Anda di halaman 1dari 7

Nama : Esa Handayani

NIM : 1701016 P.
Tugas : Pengantar Daerah Aliran Sungai
Dosen : Ir. Midranisiah, M.Si

DAMPAK PEMBUKAAN LAHAN UNTUK PERKEBUNAN TERHADAP


DAERAH ALIRAN SUNGAI

Pengembangan kelapa sawit di Indonesia menghadapi permasalahan yang


berkaitan dengan ketersediaan lahan dan tudingan sebagian aktivis lingkungan
yang menganggap bahwa pembukaan lahan untuk kelapa sawit secara besar-
besaran telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Alih fungsi lahan menjadi
perkebunan kelapa sawit dari segi ekologi akan memicu rusaknya sistem hidrologi
baik kuantitas maupun kualitas tata air daerah aliran sungai (DAS) serta terjadi
degradasi lahan dan berakibat pada penurunan kesuburan tanah dan penurunan
biodiversitas.
Namun, pengembangan perkebunan kelapa sawit akan menghasilkan nilai
ekonomi dengan pendapatan masyarakat dan produktivitas yang meningkat.
Masih adanya kelemahan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang
berhadapan dengan masalah yang kompleks menyebabkan timbulnya benturan-
benturan kepentingan dari stakeholders baik menyangkut konflik sosial, ekonomi
maupun lingkungan. Guna menghindari munculnya permasalahan tersebut,
diperlukan upaya pengelolaan yang bersifat integratif yaitu penyusunan model
pengelolaan yang memperhatikan berbagai aspek yang berpengaruh terhadap
perkebunan kelapa sawit tersebut.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit menghadapi permasalahan yang
berkaitan dengan ketersediaan lahan dan kerusakan lingkungan. Sasaran atau
tujuan konservasi sumberdaya air pada perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan adalah untuk memaksimalkan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial
dari kegiatan tataguna lahan khususnya untuk perkebunan kelapa sawit di DAS
dalam sistem konservasi sumberdaya air yang berkelanjutan
Hampir semua lahan di Indonesia pada awalnya merupakan ‘hutan alam’
yang secara berangsur dialih-fungsikan oleh manusia menjadi berbagai bentuk
penggunaan lahan lain seperti pemukiman dan pekarangan, pertanian, kebundan
perkebunan, hutan produksi atau tanaman industri, dan lain-lainnya. Alih-fungsi
lahan itu terjadi secara bertahap sejak lama dan sampai sekarang pun terus terjadi,
dengan demikian luas lahan hutan di Indonesiasemakin berkurang.
Beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya penebangan hutan sehingga
terjadi proses alih-fungsi lahan antara lain:
1. Tekanan penduduk dan faktor-faktor pendorongnya
Pada level petani kecil penebangan kayu atau hutan merupakan salah satu
cara untuk mencukupi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lainnya.
Peningkatan jumlah penduduk berpengaruh nyata terhadap alih-fungsi lahan.
Fakta-fakta menunjukkan bahwa kejadian ini dipicu adanya kebutuhan kayu untuk
diperdagangkan dan penebangan hutan secara komersial. Faktor-faktor lain yang
mendorong antara lain kebutuhan lahan untuk peternakan (Brasil), adanya
program pemukiman penduduk (transmigrasi di Indonesia dan kolonisasi di
Amazon, Brasil), kegiatan pertambangan, pembangunan industri, pembangunan
pembangkit listrik tenaga air, dsb. Pembangunan jalan oleh perusahaan
penebangan hutan memudahkan masyarakat sekitar hutan masuk ke dalam hutan
untuk melakukan penebangan ikutan. Di Afrika, 75% dari alih-fungsi lahan oleh
petani kecil adalah akibat terbukanya hutan setelah ada akses jalan masuk ke
dalam.
2. Perluasan lahan pertanian danatau penggembalaan ternak
Pada umumnya pembukaan lahan pertanian baru oleh petani kecil atau
tradisional adalah dengan cara tebas bakar (tebang dan bakar/slash and burn).
Pesmbukaan lahan diawali dengan penebangan vegetasi hutan ataubelukar secara
manual dan membakarnya untuk membersihkan lahan agar dapat ditanami.
Teknik ini umum dilakukan karena cepat dan murah. Kemampuan seorang petani
untuk melakukan pembukaan lahan seperti inisangat terbatas, sehingga kawasan
yang dialih-gunakan oleh setiap petani juga terbatas (beberapa hektar). Petani
modern dan intensif melakukan penebangan vegetasi hutan dengan bantuan
peralatan mekanis sehingga kawasan yang bisa dialih-fungsikan bisa sangat luas
(hingga puluhan kilometer persegi).

