Anda di halaman 1dari 21

“PENGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI

PROVINSI RIAU”

OLEH:

Ferdian Yudha Pratama


2101112668

ILMU LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA

DOSEN PENGAMPU:

Frini Karina Andini, S. Ab, M. Ab

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS RIAU
2023
ANALISA
Fenomena kebakaran hutan di Indonesia bukanlah kenyataan baru, dalam
satu dekade terakhir, ancaman kebakaran hutan terus terjadi. Kebakaran hutan yang
merupakan bagian dari lingkungan tidak hanya menjadi masalah masyarakat
Indonesia tetapi telah menjadi masalah global bagi negara-negara di dunia.
Kebakaran dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan
karena dampak langsungnya terhadap ekosistem, kontribusinya terhadap emisi
karbon dan keanekaragaman hayati. Masalah pengelolaan hutan telah menyebabkan
hutan dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Perusakan hutan, penebangan
liar dan kebakaran telah membawa hutan ke dalam kondisi kritis. Perbaikan telah
dilakukan pada aspek peraturan dan sistem pengelolaan hutan, tetapi pengelolaan
dan konservasi hutan lestari belum dilaksanakan. Banyak permasalahan di
lapangan, mulai dari konflik kehutanan, perizinan dan pengawasan serta korupsi
yang dilakukan oleh oknum pegawai di sektor kehutanan.

Pembakaran hutan untuk perkebunan baru menyebabkan kerusakan


lingkungan, termasuk masalah kabut asap yang menimbulkan pencemaran udara di
Provinsi Riau. Selain itu, polusi asap rentan menyebabkan berbagai penyakit seperti
infeksi saluran pernapasan dan sebagainya. Tulisan ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pencemaran asap kebakaran hutan dan
lahan serta mengetahui upaya pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat bagi masyarakat Riau terhadap polusi asap kebakaran hutan. Riset ini
merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan yuridis normatif. Hasil
riset menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab adanya kebakaran hutan dan
lahan adalah kondisi sebagian hutan yang terdiri dari rawa gambut. Faktor kedua
adalah banyak perusahaan yang beroperasi tanpa izin lingkungan. Faktor lain
penyebab kebakaran hutan adalah tumpang tindihnya peraturan yang berlaku terkait
hak guna usaha dan kawasan hutan. Dalam hal ini, upaya untuk pemenuhan hak
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat Riau sudah cukup baik,
tetapi hal ini belum optimal. Oleh karena itu, perlu adanya koordinasi dan
Kerjasama dengan berbagai instansi untuk menetapkan aturan agar tidak terjadi
tumpang tindih aturan.

1
Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan bagian dari
HAM, sehingga setiap orang memiliki hak yang sama atas penikmatan dari hak
tersebut. Namun hak tersebut telah dilanggar oleh polusi asap akibat kebakaran
hutan dan lahan, khususnya di Provinsi Riau. Dalam hal ini banyak faktor penyebab
kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan polusi asap, salah satunya adalah
kondisi hutan Riau yang sebagian besar merupakan rawa gambut rawan kebakaran.
Selain itu, ada juga keterlibatan perusahaan atau korporasi yang mengabaikan
Amdal dalam pengelolaan kegiatan perkebunan yang berpotensi merusak
lingkungan. Faktor terakhir adalah tumpang tindih peraturan yang berlaku, baik
yang berkaitan dengan hak guna usaha maupun kawasan hutan. Secara umum upaya
pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat Riau
terhadap kebakaran hutan sudah cukup baik walaupun belum optimal. Hal ini
terlihat dari upaya berbagai pihak untuk menanggulangi kebakaran hutan, telah
dilakukan upaya preventif dan represif sehingga teradi penurunan kasus kebakaran
hutan dan lahan yang signifikan di tahun 2020. Namun, masalah perizinan dan
tumpang tindih peraturan masih membutuhkan penyelesaian yang tepat sehingga
tidak ada penyimpangan dalam menjalankan usaha perkebunan di Provinsi Riau
yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, dari sisi penguatan kelembagaan sebagai


berikut: pertama, perlu adanya koordinasi dan kerjasama antara Kementerian
Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan instansi terkait
lainnya dalam menetapkan aturan terkait perizinan usaha di Kawasan hutan; kedua,
optimalisasi sosialisasi pemanfaatan Sistem Peringatan Kebakaran Hutan dengan
Fire Danger Rating System (FDRS) oleh BMKG sehingga dapat dimanfaatkan oleh
berbagai pihak dalam pencegahan dan penanganan kebakaran hutan dan lahan; dan
ketiga, perlu menindak perusahaan atau korporasi yang melakukan pelanggaran,
baik yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan maupun usaha perkebunan
dalam kawasan hutan lindung dan konservasi. Sanksi yang dikenakan dalam hal ini,
tidak penyegelan lahan, namun juga pencabutan izin lingkungan yaitu pencabutan
izin usaha perkebunan.

2
Dinamika Lingkungan Indonesia, Juli 2019, p 67-84 Dinamika LingkunganVolume
Indonesia 67 2
6, Nomor
p-ISSN 2356-2226
e-ISSN 2655-8114

Analisis Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Riau


Ardhi Yusuf1, Hapsoh2, Sofyan Husein Siregar3, Dodik Ridho Nurrochmat4
1
Direktorat Penegakan Hukum Pidana Kementerian LHK, Gedung Manggala Wanabakti Blok IV Lantai 4 Jl.
Gatot Subroto, Senayan, Jakarta
2
Fakultas Pertanian Universitas Riau Kampus Bina Widya Panam KM 12.5 Pekanbaru, Telp. 0761-862620
3
Dosen Pascasarjana Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Riau, Pekanbaru
4
Fakultas Kehutanan IPB Kampus IPB Darmaga, Bogor

Abstract : Riau is one of the provinces in Indonesia that often experience forest and land
fires. Forest and land fires cause enormous environmental, economic, and social losses and
damages that even cause disruption of political relationship between countries. This study
aims to determine the relationship between biophysical, socioeconomic, and policy factors in
influencing the occurrence of forest and land fires in Riau Province Based on researh, it is
known that there is a correlation between forest and land fires variables in Riau Province to
distance from 15 variables, ie peatland, river, road, forest cover, plantation cover, plantation,
settlement (built up area), dry land, Timber Forest Product Utilization License, plantation
concession, other use areas, protected forest areas, production forests, conversion production
forest and limited production forest.
Key Words: Forest, Land fires, Riau

Kebakaran hutan dan lahan adalah bencana sosial ekonomi dan faktor kebijakan yang
alam yang sering terjadi di Indonesia, dapat meningkatkan interaksi manusia
terutama pada musim kemarau. Kebakaran dengan hutan dan lahan (Tarigan, 2015,
ini menyebabkan kerusakan lingkungan yang Ruchiat, 2001). Menurut Ekadinata dan Dewi
sangat besar, kerugian ekonomi, dan masalah (2011) jumlah kegiatan konversi penggunaan
sosial. Faktanya, kebakaran hutan dan lahan lahan yang disebabkan oleh kondisi sosial
yang besar mengakibatkan dampak asap yang ekonomi masyarakat dan kebijakan
menghancurkan di luar batas administrasi kepemilikan lahan adalah penyebab utama
negara (bencana transnasional). Menurut dari tingginya jumlah kebakaran hutan di
Kementerian Kesehatan (2015) kebakaran Indonesia. Oleh karena itu perlu untuk
hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 2015 mereformasi kebijakan kehutanan dan
di beberapa provinsi, seperti Riau, Jambi, dan pengaturan penggunaan lahan berbasis
Sumatera Selatan, menyebabkan bencana penggunaan lahan (Barber dan Schweithelm,
terburuk dalam 18 tahun, yang menyebabkan 2000), terutama dalam ekosistem yang sangat
polusi udara parah di beberapa negara Asia rentan seperti lahan gambut.
Tenggara. Kebakaran hutan dan lahan dapat terjadi
Secara ekologis, penurunan luas hutan dan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan,
degradasi lahan akibat kebakaran di tanah mineral dan gambut (Saharjo, 1997;
menimbulkan risiko dan ketidakpastian Page et al., 2002; Syaufina 2008). Kebakaran
dalam pemulihan kondisi ekosistem, yang terjadi di lahan gambut lebih sulit
hilangnya nilai penggunaan kayu dan hutan diatasi karena api dapat menyebar melalui
non-kayu di masa depan dan hilangnya nilai biomassa di atas tanah dan di lapisan gambut
yang diharapkan dari keanekaragaman hayati di bawah permukaan (Sumantri 2007). Proses
yang saat ini belum dimanfaatkan (Bahruni et membara di lahan gambut ini sulit diketahui
al., 2007). penyebarannya secara visual (Rein et al.,
Beberapa hasil penelitian menunjukkan 2008). Kondisi gambut kering akibat
bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan pembukaan lahan dan kanal / parit dapat
oleh berbagai faktor lingkungan seperti iklim, menyebabkan lahan gambut mudah
kondisi penutupan lahan, jenis tanah, dan terbakar, terutama di musim kemarau
faktor lingkungan bio-fisik lainnya; faktor yang panjang (Jaenicke et al. 2010). Terkait
Dinamika Lingkungan Indonesia 68

