Anda di halaman 1dari 20

KELEMBAGAAN PENUNJANG PEMBANGUNAN PERKEBUNAN PADA KASUS KOMODITAS KELAPA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Agribisnis Tanaman Perkebunan

Disusun Oleh Kelopok 2:

Yogiandre Ravenalla Wendi Irawan D Manissa Laras P Radifan Rahendianto

150310080136 150310080137 150310080148 150310080163

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2011

KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas Kelembagaan Penunjang Pada Pembanguinan Perkebunan Pada Kasus Komoditas Kelapa, suatu permasalahan yang selalu dialami di setiap subsistem umumnya selalu terdapat penyelesaian namun apa peran lembaga terkait untuk membantu memecahkan masalah dalam subsistem perkebunan tersebut. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah di masing-masing subsistem dalam perkebunan yang ada di Indonesia khususnya untuk komoditas unggulan kelapa di Jawa Barat. Serta lembaga apa saja yang ikut serta dalam menunjang pembangunan perkebunan kelapa di Jawa Barat . Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat,

Bandung, 11 Maret 2011

BAB I PENDAHULUAN
2.3.2 Latar Belakang Kelapa (Cocos nucifera) merupakan tanaman perkebunan atau industri berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Kelapa ini banyak terdapat di negara-negara Asia yang menghasilkan 52.127.000 ton (85,32%) produksi dunia dalam bentuk kelapa segar dengan luas 9.361.000 ha (2008). Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terluas dunia pada urutan ke-2 menurut data rata-rata FAO 2004-2008 yang tersebar di Riau, Sulut, Jatim, Jateng, Jabar, Sulteng, Sulsel, Lampung, Jambi dan Maluku, tapi produksinya paling tinggi di dunia yaitu sebesar 18,16 juta ton. Kelapa merupakan komoditas unggulan Jawa Barat yang memiliki produktivitas 150.818 ton pada tahun 2008. Dengan luas perkebunan mencapai 186.030 ha yang di gunakan untuk komoditas kelapa itu sendiri. Potensi pengembangan komoditas kelapa yang terbesar ialah Kabupaten Ciamis yaitu sebesar 70.315 ha luas lahan yang di gunakan. Hampir disetiap perkarangan rumah di Kabupaten ciamis terdapat tanaman kelapa.

2.3.2

Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan di buatnya makalah ini adalah untuk mengamati lebih jauh permasalahan-permasalahan yang ada pada tiap subsistem dalam perkebunan kelapa di Jawa Barat ini yang memiliki komoditas unggulan salah satunya ialah kelapa. Juga menganalisis bagaimana peran lembaga lembaga terkait yang turut membantu pembangunan perkebunan di daerah Jawa Barat khususnya kelapa dalam menyelesaikan permasalahan yang ada pada tiap subsistem.

2.3.2

Metode Penulisan Makalah ini dibuat berdasarkan literatur dan studi pustaka dari berbagai media yaitu media cetak seperti surat kabar, buku, dan makalah penelitian maupun media elektronik seperti internet. .

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Agribisnis Kelapa Di Indonesia Tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa kelapa merupakan komoditas yang paling luas penyebarannya di wilayah Nusantara. Kelapa merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dengan peran yang berbeda-beda, mulai dari untuk pemenuhan kebutuhan sosial dan budaya sampai untuk kepentingan ekonomi, sehingga dijuluki tree of life, pohon kehidupan. Status yang demikian membuat bentuk usaha tani kelapa yang berkembang di masyarakat berbedabeda pula, bergantung pada tujuan yang mendasarinya. Areal kelapa yang mencapai 3,74 juta ha atau 27% dari total areal perkebunan merupakan tanaman perkebunan yang terluas saat ini (Tondok 1998). Luasan ini tentunya tidak termasuk tanaman kelapa yang tumbuh dan berkembang secara alami di berbagai pulau yang dihuni atau tidak dihuni oleh manusia. Sekitar 3,59 juta ha atau 96% merupakan perkebunan rakyat yang diusahakan secara monokultur atau polikultur dan atau pekarangan, dengan melibatkan sekitar 20 juta jiwa (Kasryno et al. 1998, Sulistyo 1998). Produktivitas aktual perkebunan kelapa rakyat masih sangat rendah karena diusahakan secara tradisional. Perkembangan usaha tani kelapa sangat lambat atau tidak ada perkembangan sama sekali. Tragisnya, nilai tukar produk utama kelapa malah menurun dengan munculnya substitusi dari komoditas lain. Lambatnya perkembangan usaha tani kelapa bukanlah disebabkan tidak tersedianya teknologi, tetapi lebih ditentukan oleh status petani dan status kelapa itu sendiri. Tingkat pendidikan, wawasan, dan ekonomi petani sangat

