Anda di halaman 1dari 12

Jenis Masalah Hutan dan Tanah Gambut

Masalah Hutan
Degradasi hutan adalah keadaan dimana hutan yang menurun tingkat anekaragam
flora dan faunanya. Apabila degradasi hutan tidak diatasi secepatnya, maka populasi yang ada
di dalam hutan tersebut akan hilang atau punah. Dengan terjadinya degradasi, hewan-hewan
tidak akan memiliki tempat tinggal yang dapat ditinggali dan pohon-pohon pun tidak dapat
tumbuh bahkan manusia pun cepat atau lambat akan merasakan dampak dari degradasi
hutan.1
JENIS MASALAH HUTAN BISA AMBIL DARI DAMPAK
Deforestasi (Penggundulan hutan)
Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dengan cara menebang pohon
dari kelas Kategori Hutan/berhutan menjadi kelas penutup lahan Kategori Non Hutan/tidak
berhutan (Kementerian Kehutanan). Hutan dialihgunakan menjadi pertanian dan perkebunan,
peternakan, atau permukiman. Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali yang cukup
dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati, dan
kegersangan. Penebangan juga berdampak buruk terhadap penyitaan hayati (biosekuestrasi)
karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang telah ditebang habis biasanya mengalami
pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.2
Alasan penebangan hutan
Pada umumnya alasan manusia melakukan deforestrasi adalah alasan ekonomis,
seperti pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat digunakan atau dijual untuk bahan
bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat dialihgunakan sebagai padang
rumput untuk ternak, perkebunan untuk barang dagangan, atau untuk permukiman. Adapun
alasan lain manusia melakukan deforestrasi adalah ketidaktahuan nilai hakiki atau intrinsik,
kelengahan dalam pengelolaan hutan, dan hukum lingkungan yang kurang memadai.
Penggundulan hutan dapat mengakibatkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan, dan
ketersingkiran penduduk semula.3
Penyebab MASALAH HUTAN
1. Alam4
- Perubahan iklim.
Perubahan iklim di dunia karena adanya perubuhan ekstrem suhu atmosfer. Perubahan
iklim secara ekstrem ini dapat mengakibatkan kekeringan yang berkepanjangan. Bila ini
terjadi, maka akan tercipta kondisi lingkungan yang tidak stabil yang nantinya akan membuat

1
Fedrik AP, Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan Dan Strategi Pengendaliannya Studi Kasus Pada Cagar
Alam Pegunungan Cycloop) Kabupaten Jayapura Provinsi Papua. Papua 2008. hlm 4.
2
Barri, Mufti Fathul. dkk. 2018. Deforestasi Tanpa Henti. Bogor: Forest Watch Indonesia, hlm. 12-13.
3
Deforestasi Dan Pengaruhnya Terhadap Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan di Kabupaten Agam Provinsi
Sumatera Barat Abdul Hadi Putra, Fadhilla Oktari, dan Assyaroh Meidini Putriana, Geografi Universitas Negeri
Padang, hlm. 3-4.
4
Fedrik AP, Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan hlm. 7-8.
pohon-pohon tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahkan bila cuaca terlalu panas bisa
menyebabkan kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi hampir setiap tahunnya yang dapat
mengakitbatkan flora dan fauna yang akan rusak bahkan punah. Tidak hanya flora dan fauna
namun ekosistem dalam hutan akan benar-benar terganggu dan sistem pengairan yang
melalui hutan pun mengering atau tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
- Kebakaran hutan
Secara umum, dampak kebakaran hutan yang diketahui adalah hutan gundul. Namun,
kebakaran hutan juga merusak struktur dan nutrisi yang diperlukan tanah sehingga
menyebabkan penurunan kualitas tanah dan dapat menyebabkan erosi.
- Hama dan penyakit.
Seperti dalam pertanian, petani banyak yang kehilangan bibit tumbuhan maupun
ketidakmampuan hewan ternaknya menghasilkan sebuah produksi. Kerusakan yang paling
umum mengakibatkan penurunan kualitas aspek-aspek spesifik hutan seperti hubungan
keanekaragaman hayati dan rantai makanan adalah dikarenakan kematian spesies tanaman
dan hewan tertentu.
- Polusi udara dan tanah.
Polusi udara mengakibatkan degradasi hutan. Polusi udara yang diakibatkan oleh
adanya gas berbahaya di atmosfer dan hujan asam yang dapat merusak flora dan fauna yang
terdapat dalam hutan tersebut. Hujan asam akan merusak daun dari pohon yang nantinya akan
mengurangi fungsi daun sebagai tempat berfotosintesis dan mengubah keasaman sistem air
yang terdapat di hutan. Salah satu efek yang paling berbahaya dari polusi tanah adalah
menghilangkan hutan bersama dengan semua ekosistem yang terdapat di dalam hutan
tersebut. Pembuangan berbagai macam bahan-bahan kimia secara sembarangan dapat
mengganggu rantai makanan hewan yang dikarenakan bahan kimia tersebut mencemari
tanaman dan air yang dikonsumsi oleh hewan.
Selain itu ada Letusan Gunung Berapi, Naiknya air permukaan laut dan tsunami,
angin puting beliung, penyakit dari tumbuhan itu sendiri
2. Manusia5
a. Pemukiman dan Pertambahan Penduduk
b. Perladangan
c. Penebangan kayu
d. Pembangunan Jalan
e. Penggalian Bahan Galian C
Kebutuhan akan bahan baku pembuatan jalan dan bangunan dari tahun ke tahun
semakain meningkat. Bahan galian tersebut telah banyak digali secara illegal dan dijual