hal ini, Provinsi Riau menjadi salah satu setiap wilayah mengarah pada kebutuhan
daerah yang perlu mendapat perhatian khusus akan penelitian yang dapat menjadi rujukan
karena memiliki luas lahan gambut 3,867,413 dalam pengendalian kebakaran yang efektif
ha atau 43,61% dari total luas (Kementerian dan efisien di Provinsi Riau.
Pertanian, 2011). Penelitian ini diarahkan untuk
Ketersediaan data / informasi tentang mengkaji kebakaran hutan dan lahan dengan
tingkat kerentanan dan potensi kebakaran pendekatan analisis kuantitatif dan
hutan dan lahan di Provinsi Riau menjadi pemodelan spasial aspek biofisik, aspek
penting. Sistem Informasi Geografis (SIG) sosial ekonomi dan aspek kebijakan di
adalah salah satu metode yang dapat Provinsi Riau. Secara khusus, penelitian ini
memfasilitasi para pemangku kepentingan bertujuan untuk: 1). mengetahui keterkaitan
dalam memantau dan memahami terjadinya antara faktor biofisik, faktor sosial ekonomi
kebakaran hutan, apakah insiden tersebut dan faktor kebijakan dalam mempengaruhi
telah terjadi atau prediksi kebakaran di masa terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
depan. Pemodelan spasial kebakaran hutan Provinsi Riau, 2) mengembangkan model
dan lahan telah menjadi topik studi oleh spasial kerentanan hutan dan kebakaran
banyak peneliti, menggunakan berbagai lahan, dan 3) merumuskan kebijakan
pendekatan dan pertimbangan, termasuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan
faktor lingkungan (biofisik), sosial ekonomi, lahan untuk mencegah terjadinya kebakaran
dan kebijakan. Jaya et al. (2007) hutan dan lahan. Hasil penelitian ini
memodelkan kebakaran dengan diharapkan dapat memberikan gambaran
menggunakan variasi dalam pola iklim lokal tentang faktor-faktor yang secara signifikan
(curah hujan), vegetasi (tutupan lahan, mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan
kepadatan biomassa, dan kelembaban), dan lahan di Provinsi Riau, sehingga dapat
penggunaan lahan dan beberapa faktor terkait memberikan masukan bagi Pemerintah
seperti jarak dari sungai, jalan dan Daerah dan pihak terkait dalam menetapkan
pemukiman. Saito et al. (2002) menilai kebijakan dan peraturan tentang pengelolaan
keterkaitan antara hotspot dan aksesibilitas hutan dan lahan dan pemanfaatan.
jalan / sungai sebagai faktor penting dalam
pemetaan peta risiko kebakaran di Jambi, BAHAN DAN METODE
Sumatra.
Terjadinya kebakaran hutan dan lahan Lokasi studi. Penelitian ini dilakukan di
dipicu oleh berbagai faktor, baik faktor alam semua kabupaten di Provinsi Riau dengan
maupun faktor manusia. Faktor alami yang pertimbangan bahwa hampir semua wilayah
sering memicu kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yang terkena dampak
adalah kondisi iklim yang ekstrem, seperti kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap
musim kemarau yang berkepanjangan karena tahun (Gambar 1).
fenomena El Nino. Berdasarkan penelitian Pendekatan penelitian. Metode
Saharjo dan Husaeni (1998), kebakaran hutan penelitian ini adalah menganalisis data
dan lahan di Indonesia diduga lebih sekunder yang telah terkumpul dan
disebabkan oleh pengaruh aktivitas manusia melakukan metode observasi lapangan untuk
daripada faktor alam. Namun, diperlukan mendapatkan data validasi model. Tahapan
analisis kuantitatif yang menjelaskan penelitian terdiri dari 1) pengumpulan data
keterkaitan dan peran masing-masing faktor biofisik lingkungan, masyarakat sosial
yang secara signifikan mempengaruhi ekonomi dan kebijakan pemerintah, 2)
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. analisis spasial kebakaran hutan dan lahan,
Karakteristik lingkungan yang berbeda di
Dinamika Lingkungan Indonesia 69

digunakan sebagai input dalam proses


analisis statistik.
Pengisian nilai untuk setiap grid
dilakukan dengan menghitung jarak (jarak
euclidean) ke variabel input. Setiap kisi akan
diisi oleh nilai atribut jarak masing-masing
variabel, baik variabel dependen maupun
independen yang digunakan dalam penelitian
ini.Pengisian atribut Grid dilakukan
menggunakan modul tambahan perangkat
lunak ArcGIS Hawth Tools. Modul ini akan
mengisi atribut grid dengan jarak masing-
masing variabel pada setiap grid dalam
Gambar 1. Lokasi Penelitian satuan linier. Selanjutnya, pengisian atribut
grid untuk variabel sosial ekonomi dan
Pengumpulan data. Data yang kebijakan dilakukan dengan menggunakan
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah: a) algoritma Zonal Attribute.
Data hotspot yang diperoleh dari ASEAN Pengumpulan data hotspot sebagai
Specialized Meteorogical Centre (ASMC) variabel dependen. Analisis data hotspot
diakses melalui http://asmc.asean.org (Portal dilakukan dengan memplot hotspot selama 9
Informasi Cuaca Singapura) dan tahun terakhir (2007-2015) untuk
Kementerian Lingkungan Hidup dan menunjukkan posisi hotspot dan distribusi di
Kehutanan (KLHK), ) Data curah hujan dari lokasi penelitian sehingga potensi api dari
BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi area penelitian dapat diperoleh (Gambar 2).
dan Geofisika), c) Peta jenis tanah dari Penentuan lokasi pengambilan data hotspot
Kementerian Pertanian (Pusat Penelitian dan sebagai variabel dependen dilakukan dengan
Pengembangan Pertanian Indonesia), d) Peta mempertimbangkan penyebaran titik api pada
tutupan lahan dari Kementerian Lingkungan ukuran grid 5 km x 5 km. Untuk memastikan
Hidup dan Kehutanan, e) Bumi Indonesia bahwa lokasi hotspot dapat digunakan
Peta dengan skala 1: 25000/1: 50.000 (jalan sebagai variabel dependen yang representatif,
tematik, sungai, dll.), F) Data tabulasi sosial- kisi yang memiliki nomor hotspot lebih besar
ekonomi semua kabupaten di Provinsi Riau dari 50 poin akan diambil untuk mewakili
dari Statistik Indonesia, g) Peta Rencana Tata data hotspot yang akan dimasukkan dalam
Ruang Wilayah Provinsi (RTRW) / D) Tanah proses analisis statistik. Setiap kisi terpilih
status penggunaan, i) Peta Kawasan Hutan, j) akan diwakili oleh hanya satu data hotspot.
konsesi izin usaha pertambangan dan Izin Ilustrasi sampel data sampel hotspot ini
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu, baik hutan diilustrasikan dalam Gambar 2
alam dan perkebunan (sebelumnya Hak
Pengusahaan Hutan dan Hutan Tanaman
Industri), k) Data batas wilayah dan l)
Hukum dan penegakan hukum undang-
undang.
Penentuan unit analisis. Dalam studi
ini, karakteristik bio-fisik lingkungan
dilakukan pada unit analisis dengan ukuran
kotak 250 m x 250 m, sedangkan
karakteristik sosial ekonomi dilakukan di unit
analisis desa sebagai unit area pengamatan.
Setiap atribut variabel pada unit analisis akan Gambar 2. Penetapan titik sample berdasarkan data
titik
Dinamika Lingkungan Indonesia 70

Analisis spasial dan pemodelan spasial ketergantungan spasial dan pengambilan


dengan metode Regresi Logistik. Regresi sampel spasial harus dipertimbangkan dalam
adalah analisis statistik yang dapat digunakan regresi logistik dengan tujuan menghilangkan
untuk memperoleh koefisien hubungan korelasi spasial otomatis (Xie et al., 2005).
empiris dari pengamatan yang dilakukan. Hasil analisis regresi logistik akan
Variabel dependen dari regresi logistik dapat menunjukkan variabel yang paling
berupa biner atau kategorikal. Variabel berpengaruh terhadap terjadinya kebakaran.
independen (regresi logistik) dapat berupa Penentuan kriteria untuk model
kombinasi variabel kontinu dan kategorikal. Regresi Logistik. Data hotspot atau area
Bentuk umum dari regresi logistik dapat terbakar adalah variabel dependen dalam
dilihat pada persamaan berikut: model regresi logistik. Dalam penelitian ini,
hotspot atau kriteria area yang digunakan
1 untuk parameter Y adalah jumlah hotspot per
Pi  kisi> 50 untuk kriteria 1 dan <50 untuk
  k 
1  exp    0    j x ji 
 kriteria 0, di mana setiap kisi hanya akan
  j 1  diwakili oleh satu titik hotspot (1 titik per
kisi).
Keterangan: Seperti dijelaskan di atas, untuk
Pi :Probability/peluang menghubungkan interaksi faktor biofisik,
β0, β1.. βk : Koefisien hasil pengukuran faktor sosial ekonomi dan faktor kebijakan
X1, X2.. Xk : Variabel/peubah bebas dalam model spasial kebakaran hutan dan
lahan di Provinsi Riau menggunakan model
Persamaan ini menunjukkan probabilitas regresi logistik. Model regresi ini telah
terjadinya api, yang diwakili oleh variabel digunakan untuk menentukan interaksi faktor
respons biner (1 dan 0). Nilai 1 menunjukkan lingkungan dan perubahan penggunaan lahan
kebakaran, sedangkan nilai 0 menunjukkan di Jawa (Verburg et al., 2004), model spasial
tidak ada kebakaran (Xie et al., 2005). untuk deforestasi (Prasetyo et al., 2009), dan
Untuk memodelkan kebakaran dengan studi tentang perubahan penggunaan lahan
regresi logistik, keragaman spasial data harus pada skala regional (Setiawan, 2013).
dipertimbangkan. Statistik spasial seperti

