Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH

FAKTOR-FAKTOR SOSIAL PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN

OLEH :

NAMA : MUH HARIYANTO H

KELAS : KEHUTANAN 2018/A

NIM : A0218306

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS PERTANIAN & KEHUTANAN
UNIVERSITAS SULAWESI BARAT
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemudahan sehingga
saya dapat menyelesaikan Makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya
tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik,
shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan Makalah sebagai tugas Manajemen Hutan.

Penulis tentu menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.Untuk itu, penulis
mengharapkan saran serta kritik dari pembaca untuk Makalah ini, supaya Makalah ini
nantinya dapat menjadi Makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat
banyak kesalahan dalam Makalah ini penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat. Terimakasih.

Mamuju, 19 April 2020

Muh Hariyanto H

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Tujuan..................................................................................................3
C. Rumusan Masalah................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan.................................................................................4
B. Perladangan........................................................................................11
C. Penggembalaan Ternak di Hutan.......................................................15
D. Pencurian Hasil Hutan.......................................................................19

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perambahan Hutan.............................................................................22
B. Perladangan Berpindah dan Kebakaran Hutan...................................27
C. Penggembalaan Ternak Dalam Kawasan Hutan.................................30
D. Penebangan Liar................................................................................33
E. Diskusi...............................................................................................37

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan........................................................................................42
B. Saran..................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................43

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hutan merupakan sumber daya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang
tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Masyarakat memerlukan komoditi
(produk) dan jasa (layanan) sumber daya hutan, bukan saja mereka yang bertempat
tinggal di dekat hutan tetapi juga mereka yang jauh dari hutan dan perkotaan (Simon,
2004). Hutan mempunyai peranan yang penting bagi kehidupan manusia karena dapat
menghasilkan barang dan jasa dan dapat menjaga kestabilan lingkungan (Kastanya,
2002). Produk dan layanan yang disediakan oleh pohon-pohon di hutan dan lahan
pertanian mendukung kebutuhan dan memperkenalkan kesejahteraan ratusan juta
orang di daerah tropis (Dawson et al. 2014).
Menurut Awang (2006), bagi masyarakat yang hidup di tengah hutan tentunya
hari demi hari banyak melakukan interaksi dengan hutan dan sumber daya hutan.
Pagdee et al. (2016) menjelaskan bahwa hubungan masyarakat dengan hutan
digambarkan melalui kemampuan masyarakat untuk mengatur dan melanjutkan
kegiatan kolektif dan perlindungan manfaat, hak dan tanggung jawab dalam
pengelolaan sumber daya alam pada umumnya. Dalam konsep pengelolaan hutan di
Indonesia, pengurusan dan pengelolaan hutan sepenuhnya menjadi kewenangan
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Awang (2007)
menyebutkan bahwa secara politik, hutan di Indonesia diusahakan dan dikelola atas
dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada lembaga pemerintah dan lembaga
swasta, mengingat negara telah menafsirkan kekuasaan atas pengelolaan sumber daya
alam hutan. Dengan demikian semua intepretasi tentang manfaat dan pendayagunaan
sumber daya alam hutan secara klasik dilakukan oleh pemerintah dan tidak melibatkan
para stakeholder. Menurut Awang (2007), cara pemerintah menetapkan wewenang
peruntukan dan pengelolaan hutan seperti ini disebut dengan model mono intepretasi.
Pengelolaan hutan dengan model mono intepretasi ini dalam kaitan dengan
masyarakat sebenarnya telah membawa dampak yang sangat nyata yaitu menghasilkan
apatisme masyarakat, pemiskinan struktural dilihat dari akses rakyat terhadap sumber
daya alam hutan dan konflik antar pemerintah, hak pengusahaan hutan (HPH), badan
usaha milik negara (BUMN) dengan rakyat atau masyarakat di sekitar hutan.

1
Akibat pengelolaan hutan yang berpegang teguh dengan mazhab mono
intepretasi tersebut banyak konflik/pertentangan antara masyarakat dengan pihak
pengelola dan konflik itu semakin memuncak pada awal reformasi tahun 1998. Hal ini
ditandai dengan masuknya masyarakat untuk mengakses sumber daya alam hutan
yang ada di dalam kawasan hutan sehingga banyak kawasan hutan yang mengalami
degradasi dan deforestasi. Purnomo and Mendoza (2011) menyebutkan bahwa
degradasi hutan merupakan masalah yang kompleks dan untuk mengatasinya
memerlukan pemahaman yang komprehensif tentang faktor -faktor sosial dan biofisik
serta mempelajari interaksi yang dinamis antara manusia dengan hutan yang
mempengaruhi deforestasi dan degradasi tersebut.
Fisher (2012) menyatakan bahwa deforestasi di daerah tropis di dunia adalah
masalah internasional yang mendesak. Kim et al. (2016) menjelaskan bahwa penyebab
dari deforestasi dan degradasi hutan adalah konflik kepemilikan lahan, pertumbuhan
populasi, kurangnya kesempatan ekonomi, dan pembalakan liar, perluasan
infrastruktur, penegakan hukum yang lemah, dan pemerintahan yang tidak efektif
dibidang kehutanan. Sedangkan Sulieman (2018) menyatakan bahwa faktor utama
penyebab degradasi dan fragmentasi hutan adalah perluasan secara mekanis pada
lahan pertanian tadah hujan, penebangan pohon, kegiatan penggembalaan yang buruk,
dan pembangunan infrastruktur.

2
B. Tujuan
1. Dapat mengetahui pola dalam Perambahan Hutan
2. Dapat mengetahui budaya Perladangan Berpindah dan Kebakaran
Hutan
3. Dapat mengetahui aktivitas dalam Penggembalaan Ternak Dalam Kawasan
Hutan
4. Dapat mengetahui permasalahan dalam Penebangan Liar
5. Dapat mengetahui politik hutan (Diskusi)

C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pola dalam Perambahan Hutan ?
2. Bagaimana budaya Perladangan Berpindah dan Kebakaran Hutan ?
3. Apa saja aktivitas dalam Penggembalaan Ternak Dalam Kawasan Hutan ?
4. Bagimana permasalahan dalam Penebangan Liar ?
5. Bagimana politik hutan (Diskusi) itu bisa terjadi ?

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan adalah merupakan sumber kerusakan utama pada hutan
produksi, tetapi pada keadaan-keadaan tertentu kebakaran hutan juga memberi
manfaat. Perbedaan antara pentingnya kerusakan dan manfaat dari suatu kebakaran
hutan sangat luas dan sering kali dibesar-besarkan. Di bawah ini secara khusus akan di
bicarakan pengaruh kebakaran hutan dan kerusakan yang ditimbulkannya sedangkan
manfaat kebakaran hutan juga akan dibicarakan pada judul tersendiri.

1. Klassifikasi Kerusakan Sebagai Akibat Kebakaran Hutan


Kerusakan sebagai akibat kebakaran hutan secara garis besarnya dapat
diklasifikasikan sebagai berikut ini, dimana nomor 1 - 4 mempunyai hubungan
langsung dengan metode silvikultur yang diterapkan setiap tahun.

1) Kerusakan Pohon - Pohon Yang Bernilai Penting


Kerusakan ini bisa bervariasi dari bentuk luka bakar yang kecil pada
bagian bawah pohon sampai pada hangusnya seluruh pohon, tetapi yang
terakhir ini jarang terjadi kecuali bila kebakarannya keras sekali, yang umum
terjadi adalah pohon-pohon yang terbakar hanya sampai mati saja. Kematian
pohon disebabkan karena matinya kambium atau lapisan-lapisan hidup lainnya
yang terdapat antara kulit dan kayu. Temperatur sekitar 54°C sudah cukup
mematikan kambium (Baker, 1929), tetapi suatu studi lain yang lebih detail oleh
Lorenz (1939) menunjukkan bahwa lethal temperatur terletak antara 65°C dan
69°C. Bila mana kambium sekeliling batang mati, maka pohon-pohon
kelihatannya seperti diteres dan kemudian mati. Kambium yang sudah mati
ditandai dengan warnanya yang agak hitam sedangkan warna kambium pada
keadaan marginal adalah bercahaya. Tidak mutlak bahwa kulit harus terbakar
hangus, bahkan dengan sedikit tanda terbakar pada kulit kayu yang tipis sudah
cukup mematikan pohonnya. Panas yang menghanguskan kulit bagian luar
kadang-kadang sudah cukup untuk mematikan kambium.
Selama awal musim pertumbuhan yakni sewaktu pembelahan sel
kambium sangat aktif dimana saat ini kambium menjadi sangat peka terhadap
kenaikan temperature di bandingkan bila mana kambium dalam keadaan

4
dorman (istirahat). Kebakaran yang timbul pada awal musim pertumbuhan
menyebabkan kematian pohon yang lebih banyak serta areal tegakan yang lebih
luas. Daya tahan terhadap kebakaran dari masing-masing pohon sangat berbeda.
Perbedaan ini terutama disebabkan karena sifat-sifat dan tingkat ketebalan kulit
pohonnya. Pohon dengan kulit bergabus tebal lebih mudah dilindungi dari
bahaya kebakaran dibandingkan dengan pohon yang berkulit tipis dan kurang
bergabus. Kulit pohon kemungkinannya lunak, berlapis dan mudah menyala.
Disamping itu ada juga kulit pohon yang keras, sukar menyala sehingga jarang
terbakar. Pada jenis-jenis pohon tertentu pengupasan kulit pelindung
nampaknya kurang berpengaruh kecuali pada fase pertumbuhan terakhir.
Struktur anatomi daripada kulit tidak hanya berbeda antara jenis tetapi juga
berbeda antara jenis itu sendiri yang mana ikut berpengaruh pada daya tahannya
terhadap kenaikan temperatur. Sebagai contoh, formasi sekondary dari fellogen
dan perkembangan lapisan kulit luar yang sudah mati menyebabkan beberapa
jenis pohon akan menjadi lebih tahan panas dibandingkan dengan lainnya.

2) Kerusakan Pada Pertumbuhan Tanaman Muda Termasuk Bibit Permudaan


Pohon-pohon yang ada dibawah tegakan tua, utamanya permudaan
yang kulitnya tipis serta tajuknya lekat dari permukaan tanah akan lebih mudah
dimatikan api dari pada pohon-pohon yang tinggi besar. Bahkan dengan api
yang kecil sudah cukup untuk mematikan anakan pohon yang ada.
Api secara bersamaan akan membinasakan baik pohon muda maupun
pohon tua, namun yang paling menderita adalah tentunya pohon muda. Sedikit
saja kerusakan pada pohon muda akan membuat pohon merana sehingga
pertumbuhannya lemah dan mudah dihinggapi hama atau penyakit. Kadang-
kadang kerusakan seperti ini akan berkembang cepat sekali dan menyebabkan
kebakaran terjadi.

3) Kerusakan Pada Tanah


Sebagai akibat kebakaran hutan maka sifat fisik tanah akan lebih
banyak dirusak dari pada sifat kimianya. Kerusakan fisik tanah terjadi karena
pengurangan kadar humus. Bahan-bahan organik diatas tanah selain humus
biasanya sulit dimakan api. Heyward dengan hasil penelitiannya mengatakan
bahwa panas yang dihasilkan oleh kebakaran pada pinus jenis tertentu tidak

5
mampu menghabiskan bahan-bahan organik yang terletak dekat diatas
permukaan tanah (1/4 inci).
Kebakaran yang keras akan mematikan semua pohon, menyebabkan
terbukanya tajuk, menghanguskan ranting dan humus yang ada dipermukaan
tanah sehingga tanah akan menjadi terbuka dari panas terik matahari dan
hembusan angin. Tanah seperti ini akan cepat sekali mengalami kerusakan fisik.
Di lain pihak kebakaran dapat memperbaiki sifat kimia daripada tanah
tetapi manfaat ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan kerusakan fisik
yang ditimbulkannya. Kebakaran ringan yang mampu menghanguskan serasah
tetapi tidak sampai mematikan tegakan pohon dianggap tidak merusak tanah,
bahkan kadang-kadang kejadian seperti ini dianggap menguntungkan.
Tanah-tanah yang kekurangan humus dan terbuka dari lapisan penutup
adalah merupakan sasaran utama bahaya erosi. Erosi ini akan mengangkut
lapisan atas tanah yang merupakan lapisan tersubur. Pada tingkat erosi yang
besar semua lapisan permukaan lapisan tanah akan hanyut sehingga hanya
tertinggal bagian-bagian subsoil yang terbuka atau bahkan mungkin hanya
tinggal bahan-bahan induk yang berupa batu cadas. Kebakaran hutan adalah
merupakan salah satu penyebab terjadinya erosi secara continue. Hendricks dan
Johnson mengatakan bahwa di daerah Hemirlugan di Arizona didapatkan bahwa
kebakaran hutan pada tanah dengan kemiringan 43 % akan menghanyutkan
tanah sebesar 32 ton per acre dan 165 ton per acre pada kemiringan 78 %.

