Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

KONSERVASI TANAH DAN AIR

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS ILMU ALAM DAN TEKNOLOGI REKAYASA
UNIVERSITAS HALMAHERA
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa penulis
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa
bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Tobelo, 09 Desember  2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PEMBAHASAN
I. PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR OLEH MASYARAKAT DI
DESA BONTO SOMBA HULU DAS MAROS
II. KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA LAHAN KRITIS KONSERVASI
III. LAHAN PERTANIAN BERBASIS EKOLOGI DI KAWASAN DATARAN TINGGI
DIENG WONOSOBO
IV. PERMASALAHAN DAN TANTANGAN KONSERVASI TANAH DAN AIR
PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR OLEH MASYARAKAT
DI DESA BONTO SOMBA HULU DAS MAROS
Oleh : RAHMADANI

Pembangunan nasional dewasa saat ini memiliki peningkatan taraf hidup dan
kesejahteraan masyarakat diupayakan secara terus menerus di segala bidang. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi yang semakin cepat dan pada akhirnya membawa
tantangan, ancaman serta peluang bagi masyarakat. Demikian pula halnya pembangunan di
sektor pertanian dan kehutanan yang harus mengikuti era tersebut sehingga harus di
kelola secara bersinergi dan berwawasan lingkungan sesuai dengan potensi sumber daya
alam yang ada agar dapat memperoleh hasil yang maksimal. Pemanfaatan lahan yang terus
menerus mengalami peningkatan akibat dari pembangunan nasional, tidak bisa ditunda
lagi. Hal ini harus disesuaikan dengan konsep pembangunan yang merata dan
berkesinambungan. Karena tanpa diimbangi dengan asas kelestarian hutan khususnya
dalam penerapan teknik konservasi tanah dan air (KTA) dapat menjadi faktor utama
penyebab terjadinya bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang pada akhirnya akan
menimbulkan kerugian terhadap masyarakat bahkan akan mengancam keselamatan
manusia. Dampak khusus dari kondisi tersebut menyebabkan lahan kritis semakin
bertambah. Pertambahan penduduk yang terus meningkat umumnya tidak sejalan dengan
laju penyediaan sumber daya alam sehingga akan menyebabkan ketersediaannya terutama
lahan menjadi semakin langka dan terbatas. Hal ini diperparah lagi apabila masyarakat
memanfaatkan lahan pada daerah yang curam dan sangat curam terutama di hulu Daerah
Aliran Sungai (DAS) tanpa diikuti dengan penerapan teknik konservasi tanah dan air yang
benar. Jariyah (2014), permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk.
Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat dipengaruhi oleh bagian hulu, kondisi biofisik daerah
tangkapan dan daerah resapan air. Pada umumnya kondisi di daerah hulu rawan terhadap
gangguan manusia. Pengelolaan DAS bagian hulu sering menjadi fokus perhatian,
mengingat kawasan DAS bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui
daur hidrologi, sehingga kesalahan penggunaan lahan daerah hulu akan berdampak pada
masyarakat di daerah hilir (Jariyah, 2014). Pemanfaatan lahan di setiap daerah berbeda
karena memiliki karakteristik yang khas disebut tipologi. Tipologi diartikan sebagai
pengelompokkan wilayah berdasarkan karakteristik tertentu yang dibangun berdasarkan
karakteristik biofisik dan sosial ekonomi masyarakat. Tipologi merupakan suatu
pengklasifikasian atau pengelompokan obyek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar
menjadi tipe-tipe tertentu (Rijal, dkk. 2016). Masyarakat yang bertempat tinggal di Desa
Bonto Somba Hulu DAS Maros umumnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda dalam
hal penerapan konservasi tanah dan air. Karakter sosial ekonomi ini merupakan salah satu
indikator yang dapat dipertimbangkan dalam penerapan teknik konservasi tanah dan air
berbasis tipologi masyarakat di Desa Bonto Somba Hulu DAS Maros. Asdak (2010)
menyatakan bahwa kondisi sosial ekonomi, tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi
masyarakat yang rendah, cenderung lebih mendahulukan kebutuhan primer dan sekunder,
sehingga sering terjadi perambahan hutan di daerah hulu DAS, penebangan liar, dan
praktik-praktik pertanian lahan kering di perbukitan yang mengakibatkan kerusakan DAS.

Metode Vegetatif
1. Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah yang terdapat di Desa Bonto Somba kebanyakan ditemukan pada
areal persawahan khususnya pada pematang sawah berupa rumput-rumputan yaitu
rumput australia (Paspalum dilatatum) seperti yang terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman Penutup Tanah yaitu rumput Australia

Petani di Desa Bonto Somba memanfaatkan tanaman penutup tanah dengan tujuan agar
permukaan tanah dapat terhindar dari ancaman erosi karena kecepatan jatuh setiap butir
hujan telah dilemahkan sehingga kemampuannya untuk mengerosi tanah semakin kecil.
Selain itu, pertumbuhan jenis rumput-rumputan ini juga dapat tumbuh dengan cepat dan
membantu meminimalkan daya tumbuk air hujan ketika bersentuhan dengan daun
rumput-rumputan. Tanaman penutup tanah rendah terdiri dari jenis rumput-rumputan
dan tumbuhan merambat atau menjalar yang banyak terdapat pada talud dan tampingan
teras bangku yang berfungsi untuk melindungi tanah dari butir-butir air hujan, mengurangi
kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltasi kedalam tanah sehingga
mengurangi erosi. Kemampuan teras bangku sebagai pengendali erosi akan meningkat bila
ditanami dengan tanaman penguat teras seperti rerumputan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Kertasapoetra (2010) bahwa tanaman rumput-rumputan selalu diutamakan
dalam usaha pengawetan tanah dan atau pencegahan erosi karena : (a) tanaman rumput-
rumputan dapat tumbuh dengan cepat sehingga dalam waktu yang pendek tanah telah
dapat tertutupi oleh tanaman tersebut secara rapat dan tebal, (b) bagian atas tanaman
mampu untuk melindungi permukaan tanah dari tumbukan butir-butir air hujan dan
memperlambat aliran permukaan dan (c) bagian bawah tanaman dapat memperkuat
resistensi tanah dan membantu melancarkan infiltrasi air ke dalam tanah.
2. Kebun Campuran
Kebun campuran merupakan lahan di luar wilayah pemukiman penduduk yang ditanami
tanaman tahunan maupun musiman. Adanya kombinasi tanaman tahunan dan tanaman
musiman akan menghasilkan variasi tajuk yang akan berdampak pada kondisi tanah
dibawahnya. Jenis tanaman yang terdapat di lokasi penelitian yaitu bambu, jati, kakao, jati
putih, mangga, jagung, pisang, ubi kayu, nangka, jabon putih, jambu biji, jambu monyet dan
gamal.

Gambar 2. Penerapan Teknik Konservasi (Metode Vegetatif)


Kebun campuran Kebun campuran seperti yang terlihat pada Gambar 2 dapat dilihat dari
strata tajuknya yang memiliki 4 strata tajuk, dimana pada lapisan tingkat strata tajuk 1
banyak ditemukan jenis tanaman jati, dan jabon, strata 2 banyak ditemukan jenis tanaman
bambu, pisang, coklat, gamal, mangga, jambu biji, nangka, dan jambu monyet, strata 3
banyak ditemukan jenis tanaman jambu biji,pisang, ubi kayu dan strata 4 banyak ditutupi
oleh rumput-rumput. Kondisi kebun campuran dilapangan hampir seluruh permukaan
tanah tertutup oleh vegetasi yang ada diatasnya sehingga tanah dapat resisten terhadap
daya butirbutir hujan yang dapat melakukan penghancuran agregat tanah agar lahan
tersebut mudah tererosi, selain itu banyaknya air hujan yang masuk ke dalam tanah
dibandingkan air yang mengalir melalui aliran permukaan. Pada kebun campuran di areal
datar maupun berlereng mempunyai jarak tanam yang tidak teratur. Meskipun demikian
tanaman tersebut memiliki kondisi penutupan tajuk yang rapat dan berlapis sehingga
dapat mengurangi laju aliran permukaan, mencegah erosi dan banjir. Jadi semakin rapat
dan banyak lapisan tajuk suatu tanaman, maka semakin besar kemampuannya mengurangi
energi potensial air hujan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Asdak (2010) menyatakan
bahwa vegetasi terhadap erosi yaitu melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan
(memperkecil kecepatan air hujan) sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
erosi.