Tabel 1. Penentuan kriteria variable yang digunakan dalam model regresi logistik

Variabel yang dipergunakan Asumsi dan Kriteria


Terjadinya kebakaran hutan dan lahan Terjadinya kebakaran hutan dan lahan didasarkan
(Variabel tak-bebas / (dependent pada jumlah titik panas (hotspot) tahun 2007
variable) sampai 2015 yang dihitung per grid. Nilai batas
diambil pada 50 hotspot per grid dengan asumsi
Variabel tak-bebas ini merupakan nilai nilai ini mampu mewakili keadaan grid yang
probabilitas terjadinya kebakaran hutan memiliki luasan yang cukup besar. Dengan
dan lahan (Pi) demikian, grid dengan jumlah hotspot >50 untuk
kriteria 1 dan <50 untuk kriteria 0

Variabel bebas (independent variable) yang dipergunakan terdiri atas 17 variabel yang
dikelompokan kedalam faktor biofisik, faktor sosial-ekonomi dan faktor kebijakan yaitu:
1. Faktor Biofisik
a) Jenis tanah Input variabel tanah ditentukan dengan
menghitung jarak lokasi ke tanah gambut
Dinamika Lingkungan Indonesia 71

Variabel yang dipergunakan Asumsi dan Kriteria


(DIS_PEAT)
b) Penutupan lahan Input variabel tutupan lahan ditentukan dengan
menghitung jarak lokasi pada beberapa tipe
tutupan lahan, yaitu:
1. Hutan (DIS_LCFOR)
2. Hutan tanaman industri (DIS_LCFORP)
3. Perkebunan (DIS_LCPLAN)
4. Permukiman (DIS_LCBUIL)
5. Pertanian lahan kering (DIS_LCUPLD)
6. Sawah (DIS_LCPADI)
Jarak terhadap tutupan lahan ini mengindikasikan
seberapa besar pengaruh dari tipe tutupan lahan
tertentu pada terjadinya kebakaran, baik
berkorelasi positif (artinya: semakin jauh semakin
meningkatkan probabilitas terjadinya kebakaran),
atau negatif (semakin jauh semakin menurunkan
probabilitas terjadinya kebakaran).
c) Sungai Input variabel sungai ditentukan dengan
menghitung jarak lokasi ke sungai. Sungai
dipergunakan sebagai salah satu akses masuk ke
lokasi tertentu disinyalir sebagai salah satu faktor
yang mempengaruhi terjadinya kebakaran lahan.
(DIS_RIV)
d) Jalan Input variabel jalan ditentukan dengan menghitung
jarak lokasi ke jalan. Sama hal nya dengan sungai,
jarak ke jalan ini merupakan salah satu input data
yang terkait dengan aksesibilitas lokasi dan
terjadinya kebakaran (DIS_JLN).
2. Faktor Sosial - Ekonomi
a) Mata pencaharian di bidang pertanian Input variabel mata pencaharian diambil dari
jumlah keluarga yang memiliki mata pencaharian
dari bidang pertanian dalam unit analisis desa.
Semakin banyak jumlah keluarga yang bermata
pencaharian sebagai petani akan semakin
meningkatkan kebutuhan lahan pertanian,
sehingga meningkatkan terjadinya kebakaran
hutan dan lahan. Agar konsisten dengan input
variabel lainnya, variabel mata pencaharian
pertanian ini dapat ditentukan dengan menghitung
jarak lokasi ke permukiman dan lahan pertanian,
seperti pertanian lahan kering (upland) dan sawah
(DIS_LCBUIL, DIS_LCUPLD, dan
DIS_LCPADI)
b) Status penggunaan lahan Konsesi perusahaan perkebunan dan kehutanan.
Nilai penggunaan lahan ini diambil dengan asumsi
bawah areal yang dikuasai oleh perusahaan dan
Dinamika Lingkungan Indonesia 72

Variabel yang dipergunakan Asumsi dan Kriteria


dikuasai masyarakat memiliki dampak signifikan
pada terjadinya kebakaran. Input variabel diambil
dengan menghitung jarak lokasi ke konsesi
IUPHHK (DIS_IUPHHK).
c) Konflik kepemilikan lahan Input variabel kepemilikan lahan ditetapkan
dengan menghitung jarak lokasi ke batas
kepemilikan lahan, baik yang dimiliki perusahaan
maupun masyarakat (DIS_KKEBUN).
3. Faktor Kebijakan Ruang
a) Pola ruang Alokasi ruang untuk kehutanan dan non kehutanan
merupakan faktor kebijakan yang diambil dengan
asumsi semakin luas pola ruang kehutanan maka
dapat mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan
lahan/kawasan hutan. Nilai variabel pola ruang ini
didasarkan pada alokasi kawasan hutan
berdasarkan SK 878 tahun 2014, yaitu:
1. Hutan lindung (DIS_SKHL)
2. Hutan produksi (DIS_SKHP)
3. Hutan produksi terbatas (DIS_SKHPT)
4. Hutan produksi konversi (DIS_SKHPK)
5. Kawasan Suaka Alam (DIS_SKKSA)
6. Areal penggunaan lain (DIS_SKAPL)
Setelah data diolah, langkah berikutnya untuk mendapatkan hubungan aspek lingkungan
biofisik, aspek sosial ekonomi dan aspek kebijakan terhadap kejadian kebakaran hutan dan
lahan dilihat dari nilai koofisien yang diperoleh dari program SPSS (IBM Corp.)

Uji statistik dan akurasi model. individu (r2) dengan nilai determinasi simultan
Setelah melakukan estimasi parameter, (R2). , dan dengan melihat nilai nilai eigen dan
maka pengujian signifikansi parameter ini indeks kondisi. Dalam penelitian ini, uji
dilakukan. Untuk tujuan ini, pengujian hipotesis multikolinieritas yang digunakan adalah untuk
statistik digunakan untuk menentukan apakah melihat nilai Toleransi dan VIF. Dasar
variabel independen dalam model signifikan pengambilan keputusan berdasarkan nilai
atau secara signifikan mempengaruhi variabel
Toleransi dan VIF adalah: jika nilai Toleransi
dependen. Pengujian signifikansi parameter
dilakukan sebagai berikut: masing-masing variabel independen> 0,1 maka
Uji multikolinieritas. Prasyarat yang harus tidak ada multikolinearitas dan jika nilai
dipenuhi dalam model regresi adalah tidak Toleransi <0,1 maka terjadi multikolinieritas.
adanya multikolinieritas. Dengan demikian, uji Selanjutnya, jika nilai VIF masing-masing
multikolinieritas diperlukan. Uji variabel bebas <10 maka multikolinieritas tidak
multikolinieritas digunakan untuk mengetahui terjadi dan jika nilai> 10 maka multikolinieritas
apakah dalam model regresi ditemukan korelasi terjadi. Jika dalam keseluruhan hasil tes terdapat
antara variabel independen. Ada beberapa variabel independen dengan nilai Toleransi <0,1
metode pengujian yang dapat digunakan seperti: dan VIF> 10, maka kita harus menghilangkan
dengan melihat nilai Toleransi dan Varians variabel tersebut. Hanya variabel independen
Inflation Factor (VIF) dalam model regresi, yang signifikan dan tidak ada multikolinieritas
dengan membandingkan koefisien determinasi
Dinamika Lingkungan Indonesia 73