3. Tekanan hutang luar negeri


Persaingan ekonomi global menekan negara-negara miskin yang
memerlukan dana besar untuk pembangunan dan pembayaran hutang. Pada level
nasional, pemerintah menjual hak/konsesi menebang hutan agar memperoleh dana
untuk membiayai berbagai kebutuhan seperti pembiayaan proyek-proyek,
pembayaran hutang, mengembangkan industri, dsb. Pemegang konsesi itulah yang
kemudian melakukan penebangan kayu dan hutan secara besar-besaran tanpa
diikuti oleh proses pemulihan secukupnya. Penebangan komersial ini jelas
mengakibatkan alih-fungsi lahan yang cepat dalam skala yang sangat luas.
Adanya pasar bagi perdagangan kayu di satu sisi dan tekanan ekonomi di sisi
lainnya sulit menghentikan proses penebangan hutan di berbagai kawasan dunia
ini.

4. Permintaan pasar dan nilai ekonomi kayu


Pohon di hutan ditebang, diambil kayunya untuk diperdagangkan, baik skala
kecil maupun skalabesar (commercial logging). Penebangan bisa dilakukan secara
selektif tetapi tidak jarang juga dilakukan tebang habis. Penggunaan alat-alat
mekaniksangat dominan bahkan mesin-mesin yang termasuk ‘alat berat’ untuk
menebang sampai mengangkut kayu. Akibat dari penebangan besar-besaran
seringkali menyebabkan lahan menjadi terbuka (gundul) sehingga tidak dapat
disebut sebagai hutan lagi.
5. Pemukiman
Seluruh vegetasi di hutan ditebang hingga lahan lebih terbuka sehingga
dapat dibangun beberapa rumah untuk pemukiman (desa atau kota) dan beberapa
bangunan lainnya

6. Tempat penampungan air


Hutan dijadikan daerah genangan sebagai akibat dari pembuatan dan atau
bendungan, sehingga menjadi danau atau waduk.

7. Penggalian bahan tambang


Hutan ditebang dan dibersihkan untuk mengambil bahan tambang yang ada
di bawah tanah. Untuk mengambil bahan tambang itu selain harus membersihkan
vegetasi (hutan) juga harus menyingkirkan lapisan tanah.

8. Bencana alam
Bencana alam dapat memusnahkan hutan dalam skala kecil hingga sangat
luas, misalnya tanah longsor, banjir, kekeringan dan kebakaran.