3. Pekarangan
Pekarangan adalah kebun di sekitar rumah dengan berbagai jenis tanaman baik tanaman
semusim maupun tanaman tahunan. Pemanfaatan pekarangan oleh masyarakat yang
bermukim di lokasi penelitian merupakan salah satu upaya masyarakat dalam menerapkan
metode konservasi tanah secara vegetatif dalam bentuk wanatani. Pekarangan di lokasi
penelitian pada umumnya di tanami dengan jagung, pisang, ubi kayu, nangka, kakao, sukun,
seperti yang terlihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Bentuk Wanatani pada Pekarangan
Masyarakat memanfaatkan tanaman yang ada di pekarangan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari dan ada pula yang memanfaatkannya untuk kebutuhan ekonomi dengan cara
dijual ke pasar. Dari segi konservasi tanah, pemanfaatan pekarangan baik untuk
melindungi tanah yang ada dibawahnya. Jenis vegetasi yang bervariasi serta tersusun atas
beberapa strata akan menciptakan penutupan lahan yang baik sehingga tanah terhindar
dari pukulan langsung air hujan. Penutup tanah juga menambah kandungan bahan organik
tanah yang meningkatkan resistensi terhadap erosi yang terjadi. Fungsi pekarangan
tersebut sesuai dengan pernyataan Fitriadi R, dkk. (1997) dalam Sari (2015) bahwa
pekarangan merupakan campuran antara tanaman tahunan, tanaman umur panjang, dan
ternak (termasuk sapi) di pekarangan sekitar rumah berupa suatu sistem ekonomis,
biofisik, dan sociocultural yang mempunyai struktur terpadu dengan batas-batas jelas
memenuhi yang sama dari tahun ke tahun, walaupun ada sedikit variasi musiman.

http://digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/
OTg5YmMxMzc1ZTlkZmI4NzM1MDNkYjEyZWY3ZWE3OGIwY2Y5ZjM0OA==.pdf diakses
tanggal 08 Desember 2021
KONSERVASI TANAH DAN AIR PADA LAHAN KRITIS
Oleh : Ir. IGA. Maya Kurnia, M.Si/PP. Madya Distanak Kab. Buleleng

Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu


pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam
semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia.
Akibatnya sumberdaya alam semakin langka dan menurun baik dari segi kualitas maupun
kuantitas. Pemanfaatan sumberdaya secara berlebihan telah menyebabkan kondisi tanah
menjadi kritis (rusak). Selain itu pula di beberapa tempat masih terdapat Lahan Kering
dimana umumnya menjadikan air sebagai faktor pembatas yang utama dalam
pengelolaannya, oleh karena itu ketersediaan air menjadi sesuatu yang sangat penting
dalam pengelolaaan lahan kritis khususnya lahan kering. Untuk dapat menjamin adanya
ketersediaan air baik dimusim penghujan dan musim kemarau diperlukan teknologi yang
applicable dan hemat biaya. Beberapa penelitian konservasi air dan lahan kritis telah
dilakukan dan diujicoba untuk dapat memaksimalkan simpanan air hujan dan
mengoptimalkan manfaat sumberdaya air terutama pada musim kemarau.  Beberapa
metode konservasi lahan kritis seperti metode vegetativ yakni dengan menanam berbagai
jenis tanaman seperti tanaman penutup tanah, tanaman penguat teras, penanaman dalam
strip, pergiliran tanaman, serta penggunaan pupuk organik dan mulsa. Pengelolaan tanah
secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena
memiliki sifat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan
memperbesar granulasi tanah, penutupan lahan oleh seresah dan tajuk yang akan
mengurangi evaporasi dan dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang
mengakibatkan peningkatan porositas tanah sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan
mencegah terjadinya erosi. Metode vegetatif juga memiliki manfaat dari segi memiliki nilai
ekonomis tinggi sehingga dapat menambah pendapatan petani.  Contoh aplikasi Metode
Vegetatif :
a) Sistem Pertanaman Lorong merupakan suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam
pada lorong diantara barisan tanaman pagar. Sistem ini sangat bermanfaat dalam
mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi dan merupakan sumber bahan organik
dan hara terutama unsur N untuk tanaman lorong. Teknologi budidaya lorong telah
lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi lahan kritis
untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kritis/kering di daerah
tropika basah namun belum diterapkan secara luas oleh petani. Pada budidaya lorong
konvensional tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong diantara barisan tanaman
pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan
dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya,
sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang
lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa
tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
b) Sistem Pertanaman Strip Rumput merupakan sistem pertanaman strip rumput hampir
sama dengan pertanaman lorong tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput
dibuat mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 meter atau lebih. Semakin lebar strip
semakin efektif mengendalikan erosi. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan ternak.
Penanaman rumput pakan ternak di dalam jalur strip. Penanaman dilakukan menurut
garis kontur dengan letak penanaman dibuat selang seling agar rumput dapat tumbuh
baik dan usahakan penanaman dilakukan pada awal musim hujan. Selain itu tempat
jalur rumput sebaiknya di tengah antara barisan tanaman pokok.
c) Tanaman Penutup Tanah merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan
dengan tanaman pokok. Manfaat tanaman penutup antara lain untuk menahan atau
mengurangi daya perusak bulir-bulir hujan yang jatuh dan aliran air diatas permukaan
tanah, menambah bahan organik tanah (melalui batang, ranting dan daun mati yang
jatuh), serta berperan melakukan transpirasi yang mengurangi kandungan air tanah.
Peranan tanaman penutup tanah adalah mengurangi kekuatan disperasi air hujan,
mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke
dalam tanah sehingga mengurangi erosi.  Penyiangan intensif dapat menyebabkan
tergerusnya lapisan atas tanah. Untuk menghindari persaingan antara tanaman penutup
tanah dengan tanaman pokok pada konservasi lahan kritis dengan teknik ini dapat
dilakukan dengan penyiangan melingkar (ring weeding). Tanaman penutup tanah yang
digunakan dan sesuai untuk sistem pergiliran tanaman harus memenuhi syarat
diantaranya harus mudah diperbanyak (sebaiknya dengan biji), memiliki sistem
perakaran yang tidak menimbulkan kompetisi berat bagi tanaman pokok tetapi memiliki
sifat mengikat tanah yang baik dan tidak mensyaratkan tingkat kesuburan tanah yang
tinggi, tumbuh cepat dan banyak menghasilkan daun, toleransi terhadap pemangkasan,
resisten terhadap gulma, penyakit dan kekeringan, mudah diberantas jika tanah akan
digunakan untuk penanaman tanaman semusim atau tanaman pokok lainnya, sesuai
dengan kegunaan untuk reklamasi tanah dan tidak memiliki sifat-sifat yang tidak
menyenangkan seperti berduri atau sulur yang membelit.  Empat jenis tanaman penutup
yang dapat digunakan yaitu : (1).jenis merambat (rendah) : Colopogonium moconoides,
Centrosome sp, Ageratum conizoides, Pueraria sp, (2).jenis perdu/semak (sedang) :
Crotalaria sp, Acasia vilosa, (3).jenis pohon (tinggi) : Leucaena leucephala
(lamtorogung), Leucaena glauca (latoro lokal), Ablizia falcataria, (4).jenis kacang-
kacangan : Vigna sinensis, Dolichos lablab (komak).
d) Mulsa adalah bahan-bahan (sisa panen, plastik dan lain-lain) yang disebar atau
digunakan untuk menutup permukaan tanah. Bermanfaat untuk mengurangi penguapan
serta melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir air hujan yang akan
mengurangi kepadatan tanah. Mulsa dapat berupa sisa tanaman, lembaran plastik dan
batu. Mulsa sisa tanaman terdiri dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang
jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman. Bahan
tersebut disebarkan secara merata di atas permukaan tanah setebal 2 s/d 5 cm sehingga
permukaan tanah tertutup sempurna.  Pada sistem agribisnis yang intensif dengan jenis
tanaman bernilai ekonomis tinggi sering digunakan mulsa plastik untuk mengurangi
penguapan air dari tanah, menekan hama penyakit dan gulma. Lembaran plastik
dibentangkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanaman. Di pegunungan
batu-batu cukup banyak tersedia sehingga bisa digunakan sebagai mulsa untuk tanaman
pohon-pohonan. Permukaan tanah ditutup dengan batu yang disusun rapat dengan
ukuran batu berkisar antara 2 s/d 10 cm.  Selain itu pemberian mulsa seresah juga dapat
menghambat pertumbuhan gulma yang mengganggu tanaman sehingga konsumsi air
lebih rendah.
e) Pengelompokan Tanaman dalam Suatu Bentang alam (landscape) dengan mengikuti
kebutuhan air yang sama sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan
tanaman.
Teknik konservasi lahan kritis seperti ini dilakukan dengan cara mengelompokkan
tanaman yang memiliki kebutuhan air yang sama dalam satu landscape.
Pengelompokkan tanaman tersebut akan memberikan kemudahan dalam melakukan
pengaturan air. Air irigasi yang dialirkan hanya diberikan sesuai kebutuhan tanaman
sehingga air dapat dihemat.
f) Penyesuaian Jenis Tanaman Dengan Karakteristik Wilayah dengan teknik konservasi ini
dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan dalam menentukan berbagai
tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi dimasing-
masing daerah. Sebagai contoh tanaman jagung yang hanya membutuhkan air 0,8 kali
padi sawah akan tepat jika ditanam sebagai pengganti padi sawah untuk antisipasi
kekeringan. Pada daerah hulu DAS yang merupakan daerah yang berkemiringan tinggi
penanaman tanaman kehutanan menjadi komoditas utama.
g) Penentuan Pola Tanam Yang Tepat, baik untuk areal yang datar maupun berlereng
penentuan pola tanam disesuaikan dengan kondisi curah hujan setempat untuk
mengurangi devisit air pada musim kemarau. Hasil penelitian Gomez (1983)
menunjukkan bahwa pada lahan dengan kemiringan 5% dengan pola tanam campuran
ketela pohon dan jagung akan dapat menurunkan run off dari 43% menjadi 33% dari
curah hujan dibandingkan dengan jagung monokultur. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan besar kebutuhan air tiap jenis vegetasi. Besarnya kebutuhan air beberapa
jenis tanaman dapat menjadi acuan dalam membuat pola tanam yang optimal.