yang akan diproses dalam analisis regresi memprediksi lokasi yang sesuai untuk
logistik. terjadinya perubahan, tetapi pada lokasi yang
Uji kelayakan. Model Uji kelayakan model sebenarnya tidak ada perubahan ..
berguna untuk menilai kemampuan model untuk
memprediksi variabel dependen. Penilaian HASIL
kelayakan model berkaitan dengan pencarian
kedekatan nilai prediksi model dengan nilai Faktor pendorong yang mempengaruhi
terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
yang diamati. Model uji kelayakan
Provinsi Riau dikelompokkan menjadi: 1) faktor
menggunakan uji Hosmer-Lemeshow. Tes biofisik lingkungan, 2) faktor sosial ekonomi
Hosmer-Lameshow cocok untuk model yang dan 3) faktor kebijakan tata ruang.
terdiri dari beberapa variabel independen yang Pengelompokkan faktor-faktor pendorong
diskrit atau kontinu (Hosmer et al. 1997). tersebut telah diungkapkan dalam beberapa hasil
Variabel independen dianggap sesuai dengan penelitian sebelumnya di daerah tropis (Barber
model jika signifikansi hasil tes Hosmer- dan Schweithelm, 2000; Geist dan Lambin,
Lemeshow di atas 0,05. Koefisien determinasi 2002; Chowdhury, 2006; Miettinen dan Liew,
(R2) ditentukan dengan melihat hasil uji 2005).
Negelkerke R2 dan persentase yang benar
(persentase keseluruhan). Negelkerke R2 Faktor Biofisik Lingkungan
menunjukkan pentingnya variabel independen Secara umum, karakteristik biofisik
lingkungan yang mempengaruhi kebakaran
dalam memprediksi variabel dependen. Semakin
hutan dan lahan adalah tutupan lahan, curah
besar nilai yang dihasilkan Negelkerke R2
hujan, ketinggian, kemiringan lahan, jaringan
semakin baik modelnya. Persentase yang benar sungai dan aksesibilitas jalan (Geist dan
digunakan untuk melihat kemampuan model Lambin, 2002).
dalam memprediksi kondisi aktual. Semakin Di beberapa spesifik lokasi di Sumatera dan
besar Persentase prediksi yang benar, semakin Kalimantan, terjadinya kebakaran sangat
baik kondisi aktualnya. dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahan dan jenis
Validasi Model. Validasi model dilakukan tanah, yang sangat berkaitan dengan
untuk menentukan apakah model telah dibuat ketersediaan biomassa yang menjadi salah satu
sesuai dengan kondisi aktual. Data titik validasi komponen utama terjadinya kebakaran. Pada
yang digunakan terutama diambil dari area yang kondisi tertentu seperti musim kemarau yang
benar-benar berubah di dunia nyata dan area ekstrim, ketersediaan biomassa yang tinggi akan
yang telah berubah berdasarkan peta perubahan memperbesar potensi terjadinya kebakaran
lahan (Saharjo et al. 1998).
yang telah dibuat. Persamaan yang terkait
Lahan gambut merupakan salah satu
dengan persentase validitas model adalah ekosistem esensial yang memiliki tingkat
sebagai berikut: kerawanan kebakaran yang cukup tinggi
Validasi = n / N × 100% (Appanah 1997). Hal ini disebabkan lahan
Di mana n = jumlah titik kejadian gambut mengandung material atau bahan
kebakaran hutan dan lahan ditemukan pada organik sangat banyak yang tertimbun secara
kelas kesesuaian, dan N = jumlah total poin alami dalam keadaan basah, bersifat tidak
untuk kejadian kebakaran hutan dan lahan mampat dan hanya sedikit mengalami
ditemukan di semua kelas kesesuaian. Pada perombakan. Secara alami, kondisi lahan
tahap validasi model, ada dua kesalahan: gambut yang selalu basah ini sulit terbakar
kesalahan kelalaian dan kesalahan komisi. (Effendy 1998). Meskipun demikian,
Diterjemahkan dari Boone dan Krohn (1999) pengeringan lahan gambut sering kali
dan Ottaviani et al (2004), Kesalahan kelalaian disebabkan oleh kegiatan pembukaan lahan,
adalah model yang memprediksi lokasi tidak melalui pembangunan kanal-kanal tanpa
sesuai untuk terjadinya perubahan, tetapi pada memperhatikan permukaan air tanah.
lokasi sebenarnya dari perubahan tersebut. Luas lahan gambut di Propinsi Riau
Komisi kesalahan adalah model yang diperkirakan sekitar 4.827.972 Ha atau 51,06%
Dinamika Lingkungan Indonesia 74

luas wilayah daratan Provinsi Riau. Lahan


gambut tersebut dijumpai di seluruh wilayah
kabupaten/kota di Provinsi Riau. Distribusi
lahan gambut paling luas terdapat di Kab.
Bengkalis dan Kab. Indragiri Hilir. Distribusi
lahan gambut di Provinsi Riau (BBSDLP-
Kementan, 2002) disajikan pada Gambar 5.
Pembukaan hutan yang terjadi saat ini
menyebabkan lahan gambut menjadi lebih
terbuka, dan menjadikan lahan gambut sangat
rentan terbakar khususnya pada musim kemarau
yang ektrim.

Gambar 4 Peta jarak terhadap a) tutupan hutan, b) tutupan


hutan tanaman dan c) tutupan perkebunan

Gambar 3. Peta sebaran gambut dan mineral

Berdasarkan hasil analisis perubahan


tutupan lahan yang dikeluarkan oleh Ditjen Gambar 5 Tren distribusi titik panas berdasarkan jarak
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, terhadap jalan
KLHK (2016) menunjukkan bawah dinamika
perubahan luas tutupan hutan di wilayah Faktor Sosial Ekonomi
Provinsi Riau berkaitan dengan peningkatan Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
luas areal perkebunan dan hutan tanaman. Hasil Barber dan Schweithhelm (2000) masalah
analisis tersebut menunjukkan bahwa penurunan kebakaran lahan dan hutan di Sumatra sangat
luas hutan tahun 2006 sampai 2015 mencapai erat kaitannya dengan faktor sosial ekonomi dan
41,22%. Di sisi lain, terjadi peningkatan luas perilaku yang disengaja, baik oleh masyarakat
perkebunan sebesar 41,4% dan hutan tanaman maupun perusahaan. Walaupun faktor alam
sebesar 27,80%. dapat menjadi pendorong terjadinya kebakaran
hutan dan lahan, namun sebagian besar pemicu
kebakaran hutan dan lahan diyakini bersumber
dari aktivitas manusia. Dalam rangka efisiensi
biaya, masyarakat dan para pelaku bisnis sering
melakukan aktivitas pembersihan lahan (land
clearing) dengan cara sangat tidak ramah
lingkungan, yakni berupa aktivitas pembakaran
yang akhirnya berujung pada kebakaran lahan
dan hutan di sekitar areal perkebunan.
Dinamika Lingkungan Indonesia 75

Gambar 6.Distribusi titik panas berdasarkan jarak


terhadap lahan pertanian lahan kering (kiri)
dan sawah (kanan)

Gambar 10 Jarak sebaran titik panas terhadap jarak lokasi


ijin a) IUPHHK, b) HGU

Gambar 7. Peta jarak ke tutupan pertanian lahan kering (a) Faktor Kebijakan dan Alokasi Ruang
dan tutupan sawah (b Beberapa faktor kebijakan yang mempengaruhi
tingginya tingkat kebakaran hutan dan lahan di
Provinsi Riau antara lain:
a. Provinsi Riau belum memiliki Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) yang definitif
(baru disahkan pada tahun 2018)
b. Tidak tegasnya pemerintah dalam
menangani kawasan sebagai berikut :
1. Kawasan ex HPH yang sampai saat ini
tidak jelas statusnya
2. Kawasan sempadan sungai
3. IUPHHK-HT/HA yang telah keluar
izinnya tetapi tidak diusahakan
Gambar 11 menunjukkan bahwa
Gambar 8 Peta jarak tutupan lahan terbangun semakin dekat jarak ke lokasi kawasan hutan
baik hutan produksi (HP), hutan produksi
terbatas (HPT), maupun hutan produksi
konversi (HPK), maka semakin besar resiko
terjadinya kebakaran

Gambar 9 Jarak pemukiman terhadap titik panas


Dinamika Lingkungan Indonesia 76

PEMBAHASAN

Faktor Biofisik Lingkungan


Berdasarkan distribusi data titik panas
tahun 2007 sampai 2015, dapat dilihat bahwa
lebih dari 80% titik panas berada di lahan
gambut (Gambar 6). Secara akumulasi data titik
panas terdapat di tanah gambut sebanyak 9371
titik (83.1%), sedangkan tanah mineral
sebanyak 1905 titik (16.9%). Berdasarkan
analisis data titik panas multiwaktu tahun 2007
hingga 2015, lebih dari 77.3% kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi di Provinsi Riau terjadi di
lahan gambut. Hal ini terjadi disebabkan lahan
gambut yang berada pada kondisi kering sangat
mudah untuk terbakar dibandingkan dengan
lahan tanah mineral (Page dan Hooijer, 2016).

Gambar 11 Sebaran titik panas berdasarkan jarak terhadap


lokasi kawasan hutan sesuai SK 878: a)
Hutan Produksi/HP, b) Hutan Produksi
Konversi/HPK dan c) Hutan Produksi
Terbatas/HPT.

Gambar 14 Perbandingan kejadian kebakaran hutan/lahan


berdasarkan sebaran jumlah titik panas di
tanah gambut dan mineral

Berdasarkan hasil analisis jarak lokasi titik


panas dan lahan gambut menunjukkan
kecenderungan bahwa jumlah titik panas
semakin tinggi di areal lahan gambut hingga
Gambar 12 Sebaran titik panas berdasarkan jarak terhadap
jarak atau radius 2.500 m dari lokasi gambut
lokasi kawasan hutan sesuai SK 878: a) (Gambar 15). Kondisi ini menunjukkan bahwa
Hutan Lindung/HL, b) Kawasan Konservasi. lahan gambut sangat rentan terbakar, terutama
ketika lahan gambut berada pada kondisi kering.

