Anda di halaman 1dari 7

LAND AND WATER CONSERVATION

Oleh:
Geo Sanchis Hutapea (3211417041)
Allessandro Aryo Setyaki (3211417044)
Deliana Butar Butar (3211417071)
Fatharani Putri (3211417074)
Romi Fauzan Al Baihaki (3211417079)

Dosen Pengampu:
Dr., Ir. Ananto Aji, M.S.
Elok Surya Pratiwi, S.Si., M.Sc.

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
Pemanfaatan Legume Cover Crops (LCC) Mucuna bracteata dan Rorak
untuk Konservasi Tanah Dan Air Di Perkebunan Kelapa Sawit di
Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo

PENDAHULUAN

Pembukaan lahan perkebunan di Indonesia kerap dilakukan dengan penanaman


tanaman komoditas secara monokultur, salah satu komoditas yang banyak dikembangkan pada
perkebunan di Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan komoditas yang
memegang peranan penting di Indonesia. Kelapa sawit membutuhkan air dalam jumlah banyak
untuk mencukupi kebutuhan pertumbuhan dan produksi (Murtilaksono, H., & W., 2007).

Tanaman kelapa banyak dikembangkan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, dan saat
ini tanaman kelapa sawit juga dikembangkan di Pulau Sulawesi. Tanaman kelapa sawit
dikembangkan di Provinsi Gorontalo dibudidayakan tepatnya pada Kabupaten Pohuwato, yang
memiliki kondisi topografi secara umum variatif, yakni 0 – 200 m dpl tersebar di daerah pesisir
Teluk Tomini dominan meliputi wilayah Kecamatan Marisa, Duhiadaa, Patilanggio, Paguat,
dan Randangan. Sementara wilayah dengan topografi dominan pada ketinggian 200 – 500 m
dpl tersebar pada wilayah Kecamatan Lemito, dan Popayato Timur. Selain itu kondisi
topografi wilayah dengan ketinggian 500 – 1.000 mdpl dominan tersebar di wilayah Kecamatan
Popayato dan Taluditi. Sedangkan wilayah Kecamatan Popayato Barat sebagian wilayahnya
berada pada topografi dengan ketinggian 1.000 – 1.500 mdpl terutama area yang berbatasan
dengan Kabupaten Parigi Moutong. Untuk jenis tanah di Kabupaten Pohuwato didominasi
oleh jenis tanah andosol, laterit, grumusol, dan podsolik yang penyebarannya berada di wilayah
Kecamatan Popayato Timur, Lemito, Wanggarasi, Taluditi, Patilanggio dan Buntulia.
Sementara untuk jenis tanah regosol, litosol, organosol, dan renzina dominan tersebar di
wilayah Papayato Barat, dan Dengilo. Sedangkan untuk wilayah Kecamatan Marisa,
Duhiadaa, dan Paguat lebih didominasi oleh jenis tanah alluvial, glei planosol, hidromorf
kelabu laterit air tanah (Sanitasi, 2014). Kabupaten ini memiliki luas 53.000 Ha lahan sawit
yang terbesar di Provinsi Gorontalo dan akan terus bertambah selama masih ada lahan yang
memadai di sekitar Kabupaten Pohuwato. Faktor curah hujan yang tinggi, yaitu sebesar 2000
mm/tahun, juga menjadi salah satu faktor mengapa Kabupaten Pohuwato menjadi pilihan
lokasi yang strategis untuk membukan lahan perkebunan sawit. Pengembangan perkebunan
kelapa sawit di Provinsi Gorontalo khususnya di Kabupaten Pohuwato ini juga memberikan
peluang untuk peningkatan pendapatan asli daerah, karena karena kelapa sawit merupakan
salah satu unggulan perkebunan yang memainkan peranan penting dalam perekonomian bagi
suatu perusahaan.

Namun selain menguntungkan bagi pendapatan asli daerah Kabupaten Pohuwato,


perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pohuwato juga menimbulkan dampak negatif. Dampak
negatif tersebut diantaranya adalah erosi, hilangnya sejumlah sumber air sehingga memicu
kekeringan, berkurangnya kawasan resapan air, sehingga pada musim hujan akan
mengakibatkan banjir karena lahan tidak mempunyai kemampuan menyerap dan menahan air
(Lihawa & Utina, n.d.). Hal ini merupakan pengaruh praktik monokultur yang berada di
Kabupaten Pohuwato yang memiliki lahan berhektar-hektar dan hanya berisikan pepohonan
kelapa sawit. Dampak lain yang ditimbulkan dari perkebunan kelapa sawit yaitu merusak
ekosistem sungai di sekitar perkebunan kelapa sawit akibat tingginya pemakaian pupuk hingga
banyak nitrogen lepas ke sungai yang mengakibatkan lonjakan populasi beberapa jenis
ganggang. Hal ini menutup sungai hingga sungai kurang oksigen dan tak ramah bagi hewan air
(Mongabay, 2012).

