Anda di halaman 1dari 8

Pendahuluan

Kabupaten Aceh Barat adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh,


Indonesia. Sebelum pemekaran, Aceh Barat mempunyai luas wilayah 10.097.04 km²
atau 1.010.466 Ha dan sesudah dimekarkan luas wilayah menjadi 2.927,95 km².

Pada tahun 2010 kelapa sawit yang diusahakan masyarakat di Aceh Barat
mencapai 5.709 hektar. Dengan luas lahan tersebut dihasilkan kelapa sawit sebesar
52.091,24 ton. Lahan pekebunan sawit terluas di Aceh Barat terdapat di Kecamatan
Kaway XVI, Meureubo dan Arongan Lambalek.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang menjadi primodana dunia.
setiap tahunnya terdapat peningkatan perluasan lahan untuk kelapa sawit. Alasan dan
latar belakang untuk kesejahteraan ekonomi membuat banyak orang tergiur untuk
mengembangkan usaha ini dan merelakan hutan untuk diratakan yang mengakibatkan
hutan menjadi gersang.

Kelapa sawit tidak bisa dikategorikan sebagai spesies tanaman hutan. Kelapa
sawit merupakan tanaman pembudidayaan sehingga membutuhkan banyak campur
tangan manusia dalam kehidupannya, mulai dari penanaman, pemupukan,
pemeliharaan hingga panen. Sebagai tanaman yang dikembangkan untuk tujuan
ekonomi, kelapa sawit akan sangat merugikan bila ditanam sebagai bagian dari
ekosistem hutan karena sifatnya yang sangat intensif dalam penggunaan sumber daya
akan mengancam keseimbangan dan keberlangsungan proses ekologis di alam.

Hutan adalah ekosistem alami atau buatan yang dikembangkan oleh manusia
dengan fungsi produksi dan perlindungan yang menopang keseimbangan ekologis
serta keanekaragaman hayati di dalamnya (Rukmini, 2010: 39). Struktur hutan adalah
kesatuan floristik yang khas, kompleks dan beragam. Sementara perkebunan kelapa
sawit justru bersifat monokultur yang tidak menghadirkan fungsi perlindungan.
Siklus ekologi yang berlangsung secara alami dan seimbang di hutan pun tidak terjadi
di lahan kelapa sawit.

Tanah-tanah pada perkebunan kelapa sawit dan lahan sekitar yang tercemar
oleh aktivitas pengolahan minyaknya mengalami penurunan densitas Azotobacter,
kelompok mikroorganisme indikator kesuburan tanah. Hal itu diikuti penurunan nilai
fiksasi Nitrogen dalam tanah. Aktivitas organisme aerob seperti cacing tanah juga
menurun secara nyata di lahan-lahan tersebut. Hal-hal tersebut cukup menjelaskan
bagaimana aktivitas perkebunan kelapa sawit telah menurunkan kesuburan tanah di
sekitarnya dan secara lebih luas berdampak pada keseimbangan Nitrogen di dalam
ekosistem.

Berdasarkan wawancara secara informal dengan pengusaha kelapa sawit yang


kami lakukan di hutan Desa Alue Penyareng, Kecamatan Meureubo, Kabupaten Aceh
Barat tentang kondisi hutan sebelum diubah menjadi perkebunan kelapa sawit,
kondisi hutan sebelum dijadikan lahan perkebunan di penenuhi oleh pohon karet,
semak, ilalang dan lainnya. Penebangan dan pembakaran dilakukan guna mengubah
hutan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Alasan perekonomian menjadikan pengusaha kelapa sawit mengubah hutan


menjadi lahan perkebunanan, dipilihnya hutan sebagai lahan karena dalam usaha
perkebunan kelapa sawit ini membutuhkan tempat yang cukup luas untuk
pembudidayaannya.

Kelapa sawit bagaikan surga dan neraka bagi masyarakat. Benar memang
sektor kelapa sawit telah menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan
pendapatan, tapi perkebunan kelapa sawit dan aktivitas pengolahan hasilnya telah
melahirkan ancaman mengerikan terhadap hutan dan segala yang ada di dalamnya
termasuk manusia. Aktivitas-aktivitas dari perkebunan kelapa sawit tidak hanya
melenyapkan biodiversitas, menghilangkan air dari tanah, menurunkan produktivitas
dan kesuburan tanah, meningkatkan gas rumah kaca dan membuat bumi kehilangan
paru-parunya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengulas tentang


kerusakan yang diakibatkan oleh kelapa sawit bagi hutan Aceh Barat.

Tujuan

1. Untuk mengetahui dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit bagi hutan di
Aceh Barat.
2. Untuk mengetahui dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit bagi
biodiversita.

Manfaat

Manfaat dari penulisan artikel ilmiah ini agar pembaca dapat mengetahui
dampak negatif dari perkebunan kelapa sawit yang ada di Aceh Barat terhadap hutan
dan biodiversita.
Metode

Metode yang digunakan adalah metode observasi. Observasi adalah suatu cara
pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap suatu obyek
dalam suatu periode tertentu dan mengadakan pencatatan secara sistematis tentang
hal-hal tertentu yang diamati (Mardalis 2008: 40).