4) Menurunkan Kemampuan Produksi Hutan


Kebakaran hutan dapat menyebabkan turunnya kemampuan hutan
untuk berproduksi, dimana hal ini dapat dibedakan atas:

a) Kerusakan Karena Penggantian Jenis-Jenis Vegetasi Yang Berharga Oleh


Jenis-Jenis Vegetasi Yang Kurang Berharga.
Kebakaran hutan dapat menyebabkan berubahnya komposisi
vegetasi dari suatu tegakan hutan. Banyak diantara jenis-jenis pohon
berharga yang lebih peka terhadap kebakaran dibanding dengan jenis-jenis
yang kurang berharga. Dalam hal ini kemungkinan terjadi bahwa semua
jenis-jenis pohon yang sensitif terhadap api akan habis terbakar sedangkan
yang kurang sensitif akan tetap bertahan hidup sehingga seluruh areal

6
tegakan hanya didominasi oleh jenis-jenis pohon resisten yang kurang
berharga.
Sebagai contoh, dengan terbakarnya suatu tipe hutan maka tegakan
hutan ini akan berubah tipenya dari tipe semula. Perubahan tipe hutan karena
kebakaran ini tidak selamanya berarti merugikan seperti halnya dengan
seringnya terbakar suatu areal semak maka kemungkinannya semak tersebut
akan digantikan oleh jenis pohon yang tahan api dan mempunyai nilai
ekonomi penting. Pengalaman lainnya menunjukkan bahwa penebangan
tegakan murni untuk jenis pinus tertentu (white pine) dilakukan dengan
membakar tegakan hutan campuran sehingga yang tertinggal dalam tegakan
hanya satu jenis yakni white pine.

b) Kerugian Karena Berkurangnya Tegakan Pohon.


Kadang-kadang sesudah kebakaran terjadi, sangat sulit didapatkan
anakan baru di dalam tegakan hutan. Pada kebanyakan peristiwa kebakaran,
sungguh pun tidak mematikan pohon-pohon yang ada dalam tegakan tetapi
sekurang-kurangnya dia merubah kerapatan tajuk pohon mengurangi jumlah
vegetasi yang ada dibawah pohon dimana kesemua ini akan menyebabkan
berkurangnya kerapatan tegakan yang sangat diperlukan untuk produksi
kuantitas dan kualitas pohon yang maksimum.

c) Kerugian Karena Penebangan Terpaksa Yang Dilakukan Sebelum Pohon-


Pohon Masak Tebang.
Apabila pohon ditebang sebelum mencapai daur rotasinya
sungguhpun kayu tersebut dapat dijual namun tetap ada resikonya yakni
kuantitas dan kualitas masih sangat rendah dibanding bila pohon sudah
masak tebang. Kemampuan berproduksi daripada hutan dengan adanya
kebakaran akan menjadi sangat menurun.

5) Kerugian Karena Rusaknya Nilai Rekreasi Hutan


Areal hutan yang mengalami kebakaran, tentunya tidak lagi merupakan
tempat yang menarik untuk dikunjungi oleh para wisatawan, utamanya pada
areal yang baru saja terbakar. Masuknya pendapatan pada hutan rekreasi akan
sangat menurun sebagai akibat daripada kebakaran tersebut.

7
6) Merusak Kehidupan Satwa Liar.
Kebakaran baik langsung ataupun secara tidak langsung akan
menyebabkan kebinasaan pada banyak jenis burung, binatang-binatang lain dan
ikan yang ada didalam hutan. Pengaruh tidak langsung daripada kebakaran
hutan terhadap satwa liar dapat berupa, merusak makanan mereka serta
lingkungan dimana mereka hidup.

7) Merusak Makanan Ternak


Api akan segera menghanguskan rumput-rumput kering dan juga
tumbuh - tumbuhan lainnya yang dapat dijadikan makanan ternak. Api dapat
mematikan akar-akar vegetasi yang tumbuh rapat dengan demikian akan
menyebabkan berkurangnya kerapatan makanan ternak dan juga akan
menggantikannya dengan vegetasi yang tidak di kehendaki sebagai makanan
ternak. Kerusakan makanan ternak yang serius sebagai akibat kebakaran dapat
dibiarkan denagn membiarkan ternak masuk kedalam hutan untuk mengurangi
tumpukan bahan organik yang mudah terbakar.
Kebakaran ringan pada vegetasi kering biasanya dianggap
menguntungkan karena pada vegetasi kering tersebut sesudah terbakar ringan
akan muncul tunas-tunas muda yang dijadikan makanan ternak yang baik.

8) Kebakaran Dapat Mengurangi Fungsi Lindung Daripada Hutan


Hutan yang tumuh baik akan merupakan tempat perlindungan dari
banyak hal kepentingan manusia. Bilamana hutan terbakar maka fungsi lindung
ini akan menjadi berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Salah satu contoh
fungsi lindung ini adalah bahwa pada lantai hutan ditemukan banyak sekali
tumpukan serasah yang berfungsi sebagai penutup permukaan tanah. Fungsi
lindung hutan lainnya adalah untuk mencegah terjadinya tanah longsor dan
erosi.

9) Merusak Fungsi Lain Daripada Hutan


Currie dalam penelitiannya menyatakan bahwa desa-desa yang
berbatasan dengan hutan kebanyakan ikut terbakar sewaktu kebakaran hutan
terjadi. Selain itu, juga bangunan-bangunan, ternak atau barang-barang berharga
lainnya yang terdapat didalam atau disekitar hutan semuanya berada dalam
keadaan bahaya bilamana terjadi kebakaran hutan.

8
10) Merusak Lingkungan Hidup Manusia
Hampir setiap tahun di Amerika Serikat terjadi kerusakan lingkungan
hidup sebagai akibat dari kebakaran hutan. Menurut Plummer bahwa kerugian
terbesar sebagai akibat kebakaran hutan di Amerika Serikat yaitu terjadi pada
bulan Oktober 1871 di Wiscousin dengan menewaskan manusia sebanyak
1.500.000 jiwa.

2. Manusia Sebagai Sumber Utama Kerusakan Hutan


Sebelum membicarakan faktor-faktor penyebab kerusakan lainnya, baiklah
terlebih dahulu kita melihat peranan manusia yang sehubungan dengan kerusakan
hutan. Manusia itu sendiri adalah merupakan sumber utama kerusakan hutan.
Kerusakan hutan oleh manusia dapat terjadi secara langsung, tetapi dapat juga
terjadi secara tidak langsung yakni sebagai akibat adanya kegiatan-kegiatan
manusia. Manusia juga mempunyai sumbangan yang amat besar didalam
berkembangnya faktor-faktor perusak lainnya, sumbangan ini dapat terjadi secara
langsung dan juga secara tidak langsung.
Selama periode tahun 1942-1946, paling sedikit 85 % kebakaran hutan di
Amerika Serikat disebabkan oleh manusia. Kebanyakan awal kebakaran hutan
disebabkan karena keteledoran manusia yang berada di dalam atau disekitar hutan.
Pendidikan yang diberikan kepada manusia tidak hanya memperbaiki sikap
kelalaian mereka dan mencegah keisengan mereka untuk menyalakan api, tetapi
juga memberi pengertian agar mereka menyadari pentingnya usaha perlindungan
hutan.
Manusia secara langsung bertanggung jawab akan berkembangnya sesuatu
hama tanaman melalui import jenis-jenis tanaman berharga dari luar negeri.
Sebagai contoh dalam hal ini adalah “gypsymoth dan chesnut bligh “ dimana kedua
perusak ini dikenal sebagai perusak import di Amerika Serikat. Hanya melalui
pengawasan dan dengan adanya peraturan-peraturan import barang-barang dari luar
negeri yang dianggap merupakan cara efektif untuk mencegah terjadinya kerusakan
ini. Binatang-binatang ternak yang sering dilepaskan berkeliaran dan merumput di
dalam hutan oleh penduduk juga banyak menimbulkan kerusakan hutan. Kerusakan
yang disebabkan oleh binatang ini, sesungguhnya adalah merupakan kerusakan
yang tidak disadari oleh penduduk (manusia).

9
Kemungkinan kebanyakan kerusakan berat pada hutan yang disebabkan
oleh binatang -binatang liar juga adalah disebabkan oleh manusia sebagai akibat
aktifitas mereka di dalam usaha melindungi binatang-binatang liar tersebut atau
sebagai campur tangan mereka di dalam usaha mengelola lingkungan hidup.
Kejadian ini biasanya terjadi karena peledakan populasi sesuatu jenis binatang liar
sedangkan makanannya tidak ikut bertambah, sehingga hutanlah yang akan
menjadi sasaran oleh binatang-binatang liar tersebut.
Hanya faktor iklim yang tidak dapat dipengaruhi langsung oleh manusia,
misalnya kerusakan hutan karena faktor cuaca (temperatur, kelembapan dan
sebagainya). Namun demikian pengaruh cuaca ini terhadap hutan dapat menjadi
lebih berbahaya atau diperkecil tingkat kerusakannya melalui tindakan-tindakan
manusia sepanjang hidup mereka. Manusia merupakan penyebab utama kerusakan
hutan yang diakibatkan oleh asap-asap beracun yang keluar dari pabrik-pabrik.
Untunglah bahwa pada dewasa ini asap-asap beracun yang dikeluarkan oleh
pabrik-pabrik sudah dapat dinetralisasi.
Hutan juga sering dirusak oleh orang-orang yang lewat dihutan atau oleh
orang-orang yang bermaksud mencuri hasil hutan. Kadang-kadang hutan banyak
sekali dilewati orang dimana hal ini dapat dilihat dari banyaknya jejak mereka.
Untuk menghindari kerusakan seperti ini maka yang paling utama adalah
mengadakan pengawasan yang baik dan membuat batas-batas hutan secara jelas.
Juga kecekatan para petugas untuk segera mengetahui adanya orang yang lewat
dibawah hutan, akan memperkecil kerugian sebagai akibat dari tipe kerusakan ini.
Hutan dapat pula rusak dengan diambilnya serasah-serasah secara periodik
atau tahunan untuk keperluan pemupukan atau mulching tanaman, untuk alas
kandang dan untuk keperluan-keperluan lainnya. Pengambilan serasah hutan secara
terus menerus akan menyebabkan kurangnya pertumbuhan pohon persatuan luas
dan berkurangnya pertumbuhan ini bisa mencapai 30 %. Tetapi tipe kerusakan ini
masih digolongkan kepada tipe perusak yang kurang penting.

10
B. Perladangan
Istilah perladangan meliputi varietas yang sangat luas dari bentuk-bentuk
pertanian yang masih primitif. Perladangan meliputi areal yang sangat luas di atas
bumi ini, terutama di daerah tropik basah, dimana di daerah ini diketemukan di
Negara-negara yang sedang berkembang. Perladangan dapat didefinisikan sebagai
suatu teknik pertanian dengan cara dan peralatan yang masih primitif, tanpa adanya
penanaman modal dan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri
dan keluarganya. Pada umumnya dilakukan di atas tanah yang cepat sekali kehilangan
kesuburannya, sehingga memaksa peladang melakukan pertanian berpindah-pindah
untuk menyambung kebutuhan mereka. Areal yang diperlukan untuk menjamin
persediaan bahan makanan untuk keluarga mereka bergantung pada bero alamiah
untuk mengisi kembali kesuburan tanah atau untuk menghilangkan penyerbuan
rumput-rumputan. Makin panjang waktu bero alamiah makin luas areal yang mesti
tersedia bagi petani dengan demikian terjadilah pemborosan dalam hal penggunaan
tanah.
FAO (Food Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu
bencana International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan
diterbitkannya buku L’agriculture nomade pada tahun 1956 oleh G.Tondeur yang
membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat, kemudian tahun 1957
diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah Philipina oleh H.C.
Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadap persoalan ini dan telah
mengambil inisiatif untuk menggalakkan studi tentang obyek ini melalui cabang
Kehutanan dan Industri Kehutanannya. Sidang FAO yang diselenggarakan pada bulan
Nopember 1957, yang merupakan pertemuan bersama antara komite teknologi
dibidang pertanian dan kehutanan mengakui kepentingan problem perladangan ini dan
meminta organisasi untuk meneruskan dan mengintensifkan usaha-usaha untuk
menyelesaikannya. Suatu resolusi yang diterima oleh Kongres Kehutanan Dunia di
Madrid pada tahun 1966 menganjurkannya didirikannya suatu komisi khusus untuk
mempelajari semua aspek dari problema perladangan pada tiap-tiap negara yang masih
banyak melakukan perladangan. Komisi ini hendaknya terdiri dari banyak disiplin
ilmu seperti: ahli ekologi, ahli tanah, ahli pertanian, ahli peternakan, ahli kehutanan,
ahli ekonomi, ahli ilmu sosial, guru-guru, ahli hukum dan sebagainya.