https://distan.bulelengkab.go.id/informasi/detail/artikel/konservasi-tanah-dan-air-pada-
lahan-kritis-90 diakses tanggal 08 Desember 2021
KONSERVASI LAHAN PERTANIAN BERBASIS EKOLOGI DI KAWASAN
DATARAN TINGGI DIENG WONOSOBO
Kristiyanto, Riajeng Kristiana, Netty Demak H Sitanggang
Program Studi Pendidikan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta
Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta
Corresponding author: kristiyanto94@gmail.com

Abstract
Doing of farmland restoration a part of conservation process to agriculture transformation
pattern of ecological paradigm which there is to expect balance of ecosystem in farming, this
case as response on appear to complex of farming problem occurrence. That phenomena has
been caused of accumulated processing in used to pesticide medicine did, which it has
disturbance of farming ecosystem event. Collaboration and elaboration approach has used to
data collect methods which depth interview process and Focusing of group discussion (FGD)
has become of one all of steps for understanding of problem that deal of farmers, in bridging
of farming problem complex of contemporary. Empirically of result this research showed with
literature review of support, that farmer’s dependence of agriculture technology modern
package (Green revolution paradigm) indirectly or directly, it has omitted of farmer’s
selfsupporting in managing of farmland by creative, innovative, and wisdom, therefor the
need of evalution process between farmers, scientist, and academician in developing of
agriculture system by conservation. The problem of farmers at this moment has become of
opportunities and challenges next years, so this needs to elaboration and to collaboration
process continually, in order to agroecosystem model by dynamic and sustainable.

Keywords: Agriculture system, Green revolution, Local wisdom, Restoration process

I. PENDAHULUAN
Indonesia dianggap dan dikenal sebagai Negara agraris, dengan memiliki lahan pertanian
yang luas 7,78 juta Ha (https://nasional.kontan.co.id/news/luas-lahan-
pertanianindonesia-masih-minim), luasan lahan ini dengan potensi sumber dayanya telah
menghantarkan Indonesia mencapai swasembada beras pada tahun 1980-an, hal didukung
dengan seprangkat teknologi pertanian yang modern, disamping dukungan politik yang
besar dalam mewujudkannya yaitu beberapa 32 tahun yang lalu, tetapi bergantinya rezim
(orde baru) aspek pertanian mulai mengalami kemunduran (berkurangnya luasan lahan
pertanian dan tentunya berdampak pada aspek produktivitas pertanian), disamping
fluaktuasi iklim (climate change) yang mengarah pada ketidakstabilan kesediaan pangan.
Adapun dipihak lain, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi penurunan
produktivitas pertanian, yaitu masih masifnya pengelolaan secara tidak ramah lingkungan,
sehingga secara preiodek kondisi lahan terdegradasi dengan destruktif, disamping adanya
fluaktuasi cuaca dan iklim yang semakin tidak menentu (Josef S and Tubiello, N, F, 2007),
sehingga pada akhir-akhir tahun ini (2018/2019), banyak petani mengalami penurunan
atau kegagalan panen (kuantitas maupun kualitas).
Dinamika kompleksitas permasalahan petani, secara empiris lebih di dominasi oleh
aktivitas petani (Anthropogenic), yang tidak ramah lingkungan dalam pengelolaannya,
sehingga secara ekologis telah mengubah ekosistem di dalamnya, perubahan ini tentunya
berkorelasi dengan berubahnya siklus hama/penyakit, tanah dan air. Optimalisasi
produktivitas tanaman budidaya pertanian, sangat membutuhkan ketersediaan air maupun
sejenis organisme (mikro maupun makro), dalam pertumbuhannya, disamping aspek
tanah, dimana tanah memiliki kontribusi besar dalam kehidupan biota (mikroorganisme),
seperti cacing atau sejenis insect lain didalamnya (John W Doran and Zeiss, 2000). Tingkat
kemelimpahan maupun distribusi biota (mikro maupun makro organisme) dalam tanah,
memiliki kontribusi besar, dalam pembentukan komposisi tanah (fisik, bio, dan kimia)
menjadi subur atau mampu meningkatkan fungsi ekosistem (tanah) lebih optimal
(Edmundo Barrios, 2007), sehingga menjaga dan melestarikan tanah dalam pertanian
perlu mendapat perhatian semua pihak, tak terkecuali para petani yang kini dihadapkan
banyak permasalahan, yang semakin kompleks dan dinamis.
Memotivasi para petani dengan paradigm kemandirian bertani, menjadi aspek penting
dalam dunia pertanian, dimana aspek ini memiliki nilai-nilai kearifan (Local wisdom)
bertani lebih bijak, tetapi ranah ini secara perlahan dan pasti mulai terdegradasi, sehingga
perlu adanya Re-interpretasi pemahaman petani dalam mengelola lahan dalam perspektif
ekologi pertanian, yang didalamnya mengkaji dinamika interaksi biota (Carol Shennan,
2008). Untuk itulah, proses evaluasi, diskusi, dan implementasi pola pertanian dengan
berparadigma konservasi lahan pertanian, menjadi penting dalam mendukung pola
pertanian yang ramah lingkungan atau ekologis, sehingga hal ini menjadi tantangan dan
peluang masyarakat petani dimasa kini, serta mendatang.
II. METODE PENELITIAN
Memahami kondisi lahan pertanian secara bersama-sama (petani, ilmuwan, maupun
akademisi) menjadi solusi alternatif dalam menyatukan satu persepsi, terkait dengan ada
tidaknya perubahan kondisi lahan, disamping menjadi langkah strategis dalam
membangun komunikasi yang berdasar pada penemuan dilapang (lihat gambar 1 dan 2),
sehingga metode yang digunakan dalam kegiatan ini, lebih mengeksplore dengan
mengiventarisasi permasalahan yang ditemukan dengan pendekatan Depth interview
process, yang kemudian mendiskusikan pada forum kecil atau Focus Group Discussion
(FGD) secara dinamis, dimana jumlah responden ±20 orang (petani) yang terlibat dalam
kegiatan ini. Hasil data (qualitative) tersebut, yang telah diperoleh dianalisis dengan
pendekatan Processual Analysis, dimana dinamika aktivitas petani dalam merespon,
mengevaluasi, dan mengimplementasikan menjadi kajian dalam naskah ini.
Proses kolaborasi dan elaborasi bagian dari bentuk kegiatan yang dibentuk dan dibangun,
sehingga temuan-temuan dilapang dapat menjadi acuan dalam pola pengelolaan kini
maupun kedepan, secara adaptif dan mitigatif, sehingga dapat mengarah pada
pembentukan mental petani yang mandiri, kreatif, dan inovatif dalam membangung model
pertanian yang berkelanjutan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