Observasi dilakukan pada tanggal 12 Febuari 2015 pada pukul 16.30 disalah
satu lahan perkebunan sawit yang terletak di Desa Alue Penyareng Kecamatan
Meureubo Kabupaten Aceh Barat. Lahan perkebunan sawit ini memiliki luas 10
hektar, terdapat 114 tanaman sawit perhektarnya. Perkebunan sawit dipanen selama
dua minggu sekali.

Teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara


dan pengamatan terhadap kondisi perkebunan kelapa sawit tersebut. Wawancara
merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan jalan mengadakan komunikasi
dengan sumber data. Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog (Tanya jawab)
secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung (I.Djumhur dan Muh.Surya,
1985). Wawancara dilakukan pada Pak Fitri sebagai pengusaha kelapa sawit didaerah
tersebut. Informasi yang kami tanyakan adalah seputar luas lahan perkebunan, jumlah
tanaman kelapa sawit dilahan perkebunan tersebut, kondisi lahan sebelum dijadikan
perkebunan kelapa sawit dan penghasilan yang didapat dalam sekali panen.

Hasil dan Pembahasan

Terdapat banyak hutan didaerah Alpen yang ditebang untuk dijadikan lahan
penanaman sawit. Pada lahan sawit yang kami lakukan penelitian yang seluas 10
hektar, hanya 3 hektar yang bisa dipanenkan sedangkan 7 hektar lainnnya masih
belum siap panen. Dalam sekali panen dihasilkan 2-3 ton dengan harga 1100/kg.
Dalam masa panen yang terjadi selama 2 minggu sekali, hasil yang didapat
sekitar 2,5 – 3 juta. Usaha penanaman sawit memang menguntungkan, meskipun
lahan yang dimiliki tidak begitu luas sehingga wajar saja hutan di daerah tersebut
banyak ditanami oleh sawit. Hal ini menyebabkan terjadi pembersihan hutan dari
hutan menjadi perkebunan.

Pembersihan lahan umumnya terjadi dengan membakar hutan, karena hal


tersebut dilakukan dengan cepat dan murah. Namun perlu disadari, api yang
digunakan untuk membersihkan lahan seringkali menyebar di luar kontrol sehingga
merusak hutan inti dan ekosistem di dalamnya serta membunuh binatang dan
tumbuhan. Jadi sebenarnya, cara ini juga merupakan cara yang cepat dan murah
untuk meningkatkan polusi dan efek rumah kaca.

Kerusakan dan degradasi hutan menyebabkan perubahan iklim dengan dua


cara. Pertama, menggunduli dan membakar hutan melepaskan karbondioksida ke
atmosfer dan kedua, wilayah hutan yang berfungsi sebagai penyerap karbon
berkurang. Peran hutan dalam mengatur iklim sangat penting sehingga jika terus
dihancurkan, maka kita akan kalah dalam memerangi perubahan iklim. Hutan adalah
rumah bagi keanekaragaman hayati dunia, jutaan binatang dan tumbuhan. Terlebih
lagi, jutaan masyarakat asli hutan bergantung kepada hutan sebagai sumber
kehidupan mereka.

Tanaman kelapa sawit merupakan tanaman yang rakus air, dimana dalam satu
hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter air. Ketersediaan air tanah pada
lahan yang menjadi perkebunan kelapa sawit tersebut akan semakin berkurang. Hal
ini akan mengganggu ketersediaan air, tidak hanya bagi manusia namun bagi tanaman
itu sendiri. Dengan berkurangnya kuantitas air pada tanah dapat menyebabkan sulit
dikembangkan lahan pertanian pasca lahan perkebunan kelapa sawit ini beroperasi.
Selain itu, kelapa sawit juga berdampak dalam hal perubahan lingkungan yang
berpengaruh terhadap ekosistem, yaitu terganggunya keseimbangan lingkungan alam
dan kepunahan keanekaragaman hayati(biodiversity).

Sudah terbukti, bahwa perkebunan kelapa sawit banyak dampak negatifnya.


Jika Aceh Barat ingin menjadi paru-paru dunia yang sebenar-benarnya, program
penanaman pohon yang sedang digalakkan saat ini akan menjadi sia-sia belaka,
karena penanaman pohon juga tidak akan mengembalikkan keanekaragaman hayati
yang sudah punah.

Dampak lingkungan tersebut memang cukup mengkhawatirkan. Namun


bukan berarti tidak ada solusi yang bisa dikembangkan guna mengantisipasi dampak
tersebut terjadi di hutan Aceh Barat.

Kita harus mempertimbangkan ulang pembukaan hutan, terutama pada hutan-


hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan dan di masa mendatang diproyeksikan
sebagai sumber air untuk infrastruktur pendukung pertanian seperti waduk. Namun
memang diperlukan sinergi supaya semua kebijakan tersebut dapat saling topang.