11
Tujuan FAO mengatasi perladangan adalah untuk mempropagandakan
metodemetode pertanian modern yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas
produksi yang berguna dan hasil-hasil hewan yang dapat diperoleh dari tanah-tanah
yang tersedia. Keperluan utama di daerah tropik basah adalah intensifikasi pertanian
dan penambahan hasil per satuan luas. Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian
yang telah berkembang dengan baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan
penggunaan metodemetode yang intensif didalam keadaan ini seringkali berakhir
dengan kegagalan. Kegagalan seringkali tidak hanya disebabkan oleh faktor tekhnis
dan ekonomis, tapi penghambat yang paling utama biasanya adalah faktor sosial,
khususnya yang menyangkut masalah perladangan. Perladangan ini erat hubungannya
dengan rhytme musim-musim yang ada dan telah menciptakan suatu pandangan hidup
yang khusus. Dalam usaha merubah pandangan hidup suatu golongan masyarakat
diperlukan perubahan psychologi dan pendidikan dan untuk itu mungkin diperlukan
waktu bertahun-tahun.
Teknik-teknik perladangan sama saja dimana-mana yakni penebangan dan
pembakaran vegetasi berkayu diikuti penanaman selama satu, dua, atau tiga tahun,
kemudian tanah ditinggalkan dan kembali menjadi hutan atau tutupan belukar selama
periode yang panjang. selain kesamaan ini, perladangan mempunyai perbedaan-
perbedaan dalam hal type dan kehidupan daripada peladangnya sendiri. Kemudian
para peladang sangat berbeda dari satu tempat ketempat lain. Perladangan tidal selalu
mengarah ke kehidupan nomadik. Tetapi telah dilaporkan bahwa di Asia Tenggara
terdapat suku-suku yang suka berkelana dan pemburu yang benar-benar nomadik yang
juga menjalankan perladangan dengan metode-metode yang nampaknya amat
merusak.
Hal yang sama diketemukan pada banyak suku penggembala di kehidupan
peladangnya, maka perladangan ini dapat dibagi atas dua macam yakni :
a. Perladangan tradisional
b. Perladangan karena keadaan yang memaksa.

12
1. Perladangan Tradisional
Peladang terdiri dari anggota suatu suku atau masyarakat yang senantiasa
terikat oleh kebiasaan dan adat yang tumbuh sejak lama yang tidak teringat lagi
sejak kapan. Suku-suku ini selalu melakukan perladangan dengan teknik-teknik
yang bercampur aduk dengan masalah kepercayaan, pelaksanaan ibadah
keagamaan, susunan keluarga dan kelembagaan suku. Batas-batas tanah dengan
aktifitas pertanian dilakukan sedikit jelas karena selalu mengingat hak-hak dari
masyarakat petani yang juga melakukan aktifitas pertanian dilakukan sedikit jelas
karena selalu mengingat hak-hak dari masyarakat petani yang juga melakukan
aktifitas yang sama. Pemilihan tanah yang akan dibersihkan setiap tahun untuk
ditanami didasarkan pada pengamatan keadaan dan perkembangan tanah yang
kadang-kadang dapat diterima baik oleh ahli-ahli.
Pemilihan waktu untuk bermacam-macam aktifitas pertanian ditentukan
tidak saja oleh adat dan urutan musim, tetapi juga oleh indikasi khusus dari alam
seperti berbunganya tumbuh-tumbuhan liar, keluarnya serangga-serangga khusus
dan lain-lain. Biarpun pada umumnya tanah yang ditanami ditujukan untuk padi-
padian yang merupakan bahan makanan pokok mereka (padi di Timur Jauh, Jagung
di Amerika Latin). Tanaman utamanya hampir selalu dicampur dengan tanaman
bahan makanan lain. Petani type ini mempunyai suatu kontrol tertentu terhadap
waktu bero berhutan yang terjadi setelah jangka pertanaman selesai. Adalah tidak
lazim bagi mereka, kembali ke tempat yang sama dalam jangka waktu yang cukup
panjang sampai 20 tahun. Pada dasarnya mereka mematuhi jangka waktu bero
berhutan yang terjadi menurut kebiasaan untuk menjamin regenerasi kesuburan
tanahnya. Dengan demikian siklus perladangan yang kedua dan seterusnya tidak
lagi menyangkut hutan perawan yang ada pada permulaan siklus pertama.
Membersihkan hutan sekunder yang sedang tumbuh biasanya memerlukan
pekerjaan dan mendatangkan kesusahan yang jauh lebih sedikit daripada
membersihkan hutan perawan. Apabila beberapa jalur hutan rawan tertinggal
didalam jarak yang tercapai oleh masyarakat setempat, hutan ini hanya akan
ditebang apabila diperlukan, misalnya apabila penduduk dari masyarakat yang
bersangkutan telah bertambah banyak selama siklus terdahulu. Pencegahan-
pencegahan juga dilakukan untuk memperkecil kerusakan-kerusakan yang
mungkin ditimbulkan oleh erosi selama jangka pertanaman dengan membuat
anggelan secara Countour, pagar dari ranting-ranting dan sebagainya.

13
2. Perladangan Karena Keadaan Yang Memaksa
Tipe peladangan ini banyak didapati di Amerika Latin, terutama di
Venezuela, juga terdapat dibeberapa negara bagian tertentu di Timur Jauh dan
kemungkinannya juga di Afrika. Petani yang termasuk tipe ini tidak terikat pada
suatu masyarakat terbatas, anggota-anggotanya tidak terikat oleh peraturan
tradisional dalam pelaksanaan perladangannya.
Mereka mendirikan rumah dalam suatu perkampungan atau masyarakat,
dan bagi mereka mudah sekali berpindah dari suatu kampung ke kampung lainnya.
Mereka adalah petani yang tidak memiliki tanah atau tidak cukup tanah untuk
melakukan pertanian menetap, lagipula tidak mempunyai sumber peralatan yang
cukup. Mereka sering merupakan kolonis yang sebenarnya, yang berusaha
menemukan tanah baru yang dapt dibuatnya menjadi ladang pertanian.
Tanah-tanah ini hampir selalu diambil dari hutan, karena selain tanahnya
suur juga dianggap tidak ada pemiliknya. Kalaupun ada pemiliknya mereka cukup
memberikan ganti rugi yang kecil sebagai sewa atau bagi hasil. Dapat dikatakan
perladangan tipe ini adalah akibat langsung dari haus tanah. Cara pengolahan
tanahnya sama saja dengan cara tradisional yaitu menebang dan membakar
sebagian dari hutan. Pada akhir beberapa tahun saja, pendatang baru ini akan
menyadari, bahwa panenan yang dihasilkannya menurun sekali yang disebabkan
karena hilangnya kesuburan tanah atau karena tanahnya telah dikuasai rumput-
rumputan. apabila kesuburan tanahnya benar-benar telah habis, mereka akan
meninggalkannya dan mencari tanah hutan yang lain. Petani tipe ini tidak saja
memboroskan tanah, tetapi mereka juga sangt merusaknya. Di beberapa areal, api
dinyalakan tanpa persiapan pencegahan sama sekali dan bidang-bidang hutan yang
luas dengan demikian telah terbakar tanpa guna, juga erosi tidak diperhatikan.
Tanah yang telah ditinggalkan kadang-kadang keseimbangan antara ekologi dan
vegetasi alamnya sudah tidak dapat lagi ditumbuhkan kembali. Pada lereng-lereng
yang curam erosi ynag ditimbulkan oleh angin dan air berlangsung secara bebas,
ditambah api yang semakin melebar diatas bidang-bidang yang luas.

14
C. Penggembalaan Ternak Di Hutan
Peternakan merupakan suatu usaha yang sangat penting bagi masyarakat
petani disamping masyarakat yang hidupnya memang mengkhususkan diri didalam
peternakan. Indonesisa adalah suatu negara yang dikenal sebagai negara agraris, maka
masalah ternak menduduki tempat yang penting dalam kehidupan masyarakat.
Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan bagian dari Indonesia yang memiliki iklim
dan padang rumput yang cocok untuk ternak-teranak, hingga peternakan akan tepat
untuk dijadikan sumber hidup yang utama bagi masyarakatnya.
Pemerintah pun menganjurkan masyarakat lebih giat dalam peternakan dalam
rangka menaikkan nilai gizi didalam kadar protein, tetapi di Pulau Jawa terjadi
kontradiksi antara kenaikan dalam usaha peternakan dengan tempat-tempat pangonan
atau penggembalaan yang makin sempit. Satu per satu tanah penggembalaan diolah
untuk usaha pertanian, bahkan lapangan sepak bola pun banyak yang diubah menjadi
sawah atau ladang. Jalan keluar yang paling mudah bagi masyarakat untuk
mempertahankan ternak ialah menggembalakan ternaknya ke hutan. Apalagi memang
kebiasaan masyarakat dalam memelihara ternaknya sejak dahulu dengan cara
melepaskan ditempat penggembalaan, walaupun sistim kandangpun sudah dikenal
pula.
Masalah di luar Jawa terutama daerah Nusa Tenggara Timur yang mempunyai
ternak sangat banyak agak berbeda. Penggembalaan ternak kedalam hutan merupakan
cara beternak yang telah dilakukan sejak dahulu. Bahkan ada suatu adat yang
menyatakan bahwa ternak berdaulat, artinya bila ternak rakyat masuk kehutan, sawah
atau ke ladang dan merusak isisnya maka yang salah bukan ternaknya tetapi hutan,
sawah dan ladangnya yang harus dipagari.
Ternak di Indonesia yang sering digembalakan ke hutan adalah
kambing/biribiri, kerbau, sapi dan kuda. Di Jawa pada umumnya kambing dan biri-biri
menduduki jumlah yang terbanyak, kemudian menyusul kerbau dan sapi. Di Nusa
Tenggara Timur ternak sapi menduduki jumlah terbanyak kemudian disusul
kambing/biri-biri. Jumlah dari macam ternak tiap daerah tergnatung pada kegemaran
dan keperluan dari pemilik-pemiliknya.

15
1. Akibat Dari Penggembalaan Ternak Di Hutan
Kerusakan akibat penggembalaan ternak di hutan dapat sampai
menyebabkan hutan mati seluruh pohonnya, bahkan dapat sampai menimbulkan
suatu erosi tanah pula. Derajat kerusakan yang diderita hutan tergantung dari jenis
serta jumlah ternaknya dan jenis dari pohon hutannya. Jenis daun lebar akan lebih
disukai dari pada yang berdaun jarum, tetapi yang berdaun lebar lebih cepat
menyembuhkan diri dari pada yang berdaun ajrum. Spesies yang berbeda dapat
memberikan reaksi yang berbeda pula terhadap penggembalaan.
Akibat dari penggembalaan ternak di hutan dapat dibagi menjadi :
a. Akibat yang merugikan :
- Terhadap tanah hutan
- Terhadap tanaman muda
- Terhadap tanaman yang sudah melewati masa muda.
b. Akibat yang menguntungkan :
- Terhadap persiapan dari penanaman
- Terhadap kebakaran hutan

Akibat Yang Merugikan


a) Akibat Terhadap Tanah Hutan
Ternak kambing dan biri-biri merupakan ternak yang paling merusak
tanah. Langkah-langkahnya yang pendek-pendek menghasilkan jejak-jejak yang
lebih banyak dari pada kerbau dan sapi. Dengan kukunya yang tajam akan lebih
merusak tanah.
Penggembalaan yang berlebihan (over grazing) menyebabkan banyak
tanahtanah yang terbuka, karena rumput dan tanaman lain yang melindungi dan
memegang tanah telah dimakan ternak. Injakan kaki ternak menyebabkan tanah
terkait sehingga bila jatuh hujan akan mudah terbawa air. Tanahpun akan
menjadi padat dan pori-pori tanah dapat tertutup, air hujan akan mengalir
dipermukaan tanah. Akibat dari semua itu akan dapat menimbulkan suatu erosi
tanah, terutama tanah-tanah yang miring akan lebih cepat terjadi erosi. Tanah-
tanah yang miring dan hutan-hutan yang berfungsi untuk melindungi tata air
atau sumber air merupakan daerah yang harus dihindarkan dari penggembalaan
ternak.

16
b) Akibat Terhadap Tanaman Muda
Tanaman muda yang dimaksudkan adalah tanaman yang tajuknya
masih dapat dicapai oleh ternak (reproduction stage). Tanaman muda sangat
peka terhadap penggembalaan. Karena tajuknya yang masih rendah dan
batangnya masih lemah maka bila dimasuki ternak akan dapat berakibat:
- Daun/tajuknya dirusak sampai gundul
- Batangnya dapat melengkung atau patah
- Seluruh tanaman dapat tercabut
- Kulit batang sering dimakan dan terkupas
- Akar tanaman dapat muncul dari tanah dan luka-luka terkena injakan
Tanaman muda yang dimasuki ternak maka apabila tanamannya tidak
mati maka tumbuhnya akan jelek. Hutan yang peremajaannya didasarkan pada
peremajaan alam, maka apabila dimasuki ternak peremajaan alamnya akan
dapat selalu dirusak ternak, sehingga tidak akan terjadi penggantian dari pohon-
pohon yang tua secara alami. Mengingat beratnya akibat dari penggembalaan
pada tanaman muda haruslah dicegah dan dilarang keras.

c) Akibat Terhadap Tanaman Yang Sudah Melewati Masa Muda


Tajuk dari tanaman yang telah melewati masa muadnya sudah tak
tercapai lagi oleh ternak hingga penggundulan adun dan patahnya batang sudah
terhindar. Kerusakan langsung yang masih dapat ditimbulkan adalah:
- Akar pohon terangkat dan menderita luka-luka karena injakan kaki ternak.
- Kulit pohon dan batang terdapat luka-luka karena kebiasaan dari ternak yang
menggosok-gosokkan badannya pada batang pohon
Akibat tak langsung yang merugikan pohon yang sudah melampaui
masa muda ialah:
- Padatnya tanah, sehingga udara dan air tak dapat masuk ke tanah
- Erosi tanah yang ditimbulkan menyebabkan menurunnya kesuburan tanah
- Berkurangnya tanaman penutup tanah dan serasah.