mempengaruhi perkembangan usaha tani kelapa, demikian pula dengan asal muasal dari kebun tersebut. Petani yang memperoleh kebun kelapa dari warisan biasanya hanya memungut hasilnya saja, tidak akan memperhatikan pemeliharaannya. Berbeda dengan petani yang membangun kebun kelapa

dengan menanam sendiri akan mengurus kebunnya dengan baik. Kondisi yang demikian diperburuk lagi oleh karakter yang dimiliki tanaman kelapa. Kelapa Dalam lokal dengan proporsi 95,8% dari luas areal kelapa di Indonesia, dalam kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai akan tetap berbuah walaupun tidak dipelihara. Banyak lagi karakter lain yang tidak merangsang petani untuk melakukan pemeliharaan. Kenyataan ini sangat kontroversial bila dibandingkan dengan potensi sumber daya fisik dan biologik yang dimiliki oleh perkebunan kelapa untuk dikembangkan menjadi usaha yang padat teknologi, padat modal, dan sekaligus padat karya, yang barangkali tidak dijumpai pada komoditas perkebunan lainnya. Mayang dan buah kelapa dapat menghasilkan berbagai produk primer dan sekunder, bahkan produk tersier untuk keperluan pasar domestik dan ekspor. Batangnya untuk kayu pertukangan, bagian tanaman yang lain dipakai untuk keperluan sosial dan budaya, sedangkan lahan di antara pohon kelapa sangat potensial untuk kegiatan usaha tani lain, seperti penanaman tanaman sela dan peternakan. 2.1.1. Potensi Perkebunan Kelapa Luas Areal Kelapa diusahakan di seluruh provinsi di Indonesia yang tersebar pada ketinggian 0-700 m dpl, pada tanah mineral sampai tanah gambut, beriklim basah sampai kering. Areal terkonsentrasi di tiga wilayah, yaitu Sumatera (32,8%), Jawa dan Bali (26,2%), serta Sulawesi (18,4%). Data sementara menunjukkan bahwa luas areal kelapa tahun 1996 mencapai 3.745.486 ha, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan areal kelapa terluas dan sekitar sepertiga areal kelapa dunia berada di Indonesia. Kelapa yang diusahakan sebagian besar adalah kelapa Dalam lokal (95,8 %), sedangkan sisanya adalah kelapa hibrida terutama kultivar PB-121. Dalam kurun 30 tahun (1967-1996), luas areal kelapa bertambah dengan laju pertumbuhan 3,1%/tahun.

Produksi Produksi kelapa secara nasional meningkat rata-rata 3,0%/tahun dalam periode 1967-1996. Pada tahun 1996, produksi kelapa Indonesia mencapai 2.718.902 tonsetara kopra. Peningkatan produksi ini terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal sebesar 3,1%. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa produktivitas tanaman kelapa Dalam yang relatif tetap pada tingkat 1,1 ton setara kopra/ha/tahun, sedang kelapa hibrida selama 3 tahun terakhir telah melampui 1 ton setara kopra/ ha. Pada perkebunan besar negara dan swasta justru terjadi penurunan produktivitas rata-rata terutama 8 tahun terakhir. Potensi Lahan Pengusahaan kelapa secara monokultur tidak efisien dalam memanfaatkan potensi lahan dan tenaga kerja keluarga yang tersedia. Tanaman kelapa umumnya ditanam dengan jarak berkisar antara 7 m x 7 m sampai 10 m x 10 m untuk kelapa Dalam dengan kepadatan ratarata sekitar 130-180 pohon/ha. Tanaman kelapa yang diusahakan secara intensif pada kondisi optimal menghasilkan buah sekitar 100-200 butir/ pohon/tahun. Produksi bahan kering tahunan sekitar 5,1-9,7 g/m2/hari. Laju tumbuh tanaman pada lingkungan yang optimal berkisar antara 15 -35 g/m2/hari (De Vries dalam Akuba dan Rumokoi 1997). Laju produksi bahan kering berbanding lurus dengan energi radiasi surya yang dimanfaatkan, sehingga data yang dikemukakan menggambarkan bahwa tanaman kelapa yang diusahakan secara monokultur walaupun dengan masukan yang tinggi, tidak efisien dalam memanfaatkan radiasi surya. Radiasi surya yang diteruskan dan tidak dicegat oleh tanaman berkisar antara 5-85%, bergantung pada umur tanaman. Tanaman kelapa hanya menggunakan 30-40% dari ruang di atas tanah (air space) selama hidupnya, yang berarti tingkat penutupan rendah, sehingga risiko pencucian unsur hara melalui erosi tinggi. Kedalaman akar terkonsentrasi pada lapisan tanah setebal 30-120 cm dalam radius 2 m (Reynolds 1995), yang berarti ada sekitar 70-75% tanah tidak digunakan. Anilkumar dan Wahid (1988) dengan