Gambar 13 Sebaran titik panas berdasarkan jarak terhadap


lokasi areal penggunaan lain (APL) sesuai SK
878
Gambar 15 Sebaran titik hotspot berdasarkan jaraknya
(radius) terhadap tanah gambut
Dinamika Lingkungan Indonesia 77

ha/tahun yang dihitung berdasarkan rata-rata


Data sebaran lokasi titik panas ini sangat penurunan luas hutan sejak tahun 1985 sampai
penting sebagai petunjuk awal kemungkinan 2012. Penurunan luas hutan di wilayah Riau ini
terjadinya titik panas, tetapi juga sebagai didominasi oleh penurunan tutupan hutan di
referensi untuk melakukan prediksi bahwa hutan rawa (61,30%), baik hutan rawa primer
kebakaran telah terjadi di berbagai lokasi dan maupun hutan rawa sekunder. Hutan rawa tipe
bersifat dinamik. Selain dipengaruhi ini rentan terhadap kebakaran yang disebabkan
karakteristik lahan gambut yang mudah oleh tingginya kandungan biomassa yang dapat
terbakar, sebaran titik panas diduga mengikuti menjadi sumber bahan bakar.
pola tertentu yang sangat berhubungan dengan Hutan sekunder juga rawan kebakaran,
kondisi tutupan lahan (Setiawan et al, 2017). karena telah menjadi daerah terbuka. Sebagian
Pengembangan hutan tanaman industri, besar usaha hutan tanaman industri, perkebunan
perkebunan sawit dan budidaya pertanian kelapa sawit dan budidaya pertanian lainnya di
lainnya di lahan gambut dengan menggunakan lahan gambut mempergunakan sistem kanalisasi
sistem kanal untuk mengatur tinggi muka air untuk mengatur tinggi muka air. Kanalisasi
sangat rentan menyebabkan kebakaran, terutama lahan gambut tidak dilakukan secara
bila pembangunan kanal di lahan gambut ini menyeluruh dan terpadu dalam satu hamparan
tidak dilakukan secara terpadu dalam satu lahan. Akibatnya, saat kanalisasi diberlakukan
hamparan lahan. Hal ini disebabkan kanal yang maka terjadi aliran air dari areal gambut yang
dibangun pada lahan gambut tersebut akan posisinya lebih tinggi dan mengakibatkan
diikuti dengan aliran air keluar dari areal hilangnya debit air sehingga menyebabkan
gambut menuju kanal yang mengakibatkan kekeringan pada beberapa bagian lahan gambut.
lahan gambut menjadi kering dan menjadi Lahan gambut yang kering ini menjadi sumber
sangat mudah terbakar. bahan bakar yang mudah terbakar dan
Hasil penelitian Konecny et al (2015) menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan
menunjukkan bahwa lahan gambut yang lahan.
berdekatan dengan kanal drainase hingga 600 m Di samping keberadaan kanal (sungai) di
sangat rentan terbakar dibandingkan dengan lahan gambut dapat menyebabkan kondisi
lahan gambut yang jauh dari kanal (> 1.300 m), gambut menjadi kering, sehingga sangat mudah
dimana lahan gambut yang berlokasi dekat terbakar (Page dan Hooijer, 2016), namun
dengan kanal dapat terbakar hingga 3-4 kali faktor fisik lain yang mempengaruhi kebakaran
lebih sering dibandingkan dengan lahan gambut hutan dan lahan adalah jaringan jalan. Penelitian
yang cukup jauh dari kanal. Di lahan gambut Hadi (2006) menyatakan bahwa kebakaran
tropis, seperti di Provinsi Riau, terjadinya lahan di Provinsi Riau sangat mudah terjadi
kebakaran hutan dan lahan sangat dipengaruhi pada areal yang dapat diakses oleh masyarakat,
oleh karaktersitik lahan gambut dan jaraknya sehingga adanya jaringan jalan dapat
terhadap kanal drainase (Page dan Hooijer, meningkatkan akses terhadap lahan yang akan
2016). dibuka. Ketersediaan akses jalan (aksesibilitas)
Berdasarkan hasil analisis perubahan yang dapat dipergunakan oleh masyarakat,
tutupan lahan yang dikeluarkan oleh Ditjen meningkatkan peluang terjadinya kebakaran.
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Hal ini menunjukkan bahwa jarak yang
KLHK (2016) menunjukkan bawah dinamika semakin dekat dengan jaringan jalan akan
perubahan luas tutupan hutan di wilayah meningkatkan peluang terjadinya kebakaran.
Provinsi Riau berkaitan dengan peningkatan Gambar 10 menunjukkan tren distribusi titik
luas areal perkebunan dan hutan tanaman. Hasil panas berdasarkan jarak terhadap jalan.
analisis tersebut menunjukkan bahwa penurunan Selain faktor biofisik lingkungan, kondisi
luas hutan tahun 2006 sampai 2015 mencapai iklim juga merupakan faktor alam yang menjadi
41,22%. Di sisi lain, terjadi peningkatan luas pemicu kebakaran hutan dan lahan, seperti
perkebunan sebesar 41,4% dan hutan tanaman musim kemarau berkepanjangan (ekstrem).
sebesar 27,80%. Salah satu kebakaran hutan dan lahan terbesar
Berdasarkan data Dinas Kehutanan Prov. terjadi pada tahun 1997 sampai 1998, pada saat
Riau (2012) luas deforestasi mencapai 139.550 itu berbagai tempat di dunia termasuk Indonesia
Dinamika Lingkungan Indonesia 78

mengalami musim ekstrim yang dipercaya adalah salah satu cara penyiapan lahan yang
menjadi faktor penyebab kebakaran hebat yang paling mudah dan murah. Terkait hal ini,
menghanguskan hutan seluas 25 juta ha di penyiapan lahan tanpa bakar (zero burning)
seluruh dunia. Bencana kebakaran hutan dan adalah solusi yang harus ditetapkan dan
lahan akibat musim kering yang panjang juga dilaksanakan, namun pada umumnya diperlukan
terulang pada tahun 2002 (Tacconi 2003). bantuan alat-alat mekanis yang tidak murah
pengadaannya. Sehingga peran serta
Faktor Sosial Ekonomi pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan
Gambar 6 menunjukan bahwa kedekatan pelaku usaha harus memiliki perencanaan yang
lokasi lahan pertanian terhadap lahan yang baik agar dapat membiayai penyiapan lahan
terbakar, lebih dipengaruhi oleh kedekatan tanpa bakar secara efisien dan efektif.
terhadap lahan sawah dibandingkan dengan Faktor ekonomi dan penguasaan lahan
pertanian lahan kering pada radius 0-1 km dari mendorong terjadinya perilaku membakar
lokasi kebakaran. Namun frekuensi terjadinya hutan, khususnya untuk memperoleh lahan
kebakaran semakin menurun dengan semakin pertanian (lahan kering). Dengan demikian,
jauhnya lahan hingga jarak 5 km dari lahan kebakaran hutan dan lahan tidak terlepas dari
sawah, sebaliknya dengan pertanian lahan permasalahan agraria. Perkembangan ekonomi
kering. Lokasi terbakar mencapai frekuensi ini terkait erat untuk pemenuhan kebutuhan
kejadian yang cukup tinggi di lahan pertanian masyarakat yang dilakukan dengan pembukaan
yang berada pada radius 4-5 km. Hal ini lahan untuk usaha pertanian. Oleh karena itu,
dimungkinkan terjadi di lahan gambut, dimana untuk memasukkan input variabel sosial
kejadian kebakaran memiliki interval jarak yang ekonomi dalam pemodelan spasial, maka
cukup jauh dengan sumber api nya, karena api digunakan data sosial ekonomi berupa data
merambat di bawah permukaan tanah (Page dan jumlah keluarga yang memiliki mata
Hooijer, 2016). pencaharian di bidang pertanian dalam unit
Gambar 7 menunjukkan bahwa semakin administrasi desa. Asumsi yang dipergunakan
dekat jarak dari pertanian lahan kering dan adalah semakin banyaknya jumlah keluarga
sawah maka semakin besar resiko terjadinya yang bermata pencaharian sebagai petani akan
kebakaran mengingat kegiatan pembukaan semakin meningkat juga kebutuhan terhadap
lahan seringkali menggunakan api. Meskipun lahan pertanian, sehingga meningkatkan
demikian, pengaruh aktivitas pertanian terhadap terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
terjadinya kebakaran lahan pada pertanian lahan Fakta yang diperoleh dari lapangan, dalam
kering jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berita sejumlah media dan hasil penelitian
sawah (Rusdiyanto 2000) menunjukkan bahwa faktor
Hasil analisis diatas menunjukan bahwa manusia sebagai penyebab utama bencana asap,
hingga jarak radius 8 km dari lahan pertanian melalui pembakaran lahan yang dilakukan baik
lahan kering resiko terjadinya kebakaran cukup secara sporadis maupun sistematis. Tidak
besar. Hal ini disebabkan oleh kegiatan adanya rasa memiliki (sense of belonging) dan
pembukaan lahan yang dilakukan masyarakat kurangnya rasa tanggungjawab (sense of
seringkali menggunakan api. Praktik responsibility) dalam menjaga kelesatarian
pembukaan lahan dengan cara dibakar ini terus ekologi, merupakan bentuk perubahan budaya
terjadi karena keterbatasan modal masyarakat. yang tidak toleran terhadap alam.
Kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau Pertumbuhan penduduk yang menekan
terjadi hampir setiap tahun, terutama di musim peningkatan kebutuhan akan lahan
kemarau. Salah satu penyebabnya adalah mengakibatkan terjadinya perubahan nilai
aktivitas masyarakat dalam mengolah lahan budaya. Membakar lahan dalam persiapan
pertanian/perkebunan dengan menggunakan penanaman komoditas perkebunan dilakukan
metode tebas-bakar (slash and burn). Perilaku atas bias pertimbangan ekonomis dan efisiensi
tersebut didasarkan pada beberapa karena lahan yang dibutuhkan semakin luas.
pertimbangan, antara lain: keterbatasan tenaga Demikian juga hal tuntutan skala usaha
kerja, keterbatasan mobilitas menuju lahan serta komoditas komersial kelapa sawit. Pada kondisi
keterbatasan modal, sehingga pembakaran ini, pertimbangan budaya hidup serasi dengan
Dinamika Lingkungan Indonesia 79