5
Fedrik AP, Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Hutan hlm 9.
kepada setiap kendaraan yang masuk untuk membelinya. Selain secara illegal juga digali oleh
perusahaan yang memiliki ijin dari Dinas Pertambangan Provinsi Papua.
f. Status Penguasaan Tanah/Lahan di dalam Kawasan
3. Kebijakan Pemerintah
Akar masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kinerja pengurusan hutan yang baik
terfokus pada masalah prakondisi, antara lain: konflik kebijakan penataan ruang, lemahnya
penegakan hukum, rendahnya kapasitas pengurusan hutan, serta ketiadaan institusi pengelola
untuk kawasan hutan produksi dan hutan lindung.
a. Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang tepat.
Kerusakan hutan juga dapat terjadi karena kebijakan yang dibuat lebih memperhatikan
segi ekonomis dibandingkan dengan segi ekologis. Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang
tepat dari pemerintah sebagai suatu “pengrusakan hutan yang terstruktur” karena kerusakan
tersebut didukung oleh regulasi dan ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuk kebijakan
yang kurang tepat adalah target pemerintah yang mengandalkan sumber daya hutan sebagai
sumber pendapatan baik ditingkat nasional maupun daerah. Selain itu, kerusakan hutan juga
disebabkan lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan hutan. Hal ini sangat aktual secara
khusus di daerah pedesaan. Orang yang ditugaskan mengurus tidak memiliki kompetensi
yang baik, seperti dalam meninventarisir potensi dan kondisi riil sumber daya hutan. 6

b. Deforestasi yang direncanakan.