menggunakan isotop P untuk menentukan pola aktivitas akar tanaman berumur 9 tahun, mendapatkan 80% akar aktif berada pada radius 2 m sekitar pohon pada kedalaman 25-60 cm. Hal ini berarti efisiensi penggunaan lahan oleh tanaman kelapa sangat rendah dan berdampak terhadap penggunaan tenaga kerja yang tidak efisien. Efisiensi penggunaan tenaga kerja pada pengusahaan kelapa monokultur rendah. Hasil penelitian di Sulawesi Utara menunjukkan bahwa tenaga kerja keluarga yang tersedia rata-rata di daerah sentra produksi sebanyak 51 HOK/bulan. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha tani kelapa dan usaha tani lainnya sebanyak 24,7 HOK/bulan atau 48,4% dari tenaga kerja tersedia. Jumlah jam kerja berkisar antara 2-8 jam/hari (Akuba et al. 1992). Pengusahaan kelapa produktif yang intensif memerlukan tenaga kerja rata-rata 120 HOK/ha/tahun. Fattah (1984) menyatakan bahwa di Sulawesi Tengah, tenaga kerja yang digunakan dalam pengusahaan kelapa sebanyak 62,6 HOK/ha/ tahun dan 45 HOK di antaranya adalah tenaga kerja keluarga. Gambaran kelebihan tenaga kerja umumnya hanya terjadi di daerah pertanaman kelapa di lahan kering, sebaliknya di lahan pasang surut terjadi kelangkaan tenaga kerja. Tanaman Sela dan Ternak Pertanaman kelapa monokultur menyediakan lahan dan ruang yang luas di atas tanah. Lahan yang tersisa tersebut dapat dimanfaatkan untuk tanaman sela dan ternak. Masalah yang dihadapi adalah kurangnya radiasi surya akibat naungan dari tajuk kelapa yang berpengaruh terhadap unsur iklim mikro lainnya seperti suhu, kelembapan udara, dan angin. Jenis tanaman dan ternak yang diintroduksi harus memenuhi persyaratan berikut: 1. Tanaman sela tidak lebih tinggi dari tanaman kelapa selama periode pertumbuhannya, serta sistem perakaran dan tajuknya menempati horison tanah dan ruang di atas tanah yang berbeda.

2. Tanaman sela tidak merupakan tanaman inang bagi hama dan penyakit kelapa yang berbahaya, dan tanaman sela tidak peka dari tanaman kelapa terhadap serangan hama dan penyakit tersebut. 3. Pengelolaan tanaman sela dan ternak tidak menyebabkan kerusakan tanaman kelapa, terjadinya erosi, dan kerusakan tanah. 4. Tanaman sela sesuai untuk diusahakan pada ketinggian 0-500 m dpl, dengan kisaran curah hujan 1.500-3.500 mm/ tahun dan bulan kering (curah hujan <130 mm) maksimal 3 bulan berturutturut. 5. Tanaman sela toleran terhadap naungan dengan intensitas radiasi 50-200 W/ m2, suhu rata-rata 25o-27o C, dan kelembapan 80%.