alam sudah mulai ditinggalkan. Secara sadar (25.75%) berada pada jarak kurang dari 1000 m
ataupun tidak, masyarakat pada umumnya telah dari kawasan perkebunan.
memilih tindakan eksploitasi lahan sebagai Faktor kesengajaan dalam kebakaran hutan
upaya mengejar peningkatan taraf hidup dari dan lahan pada umumnya terkait dengan konflik
kondisi kemiskinan yang selama ini dialami. penguasaan lahan. Dalam menyikapi klaim
Petani mulai menerapkan sistem nilai budaya lahan dan konflik berkepanjangan yang
industri yang menekankan kepentingan dilakukan masyarakat terhadap perusahaan, baik
individual-personal, komersial, dan eksploitatif karena alasan “genuine” maupun alasan
terhadap sumberdaya (Soetrisno 1995). “oportunis”, perusahaan HTI di Provinsi Riau
Gambar 8 dan 9 menunjukkan jarak memilih mengeluarkan wilayah yang
keberadaan pemukiman dalam mempengaruhi dipersengketakan dari perusahaan dan
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Hasil mengusulkannya menjadi daerah enclave.
analisis menunjukkan bahwa sebaran titik panas Namun demikian, tidak mudah mengubah
cukup tinggi berada pada jarak 4 hingga 10 km kawasan HTI menjadi daerah enclave karena
dari permukiman (lahan terbangun). Pengaruh berkaitan dengan perubahan status kawasan
keberadaan pemukiman terhadap potensi hutan, meskipun fakta di lapangan sudah tidak
terjadinya kebakaran lahan telah dikaji dalam sesuai lagi dengan fungsi hutan yang ditetapkan.
studi Jafarzadeh et al (2017), dimana evaluasi Konflik juga dapat terjadi antara masyarakat
resiko kebakaran hutan dilakukan dengan yang dapat memanen hasil kebun dengan yang
menggunakan algoritma Apriori dan fuzzy c- tidak dapat memanen hasil kebun karena
means clustering. Hasil kajian ini menunjukkan tanamannya rusak akibat berbagai faktor
bahwa kasus kebakaran hutan di Indonesia (misalnya dilindas gajah).
secara signifikan dipengaruhi oleh 8 variable, Nurrohmat et al. (2014) menyatakan bahwa
dimana diantaranya adalah jarak dari semakin banyak migrasi penduduk dari luar
pemukiman. Potensi kebakaran hutan di Iran Riau untuk mengembangkan dan membuka
semakin tinggi dengan semakin dekatnya lokasi lahan/perkebunan baru, maka semakin banyak
tersebut dari permukiman konflik yang terjadi. Masyarakat pendatang ini
Beberapa kasus kejadian kebakaran di Provinsi dapat mengubah budaya masyarakat lokal dalam
Riau terjadi di areal perusahaan atau pembukaan lahan. Sebagian besar masyarakat
sekelompok orang yang mengatasnamakan membuka lahan bukan hanya untuk memenuhi
kelompok masyarakat yang memiliki Hak Guna kebutuhan ekonomi keluarga, tetapi sudah
Usaha (HGU) dan daerah kawasan konservasi berpikir ekonomi secara luas dengan membuka
tertentu yang dikuasai atau dikelola oleh lahan bahkan ribuan hektar.
perusahaan, sehingga diperlukan adanya analisis Peningkatan skala usaha luas penguasaan
berupa status penggunaan lahan dan konflik lahan untuk budidaya komoditas komersial
penguasaan lahan. kelapa sawit, meruntuhkan bahkan melenyapkan
Gambar 10 diatas menunjukkan pengaruh budaya asli gotong royong atau tolong
kepemilikan areal oleh perusahaan terhadap menolong dalam pembukaan lahan maupun
sebaran titik panas, penggunaan data lokasi ijin persiapan lahan. Masuknya nilai uang dalam
pemanfaatan lahan baik IUPHHKK maupun model pertukaran ekonomi, budidaya kelapa
HGU. Hasil analisis tersebut menunjukkan sawit dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja,
bahwa sebagian besar titik panas berada di penggunaan alat dan mesin serta intensitas
dalam wilayah konsesi perusahaan a) kapital yang tinggi, cenderung membentuk
IUPHHKK dan b) HGU. Sebanyak 642 titik sistem nilai budaya yang eksklusif dan
panas yang diduga titik kejadian kebakaran meninggalkan budaya yang ramah lingkungan.
(43.06%) berada tepat di kawasan IUPHHK, Diperkirakan sekitar 90% masyarakat
760 titik panas (50.97%) berada pada jarak pembuka lahan adalah masyarakat perantauan
kurang dari 1000 m dari kawasan IUPHHK. yang sengaja datang, dengan membeli lahan
Sedangkan untuk konsesi perkebunan (HGU), kepada pihak yang (dianggap) berwenang, yaitu
sebanyak 297 titik panas yang diduga titik Kepala Desa. Adanya proses jual beli ditambah
kejadian kebakaran (19.92%) berada tepat di dengan risiko yang siap ditanggung para
kawasan konsesi perkebunan, 384 titik panas pendatang telah mengurangi ketelitian dan
Dinamika Lingkungan Indonesia 80

keingintahuan pembeli mengenai status lahan. terbakar yang relatif rendah bila berada dalam
Dorongan dan tarikan karena masalah ekonomi kondisi normal, namun perkembangan dewasa
dan sumber nafkah menjadi faktor pemicu ini yang terjadi terhadap hutan alam yang terus
pembukaan lahan secara ilegal. Masyarakat menerus mengalami pembalakan baik legal
pendatang yang mengalami kesulitan maupun illegal, maka peluang terjadinya
mengembangkan ekonomi di daerah asal, kebakaran sangat besar.
melakukan migrasi ke Provinsi Riau untuk Berdasarkan hasil analisis sebaran titik
membuka kebun. panas, sebanyak 594 titik panas yang diduga
Perambahan hutan dan lahan juga terkait titik kejadian kebakaran (39,91%) berada tepat
dengan aspek mobilitas penduduk atau migrasi. di hutan produksi, sebanyak 718 titik panas
Beberapa tahun terakhir, angka pertumbuhan (48,16%) berada pada jarak kurang dari 1000m
penduduk di Provinsi Riau tergolong sangat dari hutan produksi. Sedangkan di kawasan
tinggi. Angka pertumbuhan yang tinggi tidak hutan produksi, ditemukan sebanyak 179 titik
hanya disebabkan oleh besarnya angka panas (12,01%) berada tepat di kawasan hutan
kelahiran, juga disebabkan oleh banyaknya produksi konversi, sebanyak 316 titik panas
warga pendatang yang masuk ke Provinsi Riau. (21,19%) berada pada jarak kurang dari 1000 m
Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Riau dari hutan. Sekitar 20% titik panas berada di
meminta kepada seluruh pemerintah kawasan hutan produksi terbatas, dan sebanyak
kabupaten/kota untuk memantau dan menekan 374 titik panas (25,08%) berada pada jarak
jumlah pendatang masuk ke Provinsi Riau, kurang dari 1000m dari hutan produksi terbatas
terutama pendatang yang tidak memiliki modal Lokasi kawasan lindung seperti hutan
kerja dan keterampilan. Penduduk pendatang lindung, kawasan suaka alam (KSA) atau
yang tidak memiliki keterampilan dan modal kawasan pelestarian alam (KPA) jarang terjadi
kerja yang cukup, berpotensi mendatangkan kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dapat dilihat
masalah sosial baru ditengah masyarakat yaitu dari Gambar 12 yang menunjukkan bahwa
pengangguran. hanya sekitar 1% titik panas berada di kawasan
Perambahan hutan dan pembakaran yang hutan lindung. Di kawasan konservasi, terdapat
tidak terkendali dalam penyiapan lahan untuk 93 yang diduga titik kejadian kebakaran
perkebunan memicu konflik sosial. Di sisi lain, (6.24%) berada tepat di kawasan konservasi,
semangat konservasi yang tidak terukur seperti 119 titik panas (7,98%) berada pada jarak
perluasan kawasan lindung (taman nasional) ke kurang dari 1000 m dari kawasan konservasi.
dalam wilayah budidaya dan pemukiman Gambar 12 menunjukkan bahwa semakin
penduduk di beberapa daerah telah memicu dekat jarak ke lokasi kawasan hutan lindung dan
terjadinya konflik tenurial secara vertikal, yakni lokasi kawasan konservasi KSA/KPA, maka
antara masyarakat dengan pemerintah. semakin kecil resiko terjadinya kebakaran atau
Perluasan kawasan konservasi tanpa dibarengi semakin jauh jarak ke lokasi hutan lindung
dengan peningkatan kuantitas dan kualitas maka semakin besar resiko terjadinya
aparat, justru mengakibatkan semakin kebakaran. Tipe tutupan lahan ini memiliki
meluasnya areal-areal terbuka karena kurangnya peluang terbakar relatif rendah dikarenakan
pengawasan tingkat tapak. Akibatnya, pada kawasan hutan lindung telah dilakukan
perambahan dan pembakaran hutan sering penataan batas yang jelas. Selain itu penegakan
dijumpai di areal-areal eks pemekaran kawasan hukum terhadap kawasan lindung telah
konservasi yang open acces karena kurangnya dilakukan secara tegas terhadap bagi siapa yang
pengawasan memasuki atau merambah kawasan lindung
Areal penggunaan lain (APL) merupakan
Faktor Kebijakan dan Alokasi Ruang areal yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
Gambar 11 menunjukkan bahwa semakin Kawasan APL ini merupakan areal yang cukup
dekat jarak ke lokasi kawasan hutan baik hutan rentan terhadap terjadinya kebakaran.
produksi (HP), hutan produksi terbatas (HPT), Berdasarkan analisis sebaran titik panas,
maupun hutan produksi konversi (HPK), maka terdapat sebanyak 50% titik panas berada pada
semakin besar resiko terjadinya kebakaran. Tipe lokasi APL (Gambar 18) atau lokasi yang
tutupan hutan senantiasa memiliki peluang berjarak kurang dari 1 km dari APL ini. Gambar
Dinamika Lingkungan Indonesia 81