17
Akibat langsung dan tak langsung yang merugikan dari penggembalaan
pada pohon yang sudah lewat masa muda menyebabkan pertumbuhan pohon
yang tak sehat dari pohon merupakan makanan yang digemari atau mudah kena
infeksi dari hama dan penyakit. Tegakan yang telah menderita penggembalaan
bertahun-tahun akan dapat menyebabkan pohon-pohon mati semuanya.
Tegakan yang telah melewati masa mudanya yang digunakan untuk
penggembalaan akan tampak menjadi rawan dan riapnya pun dapat berkurang.

Akibat yang Menguntungkan


a. Akibat Terhadap Persiapan Dari Penanaman
Di dalam mempersiapkan lapangan yang ditanami sering terpaksa harus
memberikan tanah terlebih dahulu dari rumput, semak-semak dan tanaman
rendah lainnya. Apabila tanaman yang harus dibersihkan tumbuh lebat maka
pembersihannya akan berat dan memakan biaya. Penggembalaan ternak pada
tanah yang akan ditanami akan menyebabkan berkurangnya rumput semak dan
tanaman rendah lainnya hingga usaha menyiapkan tanah untuk tanaman
menjadi ringan.
Terbukanya tanah karena injakan dari ternak akan memudahkan pula
biji-biji alam mencapai tanah dan menyebabkan timbulnya banyak peremajaan
alam. Apabila tidak terjadi overgrazing maka pengaruh pada peremajaan alam
akan terinjak-injak lagi atau dimakannya.

b. Akibat Terhadap Kebakaran Hutan


Masuknya ternak ke dalam hutan akan mengurangi bahan bakar yang
berada di dalam hutan, sehingga bahaya kebakaran hutan pun dapat berkurang.
Serasah, tanaman bawah dan semak-semak apabila dalam keadaan kering
merupakan bahan bakar yang berbahaya, dengan masuknya ternak ke dalam
hutan sebagian dari bahan bakar akan dimakan oleh ternak-ternak. Pohon-pohon
yang telah mati yang masih berdiri dan cabang-cabang pohon belum jatuh ke
tanah akan ditabrak oleh ternak-ternak dan jatuh ke tanah. Apabila pohon dan
cabang kering telah jatuh ke tanah akan cepat membusuk dan hancur hingga
kayu kering yang merupakan bahan bakar pun dapat dihilangkan atau dikurangi.
Beberapa sarjana telah menganjurkan penggembalaan pada hutan-hutan yang
sering mengalami kebakaran agar kebakaran hutan dapat dicegah.

18
D. Pencurian Hasil Hutan
Mengingat kerugian yang ditimbulkan akibat pencurian hasil hutan untuk
Indonesia cukup besar dibanding perusak-perusak yang telah dibahas dalam bab
sebelumnya, maka penulis mencoba membahas secara umum. Tulisan-tulisan dan
penelitian mengenai pencurian di Indonesia pun hampir tidak pernah dijumpai.

1. Hasil Hutan Yang Dicuri


Tiap-tiap daerah hutan menderita kerugian macam hasil hutan yang
berbeda-beda. Tergantung pada keadaan hutannya (jenis-jenis pohonnya) dan latar
belakang dari si pencuri.
Hasil hutan yang sering dicuri ialah :
- Kayu
- Daun
- Getah
- Arang
- Kulit Kayu
- Hasil hutan ikutan lainnya (rotan, tanaman obat-obatan dan lain-lain).
Kayu yang dicuri dapat berbentuk kayu pertukangan dalam bentuk kayu
bulat atau setengah jadi (kayu persegi) dan kayu bakar. Kayu yang diambil dari
hutan dapat dengan menebang pohon lebih dahulu atau mengambil dari tumpukan
kayu.

2. Latar Belakang Pencurian


Tiap-tiap daerah mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Apabila
dilakukan perbandingan antara negara yang telah maju seperti Amerika Serikat dan
negara-negara Eropah dengan negara-negara di Asia yang sedang berkembang
seperti Indonesia, ternyata di negara yang makin maju masalah pencurian hutan
makin hilang bahkan di negara-negara Eropah dan Amerika sudah tidak pernah
dibicarakan lagi dalam perlindungan hutan.
Perbedaan yang nyata antara negara-negara yang sudah maju dan Negara-
negara yang berkembang dalam hubungan dengan pencurian hasil hutan pada
pokoknya terletak pada:

19
Ekonomi masyarakat: Penghasilan per kapita per tahun masyarakat di negara yang
maju cukup tinggi.
Hasil pencurian: Di negara yang maju hasil pencurian akan tidak banyak berarti
bila dibandingkan dengan penghasilannya, apabila dibandingkan dengan sangsi
hukuman yang berat. Jadi hasil pencurian tidak setimpal dengan bahaya dan tenaga
yang dikeluarkan. Hal-hal tersebut sangat berbeda keadaannya misalnya dengan di
Indonesia. Hasil pencurian di Indonesia. Hasil pencurian di Indonesia dapat
berlipat-lipat dibandingkan bila kerja biasa.
Bidang pekerjaan: yang tersedia dengan upah yang cukup berarti untuk hidup di
negara yang sedang maju cukup tersedia, hal ini berbeda dengan negara yang
sedang berkembang.
Penerangan: yang intensif mengenai fungsi hutan di negara yang maju jelas lebih
lama dilakukan dan dengan alat-alat dan program kerja yang lebih baik.
Istilah pencurian hasil hutan untuk beberapa daerah terutama luar Jawa
dimana hukum adat masih diikuti sebenarnya tidak diterima, karena masyarakat
merasa bahwa mengambil hasil hutan merupakan haknya yang telah berlangsung
secara turun menurun. Latar belakang dari pencurian hasil hutan di Indonesia
adalah karena:
- Sosial ekonomi: dalam arti penghasilan dari masyarakat masih rendah. Upah
masih relatif sangat rendah.
- Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia. Sulitnya mencari tambahan
penghasilan dari pekerjaan lain di samping pekerjaan pokoknya atau sulit untuk
pindah pekerjaan lain dengan upah yang lebih baik.
- Kebutuhan masyarakat akan hasil hutan tak dapat dipenuhi karena tak terbeli atau
jumlahnya di pasaran terbatas.
- Pekerjaan mencuri relatif masih memberikan hasil yang besar dengan pekerjaan
yang relatif ringan dan ancaman hukuman yang ringan pula, dibanding dengan
pekerjaan yang syah.
- Adanya penampung (tukang tadah) hasil pencurian misalnya adanya industri
kecil yang menampung hasil pencurian atau orang yang ingin mencari untung
dari masalah pencurian akan merangsang pencurian.
- Petugas/penjaga kehutanan yang harus diperbaiki dalam sosial ekonomi,
peralatan, pos-pos dan tenaganya.
- Masalah mental, kebiasaan dan sebab-sebab khusus lainnya.

20
3. Masalah Khusus Beberapa Daerah Di Indonesia
Tiap daerah mempunyai bentuk pencurian hasil hutan yang berbeda,
hingga pemecahannya pun harus didasarkan pada sifat-sifat khusus tiap daerah. Di
daerah jati hasil hutan yang dicuri berbentuk kayu, pertukangan, kayu bakar, daun
dan arang. Di daerah pinus di samping kayunya, getah pinus sering pula dicuri. Di
luar Jawa disamping mencuri dengan menebang pohon, sering mengambil dari
tumpukan kayu di hutan. Buruh-buruh penebang dari perusahaan yang mempunyai
ijin I.P.H. sering keluar dari arealnya.
Hasil hutan yang dicuri ada yang digunakan untuk mencukupi
keperluannya sendiri, tetapi ada pula yang dijual. Jumlah pencuri dapat terdiri
hanya seorang tetapi ada yang bergerombol dan terorganisir dengan baik.
Masyarakat yang mengambil hasil hutan tanpa ijin biasanya tidak datang dari
tempat jauh, tetapi berasal dari desa-desa sekitar hutan. Keadaan hutan yang
tersebar dan dikelilingi desa dan dekat jalan besar merupakan hutan yang mudah
dicuri hasilnya. Sebenarnya masih ada bentuk semacam pencurian hasil hutan yang
banyak merusak hutan pula yaitu dalam bentuk penyerobotan tanah hutan, tetapi
tidak dibahas dalam ilmu perlindungan hasil hutan.

21
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian awal ini, teridentifikasi kerusakan hutan yang


disebabkan oleh tindakan/ perbuatan manusia (antropogenik) baik secara langsung
maupun tidak langsung di kawasan hutan lindung Mutis Timau wilayah pengelolaan UPT
KPH Wilayah Kabupaten TTS meliputi kegiatan perambahan hutan, kegiatan
perladangan berpindah dan kebakaran hutan, kegiatan penggembalaan liar dan
penebangan liar. Kegiatan-kegiatan antropogenik di atas dilakukan secara bersamaan
pada setiap tahunnya dan berlangsung secara terus menerus sampai kini. Untuk
mendalami dan menjelaskan secara detail kegiatan-kegiatan antropogenik tersebut secara
ilmiah dapat dipetakan ke dalam 5 kegiatan sebagai berikut:

A. Perambahan Hutan
Kegiatan perambahan hutan sebenarnya berlangsung sejak zaman dahulu atau
semenjak zaman nenek moyang. Awal mulanya masyarakat melakukan kegiatan
perambahan hutan dimulai sebelum kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun
1945. Jauh sebelum kegiatan perambahan, pohon-pohon hutan tumbuh dengan subur
dengan tutupan vegetasi yang lebat di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau.
Jenis tumbuhan yang mendominasi di lokasi penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Jenis Tumbuhan di Lokasi Penelitian

22
Dengan iklim tropis yang dimiliki oleh hutan lindung Mutis Timau,
mendorong tumbuhan-tumbuhan asli bertumbuh dan berkembang di dalam kawasan
hutan lindung tersebut. Ketika masyarakat mulai mengenal kegiatan pertanian di
dalam kawasan hutan, maka pada saat yang bersamaan itu pula jumlah pohon semakin
berkurang. Sebanyak 100% narasumber mengatakan bahwa ketika tejadi aneksasi
lahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat menjadi lahan pertanian (perambahan),
keberadaan pohon-pohon hutan semakin berkurang. Pada saat awal kegiatan
perambahan hanya dilakukan oleh beberapa individu tertentu, yang pada saat
bersamaan melakukan kegiatan penggembalaan ternak. Saat menunggu ternak
merumput di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau, masyarakat membuka lahan
dan mengolah lahan tersebut dengan sistem tebas bakar.
Hasil wawancara dengan berbagai pihak terutama pihak KPH dan pensiunan
pegawai KPH Wilayah Kabupaten TTS menyebutkan bahwa pada tahun 1958 – 1960
masyarakat yang tidak memiliki lahan tani ataupun masyarakat yang luas lahan
garapan kecil membuka lahan hutan untuk menjadi lahan pertanian. Dalam upaya
untuk memperjelas keabsahan status kawasan hutan lindung maka pada tahun 1967
dilaksanakan kegiatan pengukuhan kawasan hutan gunung Kekneno dan Mutis
menjadi kawasan hutan lindung Mutis Timau yang dilakukan oleh pemerintah.
Dengan kejelasan status hutan tersebut menjadi indikator utama pihak pengelola
dalam melakukan tindakan pengamanan dan perlindungan hutan dari ancaman
masyarakat yang berada di sekitar maupun di dalam kawasan hutan lindung Mutis
Timau. Tetapi tindakan pengamanan dan perlindungan tidak berjalan efektif dan
maksimal karena ketersediaan sumber daya manusia di sector kehutanan pada saat itu
sangat terbatas.
Kegiatan perambahan di dalam kawasan hutan semakin intens dilakukan oleh
masyarakat pada tahun 1970-2007. Pada tahun 1970 Departemen Kehutanan
melakukan kegiatan reboisasi/penghijauan di dalam kawasan hutan lindung Mutis
Timau yang telah mengalami kerusakan. Pada saat kegiatan reboisasi / rehabilitasi
tersebut, pihak pemerintah memperoleh tenaga kerja yang berasal dari desa-desa yang
berada di sekitar hutan terutama desa-desa yang termasuk dalam penelitian ini.
Keterlibatan masyarakat hanya sebatas pada kegiatan penanaman. Setelah kegiatan
penanaman, lahan dijaga oleh masyarakat tetapi dalam perjalanannya masyarakat
membersihkan lahan tersebut dengan menanam tanaman pangan disertai dengan
tindakan memperluas lahan hutan menjadi lahan pertanian.

