber kedua,
sumber ketiga, dan selanjutnya. Kredibilitasnya tetap valid dan terjamin, karena
sumber data yang digunakan penulis didapatkan dari sumber yang kredibel,
seperti jurnal-jurnal yang telah disusun oleh pihak ahli.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian kebakaran hutan ini, penulis menggunakan 2
metode pengumpulan data yaitu :
1. Bahan non hukum
Bahan ini berupa dokumen, jurnal, buku-buku, maupun hasil
penelitian yang membahas mengenai tindak pidana kekerasan akan
diperoleh melalui studi kepustakaan untuk dipahami lebih lanjut dan
selanjutnya digunakan sebagai pelengkap bagi bahan hukum agar hukum
perundang-undangan yang kami cantumkan di karya tulis ilmiah ini
bersifat fakta dan riil.
5
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum ini merupakan pendapat dari para ahli-ahli terkait
yang berhubungan dengan penelitian, cara pengambilannya dengan
mencari pada jurnal-jurnal ilmiah yang juga mengkaji mengenai kebakaran
hutan ataupun konflik.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode library research atau metode
kualitatif, metode ini dilakukan dengan mengumpulkan data sekunder berupa
berita, kronologi peristiwa dan jurnal yang mendukung untuk membentuk
argumen kualitatif guna menjelaskan persoalan.
6
BAB 3
HASIL PENELITIAN
7
Namun, lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah membuat api
lebih dulu melahap ratusan hingga jutaan hektar dalam kurun waktu 5 bulan.
Sejak Januari, Presiden Jokowi telah memerintahkan kepala daerah untuk bersiap
dalam mencegah dan mengatasi karhutla melalui Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK) yang saat itu dijabat oleh Siti Nurbaya. Namun, pemerintah
daerah nampak menutup mata akan peringatan dini yang diberikan LHK.
Praktik pembersihan lahan dengan metode pembakaran sebenarnya sudah
dilarang sejak 1995 karena risikonya yang tinggi. Metode seperti ini selanjutnya
hanya dilegalkan bagi masyarakat lokal melalui UU Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Masyarakat lokal
kemudian dipersilakan membuka lahan untuk perladangan tradisional seluas dua
Hektar. Sayangnya, alih-alih memberi pembatasan terhadap praktik pembakaran
hutan dan lahan, regulasi ini justru memberi celah bagi legalnya pembakaran
dalam skala yang lebih luas.
Studi gabungan antara Centre for International Foresty Research (CIFOR),
Pusat Studi Bencana Universitas Riau dan Fakultas Kehutanan Institut Pendidikan
Bogor (IPB) bertajuk “Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah
Pendekatan Analitis” (2015) menemukan adanya distribusi keuntungan yang
berasal dari peristiwa karhutla dengan mencurangi UU tersebut. Para pihak yang
mendapatkan aliran keuntungan ekonomi ini terdiri dari pengklaim dan pemasar
lahan, pengurus kelompok tani, oknum apparat desa dan kecamatan hingga
perusahaan di insdustri berbasis hutan dan lahan serta para elit lokal seperti kepala
daerah.
8
kesadaran masyarakat terhadap bahaya api. Biasanya bentuk kegiatan yang
menjadi penyebab adalah ketidaksengajaan dari pelaku. Misalnya adalah
kebiasaan merokok sambil bekerja di lokasi htan yang mudah terbakar. Dengan
tidak sadar mereka membuang puntung rokok dalam kawasan hutan yang
mempunyai potensi bahan bakar melimpah sehingga memungkinkan terjadi
kebakaran.
9
triliun. Angka ini digelontorkan pemerintah untuk menyediakan layanan
kesehatan selama karhutla dan bencana kabut asap berlangsung.
Tidak hanya pada sektor kesehatan, karhutla sepanjang 2015 turut
berdampak pada sejumlah sektor lain yakni, sektor kehutanan dan
pertanian, pendidikan, pariwisata, perhubungan, bisnis serta lingkungan
hidup. Dalam laporan yang sama, World Bank menghitung kerugian dan
kerusakan akibat karhutla dan kabur asap mencapai 16,1 miliar dolar AS
atau Rp211 triliun. Di antara ketujuh sektor, kehutanan dan pertanian
menjadi sektor yang paling dirugikan dengan taksiran kerugian mencapai
Rp120 triliun.