Dinamika kehidupan masyarakat petani akhir-akhir ini, terutama di kawasan dataran
tinggi Dieng, Wonosobo menjadi perhatian semua pihak, terkait makin intensnya
masyarakat mengubah lahan konservasi menjadi lahan ekonomi, dengan berparadigma
“Green revolution”. Mengoptimalkan produktivitas pertanian menjadi tumpuan utama,
dalam dunia pertanian saat ini, sehingga menggenjot penggunaan lahan dengan intensitas
pengobatan maupun pemupukan (pestisida) menjadi hal biasa dalam kehidupan
masyarakat petani saat ini (lihat gambar 3), sehingga proses “Critical reflection” yang
dibangun oleh Virginia D Nazarea (2006) bagian dari pola berpikir yang sangat dibutuhkan
dalam membenahi kondisi alam, yang terimplementasi dalam ranah “local knowledge and
cultural memory”, hal ini terkait bagaimana membangun pola atau model pertanian yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan?, disamping bagaimana tantangan dan peluang petani
kini dan kedepan dalam menata alam (sumber daya lahan pertanian) berdasar pada
masalah yang dihadapi.
A. Problematika: Peluang, dan Tantangan Petani
Kini dan Kedepan Mengembalikan ranah pengetahuan petani (local wisdom) saat ini
bagian dari respon atas permasalahan yang membutuhkan wadah semua pihak, hal ini
dapat dikaitkan dalam mengelola lahan (tanah) pertanian secara baik atau ramah
lingkungan, dimana hal ini juga bagian dari proses konstruktif diri, dan tentunya proses ini
membutuhkan waktu yang lama, agar terbangun sebuah prilaku yang mengarah pada
bangunan relasi diri dengan lingkungan maupun sesama secara baik dan kontinue.
Dinamika kehidupan ini, tentunya dapat dilihat bagaimana fenomena masyarakat (petani)
dalam mengelola lahan yang terjadi di Indonesia, terutama di kawasan dataran tinggi
Dieng, wonosobo yang mayoritas berprofesi sebagai petani, yang akhir-akhir ini banyak
dihadapkan dengan kompleksitas permasalahan pertanian, yang secara empiris dapat
dilihat pada tabel 1, sebagai berikut;

Pada tabel diatas, bagian dari kompleksitas permasalahan pertanian yang sering menjadi
pembahasan di setiap forum maupun diskusi tingkal lokal, nasional, bahkan global, dimana
masalah penyemprotan (pestisida) dan penyakit tanaman menjadi masalah dominan yang
dihadapi petani, yang dianggap menjadi penyebab utama terjadinya kegagalan dalam
bertani. Mengurangi penggunaan pestisida (penyemprotan bahan kimia) bagian dari solusi
yang mampu “merestorasi” kondisi lahan dan tanaman, dimana menurut Martin lechenet et
al (2014) bahwasanya untuk mencapai sebuah paradigm sustainability dalam pertanian
(agroecosystem) satu diantaranya dengan mengurangi penggunaan pestisida, hal ini
bertolak belakang dengan apa yang telah dilakukan sebagian petani (Wonosobo), terutama
untuk tanaman Kubis, Cabe, Bawang putih, dan sejenis tanaman sayur lainnya, yang
membutuhkan banyak penyemprotan maupun pengobatan (berbahan kimia/pestisida).
Menurut hasil interview dengan beberapa petani (gambar 1), yang telah dilakukan pada
tanggal 29 sampai 30 Juni 2018 yang lalu, mengungkapkan bahwa untuk tanaman,
terutama untuk sayur “Kubis” lebih banyak membutuhkan penyemprotan (pestisida
berbahan kimia) lebih intens dan banyak dibandingkan jenis tanaman sayur lainnya.
Seminggu bisa 2 atau lebih dilakukan penyemprotan, sehingga banyak tenaga, waktu, dan
materi yang dikeluarkan untuk mengelola dan membudayakan jenis tanaman (sayuran)
tersebut, walaupun begitu petani masih membudiyakannya, dengan resiko kegagalan yang
tinggi dan merugikan petani, baik secara ekonomi maupun ekologi, bahkan kesehatan
(Mridula C et al, 2013). Pola Trial dan error dalam budidaya jenis tanaman sayur tersebut,
tidak meninggalkan tapak kesan yang berarti, dimana petani belum berdaya atau tidak
mampu dalam mengevaluasi dan mengkritisinya, inilah yang tentunya perlu mendapat
perhatian dikalangan ilmuwan atau perguruan tinggi untuk membantu dalam memecah
kebuntuan atau ketidakberdayaan petani.

Menguatkan kembali peran dan kontribusi petani, dalam mengelola dan memanfaatkan
lahan pertanian menjadi aspek penting, yang selama ini terbelenggu dengan
ketidakmandirinya, akibat banyaknya intervensi pihak luar (Dinas pertanian dengan
prangkatnya dan industri dengan paket teknologinya) dengan membawa keuntungan
jangka pendek, yang telah membuat sebagian besar petani tidak banyak pilihan untuk
mengimplementasikannya. Kebuntuhan solusi dengan harapan yang tinggi kini, telah
menghinggapi gerak-gerik petani dalam berkreasi atau beradaptasi terhadap
permasalahan yang dihadapinya (lihat tabel 1), sehingga perlu adanya wahana atau wadah
yang mampu menjembati kebuntuhan tersebut, dimana pola ini mampu menghidupkan
kembali ranah pengetahuan lokal (local wisdom) petani dalam menggarap lahannya secara
mandiri dan lestari.
Peran perguruan tinggi (PT) tentunya sangat dibutuhkan dalam kegiatan ini, dimana
masyarakat petani terlihat sangat antusias dalam mengikuti dan menyimak (gambar 1 dan
2), sehingga bangunan jembatan keilmuan teoris dan paraktis (pengalaman) terbentuk,
serta saling melengkapi dalam menemukenali permasalahan yang muncul, inilah
problematika, tetapi juga dapat menjadi peluang, dan tantangan petani kedepan, yang
tentunya dapat berkaca pada pengalaman masa lalu.

B. Mengiventarisasi, Menganalisis, dan Diskusi


Dinamika petani dalam memahami kondisi lahan pertanian, akhir-akhir ini menjadi
perhatian semua pihak, terkait dengan tingkat pengetahuan petani terhadap kondisi lahan,
dalam mengembangkan pola pertanian yang ramah lingkungan atau ekologis, dimana
proses ini tentunya melibatkan petani dan ilmuwan (saintifik) dalam rangka membangun
atau meningkatkan ranah pengetahuan petani secara kekinian (kontemporer). Pola
kolaborasi tersebut, tentunya banyak melibatkan petani secara holistik dan integrative
secara aktif serta dinamis, dalam mengiventarisasi dan menganalisis kondisi lahan dan
tanaman secara detail dan berkelanjutan (lihat gambar 2), sebagai berikut;