23
Pada tahun 2002-2006 aktivitas perambahan terjadi di desa Leloboko, desa
Ajaobaki, desa Tunua, desa Nunbena, desa Noebesi, desa Kuanoel, desa Fatumnasi,
desa Nenas dan desa Nuapin maupun desa-desa lain yang memiliki pemukiman di
dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau. Aktivitas tersebut didukung dengan
keberadaan desa tersebut terutama beberapa perkampungan yang berada di dalam
kawasan hutan lindung Mutis Timau (enclave). Sampai dengan tahun 2007, kegiatan
reboisasi tetap berlangsung dengan melakukan penanaman tanaman kehutanan dengan
jenis ampupu (Eucalyptus alba), kasuari (Casuarina equisetifolia), kayu putih
(Melaleuca leucadendron), asam (Tamarindus indica), kabesak (Acacia leucophloea),
mahoni (Swietenia macrophylla), gmelina (Gmelina arborea) dan jenis tanaman
kehutanan lainnya. Sebagai akibat dari kegiatan reboisasi yang tidak diikuti dengan
kegiatan pemeliharaan, maka pada lahan yang ditanami tanaman kehutanan,
masyarakat menanam dengan tanaman pangan seperti, jagung, kacang, ubi kayu dan
jenis tanaman pangan lainnya. Selain itu program reboisasi yang dicanangkan oleh
Kementerian Kehutanan mulai dari tahun 2007-2010 tidak dilaksanakan dan
diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan rehabilitasi
dan reboisasi pada kawasan hutan yang kondisinya terbuka atau kritis.
Tahun 2011-2016 pemerintah daerah (Dinas Kehutanan Kabupaten TTS
sekarang UPT KPH Wilayah Kabupaten TTS) fokus menjalankan amanah
Kementerian Kehutanan RI dengan proyek kebun bibit rakyat (KBR). Kegiatan atau
proyek KBR di Kabupaten TTS lebih berorientasi di luar kawasan hutan sedangkan
sebagian kecil yang dilakukan di dalam kawasan hutan. Untuk di dalam kawasan
hutan lindung Mutis Timau di Kabupaten TTS kegiatan KBR dilakukan di desa
Naususu. Pada periode 2013-2016 pengelolaan hutan lindung Mutis Timau diserahkan
ke Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Model Mutis Timau. Disaat KPHL
Model Mutis Timau sedang mempersiapkan dan menyusun rencana kerja dan rencana
pengelolaan hutan, pada tahun 2016 kelembagaan KPHL Model Mutis Timau
dibubarkan dan wilayah pengelolaan hutan diserahkan ke Dinas Kehutanan Provinsi
NTT. Semenjak dikeluarkan Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, kegiatan pengelolaan hutan lindung yang dilakukan oleh KPHL
Model Mutis Timau diserahkan kewenangannya ke pemerintah Provinsi NTT
bersamaan dengan penyerahan kewenangan pengelolaan hutan dari pemerintah daerah
Kabupaten TTS ke pemerintah Provinsi NTT (Dinas Kehutanan Provinsi NTT).
Ketika masa transisi tersebut, dimulai akhir 2016 sampai dengan Desember 2017,

24
aktifitas perambahan hutan, penggembalaan liar, illegal logging, dan perladangan
berpindah intensitasnya semakin meningkat. Aktifitas / kegiatan perambahan hutan
lindung dapat dilihat pada gambar 2 dan 3.

Gambar 2 Aktivitas perambahan dengan membuka lahan pada kawasan hutan lindung
Mutis Timau
Gambar 3 Aktivitas perambahan hutan dengan bangunan rumah di dalam kawasan
Hutan Lindung Mutis Timau

Berdasarkan hasil wawancara diperoleh bahwa 100 % narasumber


menyatakan bahwa hal yang mendorong masyarakat melakukan kegiatan perambahan
hutan adalah pertambahan penduduk, pendapatan yang diperoleh dari lahan pertanian
yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta luas lahan pertanian
yang semakin mengecil. Selain permasalahan yang dialami oleh masyarakat dan
pengelola, sebenarnya hal ini tidak terlepas dari intepretasi dari negara terhadap
pengelolaan hutan itu sendiri yang dalam pengelolaannya belum sepenuhnya
melibatkan partisipasi masyarakat. Dampak dari aktivitas perambahan hutan menjadi
lahan pertanian menyebabkan berkurangnya flora dan fauna, degradasi dan
deforestasi.
Zakkak et al. (2014) menjelaskan bahwa perambahan hutan memiliki efek
negatif yang signifikan terhadap keragaman dan kekayaan spesies burung yang
mempengaruhi khususnya spesies lahan pertanian dan belukar. Berbagai tanggapan
masyarakat terhadap ekologis lahan pertanian terutama lahan pertanian yang dibiarkan
secara bebas yang menjadi salah satu pendorong utama terjadinya perubahan
penggunaan lahan. Tak dapat dipungkiri bahwa akibat yang ditimbulkan dari kegiatan
perambahan hutan dapat menyebabkan perubahan tutupan hutan maupun
berkurangnya flora dan fauna endemik pada kawasan hutan lindung Mutis Timau.
Jong et al. (2017) menjelaskan bahwa perubahan tutupan hutan merupakan
salah satu perubahan lingkungan kontemporer yang menentukan dan memvalidasi

25
tingkat aktivitas manusia yang memiliki dampak global yang signifikan terhadap
ekosistem bumi. Dari hal tersebut akan terlihat perubahan tutupan hutan melalui
transisi hutan. Peristiwa saling mempengaruhi yang kompleks pada tutupan hutan,
pertumbuhan penduduk, pembangunan ekonomi, permintaan akan barang dan jasa
hutan dan tata kelola yang efektif adalah kekuatan pendorong transisi hutan.
Salghuna et al. (2018), menyatakan bahwa hutan mengalami gangguan
antropogenik yang sangat parah seperti pembangunan, pertambangan dan
perindustrian, illegal logging, perambahan hutan, penggembalaan, kebakaran hutan
dan menyebabkan terjadinya penurunan tutupan hutan. Kondisi ini disebabkan oleh
pertumbuhan populasi penduduk sehingga memperluas lahan untuk kebutuhan dasar
mereka. Oleh karena itu, diperlukan tindakan konservasi yang sesuai dengan tren
deforestasi dan degradasi yang terjadi saat ini. Peristiwa perambahan hutan telah
terjadi di permukaan bumi ini dan masyarakat yang berada di sekitar hutan adalah
kekuatan pendorong utama untuk melakukan tindakan tersebut. Dari hal tersebut
diketahui bahwa masalah pertumbuhan penduduk dan ekonomi (terutama masalah
kemiskinan) menjadi indikator utama dalam proses kerusakan hutan serta menjawab
persoalan klasik dalam pengelolaan hutan terutama hegemoni pemerintah dalam
memiliki dan mengelola hutan.

26
B. Perladangan Berpindah dan Kebakaran Hutan
Budaya perladangan berpindah merupakan tradisi yang dianut oleh
masyarakat di Provinsi NTT khususnya di Pulau Timor bagian Barat. Hasil penelitian
menunjukan bahwa 100 % narasumber mengatakan bahwa kegiatan perladangan
berpindah dengan sistem tebas bakar yang terjadi di UPT KPH Wilayah Kabupaten
TTS khususnya kawasan hutan lindung Mutis Timau adalah budaya yang ditinggalkan
oleh nenek moyang sampai dengan saat ini.
Kegiatan perladangan berpindah tidak semata-mata berpindah dari lahan
pertanian yang satu ke lahan pertanian lainnya, tetapi terjadi pada lahan hutan yang
satu dengan lahan hutan yang lainnya. Akibat kemerosotan penghasilan yang
diperoleh dari lahan sebelumnya mendorong petani untuk melakukan aneksasi pada
lahan hutan lainnya dengan terus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Kegiatan perladangan berpindah sampai saat ini terus dilakukan. Pengolahan lahan
pada tempat yang sama berlangsung sampai tahun ke-3 dan ketika hasil produksi
menurun dan tingkat kesuburan tanah semakin berkurang petani akan membuka lahan
di tempat yang baru dengan melakukan aktivitas yang sama seperti pada lahan yang
sebelumnya. Sebelum berpindah ke lahan yang baru petani menanam dengan tanaman
perkebunan maupun kayu-kayuan seperti kasuari, ampupu, lamtoro, jati, mangga dan
jeruk serta jenis tanaman tahunan lainnya. Setelah 5-8 tahun ladang pertama dibiarkan
(bero), petani akan kembali lagi ke lahan yang pertama.
Hasil wawancara dengan narasumber, sebanyak 100 % menyatakan bahwa
pada saat membuka ladang baik milik sendiri maupun kebun (ladang) dalam hutan,
petani biasanya melakukan penebangan/pembersihan pohon pada wilayah kerjanya.
Kegiatan ini biasanya dilakukan pada bulan Agustus-Oktober setiap tahunnya atau
sebelum berakhirnya musim kemarau. Pada bagian pinggir lahan olahan pohon-pohon
yang telah rebah dibersihkan cabang dan rantingnya kemudian dikumpulkan ke bagian
tengah lahan. Bagian yang bersih tersebut biasanya dijadikan sebagai sekat bakar.
Pembuatan sekat bakar tersebut dimaksudkan untuk menjaga terjadinya kebakaran
pada bagian lain di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau. Dua minggu sebelum
datangnya musim hujan, lahan olahan yang sudah ditebang dilakukan kegiatan
pembakaran dan terkadang api merambat ke dalam kawasan hutan lindung Mutis
Timau yang mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan. Adapun kebakaran tersebut
terjadi secara periodik setiap tahunnya. Batang pohon hasil tebangan oleh beberapa
petani biasanya digunakan sebagai teras untuk memisahkan antara petak yang satu

27
dengan yang lain. Tetapi di lain tempat dijumpai pula petani yang tidak menggunakan
teras dan dibiarkan begitu saja.
Hasil wawancara dengan narasumber menyatakan bahwa 17.74 % (dari unsur
KPH dan pensiunan pegawai KPH Wilayah Kabupaten TTS) tidak setuju apabila
dilakukan pembakaran. Ketidaksetujuan tersebut didorong oleh 2 hal, yaitu pertama,
dapat memicu meluasnya area kebakaran dan merambat ke lahan hutan yang berada di
sekitarnya dan kedua, mengurangi kesuburan tanah karena semua organisme hidup /
bakteri pembentuk kesuburan tanah akan menjadi hilang. Hal ini kontradiktif dengan
pendapat narasumber yang lain terutama dari unsur tokoh masyarakat dan masyarakat.
Sebanyak 82.26 % narasumber (tokoh masyarakat dan masyarakat)
berpendapat setelah kegiatan pembersihan lahan dilakukan pembakaran. Menurut
pengetahuan tradisional yang dimiliki, bahwa dengan melakukan pembakaran pohon
dan ranting-ranting beserta seresahnya dapat membantu tingkat kesuburan tanah
melalui abu yang ditinggalkan dari sisa pembakaran. Pendapat ini didukung dengan
hasil wawancara dengan masyarakat setempat yang menyatakan bahwa kegiatan
pembakaran lahan merupakan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun
temurun dan terus dilakukan sampai dengan saat ini. Menurut pengetahuan tradisional
yang dimiliki oleh masyarakat, bahwa kegiatan pembakaran lahan dapat menambah
kesuburan tanah. Setelah dilakukan kegiatan pembakaran, 1 (satu) minggu setelah
musim hujan lahan tersebut ditanam dengan tanaman pangan yang dominan tumbuh di
desa-desa yang berada di sekitar kawasan hutan lindung Mutis Timau seperti jagung,
kacang turis, kacang tanah, ubi kayu dan lain sebagainya. Aktivitas-aktivitas kegiatan
perladangan dan kebakaran hutan dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.

Gambar 4 Aktivitas perladangan dengan membuka lahan baru


Gambar 5 Kebakaran di Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau

Di sisi yang lain kegiatan perladangan berpindah tidak terlepas dengan


kebakaran hutan. Hampir semua lokasi penelitian menunjukan bahwa kebakaran

28
hutan terjadi akibat kegiatan pembakaran lahan baik di lahan miliknya yang
berbatasan dengan lahan hutan maupun lahan yang ada di dalam kawasan hutan.
Menurut WWF (2003) kebakaran hutan yang merupakan manifestasi penggunaan api
merupakan fenomena rutin yang terjadi pada waktu-waktu tertentu terutama bulan
Agustus sampai Oktober pada setiap tahunnya. Tidak mengherankan dengan kondisi
Pulau Timor bagian Barat yang sangat kering dengan bulan keringnya (8 bulan)
mendorong percepatan terjadinya kebakaran hutan. Pada tahun 2015-2017 intensitas
terjadinya kebakaran hutan di kawasan hutan lindung Mutis Timau sangat tinggi.
Kebakaran hutan lindung Mutis Timau skala besar dengan intensitasnya yang tinggi
meliputi desa Noebesi, desa Nunbena, desa Leloboko, dan desa Nenas sedangkan
kebakaran hutan skala kecil dengan intensitas rendah terjadi di desa Ajaobaki, desa
Tunua, desa Kuanoel, desa Fatumnasi dan desa Nuapin.
Menurut Bond and van Wilgen (1996), kebakaran merupakan kejadian yang
tergolong irregular incidence dan terdapat 3 tipe kebakaran yang umum terjadi, yaitu
(1) api bawah (ground fire); (2) api permukaan (surface fire); dan (3) api tajuk (crown
fire). Kaho dan Marimpan (2014) mengatakan bahwa kebakaran yang terjadi di desa
Leloboko, desa Kuanoel, desa Fatumnasi dan desa Nenas didominasi oleh kebakaran
dengan tipe api permukaan (surface fire). Pendapat ini diperkuat dengan hasil
pengamatan yang menunjukan bahwa kebakaran terjadi pada seresah/daun kering
yang berada di atas permukaan tanah. Hal ini dipertegas oleh Syaufina, 2008) yang
menjelaskan bahwa tipe api permukaan akan membakar seresah atau vegetasi yang
berada di atas lantai tanah dan dalam proses penjalaran api dipengaruhi oleh angin
sehingga dapat berubah menjadi api tajuk. Kaho (2005) menyatakan bahwa tipe
kebakaran yang sering terjadi di Timor adalah tipe api permukaan (survace fire) serta
memiliki karakteristik cepat meluas, baik pada fase ignition dan flaming, tetapi energi
kebakaran biasanya tidak cukup tinggi sehingga cepat berubah menjadi fase
pembaraan (smoldering).