Kerugian pada kedua sektor disinyalir berasal dari kerusakan
infrastruktur dan peralatan serta biaya rehabilitasi lahan yang terbakar
untuk penanaman dan pendapatan produksi dan ekspor yang hilang semasa
proses rehabilitasi. World Bank memperkirakan, kerugian pada industri
pertanian tanaman pangan mencapai Rp23,7 triliun, lebih sedikit dari
kerugian tanaman perkebunan yang mencapai Rp42,7 triliun atau hampir
dua kali lipatnya. Tidak hanya itu, kajian World Bank menunjukkan,
karhutla turut menyebabkan produksi pertanian merosot 4,9 persen pada
kuartal ketiga 2015.
Pada bidang pendidikan, krisis kabut asap membuat kegiatan
belajar mengajar di sekolah terpaksa diliburkan hingga 34 hari. World
Bank mencatat 24.773 sekolah terpaksa ditutup sementara dan 4.692.537
siswa diharuskan belajar dari rumah selama puncak karhutla pada Oktober.
World Bank memperkirakan, jumlah kerugian akibat bertambahnya biaya
pendidikan selama krisis kabut asap mencapai Rp540 miliar.
Karhutla juga membuat sektor perhubungan terkendala dan
menderita kerugian hingga Rp5 triliun. Kabut asap yang pekat
menyebabkan jarak pandang kala itu tidak lebih dari 100 meter dan
memaksa banyak bandara dan pelabuhan menutup operasional mereka
demi keamanan. Keadaan ini tentunya berdampak pada sektor pariwisata,
perdagangan, dan manufaktur. World Bank menghitung proyeksi kerugian
10
pada masing-masing sektor mencapai Rp5,4 triliun pada sektor pariwisata,
Rp18 triliun pada sektor dan Rp8,382 triliun pada manufaktur dan
pertambangan. Sementara pada aspek lingkungan hidup, kerugian akibat
karhutla senilai Rp58,4 triliun atau 26 persen dari total kerugian. Angka
ini didasarrkan pada perhitungan hilangnya keanekaragaman hayati dan
kapasitas penyimpanan karbon. KLHK mencatat, besaran karbon yang
dilepaskan akibat karhutla pada 2015 mencapai 802.870 ribu ton CO2e.
11
dibiarkan efek rumah kaca yang terjadi dapat mencairkan es di kutub,
apabila hal ini terjadi, daratan dapat tenggelam.
Kondisi cuaca yang kering di Riau berpotensi menyebabkan titik
api yang sebelumnya sudah kecil di bagian bawah gambut kembali
memicu kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, adanya pembakar lahan
dan hutan baru yang disengaja juga ikut membuat titik api meluas. karena
pembakaran yang terjadi maka suhu di sekitarnya akan
bertambah. Kerugian dari kebakaran hutan secara luas di Provinsi Riau
telah menyebabkan pemanasan global dan meningkatnya suhu bumi.
Karena suhu bertambah, penguapan yang terjadi akan membesar dan hujan
pun akan terjadi, kerugiannya adalah karena air tidak dapat tertahan, banjir
pun dapat terjadi.
Kerugian yang terjadi pun akan mengganggu hubungan kerjasama
antar negara karena asap yg terjadi menghambat kerja sama antar negara.
Hubungan politik antar negara pun juga dapat terganggu karena negara
tetangga akan menganggap Indonesia amatir dalam mengelola negara.
12
perkebunan dan Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri
Kehutanan dan
13
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Dalam setiap persetujuan pelepasan
kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan
hutan tanpa bakar (Soemarsono, p.14).
Lebih lanjut dengan merujuk Permen LHK RI No. P.32/Menlhk/Setjen/
Kum.1/3/2016 menyebutkan bahwa Organisasi Pengendali Kebakaran Hutan
(Dalkarhutla) dibentuk berdasarkan Tingkat Pemerintahan dan Tingkat
Pengelolaan. Organisasi Dalkarhutla Tingkat Pemerintahan terdiri dari tingkat
Pemerintah; tingkat Pemerintah Provinsi; dan tingkat Pemerintah
Kabupaten/Kota. Semakin jelas bahwa peran aktor dalam pengendalian kebakaran
hutan dan lahan itu telah ditetapkan dalam kebijakan pemerintah. Rekonstruksi
dari kelembagaan yang terbentuk memang telah mengalami perubahan dalam pola
pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau. Terbukti dengan
dilakukannya rencana aksi, pemantapan struktur organisasi, serta membentuk
komunitas masyarakat yang dekat dengan lokasi yang kerap terbakar.
14
DAFTAR PUSTAKA
15