13 menunjukkan bahwa semakin dekat jarak ke Kebutuhan akan kebijakan yang operasional
lokasi kawasan APL maka semakin besar resiko untuk mendeteksi modus dari beberapa jenis
terjadinya kebakaran, ini disebabkan sebagian aktivitas di dalam kawasan hutan dan lahan
besar masyarakat menggunakan api dalam gambut akan mampu secara efektif mencegah
kegiatan pembukaan lahan. berbagai kegiatan masyarakat yang berpotensi
Kegagalan memahami akar masalah menyebabkan kebakaran. Di sisi lain kebijakan
kebakaran hutan dan lahan sangat terkait dengan yang buruk dapat menjadi faktor pendorong
persoalan kebijakan. Walaupun kebakaran terjadinya kebakaran hutan dan lahan secara
hutan dan lahan telah terjadi berulang, namun khusus kebijakan mengenai kebakaran hutan
kebijakan penanganannya cenderung bersifat dan lahan yang sudah banyak diterbitkan, dari
kuratif dibandingkan preventif. Pemerintah tingkat Undang-undang hingga tingkat eselon I
pusat maupun pemerintah daerah masih terkesan lembaga terkait, bahkan sampai ke tingkat
enggan mengalokasikan anggaran yang provinsi dan kabupaten/kota. Pada kebanyakan
memadai untuk program-program pencegahan kasus, efektivitas kebijakan tersebut masih
kebakaran hutan dan lahan. Secara umum sangat rendah dan banyak celah. Selama ini
besaran nilai anggaran untuk pencegahan kebijakan yang dilaksanakan masih bersifat
kebakaran hutan dan lahan serta bencana asap sektoral dan terkesan kurang atau lemah dalam
masih dianggap kurang memadai dibandingkan hal koordinasi, baik antar kementerian/lembaga
dengan alokasi anggaran untuk pemadaman api. pusat dan daerah. Pendekatan kebijakan yang
Pendekatan kebijakan kebakaran hutan dan digunakan tampaknya masih lebih banyak pada
lahan selama ini terkesan masih sangat sektoral. upaya pemadaman daripada pencegahan
Walaupun koordinasi telah diupayakan kebakaran hutan dan lahan.
dilaksanakan tetapi dalam praktik di lapangan, Teknologi penginderaan jauh yang selama
kegiatan penanggulangan kebakaran hutan dan ini digunakan dalam pemantauan kebakaran
lahan cenderung tetap dilaksanakan oleh hutan dan lahan (satelit NOAA atau sejenis)
masing-masing sektor dengan koordinasi dapat digunakan sebagai salah satu informasi
minimal. Hal ini disebabkan oleh kebijakan yang penting dalam sistem peringatan dini
satuan anggaran yang sangat rigit sehingga untuk mengetahui kondisi suatu lokasi dalam
kurang membuka ruang penggunaan dana untuk status peringatan atau telah terbakar. Pelibatan
penanggulangan bencana di sektor lain. Sebagai aparat pemerintahan di tingkat tapak, baik
contoh operasi manggala agni dibatasi pada kecamatan maupun desa/kelurahan menjadi
kawasan hutan karena sulit untuk sangat penting dalam upaya pencegahan dan
mempertanggungjawabkan penggunaan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.
anggaran jika dipergunakan untuk pemadaman Selain itu, untuk membantu upaya pencegahan
api di luar kawasan hutan. dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan,
Pendekatan kebijakan dalam menangani pemegang konsesi, baik perkebunan, kehutanan,
kebakaran hutan dan lahan seharusnya tidak maupun pertambangan diwajibkan untuk
hanya bersifat jangka pendek dan kasuistik, membentuk satuan patroli sekaligus satuan
namun juga perlu memerhatikan berbagai pemadam kebakaran hutan dan lahan.
potensi pemicu kebakaran secara komprehensif Selain itu penegakan hukum terhadap
berbasis pengetahuan yang kuat. Sebagian masyarakat pembakar masih lemah. Pemerintah
orang beranggapan bahwa masalah kebakaran pada umumnya bersikap lunak kepada
hutan dan lahan adalah persoalan yang masyarakat perambah dan/atau pembakar lahan.
mekanistis sehingga dapat diselesaikan dengan Setiap terjadi kebakaran hutan dan lahan,
instrumen teknis. Sementara yang lainnya pemerintah terkesan memilih bersikap populis
menganggap bahwa kebakaran hutan dan lahan dengan menetapkan tersangka “perusahaan”.
hanyalah bagian dari rutinitas, sebagai Pemerintah cenderung menghindari penetapan
konsekuensi dari budaya perladangan berpindah tersangka perorangan atau kelompok orang
yang telah berlangsung lama walaupun (masyarakat pembakar lahan). Padahal, orang-
realitasnya telah cukup lama terjadi pergeseran orang yang membuka lahan dengan cara
dalam budaya bercocok tanam. membakar tidak hanya masyarakat lokal, diduga
lebih banyak dilakukan oleh sekelompok orang
Dinamika Lingkungan Indonesia 82