Proses evaluasi dengan mengacu pada pembelajaran diri (self of critism), dalam memahami
kondisi lahan pertanian secara saintifik, tentunya menjadi pola kolaborasi kekinian dalam
ranah “memutus rantai kebergantungan pengetahuan pusat”, menjadi penting dan
diharapkan mampu mengembangkan diri dalam berkreasi maupun berinovasi dalam
merumuskan pola-pola pertanian yang ramah lingkungan berbasis pengetahuan lokal,
dimana pada gambar a, b, dan c (gambar 2) mengilustrasikan bagaimana petani mencoba
mengidentifikasi, mengiventarisasi, menganalisis dan mendiskusikan di forum terbatas,
yang melibatkan perguruan tinggi. Dinamika pergumulan ilmiah tersebut, bagian dari
proses penguatan petani dalam pembelajaran yang tentunya dipengaruhi oleh banyak hal
(Temesgen, T, D et al, 2009), yang mengarah bagaimana petani mampu membangun
adaptasi diri, dalam merespon permasalahan di sekitarnya (lahan pertanian), secara aktif
dan dinamis.
Mengacu pada tabel 1 (diatas), terkait dengan permasalahan yang dihadapi petani akhir-
akhir ini, bagian dari akumulasi implementasi pola pengelolaan lahan yang telah dilakukan
petani secara berturut-turut, dengan tidak ramah lingkungan (gambar 3), dimana aspek
keuntungan ekonomi menjadi acuan utama dalam pengelolaan lahan pertanian, sehingga
kerusakan lahan dengan meningkatnya serangan hama atau penyakit tanaman menjadi
momok saat ini. Hal ini, terkait dengan putusnya rantai ekologi pertanian (ekosistem
pertanian), yang menyebabkan tiadanya keseimbangan ekosistem pertanian, baik secara
biologis maupun kimiawi (mikro maupun makro organisme), sehingga siklus kehidupan
hama (mikroorganisme) atau penyakit, berubah atau terganggu sistem ekologi di dalamnya
(food webs).
Matinya mikro maupun makro organisme di lahan pertanian (tanah), menyebabkan pula
kerusakan potensi tanah yang menjadi landasan dasar tumbuh kembangnya tanaman,
sehingga petani semakin tidak mudah mengantisipasinya, inilah sebuah pemahaman yang
harus di ketahui petani kekinian (kontemporer), karena dinamika interaksis biotik dan
abiotic dalam ekosistem pertanian semakin kompleks dan rumit, karena terkait dengan
peran dan kontribusinya dalam pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan maupun
tanaman. Oleh karena itu, “Sharing of knowledge process” sebuah dinamika transformasi
pengetahuan, yang sepatutnya terus di tumbuhkan kembangkan, seiring dengan makin
semrawutnya tata ekosistem pertanian, akibat akumulasi aktivitas masyarakat
(anthropogenic) yang tidak ramah lingkungan, disamping makin adanya ketidakpastian
kondisi cuaca dan iklim (Unpredictable), dalam dunia pertanian akhir-akhir ini. Fenomena
inilah yang sepatutnya menjadi bagian dari tanggung jawab moral maupun ilmiah dalam
menuntaskannya, Evaluasi dan mengkritisi hasil observasi lahan walaupun pada sisi lain
proses kolaborasi (petani, ilmuwan, dan perguruan tinggi) sebuah proses yang tidak
mudah terbangun, dengan keterbatasannya (teknis maupun non teknis).

Jenis obat atau pestisida tertentu (gambar 5), yang sering digunakan petani dalam
membasmi hama atau penyakit maupun untuk percepatan (nutrisi) tanaman masih di
dominasi dengan pupuk an organik (gambar 5), yang pada awalnya menggunakan pupuk
organik, seperti kotoran sapi, kambing, dan ayam. Dominansi penggunaan pupuk atau obat
pestisida, terus berlangsung dan berlanjut hingga sekarang, dimana terapan teknologi
pertanian (tidak ramah lingkungan) sudah menginternalisasi dalam budaya dan
sosialekonomi masyarakat setempat (kawasan Dieng), walaupun pada sisi lain, petani
menyadari bahwasanya tata kelola pertanian ini, mengalami peningkatan, baik di sisi
materi maupun non materi (waktu dan tenaga), hal inilah yang terus menjadikan petani
bergantung, yang pada akhirnya tidak mudah untuk mengembalikan masa kejayaan petani
(kemandirian dalam mengelola lahan, secara bijak yang bertumpu pada kearifan lokal
(Local wisdom) dengan lebih memanfaatkan potensi hayati, sehingga perlu adanya evaluasi
secara bersama-sama untuk bisa mengemplementasikannya.

C. Perubahan dan Dampak Penggunaan Lahan


Banyak studi mengungkapkan bahwa hampir sebagian besar lahan (tanah) di kawasan
dataran tinggi Dieng mengarah pada perubahan lahan (land use change), yang sifatnya
mengarah pada skala rentan (vulnerable) dengan bentuk erosi maupun bencana tanah
longsor (gambar 4), hal ini terjadi hampir setiap tahun. Secara visualisasi kondisi
permukaan lahannya, sedikit tutupan vegetasinya dan lebih di dominasi dengan jenis
tanaman budidaya, seperti tanaman kentang, sayuran, dan jenis tanaman pertanian
lainnya, dimana pola penanamannya mengorbankan tutupan vegetasi yang semestinya
memiliki peran dan kontribusi, yang vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem
(tutupan vegetasi).

Karakteristik tanah (tekstur, struktur, maupun warna) yang ada di kawasan dataran tinggi
Dieng dan sekitarnya, secara empiris maupun teoritis memiliki tingkat kesuburan yang
tinggi, tetapi studi ilmiah menunjukkan bahwa kondisi lahannya mengalami perubahan,
yang mengarah pada hilangnya tingkat kesuburan tanah. Mengembalikan tingkat
kesuburan tanah, suatu proses yang panjang dan kompleks, hal ini seiring dengan ritme
masyarakat petani yang masih banyak menggunakan pupuk kimia dengan berbagai
kepentingan, seperti untuk mematikan hama atau penyakit tanaman, pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang dibudidayakan, dan sebagainya. Praktik-praktik tersebut,
secara akumulasi telah merusak tanah, sehingga nilai produktivitas pertanian menurun,
walaupun pada sisi lain menunjukkan bahwa penurunan tersebut, juga terkait dengan
kondisi cuaca dan iklim yang tidak menentu.
Membangun pola adaptasi dan mitigasi dalam merespon perubahan kondisi lahan, akibat
obat pestisida maupun dinamika cuaca dan iklim yang tidak menentu (Unpredictable),
tentunya membutuhkan terobosan baru dalam dunia pertanian saat ini, dimana terobosan
ini, lebih mengedepankan aspek pengetahuan lokal petani (local wisdom) dalam menjaga
dan melestarikan ekosistem tanah, agar hasilnya lebih optimal dan berkelanjutan, tanpa
menghilangkan produktivitas panen yang tinggi.
D. Pestisida: Delimatis dalam Dunia Pertanian
Kesadaran masyarakat akan implikasi dari penggunaan pupuk an organic (kimia/pestisida)
masih minim, dimana sebagian besar masyarakatnya masih banyak menggunakannya,
bahkan dengan durasi dan intensitas yang semakin meningkat, hal ini dilakukan oleh
petani karena menyakini bahwa pupuk atau obat tersebut, mampu meningkatkan
produktivitas hasil panen. Pada gambar 5 , satu diantara jenis pupuk atau obat yang
digunakan petani, selama dalam pembudidayaan tanaman maupun sayuran, tetapi jenis
tanaman “Kentang”, dimana jenis tanaman ini menjadi tanaman andalan masyarakat petani
Dieng, sehingga proses pengelolaannya (dari tanaman hingga panen) banyak menggunakan
pupuk maupun obat berbahan kimia (pestisida).
Studi empiris dengan melibatkan masyarakat petani (gambar 1 dan 2), dalam menganalisis
dan mengevaluasi dampak dari penggunaan pupuk atau obat kimia (pestisida) terhadap
kondisi lahan dalam ranah pengetahuan (knowledge), secara umum sudah memahami
akan implikasinya terhadap lahan, tetapi aspek ekonomi telah menjadi acuan utama akhir-
akhir ini, sehingga pergumulan antara konsep konservasi dan ekonomi menjadi tidak
berimbang. Dinamika tersebut, secara akumulasi telah menampakkan bentuk atau pola
pengelolaan lahan yang tidak ramah lingkungan, sehingga perlu adanya sebuah strategi
yang fleksible dan adaptif, dalam arti peningkatan produktivitas hasil pertanian (pangan
maupun non pangan), tanpa mengendahkan atau mengorbankan aspek ekologi, yang
tentunya memiliki peran dan kontribusi penting, akan keberlanjutan sistem pertanian yang
berkelanjutan.
Satu diantara metode atau pola yang dapat diimplementasikan, dengan mengurangi
penggunaan pupuk atau obat berbahan kimia (pestisida), walaupun tidak mudah untuk
melakukannya, hal ini tentunya membutuhkan proses yang panjang karena terkait dengan
paradigma pembangunan pertanian berbasis ekologi atau berkelanjutan.
Mengembangkan metode pertanian yang ekologis atau ramah lingkungan akhir-akhir ini,
menjadi solusi alternatif dalam merestorasi kerusakan lahan, disamping menjadi langkah
revolusioner dalam mengubah paradigma pola pertanian yang berkelanjutan, sehingga
semboyan “Petani sejahtera, akumulasi dari lahan subur, bebas kimia, dan pola tanam yang
ekologis”, inilah moto atau slogan yang dapat dikembang tumbuhkan ditengah-tengah
kegundahan sebagian besar masyarakat petani, yang sedang dan telah dihadapkan dengan
persoalan permasalahan- permasalahan lahan, yang semakin degradatif dan rusak, akibat
akumulasi penggunaan obat atau pestisida berbahan kimia.