Pengembangan tanaman sela dan ternak di bawah kelapa memiliki beberapa keuntungan, yaitu: (1) meningkatkan dan menganekaragamkan sumber pendapatan petani; (2) meningkatkan hasil pertanian dan produksi pangan; (3) memperkecil biaya pemeliharaan tanaman kelapa; (4) mempersingkat waktu berbuah kelapa karena pertumbuhan yang baik; (5) memperluas kesempatan kerja di pedesaan; (6) memperkecil risiko kerusakan akibat serangan hama dan penyakit; (7) meningkatkan dan mempertahankan kesuburan tanah serta memperkecil erosi; (8) naungan kelapa berpengaruh positif terhadap ternak akibat menurunnya suhu sehingga ternak terhindar dari cekaman panas; dan (9) limbah hasil pertanian meningkat yang dapat digunakan sebagai pakan. Hasil Samping Sasaran pengembangan agroindustri di pedesaan antara lain adalah untuk menjamin pemasaran produk petani dan meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan petani. Ketersediaan teknologi tepat guna skala pedesaan yang diintegrasikan dengan industri yang lebih besar atau industri pengolahan lanjut akan memungkinkan

pengembangan pola-pola kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pihak industri. Perkembangan teknologi telah mengubah arah industri

pengolahan daging kelapa dari minyak makan menjadi produk-produk

pangan lain dan industri kimia yang memiliki nilai tambah tinggi. Di samping itu, telah berkembang teknologi pemanfaatan bagian lain tanaman kelapa yang semula merupakan limbah menjadi produkproduk yang memiliki pasar, baik di dalam negeri maupun ekspor, seperti sabut, tempurung, nata de coco, mebel, gula, dan alkohol. Tersedianya teknologi skala kecil yang efisien, baik yang menghasilkan produk akhir maupun produk antara untuk diolah lebih lanjut dalam industri besar, memungkinkan pengembangan agroindustri hingga ke pedesaan. Berbagai teknologi telah dikembangkan untuk mengolah produk-produk dari kelapa di luar minyak, tetapi tingkat investasinya relatif masih terbatas. Salah satu kelebihan kelapa adalah

memungkinkan dibangun suatu industri terpadu mulai dari produk sekunder hingga produk akhir. Industri berbahan baku kelapa dengan produk utama bukan minyak makan baru terdapat di beberapa daerah seperti Riau, Lampung, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Selatan. Meskipun berbagai teknologi produk berbahan baku kelapa telah tersedia dan beberapa pabrik telah beroperasi, ternyata petani belum dapat merasakan manfaat dari peningkatan nilai tambah tersebut. Petani baru berperan sebagai penyedia bahan baku, berupa kopra atau kelapa butiran segar bagi industri pengolahan. Pemerintah telah

mengembangkan pola-pola kemitraan antara petani dan investor seperti PIR kelapa, tetapi ternyata belum membuka peluang bagi petani untuk ikut memperoleh manfaat dari peningkatan nilai tambah yang ditimbulkan oleh industri. Dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pengembangan agroindustri berbasis kelapa di pedesaan, teknologi hasil kegiatan penelitian dapat menjadi faktor kunci. Ketersediaan teknologi tepat guna skala pedesaan yang diintegrasikan dengan industri yang lebih besar atau industri pengolahan lanjut, akan memungkinkan pengembangan pola-pola kemitraan yang saling menguntungkan antara petani dan pihak industri. Dengan demikian, akan tercipta suatu sistem agroindustri yang

memungkinkan petani dan pengusaha menikmati nilai tambah secara adil dan wajar. Manfaat Lain Sampai dengan Pelita VI, kultivar-kultivar kelapa yang

dikembangkan sangat terbatas pada kelapa Dalam dan hibrida. Penggunaan kultivar-kultivar ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kelapa yang pada umumnya menghasilkan produk tradisional seperti minyak kelapa dan kelapa parut kering. Akibat peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perkembangan teknologi, produk-produk yang dibutuhkan makin beragam. Hal ini menghendaki karakteristik kelapa yang berbeda. Kelapa tidak hanya diperlukan untuk industri pangan dan nonpangan, tetapi juga berfungsi sebagai tanaman hias dan minuman penyegar. Kultivar kelapa yang cocok untuk kedua fungsi ini adalah kelapa Genjah karena karakteristik yang dimilikinya, yaitu penampilan tanaman yang berbatang pendek dan mahkota daun yang lebih kecil daripada kelapa Dalam dan hibrida. Ukuran buah kecil, warna buah menarik, daging dan air buah berasa manis, serta berbuah lebih cepat. Kultivar kelapa Genjah yang telah dikoleksi di Instalasi Penelitian Kelapa Mapanget, Sulawesi Utara sebanyak 19 kultivar. Kultivarkultivar tersebut di arahkan pengembangannya ke pinggiran kota, daerah wisata, dan lahan pekarangan.