29
C. Penggembalaan Ternak dalam Kawasan Hutan
Aktivitas penggembalaan ternak di dalam kawasan hutan lindung Mutis
Timau sudah terjadi sejak zaman nenek moyang. Berdasarkan hasil wawancara, 100 %
narasumber mengatakan bahwa semua petani yang memiliki ternak mempunyai
kebiasaan melepas ternaknya secara bebas di dalam kawasan hutan untuk merumput
dan aktivitas ternak merumput di dalam kawasan hutan dapat dilihat pada gambar 6.

Gambar 6 Aktivitas Ternak dalam Kawasan Hutan Lindung Mutis Timau

Berdasarkan pengetahuan tradisional yang dimiliki, 82.26 % narasumber


menyatakan bahwa melepas ternak di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau
dimaksudkan untuk merumput supaya rumput tidak tinggi dan menghindari kebakaran
pada saat rumput tersebut kering. Argumentasi ini dari perspektif ilmiah tidak dapat
diterima yang disebabkan oleh beberapa hal yaitu (1) terjadinya pemadatan tanah di
dalam kawasan hutan sehingga regenerasi secara alami tidak akan terjadi, (2)
tingkatan vegetasi mulai dari semai, pancang dan tiang terancam keberadaannya
karena dimakan oleh ternak yang dilepas oleh masyarakat seperti sapi, kuda dan
kerbau, (3) mempercepat proses deforestasi dan degradasi lahan dan bahkan pada titik-
titik tertentu di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau terjadi aliran permukaan
yang menyebabkan banjir dan erosi. Tetapi dari aras perspektif masyarakat dengan
melihat nilai kearifan lokal, praktek penggembalaan ternak dalam kawasan hutan
lindung Mutis Timau dapat diterima dalam aspek menghindari kebakaran hutan yang
berasal dari rumput kering dengan mengatur pola penggembalaan, pada pagi hari
ternak dilepas dan sore harinya ternak dikandangkan kembali.
Hauck and Lkhagvadorj (2013) menjelaskan bahwa kepadatan ternak dalam
radius 1 km di sekitar hutan sangat mempengaruhi vegetasi lumut Lichen epiphytic.

30
Kambing dan kuda adalah hewan yang paling penting dalam membentuk vegetasi
lumut karena kambing biasanya merumput di tepi hutan sedangkan kuda sering
menjelajah ke bagian dalam dari hutan (interior). Dampak dari peternakan dapat
menimbulkan pertambahan populasi ternak sehingga menimbulkan abrasi di dalam
hutan. Bernardi et al. (2016) menyatakan bahwa tutupan pohon meningkat dengan
presipitasi namun dibatasi oleh kepadatan ternak dan terjadinya kebakaran. Ternak
biasanya merumput di hutan yang dekat dengan sungai dan mencegah ekspansi pohon
ke padang rumput.
Peringer et al. (2017) menjelaskan penggembalaan ternak dengan intensitas
rendah merupakan pengelolaan yang mempertahankan keragaman habitat di padang
rumput hutan pegunungan untuk tujuan konservasi alam. Dalam rencana pengelolaan
jarang mempertimbangkan pemahaman interaksi gangguan ternak dan dampak
penebangan atau penahan angin. Tidak adanya gangguan dalam merumput dapat
mempromosikan pola (mosaic) terstruktur yang dikondisikan oleh topografi dan hanya
gangguan hutan berskala besar yang mengganggu pola ini. Di padang belantara,
kerapatan ternak yang sangat rendah dapat membatasi pemeliharaan habitat terbuka
tanpa gangguan. Schulz (2016) menjelaskan bahwa merumput memiliki dampak besar
pada hutan daerah kering dan semi kering termasuk kehilangan karbon (C) dari tanah.
Merumput menyebabkan pelepasan karbon yang substansial pada tanah hutan kering
dan harus ditangani melalui peningkatan pengelolaan penggembalaan melalui sistem
rotasi, yang pada akhirnya berkontribusi pada sistem konservasi hutan dan layanan
ekosistem.
Listopad et al. (2018) mengatakan bahwa perkembangan semak dan pohon
terhambat karena penggembalaan ternak yang berlebihan (overgrazing).
Penggembalaan ternak sangat menentukan regenerasi semak dan pembentukan pohon,
yang memiliki implikasi pengelolaan yang penting untuk keberlanjutan sistem
agrosilvopastural jangka panjang. Wassie et al. (2009) mengatakan bahwa ternak
merumput memiliki efeknegatif yang kuat pada perkecambahan, pertumbuhan bibit
dan kematian. Perkecambahan benih lebih tinggi di dalam hutan daripada di area
terbuka yang berdekatan untuk semua jenis. Seperti diketahui bersama apabila hutan
tidak memperoleh gangguan baik yang disebabkan oleh alam, manusia maupun ternak,
keberadaanya akan tetap terjaga dan proses regenerasi alami akan terus berlangsung.
Tetapi apabila ternak merumput dalam hutan maka akan terjadi proses pemadatan
tanah dan sangat berpengaruh terhadap proses regenerasi karena proses

31
perkecambahan tidak akan terjadi ataupun kalau terjadi perkecambahan persentasi
keberhasilannya sangat kecil. Oleh Wassie et al. (2009) dijelaskan bahwa
penggembalaan ternak memiliki dampak penting pada keberlanjutan hutan jangka
panjang dan peran mereka dalam memulihkan lingkungan yang terdegradasi.

32
D. Penebangan Liar
Kawasan hutan lindung Mutis Timau mempunyai berbagai macam jenis
pohon dengan nilai kualitas pohon yang sangat menjanjikan. Vegetasi pohon yang
dominan tumbuh adalah Eucalyptus alba, Casuarina equisetifolia, Melaleuca
leucadendron, Acacia leucophloea, Tamarindus indica, Swietenia sp, Tectona grandis,
dan Senna siamea. Sebagai kawasan hutan lindung menurut UU Nomor 41 Tahun
1999, dilarang mengambil kayu yang ada di dalam kawasan hutan lindung dan yang
diperbolehkan adalah pemanfatan kawasan untuk hasil hutan bukan kayu dan jasa
lingkungan.
Berdasarkan hasil wawancara, 100 % narasumber mengatakan bahwa dari
zaman nenek moyang sampai dengan sekarang diketahui bahwa pemanfaatan kayu
dalam hutan lindung Mutis Timau masih berlangsung sampai saat ini, untuk
kepentingan fasilitas umum (seperti gereja, kantor desa, fasilitas pendidikan dan
bangunan perumahan) dan kayu bakar kering yang diperoleh dari dalam kawasan
hutan lindung Mutis Timau. Untuk kepentingan fasilitas umum tersebut sebelum
dilakukan kegiatan penebangan pihak yang berkepentingan mengajukan surat
perijinan di desa setempat dan selanjutnya ke UPT KPH Wilayah Kabupaten TTS.
Akan tetapi di setiap desa sampel penelitian dari daerah dataran rendah (desa Noebesi)
sampai dengan dataran tinggi (desa Fatumnasi) di kawasan hutan lindung Mutis
Timau dijumpai kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat.
Untuk desa Noebesi dan Nunbena kayu yang sering diambil adalah kayu
kasuari, kayu putih dan ampupu, desa Leloboko kayu ampupu dan kasuari, desa
Ajaobaki dan Tunua kayu kasuari dan ampupu, desa Kuanoel, Fatumnasi, Nenas dan
Nuapin didominasi kayu ampupu dan kasuari. Kayu yang diambil oleh masyarakat
tersebut digunakan untuk berbagai macam keperluan dan didominasi untuk keperluan
kayu bakar dan pertukangan. Sebagai akibat penebangan liar tersebut pada beberapa
tempat terjadinya tanah longsor dan banjir seperti di desa Leloboko, desa Kuanoel,
desa Fatumnasi, Desa Nunbena, desa Noebesi, desa Nenas dan Desa Nuapin. Aktivitas
penebangan liar di dalam kawasan hutan lindung dapat dilihat pada gambar 7 dan 8.

33
Gambar 7 Penebangan pohon dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau
Gambar 8 Bekas tunggakan pohon akibat penebangan liar di dalam kawasan hutan
lindung Mutis Timau

Tacconi et al. 2003) menyatakan bahwa kegiatan ilegal di hutan merupakan


ancaman yang signifikan terhadap keberlangsungan ekosistem hutan dan berakibat
pada kerugian pendapatan pemerintah, tata pemerintahan yang buruk, dan
berkontribusi pada peningkatan kemiskinan dan konflik sosial. Gutierrez-velez and
Macdicken, (2008) menjelaskan bahwa illegal logging (penebangan liar) merupakan
ancaman utama bagi keberlanjutan sumberdaya hutan. Ancaman ini memengaruhi
kemampuan perusahaan untuk mengelola produksi hutan yang layak dan mendistorsi
cara pemerintah dalam menerapkan peraturan pengelolaan di semua tingkatan. Illegal
logging dibagi menjadi 2 (dua) kategori yaitu penebangan liar karena praktek dan
penebangan liar karena tempat.
Penebangan liar karena praktik didefinisikan sebagai penebangan dilakukan di
daerah yang secara hukum dialokasikan untuk penebangan tapi dalam pelaksanaannya
ada yang melanggar hukum dalam Undang-Undang Kehutanan atau rencana
pengelolaan yang disetujui seperti diameter, ukuran dan volume, atau spesies yang
tidak dilaporkan (termasuk yang dilindungi), penebangan tanpa pertimbangan yang
disetujui rencana pengelolaan hutan dan pengolahan kayu di hutan. Penebangan liar
karena tempat mengacu pada tindakan yang dilakukan pada area yang tidak sah atau
tempat penebangan yang dilarang oleh Undang -Undang seperti penebangan di
kawasan konservasi atau marjinal (lereng curam, tepi sungai, tangkapan air, dan lain-
lain), cagar hutan, tanah adat atau hutan publik di luar area konsesi.
Petrova (2014), illegal loging secara ekologi merusak ketika individu manusia
memotong cabang yang kering atau pohon dengan diameter sampai 8 cm yang
digunakan sebagai kayu bakar dan individu yang melakukan penebangan kayu seperti
itu pendapatan finansialnya terbatas. Negara umumnya mentoleransi perilaku ini dan
sebagian besar orang yang diwawancarai mengakui bahwa hal tersebut adalah bagian