Deforestasi yang direncanakan adalah konversi yang terjadi di kawasan hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang dilepaskan menjadi kawasan budidaya non
kehutanan (KBNK atau APL). Konversi yang direncanakan dapat juga terjadi di kawasan
hutan produksi untuk pertambangan terbuka. Sedangkan deforestasi yang tidak direncanakan
terjadi akibat konversi hutan yang terjadi di semua kawasan hutan akibat berbagai kegiatan
yang tidak terencana, terutama kegiatan illegal.7
c. Kurangnya Kebijakan Inovatif
Sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program
rehabilitasi. Sebagian besar program berasal dan dikelola oleh pemerintah. Anggaran
program berasal dari Pemerintah dan donor internasional dan alokasinya terfokus pada aspek-
aspek teknis. Aspek-aspek non teknis seperti kelembagaan, pemberdayaan, dan sebagainya
belum efektif dikembangkan. Karena itu wajar apabila program rehabilitasi kurang mendapat
dukungan dari masyarakat setempat, baik yang tinggal di dalam maupun di sekitar wilayah
sasaran. Pendekatan kreatif dan inovatif yang dapat memberikan manfaat hubungan social-
ekonomi jangka panjang antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat local belum
diterapkan pada program rehabilitasi. Misalnya kebijakan pemerintah terhadap pengusaha
HPH lebih pada pengendalian jumlah produksi hasil hutan. Sedangkan hutan alam sebagai
6
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan Lahan, Hutan Dan Air . Volume 6 Nomor 1 Maret 2004 dalam
INFOMATEK publisher Fakultas Teknik-Universitas Pasundan hlm. 5.
7
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm 6.
stock tidak menjadi perhatian utama. Hutan alam sebagai stock berupa tegakan muda,
tegakan yang siap ditebang atau menunggu ditebang, tidak menjadi perhatian untuk dijaga
dan dipelihara karena tidak menjadi kriteria dalam penilaian kinerja pemegang ijin.
Kebijakan tersebut menyebabkan perusahaan enggan melindungi hutan alam dalam kawasan
yang dikelola.8
d. Konflik kepemilikan lahan ????????????
Konflik atas kepemilikan lahan terjadi karena adanya tumpang tindih kepemilikan
lahan. Konflik tersebut disebabkan oleh ketidakjelasan kerangka hukum yang mendasarinya,
terutama implikasi yang saling bertentangan antara UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU
No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Kemudian, peraturan-peraturan sektoral yang berbeda,
misalnya tentang kehutanan, hutan tanaman dan pertambangan, kurang sinergis. Selain itu,
peraturan dan tata cara pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda belum
sinergis atau belum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.9
e. Rehabilitasi dilakukan hanya sebatas proyek
Program rehabilitasi hutan sangat efektif dalam mengatasi penyebab degradasi hutan.
Factor keberhasilan proyek rehabilitasi antara lain adanya keterlibatan masyarakat setempat
secara aktif, dan dilakukannya intervensi teknis. Sampai saat ini factor keberhasilan dari
berbagai proyek rehabilitasi belum tercapai dan sulit untuk bisa dipertahankan dalam jangka
panjang, terutama setelah proyek selesai. Orientasi melakukan rehabilitasi hanya sebatas
masa proyek masih sangat kuat, sehingga mengakibatkan: a) pemeliharaan yang tidak
memadai pada bibit yang telah ditanam; b) kurangnya keberlangsungan pendanaan setelah
proyek selesai karena tidak adanya mekanisme reinvestasi, kurangnya analisis kelayakan
ekonomi yang memadai atau tidak adanya kepastian integrasi dengan pasar yang jelas; c)
insentif ekonomi yang tidak jelas, mengurangi minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi
secara aktif; d) partisipasi masyarakat yang terbatas karena masalah tenurial yang tidak
terselesaikan dan organisasi masyarakat yang tidak efektif; e) pembangunan kapasitas bagi
masyarakat yang tidak efektif; f ) pertimbangan yang tidak memadai terhadap aspek sosial-
budaya; dan pada tingkat yang lebih luas, tidak adanya pembagian hak dan tanggung jawab
yang jelas antara pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah daerah, masyarakat dan
dinas kehutanan.10
4. Kebijakan ekonomi11
a. Rehabilitas memakan biaya yang mahal.
Rehabilitasi hutan dan lahan cenderung dilaksanakan sebagai kegiatan yang reaktif
daripada kegiatan proaktif yang diintegrasikan dengan pelaksanaan kebijakan pengelolaan
hutan yang telah ada. Hal itu disebabkan mahalnya biaya kegiatan rehabilitasi hutan. Hal ini
mengakibatkan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi kurang lancar.
b. Adanya inefisiensi ekonomi pengelolaan hutan produksi.
8
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm. 7.
9
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm 9.
10
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm. 10.
11
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm 11-12.
Dalam kebijakan ekonomi, terdapat juga inefisiensi ekonomi dalam pengelolaan hutan
produksi. Hal itu dapat dilihat banyaknya biaya transaksi pengurusan dan pengurusan ijin-ijin
pengusahaan hutan. Selain itu, ada juga biaya yang harus ditanggung akibat konflik
penggunaan kawasan hutan dan lahan kepada warga lokal. Hal ini berakibat buruk untuk
pengelolaan hutan produksi yang semakin baik.
5. Lemahnya Kelembagaan pembangunan kehutanan12
a. Lemahnya hubungan pusat-daerah
Masalah pada kelembagaan adalah masih lemahnya hubungan pusat-daerah. Masalah
kehutanan tidak dapat segera dipecahkan, karena lembaga yang ada tidak memberi prioritas
pada upaya penyelesaian akar masalahnya. Intensitas dan kapasitas pemerintah dalam
mengelola kawasan konservasi dan hutan lindung masih rendah, relatif terhadap besarnya
persoalan yang dihadapi. Kontraproduktif sering muncul akibat masalah kelembagaan yang
tidak mampu memberi solusi, peluang investasi dan pengembangan nilai tambah, bahkan
menyebabkan biaya transaksi tinggi. Lemahnya kelembagaan kehutanan pada gilirannya
merapuhkan sistem pengamanan aset sumberdaya hutan. Lembaga pemerintah cenderung
hanya menjalankan fungsi administrasi perizinan pemanfaatan hutan. Permasalahan
kelembagaan lainnya adalah belum ada kebijakan yang kuat dan terarah untuk membentuk
organisasi pemerintah yang berfungsi mengelola hutan di tingkat lapangan, walaupun telah
dimandatkan dalam UU No. 41/1999. Akibatnya, dalam pelaksanaan pemanfaatan hutan
tidak tersedia informasi yang valid dan akurat. Dalam kenyataannya hutan dikuasai para
pemegang izin. Apabila izin berakhir atau tidak berjalan, hutan tersebut dalam kondisi
terbuka (open access) yang memudahkan siapapun memanfaatkannya tanpa kontrol dan
meyebakan terjadi kerusakan yang lebih besar.
b. Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga
Kurangnya koordinasi antar lembaga yang menerbitkan ijin penggunaan lahan
menyebabkan terjadinya dualisme pengakuan/klaim atas kepemilikan lahan. Sehingga terjadi
konflik penggunaan lahan hutan yang mengakibatkan tersingkirnya masyarakat setempat dari
proses formal perijinan. Konflik semakin lama semakin memanas sehingga dapat menjadi
bom waktu yang dapat mengakibatkan anarkis masyarakat local. Iklim investasi dan ekonomi
menjadi tidak kondusif di sektor kehutanan.
6. Pengabaian terhadap Nilai Ekologi.
Nilai Ekologi berupa jasa lingkungan hutan tidak pernah dimasukkan ke dalam
perhitungan ekonomi. Akibatnya pemeliharaan hutan dalam neraca ekonomi dianggap
sebagai beban atau biaya bukan dianggap sebagai investasi jangka panjang. Jasa lingkungan
seperti; memelihara udara, menjaga erosi dan banjir, menjaga keanekaragaman hayati,
pendidikan, sumber plasma nutfah, rekreasi, dan sebagainya belum dikonversi dalam bentuk
kuantitatif sehingga dapat dibandingkan dengan nilai ekonomisnya seperti kayu. Apabila
perbandingan tersebut didapatkan, dan kemudian ternyata nilai ekologisnya lebih tinggi dari
nilai ekonomi, maka dapat diperkirakan hutan tidak lagi mudah dikonversi menjadi