2.2

Permasalahan Masing-Masing Komoditas (6 Sub-Sistem)

2.2.1. Pengadaan Dan Penyaluran Saprotan Para petani kelapa di Jawa Barat masih susah untuk mendapatkan bibit unggul. Terjadinya alih fungsi lahan perkebunan kelapa, seperti dijadikan arena balapan kuda. Usaha pengendalian hama dan penyakit yang menimbulkan kerugian pada kelapa belum dilakukan oleh petani kelapa karena keterbatasan pengetahuan, alat serta bahan. 2.2.2. Budidaya Dan Usahatani Sejak beberapa dekade belakangan ini dirasa tidak ada kepedulian dan keberpihakan pemerintah, dalam upaya mengembangkan budidaya tanaman kelapa di Indonesia. Dibanding negara lain, dalam pengembangan budidaya tanaman kelapa di Indonesia, kelemahannya ada di peraturan. Jadi peraturan yang dibuat pemerintah kurang mendukung pengembangan budidaya tanaman kelapa. Seharusnya pemerintah memberi kemudahan, proteksi, dan ada keberpihakan serta kepedulian terhadap upaya pengembangan budidaya tanaman kelapa. Tingkat ketahanan kelapa hybrida lebih rendah dibanding kelapa lokal, ketika tanaman ini tergenang air hanya beberapa hari saja, daunnya sudah menguning dan hampir mati. Tidak demikian halnya dengan kelapa lokal, memiliki tingkat ketahanan yang lebih tinggi. Pemeliharaannya pun tidak terlalu rumit. Sepanjang drainasenya lancar, diberi garam bercampur turusi, tanaman kelapa lokal mampu berproduksi tinggi, umur kelapa lokal juga lebih panjang dan pemeliharaannya yang tidak rumit sedangkan kelapa hybrida umurnya lebih pendek dan harus diberi pupuk supaya subur dan berbuah banyak. Sementara ini tanaman kelapa di Indonesia masih dianggap sebagai tanaman keturunan dari orang tua dan tidak ada peremajaan sama sekali, sehingga tingkat produktifitasnya juga menurun.

2.2.3. Pengolahan Hasil Atau Agroindustri Pengolahan kelapa di tingkat petani terbatas pada pengolahan kopra atau minyak kelapa ataupun kelapa dijual dalam bentuk butiran. Tidak adanya perkembangan bahkan makin sedikitnya Industri hulu kelapa dalam rangkaian industri kelapa, meliputi kelapa segar, kopra hitam dan putih. Sedangkan industri kelapa antara merupakan industri kelapa yang memproses bahan baku menjadi produk-produk turunan, seperti tempurung kelapa, copra meal, desiccated coconut. Permasalahan yang dihadapi industri pengolahan kelapa yaitu persoalan bahan baku. Saat ini tingkat pertanaman kelapa yang tidak produktif karena sudah tua dan rusak mencapai 30/o-40% dari areal perkebunan kelapa rakyat. Produktivitas tanaman kelapa masih sangat rendah, yaitu sekitar 4.200 butir/ha atau setara 0,83 ton kopra/ha. Pasokan bahan baku terbatas dari segi jumlah maupun mutu. Pemanfaatan kayu kelapa belum dimaksimalkan dengan baik atau masih kurangnya konsep bagaimana memanfaatkan batang kelapa Harga nominal kelapa relatif makin turun, sehingga pertambahan input tidak akan meningkatkan nilai tambah. Utilitas kapasitas produksi Industri olahan kelapa masih rendah sekitar 40%. Produk olahan kelapa yang dihasilkan hanya belasan jenis, sedangkan di Filipina mencapai 100 jenis produk. 2.2.4. Pemasaran Hasil Harga juah buah kelapa lokal juga lebih tinggi dibandingkan dengan harga jual buah kelapa hybrida. Alasannya terletak pada besar ukuran dan kandungan santan yang dimiliki. Kata sebagian petani, santan kelapa hybrida jauh lebih encer dibandingkan dengan santan kelapa lokal. Karena itu, di tengah masyarakat sangat jarang ada warga yang menjual santan parut dari kelapa hybrida. Di bidang pemasaran kendala yang ada, industri kelapa kalah bersaing dengan minyak goreng sawit Kontribusi minyak goreng kelapa hanya 0,4 juta ton atau 12% dari konsumsi minyak goreng nasional yang jumlahnya mencapai 3,3 juta ton. Pada tahun 2006 nilai ekspor produk