Berdasarkan dampak negatif tersebut perlu dilakukan suatu upaya agar kerusakan alam
khususnya pada air dan tanah tidak semakin berlanjut, karena kerusakan alam tersebut bukan
hanya dapat menurunkan kualitas dan kuantitas hasil perkebunan kelapa sawit, namun lebih
jauh dapat menyebabkan kerugian bagi lingkungan dan masyarakat yang tinggal disekitar lahan
perkebunan Kelapa Sawit.
ISI

Permasalahan yang ditimbulkan oleh praktik monokultur perkebunan kelapa sawit di


Kabupaten Pohuwato dapat diatasi melalui pengaplikasian LCC, dan Rorak. Penanaman LCC
mampu memperbaiki kesuburan tanah, menekan pertumbuhan gulma di areal penanaman,
meningkatkan ketersediaan karbon dan nitrogen dalam tanah, serta mengurangi laju erosi.
Salah satu jenis LCC yang paling banyak digunakan di perkebunan kelapa sawit adalah
Mucuna bracteata, secara intiensif tanaman ini dapat berfungsi sebagai tanaman penutup tanah.
Daun Mucuna bracteata memiliki warna hijau tua berukuran sekitar 15 cm x 10 cm. Seperti
kebanyakan kacang-kacangan lainnya, daun Mucuna bracteata adalah trifoliat atau. Jika suhu
lingkungan terlalu tinggi, maka helaian daun akan menutup, biasa disebut dengan termonasti.
Keadaan Legume Cover Crop di Perkebunan Kelapa Sawit tersebut berfungsi dalam
mengurangi penguapan. Mucuna bracteata memiliki ketebalan vegetasi hingga 40-100 cm,
diukur dari permukaan tanah. Bahkan apabila situasi lingkungan dan aspek budidaya optimal,
laju penutupan pada masa awal penanaman mampu mencapai 2-3 m2 per bulan. Menurut
kriteria terhadap dampak baik bagi kesuburan tanah, Mucuna bracteata sangat tepat dipilih
sebagai tanaman penutup tanah. Mucuna bracteata mampu menghasilkan bahan organik yang
tinggi. Tanaman ini sangat tepat untuk budidaya tanaman perkebunan di daerah yang
cenderung mengalami kekeringan, tentunya di lahan yang kandungan bahan organiknya
rendah. Berkaitan dengan kandungan hara yang dihasilkan, Mucuna bracteata yang berada
pada naungan mampu menghasilkan serasah sebanyak 8,7 ton (setara 236 kg NPKMg,
konsentrasi N 75-83%), sedangkan pada areal terbuka sebanyak 19,6 ton (setara 513 kg
NPKMg, konsentrasi N 75-83%). Mucuna bracteata memberi peningkatan signifikan terhadap
kandungan C, P total, K tertukar, serta kadar pertukaran kation (KTK) dalam tanah. Hal
tersebut tentu lebih baik jika dibandingkan lahan yang ditumbuhi gulma (Ma’ruf, Zulia, &
Safruddin, 2017).

Selain pengaplikasian LCC, lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pohuwato


juga perlu dibuatkan rorak. Rorak adalah lubang-lubang buntu dengan ukuran tertentu yang
dibuat pada bidang olah dan sejajar dengan garis kontur. Pembuatan rorak sangat berguna
untuk mengatasi kelebihan air pada musim hujan dan menyediakan air pada saat musim
kemarau. (Siregar, A., & Z., 1996) menambahkan, selain berfungsi sebagi penyangga
pencucian pupuk, rorak juga berfungsi sebagai penampung cadangan air dan menjaga
kelembaban pertanaman pada musim kemarau. Rorak dibangun dengan panjang 8 m, lebar 0,4
m, dan dalam 0,6 m. Satu rorak digunakan untuk 3 tanaman dimana setiap rorak dibangun parit
overflow yang digunakan sebagai penghubung antar rorak dengan lebar 20 cm dan dalam 30
cm (Santoso, E., & W., 2013). Aplikasi rorak pada pertanaman kelapa sawit dapat
meningkatkan produksi tandan buah segar sebesar 23,6 ton/ha jika dibandingkan dengan tanpa
aplikasi rorak 20,8 ton per ha (Murtilaksono, 2008).
KESIMPULAN