Dalam kasus ini bentuk alih fugsi lahan hutan yang terjadi Di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Brantas-bagian hulu adalah merubah lahan hutan menjadi lahan
perkebunan apel dan tanaman semusim, alih-fugsi lahan hutan di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Brantas bagian hulu tersebut lebih disebabkan oleh faktor semakin
sempitnya lahan pertanian karena lahan pertanian diubah menjadi lahan
pemukiman penduduk, selain itu alih-fungsi lahan tersebut juga disebabkan oleh
Perubahan pola hidup masyarakat dari pola hidup yang subsisten menjadi
komersial, hal tersebut mengakibatkan kebutuhan petani semakin beragam dan
makin banyak jumlahnya.
Kebutuhan lahan pertanian semakin luas karena hasil panen tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan sendiri tetapi juga untuk dijual. Hal ini
mengakibatkan lahan hutan yang dialih-fungsikan menjadi lahan pertanian
semakin luas. Kecepatan alih-fungsi lahan semakin tinggi karena adanya
penebangan kayu untuk diperdagangkan. Namun demikian, kecepatan alih-fungsi
lahan yang sesungguhnya sulit ditentukan.dalam kasus ini lahan hutan yang ada di
sekitar DAS brantas bagian hulu diubah oleh masyarakat sekitar menjadi lahan
pertanian perkebunan apel dan tanaman semusim.
Alih-fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan
banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan
fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini
bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal
hutan yang dialih-fungsikan menjadi lahan usaha lain.
Selain dampak negatif alih-fungsi lahan hutan juga memiliki dampak
positif, dimana dampak positif dari alih-fungsi lahan hutan ini adalah dapat
memperluas lahan pertanian dimana dengan memperluasnya lahan pertanian ini
dapat meningkatkan pendapatan petani, selain itu dapat mendukung program
ketahanan pangan karena hasil pertanian yang dihasilkan semakin banyak dan
beranekaragam.
Untuk mengatasi permasalahan alih-fungsi lahan hutan diperlukan suatu
kebijakan untuk menjawab permasalahan mengenai alih-fungsi lahan hutan
tersebut. Dimana kebijakan tersebut dapat bersifat intensif dan dis-intensif.
Dimana kebijakan intensif ini ditunjukan untuk masyarakat yang tidak melakukan
alih-fungsi lahan hutan sedangkan untuk kebijakan dis-insentif ini ditunjukan
untuk masyarakat yang melakukan alih-fungsi lahan.
Kebijakan dis-insentif yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan
alih-fungsi lahan tersebut adalah:
1. Denda emisi
Denda emisi ini dirancang sebagai upaya untuk mengurangi CO 2 yang
dihasilkan baik dari kendaraan maupun industri. Denda ini dikenakan baik kepada
pemilik kendaraan atau industri yang tidak memenuhi batas emisi. Denda tersebut
berupa uang. Jadi para pengguna yang sebelumnya menggunakan emisi melebihi
batas atau BME (Bahan Mutu Emisi) dapat memilih menggunakan teknologi
untuk mereduksi emisi atau membayar denda bagi kelebihannya.
2. Denda untuk penebangan hutan dan hukuman pidana
Ketentuan pidana yang di atur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam
Pasal 78 UU No. 41 / 1999, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan
dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan
dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar
hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi
pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragraph ke – 18 UU
No. 41 / 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah
melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang
mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi berpikir kembali untuk
melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidannya berat.
Ketentuan pada Pasal 50 menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang
merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan (ayat (1) dan Setiap orang yang
diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan (ayat (2)”.
Sedangkan ketentuan pada Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa, “Barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50
ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah)”.
Penjelasan Pasal 50 ayat (1) yang di maksud dengan orang adalah subyek
hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana
perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara
pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat
pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut. Sedangkan penjelasan pada
Pasal 50 ayat (2) yang di maksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya
perubahan fisik atau hayatinya yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau
tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.
Kebijakan insentif yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan
alih-fungsi lahan tersebut adalah:
1. Kebijakan imbal jasa lingkungan
Kebijakan imbal jasa lingkungan disini ditujukan kepada masyarakat yang
menjaga kelestarian kawasan hutan di daerah kawasan DAS Brantas, Contoh
imbal jasa lingkungan:
Mekanisme RUPES (Rewarding Upland Poor for Environmental Services)
di Asia, yang merupakan mekanisme yang dirancang untuk memberikan imbalan
kepada para petani atas jasa lingkungan yang dihasilkannya, dengan prioritas
diberikan kepada para petani di dataran tinggi yang berhasil melakukan
konservasi lingkungan.
Tipe imbalan(insentif) dalam RUPES, adalah:
1) Imbalan berupa pembiayaan langsung, seperti pemberian subsidi dalam
perubahan tata guna lahan,
2) Imbalan non finansial, seperti proyek pengembangan masyarakat yang
menyediakan infrastruktur, pelatihan, manfaat atau jasa-jasa lainnya bagi
kaum miskin di dataran tinggi
3) Akses ke sumber daya atau pasar, seperti penguasaan lahan, atau akses
kepasar yang lebih baik dengan adanya ekolabel.
Dengan adanya kebijakan imbal jasa lingkungan ini diharapkan masyarakat
di dekat hutan mampu melestarikan kawasan hutan di daerah DAS brantas hulu,
dengan demikian maka semua pihak (penghasil jasa dan pengguna jasa) dapat
memperoleh keuntungan.

2. Kebijakan pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM)


PHBM adalah suatu sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilakukan
bersama oleh Perum Perhutani dan Masyarakat Desa Hutan maupun dengan Pihak
lain yang berkepentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi sehingga kepentingan
bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan
dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional.

Anda mungkin juga menyukai