12
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm. 13-14.
peruntukan lain. Dan alokasi anggaran negara untuk sektor kehutanan tentunya juga akan
meningkat13
GAMBUT
PENGERTIAN
Ekosistem gambut adalah kawasan unik yang lapisannya tersusun dari timbunan
bahan organik mati yang terawetkan sejak ribuan tahun lalu dan di permukaan atasnya hidup
berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar. Kondisi ini bisa dengan mudah terjadi di kawasan
sekitar rawa-rawa dikarenakan perairan di sekitarnya memiliki tingkat keasaman yang tinggi.
Gambut bersifat porous sehingga dapat menyimpan air dalam jumlah sangat banyak,
hingga mencapai 450 sampai 850 persen berat kering atau lebih dari 90 persen dari
volumenya. Karena itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penyimpan air tawar (water
reservoir) sehingga dapat berfungsi sebagai pencegah banjir pada musim hujan dan
melepaskan air pada musim kemarau. Lahan gambut di daerah tropika umumnya berada
dalam suatu hamparan berbentuk cekungan yang sangat luas dan merupakan satu kesatuan
dengan bagian lainnya untuk membentuk sumber air terbuka.14

GAMBUT SEBAGAI PENYIMPAN KARBON (CARBON RESERVOIR)


Tumbuhan memerlukan sinar matahari, CO2, air, dan unsur hara yang diserap dari
tanah yang digunakan untuk pertumbuhannya. Serapan bahan fotosintesis itu kemudian
ditimbun dalam tubuh tanaman seperti daun, batang, ranting, bunga, dan buah. Proses
penimbunan CO2 itu disebut sekuestrasi karbon (carbon sequestration).15
KLASIFIKASI GAMBUT16
Tanah gambut berbeda dari tanah pada umumnya. Supaya Anda bisa dengan mudah
membedakannya, berikut ini adalah beberapa karakteristik tanah gambut yang perlu Anda
ketahui:

 Karena terbuat dari berbagai jenis tanaman yang mati dan membusuk, tanah gambut
menjadi lebih mudah amblas dan tidak mampu menopang beban yang berat.

 Tingkat kepadatan yang rendah menjadikan tanah gambut tidak memiliki daya
dukung atau bearing capacity yang rendah.