E. Dinamika Pengelola lahan, dalam Pola Tanam Ekologis


Musim (kemarau maupun penghujan), klasifikasi zona (kesesuaian lahan), air, dan pasar
menjadi faktor yang dijadikan pedoman dalam menentukan jenis budidaya tanaman
(sayuran), disamping menjadi acuan dalam mengelola lahan, dimana salah satu petani,
mengungkapkan bahwa; “Jenis tanaman (sayur) yang ditanam pada musim menjelang
kemarau biasanya jenis tanaman tembakau, cabe, kacang, sedangkan tanaman kubis lebih
awal ditanam” (Bapak Tenang, 2018), Mengacm pada ungkapan ini, dapat di pahami
bahwasanya sebagian petani sudah menerapkan pola tanam “Tumpang sari”, (lihat gambar
6) dimana pola ini dianggap bagian dari model antisipasi kegagalan satu jenis tanaman
(monokultur), disamping juga bagian dari respon atas terjadinya ledakan hama, hal ini
dikuatkan oleh Riajeng kristiana (2018) seorang staff pengajar (dosen) di Universitas
Indraprasta PGRI, Jakarta mengungkapkan dalam forum terbatas dengan para petani (lihat
gambar 1 dan 2), bahwa pola tanam dengan pola tumpang sari atau diversitas tanaman,
dapat mengurangi ledakan hama atau penyakit tanaman.

Mendesain pola tanam secara ekologi sebuah proses yang mengarah pada konservasi
lahan, dengan tidak merusak sistem ekologi pertanian di dalamnya (ramah lingkungan),
satu diantara dengan (1) memahami jarak maupun jenis tanaman yang dibudayakan, (2)
kesesuaian jenis tanaman dengan aspek tanah (zonasi lahan), dan (3) menanam dengan
berbagai jenis tanaman (diversitas atau tumpang sari), walaupun pada pemahaman
mendasar dipahami sebagai bentuk antisipasi kegagalan satu tanaman (monokultur),
tetapi secara ilmiah dapat mengurangi gangguan hama atau penyakit tanaman, hal ini
berbeda, dengan kasus yang terjadi di kawasan dataran tinggi Dieng Wonosobo, yang
sebagian besar petani mengelola lahan tanpa jeda (mengistirahatkan aspek tanah), dimana
hampir tiap para petani bisa panen 3 kali dalam setahun. Di samping itu, para petani
disibukkan dengan pembasmian hama atau penyakit tanaman tanpa berkesudahan, inilah
fenomena dunia pertanian yang telah terjadi di kawasan dataran tinggi Dieng, Wonosobo.
Mendesain dengan mengembangkan pola tanam secara ekologis, dengan mengacu pada
pola tanam (yang telah diuraikan alinea diatas) menjadi hal yang menarik untuk terus di
lakukan, dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian tanpa mengorbankan aspek
lingkungan, disamping bagian dari proses pengembangan kawasan konservasi lahan
pertanian (agroecosystem) secara berkelanjutan.
F. Komparasi dan Analisis Produktivitas Pertanian: Organik dan Anorganik
Mengacu pada uraian diatas, tentunya menjadi pemikiran bersama bagaimana dinamika
pola pertanian yang akan, dan telah dikembangkan, pada saat para petani sudah Tembakau
Cabe Kacang terintroduksi dengan paket teknologi pertanian, satu diantaranya dalam
penggunaan obat kimia (pestisida). Pada sisi lain, petani juga dimotivasi untuk
mengembalikan fungsi tanah, dengan mengurangi atau menghilangkan penggunaan obat
kimia (pestisida), inilah perkembangan pola pertanian yang dilematis. Oleh karena itu,
menciptakan dan mengembangkan pola pertanian ekologis, tentunya tidak mudah dalam
implementasinya karena pola pertanian tersebut, secara ekonomi dengan jangka pendek
belum menampakkan bukti empiris, yaitu adanya peningkatan ekonomi yang selaras
dengan meningkatkatnya produktivitas hasil pertanian (Maryati M, Hakim, 2014), sehingga
perlu adanya evaluasi secara kritis dan sinergis agar diperoleh terobosan pola pertanian
yang berkelanjutan.
Di pihak lain, ada beberapa studi yang menunjukkan bahwa produktivitas tanaman pangan
(padi) dengan bahan organik, lebih rendah dibanding dengan bahan anorganik, tetapi
pendapatannya lebih tinggi dengan bahan organik dibanding anorganik (Hapsari, 2016;
Sudrajat, 2017) hal ini tentunya juga dipengaruhi oleh berbagai aspek baik secara teknis
maupun non teknis, tetapi ada beberapa jenis tanaman yang dapat berproduksi secara
maksimal dengan menggabungkan pupuk, yaitu pupuk organik dan anorganik (Frobel G, D
et al, 2013; Muhammad N, E, Aini, N, dan Koesriharti, 2017). Fenomena ini, menjadi kajian
yang menarik dimana petani dataran tinggi Dieng, Wonosobo juga dihadapkan dengan
persoalan tersebut, ada beberapa petani kentang mengungkapkan bahwa hasil produksi
panennya akhir-akhir tahun ini, mengalami penurunan yang disebabkan olehnya adanya
perubahan cuaca (curah hujan), bukan aspek pupuk organik maupun anorganik yang
menjadi faktor utama. Pemakaian pupuk organik maupun anorganik bagian dari dinamika
sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat, dimana modal dan luasan lahan (Ha) menjadi
faktor utama dalam optimalisasi produksi panen, disamping dalam penggunaan pupuk,
yang secara empiris petani menggunakan dua (2) jenis pupuk tersebut (organik dan
anorganik), dimana pupuk organik yang sering digunakan seperti pupuk kandang (sapi,
kambing, ayam, kerbau), jenik pupuk ini dipakai pada awal sebelum tanam, selanjutnya
dari tanam sampai panen petani menggunakan pupuk anorganik.
Penggambungan penggunaan pupuk tersebut, tetapi berbeda waktu tidak berpengaruh
secara signifikan dalam ranah produksi hasil, tetapi secara ekologi pupuk organik memiliki
peran dan kontribusi dalam konservasi tanah, baik secara biotik maupun abiotik
(Muhammad N, E, Aini, N, dan Koesriharti, 2017), tentunya ini bagian dari dinamika
pemahaman yang membutuhkan kajian ilmiah secara saintifik terkait dengan
penggambungan dalam penggunaan dua jenis pupuk (organik dan anorganik) tersebut.
Menurut Frobel G, D, dkk (2013) menunjukkan bahwa optimalisasi hasil produksi jagung,
dapat tercapai dengan menggunakan dua jenis pupuk (organik dan anorganik) didalam
pengelolaannya (tanam sampai panen), hal ini tentunya secara eksplisit berbeda dengan
jenis tanaman lain, seperti padi. Pada bagian tabel 2, dapat merepresentasikan komparasi
hasil produksi (biaya operasinal dan income) tanaman padi dengan pola pengelolaan
tanaman yang berbeda jenis pupuk yaitu, pupuk organik dan anorganik, dimana mengacu
pada hasil studi yang telah dilakukan, bahwa biaya dan pendapatan yang diperoleh secara
quantitatif maupun qualitatif lebih tinggi dengan pupuk organik, dibanding pupuk
anorganik.