Kelapa sawit adalah tanaman yang memiliki banyak sekali kegunaan, di antaranya
adalah sebagai bahan bakar, minyak masak, dan minyak industri. Kegunaan yang sangat
banyak ini mendorong banyak pihak untuk melakukan bisnis di perkebunan sawit. Dalam
rangka peningkatan hasil produksi setiap tahunnya, tentu lahan yang lebih luas diperlukan. Hal
ini menyebabkan banyak hutan dan perkebunan tanaman lainnya dikonversi menjadi
perkebunan kelapa sawit.

Peningkatan jumlah perkebunan kelapa sawit ternyata tidak hanya mengundang pundi-
pundi rupiah, namun mengundang juga berbagai macam permasalahan lingkungan. Seperti
tingkat erosi yang tinggi, kualitas kesuburan tanah yang menurun, dan kemampuan tanah untuk
menahan air hujan semakin rendah. Permasalahan seperti ini tentu tidak hanya berpengaruh
bagi pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, teteapi juga sangat berpengaruh bagi masyarakat
yang tinggal di area sekitar perkebunan kelapa sawit. Banyak dari mereka yang tinggal
perkebunan kelapa sawit mengalami kekeringan akibat dari hilangnya beberapa sumber air
karena kualitas tanah semakin menurun.

Untuk menangani permasalahan ini, kami menganggap bahwa penanaman Legume


Cover Crop atau LCC dan pembuatan rorak adalah solusi yang paling tepat untuk dilakukan.
LCC yang kami maksud di sini adalah Mucuna bracteata yang sangat cocok untuk
meningkatkan kondisi lahan kritis dengan memproduksi serasah dan nitrogen yang dibutuhkan
oleh tanaman kelapa sawit dan tanah. Selain itu juga pembuatan rorak sangat cocok untuk
pemusatan kelebihan air pada saat musim hujan.

Dengan pengaplikasian LCC dan Rorak tersebut maka penggunaan pupuk kimia
khususnya nitrogen dapat diminimalisir dan bahkan dapat dihentikan. Hal ini dapat terjadi
karena LCC yang menggunakan tanaman Mucuna bracteata dapat menghasilkan cukup
nitrogen yang dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit dan rorak yang ada dapat menjadi sebuah
penampung serasah dari dedaunan yang membusuk yang mana dapat menjadi bahan organik
yang dapat menyuburkan tanaman kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA
Lihawa, F., & Utina, Y. (n.d.). PREDIKSI DAMPAK EROSI PERMUKAAN PADA PEMBANGUNAN
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI KABUPATEN POHUWATO.
Ma’ruf, A., Zulia, C., & Safruddin. (2017). Legume Cover Crop di Perkebunan Kelapa Sawit.
Forthisa Karya.
Mongabay. (2012). Rugikan Rakyat dan Ekologi, Hentikan Pengembangan Pangan Monokultur.
Retrieved from https://www.mongabay.co.id/2012/09/21/rugikan-rakyat-dan-ekologi-hentikan-
pengembangan-pangan-monokultur/
Murtilaksono, K. (2008). Upaya Peningkatan Produksi Kelapa Sawit melalui Penerapan Teknik
Konservasi Tanah dan Air. Jurnal Tanah Tropika, Vol. 14 (2, 135–142.
Murtilaksono, K., H., H. S., & W., D. (2007). Water balance model in oil palm plantation. J.
Penelitian Kelapa Sawit, 15, 21–35.
Sanitasi. (2014). Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Pohuwato Tahun 2014.
Santoso, H. S., E., S. S., & W., D. (2013). Pengelolaan Tanah dam Penggunaan Pupuk NPK Palmo
pada Tanah Spodosols di PT Bumitama Gunajaya Agro. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Siregar, H., A., P., & Z., P. (1996). Kajian Modifikasi Iklim Mikro dan Masalah Kekeringan pada
Pertanaman Kelapa Sawit. Warta PPKS, Vol 4. No., 137–142.

Anda mungkin juga menyukai