kelapa mencapai USD364.575 yang sebagian besar masih dalam bentuk produk primer. Adanya Isu kandungan aflatoxin yang tinggi pada kopra dan minyak kelapa yang menggunakan bahan baku kopra hitam dari UE, dapat menghambat ekspor minyak kelapa ke pasar tradisional USA dan UE. Jaringan pemasaran kopra dan minyak goreng kelapa dum, kebanyakan dikuasai oleh para broker, sementara pasar produk-produk turunan kelapa dunia secara umum dikuasai Filipina. 2.2.5. Prasarana Terbatasnya infrastruktur seperti kurangnya pasokan listrik, sarana jalan, transportasi, telekomunikasi, pelabuhan, dll. Sarana informasi yang masih terbatas membuat petani kelapa minim akan informasi pasar sehingga petani hanya sebagai penerima harga dan bukan sebagai pembuat harga. Sarana pendidikan seperti pelatihan atau pemberdayaan yang minim daya nalar petani kita umumnya belum mampu memasukkan pertmbangan-pertimbangan ekonomi dalam pengelolaan usahataninya Mereka sulit memahami bahwa kelapanya yang sudah tua tetapi tetap berbuah, sebenarnya sudah tidak efisien dan ekonomis lagi. Disamping itu, tidak mudah bagi mereka untuk membayangkan prospek jauh kedepan dari program dari lembaga terkait yang ditawarkan. 2.2.6. Kelembagaan Penunjang Kurangnya perhatian pemerintah terhadap lembaga penelitian, selain lembaga penelitian kelapa tidak diurusi, tenaga ahli peneliti kelapa juga tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Akibatnya para peneliti utama harus bekerja keras di luar penelitian, guna mendapatkan tambahan pendapatan. Keberadaan asosiasi petani sebagai wadah petani dalam melayani kebutuhan ataupun memperjuangkan aspirasi petani berkaitan dengan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani belum dirasakan manfaatnya oleh anggota.

aktivitas asosiasi petani juga masih sangat tergantung dari fasilitas Pemerintah. Ini menunjukkan karena ketidakmampuan asosiasi petani untuk menggali sumber pendanaan. Kondisi seperti ini disebabkan karena adanya berbagai kendala yang dihadapi seperti belum tersedianya perangkat pendukung organisasi baik fisik maupun finansial, keterbatasan penguasaan teknologi, akses terhadap sumber permodalan dan pasar serta terbatasnya kapabilitas pengurus.

2.3

Peran Kelembagaan Dalam Memecahkan Masalah Yang Dihadapi Di Setiap Sub Sistem

2.3.1 Peran Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Pengadaan Saprotan Dinas perkebunan menggalakan program penyediaan benih jangka pendek dapat dilakukan melalui pemanfaatan kelapa Dalam unggul lokal, pemerintah memberikan bantuan untuk kekurangan akan bibit tersebut untuk mencegah alih fungsi lahan perkebunan kelapa yang terus meningkat. Departemen Pertanian berusaha untuk menyediakan bibit unggul yang berasal dari kebun induk, terutama kebun induk kelapa Dalam komposit (KIKDK). Pembangunan Kebun Induk Kelapa Dalam Komposit dilakukan dalam bentuk waralaba benih di mana petani, pengusaha PEMDA dan pengguna lainnya sebagai penerima waralaba dan Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma sebagai pemberi waralaba. Pembangunan KIKDK dengan mengikutsertakan

petani/asosiasi petani dan PEMDA akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, meningkatkan pendapatan,

mendorong komersialisasi perbenihan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah serta mendukung percepatan pelaksanaan otonomi daerah. Departemen Pertanian bekerja sama dengan Pemerintah Daerah secara bertahap berusaha untuk melakukan penyuluhan tentang cara pengendalian hama dan penyakit kepada para petani kelapa kemudian