Secara empiris perbandingan atau komparasisasi hasil produksi maupun pendapatan


menjadi aspek penting, dalam pengelolaan lahan pertanian, tetapi aspek ekologi
dikesampingkan, hal ini tentunya bagian dari pekerjaan bersama, bagaimana
mengembalikan ranah pengetahuan lokal, dalam merestorasi kondisi lahan (tanah), yang
secara ekologis mengalami kerusakan. Walaupun begitu, dinamika perkembangan lahan
pertanian berbasis organik, semakin marak dan meningkat, baik nasional maupun global
(Melisa K, 2014; Henny M, 2012), hal ini terkait semakin sadarnya petani atau masyarakat
akan dampak negatif (tanah maupun kesehatan) dari penggunaan obat pestisida (kimia)
terhadap kesehatan ekosistem maupun manusia didalamnya.
IV. SIMPULAN
Mengembangkan kawasan konservasi lahan di area pertanian, dengan
mengimplementasikan pola tanam yang ekologis atau ramah lingkungan, dihadapkan
dengan kompleksitas permasalahan yang terus menghinggapi denyut nadi kehidupan
petani di lahannya, sehingga mengiventarisasi, mengidentifikasi, dan mendiskusikan
menjadi wahana “sharing of knowledge” dalam menemukenali permasalahan yang
ditemukan. Proses kolaborasi dan elaborasi keilmuan antar petani, ilmuwan, dan
akademisi bagian dari penyatuan persepsi dan pemahaman, yang mengarah pada
kesepakatan dalam mendesain pola tanam yang ramah lingkungan atau ekologis.
Dalam kegiatan penelitian ini, secara processual analysis menyimpulkan bahwa (1)
“Memutus rantai kebergantungan”, (2) “Meningkatkan kemandirian dalam mengelola
lahan”, dan (3) “Mendesain dan mengembangkan pola pertanian yang ramah lingkungan,
menjadi bagian dari respon atas permasalahan pertanian yang semakin kompleks dan
dinamis.

https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/viewFile/4247/3938 diakses
tanggal 08 Desember 2021
PERMASALAHAN DAN TANTANGAN KONSERVASI TANAH DAN AIR
Anih Sri Suryani
Abstrak
Berbagai bencana alam seperti longsor dan banjir yang melanda wilayah Indonesia
menjadi pertanda bahwa daya dukung lingkungan sudah tidak dapat menampung
intensitas air yang sedemikian besar. Oleh karena itu, konservasi tanah dan air sangatlah
penting agar sumber daya tanah dan air tidak makin terdegradasi. Tahun 2014, Presiden
telah mensahkan UU tentang Konservasi Tanah dan Air namun hingga kini permasalahan
konservasi masih terjadi. Tulisan ini mengkaji permasalahan dan tantangan dalam
konservasi tanah dan air seperti degradasi lahan yang makin meningkat; perkembangan
teknologi konservasi lahan yang makin lambat; dan masalah nonteknis seperti kebijakan,
sosial dan ekonomi serta penegakan hukum yang belum optimal. Hal tersebut menjadi
tantangan terutama bagi pemerintah, para ilmuwan dan pengguna lahan untuk turut serta
dalam perencanaan dan penyelenggaraan konservasi tanah dan air sesuai dengan
peraturan yang berlaku. DPR RI perlu melakukan pengawasan kepada Pemerintah terkait
pelaksanaan UU tentang Konservasi Tanah dan Air.

Pendahuluan
Sejumlah bencana alam kembali terjadi di Indonesia. Banjir bandang dan longsor
terjadi di Sentani Jayapura Papua. Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB), hingga Rabu, 20 Maret 2019, tercatat jumlah korban tewas 104 orang dan 159
orang luka-luka, serta 79 orang hilang. Di samping itu, berbagai fasilitas infrastruktur dan
perumahan rusak berat. Demikian juga dua kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta
yakni Bantul dan Gunung Kidul telah ditetapkan dengan status tanggap darurat bencana
setelah kejadian banjir dan longsor yang menerjang wilayah tersebut pada hari Minggu 17
Maret lalu. Akibatnya 5.046 warga DIY terpaksa mengungsi dan data sementara 2 korban
meninggal dunia. Kabupaten Bantul menjadi wilayah terbanyak terdampak banjir dan
longsor. Tidak hanya di Papua dan Jawa, bencana longsor pun melanda Sumatera Selatan,
Kabupaten Empat Lawang. Bencana tersebut mengganggu akses jalan, 13 Vol. XI,
No.06/II/Puslit/Maret/2019 hingga Kabupaten Empat Lawang nyaris terisolir.
Beberapa daerah dengan tingkat kerawanan longsor tinggi meliputi Sumatera
bagian barat dan selatan, Pulau Jawa bagian tengah dan selatan, Nusa Tenggara, Sulawesi
bagian barat dan tengah, serta hampir seluruh wilayah perbukitan di Papua (Kompas, 20
Maret 2019). Berbagai bencana banjir dan longsor tersebut dipicu oleh intensitas curah
hujan yang tinggi. Namun terdapat pula faktor lain yakni alih fungsi lahan. Berkurangnya
tutupan lahan dan bertambahnya bangunan membuat beban lahan kian meningkat. Seperti
halnya banjir bandang yang melanda Sentani. BNPB menduga kerusakan Pegunungan
Cycloop di Jayapura menjadi penyebabnya. Pegunungan yang berupa kawasan cagar alam
tersebut yang seharusnya menjadi resapan air itu malah dialihfungsikan menjadi
permukiman dan pertanian. Kerusakan ekosistem di pegunungan Cycloop tersebut sudah
terjadi sejak 2003, setelah terjadi perambahan cagar alam oleh 43.030 jiwa, penggunaan
lahan permukiman dan pertanian lahan kering campur di Daerah Aliran Sungai (DAS)
Sentani seluas 2.415 ha, penebangan pohon untuk pembukaan lahan dan perumahan dan
kebutuhan kayu, serta penambangan galian C. Sangat disayangkan perusakan di
pegunungan Cycloop tersebut masih terjadi hingga saat ini (news. detik.com). Sembilan
wilayah kelurahan yang terdampak banjir di Sentani merupakan dataran alur hijau, yang
secara alamiah adalah daerah rawan banjir. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji berbagai
permasalahan dan tantangan dalam Konservasi Tanah dan Air (KTA) di Indonesia, serta
tantangan dan peran berbagai pihak dalam mencari solusi atas permasalahan kerusakan
lingkungan yang terjadi.

Konservasi Tanah dan Air


Banjir bandang Sentani dengan jumlah korban sekian banyak dan kerusakan
sedemikian besar seolah menyadarkan kita semua akan dampak negatif dari kerusakan
ekosistem yang terus dibiarkan sehingga terjadinya degradasi lingkungan di kawasan ini.
Sekaligus hal itu seolah-olah menjadi peringatan akan pentingnya menjaga kualitas
lingkungan dan melakukan konservasi tanah dan air. KTA merupakan suatu tindakan
pengawetan terhadap kualitas dan kuantitas tanah dan air.
Menurut UU No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, KTA adalah
upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan
sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari. Usaha-usaha pengawetan (konservasi) tanah
ditujukan untuk: (1) mencegah kerusakan tanah oleh erosi, (2) memperbaiki tanah yang
rusak, (3) dan menetapkan kelas kemampuan tanah dan tindakantindakan atau perlakuan
agar tanah tersebut dapat dipergunakan untuk waktu yang tidak terbatas (berkelanjutan)
(Arsyad: 1989).
Ada 3 metode dalam dalam melakukan KTA. Metode tersebut yaitu: metode fisik
dengan pegolahan tanahnya (pengolahan tanah menurut kontur, parit, teras dan saluran
irigasi), metode vegetatif dengan memanfaatkan vegetasi dan 14 tanaman untuk
mengurangi erosi dan penyediaan air (rebosiasi hutan, penghijauan dan agroforestri), serta
metode kimia yaitu memanfaatkan bahan-bahan kimia baik organik maupun anorganik
untuk mengawetkan tanah (Syakur: 2008). Sedangkan teknik konservasi pada lahan hutan
dilakukan dengan penerapan manajemen pengelolaan hutan yang baik dan terencana.
Pada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi, upaya KTA hanya
menjaga lingkungan dari kerusakan, karena pada kawasan ini tidak diperbolehkan
dilakukan penebangan pohon (Wahyudi: 2014). Pada kawasan hutan produksi, upaya
konservasi dilakukan pada tiga areal, yaitu areal produktif sebagai tempat dilakukan
kegiatan eksploitasi hutan (penebangan pohon dan penarikan kayu); kawasan tidak efektif
untuk produksi seperti lokasi perkantoran, perumahan, camp, sarana dan prasarana, lokasi
penelitian, lokasi sumber benih atau areal sumberdaya genetik, kebun bibit, persemaian
dan tanah kosong serta kawasan perlindungan seperti areal plasma nutfah, sungai dan
mata air, buffer zone, koridor satwa dan areal yang mempunyai kelerengan lebih dari 40%.