 Tanah gambut sangat mudah untuk mengalami kekeringan yang tidak dapat
dikembalikan. Hal ini akan sangat berbahaya, terutama saat memasuki musim
kemarau. Tanah gambut yang kering akan mudah untuk tersulut dan terbakar. Tanah

13
Budi Heri Pirngadi, Pengendalian Kerusakan …, hlm.15.
14
Mitigasi Dan Adaptasi Kondisi Lahan Gambut Di Indonesia Dengan Sistem Pertanian Berkelanjutan Soni
Sisbudi Harsono Jerman Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Jember 2012. hlm. 2-3.
15
MITIGASI DAN ADAPTASI KONDISI LAHAN GAMBUT …, hlm 3.
16
Soil Survey Staff (2003) Keys to Soil Taxonomy, Edisi Kesembilan, Washington: United States Department of
Agriculture, Natural Resources Conservation Service. Hlm. 45.
yang kering akan membuat api menjadi lebih cepat menyebar dan membuatnya sulit
untuk dipadamkan.

 Tanah jenis ini memiliki kemampuan untuk menyimpan air yang sangat baik. Pada
musim hujan, tanah akan penuh dengan air dan mudah menjadi becek.

 Tanah gambut memiliki kandungan hara yang rendah. Tanah jenis ini kurang cocok
untuk digunakan sebagai tanah pertanian karena membutuhkan pengelolaan yang
lebih rumit untuk dilakukan.
Gambut dapat diklasifikasikan sesuai tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan, dan
posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangan, gambut dibedakan menjadi tiga.
Pertama, gambut aprik (matang), yaitu gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya
tidak dikenali, berwarna cokelat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya
kurang dari 15 persen. Kedua, gambut hemik (setengah matang), yaitu gambut setengah
lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna cokelat, dan bila diremas bahan
seratnya 15–75 persen. Ketiga, gambut fibrik (mentah), yaitu gambut yang belum melapuk,
bahan asalnya masih dapat dikenali, berwarna cokelat, dan bila diremas lebih dari 75 persen
seratnya masih tersisa.
Berdasarkan tingkat kesuburan, gambut dibedakan menjadi tiga. Pertama, gambut
eutrofik, yaitu gambut subur yang kaya bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lain.
Gambut yang relatif subur biasanya gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sedimen sungai
atau laut. Kedua, gambut mesotrofik, yaitu gambut yang agak subur karena memiliki
kandungan mineral dan basa-basa sedang. Ketiga, gambut oligotrofik, yaitu gambut yang
tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal
yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik. Gambut di
Indonesia sebagian besar tergolong mesotrofik dan oligotrofik (Rajaguguk 2004).17
EFEK BAIK keberadaan GAMBUT18
Gambut memiliki porositas yang tinggi yang mampu menyerap air dalam jumlah
besar dari berat kering gambut itu sendiri sehingga dapat berfungsi sebagai regulator
hidrologi. Karena hamparan lahan gambut mempunyai kemampuan untuk berfungsi sebagai
tandon air tawar raksasa, lahan gambut dapat berperan sebagai pencegah banjir pada musim
hujan dan melepas air secara perlahan ke kawasan sekitarnya pada musim kemarau.
Bisa digunakan menjadi lahan pertanian. Namun harus dikelola secara khusus.
Meskipun tanah gambut tidak memiliki kandungan hara yang tinggi, tanah tersebut masih
bisa dimanfaatkan untuk berbagai hal lainnya. Di bawah ini adalah beberapa manfaat tanah
gambut yang perlu Anda ketahui

17
Rajaguguk, B. (2004) “Developing Sustainable Agriculture on Tropical Peatland: Chalanges and Prospects”
dalam Palvanen, J. Prosiding Kongres Internasional Gambut di Tampere, Finlandia pada 6–11 Juni 2004, 707–
712.
18
Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Perkebunan Kelapa Sawit Di Areal Hutan Rawa Gambut Tripa Provinsi
Aceh : Kendala Dan Solusi Sufardi*, Manfarizah, Khairullah Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian
Unsyiah Kuala,, Banda Aceh (Jurnal Pertanian No.3. Desember 2016.) hlm 5-8.
1. Sebagai Lahan Peternakan
Tanah gambut bisa dimanfaatkan untuk menjadi lahan peternakan hewan-hewan seperti
unggas dan sapi. Tanah yang digunakan untuk menjadi lahan peternakan tidak membutuhkan
hal-hal yang spesifik karena hewan ternak tidak memerlukan unsur hara dari dalam tanah
layaknya tanaman
2. Lahan Sumber Air
Tanah gambut memiliki kemampuan penyerapan air yang tinggi. Saat musim hujan tiba,
tanah jenis ini mampu untuk menjadi tanah resapan dengan cara menampung air dalam
jumlah yang banyak dan cepat.
3. Mengurangi Efek Pemanasan Global
Lahan gambut memiliki peran yang sangat penting dalam mengurangi efek pemanasan
global. Tanahnya memiliki kemampuan untuk menyerap gas berbahaya seperti metana dan
karbon dan mencegahnya supaya tidak terlepas ke udara. Perlu diperhatikan bahwa tanah
gambut yang terbakar akan menciptakan polusi yang sangat berbahaya bagi lingkungan.
4. Sumber Energi Bagi Manusia
Tanah gambut yang dikeringkan bisa menjadi sumber energi yang bermanfaat bagi manusia.
Tanah yang sudah kering bisa diolah dan menjadi bahan utama dalam pembuatan briket.
Gambut di Indonesia memiliki kualitas yang sangat baik dan bisa dimanfaatkan untuk
menjadi tenaga listrik di daerah yang tidak terjangkau PLN dan sulit untuk mendapatkan
sumber energi listrik.