Konservasi hutan dalam jangka panjang akan membantu konversi balik lahan
sawit menjadi lahan pertanian jika pasokan air yang mencukupi dari hutan yang
terkonservasi dapat dijaga. Atau dalam konteks perkebunan kelapa sawit itu sendiri,
pasokan air yang mencukupi akan membantu pertumbuhan tanaman kelapa sawit
dalam hal ketersediaan air dalam jangka panjang.

Demikian juga penggunaan masif pupuk kimia harus mulai dikombinasi


dengan pupuk organik berbasis bioteknologi yang memiliki kadar mikroba
penyubur/pembenah tanah. Penggunaan pupuk kimia yang lebih berorientasi pada
pertumbuhan tanaman harus dikombinasi dengan pupuk organik yang berorientasi
pada kesuburan tanah dengan menjaga proses biologi dan kimia tanah tetap
berlangsung. Kesuburan tanah diharapkan bisa tetap terjaga sehingga tidak hanya
menguntungkan bagi tanaman, namun mencegah proses penggurunan yang terjadi.

Kesimpulan

Pada tahun 2010, terdapat 5.709 hektar lahan yang digunakan untuk
penanaman kelapa sawit dan terus meningkat setiap tahunnya. Banyaknya
keuntungan yang diperoleh dengan mengembangkan usaha kelapa sawit membuat
banyak masyarakat Aceh Barat menebang atau membakar hutan untuk dijadikan
lahan perkebunan. Api yang membakar hutan dapat menyebabkan kerusakan hutan
dan ekosistem.

Mengunduli hutan untuk ditanami sawit berdampak negatif pada


keseimbangan ekologis serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Kerakusan dari
tanaman sawit yang menyerap air menyebabkan ketersediaan air tanah pada lahan
yang menjadi perkebunan kelapa sawit tersebut akan semakin berkurang. Selain itu,
dampak lainnya adalah meningkatkan gas rumah kaca dan membuat bumi Aceh Barat
kehilangan paru-parunya.

Dengan banyaknya dampak negatif dari aktifitas tanaman sawit seharusnya


dipertimbangkan ulang pembukaan hutan. Selain itu kita juga harus melakukan
konservasi hutan agar bisa melindungi kekayaan ekosistem.
Daftar Pustaka

Rukmini, Dewi. 2010. Atmosfer dan Hidrosfer. Jakarta Timur : CV Rama


Edukasitama

Mardalis. 2008. Metode Penelitian, Suatu Pendekatan Proposal, Ed. 1, Cet. 10,
Jakarta : Bumi Aksara.

Djumhur, I dan Moh. Surya. 1981. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah. Bandung:
CV Ilmu

Dinas Kehidupan Aceh Barat. 2014. Perkebunan.


http://acehbaratkab.go.id/perkebunan. diakses pada tanggal 11 Febuari 2015

http://siliwangi.weebly.com/blog/dampak-lingkungan-sosial-dan-ekonomi
perkebunan-sawit-di-indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemupukan tandan kosong


kelapa sawit (TKKS) dan limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) terhadap tanah,
pertumbuhan vegetatif tanaman, produktivitas tanaman dan mengetahui jenis limbah
pabrik kelapa sawit yang paling baik. Penelitian lapangan dilaksanakan mulai bulan
Oktober-Desember 2007. Lokasi penelitian dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara
VII (Persero) unit usaha Rejosari, Natar, Lampung Selatan.

Penelitian ini menggunakan kelapa sawit tanaman menghasilkan (TM) 23 yang sudah
diberi perlakuan: (1) Pemberian limbah padat tandan kosong sejak tahun 1998 yang
diberikan setahun sekali dengan dosis 20 ton/Ha. (2) Pemberian limbah cair kelapa
sawit sejak tahun 1998 yang diberikan setiap hari dengan dosis 4,25 m3/ha/hari. (3)
Pemupukan anorganik saja tanpa penambahan limbah pengolahan kelapa sawit
dengan dosis 2,75 kg/pohon Urea, 2,25 kg/pohon TSP, 2,25 kg/pohon MOP, 3,75
kg/pohon Dolomit per tahun aplikasi (Rekomendasi Pemupukan PTPN VII Unit
Usaha Rejosari tahun 2007). Masing-masing perlakuan diulang delapan kali dan
terdapat 10 tanaman sebagai sub sample pada setiap ulangan, memanfaatkan
hamparan pertanaman kelapa sawit TM 23.

Dari hasil penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (1) Aplikasi
limbah pabrik kelapa sawit (PKS) dapat meningkatkan kualitas sifat fisik, kimia dan
biologi tanah dan pertumbuhan sehingga produktivitas tanaman juga meningkat. (2)
Penggunaan limbah cair kelapa sawit meningkatkan jumlah tandan sebesar 54,89 %,
rerata berat tandan sebesar 8,9 % dan produktivitas sebesar 70,62 %. (3) Pemanfaatan
tandan kosong kelapa sawit meningkatkan jumlah tandan 18,6 %, rerata berat tandan
4,3 % dan produktivitas sebesar 25,03 %.

Anda mungkin juga menyukai