Permasalahan Konservasi Tanah dan Air di Indonesia


Program dan upaya untuk melakukan KTA telah dilakukan di Indonesia sejak lama.
Bank Dunia telah menjadi pedukung upaya ini mulai dari era 90-an, terutama dalam hal
manajemen DAS. Namun seiring dengan perkembangan pembangunan nasional di segala
bidang, degradasi lahan juga bekembang dengan pesat dan mengancam keberlanjutan
lingkungan hidup. Berbagai kegiatan pembangunan sering menggunakan lahan pertanian
subur, seperti untuk infrastruktur, pemukiman, perkantoran, pertambangan dan industri.
Bahkan, kegiatan pertanian sendiri pun sering mengancam keberlanjutan pertanian,
seperti penggunaan lereng terjal untuk tanaman semusim, perladangan berpindah dan
penggunaan agrokimia yang tidak ramah lingkungan.
Degradasi lahan dewasa ini tidak hanya berupa erosi tanah, namun sudah
merambah ke bentukbentuk lain seperti banjir, longsor, pencemaran, dan pembakaran
lahan, sudah sering terjadi dalam intensitas dan kualitas yang tinggi. Hal ini jelas
merupakan ancaman bagi kelangsungan sistem pertanian, dan tantangan bagi upaya
konservasinya. Hal nonteknis menjadi permasalahan tersendiri dalam KTA ini. Antara lain
masalah kebijakan, sosial dan ekonomi. Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat
menentukan keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, selaras dengan
tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama program pertanian lebih ditujukan
kepada peningkatan produksi bahan pangan dan pertumbuhan ekonomi secara makro,
sehingga aspek kelestarian sumberdaya lahan tertinggalkan. Selain itu, masalah sosial juga
kerap menjadi hambatan, antara lain sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi
lahan pertanian, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk.
Kondisi ekonomi petani yang pada umumnya rendah, sering menjadi alasan bagi
mereka untuk mengabaikan konservasi tanah, termasuk 15 mendorong cepatnya konversi
lahan pertanian dan hutan. Permasalahan lainnya adalah diseminasi teknologi konservasi
tanah sangat lambat. Hasil penelitian baik dari perguruan tinggi maupun lembaga litbang
tidak dapat diadopsi langsung oleh para pengguna, misalnya petani dan pengolah lahan.
Sedangkan dalam hal pembalakan hutan dan lahan, faktor lemahnya peraturan dan sistem
perundang-undangan merupakan hal yang melemahkan upaya konservasi hutan dan lahan
tersebut.
Payung hukum terkait KTA di Indonesia telah ditetapkan dalam UU No. 37 Tahun
2014 tentang Konservasi Tanah dan Air. Ruang lingkup UU tersebut terdiri dari
perencanaan, penyelenggaraan serta pembinaan dan pengawasan KTA. Berdasarkan UU
tersebut, pemerintah berwenang menyelenggarakan KTA. Di samping itu, pemegang kuasa
atas tanah, pemegang izin, dan pengguna lahan juga bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan KTA. Pemerintah menyusun perencanaan KTA dari tingkat nasional
sampai kabupaten/ kota sesuai kewenangannya. Penyelenggaraan KTA dilaksanakan pada
kawasan lindung dan kawasan budi daya yang dilaksanakan berdasarkan unit DAS,
ekosistem dan satuan lahan dengan menggunakan pendekatan pengelolan DAS terpadu.
Penyelenggaraan KTA tidak dapat dilakukan/dikecualikan pelaksanaannya di
kawasan cagar alam dan zona inti taman nasional. Oleh karena itu, alih fungsi Pegunungan
Cycloop di Jayapura menjadi lahan pertanian dan perumahan adalah suatu pelanggaran.
Pelaksaan pembinaan dan pengawasan terkait KTA merupakan tanggung jawab
pemerintah daerah. Bupati Jayapura mengaku sudah berulang kali mengingatkan warga
agar tidak mendirikan bangunan di pegunungan tersebut karena masuk wilayah cagar
alam. Perda terkait kawasan penyangga Cagar Alam Cycloop sejak tiga tahun lalu telah
disosialisasikan. Pemkab sudah menggandeng Balai Konservasi Sumber Daya Alam,
instansi terkait maupun aktivis lingkungan dalam sosialisasi tersebut, namun nampaknya
larangan dan sosialisasi tersebut tidak membuahkan hasil.
Dalam UU tentang Konservasi Tanah dan Air sudah dinyatakan adanya sanksi
administrasi bagi pelanggar, dan juga kentuan pidana berupa pidana penjara dan denda.
Jenis hukumannya beragam sesuai dengan dampak yang ditimbulkan, apabila terjadi
degradasi lahan yang berat sampai dengan terjadinya bencana, maka pidana penjara bisa
sampai 18 tahun dan/atau denda paling banyak 100 miliar rupiah. Adanya pelanggaran
yang masih terus terjadi di Pegunungan Cyclopp menunjukkan bahwa penegakkan hukum
terkait KTA ini masih menjadi PR besar.

Tantangan Konservasi Tanah dan Air di Indonesia


Berbagai permasalahan tersebut menjadi tantangan bagi berbagai pihak untuk
dicari solusinya. Para ilmuwan bidang KTA ditantang untuk bekerja lebih keras dalam
rangka mengembangkan IPTEK bidang ini, tidak hanya yang berkaitan dengan erosi tanah
dan longsor saja, namun juga dengan jenis-jenis degradasi tanah lainnya, sesuai
perkembangan pembangunan. Kerja sama antarberbagai disiplin ilmu sangatlah penting,
misalnya dengan para ahli hukum, ekonom, 16 dan ilmuwan bidang lain, dalam
penyusunan peraturan perundangan, perencanaan dan implementasi KTA di lapangan.
Para pengguna lahan (baik itu petani, perusahaan perkebunan, maupun pengguna
lahan nonpertanian) merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan pengelolaan
lahan, Kegiatan yang mereka lakukan menentukan kondisi lahan saat ini, dan juga pada
masamasa yang akan datang. Mereka harus menyadari bahwa KTA sangatlah penting untuk
memelihara masa depan generasi selanjutnya dan keberlangsungannya. Sedangkan bagi
pemerintah, tantangannya cenderung semakin besar.
Payung hukum untuk KTA perlu tersedia, tidak hanya berupa UU tapi berbagai
peraturan pelaksananya wajib dilaksanakan dengan tegas dan adil. UU tentang KTA
mengamanatkan berbagai peraturan pemerintah, antara lain dalam hal perencanaan,
penyelenggaraan, dan pendanaan. Pemerintah juga seyogianya mendorong program-
program yang berkaitan dengan KTA misalnya: peningkatan kesadaran masyarakat akan
pentingnya menjaga liingkungan dengan multifungsinya, penguatan kelembagaan
penyuluhan pertanian, termasuk pengadaan tenaga khusus penyuluh KTA, penegakan
hukum dalam perkara yang berkaitan dengan perlindungan lahan, dan advokasi intensif
untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumberdaya lahan dan lingkungan merupakan
tanggung jawab bersama seluruh masyarakat.

Penutup
Bencana alam yang disebabkan oleh degradasi lahan dapat diminimalisir dengan
perencanaan dan penyelenggaraan KTA yang bersifat masif oleh seluruh unsur masyarakat,
baik di pedesaan maupun perkotaan. Selama ini kegiatan KTA masih terbatas digerakkan
dan dilakukan oleh pemerintah, terutama dalam skala besar dan dalam proyekproyek
pembangunan. Adanya UU Konservasi Tanah dan Air mengatur hak dan kewajiban
masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraannya. DPR RI perlu terus mengawasi
agar UU tersebut dapat diimplementasikan dengan baik, salah satunya mendesak
pemerintah untuk menegakkan peraturan secara adil dan tegas bagi para perusak
lingkungan. Demikian juga peraturan pelaksananya perlu segera ditetapkan, agar menjadi
payung hukum bagi perencanaan dan penyelenggaraan KTA.

https://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-XI-6-II-P3DI-Maret-
2019-236.pdf diakses tanggal 08 Desember 2021

Anda mungkin juga menyukai