yang dikoordinir oleh cukong. Mereka bertanggungjawab. Selama ini para pengambil
disinyalir telah membuka lahan ratusan sampai keputusan terkesan enggan membuat terobosan
ribuan hektar di berbagai tempat, termasuk pada dalam pengaturan pengelolaan kawasan hutan
kawasan konservasi (konsesi HTI), kawasan negara yang pada kenyataannya di lapangan
HCV, maupun sempadan sungai. telah dimanfaatkan oleh masyarakat, seperti
Beberapa kebijakan pencegahan dan lahan-lahan eks konsesi kehutanan (HPH) yang
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tidak aktif.
yang diperlukan, antara lain : Berdasarkan analisis faktor biofisik
a. Kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar, lingkungan, sosial ekonomi dan kebijakan dan
yang didukung dengan adanya kebiajkan tata ruang terhadap sebaran titik panas, maka
pemanfaatan limbah vegetasi/biomassa untuk secara singkat dapat digambarkan bahwa jarak
keperluan bahan baku industri perkayuan beberapa parameter atau input variabel memiliki
yang terintegrasi dengan RPBI (Rencana keterkaitan yang cukup signifikan dengan
Pemenuhan Bahan Baku Industri, Rencana terjadinya kebakaran lahan (titik panas), seperti
Tata Ruang Wilayah (RTRW) lahan gambut, ijin usaha IUPHHKK dan HGU,
kabupaten/kota maupun provinsi terkait kawasan hutan produksi, tutupan hutan dan
kebijakan peremajaan kebun (replanting) kawasan areal penggunaan lain.
secara serentak dalam suatu hamparan lahan
tertentu. Hal ini penting agar limbah SIMPULAN
biomassa hasil peremajaan kebun dapat
dimanfaatkan secara efektif, efisien dan Hasil penelitian mengenai “Dampak Alih
memenuhi skala keekonomian Kebakaran yang terjadi di Provinsi Riau sangat
b. Penegakan hukum yang jelas dan tepat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti kondisi
sasaran. biofisik lingkungan, kondisi sosial ekonomi
c. Kepastian pola penggunaan dan fungsi ruang. masyarakat dan penerapan hukum dan kebijakan
Dalam perumusan kebijakan perlu terkait alokasi ruang.
ditekankan bahwa skema pencegahan dan Hasil analisis jarak lokasi titik panas
penanganan kebakaran hutan dan lahan yang menunjukkan kecenderungan bahwa jumlah
melibatkan peran aktif masyarakat akan jauh titik panas semakin tinggi di areal lahan gambut
lebih efektif dibandingkan pemantauan yang (jarak 0 m) hingga jarak 2.500 sampai 3.000 m
hanya dilakukan oleh institusi tertentu. Oleh dari lokasi gambut. Selain itu, ketersediaan
karena itu perlu dipertimbangkan untuk akses jalan (aksesibilitas) yang dapat
memberikan kewenangan pengelolaan lahan- dipergunakan oleh masyarakat, meningkatkan
lahan konflik dan open access serta yang peluang terjadinya kebakaran. Hal ini
berpotensi sebagai sumber kebakaran untuk menunjukkan bahwa jarak yang semakin dekat
dikelola oleh desa, kelompok tani atau koperasi dengan jaringan jalan akan meningkatkan
secara legal dan bertanggung jawab. Sistem peluang terjadinya kebakaran.
pengelolaan lahan yang dilakukan harus Aktivitas masyarakat dalam mengolah
disesuaikan dengan fungsi tata ruangwilayah lahan pertanian/perkebunan dengan
tersebut. Pemerintah harus segera mengeluarkan menggunakan metode tebas-bakar (slash and
kebijakan untuk meregistrasi dan mengatur burn) merupakan salah satu faktor yang
pemanfaatan lahan-lahan hutan yang menyebabkan kebakaran hutan/lahan di Provinsi
terdegradasi atau yang secara de facto telah Riau. Berdasarkan analisis distribusi titik panas,
beralih fungsi kepada lembaga di tingkat tapak sebaran titik panas yang cukup tinggi ditemukan
(desa, koperasi, atau kelompok tani) yang hingga jarak 20 km dari pertanian lahan kering.
bertanggung jawab terhadap keamanan dan Semakin dekat jarak dari pertanian lahan kering
pengelolaan lahan. Kebijakan tersebut sangat maka semakin besar resiko terjadinya kebakaran
penting untuk mencegah terjadinya open acces mengingat kegiatan pembukaan lahan seringkali
lahan hutan yang sangat rawan terhadap menggunakan api.
perambahan dan berbagai kepentingan dari Bahwa terdapat korelasi atau keterkaitan
“penumpang gelap” yang memanfaatkan antara kebakaran hutan/lahan di Provinsi Riau
kawasan hutan secara ilegal dan tidak dengan 15 variabel yang diamati, yaitu
Dinamika Lingkungan Indonesia 83

karakteristik lahan gambut, sungai, jalan, tropical deforestation. Bioscience, 52 (2),


kondisi tutupan lahan (tutupan hutan, tutupan pp. 143
perkebunan, permukiman, pertanian lahan IBM Corp. Released 2013. IBM SPSS Statistics
kering), perijinan (ijin usaha hutan tanaman for Windows, Version 22.0. Armonk, NY:
industry, konsesi perkebunan), dan kawasan IBM Corp.
hutan (hutan produksi, hutan produksi terbatas, Jafarzadeh, A.A., Mahdavi, A., and Jafarzadeh,
hutan lindung, dan areal penggunaan lain). H. 2017. Evaluation of forest fire risk
Berdasarkan uji akurasi, model spasial regresi using the Apriori algorithm and fuzzy c-
logistic yang dibangun dapat memprediksi means clustering. Journal of Forest
probabilitias kejadian kebakaran hutan/lahan Science, 63 (8), pp. 370-380
sebesar 90.96% di Provinsi Riau Jaya INS, Purnama ES, Arianti I, Jaruntorn B.
2007. Forest Fire Risk Assessment Model
UCAPAN TERIMA KASIH and Post-Fire Evaluation Using Remote
Sensing and GIS: A Case Study in Riau,
Terimakasih saya ucapkan kepada Tuhan Yang
West Kalimantan And East Kalimantan
Maha Esa atas berkat yang diberikan kepada
Provinces, Indonesia. The Forest
saya. Terimakasih kepada semua pihak yang
Restoration and Rehabilitation Training
telah membantu baik material maupun non
Course and Workshop, Viiki Tropical
material demi mendukung saya dalam penelitian
Resources Institute (VITRI), University of
ini
Helsinki, Finland, 13~19 May 2007
Miettinen, J. and Liew, S. C.(2005)'Connection
DAFTAR PUSTAKA
between fire and land cover change in
Southeast Asia: a remote sensing case
Appanah, S. 1997. Peat swamp forest of
study in Riau, Sumatra',International
Peninsular Malaysia: the endanger
Journal of Remote Sensing,26:6,1109 —
ecosystem. Pages in P. Havmoller, C.
1126
Tuek Yuan and Razani U. Eds.
Nurrohmat, D.R., E, Sunarti, B.Barus,
Proceedings of the Workshop on
S.Ma’arif, Murdiyanto, A.D. Nurhayati,
Sustainable Management of Peat Swamp
A.Yusuf, P. Irawansyah. 2014.
Forest. Forstry Department Head-quarters
Pembelajaran Penanggulangan Bencana
and State Forestry Department Selangor.
Asap di Riau Tahun 2014. Pusat Studi
Kuala Selangor, 29 Sept-1 Oct.
Bencana LPPM IPB. Bogor.
Malaysiaa-DANCED Project on
Page S.E., Hooijer, A. 2016. In the line of fire:
Sustainable Management of Peat Swamp
the peatlands of Southeast Asia.
Forest. Malaysia. P.6-14.
Philosophical Transaction Royal B. 371,
Barber CV, Schweithhelm J. 2000. Trial by
p. 1-9.
Fire: Forest Fire and Forestry Policy in
Prasetyo,LB., Kartodihardjo, H., Adiwibowo,
Indonesia’s Era of Crisis and Reform.
S., Okarda, B. and Setiawan, Y., 2009.
World Resources Institute – Forest
Spatial model approach on deforestastion
Frontier Initiative in Collaboration with
of Jawa Island, Indonesia. Journal of
WWF-Indonesia & Telapak Indonesia
Integrated Field Science., 6, pp. 37-44.
Foundation.
Sahardjo BH. 1999. Study on Forest Fire
Chowdhury, R.R., 2006. Driving forces of
Prevention for Fast Growing Tree Species
tropical deforestation: The role of remote
Acacia mangium Plantation in South
sensing and spatial models. Department of
Sumatera, Indonesia. Kyoto University,
Geography and Regional Studies,
Graduate School of Agriculture. p. 33-39.
University of Miami, Florida, USA
Sahardjo BH. 1999. H. Watanabe, E.A.
Singapore Journal of Tropical Geography,
Husaeni and Kasno. 1998. The
27, pp. 82–101
management of fuel and fire in land
Geist; H.J., Lambin E.F. 2002. Proximate
preparation for forest plantatiom and
causes and underlying driving forces of
shifting cultivation. Wokshop on Fires
and Sustainable Agricultural and Forestry
Dinamika Lingkungan Indonesia 84

Development in Easter Indonesia and Singaravelu SS. 2002. El Nino, climate change
Northen Australia. ACIAR Proc. No. 91, and peat fires. Makalah disajikan pada
p.39-44. Workshop on Prevention and Control of
Saito H, Sawada Y, Sawada H. 2002. The Fire in Peatlands, 19–21 March 2002,
Development of the Forest Fire Risk Map. Kuala Lumpur, Malaysia, 9 h.
Indonesian Forest Fire and Its Verburg PH, Veldkamp TA, Willemen L,
th
Environmental Impacts – The 15 Global Overmars KO and Castella JC. 2004a.
Environment Tsukuba – January 2002, Landscape level analysis of the spatial and
CGER-1049-2002, CGER/NIES temporal complexity of land-use change.
Setiawan, Y. 2013. Study of Land Use Change Geophycal Monograph-American
in regional Scale of Java Island, Geophysical Union, 153, pp. 217-230.
Indonesia. Verburg PH, De Nijs, TCM, Van Eck JR.,
Setiawan, Y., Pawitan, H., Prasetyo, L.B, and Visser H., and De Jong, K., 2004b. A
Permatasari, P.A. 2017. Monitoring method to analyze neighborhood
tropical peatland ecosystem in regional characteristics of land use patterns.
scale using multi-temporal MODIS data: Computers, Environment and Urban
Present possibilities and future challenges. System, 28, pp. 1327-1335.
IOP Conference Series: Earth and Xie C, Huang B, Claramunth C, Chandramouli
Environmental Science, 54, 012052 M, 2005. Spatial Logistics Regression
Syaufina, L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan and GIS to Model Rural-Urban Land
di Indonesia. Pola, penyebab dan dampak Conversion. In Second International
kebakaran. Bayumedia Publishing, Colloqium on the Behavioral Foundations
Malang. of Integrated Land-use and Transportation
Model; Framework, Models and
Applications. 2005 July, Toronto,
Canada.

Anda mungkin juga menyukai