AKIBAT MASALAH GAMBUT


Konversi dan pengeringan apapun di area tersebut akan mengakibatkan degredasi
ekosistem gambut yang tidak dapat dipulihkan lagi. Bila hal itu terjadi, lahan gambut akan
mulai membusuk dan mengeluarkan karbon ke atmosfer dalam jumlah besar. Permukaan
gambut akan menyurut lebih dalam lagi dan sangat mungkin mengakibatkan permukaan
tanah tenggelam ke bawah permukaan laut selamanya19
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT
Pengelolaan pada lahan gambut sebenarnya bukan merupakan istilah yang tepat
karena adanya daya menyusut dan adanya subsidensi selama penggunaannya untuk usaha
pertanian. Tetapi, hal itu bisa dikurangi dalam arti memperpanjang life span melalui
minimalisasi tingkat subsidensi dengan cara mengadopsi beberapa strategi pengelolaan yang
benar mengenai air, tanah, dan tanaman.
1. Pengelolaan Air (Drainase)

Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut Pasca Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Desa
19

Lukun Kecamatan Tebing Tinggi Timur dalam TALENTA vol 2 Published under licence by TALENTA
publisher, Universitas Sumatera Utara hlm. 12.
Drainase merupakan prasyarat untuk usaha pertanian, walaupun hal tersebut bukanlah
suatu yang mudah untuk dilakukan mengingat sifat dari gambut yang bisa mengalami
penyusutan dan kering tidak balik akibat drainase. Karena itu, sebelum mereklamasi lahan
gambut, perlu diketahui sifat spesifik gambut, yaitu peranan dan fungsinya bagi lingkungan.
Drainase yang baik untuk pertanian gambut adalah drainase yang tetap mempertahankan
batas air kritis gambut, tetapi tetap tidak mengakibatkan kerugian pada tanaman yang akan
berakibat pada hasil. Intensitas drainase bervariasi, tergantung kondisi alami tanah dan curah
hujan. Curah hujan yang tinggi (4000–5000 milimeter per tahun) (Ambak dan Melling 2000)
membutuhkan sistem drainase untuk meminimalkan pengaruh banjir.
Setelah drainase dan pembukaan lahan gambut, umumnya terjadi subsidensi relatif
cepat yang akan berakibat pada penurunan permukaan tanah. Subsidensi dan dekomposisi
bahan organik dapat menimbulkan masalah apabila bahan mineral di bawah lapis gambut
terdiri dari lempeng pirit atau pasir kuarsa. Kerapatan lindak yang rendah berakibat
kemampuan menahan (bearing capacity) tanah gambut juga rendah. Karena itu, pengolahan
tanah secara mekanis atau dengan ternak sulit dilakukan. Kemampuan menahan yang rendah
juga merupakan masalah bagi tanaman pohon-pohonan atau tanaman semusim yang rentan
terhadap kerebahan (lodging) (Rajaguguk 2004). 20
2. Irigasi
Ketika batas kritis air dapat dikontrol pada level optimum untuk pertumbuhan
tanaman, pengelolaan air bukan merupakan suatu masalah, kecuali pada tahap awal
pertumbuhan tanaman. Jika batas kritis air tidak dapat terkontrol dan lebih rendah dari
kebutuhan air semestinya, irigasi perlu dilakukan terutama bagi tanaman tertentu. Hal ini
penting untuk memasok kebutuhan air tanaman dan menghindari sifat kering tidak balik.
Sayuran berdaun banyak menjadi layu pada keadaan udara panas. Kondisi ini mungkin
merupakan pengaruh dari dangkalnya profil tanah yang dapat dicapai oleh akar tanaman dan
kehilangan air akibat transpirasi yang lebih cepat daripada tanah mineral (Ambak dan
Melling 2000).
Tanaman mempunyai tahapan pertumbuhan yang sensitif terhadap stress air yang
berbeda. Pengetahuan tentang tahapan tersebut akan mempermudah irigasi pada saat yang
tepat sehingga mengurangi terjadinya stress air dan penggunaan air yang optimum.21
3. Penggenangan
Untuk meminimalkan terjadinya subsidensi, langkah yang bisa dilakukan adalah tetap
mempertahankan kondisi tergenang tersebut dengan mengadopsi tanaman-tanaman sejenis
hidrofilik atau tanaman toleran air yang memberikan nilai ekonomi, seperti Eleocharis
tuberosa, bayam china (Amaranthus hybridus), kangkung (Ipomoea aquatica), dan seledri air.
Di Florida (Amerika Serikat), ketika tanaman tertentu tidak bisa dibudidayakan karena
perubahan musim, penggenangan dilakukan dan digunakan untuk budidaya tanaman air
tersebut (Ambak dan Melling 2000). 22
20
Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut Hlm. 9.
21
Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut Hlm. 9
22
Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut hlm. 10
4. Pengelolaan Tanah
Tanah gambut sebenarnya merupakan tanah yang baik untuk pertumbuhan tanaman
bila ditinjau dari jumlah pori-pori yang berkaitan dengan pertukaran oksigen untuk
pertumbuhan akar tanaman. Kapasitas memegang air yang tinggi daripada tanah mineral
menyebabkan tanaman bisa berkembang lebih cepat. Tetapi, keberadaan sifat inheren yang
lain, yaitu kemasaman yang tinggi, kejenuhan basa yang rendah, dan miskin unsur hara
makro maupun mikro, menyebabkan tanah gambut digolongkan sebagai tanah marginal
(Limin et al. 2000). Untuk itulah perlu usaha untuk mengelola tanah tersebut dengan
semestinya.23
5. Pembakaran Biomassa
Pembakaran merupakan cara tradisional yang sering dilakukan petani untuk