34
dari kehidupan mereka sehari-hari. Aubad and Arago (2008) menjelaskan bahwa
illegal logging untuk konsumsi rumah tangga menurunkan jumlah spesies untuk
semua kelompok pohon, karena variabel ini adalah pendorong utama variasi kekayaan
di seluruh sisa-sisa hutan dan mempunyai dampak negatif yang lebih kuat terhadap
spesies pohon suksesi. Aktivitas penebangan terlarang ini memperburuk efeknya pada
kekayaan pohon, terutama karena penebangan liar untuk konsumsi rumah tangga
dilakukan dengan cepat dan tanpa melakukan seleksi jenis pohon yang dipotong dan
efeknya adalah kekayaan pohon lebih kuat untuk spesies suksesi akhir dan lebih lemah
untuk yang suksesi awal.
Kuemmerle et al. (2009) menjelaskan bahwa penebangan liar adalah masalah
utama ekonomi dan lingkungan dan di beberapa negara diantaranya melebihi daripada
kayu yang dipanen secara legal. Di Eropa Timur dan bekas Uni Soviet, penebangan
liar meningkat dan reboisasi di lahan pertanian terbengkalai secara luas pasca
runtuhnya sosialisme dan trend tutupan hutan tetap secara keseluruhan sebagian besar
tidak jelas.Hal ini didukung dengan hasil kajian yang menemukan bahwa tutupan
hutan meningkat di area perifer, hilangnya hutan di pedalaman dan peningkatan
penebangan di daerah -daerah terpencil. Pengelolaan hutan yang tidak berkelanjutan
mengakibatkan hilangnya hutan tua dan fragmentasi hutan terus berlanjut. Pernyataan
dari Kuemmerle et al. (2009) diperkuat oleh temuan lapangan di lokasi penelitian
bahwa peningkatan penebangan liar terjadi pada daerah-daerah terpencil sedangkan
daerah yang dekat dengan pemukiman atau kantor RPH relatif aman. Hal ini
disebabkan minim dan kurangnya sosialisasi atau pengamanan hutan dari petugas
KPH Wilayah Kabupaten TTS dan dijumpai bahwa pada daerah yang mudah diakses
oleh petugas kehutanan intensitas penebangan liar berkurang dan kondisi hutannya
dalam keadaan baik.
Alemagi and Kozak (2010) mengidentifikasi bahwa penyebab utama illegal
logging adalah korupsi sistemik, kemiskinan, konflik, skema lisensi, perampasan hak
milik, dukungan kelembagaan tidak memadai dan menyediakan jalan ke depan secara
potensial untuk mengekang kegiatan pembalakan liar. Dalam menangani praktek
korupsi disektor kehutanan pemerintah harus terbuka, dan prioritas pemerintah adalah
intervensi dalam bentuk alternatif program yang berkelanjutan untuk mata
pencaharian dan pengembangan kapasitas bisnis masyarakat yang bergantung pada
hutan. Di sisi yang lain pemerintah perlu merampingkan kelembagaan yang tanggung
jawabnya tumpang tindih, mengakui peran kepala adat sebagai penjaga hutan, dan

35
memberlakukan proses yang efektif untuk biaya pembentukan dan pemeliharaan hutan
kemasyarakatan. Pengelolaan hutan lindung Mutis Timau di Timor Bagian Barat dapat
berjalan maksimal jika ada dukungan institusional, infrastruktur, dan finansial yang
memadai perlu diberikan kepada pihak berwenang dan masyarakat hutan yang relevan
dan inisiatif ini berfungsi untuk memajukan pengelolaan hutan lestari dan bermanfaat
bagi semua pemangku kepentingan yang relevan.

36
E. Diskusi
Awang (2007) menjelaskan bahwa secara politik hutan diusahakan dan
dikelola atas dasar pemberian hak oleh pemerintah kepada lembaga pemerintah dan
lembaga swasta, mengingat negara telah menafsirkan kekuasaan atas pengelolaan
sumber daya alam hutan harus oleh negara bukan oleh masyarakat. Dengan pandangan
mono intepretasi tersebut maka pengurusan dan peruntukan sumber daya hutan
seluruhnya menjadi hak pemerintah. Dengan pandangan yang mono intepretasi
tersebut di beberapa daerah baik kawasan hutan produksi, konservasi dan lindung
mengalami kerusakan. Sasongko et al. (2014) menyatakan bahwa kawasan hutan
lindung sangat rentan terhadap gangguan akibat aktivitas yang berlebihan. Pihak UPT
KPH Wilayah Kabupaten TTS menghadapi tantangan karena di dalam kawasan hutan
lindung Mutis Timau terjadi kegiatan antropogenik (kerusakan yang disebabkan oleh
aktivitas manusia) yang meliputi perambahan hutan, penggembalaan ternak,
perladangan berpindah dan kebakaran hutan, serta penebangan liar.
Hasil penelitian terhadap masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam
kawasan hutan lindung Mutis Timau khususnya lokasi penelitian menunjukan bahwa
pendapatan per kapita sangat rendah bila dibandingkan dengan standar hidup layak
yang ditetapkan oleh WHO sebesar $2/hari. Pendapatan per kapita masyarakat di desa
Nunbena Rp. 243 040.8/bulan, desa Noebesi Rp. 254 662.6/bulan, desa Leloboko Rp.
201 894.5/bulan, desa Tunua Rp. 303 500.1/bulan, desa Ajaobaki Rp. 301
916.7/bulan, desa Nuapin Rp. 310 393.2/bulan, desa Nenas Rp. 310 792.2/bulan, desa
Kuanoel Rp. 313 721.8/bulan dan desa Fatumnasi Rp. 368 929.3/bulan. Dengan
pendapatan per kapita yang sangat rendah tersebut (< Rp. 600 000/bulan atau $2/hari)
mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan aneksasi terhadap hutan sehingga
kawasan hutan lindung Mutis Timau mengalami kerusakan antropogenik.
Kerusakan antropogenik di atas akan terus terjadi, jika masyarakat tidak
diberdayakan dalam pengelolaan hutan. Setiajiati et al. (2017) menyatakan bahwa
program pemberdayaan masyarakat harus menghubungkan konservasi hutan dengan
peluang penghasilan bagi masyarakat lokal seperti menerapkan pertanian konservasi
(misalnya agroforestri), kemitraan dalam produksi dan penjualan hasil hutan bukan
kayu, dan memberikan imbalan yang jelas untuk masyarakat. Kondisi ini menuntut
pihak pengelola untuk mengelola hutan secara bersama-sama dengan semua
stakeholder yang ada khususnya masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam
kawasan hutan.

37
Pengelolaan hutan adalah sistem tindakan untuk memasok berbagai produk
dan layanan untuk masyarakat. Pengelolaan hutan di negara maju cenderung
dijabarkan dan direncanakan untuk mencapai tujuan ekonomi dan lingkungan
(Patarkalashvili 2016). Pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro
tahun 1992 dicapai suatu kesepakatan tentang pembangunan yang berkesinambungan,
begitupun juga dengan pembangunan sektor kehutanan. Bakri (2016) menjelaskan
bahwa pengelolaan hutan sejak dua dasa warsa terakhir selalu berkiblat pada
pengelolaan hutan berkelanjutan dan mempunyai makna bahwa pembangunan
memanfaatkan sumber daya hutan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang
tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang. Wulandari (2016)
mengatakan pembangunan kehutanan sebenarnya adalah pembangunan ekonomi yang
terkait dengan masyarakat sehingga dalam pelaksanaannya harus ada kegiatan
pemberdayaan masyarakat.
Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan tetap menjaga
kelestarian hutan maka keberlanjutan (sustainable) harus menjadi pedoman bagi
semua agen perekonomian yang bergantung pada sumber daya hutan saat ini. Sumber
daya hutan merupakan sesuatu yang dapat membangkitkan kesejahteraan masyarakat
melalui pemenuhan kebutuhan dasar (pangan, papan, sandang, papan) dan
kebergunaannya bagi pihak lain (Bakri 2016). Pada sisi yang lain pengelolaan hutan
berkelanjutan dimaknai sebagai praksispemanfaatan ilmu pengetahuan untuk
memperoleh manfaat (benefit) dari sumber daya hutan secara berkesinambungan, baik
untuk kepentingan individu maupun untuk masyarakat secara kolektif di suatu teritori
dimana sumber daya hutan itu berada. Pandangan ini sebenarnya menegaskan bahwa
masyarakat bisa memperoleh manfaat dari hutan untuk memenuhi kesejahteraan
dalam hidupnya. Selain kesejahteraan masyarakat, hutan telah menjadi penyedia jasa
ekosistem bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan hidupnya. Dalam kehidupan
sehari–hari masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam hutan sangat bergantung
pada hutan. Da Ponte et al. (2017) mengatakan bahwa pemilik lahan kecil dan
menengah mempunyai ketergantungan yang kuat pada produk yang berkaitan dengan
hutan sedangkan petani yang memiliki lahan besar menganggap bahwa nilai hutan
yang utama adalah sebagai rekreasi dan budaya.

38
Di dalam pengelolaan hutan saat ini dengan melihat kerusakan yang ada maka
sudah sepantasnya pihak UPT KPH Wilayah Kabupaten TTS mencari solusi untuk
pengelolaan hutan tingkat lokal dengan melibatkan para stakeholder terutama
masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau.
Becker and Gibson (1998) berpendapat bahwa berdasarkan beberapa penulis ada tiga
kondisi dasar yang diperlukan untuk pengelolaan tingkat lokal yang sukses: 1)
penduduk setempat harus menghargai sumber daya; 2) harus memiliki hak milik atas
sumber daya; 3) membangun institusi tingkat lokal yang mengontrol penggunaan
sumber daya.
Sejalan dengan pengelolaan hutan tingkat lokal, hal utama yang perlu
diperhatikan untuk menuju pengelolaan hutan lestari dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat adalah dengan mengadopsi pendapat Alemagi and Kozak (2010) yang
menyatakan bahwa melibatkan peran serta masyarakat yang berada di sekitar hutan
lindung, pihak pengelola memikirkan bentuk-bentuk pengelolaan hutan yang mampu
meningkatkan kesejahteraan, mengefektifkan kelembagaan yang tanggung jawabnya
tumpang tindih, mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat
dan disesuaikan dengan regulasi/kebijakan dalam pengelolaan hutan. Mengantisipasi
kerusakan-kerusakan antropogenik yang terus terjadi dan berkembang secara masif di
kawasan hutan lindung Mutis Timau, maka upaya-upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi kerusakan antropogenik adalah 1) melakukan sosialisasi/penyuluhan
untuk membangun kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya hutan
lindung Mutis Timau bagi kehidupan umat manusia dan lingkungan dan 2) pelibatan
masyarakat yang berada di sekitar dan di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau
dalam setiap kegiatan pengelolaan hutan. Kegiatan sosialisasi/penyuluhan dan
pelibatan masyarakat menjadi suatu keharusan terutama pada kawasan hutan lindung
Mutis Timau yang berbatasan dengan pemukiman penduduk maupun ladang
berpindah lainnya yang terdapat di dalam kawasan hutan lindung. Hal ini perlu
dilakukan sedini mungkin untuk mengantisipasi terjadinya deforestasi dan degradasi
lahan di dalam kawasan hutan lindung Mutis Timau dan pengelolaan hutan lindung
yang efektif di kawasan hutan lindung Mutis Timau adalah dengan melibatkan peran
serta masyarakat melalui pendekatan partisipasi atau kolaborasi (co management).

39
Lamech et al. (2014) menjelaskan bahwa masyarakat sekitar hutan yang
terlibat dalam pengelolaan dengan pendekatan partisipatif (co-management)
kehidupannya meningkat dibandingkan dengan masyarakat sekitar hutan yang tidak
terlibat skema co-manajemen. Gro et al. (2016), menegaskan bahwa masalah nyata
yang kompleks dalam pengelolaan hutan sering membutuhkan pendekatan
multidisiplin dan karena masuknya berbagai pemangku kepentingan di dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam upaya mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat,
maka melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.83 Tahun 2016
telah dikeluarkan sistem Perhutanan Sosial dengan melalui beberapa skema yaitu
hutan adat, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan kemasyarakatan dan pengelolaan
hutan dengan pola kemitraan. Semuanya ini merupakan wujud perhatian pemerintah
dalam memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian hutan demi
tercapainya keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Berkaitan dengan pengelolaan hutan lindung Mutis Timau, upaya yang
dilakukan oleh pihak KPH Wilayah TTS dalam menanggulangi kerusakan hutan
lindung sesungguhnya dapat menggunakan semangat roh perhutanan sosial melalui
implementasi skema hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa dan
hutan adat dalam menjawab tuntutan hidup masyarakat sekitar hutan maupun di dalam
kawasan hutan lindungMutis Timau. Ini artinya semangat kolaborasi antara
masyarakat dengan pihak pengelola (UPT KPH wilayah Kabupaten TTS) dapat
terwujud melalui pemberian kewenangan pengelolaan kepada masyarakat melalui alat
kontrol yang kuat dari pemerintah berupa regulasi yang mengikat serta monitoring dan
evaluasi secara kontinyu sehingga masyarakat yang berada di sekitar maupun di dalam
kawasan hutan lindung Mutis Timau tingkat kehidupannya lebih sejahtera dan
hutannya tetap aman dan lestari.
Awang (2003), menekankan bahwa dalam pembangunan/pengelolaan hutan
dengan prinsip kehutanan sosial harus melibatkan partisipasi masyarakat untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya serta turut menjaga kelestarian hutan. Davis et al
(2001) menjelaskan bahwa aksioma pusat dalam prinsip-prinsip kehutanan sosial
adalah bahwa penggunaan sumber daya hutan harus menguntungkan manusia dan
kesejahteraan sosial secara langsung. Unsur-unsur kunci yang termasuk dalam
keuntungan (pemanfaatan) prinsip kehutanan social adalah distribusi manfaat hutan,
kapasitas masyarakat untuk menerima perubahan, penerimaan keputusan sosial, proses

40
pengambilan keputusan berdasarkan demokrasi parsipatif, dan integrasi perspektif
sosial dalam pengelolaan hutan.

41
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan di atas, disimpulkan bahwa kerusakan-kerusakan
antropogenik di kawasan hutanlindung Mutis Timau di Pulau Timor bagian Barat
meliputi kegiatan perambahan hutan, penggembalaan ternak di dalam kawasan hutan,
perladangan berpindah dan kebakaran, dan penebangan liar. Kerusakankerusakan
antropogenik tersebut telah mengancam kehidupan semua makluk di kawasan hutan
lindung Mutis Timau maupun kawasan yang berada di sekitarnya. Upaya mengatasi
kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia adalah dengan melibatkan peran serta dan
partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya dalam pengelolaan hutan lindung
Mutis Timau secara bersama-sama (kolaboratif) dengan sistem perhutanan social yang
berpegang teguh pada prinsip - prinsip kehutanan sosial.