menyediakan alat dan bahan untuk pengendalian hama dan penyakit tersebut. 2.3.2 Peran Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Budidaya Asosiasi petani kelapa mendesak pemerintah agar melakukan intervensi terhadap pengembangan budidaya kelapa dengan membuat strategi dan kebijaksanaan yang sesuai dengan kondisi dewasa ini dan perkembangan situasi pada waktu mendatang yang bertumpu pada mekanisme pasar. Departemen Pertanian melalui Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian terus melakukan pengembangan benih agar menghasilkan benih unggul bagi petani. Departemen pertanian juga berusaha untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melakukan budidaya kelapa khususnya pada budidaya kelapa hibrida yang membutuhkan penanganan yang lebih baik dari petani. Pemerintah daerah berusaha menjembatani pembangunan kemitraan dalam bentuk usaha bersama antara pengusaha dengan petani kelapa sehingga para petani tertarik untuk mengembangkan dan

membudidayakan pohon kelapa yang dimilikinya. 2.3.3 Peran Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Pengelolaan Hasil Pemerintah melalui Departemen pertanian berusaha meningkatkan produktivitas kelapa melalui program intensifikasi, rehabilitasi, dan peremajaan; khusus program peremajaan diintegrasikan dengan pengembangan industri mebel dan rumah dari kayu kelapa. Pemerintah daerah berusahan memfasilitasi dan merangsang investasi perusahaan swasta atau BUMN dalam membangun industri kelapa terpadu dan/atau parsial. Departemen Pertanian melakukan Inventarisasi dan konsolidasi areal perkebunan kelapa ke dalam unit-unit manajemen yang memenuhi skala ekonomis untuk pengembangan industri kelapa terpadu di setiap sentra produksi kelapa dalam bentuk Kawasan Agribisnis Masyarakat Perkebunan (KAMBUN) sebagai media pengembangan agribisnis kelapa terpadu.

Departemen Pertanian menentukan dan menetapkan lokasi-lokasi industri kelapa terpadu dalam Kawasan Agribisnis Masyarakat Perkebunan (KAMBUN) di setiap sentra produksi kelapa dengan kriteria utamanya adalah daya saing dari produk yang dihasilkan, baik terhadap produk subtitusinya di dalam negeri maupun produk impor.

2.3.4 Peran Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Pemasaran Hasil Pemerintah meberlakukan kebijakan fiskal berupa keringanan pajak dan restribusi yang memberatkan usaha agribisnis perkelapaan. Departemen Pertanian mengembangkan networking antar asosiasi petani, antar asosiasi petani dengan asosiasi perusahaan pengolahan, dan pelaku-pelaku lainnya dalam sistem agribisnis kelapa. Departemen Pertanian membangun kelembagaan semacam Coconut Board sebagai services provider bagi para pelaku dalam usaha dan sistem agribisnis perkelapaan. 2.3.5 Peran Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Prasarana Institute pendidikan seperti (IPB) yang membantu menciptakan alat pengiris untuk memproduksi gula kelapa. FAO (food Agriculture Organization) dalam membantu penyediaan sarana teknologi untuk pengolahan bahan baku kelapa menjadi gula kelapa pada kabupaten banjar. 2.3.6 Peran Kelembagaan Di Dalam Pemecahan Masalah Kelembagaan Penunjang Pemerintah Daerah dan Departemen pertanian mengembangkan kelembagaan petani sebagai media untuk mengembangkan organisasi pengelolaan perkebunan kelapa yang efisien, produktif dan progresif, khususnya dalam hal penerapan teknologi baru atau pola

pengembangan perkebunan yang baru, serta sebagai media negosiasi yang kuat dengan mitra bisnis dalam bekerjasama.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Perkebunan. 1996. Statistik Perkebunan Indonesia. Kelapa. Anonim. 2005. Prospek dan Arahan Pengembangan Agribisnis Kelapa. http://www.litbang.deptan.go.id/special/komoditas/b4kelapa (Diakses pada tanggal 10 Maret 2011). Anonim. 2008. Agribisnis Kelapa. www.scribd.com/doc/47404768/Agribisniskelapa (Diakses pada tanggal 10 Maret 2011).

LAMPIRAN

Sebaran areal dan produksi kelapa berdasarkan wilayah pengembangan

Anda mungkin juga menyukai