menurunkan tingkat kemasaman tanah gambut. Pembakaran bahan organik menjadi abu
berakibat pada penghancuran dan penurunan permukaan tanah. Pembakaran berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan tanaman pada tahun pertama dan meningkatkan serapan P
tanaman, tetapi menurunkan serapan Ca dan Mg (Mawardi et al. 2001).
Pembakaran harus dapat dilokalisasi agar tidak meluas dan menyebar ke lahan gambut
yang lama untuk dapat dipadamkan. Efek dari kebakaran ini adalah tingginya gas CO2 yang
terlepas ke atmosfer. Karena itu, perlu ada kewaspadaan dari pihak yang bertanggung jawab
terhadap aktivitas ini.24
6. Penambahan Unsur Hara
Pemberian pupuk dan amandemen dalam komposisi dan takaran yang tepat dapat
mengatasi masalah keharaan dan kemasaman tanah gambut. Unsur hara yang umumnya perlu
ditambahkan dalam bentuk pupuk adalah N, P, K, Ca, Mg, dan sejumlah unsur hara mikro,
terutama Cu, Zn, dan Mo. Pemberian Cu diduga lebih efektif melalui daun (foliar spray)
karena sifat sematannya yang sangat kuat pada gambut, kurang mobil dalam tanaman, dan
kelarutan yang menurun ketika terjadi peningkatan pH akibat penggenangan. Sebagai
amandemen, abu hasil pembakaran gambut itu akan menurunkan kemasaman tanah,
memasok unsur hara, dan mempercepat pembentukan lapis olah yang bersifat fisik lebih baik
(Rajaguguk 2004).
Pupuk kandang, khususnya kotoran ayam, mengandung beberapa unsur hara makro
dan mikro tertentu dalam jumlah lebih banyak dibandingkan kotoran ternak yang lain.
Kejenuhan basanya tinggi, tetapi kapasitas tukar kation rendah. Kotoran ayam, dalam
melepaskan haranya, berlangsung secara bertahap dan lama. Tampaknya pemberian kotoran
ayam memungkinkan untuk memperbaiki sifat fisika dan kimia tanah gambut. Pada jagung
manis, pemberian kotoran ayam sampai 14 ton per hektar pada tanah gambut pedalaman
bereng bengkel dapat meningkatkan jumlah tongkol (Darung et al. 2001).25
Selain itu, perlu diperhatian
23
Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut 10
24
Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut. Hlm. 10.
25
Ashaluddin Jalil dan Yesi, Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut hlm 10
Pemilihan Jenis Tanaman26
Padi Sawah
Budidaya padi sawah di lahan gambut dihadapkan pada berbagai masalah, terutama
menyangkut kendala-kendala kesuburan, serta pengelolaan tanah dan air. Secara khusus,
gambut tebal (lebih dari satu meter) belum berhasil dimanfaatkan untuk budidaya padi sawah
karena mengandung sejumlah kendala yang belum dapat diatasi. Kunci keberhasilan
budidaya padi sawah pada lahan gambut terletak pada keberhasilan dalam pengelolaan dan
pengendalian air, penanganan sejumlah kendala fisik yang merupakan faktor pembatas,
penanganan substansi toksik, serta pemupukan unsur makro dan mikro
Lahan gambut yang sesuai untuk padi sawah adalah gambut sangat dangkal (20–50
sentimeter) dan gambut dangkal (0,5–1 meter). Padi kurang sesuai pada gambut sedang (1–2
meter) serta tidak sesuai pada gambut tebal (2–3 meter) dan sangat tebal (lebih dari 3 meter).
Pada gambut tebal dan sangat tebal, tanaman padi tidak dapat membentuk gabah karena kahat
unsur hara mikro (Subagyo et al. 1996). Pada tanah sawah dengan kandungan bahan organik
tinggi, asam-asam organik menghambat pertumbuhan, terutama akar, mengakibatkan
produktivitas rendah, bahkan kegagalan panen.
Tanaman Perkebunan dan Industri
Budidaya tanaman-tanaman perkebunan berskala besar banyak dikembangkan di
lahan gambut, terutama oleh perusahaan-perusahaan swasta. Pengusahaan tanaman-tanaman
ini kebanyakan dikembangkan di Provinsi Riau dengan memanfaatkan gambut tebal.
Sebelum penanaman, dilakukan pemadatan tanah dengan menggunakan alat-alat berat.
Sistem drainase yang tepat sangat menentukan keberhasilan budidaya tanaman perkebunan di
lahan tersebut. Pengelolaan kesuburan tanah yang utama adalah pemberian pupuk makro dan
mikro (Limin et al. 2000). Tanaman perkebunan sesuai ditanam pada ketebalan gambut 1–2
meter dan sangat tebal (2–3 meter) (Subagyo et al. 1996).
KAITAN GAMBUT DAN MASALAH HUTAN
Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, selain disebabkan oleh
peningkatan aktivitas manusia dalam pembakaran bahan bakar fosil, jauh lebih besar efeknya
adalah overeksploitasi lahan gambut yang memproduksi emisi CO2, CH4, dan N2O
menghasilkan gas rumah kaca yang sangat tinggi, akan memengaruhi perubahan iklim secara
langsung dan efek yang ditimbulkan sangat masif. Nasib selanjutnya dari cadangan karbon
itu akan mempunyai implikasi besar terhadap keseimbangan karbon di atmosfer. Perubahan
iklim ini mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu di bumi dan akhir anomali cuaca yang
menimbulkan dampak sangat besar bagi kehidupan umat manusia dan lingkungannya.
KESIMPULAN
Gambut merupakan lahan yang memiliki kandungan karbon sangat besar. Semakin
tinggi permintaan akan produk perkebunan kelapa sawit dan konversi menjadi areal