B. Saran
Aktivitas-aktivitas antropogenik merupakan suatu tantangan yang harus
dihadapi oleh pengelola hutan / Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) karena melibatkan ulah manusia yang dilakukan dengan sadar dan tanpa
sadar pula aktivitas tersebut dapat menyebabkan degradasi dan fragmentasi pada
hutan. Dengan melihat kondisi Hutan Lindung Mutis Timau yang mengalami
pergerakan ke arah kritis dan menyebabkan deforestasi dan degradasi maka sepatutnya
kita menjaga dan melestarikannya.

42
DAFTAR PUSTAKA

Agus YPES. 2017. Desain ulang model pengelolaan lahan kering dataran tinggi berbasis
agroforestri tradisional di Pulau Timor (Kasus di Kecamatan Miomafo Barat,
Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT). Tesis. Yogyakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Alemagi D and Kozak RA. 2010. Illegal logging in Cameroon: Causes and the path
forward. Forest Policy and Economics. Elsevier BV. 12(8), 554–561.
doi:10.1016/j.forpol.2010.07.008.

Aubad J and Arago P. 2008. Illegal logging, landscape structure and the variation of tree
species richnessacross North Andean forest remnants. Forest Ecology and
Management. Elsevier BV. 255:1892–1899. doi: 10.1016/j.foreco.2007.12.011.

Awang SA. 2003. Politik Kehutanan Masyarakat. Edisi Pertama: Center for Critical
Social Studies (CCSS) bekerjasama dengan Penerbit Kreasi Wacana
Yogyakarta.

Awang SA. 2006. Sosiologi pengetahuan deforestas: Konstruksi sosial dan perlawanan.
Yogyakarta: Penerbit Debut Press.

Awang SA. 2007. Sosiologi kehutanan dan lingkungan. Edisi Pertama. Laboratorium
Ekologi Sosial dan Politik SDH Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan
UGM Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik Provinsi NTT. 2017. Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka
2017. Kupang: Badan Pusat Statistik Provinsi NTT.

Bakri S. 2016. Pilihan ideologi lingkungan dalam praksis manajemen sumber daya hutan
berkesinambungan dalam buku pengelolaan hutan berkelanjutan provokasi
arsitektur, pemikiran, konsep dan strategi.Edisi Pertama. Edited by W Banuw,
Irwan S, San Afri Awang. Yogyakarta: Plantaxia, p.118.

Becker C and C C G. 1998. The luck of institutional supply: Why a strong local
community in Western Ecuador fails to protect its forest. Forest, Trees and
People Programs. Working Paper Nomor 3 May 1998.

43
Bernardi RE, Holmgren M, Arim M and Scheffer M. 2016. Why are forests so scarce in
subtropical South America ? The shaping roles of climate, fire and livestock.
Forest Ecology and Management. Elsevier BV. 363, 212–217. doi:
10.1016/j.foreco.2015.12.032.

Bond W, BW van W. 1996. Fire and Plants. London: Chapman & Hall, London, UK.

Bungin B. 2003. Analisis data penelitian kualitatif: Pemahaman filosofis dan metodologis
ke arah penguasaanmodel aplikasi. Jakarta: Penerbit PT. Raja Grafindo Persada.

Da Ponte E, Kuenzer C, Parker A, Rodas O, Oppelt N and Fleckenstein M. 2017. Forest


cover loss in Paraguay and perception of ecosystem services: A case study of
the Upper Parana Forest. Ecosystem Services. Elsevier BV. 24, 200–212. doi:
10.1016/j.ecoser.2017.03.009.

Davis LA, Norman Johnson K, Peter S, Bettinger TEH. 2001. Forest management to
sustain ecological, economic, and social values. Fourth Edi. New York:
McGraw-Hill Inc. An Imprint of The McGraw-Hill Companies, Inc., 1221
Avenue of the Americas, New York.

Dawson IK, Leakey R, Clement CR, Weber JC, Cornelius JP, Roshetko JM, Vinceti B,
Kalinganire A, Tchoundjeu Z and Masters E. 2014. Forest Ecology and
Management The management of tree genetic resources and the livelihoods of
rural communities in the tropics: Non timber forest products, smallholder
agroforestry practices and tree commodity crops. Forest Ecology and
Management Elsevier BV. 333, 9–21. doi: 10.1016/j.foreco.2014.01.021.

Febriani I, Budi L and Hadi A. 2017. Analisis deforestasi menggunakan regeresi logistik
model di Tahura Sekitar Tanjung di Provinsi Jambi. Jurnal Pengelolaan Sumber
Daya Alam dan Lingkungan. 7(3), 195– 203. doi: 10.29244/jpsl.7.3.195-203.

Fisher. 2012. Tropical forest monitoring, combining satellite and social data, to inform
management and livelihood implications: Case studies from Indonesian.
International Journal of Applied Earth Observations and Geoinformation. 16,
77–84. doi: 10.1016/j.jag.2011.12.004.

44
Gro P, Hodges DG and Zadnik L, 2016. Participatory and multi-criteria analysis for forest
(ecosystem) management: A case study of Pohorje, Slovenia. Forest Policy and
Economics. 71, 80–86. doi: 10.1016/j.forpol.2015.05.006.

Gutierrez-velez VH and Macdicken K. 2008. Quantifying the direct social and


governmental costs of illegal logging in the Bolivian, Brazilian, and Peruvian
Amazon. pp. 248–256. doi: 10.1016/j.forpol.2007.10.007.

Hauck M and Lkhagvadorj D. 2013. Epiphytic lichens as indicators of grazing pressure in


the Mongolian. Ecologi Indicators. 32, 82–88.

Jong W, De, Liu J. and Youn Y. 2017. Land and forests in the anthropocene: Trends and
outlooks in Asia. Forest Policy and Economics. 79, 17–25. doi:
10.1016/j.forpol.2016.09.019.

Kaho, Norman PLBR dan Lusia Marimpan. 2014. Pemetaan Pola Kebakaran Berbasis
Fire Regime di Cagar Alam Gunung Mutis. Buletin Leguminosae. 19.

Kastanya A. 2002. Pengelolaan hutan alam produksi lestari sesuai dengan gugus pulau di
Maluku. Disertasi. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah
Mada.

Keputusan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung.

Kim Y, Soo J, Fisher LA, Latifah S, Mansur A, Min S and Kim I. 2016. Indonesia’s
forest management units : Effective intermediaries in REDD +
implementation ?. Forest Policy and Economics. 62, 69–77. doi:
10.1016/j.forpol.2015.09.004.

Lamech F, Ming M, Rennie HG, Memon A and Forest A. 2014. Potential for co-
management approaches to strengthen livelihoods of forest dependent
communities: A Kenyan case. Land Use Policy. 41, 304–312. doi:
10.1016/j.landusepol.2014.06.008.

Listopad CM, Köbel M, Príncipe A, Gonçalves P and Branquinho C. 2018. The effect of
grazing exclusion over time on structure, biodiversity, and regeneration of high

45
nature value farmland ecosystems in Europe. Science of the Total Environment.
610, 926–936. doi: 10.1016/j.scitotenv.2017.08.018.

Pagdee A, Kim Y, Daugherty PJ and Kim Y. 2016. What makes community forest
management successful : A meta-study from community forests throughout the
world.

Society and Natural Resources. 1920 (October) 19:1, 33-52, doi:


10.1080/08941920500323260.

Patarkalashvili T. 2016. Some problems of forest management of Georgia. Annals of


Agrarian Sciences. 14(2), 108–113. doi: 10.1016/j.aasci.2016.04.002.

Peringer A, Buttler A, Ileana P, Schulze KA, Stupariu M and Rosenthal G. 2017.


Disturbance grazer vegetation interactions maintain habitat diversity in
mountain pasture-woodlands. Ecological Modelling. 359, 301– 310. doi:
10.1016/j.ecolmodel.2017.06.012.

Petrova S. 2014. Contesting forest neoliberalization: Recombinant geographies of illegal


logging in the Balkans. Geoforum. 55, 13–21. doi:
10.1016/j.geoforum.2014.04.008.

Purnomo H and Mendoza G. 2011. A system dynamics model for evaluating


collaborative forest management : a case study in Indonesia. International
Journal of Sustainable Development and World Ecology. 18(2), 164-176. doi:
10.1080/13504509.2010.549664.

Pusat Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. 2015.
Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2015. Pusat
Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

Ratcliffe JL, Creevy A, Andersen R, Zarov E, Gaffney PPJ, Taggart MA, Mazei Y,
Tsyganov AN, Rowson J G, Lapshina ED and Payne RJ. 2017. Ecological and
environmental transition across the forested to open bog ecotone in a west
Siberian peatland. Science of the Total Environment. 607, 816–828. doi:
10.1016/j.scitotenv.2017.06.276.

46
Salghuna NN, Chandra PR and Kumari JA. 2018. Assessing the impact of land use and
land cover changes on the remnant patches of Kondapalli reserve forest of the
Eastern Ghats, Andhra Pradesh, India. The Egyptian Journal of Remote Sensing
and Space Sciences. National Authority for Remote Sensing and Space
Sciences. 1–11. doi: 10.1016/j.ejrs.2018.01.005

Sasongko DA, Kusmana C and Ramadan H. 2014. Strategi pengelolaan hutan lindung
Angke Apuk (Management strategy of Angke Kapuk protected forest). Jurnal
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 4(1), 35 -42.

Schulz K, Voigt K, Beusch C, Almeida-cortez JS, Kowarik I, Walz A and Cierjacks A.


2016. Forest Ecology and Management Grazing deteriorates the soil carbon
stocks of Caatinga forest ecosystems in Brazil.

Forest Ecology and Management. 367, 62–70. doi: 10.1016/j.foreco.2016.02.011.

Setiajiati F. 2017. Strategies of community empowerment to manage protection forest


sustainably. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 23, 71–80. doi:
10.7226/jtfm.23.2.71.

Simon H. 2004. Aspek sosio-teknis pengelolaan hutan jati di Jawa. Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar.

M. Ghoddousi A, Zeppenfeld T, Shokri S, Sou M, Jafari A, Ahmadpour M, Qashqaei AT,


Egli L, Ghadirian T, Raeesi N, Zehzad B, Kiabi BH, Khorozyan I, Balkenhol N
and Waltert M. 2018. Livestock grazing in protected areas and its eff ects on
large mammals in the Hyrcanian forest, Iran. Biological Conservation. 217, pp.
377–382. doi: 10.1016/j.biocon.2017.11.020.

Sousa-silva R, Verbist B, Lomba Â, Valent P, Su M, Picard O, Hoogstra-klein MA,


Cosofret V, Bouriaud L, Ponette Q, Verheyen K and Muys B. 2018. Adapting
forest management to climate change in Europe: Linking perceptions to
adaptive responses. Forest Policy and Economics. 90, 22–30. doi:
10.1016/j.forpol.2018.01.004.

Sulieman HM. 2018. Exploring drivers of forest degradation and fragmentation in Sudan:
The case of Erawashda Forest and its surrounding community. Science of the
Total Environment. 621, 895–904. doi: 10.1016/j.scitotenv.2017.11.210.

47
Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia (Perilaku api, penyebab dan
dampak kebakaran). Malang: Bayumedia Publishing.

Tacconi L. 2003. National and international policies to control illegal forest activities. A
report for the Ministry of Foreign Affairs, Government of Japan. CIFOR 1993-
2003.

Wassie A, Sterck FJ, Teketay D and Bongers F. 2009. Effects of livestock exclusion on
tree regeneration in church forests of Ethiopia. Forest Ecology and
Management. 257, 765–772. doi: 10.1016/j.foreco.2008.07.032.

Wulandari C. 2016. Pentingnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan


konservasi dalam Buku: Pengelolaan hutan berkelanjutan provokasi arsitektur,
pemikiran, konsep dan strategi. Edisi Pertama. Edited by W. Banuw, Irwan
Sukri, San Afri Awang. Yogyakarta: Plantaxia.

WWF. 2003. Dampak sosial, budaya, dan ekonomi program intensifikasi bagi
pemeliharaan hutan cagar alam Gunung Mutis di Timor Barat, NTT. Laporan
Penelitian WWF Wilayah NTT, Tidak Dipublikasikan

Yurtseven I, Serengil Y, Gökbulak F, Kamil S, Ozhan S, Umit K, Uygur B and Ozçelik


M S. 2017. Results of a paired catchment analysis of forest thinning in Turkey
in relation to forest management options. Science of the Total Environment.
doi: 10.1016/j.scitotenv.2017.08.190.

Zakkak S. Halley JM, Kati V, Kakalis E and Radovi A. 2014. The impact of forest
encroachment after agricultural land abandonment on passerine bird
communities: The case of Greece. Journal For Natural Conservation. 22, 157–
165. doi: 10.1016/j.jnc.2013.11.001.

48

Anda mungkin juga menyukai