Lahan Gambut Indonesia oleh: Supiandi Sabiham dan Maswar Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian
26

Kementerian Pertanian 2016 IAARD Press Jakarta hlm. 40


penanaman tanaman semusim akan menyebabkan tingginya pembukaan lahan gambut di
Sumatra dan Kalimantan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa ada upaya untuk
menguranginya, lambat laun lahan gambut akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan alam sekitarnya dan meningkatkan efek rumah kaca yang dapat mengakibatkan
perubahan iklim di muka bumi. Lahan gambut yang memiliki kemampuan untuk menyerap
karbon harus dilindungi kelestariannya dengan tidak dieksploitasi berlebihan bagi
pengembangan industri pertanian dan perkebunan, dimanfaatkan sesuai kearifan lokal, dan
harus jelas peruntukannya agar meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar lahan gambut.
Lahan gambut merupakan ekosistem yang rapuh. Karena itu, diperlukan pengelolaan yang
arif dan bijaksana agar tetap berkelanjutan. Ekspansi budidaya pertanian harus sesuai dengan
sifat dan kondisi lahan gambut agar diperoleh hasil pertanian yang optimal dan mencegah
proses emisi gas dari lahan gambut yang lebih besar karena emisi ini memberikan kontribusi
sangat nyata dalam perubahan iklim dan pemanasan global seperti saat ini.

Anda mungkin juga menyukai